5. Analisis kromosom
Tingkat ploidi kalus jeruk keprok Batu 55 diketahui melalui analisis kromosom. Berdasarkan hasil pengamatan kromosom menurut metode
praperlakuan lengkap Sastrosumarjo 2006, diketahui bahwa kalus yang dihasilkan merupakan kalus haploid yang berasal dari mikrospora jeruk keprok
Batu 55. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah kromosom kalus yang dihasilkan adalah sebanyak 9. Jumlah kromosom tersebut merupakan setengah dari jumlah
kromosom tanaman normal pada jeruk Keprok Batu 55 2n=2x=18. Jumlah kromosom kalus yang berasal dari jeruk Keprok Batu 55 dapat
diamati dengan jelas, sedangkan jumlah kromosom kalus jeruk keprok Garut, jeruk Siam dan Pamelo tidak dapat diamati. Jumlah kromosom tidak dapat diamati
kemungkinan karena sampel yang digunakan kalus dan antera membengkak sudah tidak bersifat meristem, ditandai dengan warna kalus dan antera yang
berwarna kecoklatan. Hal tersebut sesuai dengan analisis kromosom dengan menggunakan akar. Akar yang digunakan untuk analisis kromosom adalah akar
yang bersifat meristem atau akar yang masih aktif melakukan pembelahan mitosis, letaknya berada pada ujung akar. Apabila sampel yang digunakan berasal
dari jaringan yang sudah tua, maka kromosom sudah tidak dapat diamati. Perbedaan jumlah kromosom pada tanaman jeruk diploid dengan jumlah
kromosom jeruk haploid dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Perbandingan kromosom jeruk diploid dan haploid A. Kromosom diploid, B. Kromosom haploid.
B A
PEMBAHASAN UMUM
Salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan kultur antera adalah perkembangan inti mikrospora. Mikrospora yang responsif untuk
membentuk kalus atau embrio haploid adalah mikrospora yang berada pada fase uninukleat akhir Datta 2005. Fase uninukleat akhir ditandai dengan keberadaan
inti berada di tepi. Mikrospora yang berada pada fase uninukleat akhir merupakan fase transisi dalam siklus sel, sehingga peka terhadap cekaman. Perkembangan
inti mikrospora ditandai dengan perubahan morfologi bunga melalui bertambahnya ukuran sepal dan petal bunga.
Bunga jeruk keprok Garut, keprok Batu 55, dan jeruk Siam mempunyai perkembangan inti mikrospora yang hampir sama. Persentase uninukleat tertinggi
pada ketiga jenis jeruk tersebut berada pada bunga ukuran sedang dengan perbandingan ukuran sepal : petal 1:4
– 2:6mm berkisar 78,2 – 91,4 pada bunga jeruk keprok Garut, 78,2
– 91,4 pada bunga jeruk keprok Batu 55, dan 79,4
– 90,5 pada bunga jeruk Siam. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Kosmiatin et al. 2009 pada bunga jeruk keprok Garut, dimana bunga jeruk
keprok dengan ukuran mahkota kuncup bunga antara 5-6 mm, memiliki persentase mikrospora dengan inti tunggal terbanyak yaitu berkisar antara 84,05
– 100.
Jeruk Pamelo mempunyai ukuran kuncup bunga yang lebih panjang dibanding ketiga jenis jeruk keprok Garut, keprok Batu 55, dan jeruk Siam,
sehingga mempunyai perkembangan mikrospora yang berbeda. Persentase mikrospora uninukleat tertinggi 78,2
– 85,4 pada bunga jeruk Pamelo berada pada bunga ukuran sedang dengan perbandingan ukuran sepal : petal 6:14
– 6:17 mm. Dengan diketahuinya perkembangan inti mikrospora tersebut dapat
memudahkan teknis pelaksanaan kultur antera jeruk, karena ketepatan fase perkembangan mikrospora merupakan salah satu parameter yang penting untuk
keberhasilan kultur antera jeruk Chuong et al. 1988. Kuncup bunga yang mempunyai mikrospora pada tahapan uninukleat
tertinggi diberi praperlakuan suhu dingin 10
o
C dengan tujuan untuk pembelokan jalur perkembangan gametofitik menuju jalur perkembangan sporofitik.
