TAP.COM - KARAKTER FISIK OSEANOGRAFI DI PERAIRAN ... - IPB REPOSITORY

KARAKTER FISIK OSEANOGRAFI DI PERAIRAN BARAT
SUMATERA DAN SELATAN JAWA-SUMBAWA DARI DATA
SATELIT MULTI SENSOR

Oleh :
MUKTI DONO WILOPO
C06400080

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2005

RINGKASAN
MUKTI DONO WILOPO. C06400080. Karakter Fisik Oseanografi di Perairan
Barat Sumatera dan Selatan Jawa-Sumbawa Dari Data Satelit Multi Sensor.
Dibimbing Oleh MULIA PURBA dan AGUS SOLEH ATMADIPOERA
Penyediaan data satelit menjadi salah satu alternatif untuk mengkaji karakter
oseanografi di suatu wilayah. Dari data tersebut dapat dikaji fenomenafenomena oseanografi seperti upwelling dan front. Pemilihan wilayah perairan
barat Sumatera dan selatan Jawa-Sumbawa dipengaruhi oleh sistem angin
muson (Wyrtki, 1961; Purba et al., 1997), serta dipengaruhi oleh Arus Lintas

Indonesia (ARLINDO) dan perubahan iklim global seperti El Nino dan Indian
Ocean Dipole Mode (Meyers, 1996; Saji et al., 1999; Shinoda, 2004).
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji variasi karakter oseanografis yaitu
suhu permukaan laut (SPL) dan tinggi paras laut secara spasial dan temporal
serta menganalisis angin sebagai parameter yang dapat mempengaruhi variasi
karakter oseanografi.
Data yang digunakan adalah data angin harian dari ECMWF (European
Center for Medium Range Weather Forecast), data suhu permukaan laut (SPL)
mingguan dari NCEP (National Climate and Environment Prediction) dan data
anomali tinggi paras laut (TPL) mingguan dari AVISO. Seluruh data memiliki
periode dari tahun 1993-2002.
Untuk melihat variasi spasial angin, SPL dan anomali TPL dilakukan
analisis distribusi horizontal. Untuk melihat fluktuasi setiap parameter maka
dicari densitas energi spektrumnya. Hubungan antara angin dengan SPL dan
anomali TPL dicari dengan metode spektrum silang untuk memperoleh nilai
koherensi dan beda fase.
Secara urnum kondisi angin yang terjadi di perairan barat Sumatera dan
selatan Jawa dipengaruhi oleh Sistim Muson dimana terjadi pergantian pola
perubahan kecepatan angin tinggi dan rendah dalam satu tahun. Distribusi
horizontal suhu bulanan menunjukkan bahwa SPL mencapai nilai terendah di

Musim Timur di wilayah perairan Selatan Jawa-Sumbawa.
Hal tersebut
disebabkan oleh terjadinya upwelling yang intensif akibat bertiupnya Angin Muson
Tenggara di perairan selatan Jawa, melebarnya poros AKS dan hilangnya Arus
Pantai Jawa. SPL mencapai 25° C-27,5° C pada Musim Timur di Selatan Jawa.
Pada Musim Tirnur saat bertiup kuat Angin Muson Timur, kemungkinan terjadi
Transpor Ekman yang membawa serta air permukaan menjauhi Pantai Selatan
Jawa, maka akan terjadi kekosongan (anomali TPL-nya rendah) yang berakibat
naiknya air dari bawah menuju ke permukaan (upwelling). Hal ini konsisten dengan
terjadinya SPL yang rendah pada periode dan daerah yang sama sehingga dapat
disimpulkan bahwa upwelling yang intensif terjadi pada Musim timur di wilayah
perairan Selatan Jawa.
Pada periode EI Nino dan IODM tahun 1994 dan 1997 upwelling yang
terjadi lebih intensif daripada tahun-tahun lainnya.
Auto Spectral Analysis (ASPEC) menghasilkan adanya spektrum energi
angin berkisar pada periode periode 51,6 minggu (tahunan) dan 25,8 minggu
(semi tahunan) yang merupakan representasi perubahan pola musim yang
berhubungan dengan pergerakan sistem angin muson. SPL di wilayah perairan
selatan Jawa hingga Sumbawa (JAW1-SMB) memperlihatkan sinyal yang nyata
pada periode 25,8 minggu dan 51,6 minggu. Hal ini berarti periodisitas SPL yang

terjadi di wilayah JAW 1 hingga SMB tersebut mengikuti periode tengah tahunan
(intra musiman) dan periode tahunan. Sedangkan di wilayah perairan barat
Sumatera (SMT1 dan SMT2), SPL hanya memperlihatkan periodisitas dominan
pada periode 51,6 minggu atau periodisitasnya mengikuti periode tahunan.

