Pandangan Tasawwuf Ibn Taimiyah dalam Ki

Pandangan Tasawuf Ibnu Taimiyah…

Duriana

PANDANGAN TASAWUF IBNU TAIMIYAH DALAM KITAB
AL-TUHFAH AL-IRĀQIYYAH FI AL-A’MĀL AL-QALBIYYAH
Duriana
Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Ambon
Jln Dr.H.Tarmizi Taher Kebun Cengkih,
Batu Merah Atas, Ambon 97852
Email: hj_duriana@yahoo.co.id
Abstract;
This research is about the Sufism of Ibn Taymiyyah's views in the
book of al-Tuhfah Irāqiyyah fi al- A'māl al-Qalbiyyah. This study aims to
determine the method of Ibn Taymiyyah thought in religious matters
and especially in matters of Sufism to know the view of Ibn
Taymiyyah on Sufism in the book of al-Tuhfah Irāqiyyah fi al- A'māl alQalbiyyah. Based on the survey results revealed that the methods
used by Ibn Taymiyyah is Salaf al-Salih method is a method that
always returns all references religious matters both principal (creed)
and the problem furu '(branches) to the al-Quran and al -sunnah of
the Prophet. View on Sufism of Ibn Taymiyyah in his book al-Tuhfah

Irāqiyyah fi al-al-al-Qalbiyyah A'māl. In this book of Ibn Taymiyyah
started with a brief discussion about the power (role) in the hearts of
human life which he called ahwal and maqamat. Ahwal and
maqamat is partly from a foundation of trust and a sense of love for
Allah and His Messenger. Including the resignation, sincere,
gratitude, patience (accept God's will), fear (of God), the king. Ahwal
and maqamat is a Sufi term that has long been known and so
popular at the time because that Ibn Taymiyyah was so familiar with
that term often repeated in this treatise. According to al-maqamat Ibn
Taymiyyah and al-ahwal, include: al-mahabbah, resignation, sincere,
khauf, king, and gratitude.
Keywords:
Sufism, al-maqamat, al-ahwal, prophet, resgination
Abstrak;
Artikel ini adalah artikel tentang pandangan tasawuf Ibnu Taimiyah
dalam kitab al-Tuhfah al-Irāqiyyah fi al-A’māl al-Qalbiyyah. Artikel ini
bertujuan untuk mengetahui metode pemikiran Ibnu Taimiyah
dalam masalah keagamaan khususnya dalam masalah tasawuf dan

AL-FIKR Volume 17 Nomor 2 Tahun 2013


Duriana

Pandangan Tasawuf Ibnu Taimiyah…

untuk mengetahui pandangan Ibnu Taimiyah tentang tasawuf
dalam kitab al-Tuhfah al-Irāqiyyah fi al-A’māl al-Qalbiyyah.
Berdasarkan hasil artikel diketahui bahwa metode yang digunakan
oleh Ibnu Taimiyah adalah metode Salaf al-Shālih yaitu metode yang
senantiasa mengembalikan segala rujukan masalah-masalah
keagamaan baik yang bersifat pokok (akidah) maupun masalah furu’
(cabang) kepada al-Qur’an dan al-sunnah Rasulullah saw.
Pandangan Ibnu Taimiyah tentang tasawuf dalam kitabnya al-Tuhfah
al-Irāqiyyah fī al-A’māl al-Qalbiyyah. Dalam kitab ini Ibnu Taimiyah
mengawali dengan pembahasan singkat tentang kekuatan (peran)
hati dalam kehidupan manusia yang ia sebut dengan ahwal dan
maqamat. Ahwāl dan maqāmāt adalah sebahagian dari dasar
kepercayaan dan rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Termasuk
di dalamnya adalah tawakkal, ikhlas, syukur, sabar (menerima
takdir Allah), takut (kepada Allah), raja (berharap kepada Allah).

Ahwāl dan maqāmāt adalah istilah sufi yang telah lama dikenal dan
begitu populer pada saat itu karena itulah Ibnu Taimiyah begitu
akrab dengan istilah itu dengan sering mengulang-ulang dalam
risalah ini. Menurut Ibnu Taimiyah al- maqāmāt dan al- ahwāl,
meliputi: al-mahabbah, tawakkal, ikhlas, khauf, raja’, dan syukur.
Kata-kata Kunci: Tasawuf, al-maqāmāt, al-ahwāl
Kata kunci:
Sufisme, al-maqamat, al-ahwal, kenabian, kebangkitan
I. PENDAHULUAN
bnu Taimiyah adalah tokoh pemikir Islam klasik yang reputasi
keilmuannya mampu menembus hingga zaman kontemporer ini.
Pemikirannya dalam berbagai bidang baik filsafat, kalam, hadis, fiqh
maupun tasawuf masih menjadi rujukan. Khususnya yang mengatas namakan
dirinya sebagai aliran salaf. Termasuk Aliran Wahabiyah di Arab Saudi,
Muhammadiyah di Indonesia, bahkan akhir-akhir ini di Ambon khususnya
pasca konflik sosial di Maluku, muncul satu aliran yang menamakan dirinya
aliran salaf (salafiah). Kelompok ini selalu menyerang orang-orang yang
menggandrungi tasawuf dan filsafat. Mereka berasumsi bahwa tasawuf adalah
ajaran bid’ah yang tidak pernah diamalkan oleh para ulama salaf termasuk
Ibnu Taimiyah. Timbulnya pandangan seperti ini disebabkan karya-karya

otentik Ibnu Taimiyah sangat sedikit dibaca dan dipelajari secara teliti.1
Khususnya karya-karya beliau dalam bidang tasawuf.
Ibnu Taimiyah dan Tasawuf oleh sebagian kalangan dipandang sebagai
dua unsur yang tak mungkin bersatu. Ini tentu tidak mengherankan, sebab
Ibnu Taimiyah telah lama dianggap sebagai salah satu tokoh yang membenci,
memusuhi, dan melontarkan kritik-kritik tajamnya terhadap Tasawuf.

