Keadaan geologis dan tanah yang ada di Kota Bandung dan sekitarnya terbentuk pada jaman kwarter dan mempunyai lapisan tanah alluvial hasil letusan
Gunung Tangkuban Perahu. Jenis material di bagian utara umumnya merupakan jenis andosol, di bagianselatan serta di bagian timur terdiri atas sebaran jenis
alluvial kelabu dengan bahan endapan liat. Di bagian tengah dan barat tersebar jenis tanah andosol. Adapun sungai-sungai yang berada di kota Bandung, yaitu :
Tabel 3.1 Sungai-sungai di Kota Bandung
No Nama Sungai
Panjang Km Debit Max
m
3
Debit Min m
detik
3
detik 1
Sungai Cikapundung 28
250 12
2 Sungai Cikapundung
Kolot 10
75 4,5
3 Sungai Cipamokolan
18 40
1,25 4
Sungai Cidurian 20
83 1,25
5 Sungai Ciparumpung
10 20
0,2 6
Sungai Cicadas 18
17 0,6
7 Sungai Cihampelas
8,5 15
0,7 8
Sungai Cinambo 7,3
15 0,5
9 Sungai Citepus
6,5 50
0,1 10 Sungai Cibeureum
12 38
0,75 Sumber: Litbang, diolah dari Dinas Pengairan Kota Bandung
3.2.1 Penduduk
Jumlah penduduk Kota Bandung tahun 2002 adalah sebanyak 1.868.542 jiwa. Pertumbuhan penduduk rata-rata dari tahun 1997 adalah 1,65.
Pertumbuhan penduduk tertinggi adalah pada tahun 2000 dan pertumbuhan penduduk minus terjadi pada tahun 2001.
Tabel 3.2 Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk
No. Kecamatan
Luas. Km² Jumlah
Kepadatan
1. Bandung Kulon
6,48 94.585
14.596 2.
Babakan Ciparay 7,96
84.253 10.585
3. Bojongloa Kaler
3,03 84.834
27.998 4.
Bojongloa Kidul 6,27
59.142 9.433
5. Astanaanyar
2,89 69.936
24.199 6.
Regol 4,30
69.697 16.209
7 Lengkong
5,92 69.751
11.782 8
Bandung Kidul 4,32
34.229 7.923
9 Margacinta
10,90 73.712
6.763 10 Rancasari
13,18 51.613
3.916 11 Cibiru
10,61 58.985
5.559 12 Ujungberung
10,35 59.598
5.758 13 Arcamanik
8,80 69.816
7.934 14 Cicadas
8,67 85.704
9.885 15 Kiaracondong
3,40 103.865
30.549 16 Batununggal
5,27 103.016
19.548 17 Sumur Bandung
6,13 39.285
6.409 18 Andir
3,71 88.767
23.926 19 Cicendo
6,87 . 85.274
12.413 20 Bandung Wetan
3,39 55.098
16.253 21 Cibeunying Kidul
4,62 91.066
19.711 22 Cibeunying Kaler
4,32 54.392
12.591 23 Coblong
7,00 97.096
13.871 24 Sukajadi
5,92 79.933
13.502 25 Sukasari
. 6,28 60.396
9.617 26 Cidadap
6,11 . 42.967
7.032 Jumlah
166,70 1.867.010
11.200 Sumber: BPS Kota Bandung Hasil Registasi Penduduk
Dengan banyaknya populasi yang ada di kota Bandung maka persedian air bersih harus ditingkatkan, karena setiap tahun populasi di kota Bandung makin
meningkat.