Anomali TPL di wilayah JAW2 hingga SMB menunjukkan sinyal yang nyata pada
periode 25,8 minggu, 51,6 minggu dan 129 minggu, sedangkan wilayah JAW1
menunjukkan sinyal yang nyata pada periode 25,8 minggu, 51,6 minggu, 86
minggu, dan 129 minggu. Sedangkan di perairan barat Sumatera (SMT1-SMT2)
sinyal yang nyata terjadi pada periode 25,8 minggu, 43 minggu, 86 minggu, dan
51,6 minggu.
Analisis
spektrum silang (CSPEC) menunjukkan bahwa hubungan
kecepatan angin komponen zonal dengan SPL lebih kuat daripada komponen
meridional-nya di perairan selatan Jawa (JAW1-SMB). Sedangkan di wilayah
perairan barat Sumatera (SMT1-SMT2) hubungan kecepatan angin komponen
meridional dengan SPL lebih kuat daripada komponen meridional-nya. Sinyal
kecepatan komponen zonal yang berpengaruh kuat terhadap SPL di JAW1
hingga SMB terjadi pada periode 51,6 minggu dimana koherensinya melebihi
0,93 dengan beda fase yang bernilai positif, yang berarti perubahan kecepatan

angin komponen zonal akan diikuti oleh perubahan SPL. Sedangkan di SMT1
sinyal komponen meridional yang berpengaruh kuat terhadap SPL terjadi pada
periode 86,0 dan 129,0 minggu dengan niai koherensi di atas 0,93 dan beda fase
positif, sedangkan di SMT2 terjadi pada periode 51,6 minggu dengan koherensi
0,86 dan beda fase yang positif.
Dari analisis spektrum silang antara angin dengan anomali TPL, dapat
diketahui bahwa angin memiliki hubungan yang kuat terhadap anomali TPL,
dimana perubahan angin dapat mempengaruhi perubahan anomali TPL.
Fluktuasi yang muncul yaitu pada periode 25,8 minggu dan 51,6 minggu,
menunjukkan bahwa angin pada pergantian antara Musim Barat dan Musim
Timur dengan Musim Peralihannya (musiman) serta pergantian Musim Barat
dengan Musim Timur (tahunan) mempengaruhi perubahan anomali TPL.
Sedangkan fluktuasi 86,0 minggu dan 129,0 minggu menunjukkan menunjukkan
perubahan pola angin yang mempengaruhi anomali TPL akibat perubahan iklim
global seperti IODM, El Nino dan La Nina.

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Pemurah, karena
dengan rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat mengerjakan penelitian hingga
menyusun skripsi ini. Penelitian yang berjudul “Karakter Fisik Oseanografi

Perairan Barat Sumatera dan Selatan Jawa-Sumbawa dari Data Satelit Multi
Sensor”, merupakan hasil pengumpulan dan pengolahan data dari beberapa
badan meteorologi dan antariksa dunia.
Tulisan ini berisikan kajian variasi karakter oseanografi yang berhubungan
dengan perubahan ruang dan waktu di perairan selatan Jawa dan barat
Sumatera. Data yang digunakan berasal dari data hasil pengukuran satelit multi
sensor antara lain AVHRR, TOPEX/Poseidon, dan ERS 1/2. Data dianalisis
secara spasial dalam bentuk perataan bulanan selama kurun waktu 10 tahun dari
tahun 1993-2002.
Penelitian ini tidak dapat terlaksana tanpa bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Mulia
Purba, M.Sc, dan Ir. Agus S. Atmadipoera, DESS, sebagai Komisi Pembimbing
atas bimbingan, masukan, kritik dan pengarahan yang sangat berharga,
sehingga tulisan ini dapat diselesaikan. Juga kepada NCEP NOAA (National
Climate and Environment Prediction), ECMWF (European Center for Medium
Range Weather Forecast ) dan CNES (Centre National d’études Spatiales) yang
telah memberi ijin penulis untuk mempergunakan data satelitnya dengan fasilitas
File Transfer Protocol (FTP) dan Live Acces Service (LAS) untuk bahan
penelitian ini secara gratis.
Penulis menyadari keterbatasan yang ada sehingga tulisan ini masih belum

sempurna, oleh karena itu perbaikan dan penelitian selanjutnya masih tetap
diperlukan. Namun demikian penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat
untuk pengembangan kelautan Indonesia.
Bogor, November 2005

Mukti Dono Wilopo

DAFTAR ISI
Halaman

DAFTAR TABEL............................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... x
1. PENDAHULUAN ........................................................................................
1.1. Latar Belakang ......................................................................................
1.2. Tujuan Penelitian..................................................................................

1
1
3


2. TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. 3
2.1. Kondisi Oseanografis Daerah Penelitian .............................................. 3
2.2. Pengaruh El Nino dan Dipole Mode di Perairan Barat
Sumatera dan Selatan Jawa ................................................................. 10
2.3. Sensor Satelit Untuk Mengukur Parameter Oseanografi ...................... 16
3. METODE PENELITIAN ..............................................................................
22
3.1. Waktu dan Tempat ................................................................................
3.2. Perolehan dan Pengolahan Data ..........................................................
3.3. Analisis Data ..........................................................................................
3.3.1. Analisis Spasial............................................................................
3.3.2. Analisis Deret Waktu ...................................................................
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................
4.1. Angin ......................................................................................................
4.1.1. Distribusi Horizontal Angin ..........................................................
4.1.2. Variabilitas Spasial –Temporal Angin .........................................
4.2. Suhu Permukaan Laut ...........................................................................
4.2.1. Distribusi Horizontal Suhu Permukaan Laut ...............................
4.2.2. Sebaran Spasial –Temporal SPL ................................................

4.3. Anomali Tinggi Paras Laut ....................................................................
4.3.1. Distribusi Horizontal Anomali TPL ...............................................
4.3.2. Sebaran Spasial –Temporal Anomali TPL ..................................
4.4. Energi Spektrum Angin, SPL , dan Anomali TPL..................................
4.4.1. Energi Spektrum Angin................................................................
4.4.2. Energi Spektrum Suhu Permukaan Laut .....................................
4.4.3. Energi Spektrum Anomali TPL ....................................................
4.5. Spektrum silang antara angin dengan SPL dan Anomali TPL.............
63
4.5.1. Angin Dengan SPL ......................................................................
4.5.2. Angin Dengan Anomali TPL ........................................................