I

AL-FIKR Volume 17 Nomor 2 Tahun 2013

Pandangan Tasawuf Ibnu Taimiyah…

Duriana

Dalam wacana pemikiran Islam, Ibnu Taimiyah ditempatkan sebagai
tokoh yang menentang tasawuf. Bahkan ia dituduh sebagai inspirator bagi
aliran Wahabi dalam memeberantas dan memberangus ajaran-ajaran tasawuf
dengan dalih ajaran-ajaran bid’ah, khurafat dan tahyul,2 karena itu sangat wajar
kalau kitab-kitab tasawuf Ibnu Taimiyah menjadi barang tabuh untuk diteliti

selama ini. Akan tetapi dengan perkembangan teknologi khususnya di bidang
telekomunikasi dan infomasi yang memberikan kemudahan bagi manusia,
maka tidak sulit untuk mengakses kitab-kitab klasik yang penuh dengan
pelajaran berharga. Lewat bantuan internet, penulis dapat memperoleh data
tentang kitab-kitab tasawuf Ibnu Taimiyah yang boleh jadi justru berisi ajaranajaran sebaliknya yang difahami selama ini, bahwa Ibnu Taimiyah memusuhi
tasawuf, bahwa belajar tasawuf adalah bid’ah dan khurafat. Inilah problema
yang ingin diungkapkan lewat artikel ini.
Pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran “permusuhan” Ibnu
Taimiyah dan Tasawuf akan berusaha dijelaskan melalui artikel ini. Tentu saja
dengan merujuk langsung pada karya-karya yang diwariskan oleh Ibnu
Taimiyah untuk peradaban manusia. Khususnya karyanya yang berjudul :AlTuhfah al-Irāqiyyah fi al-A’māl al-Qalbiyyah dan setelah ditahqiq oleh Ainil Husni
Malhuzah dengan judul “ Al-A’māl al-Qulūb auw al-Ahwāl wa al-Maqāmāt
II. PEMBAHASAN
A. Riwayat Singkat Ibnu Taimiyah
Beriringan dengan kejatuhan kota Bagdad, pada tahun 656 H/1257M.
Tepat pada hari Senin, 12 Rabi’ al-Awwal tahun 661 H (1263 M), Ibnu Taimiyah
dilahirkan di sebuah kota yang terletak antara sungai Dajlah dan Eufrat
bernama Harran. Sebuah kota yang masuk dalam wilayah Hurasan (Persia).
Oleh orangtuanya ia diberi nama Ahmad. Dan para ahli sejarah menuliskan
nama lengkapnya dengan: Taqiy al-Dīn Abūl-‘Abbas Ahmad Ibnu ‘Abd al-Halīm

Ibnu ‘Abd al-Salām Ibnu Abi al-Qasīm Ibnu Muhammad Ibnu Taimiyah al-Harrānī alDimasyqī.3
Ayah Ibnu Taimiyah bernama Syihabuddīn Abū al-Mahasīn Abdu al-Halīm
bin Taimiyah. Dia belajar dari ayahnya (Taimiyah) mazhab faham Hambali
hingga ia benar-benar memahaminya.4
Ibnu Taimiyah mendapat pendidikan di samping dari ayahnya, juga dari
pamannya Fakhruddīn, seorang pemikir dan penulis termasyhur. Ia mendapat
pendidikan pula dari para cendikiawan terkemuka di kota Damaskus.
Pengetahuannya tidak hanya terbatas pada studi-studi al-Qur’an, hadis dan
fiqh saja, tetapi juga mempelajari dan ahli di bidang mate-matika, sejarah,
kesustraan dan secara khusus mendalami fiqh Hambali karena ayahnya sendiri
adalah tokoh dari mazhab ini.5
Ibnu Taimiyah telah terkenal pada usia yang masih relatif muda, 20
tahun. Ia pernah diundang ke Mesir memberikan fatwa, di sini Ibnu Taimiyah
menunjukkan keahlian yang sungguh mengagumkan, terutama fatwanya yang
AL-FIKR Volume 17 Nomor 2 Tahun 2013

Duriana

Pandangan Tasawuf Ibnu Taimiyah…


berkenaan dengan pembasmian khurafat dan bid’ah. Ketika ia berusia 21 tahun
ayahnya meninggal dan ia menggantikan ayahnya sebagai guru hadis. Profesi
guru hadis ini membuat ia sangat termasyhur melebihi ulama-ulama
sezamannya.
Ibnu Taimiyah meninggalkan sekitar 500 jilid dalam berbagai bidang
ilmu. Sebagian besarnya dapat dibaca hingga sekarang, namun sebagian yang
lain hanya tinggal nama atau masih berupa manuskrip yang belum ditahqiq.
Ibnu al-Wardy (w. 749 H) bahkan menyatakan bahwa dalam sehari semalam,
Ibnu Taimiyah dapat menulis sampai 4 buku.6
B. Setting Sosial dan Politik Masa Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah dilahirkan sekitar lima tahun setelah tentara Mongol
menjatuhkan kota Bagdad, ibukota dinasti Abbasiyah. Dengan jatuhnya
Bagdad, maka runtuhlah kerajaan Islam yang telah berkuasa selama lima abad
(750-1258 M) dan telah berhasil mencapai kejayaannya baik dalam kemajuan
fisik ataupun kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Kota Bagdad kemudian
diduduki oleh Dinasti Īkhan sedangkan khilafah Islam setelah jatuhnya Bagdad
dikuasai oleh kerajaan Mamluk (1250-1517 M) dengan Mesir sebagai pusat
kekuasaannya.
Setelah Bagdad jatuh, dunia Islam tenggelam dalam kemunduran dan
menghadapi berbagai tantangan. Dari arah Barat, umat Islam menghadapi

ancaman orang-orang Spanyol yang sejak abad II telah melancarkan perang
Salib. Selama dua abad lamanya (1097-1292 M) terjadi tidak kurang tujuh kali
pertempuran. Arah Timur umat Islam menghadapi ancaman tentara Mongol.
Pada tahun 1258 M mereka menghancurkan Bagdad dan berhasil membunuh
ratusan ribu penduduknya. Setelah menghancurkan Bagdad, tentara Hulagu
Khan melancarkan aksinya ke Syria dan berhasil menduduki kota Aleppo,
Hamah dan Harim. Selanjutnya mereka menuju ke Mesir, akan tetapi di Ayn
Jalut mereka dikalahkan oleh tentara Barbar. Di samping itu, kondisi di dalam
negeri tidak stabil akibat permusuhan antara para penguasa dan sekte-sekte di
kalangan Islam sendiri. 7
Sementara itu, situasi politik di Syria semakin lama semakin berbahaya
dan tidak menentu. Serdadu Mongol dengan senjata yang relatif lebih modern
berhasil merebut sebagian besar wilayah Syria pada tahun 699 H/1300 M.
dengan kondisi semacam ini, mendorongnya untuk menghentikan polemiknya
dalam hal pemahaman keagamaan untuk sementara waktu dan mulai
mencurahkan perhatiannya menghadapi dan mengusir tentara yang menjajah
negerinya.
Bersama-sama tokoh Islam lain, Ibnu Taimiyah dengan keahliannya
sebagai orator ulung turut serta berkampanye dan ambil bagian dalam
melakukan agitasi politik untuk membangkitkan semangat rakyat Syria agar

berjihad fi sabilillah dan rela berkorban untuk melepaskan tanah airnya dari
cengkraman pasukan Mongol. Demi kepentingan itu pula, pada tahun 700
H/1301 M. Ibnu Taimiyah pergi ke Qairo dalam rangka memohon bantuan
AL-FIKR Volume 17 Nomor 2 Tahun 2013