Berdasarkan hasil pengamatan pada antera jeruk keprok Garut yang telah diberi praperlakuan suhu dingin 10
o
C selama 1, 3, 5, dan 7 dan ditanam pada media MT + 10 mgl Pikloram + 500 mgl ekstrak malt, diketahui tidak terdapat antera
yang mampu membentuk embrio, dan persentase terbentuknya kalus jeruk juga masih rendah. Ketidak mampuan mikrospora membentuk embrio kemungkinan
karena kombinasi praperlakuan suhu dingin dan komposisi media yang kurang tepat untuk perkembangan antera jeruk keprok Garut. Kemungkinan lain karena
tanaman jeruk mempunyai dinding antera yang tebal, sehingga dinding antera tidak mudah untuk pecah.
Disamping fase perkembangan mikrospora dan praperlakuan sebelum kultur antera, media juga merupakan faktor yang memperngaruhi tingkat
keberhasilan kultur antera. Optimasi media dilakukan untuk mendapatkan kalus dengan jumlah yang banyak. Auksin dan sitokinin merupakan zat pengatur
tumbuh yang sering ditambahkan dalam media tanam karena mempengaruhi pertumbuhan dan organogenesis dalam kultur jaringan Wulandari 2004. Antera
yang responsif terhadap media mengalami perubahan secara morfologi yang dapat diamati melalui membesarnya ukuran antera. Media yang digunakan untuk
menginduksi kalus jeruk keprok Batu 55 adalah media MT + 3 mgl BAP + 500 mgl ekstrak malt dengan perlakuan jenis media padat, cair, padat + cair. Media
yang paling berpengaruh terhadap respon antera adalah jenis media padat. Hal tersebut kemungkinan karena komposisi media padat mempunyai konsentrasi hara
makro dan mikro yang tidak berlebihan untuk perkembangan antera, sedangkan pada media dua lapis terdapat komposisi media hara makro dan mikro yang
berasal dari media padat dan media cair sehingga konsentrasinya berlebihan. Budiana 2010 menyatakan pada media dua lapis dibutuhkan komposisi media
hara makro dan mikro yang lebih sederhana, tetapi mempunyai kandungan vitamin yang lengkap. Pada induksi kalus antera jeruk jeruk Siam dengan
komposisi media MT + 3,5,dan 7 mgl 2,4-D + 500 mgl ekstrak malt diperoleh bahwa pemberian 3 mgl 2,4-D merupakan media yang paling diinginkan oleh
antera jeruk Siam untuk membentuk kalus 1,6. Sementara pada antera jeruk Pamelo diberi kombinasi media 3 mgl BAP dan 1, 2, 3 mgl NAA. Persentase
kalus tertinggi diperoleh pada media MT + 3 mgl BAP + 1 mgl NAA sebanyak
2,6. Rendahnya persentase kalus kemungkinan karena komposisi media yang kurang tepat dan sumber karbon atau konsentrasi glukosa 3 yang tidak sesuai
untuk perkembangan antera. Faktor lain yang mengakibatkan rendahnya produksi kalus pada kultur antera jeruk adalah karena dinding antera pomelo mempunyai
ukuran yang lebih tebal dan susah untuk pecah, sehingga mikrospora tidak mampu keluar dan berinteraksi langsung dengan media.
SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN
1. Ukuran bunga sedang dengan perbandingan ukuran sepal:petal 1:4 – 2:6 mm
pada bunga jeruk keprok Garut, keprok Batu 55, jeruk Siam dan 6:14 –
6:17mm pada bunga jeruk Pamelo mempunyai mikrospora uninukleat paling tinggi.
2. Prapelakuan lama penyimpanan 5 hari merupakan praperlakuan terbaik untuk
menginduksi kalus antera jeruk keprok Garut. 3.
Persentase kalus jeruk keprok Batu 55 tertinggi dihasilkan pada media padat MT + 3mgl BAP + 500mgl ekstrak malt, jeruk Siam pada media MT + 3
mgl 2,4-D + 500 mgl ekstrak malt dan untuk jeruk Pamelo pada media MT + 3 mgl BAP + 1 mgl NAA + 500 mgl ekstrak malt.
4. Kalus yang dihasilkan dari antera jeruk keprok Batu 55 merupakan kalus yang
berasal dari mikrospora karena mempunyai jumlah kromosom sebanyak 9, sedangkan kromosom yang berasal dari kalus jeruk Keprok Garut, jeruk Siam
dan jeruk Pamelo tidak dapat diamati.