22
23
27
27
28
32
32
32

36
39
39
46
50
50
53
56
56
59
61
63
65

5. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................
67
5.1. Kesimpulan ............................................................................................ 67
5.2. Saran...................................................................................................... 69

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................70

LAMPIRAN .........................................................................................................74

DAFTAR TABEL
Tabel

Halaman

1. Kanal yang terdapat pada sensor satelit NOAA/AVHRR................................ 16
2. Perhitungan arah kecepatan angin dengan menggunakan MS-EXCEL
2003 ................................................................................................................ 27
3. Lokasi yang mewakili setiap wilayah penelitian untuk analisis spektrum
energi ............................................................................................................... 30
4. Fluktuasi dengan periodisitas dominan energi spektrum kecepatan angin
komponen zonal dan meridional ...................................................................... 56
5. Fluktuasi dengan periodisitas dominan energi spektrum SPL ....................... 61
6. Fluktuasi dengan periodisitas dominan energi spektrum anomali TPL ......... 63
7. Spektrum silang hubungan antara kecepatan angin komponen zonal
dengan SPL .................................................................................................... 64
8. Spektrum silang hubungan antara kecepatan angin komponen meridional
dengan SPL .................................................................................................... 65

9. Spektrum silang hubungan antara kecepatan angin komponen zonal
dengan anomali TPL ....................................................................................... 66
10. Spektrum silang hubungan antara kecepatan angin komponen meridional
dengan anomali TPL ....................................................................................... 67

DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1. Pola arus pada bulan Agustus (a) dan Februari (b) (Wyrtki, 1961) ................ 5
2. Trek sepanjang Pantai Jawa dan Sumatera (a), profil waktu-bujur tinggi
paras laut sepanjang trek (b), profil bujur-waktu suhu permukaan laut di
sepanjang trek (Susanto et al., 2001) ............................................................ 8
3. Profil melintang suhu terhadap waktu dari data hidrografi dan XBT/MBT
sepanjang Pantai Jawa dan Sumatera (Susanto et al., 2001)........................ 8
4. Gesekan angin rata-rata bulanan dari ERS yang ditumpang tindih dengan
gesekan angin sejajar pantai (alongshore wind stress) yang paralel
dengan perairan barat Sumatera dan selatan Jawa (Susanto et al., 2001) ... 9
5. Standar deviasi rata-rata SPL bulanan dari 1981-1999 selama periode
Muson Tenggara pada bulan Juni- November (Susanto et al., 2001) ............. 10
6. Sistim Angin Pasat di Samudera Pasifik pada kondisi normal (AVISO,
2005).............................................................................................................
. 12
7. Sistim Angin Pasat di Samudera Pasifik pada saat El Nino (AVISO, 2005) .. 12
8. Sistim Angin Pasat di Samudera Pasifik pada saat La Nina (AVISO,
2005)............................................................................................................... 13
9. Sebaran konsentrasi klorofil-a di wilayah perairan Indonesia pada bulan
November 1997 (El Nin) (a) dan November 1998 (La Nina) (b)..................... 14
10. Perkembangan kejadian Indian Ocean Dipole Mode (a-d). Evolusi
komposit SPL dan anomali kecepatan angin dari Mei- Juni (a) sampai
November-Desember (d) (Saji et al., 1999) .................................................... 16
11. Geometri Pengamatan Satelit Altimetri (Modifikasi dari Stewart,
1985 dan Jet Propulsion Laboratory, 2004) .................................................... 20
12. Daerah penelitian yang terbagi menjadi 6 wilayah penelitian yaitu di
perairan barat Sumatera terbagi menjadi Sumatera 1 (SMT1) dan
Sumatera 2 (SMT2) dan di perairan selatan Jawa terbagi menjadi Jawa 1
(JAW1), Jawa 2 (JAW2), Jawa 3 (JAW3), dan Sumbawa (SMB) ................... 23
13. Titik-titik pusat grid data angin dengan ukuran grid 2,5 0x2,5 0 (a), SPL
dengan ukuran grid 1o x1o (b), dan anomali TPL dengan ukuran grid
0,33ox0,33 o (c) .................................................................................................. 25
14. Trek yang digunakan untuk analisis waktu-bujur ............................................ 29
15. Distribusi horizontal angin bulanan rata-rata dari tahun 1993-2002 .............. 33
16. Stick plot kecepatan angin di SUM1 (a), SUM2 (b), JAW1 (c),
JAW2 (d), JAW3 (e), dan SMB (f) dari tahun 1993-2002................................ 34
17. Trek sepanjang perairan barat Sumatera dan Selatan Jawa. Profil waktubujur sepanjang trek kecepatan angin (a), kecepatan angin komponen
timur-barat (b), dan kecepatan angin komponen utara- selatan dari tahun
1993-2002. Garis utuh menunjukkan arah timur(utara) dan garis putus-

