Alternatif Bahan Pembuat Slow Release

bahan organik, sedangkan SRF anorganik adalah pupuk yang terselimuti oleh suatu bahan tertentu, sehingga membuat pupuk itu menjadi lambat tersedia. Menurut Stanger 2009 ; Leiwakabessy dan Sutandi 2004, pembuatan pupuk SRF yang berbahan dasar unsur N sering dilakukan, karena kurang efisiennya pupuk N ketika diaplikasikan di lapang. Menurut Leiwakabessy et al. 2003, kehilangan N di dalam tanah terjadi melalui pencucian, transport dalam bentuk produksi tanaman, dan menguap ke udara dalam bentuk N 2 , dinitrogen oksida N 2 O, nitrogen oksida NO, dan gas amoniak NH 3 . Gas-gas tersebut terbentuk karena kegiatan mikrobiologi tanah dan reaksi-reaksi di dalam tanah, tiga mekanisme yang menyebabkan kehilangan ini adalah denitrifikasi, reaksi nitrit dalam suasana aerobik, dan penguapan gas NH 3 dari pemupukan- pemupukan tanah alkalis. Menurut Leiwakabessy dan Sutandi 2004, untuk meningkatkan efektifitas pupuk urea yang merupakan salah satu sumber N di dalam tanah dapat dilakukan melalui beberapa cara antara lain: 1 membuat pupuk lambat tersedia dengan cara: pembungkusan pupuk dengan pembungkus biasa maupun membran, pencampuran pupuk dengan matriks pupuk, dan memperbesar ukuran pupuk 2 memberikan penghambat nitrifikasi atau penghambat urease seperti feniil fosdorodiamida, disiandiamida, N-serve, dan terrazole. Menurut Leiwakabessy dan Sutandi 2004, contoh pupuk SRF yang berbahan dasar urea antara lain urea formaldehida, crotonilidendiurea, isobitiliden diurea, tiourea, dan urea pirolizat.

2.3 Alternatif Bahan Pembuat Slow Release

Salah satu upaya untuk meningkatkan efisiensi pupuk urea adalah dengan mencampurkan urea dengan bahan yang memiliki KTK yang tinggi seperti zeolit dan asam humat. a. Zeolit Zeolit merupakan mineral kristalin dari kelompok tektosilikat, yaitu alumino-silikat terhidrasi dengan kation alkali dan alkali tanah seperti kalium, natrium, kalsium, dan magnesium yang mengisi rongga-rongga kerangka alumino-silikat dan mempunyai struktur tiga dimensi. Susunan stuktur dari zeolit adalah SiAlO 4 terahedral, memiliki pori yang berisi molekul air dan kation yang dapat dipertukarkan. Zeolit dicirikan oleh kemampuannya menyerap dan mengeluarkan air serta menukarkan bagian kationnya tanpa merubah struktur kristalnya Mumton, 1977. Menurut Senda et al. 2009, karekteristik zeolit yang unik antara lain sangat stabil dengan kemampuan adsorpsi yang sangat tinggi dan selektif serta mempunyai struktur pori mikroporous aktif yang tinggi menyebabkan sumber daya alam tersebut sangat berpotensi untuk diproses lebih lanjut menjadi produk- produk yang luas aplikasinya antara lain sebagai katalis, slow release substance dan membrane yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Menurut Suwardi 1995, rongga-rongga di dalam zeolit mempunyai ukuran yang sesuai dengan ukuran ion amonium sehingga zeolit mempunyai daya jerap yang tinggi terhadap ion amonium. Sifat-sifat zeolit dapat dilihat dari uraian berikut: • Sifat Mineralogi Sifat-sifat mineralogi zeolit antara lain jenis dan kandungan mineral yang dapat ditetapkan dengan bantuan sinar X. Beberapa sifat yang dapat ditetapkan antara lain meliputi struktur kristal, volume rongga, rasio SiAl, ukuran rongga dimensi saluran, jumlah tetrahedral, dan arah sumbu kristal. Kandungan mineral zeolit sangat bervariasi dari satu daerah ke daerah lain, bahkan dalam satu deposit kandungan zeolit bervariasi dari lapisan atas ke lapisan bawah. Jenis yang umum ditemukan dan ditambang adalah klipnoptilolit dan mordenit. Beberapa bentuk struktur kristal zeolit adalah kubik, hexagonal, dan monoklin tetapi yang lebih dominan adalah monoklin Suwardi, 2002. • Sifat Kimia Menurut Suwardi 1999, sifat-sifat kimia yang penting dari zeolit adalah kapasitas tukar kation KTK, basa-basa yang