Pandangan Tasawuf Ibnu Taimiyah…

Duriana

militer kepada Sultan Mamluk, yakni al-Malik al-Nasir Muhammad bin al-Mansur
al-Qalawun.
Usaha Ibnu Taimiyah ternyata tidak sia-sia dan memberi harapan bagi
banyak pihak. Sultan al-Malik mengabulkan permohonannya dan mengirimkan
angkatan bersenjatanya ke Syria. Ibnu Taimiyah sendiri yang ternyata berjiwa
pejuang dan berdarah militer, oleh pemerintah diberi tugas untuk memimpin
langsung pasukan Islam melawan pasukan penjajah. Ibnu Taimiyah dengan
pasukan tempur yang dikomandaninya akhirnya membawa kemenangan pada
peristiwa Shaqhab (702 H/1303 M). Dengan keberhasilannya itu, membuat
namanya semakin terkenal.
Ketika Ibnu Taimiyah menulis Risalah al-Hamidiyah yang isinya

membela pendapat Ahmad Ibnu Hanbal, ia kembali dituduh tajsim dan tasbih
oleh musuh-musuhnya. Untuk membantah itu, ia menulis al-Risalah alWasitiyah yang ternyata oleh lawan-lawannya justeru dianggap memperkuat
tuduhan mereka.
Untuk
memprtanggungjawabkan
tulisannya
yang
dianggap
meresahkan masyarakat, pada 705 H/1305 M. Ibnu Taimiyah dihadapkan
kepada Sultan Mesir. Ia diadili oleh al-Qadi Zayn al-Din bin Makhluf (salah
seorang rival yang selalu memusuhi Ibnu Taimiyah, sehingga kejujuran dan
keadilannya sangat diragukan. Betapapun pintar dan lantangnya Ibnu
Taimiyah dalam pembelaan diri, ia tidak berdaya untuk lolos dari jeratan
penjara).
Selama diasingkan di benteng Qairo selama kurang lebih 1,5 tahun, Ibnu
Taimiyah menelorkan beberapa karya yang di antaranya berisi kritikan dan
tantangan terhadap ajaran wahdat al-wujud Ibnu Arabi, tawassul dan
istighathah serta ajaran-ajaran tasawuf lainnya yang dinilainya menyimpang
dari ajaran Islam.8
Berkat bantuan Hisham al-Din Mahna bin Isa, seorang amir Arab, Ibnu

Taimiyah dibebaskan dari penjara Qairo. Namun baru beberapa bulan
dibebaskan, dalam tahun yang sama dia harus berurusan lagi dengan pihak
yang berwajib atas pengaduan kaum sufi yang konon disponsori oleh Ibnu
Ata’.
Dari sisi keagamaan, kehidupan umat Islam ditandai dengan kebekuan
berpikir dan fanatisme mazhab. Sejak abad IV H/10 M, mazhab empat
mempunyai kedudukan mapan dalam kehidupan umat Islam, dan umat Islam
hidup dalam zaman taqlid di mana penetapan hukum didasarkan kepada
pendapat-pendapat ulama mazhab yang tersusun dalam kitab-kitab fiqh.
Adapun ijtihad dalam persoalan fiqh bisa dikatakan tidak berkembang sama
sekali.
C. Karya-Karya Ibnu Taimiyah
Karangan Ibnu Taimiyah lebih dari 500, tetapi yang tersebar luas dan
termasyhur sekitar 65 buah. Karya yang menjadi rujukan utama artikel penulis
AL-FIKR Volume 17 Nomor 2 Tahun 2013

Duriana

Pandangan Tasawuf Ibnu Taimiyah…

adalah: Al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah fi al-A’mal al-Qalbiyyah.(al-A’mal al-Qulub au alMaqamat wa al-Ahwal)
Buku ini, seperti yang dikatakannya,“(berisi) kalimat-kalimat ringkas
tentang amalan-amalan hati yang disebut dengan ‘maqāmāt’ dan ‘ahwāl’, yang
juga merupakan bagian dari dasar-dasar keimanan dan kaidah-kaidah agama;
seperti ‘mahabbah’ pada Allah dan Rasul-Nya, Tawakkal, mengikhlaskan agama
pada-Nya, syukur, sabar terhadap hukum-Nya, khauf’ dan ‘raaj’ pada-Nya, serta
hal-hal lain yang mengikutinya.”28
Dalam teks tersebut dengan sangat jelas terlihat bahwa Ibnu Taimiyah
menggunakan dua istilh yang umum digunakan di kalangan sufi; maqāmtā dan
ahwāl Dan dalam buku ini secara khusus, ia menguraikan secara panjang lebar
dan terperinci tentang berbagai maqām dan hāl.
Pandangan tasawuf Ibnu Taimiyah dalam buku ini dapat dikatakan
sudah tergambar dengan jelas. Hal ini dapat dilihat ketika ia menguraikan
tentang beberapa obyek kajian tasawuf oleh para sufi sebelumnya seperti ahwal
dan maqamat, khauf dan raja’, mahabbah, wali, taubat, zuhud, ridha dan lain-lain.
D. Metode Pemikiran
Kritikan Ibnu Taimiyah terhadap tasawuf tidak terlepas dari metode
pemikiran yang telah diyakini sebagai metode yang paling benar. Metode
pemikirannya ini menjadi dasar dalam setiap gerakan keagamaan yang
diperjuangkan sepanjang hidupnya. Ia sendiri tidak gentar sedikitpun dalam
memperjuangkan ide-idenya sekalipun harus mengorbankan jiwanya. Terbukti
dengan ia berkali-kali masuk penjara bahkan ia meninggal dalam penjara demi
untuk tegaknya kebenaran yang telah diyakininya. Termasuk dalam hal ini ia
tidak gentar mengeritik para sufi yang dianggap telah mengajarkan ajaran
asing yang tidak berlandaskan al-Qur’an ataupun Sunnah Nabi Muhammad
saw.
Menurut Syekh Said Abd Azhim, 9 bahwa metode salafiah yang dianut
Ibnu Taimiyah berpegang pada empat unsur:
1. Tidak percaya pada akal 100%
Dalam masalah-maslah agama baik masalah-masalah pokok-pokok
akidah maupun masalah-masalah furu’iyyah (cabang), Ibnu Taimiyah selalu
berpegang pada al-Qur’an dan al-Sunnah Nabi Muhammad saw. Ia sangat
meragukan kemampuan akal semata dalam masalah-masalah akidah dengan
mengatakan bahwa “mencari akidah dengan akal semata sama dengan pencari
kayu yang mencari kayu dimalam hari”10
Dengan metode yang diperpegangi ini, Ibnu Taimiyah tidak setuju
dengan metode yang digunakan oleh para filosof yang dianggapnya sematamata menggunakan akal dalam mempertahankan argumentasinya. Demikian
pula ia tidak setuju dengan metode para mutakallimin, muhaddisin, fuqaha,
sufi yang menggunkan akal dalam masalah-masalah akidah.
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa diantara kesesatan para filosof dan
mutakallimin yaitu mereka lebih mendahulukan artikel, bukti-bukti dan ilmu
AL-FIKR Volume 17 Nomor 2 Tahun 2013