putus menunjukkan arah barat (selatan) pada komponen timur-barat
(utara-selatan) ................................................................................................. 37
18. Distribusi horizontal SPL bulanan rata-rata dari tahun 1993-2002................. 40
19. Standar deviasi SPL bulanan dari tahun 1993-2002 ...................................... 43
20. Distribusi gesekan angin komponen timur-barat bulanan rata-rata dari
tahun 1993-2000 .............................................................................................. 45
21. Profil bujur-waktu SPL sepanjang trek dari tahun 1993-2002 ........................ 47
22. Data deret waktu SPL di SUM1 (a), SUM2 (b), JAW1 (c), JAW2 (d),
JAW3 (e), dan SMB1 (f) dari tahun 1993-2002............................................... 48
23. Southern Oscillation Index (SOI) dari tahun 1993-2002 ................................. 49
24. Dipole Mode Index (DMI) dari tahun 1993-2002 ............................................. 49
25. Distribusi horizontal anomali TPL bulanan rata-rata dari tahun
1993-2002 ....................................................................................................... 51
26. Profil bujur-waktu anomali TPL sepanjang trek dari tahun 1993-2002 .......... 53
27. Data deret waktu anomali TPL di SUM1 (a), SUM2 (b), JAW1 (c),
JAW2 (d), JAW3 (e), dan SMB (f) dari tahun 1993-2002................................ 55
28. Energi spektrum angin komponen zonal di SMT1 (a), SMT2 (b), JAW1
(c), JAW2 (d), JAW3 (e), dan SMB (f) ........................................................... 57
29. Energi spektrum angin komponen meridional di SMT1 (a), SMT2 (b),
JAW1(c), JAW2 (d), JAW3 (e), dan SMB1 (f) ................................................ 58
30. Energi spektrum SPL di SMT1 (a), SMT2 (b), JAW1 (c), JAW2 (d), JAW3
(e), dan SMB1 (f) ............................................................................................ 60
31. Energi spektrum anomali TPL di SMT1 (a), SMT2 (b), JAW1 (c), JAW2
(d), JAW3 (e), dan SMB1 (f) ........................................................................... 62

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1. Pola Arus di Perairan Indonesia (Wyrtki, 1961) .............................................. 73
2. Spektrum silang (a), koherensi (b), dan beda fase (c) hubungan angin
komponen timur-barat dengan SPL (i) dan angin komponen utara-selatan
dengan SPL (ii) di SMT1 ............................................................................... 76
3. Spektrum silang (a), koherensi (b), dan beda fase (c) hubungan angin
komponen timur-barat dengan SPL (i) dan angin komponen utara-selatan
dengan SPL (ii) di SMT2 ............................................................................... 77
4. Spektrum silang (a), koherensi (b), dan beda fase (c) hubungan angin
komponen timur-barat dengan SPL (i) dan angin komponen utara-selatan
dengan SPL (ii) di JAW1 ............................................................................... 78
5. Spektrum silang (a), koherensi (b), dan beda fase (c) hubungan angin
komponen timur-barat dengan SPL (i) dan angin komponen utara-selatan
dengan SPL (ii) di JAW2 ............................................................................... 79
6. Spektrum silang (a), koherensi (b), dan beda fase (c) hubungan angin
komponen timur-barat dengan SPL (i) dan angin komponen utara-selatan
dengan SPL (ii) di JAW3 ............................................................................... 80
7. Spektrum silang (a), koherensi (b), dan beda fase (c) hubungan angin
komponen timur-barat dengan SPL (i) dan angin komponen utara-selatan
dengan SPL (ii) di SMB ................................................................................. 81
8. Spektrum silang (a), koherensi (b), dan beda fase (c) hubungan angin
komponen timur-barat dengan anomali TPL (i) dan angin komponen utaraselatan dengan anomali TPL (ii) di SMT1 .................................................... 82
9. Spektrum silang (a), koherensi (b), dan beda fase (c) hubungan angin
komponen timur-barat dengan anomali TPL (i) dan angin komponen utaraselatan dengan anomali TPL (ii) di SMT2 .................................................... 83
10. Spektrum silang (a), koherensi (b), dan beda fase (c) hubungan angin
komponen timur-barat dengan anomali TPL (i) dan angin komponen utaraselatan dengan anomali TPL (ii) di JAW1 .................................................... 84
11. Spektrum silang (a), koherensi (b), dan beda fase (c) hubungan angin
komponen timur-barat dengan anomali TPL (i) dan angin komponen utaraselatan dengan anomali TPL (ii) di JAW2 .................................................... 85
12. Spektrum silang (a), koherensi (b), dan beda fase (c) hubungan angin
komponen timur-barat dengan anomali TPL (i) dan angin komponen utaraselatan dengan anomali TPL (ii) di JAW3 .................................................... 86
13. Spektrum silang (a), koherensi (b), dan beda fase (c) hubungan angin
komponen timur-barat dengan anomali TPL (i) dan angin komponen utaraselatan dengan anomali TPL (ii) di SMB ....................................................... 87

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Beberapa parameter untuk menggambarkan karakteristik oseanografi di
suatu wilayah perairan dapat diukur melalui dua cara. Cara pertama adalah
mengukur langsung parameter oseanografi di laut misalnya dengan survei kapal
atau dengan menempatkan instrumen/alat ukur pada beberapa lokasi perairan
(mooring, tide gauge dan lain-lain). Cara kedua adalah menggunakan teknologi
penginderaan jarak jauh. Kendala pada pengukuran langsung dengan kapal
adalah biaya operasionalnya yang relatif tinggi, sehingga data yang
berkesinambungan sulit didapatkan.
Dewasa ini penyediaan data dengan menggunakan teknologi penginderaan
jarak jauh dipenuhi dengan menggunakan satelit multi sensor. Data satelit multi
sensor menjadi metode komplemen yang dapat dimanfaatkan untuk
memperoleh data kondisi oseanografis suatu wilayah perairan. Teknologi ini
memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan pengukuran langsung yaitu
untuk memperoleh data yang kita inginkan, membutuhkan waktu yang relatif
singkat dan perolehan datanya mencakup wilayah yang sangat luas serta data
dapat diperoleh secara berkesinambungan dalam periode waktu tertentu.
Beberapa sensor satelit yang dapat dimanfaatkan untuk bidang kelautan
antara lain sensor satelit Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR),
sensor altimeter Topography Experiment (TOPEX)/POSEIDON, sensor
scatterometer European Research Satellite (ERS) 1 dan 2. Data yang diperoleh
dari sensor satelit tersebut adalah data suhu permukaan laut, tinggi paras laut,
arus, dan angin permukaan laut.