dapat dipertukarkan, dan susunan kimia. Nilai KTK yang dimiliki oleh zeolit merupakan dasar dari berbagai penggunaan zeolit pada berbagai bidang, termasuk pemanfaatan untuk meningkatkan KTK pada tanah-tanah yang memiliki KTK rendah. Perbedaan nilai KTK dari beberapa jenis zeolit disebabkan oleh rendahnya kandungan zeolit pada contoh dan pengaruh mineral pengotor. Mineral pengotor kuarsa dan feldspar menyebabkan KTK rendah, sedangkan mineral montmorilonit menyebabkan KTK tinggi. Ada hubungan yang erat antara KTK dan kandungan zeolit, semakin tinggi kandungan zeolit maka nilai KTK semakin tinggi. Oleh karena itu, besarnya nilai KTK pada contoh zeolit dapat digunakan untuk kandungan mineral zeolit. Menurut Mumpton 1984, kation-kation yang dapat dipertukarkan ataupun molekul air yang terdapat pada zeolit tidak terikat secara kuat dalam kerangka karena dapat dipertukarkan secara mudah dengan cara pencucian dengan larutan yang mengandung kation lain. Fraksi-fraksi ukuran butir mineral zeolit yang digunakan ternyata mempengaruhi nilai kapasitas tukar kation. Penggerusan mineral zeolit yang lebih halus, menyebabkan kerusakan pada struktur kristal sehingga nilai kapasitas tukar kationnya turun. Ukuran butir yang terbaik untuk digunakan sebagai penukar kation dalam reaksi pertukaran adalah 48 sampai 60 mesh Astiana dan Wiradinata, 1989. • Sifat Fisika Sifat-sifat fisika zeolit sangat beragam antara lain warna, kerapatan isi, besar, dan jumlah rongga. Warna zeolit pada umumnya kehijau-hijauan sampai keabua-abuan. Perbedaan warna zeolit disebabkan oleh jenis mineral pengotor yang ada di dalam zeolit dan kadar air. Mineral-mineral pengotor diantaranya mineral liat, kuarsa, dan feldspar. Mineral pengotor dapat berubah warna pada kadar air yang berbeda. Kerapatan isi atau bobot isi zeolit lebih ringan dibandingkan dengan mineral golongan silikat lainnya. Kerapatan isi tergantung dari jenis dan kemurnian zeolit. Semakin murni zeolit bobot isinya semakin rendah. Maka zeolit yang baik mempunyai bobot isi yang rendah. Bobot isi sangat erat hubungannya dengan volume rongga dalam zeolit Suwardi, 1999. Menurut Senda et al. 2009, berdasarkan ukuran porinya, zeolit dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok utama, yaitu: a zeolit dengan pori kecil, yang mempunyai pori dengan diameter 0,45 nm, misalnya zeolit A LTA, b zeolit dengan pori medium, yang mempunyai ukuran diameter pori antara 0,45 sampai 0,55 nm, contohnya silicalite ZSM-5MFI, c zeolit dengan pori besar, adalah zeolit-zeolit yang mempunyai ukuran diameter pori lebih dari 0,55 nm, misalnya zeolit X, Y, faufasite FAU, dan mordenite MOR. b. Asam humat Asam humat adalah senyawa organik hasil proses penguraian dan modifikasi sisa organisme yang berasal dari tanaman dan hewan dalam tanah Stevenson, 1982. Senyawa ini bersifat amorf, berwarna kuning hingga coklat hitam dan mempunyai berat molekul relatif tinggi Tan, 1991. Menurut Tan 2003, asam humat dapat ditemukan pada berbagai jenis tanah, kompos, batu bara, lignit, sedimen-sedimen yang terdapat pada sungai danau bahkan laut, dengan jumlah dan karakteristik yang berbeda-beda tergantung dari jumlah bahan organiknya. Istilah asam humat berasal dari Berzelius pada tahun 1830, yang menggolongkan fraksi humat ke dalam: 1 asam humat, yakni fraksi yang larut dalam basa, 2 asam krenik dan apokrenik, yakni fraksi yang larut dalam air, dan 3 humin, yakni bagian yang tidak dapat larut dan lembam. Oleh Mulder 1840 asam humat juga disebut asam ulmat, sedang humin juga disebut ulmin. Kemudian pada tahun 1912, Oden mengusulkan penggunaan nama asam fulvat menggantikan istilah asam krenik dan apokrenik. Bahan-bahan humat mengandung sejumlah ragam gugus hidroksil, namun untuk karakterisasi asam humat umumnya hanya tiga jenis OH yang dibedakan yaitu: 1 hidroksi