SARAN
Regenerasi kalus antera jeruk keprok Garut, keprok Batu55, jeruk Siam, dan jeruk Pamelo perlu dilakukan untuk mendapatkan tanaman haploid
DAFTAR PUSTAKA
Ayed OS, Buyser JD, Picard E, Trifa Y, Amara S. 2010. Effect of pre-treatment on isolated microspores culture ability in durum wheat Triticum
turgidum subs. durum. Journal of Plant Breeding 2: 030 – 038
Badan Pusat Statistik. 2010 Bajaj YP. 1983. In Vitro Production of Haploids. London: Kluwer Academic
Publishers. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian. 2005. Prospek dan
Arah Pengembangan Agribisnis Jeruk. Balitbangtan Deptan. Jakarta Bhojwani SS, Razdan MK. 1993. Plant Cell Tissue Culture. Amsterdam: Elsevier
Bourgin JP, Nitsch JP. 1967. Obtention de nicotiana haploides a partir d‟etamine cultivees in vitro. Physiol 114: 75 -78
Budiana. 2010. Induksi pembelahan sporofitik mikrospora kedelai melalui kultur antera pada sistem media dua lapis [Tesis]. Bogor: Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Chapot H. 1975. Citrus Technical Monograph. Ciba-Geigy: Agrochemical
Chen Z. 1985. A study on induction of plants from Citrus pollen. Fruit Varieties 39: 44
–50 Chu CC. 1978. The N6 medium and its applications to anther culture of cereal
crops. Science Press 54: 43 - 50 Chuong PV, Deslauriers C, Kott LS, Beversdorf WD. 1988. Effect of donor
genotype and bud sumpling on microspore culture of Brassica napus. CJ Bot 66: 1653
– 1657 Croughan TP. 1995. Anther Culture for Double Haploid Production. New York:
Cambridge University Press Datta KS. 2005. Factors controlling development and its application in crop
improvement for androgenic haploids. Current Science 89: 1870 – 1878
Deng ZA, Xiao SY, Zhang WC. 1992. Pollen derived plantlets from anther culture of Ichang papeda hybrids and trifoliate orange. Hort. Sci: 190
–192. Dewi I, Purwoko B. 2001. Kultur antera untuk mendukung program pemuliaan
tanaman padi. Bul. Agron. 29: 59 – 63
Drira N, Benbadis A. 1975. Anther culture of Citrus sinensis. Biotechnology 28: 132
–140.
Dunwell JM. 1996. In Vitro Haploid Production in Higher Plants. Netherlands: Kluwer Academic Publishers.
Dus UR, Hadiuzzaman S, Sakker H. 2002. Effects of microspore stage, pre- and post temperature and d
onor‟s environtment on maize Zea mays L. anther culture response. Plant Tissue Cult. 12: 37-47.
Ferrie AMR, Keller WA. 1995. Microspore culture for haploid plant production. Biotechnology. 155-164
Froelicher Y, Ollitrault P. 2000. Effects of the hormonal balance on Clausena excavate androgenesis. Acta Horticulturae 535: 139
–146 George EF, Sherrington PD. 1984. Plant Propagation by Tissue culture. England:
Exegetics Limited Geraci G, Starrantino A, Recupero, Ruso F. 1982. Spontaneous triploidy in
progenies of monoembryonic hybrids of Clementine „Commune x King of Siam‟. Genet Agri 36: 113–8
Geraci G, Starrantino A. 1990. Attempts to regenerate haploid plants from in vitro cultures of Citrus anthers. Acta Horticulturae 280: 315
–320 Germana MA, Chiancone B. 2003. Gynogenetic haploids of Citrus after in vitro
pollination with triploid pollen grains. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 66: 59
–66 George EF, Hall M, Klerk G. 2008. Plant Propagation by Tissue Culture.
Netherlands: Springer Gioi, Tanh D, Vuong D. 2002. Effect of different media and genotypes on anther
cultre efficiency of F1 plants drived from crosses between IR64 and new plant type rice cultivars. Omorice 10: 107-109
Guha S, Maheswari SC. 1966. Cell Division and Differentiation of Embryos in the Pollen Grains of Datura In Vitro. London: Nature
Gunawan L. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Institut Pertanian Bogor
Heberle BE. 1999. Isolated pollen culture in Tobacco. Plant Reprod 2 : 1-10. Helmiyesi H, Rini P, Erma S. 2009. Pengaruh lama penyimpanan terhadap kadar
gula dan vitamin C pada buah jeruk Siam Citrus nobilis var.microcarpa. Anatomi dan fisiologi 16: 33-37.
