Latar Belakang Masalah Konsep Keragaman Tafsir Ibn Taimiyah Dan Aplikasinya Pada Jihād Fī Sabīlillāh Dalam Konteks Keindonesiaan

6 umat Islam. Konsep keragaman tafsir usungan Ibn Taimiyah akan menjawab tantangan tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang di atas muncul beberapa pertanyaan yang dapat dirumuskan sebagai masalah penelitian sebagai berikut: 1. Apa konsep keragaman tafsir yang digagas‘Ibn Taimiyyah? 2. Apa Implikasi konsep keragaman ini dalam menafsirkan jihād fī sabīlilLāh? 3. Bagaimana aplikasinya dalam konteks keindonesiaan?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berangkat dari latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka ada beberapa hal yang ingin penulis ungkap dalam penelitian ini, yaitu: 1. Tujuan Penelitian a. Mengetahui dan memahami konsep keragaman yang diusung oleh Ibn Taimiyah b. Merekonstruksi makna jihād fī sabīlilLāh sehingga lebih relevan c. Mengajak pembaca untuk mengaplikasikan jihad kehidupan sehari-hari. 2. Kegunaan Penelitian a. Memunculkan tafsir jihad yang relevan dengan tetap menjaga tradisi pemahaman salaf. 7 b. Melahirkan tafsir jihad yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

D. Telaah Pustaka

Muqaddimah fī Uṣūl al-Tafsīr adalah buku yang dinisbahkan kepada Ibn Taimiyah. 12 Awalnya buku ini hanyalah kumpulan paper Ibn Taimiyah mengenai kaidah-kaidah umum untuk memahami al- Qur’an, mengetahui tafsir dan maknanya tanpa ada embel-embel judul Muqaddimah fī Uṣūl al-Tafsīr. Pada tahun 1318 H, Muhammad Jamil al-Sya ṭṭī‘ memberi nama manuskrip ini dengan Muqaddimah fī U ṣūl al-Tafsīr. 13 Musā’id ibn Sulaiman menulis Syarh Muqaddimah fī Uṣūl al-Tafsīr li Ibn Taimiyah. Buku Muqaddimah yang dijadikan rujukan oleh Musā‘id adalah manuskrip yang ada di Dār al-Kutub al-Qawmiyah Mesir. Musā‘id menambahkan judul pembahasan di samping paragraf berdasarkan tema besar paragraf tersebut untuk memudahkan pembaca. Buku ini juga mengomentari dan menguraikan pernyataan yang ada dalam manuskrip Muqaddimah. Namun demikian, ketika menguraikan tema 12 Tidak diketahui secara pasti kapan Ibn Taimiyah 661-728 H menulis Muqaddimah fī Uṣūl al- Tafsīr. Namun berdasarkan data yang ada, diperkirakan beliau menulisnya pada akhir-akhir masa hidupnya. Musâ‘îd ibn Sulaimân ibn Nâshir al-Thayyâr, Syarh Muqaddimah fî Ushûl al-Tafsîr li Ibn Taimiyyah, Cet. II Damâm, Arab Saudi: Dâr Ibn al-Jawzî, 1428 H h. 12-13 13 Ahmad ibn Abdul alīm Ibn Taimiyah 661-728 H, Muqaddimah fî Ushûl al-Tafsîr di-taḥqīq oleh DR ‘Adnān Zarzūr, Cet. II Damaskus: t.p., 1392 H 1972 M h. 23 8 keragaman tafsir, beliau tidak menjelaskan asal usul gagasan ini dan tidak memberikan contoh-contoh diluar yang telah dicontohkan Ibn Taimiyah. 