3.2.2 Parasarana Air Kota Bandung
Bandung adalah ibukota Jawa Barat yang dimana merupakan salah satu propinsi di Indonesia terletak di Pulau Jawa dan berada di bagian barat pulau
tersebut. Pada tahun 1998 dilaporkan bahwa Propinsi tersebut dihuni penduduk sebanyak 42 juta jiwa. Propinsi ini berbatasan langsung dengan DKI di sebelah
utara dan dengan propinsi Jawa Tengah di sebelah timur. Sumber air bersih untuk pelayanan Kota Bandung berasal dari air
permukaan, mata air dan sumur dalam. Kapasitas produksi air bersih dari ketiga jenis sumber adalah sebesar 77.902.392 m
3
. Jika dibandingkan dengan tahun 1998 yang hanya 71.067.511m
3
Tabel 3.3
, kapasitas sumber air tersebut mengalami peningkatan rata-rata sebesar 2,34 setiap tahunnya. Berikut ini adalah tabel produksi dari
masing-masing sumber selama tahun 2002.
Produksi Air Bersih Di Kota Bandung Pada Tahun 1997 – 2002
No Sumber
Air Bersih Kapasitas
m
3
1997 Kapasitas
m
3
1998 Kapasitas
m
3
1999 Kapasitas
m
3
2000 Kapasitas
m
3
2001 Kapasitas
m
3
2002 1
Sungai 61.768.346
62.456.725 63.523.326
65.498.308 67.256.423 67.443.289 2
Danau -
- -
- -
- 3
Waduk -
- -
- -
- 4
Mata air 3.732.564
3.854.658 4.012.174
3.091.168 3.204.669
5.067.147 5
Artesis Air tanah
Sumur bor 3.957.299
3.756.128 4.310.835
4.765.436 5.028.475
5.319.906
Jumlah 69.458.209
71.067.511 71.846.335
73.354.912 75.489.567 77.902.342
Sumber: PDAM Kota Bandung dalam Kota Bandung Prasarana air di kota Bandung banyak mengalami masalah diantaranya
1. Adanya penurunan permukaan air tanah yang besar.
2. Adanya polusi air yang disebabkan limbah pertanian, limbah pemukiman,
dan limbah industri. 3.
Erosi lahan dan sedimentasi. 4.
Penurunan fungsi konservasi sumber air. 5.
Banjir. 6.
Degradasi alur sungai dan muara sungai. 7.
Penurunan tingkat kesehatan lingkungan, dikarenakan air penggelontoran pemukiman tidak terjamin.
8. Debit aliran pemeliharaan sungai tidak selalu tersedia.
Puslitbang Kota Bandung Air bersih dewasa ini sudah menjadi permasalahan besar yang melanda
kota-kota besar di Indonesia. Konflik air antara satu kepentingan dengan kepentingan lainnya, makin kerap terjadi. Konflik antara warga suatu daerah
dengan pabrik bukan hal aneh lagi. Penduduk sekitar menuduh keringnya sumur- sumur mereka karena pihak pabrik berlaku curang, menyedot air sumur dangkal
yang bukan haknya. Perusahaan Daerah Air Minum PDAM yang seharusnya mampu memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat, pada kenyataannya belum
mampu berbuat banyak. Karenanya, keluhan terhadap PDAM lebih lancar ketimbang aliran air
yang datang ke rumah-rumah penduduk, belum lama ini tak jarang konflik air menyebabkan kericuhan antar tetangga, sebagian penduduk Kota Bandung
terpaksa harus membeli air dengan harga sekitar Rp 500,00 per jerigen, dulu penduduk Bandung selalu mendapatkan air yang melimpah, karena posisi kota ini
sangat strategis, dikelilingi gunung-gunung tempat beradanya sumber-sumber air. Tak heran mata-mata air menjadi sumber air bersih warga kota. Tetapi
sekarang, mata air pun tak lagi mampu menyembur keluar dari tanah. Melimpahnya air justru terjadi di musim penghujan. Namun itu bukan air bersih
tetapi air hujan yang dilimpaskan melalui got-got saluran air atau air bah kiriman yang warnanya coklat tanah, bahkan hitam pekat bercampur limbah rumah tangga
dan limbah pabrik sebenarnya sudah mulai sejak 1970. Sumber air tanah telah dieksploitasi melebihi kapasitas alamiahnya,
sehingga berakibat terjadinya kerucut-kerucut muka air tanah di kawasan pemusatan industri. Antara lain Leuwigajah, Dayeuhkolot, Banjaran, Cicadas.