Hidaka T. 1984. Induction of plantlents from anthers of Trovita orange Citrus sinensis Osbeck. Hort. Sci 53:1-5
HidakaT. 1987. Effects of sucrose concentration, pH of media, and culture temperature on anther cultureof Citrus sp. Japan Journal of Breeding
34: 416 –422
Hoque A, Kumar Biswas M, Alam S. 2007. Variation of callus through anther culture in water chesnut Trapa sp.. Turkey Jounal Biology 31: 41-45.
Hu H, Zeng J. 1984. Development of New Varietas via Anther Culture. New York: Worth Publisher
Immonen S, Antilla H. 1999. Cold pretreatment to enhance green plant regeneration from rye anther culture. Biotechnology 57: 121-127
Indrianto A, Endang S, Surifah F. 2004. Produksi galur murni melalui induksi embriogenik mikrospora cabai merah dengan stres. Zuriat 15: 133-139
Karjadi AK, Buchory A. 2007. Pengaruh komposisi media dasar, penambahan BAP dan pikloram terhadap induksi tunas bawang merah. J.Hort. 18 :
1-9 Karsinah, Sudarsono, Setyobudi L, Aswidinnoor H. 2002. Keragaman genetik
plasma nutfah jeruk berdasarkan analisis penanda RAPD. Jurnal Bioteknologi Pertanian 7: 8-16
Khan I. 2007. Citrus Genetics, Breeding, and Biotechnology. London: Oxfordshire
Kosmiatin M, Purwito A, Husni A. 2009. Induksi kalus pada antera jeruk Keprok. Prosiding Simposium dan Kongres PERIPI V1: 475-484.
Kyo M, Harada H. 1986. Control of the development pathway of tobacco in vitro. Planta 168: 427
–432. Lentini ZP, Reyes CP, Roca WM. 1995. Androgenesis of highly recalcitrant rice
genotypes with maltose and silver nitrate. Plant Science 110: 127-138. Ling J, Iwamasa M, Nito N. 1988. Plantlet regeneration by anther culture of
Calamondin C. madurensis Lour. Japan Journal of Breeding 38: 312 –
320. Maluszynski M, Kasha KJ, Forster BP, Szarejko I. 2003. Doubled Haploid
Production in Crop Plants. London: Kluwer Academic Publishers Mariska I, Gati E, Sukmadjaya D. 1987. Kultur masa tunas dan tangkai daun pada
tanaman Geranium secara in vitro. Teknologi Pertanian 13: 41-45. Marlina M. 2009. Teknik perbanyakan Lili dengan kultur jaringan. Teknologi
Pertanian 14: 6-8.
Martasari C, Hardiyanto H. 2003. Teknik identifikasi varietas jeruk. Balai Penelitian Jeruk dan Buah Subtropika
. 10: 6
– 12. Martosupono M, Semangun H, Sunbanu BY. 2007. Budidaya Jeruk Keprok Soe
di Kabupaten Timor Tengah Selatan. AGRIC 18: 87 – 102
Morrison RA, Evans DA. 1988. Haploid plants from tissue culture. Biotechnology 6: 684 - 690.
Munarso K, Yuniati P, Dewi I, dan Suwarno. 2008. Regenerasi tanaman dengan kultur antera beberapa persilangan padi hibrida. Penelitian pertanian
tanaman pangan 27: 15 - 17. Muswita. 2003. Kultur anter dan analisis tanaman cabai Capsicum annum L.
haploid dan dihaploid [Tesis]. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Nasir M. 2002. Bioteknologi dan Molekuler. Yogyakarta: Kanisius
Novak FJ, Havel L, Dolezel J. 1986. Handbook Plant Cell Culture. New York:
Chapman Hall. Palmer CE, Keller WA. 1997. Pollen Embryos. Dalam: Sowhney VK, Shivanna
KR. Pollen Biotechnology For Crop Production and Improvement. USA: Cambridge Univ
Prahardini I, Sudaryono T. 1992. Induksi kalus pada antera pepaya. Teknologi Pertanian 13: 10 - 15.