14 Selain menyebutkan dua pola konsep keragaman tafsir menurut Ibn Taimiyah, Musā‘id juga menyebutkan dua pola keragaman tafsir lainnya 15 sehingga totalnya ada empat perbedaan yang disebut oleh Ibn Taimiyah sebagai perbedaan tanawwu‘ atau diterjemahkan dengan keragaman. Pertama adalah berbeda al- ‘ibārah istilah tetapi satu al- musammā red. maksud; Kedua adalah berbeda al-Miṣdāq tetapi derivasi dari satu makna; Ketiga adalah berbeda lafal tetapi berdekatan makna; dan Keempat adalah lafal musytarak dan lafal mutawāṭi‘. Ada hal yang perlu dikritisi dalam klasifikasi konsep keragaman ini. bahwa lafal mutawāṭī‘ yang merupakan klasifikasi keempat memiliki maksud yang sama dengan klasifikasi pertama. Yaitu berbeda al- ‘ibārah istilah tetapi satu al-musammā maksud. Artinya klasifikasi ini tidak tepat, sehingga peneliti sedikit mengubah format klasifikasi dengan menggabungkan lafal mutawāṭi‘ pada klasifikasi pertama. Sehingga klasifikasi keempat hanya membahas lafal musytarak saja. 16 Perbedaan yang kontradiktif داضتلا hampir tidak pernah terjadi dalam khazanah tafsir al- Qur’ân. Perbedaan yang demikian mulai terjadi pasca pembunuhan 14 Musâ‘îd ibn Sulaimân ibn Nâshir al- Thayyâr, Syarh Muqaddimah fî Ushûl al-Tafsîr li Ibn Taimiyyah Cet. II Damâm, Arab Saudi: Dâr Ibn al-Jawzî, 1428 H h. 78 15 Ibid., h. 88 16 Ibid., h. 108 9 Ustmân ibn Affân 35 H 17 sehingga menyebabkan mainstream politik bergulir panas menggerakan perpecahan di kalangan sahabat secara cepat. Muhammad ibn Abdullâh ibn Abdilqadîr Ghabbân al-Shubhî dalam bukunya Fitnah Muqtal ‘Utsmân ibn Affân menyatakan bahwa pembunuhan ini merupakan pembunuhan yang terencana dan terorganisir dengan baik yang bertujuan untuk melemahkan barisan kaum muslimin. Beliau meyakini bahwa orang Yahudi dengan nama Abdullâh ibn Sabâ’ adalah dalang yang melatarbelakangi chaos ini. 18 Pernyataan Ghabbân al-Subhî itu dikuatkan oleh penelitian ulama-ulama lainnya. Seperti Dr. Sulaimân al- ‘Awdah dalam paper-nya yang berjudul ‘Abdullâh ibn Sabâ’ wa Dauruhu fî Isy‘âl al-Fitnah dan Dr. Sa‘dî al-Hâsyimî dalam bukunya yang berjudul ‘Abdullâh ibn Sabâ’ Haqîqah Lâ Khayâl. 19 Muhammad ibn Abdullâh ibn Abdilqadîr Ghabbân al-Shubhî melanjutkan bahwa perpecahan pasca pembunuhan Usman ibn Affan itu berlanjut pada dua peperangan antara para sahabat. Yaitu perang jamal antara kubu ‘Âisyah RA melawan kubu Ali ibn Abî Thâlib, dan perang Shiffin ant ara kubu Mu‘âwiyah ibn Abî Sufyân melawan kubu Alî ibn Abî Thâlib. Kedua perang tersebut berefek buruk pada pertumbuhan berbagai kelompok politik dengan menjadikan ayat-ayat al- Qur’ân sebagai alat justifikasi. Beliau menukil perkataan Imam Ibn Taimiyah bah wa bid‘ah 17 Tepatnya adalah bulan Dzulhijjah tahun 35 H. Para ahli sejarah berbeda pendapat mengenai tanggal dan harinya. Muhammad ibn AbdulLâh ibn AbdulQâdir Ghabbân al-Shubhî, Fitnah Muqtal ‘Usmân ibn Affân RA, Cet. II Madinah, Arab Saudi: ‘Imâdah al-Bahtsi al-‘Ilmî bi al-Jâmi”ah al-Islâmiyah, 1424 H 2003 M h. 235-237 18 Ibid., h. 143 19 Ibid., h. 145-146 10 tidaklah terjadi pada zaman Ustmân ibn ‘Affân RA. Namun pasca meninggalnya beliau, bid‘ah muncul dalam dua bentuk: 1 Bid‘ah al-Khawârij yang mendustai Ali ibn Abî Thâlib; dan 2 Bid‘ah al-Râfidhah yang menuntut keimaman dan kenabian Ali ibn Abî Thâlib. 