Menurut Purba (1992) data suhu yang dihasilkan dari hasil pengolahan citra
satelit dapat diaplikasikan untuk kelautan atau oseanografi, baik secara visual
maupun secara digital. Variasi suhu permukaan laut dapat digunakan untuk
melihat proses-proses fisik seperti upwelling (penaikan massa air dari lapisan
dalam ke lapisan yang lebih atas), divergen, konvergen, oceanic front
(pertemuan dua massa air yang berbeda suhunya), dan sebagainya. Daerahdaerah tersebut dapat memberi petunjuk tentang tingkat kesuburan suatu
perairan. Proses-proses tersebut sangat bermanfaat untuk peningkatan
pemanfaatan sumber daya hayati perairan tersebut. Dengan demikian teknologi
penginderaan jauh dengan sensor satelit dapat dimanfaatkan untuk tujuan
tersebut.
Pada penelitian ini hanya dibatasi pada pemanfaatan data satelit untuk
mengkaji karakter oseanografis dengan mengkaji pola distribusi suhu permukaan
laut, tinggi paras laut secara spasial dan temporal dari data satelit serta
pengaruh angin terhadap parameter-parameter tersebut.

1.2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
1. mengkaji variasi karakter oseanografis yaitu suhu permukaan laut (SPL) dan
tinggi paras laut secara spasial dan temporal
2. menganalisis angin sebagai parameter yang dapat mempengaruhi variasi
karakter oseanografi

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kondisi Oseanografi Daerah Penelitian
Wilayah perairan barat Sumatera dan selatan Jawa merupakan perairan yang
unik karena letak geografisnya yang terletak di antara benua Asia dan Australia.
Di wilayah ini terjadi suatu sistem pola angin yang disebut sistem angin muson
Australia-Asia. Terjadinya angin muson ini karena terjadi perbedaan tekanan
udara antara massa Benua Asia dan Australia. Pada bulan Desember-Februari
di belahan bumi utara terjadi musim dingin sedangkan di belahan bumi selatan
terjadi musim panas sehingga terjadi pusat tekanan tinggi di Benua Asia dan
pusat tekanan rendah di Benua Australia. Hal ini menyebabkan angin
berhembus dari Benua Asia menuju ke Australia. Angin ini pada wilayah selatan
katulistiwa dikenal sebagai Angin Muson Barat Laut (Northwest Monsoon).
Sebaliknya pada bulan Juli-Agustus berhembus Angin Muson Tenggara
(Southeast Monsoon) (Wyrtki, 1961).
Perubahan pola angin muson tersebut menyebabkan di wilayah tersebut
dikenal dua pola musim yaitu Musim Timur pada saat terjadi Angin Muson
Tenggara dan Musim Barat pada saat bertiup Angin Muson Barat Laut. Selain
kedua sistem muson tersebut, ada pula musim transisi yang dikenal juga dengan
Musim Peralihan. Musim Peralihan I terjadi pada bulan Maret sampai Mei dan
Musim Peralihan II terjadi pada bulan September sampai November. Musim
Peralihan I adalah periode saat Muson Barat Laut hendak digantikan oleh Muson
Tenggara, dan Musim Peralihan II adalah periode saat Muson Tenggara hendak
digantikan oleh Muson Barat Laut (Prawirowardoyo, 1996). Pada periode transisi
ini arah angin sudah tidak menentu dan kekuatan angin pada umumnya lemah.

Adanya pergantian arah muson dua kali dalam setahun dan mencapai
puncaknya pada bulan-bulan tertentu menyebabkan pola sirkulasi massa air di
lautan juga turut berubah arah. Perubahan arah ini menjadi ciri sirkulasi massa
air di perairan Indonesia dan sekitarnya (Wyrtki, 1961).
Letak geografis perairan selatan Jawa dan barat Sumatera yang berada pada
sistem angin muson menyebabkan kondisi oseanografis perairan ini dipengaruhi
sistem angin muson itu (Wyrtki, 1961; Purba et al., 1997), serta dipengaruhi oleh
perubahan iklim global seperti El Nino dan Indian Ocean Dipole Mode (Meyers,
1996; Saji et al., 1999; Shinoda, 2004). Selain itu perairan selatan Jawa juga
dipengaruhi oleh aliran massa air yang masuk dari Samudera Pasifik Tropis
Barat (5 o LU) melalui perairan Indonesia ke Samudera Hindia (12o LS) yang
dikenal dengan Indonesian Throughflow (ITF) atau Arus Lintas Indonesia
(ARLINDO), (Bray et al., 1996; Godfrey, 1996; Ffield et al., 2000; Gordon et al.,
2003),
Arus Katulistiwa Selatan (AKS) atau South Equatorial Current (SEC) sebagai
bagian dari gyre Samudera Hindia yang terbentuk di daerah antara Pantai
Selatan Jawa dan Pantai Barat Laut Australia pada umumnya mengalir ke arah
barat. Arus permukaan ini menyebar dari barat laut Australia, antara 10 o - 20 o LS
hingga ke arah barat Samudera Hindia mencapai Madagaskar (Purba et al.,
1992).
Pada Musim Timur, ketika berhembus kuat Angin Muson Tenggara, AKS
melebar ke utara melebihi 10º LS dan bergerak dari Sumbawa hingga sepanjang
pantai selatan Jawa, kemudian berbelok ke arah barat daya (Gambar 1.a).
Selama bertiupnya Angin Muson Tenggara yang terjadi di selatan Jawa dimulai
sekitar bulan Mei dan berakhir sekitar September menyebabkan terjadinya
upwelling. Angin Muson Tenggara yang bertiup dari tenggara ke arah barat laut
menyebabkan terjadinya Transpor Ekman yang mengarah menjauhi Pantai

