Pengaruh El Nino dan Dipole Mode di Perairan Barat Sumatera dan Selatan Jawa

Gambar 5. Standar deviasi rata-rata SPL bulanan dari 1981-1999 selama periode Muson Tenggara pada bulan Juni-November. Interval kontur adalah 0,1 o C Susanto et al., 2001

2.2. Pengaruh El Nino dan Dipole Mode di Perairan Barat Sumatera dan Selatan Jawa

Kata El Nino pertama-tama diberikan oleh nelayan Peru pada saat terjadi arus panas yang tampak pada akhir tahun sekitar hari Natal Desember. El Nino mencerminkan proses terjadinya anomali SPL di Pasifik tropis. Pada saat El Nino terjadi, kolam air panas yang biasanya berada di sebelah barat Samudera Pasifik Tropis bergerak menuju bagian timur Samudera Pasifik sehingga terjadi penumpukan massa air yang panas. Pada saat kondisi normal di perairan selatan Samudera Pasifik bagian timur terjadi upwelling, yang menyebabkan SPL menjadi lebih rendah, sebaliknya terjadi pada saat El Nino. Istilah El Nino berkembang menjadi ENSO El Nino Southerm Oscillation. Kata Southerm Oscillation diberikan oleh Sir Gilbert Walker pada tahun 1923 yang mencerminkan pola perubahan tekanan udara di belahan bumi selatan antara Pasifik Tahiti dan di Hindia Darwin saat terjadinya El Nino. Dengan demikian El Nino mencerminkan proses anomali SPL di Pasifik tropis sedangkan Southern Oscillation mencerminkan perubahan tekanan udara antara Tahiti dan Darwin. Pada saat El Nino terjadi, tekanan rendah teramati di Tahiti sedangkan tekanan tinggi terjadi di Darwin. Untuk menyatakan osilasi selatan, digunakan indeks osilasi selatan Southerm Oscillation Index disingkat SOI. Bila selisih tekanan udara permukaan laut di Tahiti dengan Darwin mempunyai selisih negatif yang besar misalnya lebih kecil dari negatif 1.5 maka disebut kejadian El Nino Philander, 1990. Pemahaman proses terjadinya El Nino dapat dijelaskan dengan sistem Angin Pasat normal di Samudera Pasifik Tropis dengan SPL di Pasifik Barat. Seperti disajikan pada Gambar 6, pada kondisi normal, Angin Pasat mendorong massa air permukaan di Samudera Pasifik bagian timur menuju timur Filipina dan Australia membentuk kolam air panas warm pool di Samudera Pasifik bagian barat warna merah pada Gambar 6, dengan SPL dan paras laut yang tinggi 1. Di wilayah warm pool, massa air panas tersebut naik dengan membawa uap air dan melepaskannya sebagai hujan yang lebat 2. Sementara itu di Samudera Pasifik Selatan bagian timur, massa air dingin yang kaya nutrien naik menuju permukaan upwelling sebagai akibat terdorongnya massa air permukaan oleh Angin Pasat ke barat sehingga terjadi kekosongan massa air. Akibatnya di perairan Barat Amerika Selatan thermoklin naik dan terjadi upwelling 3. Pada saat El Nino terjadi Gambar 7 , seluruh sistem di atas melemah dimana Angin Pasat melemah, khususnya di batas barat Samudera Pasifik Tropis sehingga air yang menumpuk di barat kolam air panas akan mengalir berbalik ke timur 1. Wilayah udara-naik bergeser pula ke timur seiring dengan bergesernya kolam panas ke timur 2. Melemahnya Angin Pasat menyebabkan thermoklin semakin dalam di perairan barat Amerika Selatan yang disertai dengan melemahnya upwelling 3. Gambar 6. Sistim Angin Pasat di Samudera Pasifik pada kondisi normal AVISO, 2005 Gambar 7. Sistim angin pasat di Samudera Pasifik pada saat El Nino AVISO, 2005 Kejadian sebaliknya terjadi pada saat La Nina, seperti yang disajikan pada Gambar 8 dimana Angin Pasat menguat sehingga kolam air panas menyusut dan mendinginkan sebagian besar Samudera Pasifik Tropis 1. Konveksi atmosferik terjadi di bagian paling barat Samudera Pasifik dimana hujan lebat terjadi di perairan Indonesia 2. Massa air dingin naik lebih kuat di sepanjang perairan barat Amerika Selatan dan menyebabkan thermoklin lebih dangkal dari kondisi normal 3. Gambar 6. Sistim Angin Pasat di Samudera Pasifik pada saat La Nina AVISO, 2004 El Nino mempunyai dampak terhadap