20 Kitab Muqaddimah fî Ushûl al-Tafsîr menyebutkan contoh tafsir mawdhû‘ berdasar riwayat palsu dari aliran-aliran tersebut, seperti: 1 Tafsir kata hâd داَه dalam QS al- Ra‘du: 7 داَه مْوَق ِل كِلَو adalah “Ali RA”; 2 Tafsir kata udzun ن ذ أ dalam QS al-Hâqqah: 12 ةَيِعاَو ن ذ أ ¹َģَيِعَت adalah “telinga Ali RA”. 21 Abu Muhammad al- Husain ibn Mas‘ûd ibn Muhammad ibn al-Farâ’ al- Baghawî al- Syâfi‘î 510 H, seorang ahli tafsir yang mendapatkan pengakuan baik dari Ibnu Taimiyah 22 , dalam kitabnya Ma‘âlim al-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur’ân berpendapat bahwa kata hâd داَه dalam QS al-Ra‘du: 7 berarti nabi 23 dan kata udzun ن ذ أ dalam QS al-Hâqqah: 12 berarti telinga yang mendengar hal-hal yang datang dari Allah SWT. 24 Ahmad ibn Abdilhalîm Ibn Taimiyyah mencoba menjelaskan perbedaan- perbedaan yang terjadi itu. Munculah sebuah konsep integral yang dapat menjadi acuan untuk membedakan antara penafsiran yang benar dan yang salah. Dalam 20 Ibid., h. 274 21 Ahmad ibn AbdulHalîm Ibn Taimiyyah 661-728 H, Muqaddimah fî Ushûl al-Tafsîr di-tahqîq oleh DR ‘Adnân Zarzûr Damaskus:…, Cet. II, 1392 H 1972 M h. 78 22 Ibid., h. 76 23 Abu Muhammad al- Husain ibn Mas‘ûd ibn Muhammad ibn al-Farâ’ al-Baghawî al-Syâfi‘î 510 H, Ma‘âlim al-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur’ân Juz III di-tahqîq oleh AbdurRazâq al-Mahdî, Cet. I Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâst al-‘Arabî, 1420 H h. 8 24 Ibid., h. 145 11 kitabnya Majmû‘ al-Fatâwâ beliau mengungkapkan bahwa tafsir dapat dibagi berdasarkan sumbernya menjadi dua macam: 1 Tafsir yang disandarkan pada periwayatan dan 2 Tafsir yang diketahui tidak berdasarkan periwayatan. Macam pertama terbagi menjadi dua: a Mungkin mengetahui sahih dan dha‘îf riwayat terseb ut dan b Tidak mungkin mengetahui sahih dan dha‘îf riwayat tersebut. 25 Macam kedua sering sekali terjebak pada dua kesalahan, yaitu: a kelompok yang telah memiliki konsep kemudian menjadikan al- Qur’ân sebagai penguat konsep tersebut, dan b kelompok yang menafsirkan al- Qur’ân hanya berdasarkan bahasa arab sebagaimana dituturkan oleh orang arab tanpa melihat situasi dan kondisi ayat tersebut turun dan mengenai siapa ayat tersebut turun. 26 Tafsir-tafsir yang terjebak pada dua kesalahan di atas bisa dikatakan sebagai sumber munculnya perbedaan yang kontradiktif داضتلا. Ahmad ibn Abdilhalîm Ibn Taimiyyah menerangkan lebih lanjut dalam kitab Muqaddimah fî Ushûl al-Tafsîr bahwa ada kitab-kitab tafsir yang terjerumus pada dua poin tersebut, seperti: Tafsir Abd Al-Rahmân ibn Kaisân al- Asham Syaikh Ibrâhîm ibn Ismâ‘îl ibn ‘Ulyah, Abu ‘Alî al-Jubbâ’î, Tafsir al-Kabîr karangan al-Qâdhi ‘AbdulJabbâr ibn Ahmad al- Hamdânî, ‘Alî ibn ‘Îsâ al-Rummânî dan al-Kasyâf karangan Abû al-Qâsim al- Zamakhsyarî. Mereka adalah para mufassir beraliran mu‘tazilah yang menjadikan al- Qur’ân sebagai justifikasi terhadap alirannya. Aliran-aliran lain yang masuk dalam 25 Ahmad ibn AbdulHalîm Ibn Taimiyyah 661- 728 H, Majmû‘ al-Fatâwâ di-tahqîq oleh AbdurRahmân ibn Muhammad ibn Qâsim Arab Saudi: Mujamma‘ al-Mulk Fahd, …, 1426 H 1995 M h. 344. 26 Ibid., h. 355.