Pandangan Tasawuf Ibnu Taimiyah…

Duriana

dari pada naql dengan mengatakan bahwa artikel itu wajib karena ia pasti
mendatangkan pengetahuan yang benar.11
Ibnu Taimiyah sebenarnya tidak menolak peggunaan akal dalam maslah
akidah, hanya saja posisi akal harus mengikuti nash atau posisi akal dibawah
nash. Karena itu mudah dipahami kalau ia tidak sependapat dengan
penggunaan takwil dalam masalah-masalah akidah.
2. Tidak mengikuti seseorang karena nama, ketenaran dan kedudukannya.
Ibnu Taimiyah sangat menyayangkan, jika melihat orang yang
mengikuti seseorang hanya karena ketenaran dan kedudukannya, tanpa
mengetahui dalil dan landasan kebenaran di dalamnya. Para Imam empat yang
menjadi ikutan dan imam mayoritas kaum muslimin sebenarnya tidak pernah
menyuruh untuk mereka diikuti dengan membabi buta tanpa seleksi dengan
kata lain ikut dengan taklid buta, tetapi mereka menyuruh untuk menyeleksi
pendapatnya dengan nash al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad saw.
Seandainya pendapat mereka bertentangan dengan nash al-Qur’an dan alsunnah, maka wajib untuk menolaknya.
Dengan demikian Ibnu taimiyah sebagai pengikut salaf, mengembalikan
semua perkataan kepada al-Qur’an dan al-sunnah.
3. Dasar syari’at adalah al-Qur’an dan telah dijelaskan oleh Muhammad
saw. dengan al-sunnah.
Ibnu Taimiyah selalu merujuk kepada al-Qur’an dan al-sunnah,
mengajak bertahkim (menjadikan sebagai hakim) kepada ulama salaf.12 Para
ulama salaf inilah manusia yang paling tahu dengan maksud syari’at, sebab
mereka hidup saat wahyu turun, menghapalnya, memahaminya dan
menyampaikannya seperti yang mereka dengar kepada para pengikut
selanjutnya sampai hari kiamat.13
4. Tidak panatik dalam pemikiran dan menghilangkan sikap berlebihan
dan jumud
Ibnu Taimiyah melepaskan dirinya dari semua yang membelenggunya
kecuali al-Qur’an, al-sunnah dan perkataan salafus salih, dia mempunyai
intuisi yang begitu tajam dalam memahami al-Qur’an dan al-sunnah. ia
memiliki alat-alat dan sarana yang membuatnya mampu menjadi seorang
mujtahid mutlak. Dia juga telah mempelajari dan mendalami semua mazhab,
aliran, pendapat serta mengenal sumber setiap pendapat tersebut.14
Landasan pokok Ibnu Taimiyah dalam melakukan reformasi adalah alQur’an dan hadis. Ia mengatakan agama adalah apa yang disyari’atkan oleh
Allah dan rasul-Nya. Ibnu Taimiyah mempunyai keyakinan yang mendalam
bahwa al-Qur’an dan hadis telah mencukupi semua urusan keagamaan (umūr
al-Dīn) baik yang berhubungan dengan masalah aqidah, ibadah atau
muamalah. Dasar hukumnya adalah :
‫َﻲ ٍء ﻓَ ُﺮ ﱡدوهُ إِﻟَﻰ ﱠ‬
‫ﯾَﺎأَﯾﱡﮭَﺎ اﻟﱠ ِﺬﯾﻦَ َءا َﻣﻨُﻮا أَ ِطﯿﻌُﻮا ﱠ‬
ْ ‫ﷲَ َوأَ ِطﯿﻌُﻮا اﻟ ﱠﺮﺳُﻮ َل َوأُوﻟِﻲ ْاﻷَ ْﻣ ِﺮ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ ﻓَﺈِ ْن ﺗَﻨَﺎزَ ْﻋﺘُ ْﻢ ﻓِﻲ ﺷ‬
ِ‫ﷲ‬
͉ ˶Α ˴ϥϮ˵Ϩϣ˶ Ά˸ ˵ΗϢ˸ ˵ΘϨ˸ ϛ˵ ϥ˸ ˶·ϝϮ˵
˸ ϡ˶ ˸Ϯ˴ϴϟ΍˸ ϭ
ً ‫ﻦُ ﺗَﺄْ ِو‬δ
( 59 :‫)اﻟﻨﺴﺎء‬. ‫ﯾﻼ‬
˴ ˸Σ˴΃ϭ˴ ˲ήϴ˸ ˴ΧϚ
˴ ˶ϟΫ˴ ή˶ Χ˶ ϵ΍
˴ ˶ͿΎ
˶ γή͉ ϟ΍ϭ˴
Terjemahnya:
AL-FIKR Volume 17 Nomor 2 Tahun 2013

Duriana

Pandangan Tasawuf Ibnu Taimiyah…

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.15
Ibnu Taimiyah dalam membangun sistem hukum berpikir mengenai
segala aturan keagamaan, baik yang berhubungan dengan masalah aqidah,
atau amaliah berdasarkan al-Qur’an dan hadis. Pijakan tersebut kemudian
dikembangkan dalam berbagai pemikiran yang tertuang dalam berbagai
karyanya sebagai refleksi dari kondisi kehidupan keagamaan pada saat itu
yang berupa berkembangnya taqlid, bid’ah, khurafat dan fitnah. .
E. Pandangan Ibn Taimiyah Tentang Ajaran Tasawuf dalam Kitab alTuhfah al-Irāqiyyah fi al-A’māl al-qalbiyyah
Kitab al-Tuhfah al-irāqiyyah fi al-A’māl al-qalbiyyah, yang menjadi sumber
utama artikel ini dan telah ditahqīq oleh Abu Hazifah Ibrahim bin Muhammad.
Dalam kitab ini ia membagi amalan-amalan manusia kepada:
1. Al-a’māl al-abdān (amalan-amalan badan)
2. Al-a’māl al-bātinah (amalan-amalan batin)
Ad. 1. Amalan-amalan badan terbagi tiga:
a. Al-ẓālim li nafsih (menganiaya diri sendiri). Orang yang menganiaya diri
sendiri adalah orang yang melakukan perbuatan keji dan mungkar yaitu
mengerjakan hal-hal yang dilarang oleh Allah swt. dan mengabaikan
perintah-perintah-Nya. Perbuatan ini termasuk dosa.
b. Al-muqtaṣid, (oriented), maksudnya adalah orang yang punya tujuan
hidup. Yaitu yang tercapai amalan-amalan badannya dengan
mengerjakan kewajiban-kewajiban Allah swt. dan meninggalkan yang
diharamkan.
c. Al-sābiq bi al-khairāt (berlomba-lomba dalam kebaikan), adalah orang
yang senantiasa mengerjakan yang wajib dan yang mustahab (dianjurkan)
dan meninggalkan yang haram dan yang makruh (samar-samar).16
Dua kelompok terakhir yaitu al-muqtasid dan al-sābiq bi al-khairāt juga
tidak pernah luput dari dosa dan hal ini adalah suatu hal yang wajar sebagai
manusia. Itulah sebabnya Allah swt. memberikan peluang kepada manusia
untuk bertaubat. Dua kelompok ini masuk dalam golongan awliyā’ Allah (waliwali Allah). Firman Allah swt dalam Q.S. Yunus/10: 62
.          

(Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati).17

AL-FIKR Volume 17 Nomor 2 Tahun 2013

Pandangan Tasawuf Ibnu Taimiyah…

Duriana

Ibnu Taimiyah secara spesifik memasukkan orang mu’min dan orang
yang bertakwa kedalam golongan al-muqtasid. Sementara al-sbiq bi al-khairat
menurut Ibnu Taimiyah adalah golongan yang lebih tinggi derajatnya yaitu
para nabi dan orang-orang al-shiddiqīn. Orang-orang al-siddiqīn ini banyak
dijumpai pada para wali Allah.18
Menurut Ibnu Taimiyah bahwa sebelum masuk dalam amalan-amalan
batin maka amalan-amalan badan ini harus dibersihkan, temasuk di dalamnya
menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan bid’ah dan mengikuti hawa
nafsu.
Ad. 2 Amalan-amalan batin
Dalam kitab ini Ibnu Taimiyah mengawali dengan pembahasan
singkat tentang kekuatan (peran) hati dalam kehidupan manusia yang ia sebut
dengan ahwal dan maqamat. Ahwal dan maqamat adalah sebahagian dari dasar
kepercayaan dan rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Termasuk di
dalamnya adalah tawakkal, ikhlas, syukur, sabar (menerima takdir Allah),
takut (kepada Allah), raja (berharap kepada Allah).
Ahwal dan maqamat adalah istilah sufi yang telah lama dikenal dan
begitu populer pada saat itu karena itulah Ibnu Taimiyah begitu akrab dengan
istilah itu dengan sering mengulang-ulang dalam risalah ini.
Menurut Ibnu Taimiyah al-maqamat wal-ahwal, meliputi: al-mahabbah
tawakkal, ikhlas, raja, khauf dan syukur. Kemudian ia menjelaskannya secara
rinci sebagaimana lazimnya kitab-kitab para sufi:
1. Al-Maqāmāt
Ibnu Taimiyah mengkritik pandangan sebagian sufi yang menganggap
bahwa ahwal dan maqāmāt hanyalah milik kalangan khas, dan tidak bisa menjadi
milik kalangan yang mereka sebut awam. Baginya, semua ahwal dan māqamāt
karena ia merupakan ilmu dan amal batiniyah yang menjadi dasar utama
dalam menjalankan agama, maka ia seharusnya menjadi kewajiban setiap
muslim, tanpa sekat-sekat awam dan khas.
Terkait dengan itu, ia menyatakan:
“Amalan-amalan batin berupa cinta (mahabbah) pada Allah,
tawakkal pada-Nya, ikhlas, ridha, semuanya adalah perkara yang
diperintahkan kepada kaum awam dan khas. Pengabaian terhadapnya
oleh satu dari dua pihak itu bukanlah hal terpuji, setinggi apapun
maqamnya.”19
Beberapa maqam yang dijelaskan Ibnu Taimiayah dalam karya al-Tuhfah
al-Iraqiyah atau al-A’mal al-Qulub antara lain:
a. al-Taubah
Inilah maqam pertama para penempuh jalan menuju Allah menurut
jumhur kaum sufi.20 Itulah sebabnya, dalam al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah, Ibnu

AL-FIKR Volume 17 Nomor 2 Tahun 2013

Duriana

Pandangan Tasawuf Ibnu Taimiyah…

Taimiyah mengawalinya dengan ulasan tentang taubat. Ia menegaskan bahwa
sebagaimana dalam Q.S al-Baqarah/2: 222.
     …

(Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri). 21
Taubat menurut Ibnu Taimiyah adalah sebuah kewajiban sekaligus
kebutuhan hamba setiap waktu.
“Dan bahwa seorang hamba itu senantiasa berbolak-balik dalam
nikmat-nikmat Allah, maka ia selalu membutuhkan taubat dan istighfar.
Itulah sebabnya, penghulu anak cucu Adam dan imam kaum bertakwa
(Muhammad) saw. selalu beristighfar di setiap waktu dan kondisi.”22
Di dalam al-Qur’an, setiap kali Allah swt. smenyebutkan dosa dan
maksiat, maka ia akan selalu disertai dengan penyebutan taubat dan istighfar.
Karena itu, pembukaan pintu taubat yang luas itu juga menunjukkan luasnya
pintu rahmat Allah bagi alam semesta.
Ibnu Taimiyah kemudian membagi taubat berdasarkan hukum dan
tingkatan pelakunya.:
Pertama, taubat wajib. Yaitu taubat dari meninggalkan perintah dan
mengerjakan larangan Allah. Taubat jenis ini adalah kewajiban semua mukallaf,
sebagaimana yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya dalam al-Qur’an dan alsunnah.23
Allah berfirman dalam Q.S. Al-Nur/31: 31
.        ...

(…Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung).
Kedua, taubat mustahabbah. Yaitu taubat dari meninggalkan yang sunnah
dan mengerjakan yang makruh. 24
Adapun taubat ditinjau dari sisi tingkatan pelakunya, Ibnu Taimiyah
membaginya menjadi 3 tingkatan:
Pertama, al-abrar al- muqtashidun. Yaitu mereka yang mencukupkan diri
dengan melakukan jenis taubat yang pertama; taubat yang hukumnya wajib.
Kedua, al-sabiqun al-muqarrabun. Yaitu mereka yang selalu berusaha
melakukan kedua jenis taubat di atas; taubat yang wajib dan mustahabbah.
Ketiga, al-zhalimun. Yaitu orang-orang yang tidak melakukan satu pun dari
kedua jenis taubat tersebut.
b. Tawakkal
Tawakkal adalah salah satu amal batin yang menghubungkan hamba
dengan cinta Allah serta mengantarkannya sampai kepada puncak keikhlasan.