Purwanto E, Endang Y, Djati W. 2003. Keragaman plasma nutfah jeruk besar Citrus maxima Merr berdasarkan karakter morfologi. Bioteknologi
Pertanian 7 : 13 – 17
Raven PH, Evert RF, Eichhorn SE. 1992. Biology of Plants. New York: Worth Publisher
Read PE. 1990. Environtment Effects in Micropropagation dalam: Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman. Jakarta: Bumi Aksara
Sangwan RS, Norreel BS. 1996. Cytological and Biochemical Aspects of In Vitro Androgenesis in Higher Plants. Netherlands: Kluwer Academic
Publishers. Sastrosumarjo S. 2006. Sitogenetika Tanaman. Institut Pertanian Bogor
Savaskan C, Sjarejko I, Toker M. 1999. Callus production and plant regeneration
from anther culture of some turkish Barley cultivars. Journal of Botany 23: 359
– 365
Septiani P. 2008. Perkembangan mikrospora dan induksi pembelahan sporofitik pada kultur antera kelapa sawit [Skripsi]. Bogor : Institut Pertanian
Bogor. Shirdelmoghanloo H, Moieni A, Mousavi A. 2009. Effect of embryo induction
media and pretreatments in isolated microspore culture of hexaploid wheat Triticum aestivem L. Cv. Falat. African Journal of
Biotechnology 8: 6134 - 6140
Somantri IH, Ambarwati DA. 2001. Kultur antera, teknik penyelamatan embrio dan rekayasa genetik untuk menunjang pemuliaan tanaman padi. Bul.
Agron. 29: 94 - 99 Sugiri, Anton M. 2006. Pembentukan kalus embrioid kultur ovary pisang melalui
beberapa komposisi media kultur. Makalah individu, semester genap 2005 pengantar falsafah Sains PPS702 program S3 : 1-8.
Sukarmin. 2008. Teknik perbanyakan berbagai macam setek daun jeruk varietas JC Japanche citroen. Teknik Pertanian 13: 59 - 61.
Sumaryono, Riyadi I. 2005. Pertumbuhan biak kalus dan suspensi sel tanaman kina Cinchona ledgeriana Moens. Menara Perkebunan. 73: 1 - 11.
Sunderland N, Roberts M. 1979. Cold pretreatment of excised flower buds in float culture of tobacco anthers. Oxford Journals 43: 405 - 414
Suryowinoto M. 1996. Pemuliaan Tanaman Secara In Vitro. Yogyakarta :Kanisius Syahid, Fatimah S dan Kristina N. 2007. Induksi dan regenerasi kalus keladi tikus
Typonium flagell. Jurnal litri. 13: 142-146. Taji A, Kumar P, Lakshmanan A. 2002. In vitro Plant Breeding. New York.
Haworth Press Tang Y, Huanxiu L, Bin L, Hong L. 2007. Callus formation from anther culture in
balsam pear Momordica charantia L.. Agric. Sci 6: 308-312. Thomas E, Davey MR. 1975. From Single Cell to Plants. London: Wykehem
publication. Touraev A, Vicente O, Bors H. 1997. Initiation of microspore embryogenesis by
stress. Plant Sci. 2: 298 –300.
Tsay H. 1982. The microspore development and haploid embriogenesis of anther culture with five nitrogen doses to the donor tobacco plants. Agris
China 31: 001 – 013
Van Steenis CG. 1975. Flora Voor de Scholen. New York: Haworth Press Wahidah B. 2010. Pengaruh cekaman pelaparan dan suhu tinggi terhadap induksi
embriogenesis mikrospora tembakau. Jurnal Biologi 14: 1 - 6 Wattimena GA. 1992. Bioteknologi Tanaman. Institut Pertanian Bogor
Webber HJ. 1967. History and Development of the Citrus Industri. New York: Oxfordshire UK.
Wehr B, Wenzel G. 1993. Andro and Parthenogenesis. London: Chapman Hall Wulandari S, Syafii W, Yossilia. 2004. Respon eksplan daun tanaman jeruk manis
Citrus sinensis L. secara in vitro akibat pemberian NAA dan BA. Jurnal Biogenesis 1: 21 - 21
Zagorska NA, Shtereva A, Dimitov BD, Kruleva MM. 1998. Induced androgenesis in tomato Lycopersicon esculentum Mill. Plant cell 17:
968 - 975. Zapta FJ. 1990. Tissue Culture Tehniques. Philippines
Zhang C, Qifeng C. 1993. Genetic studies of rice Oryza sativa L anther culture response. Plant cell 34: 177-182.
Zulkarnain H. 2009. Kultur Jaringan Tanaman. Jakarta: Bumi Aksara
LAMPIRAN
1. Komposisi media Murashige and Tucker satuan dalam mgL