Selatan Jawa, maka akan terjadi kekosongan yang berakibat naiknya air
(upwelling) dari bawah menuju ke lapisan permukaan (Wyrtki, 1962; Purba et al.,
1992). Transpor Ekman menyebabkan air laut di lapisan permukaan bergerak
menjauhi pantai sehingga terbentuk suatu kondisi dimana tinggi muka air di sisi
pantai lebih rendah dib andingkan dengan muka air di lepas pantai. Karena angin
bertiup terus menerus, menyebabkan terbentuknya ‘ruang kosong’ di sisi pantai
dan terbentuk gradien tekanan. Menurut Pond dan Pickard (1983) akibat adanya
gradien tekanan tersebut maka massa air akan berupaya menuju keseimbangan,

(a)

(b)
Gambar 1. Pola arus pada bulan Agustus (a) dan Februari (b) (Wyrtki, 1961)
sehingga massa air dari lapisan dalam ini bergerak ke arah pantai, khususnya
massa air dari lapisan dalam. Massa air dari lapisan dalam ini bergerak ke arah
pantai mengikuti lereng dasar laut menuju ke arah permukaan dan menimbulkan
upwelling. Secara teoritis Transpor Ekman mengarah 90o ke kiri dari arah angin
di belahan bumi selatan dan sebaliknya pada belahan bumi selatan (Stewart,
2003).
Pada sekitar bulan November, poros AKS berangsur-angsur bergerak ke
arah selatan dan sepanjang pantai selatan Jawa terbentuk Arus Pantai Jawa
(APJ) dengan arah ke timur. APJ mula-mula terbentuk akibat Arus Sakal
Katulistiwa Samudera Hindia (Equatorial Counter Current) yang datang menuju
perairan barat Sumatera di sekitar ekuator. Kemudian arus ini berbelok ke
tenggara menyusuri pesisir barat Sumatera dan menuju ke pantai selatan Jawa.
APJ berkembang hingga bulan Juni. Batas antara APJ dan AKS berada di
lintang 10o LS, yang berarti APJ melebar sampai sekitar 90 mil dari pantai
(Schott, 1942 dalam Purba et al. , 1992; Soeriaatmadja, 1957 dalam Purba et al.,
1992; Wyrtki, 1962; Nontji, 1993; Purba et al., 1995). Pola APJ pada bulan

Februari disajikan pada Gambar 1.b. Pada Musim Barat, AKS mulai terdesak ke
selatan oleh APJ yang bergerak di sepanjang selatan pantai Jawa ke arah timur.
Penelitian Soeriaatmadja (1957) dalam Purba et al. (1992) menyebutkan
adanya kemungkinan proses air naik (upwelling) di perairan selatan Jawa pada
saat Musim Barat. Disebutkan bahwa upwelling tersebut terjadi pada jarak
sekitar 90 mil dari pantai selatan Jawa dan diperkirakan terjadi pada daerah
perte muan antara APJ yang mengarah ke timur dengan AKS yang menuju ke
barat. Pada sisi pertemuan kedua sistim arus tersebut, sebagian APJ ikut
berbelok ke barat mengikuti AKS. Sebagai akibat adanya divergens pada sisi
dari kedua arus ini, terjadi kekosongan massa air di permukaan yang diisi oleh
massa air dari bawah (upwelling).
Adanya pendapat antara Soriaatmadja (1957) dan Wyrtki (1962) tersebut
menimbulkan kemungkinan bahwa proses upwelling terjadi pada kedua musim
namun dengan penyebab yang berbeda. Di duga proses upwelling yang terjadi
pada Musim Timur seperti yang dikemukakan oleh Wyrtki (1962) disebabkan
oleh Angin Muson Tenggara, sedangkan upwelling yang terjadi pada Musim
Barat seperti yang dikemukakan oleh Soriaatmadja (1957) disebabkan oleh
proses penyebaran (divergens) dengan intensitas yang lebih rendah daripada
yang disebabkan oleh angin. Dapat dikemukakan bahwa upwelling di sekitar
perairan Selatan Jawa selain terjadi akibat mekanisme Ekman pump pada saat
bertiupnya Angin Muson Tenggara, juga disebabkan oleh mekanisme divergens
(Purba et al., 1992).
Berdasarkan penelitian Pariwono et al. (1988), lokasi upwelling terjadi persis
pada daerah pantai yaitu di daerah perbatasan paparan benua (continental shelf)
dengan laut dalam yang berlangsung pada akhir Musim Timur (OktoberNovember), sedangkan Wyrtki (1962) menyatakan lokasi upwelling berada di
lepas pantai selatan Jawa. Perbedaan pendekatan mengenai lokasi upwelling