AL-FIKR Volume 17 Nomor 2 Tahun 2013

Pandangan Tasawuf Ibnu Taimiyah…

Duriana

Dan maqam ini merupakan maqam yang menjadi kewajiban kalangan awam dan
khas secara umum.25
Ketika menjelaskan maqam tawakkal, setelah menyimpulkan konsep
tawakkal yang umum dipahami oleh para sufi, Ibnu Taimiyah membagi
tawakkal menjadi dua: (1) tawakkal dalam urusan dien, dan (2) tawakkal dalam
urusan dunia. Menurutnya, umumnya para sufi hanya mengaitkan maqam
tawakkal ini dengan urusan dunia. Atau dengan kata lain, tawakkal menurut
mereka adalah menundukkan diri untuk tidak bernafsu dalam mencari dunia
dengan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Sementara Ibnu Taimiyah
sendiri lebih menekankan jenis tawakkal yang pertama, dan bahkan
menganggapnya lebih besar dari yang kedua. Karena itu, manusia yang
mutawakkil (bertawakkal) menurutnya- adalah:
‫ﻓﺈن اﻟﻤﺘﻮﻛﻞ ﯾﺘﻮﻛﻞ ﻋﻠﻰ ﷲ ﻓﻲ ﺻﻼح ﻗﻠﺒﮫ ودﯾﻨﮫ وﺣﻔﻆ ﻟﺴﺎﻧﮫ وإرادﺗﮫ ھﺬااھﻢ اﻷﻣﻮر اﻟﯿﮫ وﻟﮭﺎذا ﯾﻨﺎﺟﻲ رﺑﮫ‬
27

.   :‫ ﻛﻤﺎ ﻓﻲ ﻗﻮﻟﮫ ﺗﻌﺎﻟﻰ‬26.   ฀ :‫ﻓﻲ ﻛﻞ ﺻﻼة ﺑﻘﻮﻟﮫ‬
Terjemahnya:

(Yang) bertawakkal pada Allah untuk kebaikan dan kesalehan hati dan
agamanya, serta penjagaan lisannya. Inilah yang terpenting baginya. Oleh
sebab itu ia selalu bermunajat kepada Rabb-nya di setiap salat: Hanya
kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta
tolong. (QS. Al-Fatihah:5), dan firman Allah Ta’ala: Maka sembahlah Ia dan
bertawakkallah pada-Nya (QS.Hud:123)28
Hal lain yang juga ditegaskan Ibnu Taimiyah dalam membahas maqam
ini adalah bahwa ketawakkalan seorang hamba pada Allah samasekali tidak
menjadi penghalang atau tidak menjadi alasan untuk tidak bekerja keras.
Dalam hal ini, ia mengkritik sebagian sufi yang menganggap bahwa setelah
bertawakkal, sang hamba tidak perlu lagi mengerahkan usahanya untuk
meraih apa yang ia inginkan. Kesalahan pandangan ini menurut Ibnu Taimiyah
disebabkan karena mereka memandang bahwa jika semua perkara telah
ditakdirkan, maka dalam proses terjadinya kemudian sangat mustahil adanya
campur tangan manusia di sana. Menurut Ibnu Taimiyah bahwa masalah
ibadah dan tawakkal tidak boleh dipisahkan dalam beberapa hal-hal tertentu
karena keduanya menjadi satu padu dalam ajaran agama berkaitan dengan
hubungan antara Tuhan dan hambanya. 29
Ibadah yang dilakukan tidak lain agar memperoleh mahabbah (kecintaan)
dan Ridha Allah. Adapun sarana ibadah tidak lain adalah tawakkal dan
memohon pertolongan Allah swt (al-isti’anah) dengan memanjatkan doa
kepada-Nya. Allah swt senantiasa senang dan menolong hambanya yang
senantiasa memohon ridha dan mahabbahnya. Oleh karena itu menyembah
Allah swt dengan penuh keridhaan dan mahabbah pada-Nya pada hakikatnya
adalah kembali kepada diri penyembah (al-‘abdu). Dan menurutnya tawakkal

AL-FIKR Volume 17 Nomor 2 Tahun 2013

Duriana

Pandangan Tasawuf Ibnu Taimiyah…

seperti inilah yang masuk dalam kategori maqām. Sebab tawakkal dalam makna
ini mengandung tawakkal dalam segala urusan-urusan agama (al-umūr al—
dīniyyah). Adapun tawakkal dalam hal urusan dunia bagi Ibnu Taimiyah tidak
dimasukkan sebagai kategori maqam sebagaimana yang dianut oleh almuqarrabīnlillah (orang yang mendekatkan diri kepada Allah).30
Dengan demikian dapat dipahami bahwa tawakkal menurut Ibnu
Taimiyah adalah penyerahan diri dengan sepenuhnya kepada Allah karena
kecintaan dan keridhaan kepada-Nya.
c. Zuhud
Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, zuhud yang masyru’ adalah
meninggalkan segala sesuatu yang akan menyibukkan seseorang dari ketaatan
pada Allah Ta’ala, dan bahwa apapun yang dapat menguatkan seseorang di
jalan ketaatan pada Allah, maka meninggalkannya bukanlah kezuhudan.
Sebaliknya apapun yang tidak berguna untuk negri akhirat, maka
meninggalkannya adalah kezuhudan.31
Ibnu Taimiyah juga menegaskan bahwa kezuhudan tidaklah identik
dengan kemalasan, kelemahan, ketidakberdayaan, dan hilangnya peranserta
sang hamba dalam kehidupan.32 Kezuhudan juga tidak identik dengan
kemiskinan. Kezuhudan adalah ketika dunia tidak menguasai hati meski ia ada
dalam genggaman. Seorang milyuner pun dapat menjadi manusia zuhud jika ia
tidak tertawan oleh hartanya. Sebaliknya, seorang miskin tidak dapat disebut
zahid jika hasrat pada dunia terus-menerus membakar jiwanya.
d. Ikhlas.
Ihklas adalah inti dari Islam. Yang mana Islam berarti menyerahkan diri
kepada Allah bukan kepada yang lainnya. Allah berfirman dalam Q.S. alBaqarah/2:131
.          

(Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah!" Ibrahim
menjawab: "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam").
Orang yang tidak menyerahkan diri kepada Allah maka dia termasuk
orang yang sombong, dan orang yang menyerahkan dirinya kepada selain
Allah maka ia pun dikategorikan musyrik. Ikhlas adalah bagian dari masalahmasalah batin, baik yang berhubungan dengan bidang keilmuan maupun yang
berhubungan dengan amalan. Misalnya yang berkaitan dengan amalan-amalan
yang tidak didasari dengan keikhlasan maka amalan-amalan tersebut tidaklah
bermanfaat, hadis yang diriwayatkan oleh ahmad di dalam musnadnya:
33
‫اﻹﺳﻼم ﻋﻼ ﻧﯿﺔ واﻹﯾﻤﺎن ﻓﻲ اﻟﻘﻠﺐ‬
(ajaran-ajaran agama Islam itu realistis, dan Nampak sedangkan ajaranajaran keimanan itu non-realistis, dan itu hanya ada di dalam hati).
Dalam hadis yang lain hadis muttafakun alaih dari Nu’man bin basyir
disebutka:
34
. . . ‫اﻟﺤﻼل ﺑﯿﻦ و اﻟﺤﺮام ﺑﯿﻦ و ﺑﯿﻦ ذاﻟﻚ اﻣﻮر ﻣﺸﺘﺒﺤﺎت ﻵ ﯾﻌﻠﻤﮭﻦ ﻛﺜﯿﺮا ﻣﻦ اﻟﻨﺎس‬
AL-FIKR Volume 17 Nomor 2 Tahun 2013

