ANALISIS FAKTOR RISIKO DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU PADA BALITA DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT Analisis Faktor Risiko Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Pada Balita Di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta.

(1)

i

ANALISIS FAKTOR RISIKO DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU PADA BALITA DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT

SURAKARTA

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan

Oleh :

DYIMES PRESIDIANA WARDHANI J410130114

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2017


(2)

ii

HALAMAN PERSETUJUAN

ANALISIS FAKTOR RISIKO DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU PADA BALITA DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT

SURAKARTA

PUBLIKASI ILMIAH

Oleh

DYIMES PRESIDIANA WARDHANI J 410 130 114

Telah diperiksa dan disetujui untuk diuji oleh :

Dosen Pembimbing

Rezania Asyfiradayati, SKM., MPH NIK. 110.1688


(3)

iii

HALAMAN PENGESAHAN

ANALISIS FAKTOR RISIKO DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU PADA BALITA DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT

SURAKARTA

OLEH :

DYIMES PRESIDIANA WARDHANI J 410 130 114

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Surakarta Pada hari Jumat, 19 Mei 2017 dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Dewan Penguji

1. Rezania Asyfiradayati, SKM., MPH (Ketua Dewan Penguji)

(...)

2. Anisa Catur Wijayanti, SKM., M.Epid (Anggota I Dewan Penguji)

(...)

3. Kusuma Estu Werdani, SKM., M.Kes (Anggota II Dewan Penguji)

(...)

Dekan

Dr. Suwaji, M.Kes NIK. 195311231983031002


(4)

iv

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam naskah publikasi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar keserjanaan disuatu perguruan tinggi dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila kelak terbukti ada ketidakbenaran dalam pernyataan saya diatas, maka akan saya pertanggungjawabkan sepenuhnya.

Surakarta, 19 Mei 2017

Penulis

DYIMES PRESIDIANA WARDHANI J 410 130 114


(5)

1

ANALISIS FAKTOR RISIKO DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU PADA BALITA DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT

SURAKARTA

ABSTRAK

Tuberkulosis merupakan penyakit yang menjadi perhatian global. Tuberkulosis pada anak menyebabkan kematian sebanyak 140.000 setiap tahun. Pada tahun 2016 terdapat 70 kasus tuberkulosis paru pada anak di BBKPM Surakarta dan sebanyak 49 anak berusia balita. Balita mempunyai risiko lebih besar untuk tertular tuberkulosis karena imunitas selularnya belum berkembang sempurna. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru pada balita di BBKPM Surakarta. Jenis penelitian ini adalah observasional menggunakan

pendekatan Case Control dengan perbandingan 1:2. Populasi penelitian adalah seluruh

pasien balita yang menderita tuberkulosisis paru di BBKPM Surakarta pada tahun 2016 dan bertempat tinggal di wilayah Solo raya sebanyak 46 balita dengan teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah sampling jenuh. Sebanyak 5 sampel

mengalami drop out sehingga total sampel 41:82 yakni 123 sampel. Analisis data

menggunakan Uji Chi-square. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara

riwayat kontak serumah (p=0,000) dan status ekonomi (p=0,000) dengan kejadian tuberkulosis paru pada balita di BBKPM Surakarta, tetapi tidak ada hubungan dengan paparan asap rokok anggota keluarga (p=0,602) dan tingkat pengetahuan ibu tentang tuberkulosis paru (p=0,066).

Kata kunci : Balita, faktor risiko, tuberkulosis paru ABSTRACT

Tuberculosis is a disease of global concern. Tuberculosis in children causes 140,000 deaths annually. In 2016 there are 70 cases of pulmonary tuberculosis of children in BBKPM Surakarta and as many as 49 children under five years old. Toddlers have a greater risk of contracting tuberculosis because cellular immunity is not fully developed. This study aims to analyze risk factors associated with the incidence of pulmonary tuberculosis in infants at BBKPM Surakarta. The type of this research is observational using Case Control approach with ratio 1: 2. The research population is all under five patients suffering from pulmonary tuberculosis in BBKPM Surakarta in 2016 and residing in Solo region as many as 46 children under five years with sampling technique used is saturated sampling . A total of 5 samples had dropped out so the total sample 41: 82 is 123 samples. Data analysis using Chi-square test. The result of the study showed that there was a correlation between household contact history (p = 0.000) and economic status (p = 0.000) with the incidence of pulmonary tuberculosis in underweight at BBKPM Surakarta, but no association with family cigarette smoke (p = 0.602) Mother about pulmonary tuberculosis (p = 0.066).