tersebut dikarenakan bukti-bukti yang disajikan Pariwono et al. (1988)
menunjukkan distribusi parameter oseanografi pada kedalaman 0-50 m.
sedangkan Wyrtki (1962) menunjukkan bukti adanya proses upwelling dengan
melihat distribusi horizontal parameter oseanografi pada kedalaman 200 meter
(Purba et al., 1992). Hal itu menunjukkan bahwa upwelling yang diteliti oleh
Wyrtki (1962) tidak selamanya sampai ke lapisan permukaan dan Wyrtki (1962)
tidak meneliti distribusi suhu permukaan laut (SPL) seperti halnya Pariwono et al.
(1988).
Berdasarkan penelitian Susanto et al. (2001), dari data SPL dan anomali
tinggi paras laut (TPL) sepanjang pantai selatan Jawa hingga barat Sumatera,
sebaran angin, dan struktur suhu, terungkap bahwa upwelling terjadi pada bulan
Juni-Oktober dengan SPL yang dingin dan tinggi paras laut yang lebih rendah
(Gambar 2, Gambar 3 dan Gambar 4).

Gambar 2. Trek sepanjang Pantai Jawa dan Sumatera (a), profil waktu-bujur
tinggi paras laut sepanjang trek (b), profil bujur-waktu suhu
permukaan laut sepanjang trek (Susanto et al., 2001)

Gambar 3. Profil melintang suhu terhadap waktu dari data hidrografi dan
XBT/MBT sepanjang Pantai Jawa dan Sumatera (Susanto et al.,
2001)

Gambar 4. Gesekan angin rata-rata bulanan dari ERS yang ditumpang tindih
dengan gesekan angin sejajar pantai (alongshore wind stress) yang
paralel dengan perairan barat Sumatera dan selatan Jawa. Interval
kontur gesekan angin sejajar pantai adalah 0,01 N/m2. Skala panah
gesekan angin adalah 0,1 N/m2.

Standar deviasi SPL bulanan rata-rata di daerah sepanjang pantai selatan
Jawa dan barat Sumatera tersebut, menunjukkan variabilitas yang tinggi dan
disimpulkan bahwa daerah dengan standar deviasi SPL yang tinggi berasosiasi
dengan pusat upwelling. Pusat upwelling dengan standar deviasi SPL yang
tinggi bergerak ke arah barat dan menuju ke ekuator selama Muson Tenggara
(Juni-Oktober) (Gambar 5). Alur perpindahan ini tergantung pada perkembangan
kondisi angin secara musiman dan perubahan lintang yang mempengaruhi
parameter Coriolis, dimana pusat upwelling ini konsisten dengan alur
perpindahan angin sejajar pantai (alongshore wind) yang intensif. Upwelling
berakhir berkaitan dengan pembalikan arah angin pada Muson Barat Laut dan
pengaruh datangnya gelombang Kelvin.

Gambar 5. Standar deviasi rata-rata SPL bulanan dari 1981-1999 selama
periode Muson Tenggara pada bulan Juni-November. Interval
kontur adalah 0,1o C (Susanto et al., 2001)
2.2. Pengaruh El Nino dan Dipole Mode di Perairan Barat Sumatera dan
Selatan Jawa
Kata El Nino pertama -tama diberikan oleh nelayan Peru pada saat terjadi
arus panas yang tampak pada akhir tahun sekitar hari Natal (Desember). El
Nino mencerminkan proses terjadinya anomali SPL di Pasifik tropis. Pada saat
El Nino terjadi, kolam air panas yang biasanya berada di sebelah barat
Samudera Pasifik Tropis bergerak menuju bagian timur Samudera Pasifik
sehingga terjadi penumpukan massa air yang panas. Pada saat kondisi normal
di perairan selatan Samudera Pasifik bagian timur terjadi upwelling, yang
menyebabkan SPL menjadi lebih rendah, sebaliknya terjadi pada saat El Nino.
Istilah El Nino berkembang menjadi ENSO (El Nino Southerm Oscillation).
Kata Southerm Oscillation diberikan oleh Sir Gilbert Walker pada tahun 1923
yang mencerminkan pola perubahan tekanan udara di belahan bumi selatan
antara Pasifik (Tahiti) dan di Hindia (Darwin) saat terjadinya El Nino. Dengan

demikian El Nino mencerminkan proses anomali SPL di Pasifik tropis sedangkan
Southern Oscillation mencerminkan perubahan tekanan udara antara Tahiti dan
Darwin. Pada saat El Nino terjadi, tekanan rendah teramati di Tahiti sedangkan
tekanan tinggi terjadi di Darwin. Untuk menyatakan osilasi selatan, digunakan
indeks osilasi selatan (Southerm Oscillation Index disingkat SOI). Bila selisih
tekanan udara permukaan laut di Tahiti dengan Darwin mempunyai selisih
negatif yang besar misalnya lebih kecil dari negatif 1.5 maka disebut kejadian El
Nino (Philander, 1990).
Pemahaman proses terjadinya El Nino dapat dijelaskan dengan sistem Angin
Pasat normal di Samudera Pasifik Tropis dengan SPL di Pasifik Barat. Seperti
disajikan pada Gambar 6, pada kondisi normal, Angin Pasat mendorong massa
air permukaan di Samudera Pasifik bagian timur menuju timur Filipina dan
Australia membentuk kolam air panas ( warm pool) di Samudera Pasifik bagian
barat (warna merah pada Gambar 6), dengan SPL dan paras laut yang tinggi (1).
Di wilayah warm pool, massa air panas tersebut naik dengan membawa uap air
dan melepaskannya sebagai hujan yang lebat (2). Sementara itu di Samudera
Pasifik Selatan bagian timur, massa air dingin yang kaya nutrien naik menuju
permukaan ( upwelling) sebagai akibat terdorongnya massa air permukaan oleh
Angin Pasat ke barat sehingga terjadi kekosongan massa air. Akibatnya di
perairan Barat Amerika Selatan thermoklin naik dan terjadi upwelling (3).
Pada saat El Nino terjadi (Gambar 7) , seluruh sistem di atas melemah
dimana Angin Pasat melemah, khususnya di batas barat Samudera Pasifik
Tropis sehingga air yang menumpuk di barat (kolam air panas) akan mengalir
berbalik ke timur (1). Wilayah udara-naik bergeser pula ke timur seiring dengan
bergesernya kolam panas ke timur (2). Melemahnya Angin Pasat menyebabkan
thermoklin semakin dalam di perairan barat Amerika Selatan yang disertai
dengan melemahnya upwelling (3).