Pandangan Tasawuf Ibnu Taimiyah…

Duriana

(Halal itu sudah jelas dan haram itupun juga sudah jelas, adapun diantara
keduanya terdapat masalah-masalah yang syubhat (Samar-samar) yang sangat
sedikit diketahui oleh sebagian manusia)…
e. Sabar
Sepantasnya setiap manusia apabila ditimpa musibah maka dia harus
bersabar. Dan harus konsisten terhadap perintah-perintah Tuhan dalam
melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dperintahkan. Karena itu sabr adalah
suatu kewajiban bagi setiap muslim untuk melaksanakan perintah-perintah
tuhan dan meninggalkan larangan-larangannya.
f. Ridha
Rasulullah saw bersabda dan berkata kepad Ibnu Abbas’ Jika kamu
mampu untuk beramal kepada Allah dengan penuh keridhaan dan keyakinan
maka lakukanlah, dan jika kamu tidak mampu untuk melakukannya maka
ketahuilah bahw kesabaran itulah yang akan menolongmu untuk
melakukannya dengan sebaik mungkin.
Ridha adalah bagian dari amalan-amalan hati (batin) dan pengaplikasian
nya terdapat pada pujian-pujian terhadap Allah swt. dalam berbagai hal
(keadaan), sebab ridha itu adalah kerelaan hamba atas ketentuan-ketentuan
Allah swt. yang sudah ditakdirkan kepadanya.35
Demikianlah sipat ridha sebagai ciri yang harus ditempuh bagi orang
yang mendekatkan diri kepada Allah swt. Dalam hadis yang lain disebutkan
bahwa “ Alllah telah memutuskan segala sesuatu dengan ketentuan-Nya,
barang siapa yang ridha terhadap keputusan-keputusan-Nya, maka ia pantas
mendpatkan ridha-Nya. Dan barang siapa yang enggan atas keputusan-Nya,
maka ia pantas mendpatkan murka dari-Nya.36
Demikianlah beberapa di antara al-maqāmāt yang disinggung oleh Ibnu
Taimiyah dalam beberapa karyanya, disamping tentu saja beberapa maqam lain
yang belum sempat kami bahas pada kesempatan ini.37
2. Ahwāl
Salah satu ahwāl yang dibahas oleh Ibnu Taimiyah adalah al-mahabbah
(cinta). Di sini terlihat bahwa mungkin penempatan ini tidak sama dengan
pandangan sebagian sufi yang menempatkan al-mahabbah sebagai maqām. Ini
tentu dapat dimaklumi, sebab meskipun para sufi dapat dikatakan sepakat atas
perbedaan maqām dan hāl bahwa maqam adalah sesuatu yang diusahakan oleh
seorang hamba, sedangkan hāl adalah anugrah dari Allah dan bersifat
sementara atau tidak tetap38, namun dalam menyimpulkan apakah sesuatu itu
termasuk al-maqāmāt atau al-ahwāl sangat bergantung pada hasil ijtihad
masing-masing sufi.
Al-Mahabbah menurut Ibnu Taimiyah adalah sebuah kecenderungan hati
tanpa beban (paksaan) pada Allah dan pada apa yang ada di sisi-Nya. AlMahabbah inilah yang ditetapkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah serta
disepakati oleh para salaf shaleh, imam-imam hadis dan mutasawwuf.39 Ibnu

AL-FIKR Volume 17 Nomor 2 Tahun 2013

Duriana

Pandangan Tasawuf Ibnu Taimiyah…

Taimiyah juga memandang bahwa al-mahabbah adalah landasan dasar setiap
amalan keagamaan, inti iman adalah cinta dan benci karena Allah.40
Jika penghambaan kepada Allah menyatukan dua unsur yaitu cinta
yang sempurna dan ketundukan yang sempurna pada-Nya, maka
penghambaan dan penyerahan diri seperti ini akan menganugrahkan
kemerdekaan bagi jiwa manusia dalam menghadapi siapa pun selain Allah.
Sehingga semakin bertambah kecintaan pada Allah dalam hati, maka semakin
bertambah pula penghambaan pada-Nya. Dan semakin bertambah
penghambaan manusia pada-Nya, akan semakin merdekalah ia dari selainNya.41 Jika hal tersebut bisa dicapai oleh manusia, inilah kebahagiaan manusia
mencapai titik tertingginya. Yaitu ketika manusia hanya bersandar sepenuhpenuhnya hanya kepada Allah dan terbebas dari ikatan pada sesama makhluq.
Ibnu Taimiyah mengatakan:
Maka hati tidak akan baik, beruntung, merasakan kelezatan,
bergembiraan, merasakan kebaikan dan keteguhan, serta meraih
ketenangan kecuali dengan menghamba pada Rab, mencintai dan kembali
pada-Nya.42
III. PENUTUP
1. Pandangan Ibnu Taimiyah tentang tasawuf tidak terlepas dari metode
pemikiran yang telah diyakininya sebagai metode yang paling benar
metode itu adalah menempatkan al-Qur’an dan al-sunna sebagai dasar
dalam masalah pokok-pokok akidah maupun masalah-masalah
furu’iyyah (cabang).
2. Ibnu Taimiyah menawarkan satu konsep sufi yang berdasarkan kepada
Al-Quran dan sunnah. Baginya, gerakan sufisme yang saat itu
berkembang sudah harus dikembalikan kepada yang standar dan
mainstream (berdasar al-Quran & sunnah), karena memang obsesi
keislamannya sebagai pengikut aliran salaf adalah kembali kepada alQur’an dan sunnah. Hal ini tergambar pada konsep tasawufnya yang
senantiasa dibarengi dengan dalil-dalil al-Qur’an maupun hadis
Rasulullah saw. sebagaimana yang terdapat dalam karyanya kitab alTuhfah al-Irāqiyyah fi al-A’māl al-Qalbiyyah
Endnotes
1

Thomas Michel S.J, dalam Mulyanto Sumardi, Artikel Agama Masalah dan Pemikiran, (Cet. I;
Jakarta: Sinar Harapan, 1982), h. 98.
2

Bid’ah dan khurafat adalah dua istilah yang begitu mudah diucapkan dan dituduhkan terhadap
orang-orang yang bertasawuf dan mempelajari tasawuf. Bid’ah adalah mengikuti ajaran-ajaran yang tidak
diamalkan oleh golongan salaf masa awal yaitu masa Nabi Muhammad saw hingga masa tabi’in.
AL-FIKR Volume 17 Nomor 2 Tahun 2013

Pandangan Tasawuf Ibnu Taimiyah…

Duriana

3

Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, Jilid 13,(Cet. I; Beirut Maktabah al-Ma’arif, 1966), h.
308. Lihat juga Al-Dzahaby, Tadzkirah al-Huffazh, Jilid IV ( Haidar Abad: t.t.), h. 288.
Said Abdul ‘Azim, Ibn Taymiyah, al-Tajdīd al-Salafī wa Da’wati al-Iṣlāhiyyah. Diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia oleh Faisal Saleh dan Khoirul Amru Harahap dengan judul: Ibn Taymiyah,
Pembaharuan Salafi dan Dakwah Reformasi, (Cet. I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h.15.
4

5

Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Islam (Cet. II;
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), h. 52-53.
7

http://almakmun.com/?p=85 (5 Agustus 2013)

8

http://almakmun.com/?p=85 (5 Agustus 2013).