Sebelum tahun 1970, rata-rata produksi sumur bor di Cekungan Bandung masih berada pada batas wajar yaitu 0,1 juta m3tahun.
Dengan rata-rata produksi sebesar itu, tidak memberikan dampak terhadap hidrolika air tanah dan lingkungan. Eksploitasi air tanah meningkat dengan tajam
pada periode 1971 - 1991. Hal tersebut berakibat pada penurunan yang cukup tajam pada produksi rata-rata air sumur bor menjadi 0,03 juta m3tahun. Bahkan
dalam periode yang lebih pendek lagi yaitu dari 1992 - 1995 rata-rata produksi sumur bor menjadi makin kecil lagi. Tahun 2000 diperkirakan menuju pada angka
0,01 juta m3tahun. Penelitian PU Cipta Karya Hal itu sejalan dengan semakin banyaknya titik-titik sumur bor di
Cekungan Bandung. Tahun 1970, hanya ada 95 titik dengan pengambilan air sekitar 10,5 juta m3tahun. Tahun 1990 meningkat pesat menjadi 971 titik dengan
jumlah debit pengambilan tercatat sekitar 48,8 juta m3tahun. Jumlah titik sumur
bor meledak antara tahun 1992 - 1995 menjadi 2.225 titik, dengan jumlah pengambilan air 67 juta m3tahun. Jumlah itu, bisa jadi lebih besar karena
mungkin masih banyak titik-titik sumur bor yang tidak tercatat. Kekritisan kondisi air di Cekungan Bandung juga terlihat dari sumur
pantau di sejumlah tempat. Sumur pantau di Batujajar pada 1910 masih menunjukkan tinggi permukaan air positif + 25 meter. Tetapi kini di daerah
Batujajar, Ngamprah, dan Cimahi Tengah turun antara 8-58 meter. Sumur pantau di daerah Cimahi Selatan-Marga Asih tahun 1902 masih menunjukkan + 19,5
meter. Sekarang tinggi muka air di daerah itu negatif - 18-86 meter. Sumur pantau di Bandung Kulon-Andir pada 1953 menunjukkan + 13,4 meter.
Sekarang - 38-57 meter. Demikian pula sumur pantau di Margahayu-Katapang- Soreang pada 1953 masih menunjukkan angka + 4,84 meter. Tetapi sekarang -
1-29 meter. Sumur pantau di Dayeuhkolot pada 1919 menunjukkan + 3 meter, kini
kondisi sangat parah yakni - 20-80 meter. Berdasarkan hasil penelitian IWACO tahun 1991, penurunan di daerah tersebut menunjukkan - 50 meter.
Demikian pula sumur pantau di Batununggal-Kiaracondong, tahun 1919 masih menunjukkan + 17,5 meter, tetapi sejak tahun 1970-an, terus menurun
hingga saat ini tercatat - 39-47 meter. Turunnya tinggi pisometric air tanah berdampak pada perubahan hidrolika air tanah. Akibatnya, mata air di Bandung
Utara misalnya di Ledeng, kini tak bisa lagi menyemburkan air. Padahal sebelum tahun 1970, banyak terdapat mata air di daerah Cihideung, Perkebunan Teh di
Bandung Utara, kaki Gunung Burangrang dan Gunung Tangkuban Parahu.
Penurunan muka air tanah juga menimbulkan dampak lain yang beruntun, berupa penurunan permukaan tanah dan terjadinya kontaminasi antara air
permukaan dan air dangkal terhadap air tanah dalam. Kontaminasi itu terjadi karena adanya interflow antar-akifer. Hal tersebut, berhubungan dengan
pengendalian limbah, baik limbah rumah tangga maupun limbah industri. Kini dalam sumur-sumur dangkal penduduk ditemukan bakteri coli dan disinyalir ada
bakteri nitrit. http:www.pikiran-rakyat.com02051002.htm
3.2.3 Upaya Pemerintah Bandung dalam Mengatasi Prasarana Air Bersih