Gambar 6. Sistim Angin Pasat di Samudera Pasifik pada kondisi normal
(AVISO, 2005)

Gambar 7. Sistim angin pasat di Samudera Pasifik pada saat El Nino
(AVISO, 2005)

Kejadian sebaliknya terjadi pada saat La Nina, seperti yang disajikan
pada Gambar 8 dimana Angin Pasat menguat sehingga kolam air panas
menyus ut dan mendinginkan sebagian besar Samudera Pasifik Tropis (1).
Konveksi atmosferik terjadi di bagian paling barat Samudera Pasifik dimana
hujan lebat terjadi di perairan Indonesia (2). Massa air dingin naik lebih kuat di
sepanjang perairan barat Amerika Selatan dan menyebabkan thermoklin lebih
dangkal dari kondisi normal (3).

Gambar 6. Sistim Angin Pasat di Samudera Pasifik pada saat La Nina
(AVISO, 2004)
El Nino mempunyai dampak terhadap perubahan iklim dan kondisi
oseanografi. Dampak negatif El Nino di perairan Peru adalah ambruknya industri
perikanan Ancoveta sebagai akibat berhentinya upwelling dan meningkatnya
SPL (Philander, 1990). Studi mengenai pengaruh El Nino terhadap kondisi
oseanografi dan sumberdaya hayati laut di Samudera Hindia masih jarang
dilakukan. Meyers (1996), menemukan bahwa pada saat El Nino, SPL di
Samudera Hindia bagian timur menurun, kedalaman isotherm 20°C mengalami
pendangkalan. pada saat El Nino transport geostrofik lebih lemah dibandingkan
pada saat La Nina.
Selama terjadi ENSO, ketika anomali angin di Samudera Pasifik ke barat,
anomali angin di Samudera Hindia adalah ke timur. Pola angin konsisten
dengan anomali divergen lapisan permukaan laut di Indonesia. Pertukaran angin
tenggara di atas Samudera Hindia pada lintang 15° LS hingga 20° LS melemah
selama ENSO, konsisten dengan tekanan barometrik yang lebih tinggi di atas
Australia dengan khatulistiwa (Meyers, 1996).
Menurut Bray et al. (1996), pada saat El Nino di perairan Indonesia bagian
timur, tinggi paras laut menurun, thermoklin meningkat, dan upwelling menguat.

Korelasi antara tinggi paras laut dengan kedalaman thermoklin cukup kuat dan
signifikan baik di luar dan di daerah sekitar ARLINDO.
Sebaran klorofil-a dari satelit SeaWifs, dapat mendukung penjelasan
mengapa upwelling lebih intensif pada saat periode El Nino daripada periode La
Nina (Susanto dan Gordon, 2001). Pada Gambar 9, menunjukkan sebaran
klorofil-a yang tinggi di sekitar perairan barat Sumatera dan selatan Jawa pada
periode El Nino (bulan November 1997), sedangkan pada periode La Nina (bulan
November 1998) sebaran klorofil di wilayah itu rendah.

(a)

(b)

Gambar 9. Sebaran konsentrasi klorofil-a di wilayah perairan Indonesia pada
bulan November 1997 ( El Nino) (a) dan November 1998 (La Nina) (b)
Pada tahun 1994 terjadi anomali SPL di Lautan Hindia (Behera et al., 1999)
dan berdasarkan penelitian lebih lanjut ditemukan bahwa fenomena yang tidak

lazim ini terjadi juga pada tahun 1997 dan disebut Indian Ocean Dipole Mode
(IODM). Disebut dipole mode (DM) karena pada saat kejadian ini terbentuk dua
kutub anomali SPL, antara perairan barat Sumatera dan selatan Jawa dengan
perairan Pantai Afrika bagian timur. Pada saat terjadinya IODM, SPL di perairan
barat Sumatera dan selatan Jawa sangat rendah dan SPL di Afrika sangat tinggi.
Untuk mengetahui terjadinya IODM dibuat suatu indeks yang disebut dengan
dipole mode index (DMI). Jika DMI positif, SPL di Samudera Hindia bagian timur
menjadi rendah sebaliknya terjadi di perairan Afrika. Fenomena ini mirip dengan
fenomena ENSO di Lautan Pasifik, namun kejadian IODM merupakan kejadian
independen dari kejadian ENSO. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya korelasi
antara DMI dengan anomali SPL Nino3 yang lemah (