9

Syekh Said Abdul ‘Azhīm adalah seorang Penulis buku yang berjudul: Ibn Taimiyah: alTajdīd al-Salafi wa Da’wah al-Islāhiyyah, karya ini secara detail mengungkap liku-liku perjuangan Ibn
Taimiyah sepanjang hayatnya. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan menjadi
salah satu sumber sekunder dalam artikel ini.
Syekh Said Abdul ‘Azhim, Ibn Taimiyah: al-Tajdīd al-Salafi wa Da’wah al-Islāhiyyah,
diterjemahkan kedalam bahsa Indonesia oleh Faisal saleh dengan judul “Ibn Taimiyah: Pembaruan Salafi
dan Da’wah Reformasi” (Cet.I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h. 37.
10

11

Ibid.

12

Ulama salaf adalah ulama yang hidup pada abad ketiga pertama. Yaitu para sahabat, pengikut
sahabat (tabi’in), dan pengikut tabi’in secara baik.
13

Syekh Said Abd Azhim, h. 40.

14

Ibid, h. 41.

15

Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya

16

Lihat A’māl al-Qulūb, h. 7-8.

17

Departemen Agama Ri, al-Qur’an dan Terjemahnya

18

A’māl al-Qulūb, h. 8.

19

Lihat al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah, h. 16. Ibnu Taimiyah juga mengkritik dampak pembagian ahwal
dan maqamat menjadi “untuk awam dan khas” yang menyebabkan munculnya sebagian kalangan sufi
yang menjelaskan ahwal dan maqamat itu dengan istilah-istilah yang rumit dan membingungkan. Bahkan
terkesan kerumitan dan ketidakjelasan itu menjadi hal yang disengaja untuk menunjukkan ketinggian
maqam sang sufi.
20

Abu al-Qasim al-Qusyairy, Al-Risalah al-Qusyairiyah: Tahqiq: DR. ‘Abdul Halim Mahmud, (
Cet. I; Dar al-Ta’lif, ma, 1385 H/ 1966 M.), h. 77.

21

Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya .

22

Al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah, h. 64.

23

Lihat Ibnu Taimiyah, Jami’ al-Rasa’il: Tahqiq: DR. Muhammad Rasyad Salim, (Mathba’ah alMadan, 1389 H/1969 M), h.227.
24

Lih. Jami’ al-Rasa’il, h. 227.

25

Al-Tashawwuf baina al-Ghazaly wa Ibn Taimiyah, h. 221. Lihat juga A’mal Qulub , h. 22.

26

Q.S. 1 (al-Fatihah): 5

27

QS. 11 (Hūd) : 123.

AL-FIKR Volume 17 Nomor 2 Tahun 2013

Duriana

Pandangan Tasawuf Ibnu Taimiyah…

28
29

‘A’mal al-Qulub, h. 22.

Ibnu Taimiyah, Majmū’ al-Fatāwā Kitāb ‘Ilmu al-Sulūk , jilid X. (t.tp.: Mahfūzāt, 1997),h. 21-

22.
30

Al-A’māl al-Qulūb, h. 22-23.

31

Ibnu Taimiyah, Majmū' al-Fatāwā,Kitab al-Tasawwuf, Jilid XI. (t.tp.: Mahfuzat, 1997), h. .28-

29.
Lihat Majmū’ al-Fatāwā Kitāb ‘Ilmu al-Sulūk, h. 617. Dalam kesempatan yang sama, Ibnu
Taimiyah juga mengkritik al-Ghazaly yang menjadikan zuhud sebagai salah satu syarat sah keislaman
seseorang. Menurutnya, ini terlalu berlebihan.
32

33

Lihat CD Hadis Musnad Ahmad (Akhrajahu Ahmad) 3/135

34

Lihat sahih Bukhari jilid I hadis 126.

35

Lihat Ibid, h. 48.

36

Ibid, h. 51.

37

Diantaranya misalnya maqām, khauf dan rajā’. Lihat al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah, h. 58.
38

Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Cet. IX; Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1995)h. 50.
39

Lih. Al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah, h. 73.

40

Ibid., h.45.

41

Majmu’ al-Fatawa, Jilid 10, h. 193.

42

Ibid.,h. 194.

DAFTAR PUSTAKA
Asmuni,Yusran. 1998. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam
Islam, Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya.
http://almakmun.com/?p=85 (5 Agustus 2013).
Ibnu Katsir. 1966. Al-Bidayah wa al-Nihayah, Jilid 13. Cet. I; Beirut Maktabah alMa’arif.
Ibnu Taimiyah. 1389 H/1969 M. Jamī’ al-Rasā’il: Tahqīq: Dr. Muhammad Rasyad
Salim, Mathba’ah al-Madan.
______. 1997. Majmū' al-Fatāwā,Kitab al-Tasawwuf, Jilid XI. t.tp.: Mahfuzat.
______. 1997. Majmū’ al-Fatāwā Kitāb ‘Ilmu al-Sulūk , jilid X. t.tp.: Mahfuzat.
Michel S.J,Thomas. 1982. dalam Mulyanto Sumardi, Artikel Agama Masalah dan
Pemikiran. Cet. I; Jakarta: Sinar Harapan.

AL-FIKR Volume 17 Nomor 2 Tahun 2013

Pandangan Tasawuf Ibnu Taimiyah…

Duriana

Nasution, Harun. 1995. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam . Cet. IX; Jakarta: PT.
Bulan Bintang.
al-Qusyairy, Abu al-Qasim. 1385 H/ 1966 M. Al-Risalah al-Qusyairiyah: Tahqiq:
Dr. ‘Abdul Halim Mahmud, Cet. I; Dār al-Ta’lif.
Said Abdul “azhim. 2005. Ibn Taymiyah, al-Tajdīd al-Salafī wa Da’wati alIṣlāhiyyah. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Faisal Saleh
dan Khoirul Amru Harahap dengan judul Ibn Taymiyah, Pembaharuan
Salafi dan Dakwah Reformasi, Cet. I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Simuh. 1997. Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam. Cet. II; Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.

AL-FIKR Volume 17 Nomor 2 Tahun 2013