total, gugus OH yang berkaitan dengan semua gugus fungsional, seperti fenol, alkohol, enol, dan hidrokinon. Akan tetapi, dalam banyak kasus hidroksil total mengacu hanya pada jumlah gugus OH-fenolik dan alkoholik, 2 gugus OH-fenolik, adalah OH yang terikat pada lingkar benzena, 3 gugus OH-alkoholik, adalah OH yang berikatan dengan gugus alkoholik Tan, 1991. Menurut Swift 1989 dalam Alimin et al., 2005, deprotonasi gugus-gugus fungsional pada asam humat akan menurunkan kemampuan pembentukan ikatan hidrogen, baik antar molekul maupun sesama molekul dan meningkatkan jumlah muatan negatif gugus fungsional asam humat, sehingga akan meningkatkan gaya tolak menolak antar gugus dalam molekul asam humat. Kedua pengaruh tersebut akan menyebabkan permukaan partikel-partikel koloid asam humat bermuatan negatif dan menjadi lebih terbuka serta berbentuk linear dengan meningkatnya pH. Salah satu faktor yang mempengaruhi kelarutan asam humat adalah pH, yang lebih lanjut akan mempengaruhi disosiasi gugus yang bersifat asam pada asam humat. Disosiasi proton yang terjadi pada gugus fungsional yang bersifat asam pada asam humat dipengaruhi oleh: 1 atraksi elektrostatik atau tolakan muatan yang ada dalam molekul, 2 ikatan hidrogen sesama dan antar molekul. Dalam larutan yang memiliki pH 3,5-9, asam humat membentuk sistem koloid polielektrolit linear yang bersifat fleksibel, sedangkan pada pH 2 asam humat berbentuk kaku dan cenderung teragregasi membentuk suatu padatan makromolekul melalui ikatan hidrogen. Dengan meningkatnya pH akan menyebabkan ikatan hidrogen semakin lemah sehingga agregat akan terpisah satu sama lain. Keadaan tersebut dipengaruhi oleh disosiasi gugus fungsional yang bersifat asam pada asam humat seperti -COOH. Umumnya gugus -COOH terdisosiasi pada pH sekitar 4-5, sedangkan gugus -OH fenolat atau –OH alkoholat terdisosiasi pada pH sekitar 8-10. Menurut Tan 1991, pemisahan asam humat didasarkan atas kelarutannya dalam asam dan alkali. Berdasarkan kelarutannya dalam alkali, asam, dan alkohol fraksi humat dibagi kedalam beberapa bagian Tabel 1. Tabel 1. Fraksi Humat Berdasarkan Kelarutannya dalam Alkali, Asam, serta Alkohol Fleigh et al. 1975 dalam Tan, 1991. Fraksi Alkali Asam Alkohol Asam Humat Larut Tidak Larut Tidak Larut Asam Fulvat Larut Larut - Asam Himatomelanik Larut Tidak Larut Larut Humin Tidak Larut Tidak Larut Tidak Larut Sejumlah metode tersedia untuk ekstraksi dan isolasi bahan humat dari tanah. Pemilihan ekstraktan yang cocok didasarkan pada pertimbangan: 1 reagem seharusnya tidak mempunyai pengaruh merubah sifat fisik dan kimia bahan yang diekstrak dan 2 reagen harus dapat secara kuantitatif memisahkan bahan humat dari tanah. Beberapa contoh reagen yang pernah digunakan untuk mengekstrak bahan humat antara lain adalah 0,1 N HCl, 0,025 N HF, 1 H 3 BO 3 , 0,1 N NaOH, 0,5 N NaOH, 0,1 M Na 2 CO 3 , 0,1 M NaF, 0,1 M Na 4 P 2 O 7 pH 7, 0,1 M Na 4 P 2 O 7 pH 9 sampai 10, dan 0,1 M Na 2 B 4 O 7 . Diantara reagen-reagen tersebut, NaOH dan Na 4 P 2 O 7 adalah reagen yang paling banyak digunakan dalam ekstraksi. Ekstraktan NaOH diperkenalkan pertama kali oleh Oden pada tahun 1991, ternyata ekstraktan ini dapat diterima secara umum karena merupakan ekstraktan yang paling efektif dalam pemisahan bahan humat dalam tanah secara kuantitatif Tan, 1991. Menurut Pierce dan Feldbeck 1975 dalam Tan, 1991, walaupun tidak seefektif NaOH, Na 4 P 2 O 7 kadang-kadang digunakan untuk ekstraksi asam humat dari tanah-tanah berkadar seskuioksida tinggi. Menurut Schintzer dan Khan 1972 dalam Tan, 1991, pelarut organik yang digunakan untuk ekstraksi bahan-bahan humat adalah asam oksalat, asam format, fenol, benzema, klorofom, atau campuran dari pelarut-pelarut tersebut. Tetapi sejauh ini tidak ada reagen organik yang menunjukan hasil yang memuaskan.

2.4 Tanah Sawah