perubahan iklim dan kondisi oseanografi. Dampak negatif El Nino di perairan Peru adalah ambruknya industri perikanan Ancoveta sebagai akibat berhentinya upwelling dan meningkatnya SPL Philander, 1990. Studi mengenai pengaruh El Nino terhadap kondisi oseanografi dan sumberdaya hayati laut di Samudera Hindia masih jarang dilakukan. Meyers 1996, menemukan bahwa pada saat El Nino, SPL di Samudera Hindia bagian timur menurun, kedalaman isotherm 20°C mengalami pendangkalan. pada saat El Nino transport geostrofik lebih lemah dibandingkan pada saat La Nina. Selama terjadi ENSO, ketika anomali angin di Samudera Pasifik ke barat, anomali angin di Samudera Hindia adalah ke timur. Pola angin konsisten dengan anomali divergen lapisan permukaan laut di Indonesia. Pertukaran angin tenggara di atas Samudera Hindia pada lintang 15° LS hingga 20° LS melemah selama ENSO, konsisten dengan tekanan barometrik yang lebih tinggi di atas Australia dengan khatulistiwa Meyers, 1996. Menurut Bray et al. 1996, pada saat El Nino di perairan Indonesia bagian timur, tinggi paras laut menurun, thermoklin meningkat, dan upwelling menguat. Korelasi antara tinggi paras laut dengan kedalaman thermoklin cukup kuat dan signifikan baik di luar dan di daerah sekitar ARLINDO. Sebaran klorofil-a dari satelit SeaWifs, dapat mendukung penjelasan mengapa upwelling lebih intensif pada saat periode El Nino daripada periode La Nina Susanto dan Gordon, 2001. Pada Gambar 9, menunjukkan sebaran klorofil-a yang tinggi di sekitar perairan barat Sumatera dan selatan Jawa pada periode El Nino bulan November 1997, sedangkan pada periode La Nina bulan November 1998 sebaran klorofil di wilayah itu rendah. Gambar 9. Sebaran konsentrasi klorofil-a di wilayah perairan Indonesia pada bulan November 1997 El Nino a dan November 1998 La Nina b Pada tahun 1994 terjadi anomali SPL di Lautan Hindia Behera et al., 1999 dan berdasarkan penelitian lebih lanjut ditemukan bahwa fenomena yang tidak a b lazim ini terjadi juga pada tahun 1997 dan disebut Indian Ocean Dipole Mode IODM. Disebut dipole mode DM karena pada saat kejadian ini terbentuk dua kutub anomali SPL, antara perairan barat Sumatera dan selatan Jawa dengan perairan Pantai Afrika bagian timur. Pada saat terjadinya IODM, SPL di perairan barat Sumatera dan selatan Jawa sangat rendah dan SPL di Afrika sangat tinggi. Untuk mengetahui terjadinya IODM dibuat suatu indeks yang disebut dengan dipole mode index DMI. Jika DMI positif, SPL di Samudera Hindia bagian timur menjadi rendah sebaliknya terjadi di perairan Afrika. Fenomena ini mirip dengan fenomena ENSO di Lautan Pasifik, namun kejadian IODM merupakan kejadian independen dari kejadian ENSO. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya korelasi antara DMI dengan anomali SPL Nino3 yang lemah 0,35 Webster et al., 1999; Saji et al., 1999. Proses perkembangan IODM tertera pada Gambar 10. Anomali SPL pertama-tama terlihat di sekitar selat Lombok pada bulan Mei-Juni dengan kecepatan angin yang moderat. Periode Juli-Agustus anomali SPL dingin semakin intensif bergeser sepanjang garis pantai Indonesia sebagai akibat dari proses upwelling, sementara di bagian barat Samudera Hindia SPL semakin meningkat. Puncak IODM terjadi pada periode September-Oktober dimana anomali kecepatan angin mencapai puncaknya, upwelling sepanjang selatan Jawa dan Barat Sumatera makin intensif, sehingga kutub SPL dingin dan panas semakin jelas terlihat. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Saji et al. 1999, kejadian IODM pada periode tahun 1958 hingga 1998, terjadi sebanyak enam kali yaitu pada tahun 1961, 1967, 1972, 1982, 1994 dan 1997. Gambar 10. Perkembangan kejadian Indian Ocean Dipole Mode a-d. Evolusi komposit SPL dan anomali kecepatan angin dari Mei-Juni a sampai November-Desember d Saji et al., 1999 .

2.2. Sensor Satelit Untuk Mengukur Parameter Oseanografi