(6)

2 1. PENDAHULUAN

Tuberkulosis merupakan penyakit yang menjadi perhatian global. Berbagai upaya pengendalian telah dilakukan untuk menurunkan insidensi dan kematian akibat tuberkulosis, tetapi pada tahun 2014 tuberkulosis masih menyerang 9,6 juta orang dan menyebabkan 1,2 juta kematian. Jumlah kasus baru tuberkulosis paru pada tahun 2014 sebanyak 5,2 juta dan sebanyak 3 juta kasus terkonfimasi bakteriologis (WHO, 2015). Jumlah kasus tuberkulosis di Indonesia terus meningkat. Jumlah kasus baru tuberkulosis pada tahun 2015 sebanyak 130 per 100.000 penduduk, meningkat dibandingkan jumlah kasus baru tuberkulosis pada tahun 2014 sebesar 129 per 100.000 penduduk (Kemenkes, 2016). Di Jawa Tengah jumlah kasus baru tuberkulosis sebesar 89,01 per 100.000 penduduk pada tahun 2014, menurun dibandingkan jumlah kasus baru tuberkulosis pada tahun 2013 yaitu sebesar 114 per 100.000 penduduk. Jumlah kasus baru tuberkulosis paru terkonfirmasi bakteriologis pada tahun 2014 di Jawa Tengah sebesar 55,99 per 100.000 penduduk (Dinas Kesehatan Jawa Tengah, 2015).

WHO (2015) menyatakan kasus baru tuberkulosis di dunia pada usia di bawah 15 tahun mencapai 1 juta dengan jumlah kematian sebanyak 140.000 setiap tahun. Kemenkes RI (2013) menyatakan bahwa tuberkulosis anak merupakan penyakit tuberkulosis yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun. Kasus tuberkulosis pada anak di Indonesia mengalami peningkatan. Pada tahun 2014 proporsi kasus tuberkulosis pada anak sebesar 7,1%, dan mengalami peningkatan pada tahun 2015 menjadi 8, 59% dari seluruh kasus tuberkulosis pada semua kelompok umur (Kemenkes, 2016). Di Jawa Tengah proporsi kasus tuberkulosis anak di antara kasus baru tuberkulosis paru yang tercatat sebesar 6,63% pada tahun 2014. Kasus tuberkulosis paru pada anak di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta sebagian besar terjadi pada usia balita. Menurut Soetjiningsih (2002), balita merupakan anak usia di bawah lima tahun. Kasus tuberkulosis paru anak pada tahun 2013 yakni 93 kasus, dan sebanyak 69 anak berusia balita. Kasus tuberkulosis paru anak meningkat pada tahun 2014 menjadi 106 kasus dan sebanyak 83 anak berusia balita. Kasus tuberkulosis anak pada tahun 2015 yakni 89 kasus, dan sebanyak 67 anak berusia balita. Kasus tuberkulosis paru anak pada tahun 2016 yakni 70 kasus dan sebanyak 49 anak berusia balita (BBKPM, 2016).

Balita mempunyai risiko lebih besar untuk tertular tuberkulosis karena imunitas selularnya belum berkembang sempurna (imatur). Tuberkulosis pada balita dapat


(7)

3

menyebabkan hemoptisis berat yang dapat mengakibatkan kematian (Rahajoe et.al,

2015). Faktor risiko terjadinya infeksi tuberkulosis paru pada balita antara lain kontak dengan penderita tuberkulosis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat dan tingkat pengetahuan orang tua yang rendah (Rahajoe et.al 2015, Ngastiyah 2005). Kemenkes (2013) menyatakan bahwa sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien tuberkulosis paru dewasa dengan BTA sputum positif akan terinfeksi tuberkulosis. Salah satu faktor

utama berkembangnya kuman Mycobacterium tuberculosis di Indonesia yaitu status

ekonomi yang rendah karena ketidakmampuan menciptakan lingkungan rumah dan sanitasi yang memenuhi syarat kesehatan. Lingkungan rumah yang tidak sehat meningkatkan risiko penularan tuberkulosis paru. Tingkat pengetahuan ibu merupakan

faktor penting dalam melindungi balita dari infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis.

Kemenkes (2014) menyatakan lebih dari 43 juta anak Indonesia serumah dengan perokok dan terpapar asap tembakau. Anak yang terpapar asap tembakau dapat mengalami pertumbuhan paru yang lambat, sehingga mudah terkena infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah riwayat kontak serumah, status ekonomi, paparan asap rokok anggota keluarga, pengetahuan ibu tentang tuberkulosis paru merupakan faktor risiko kejadian tuberkulosis paru pada balita di BBKPM Surakarta.

2. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional dengan

pendekatan Case Control, yang merupakan penelitian analitik (Notoatmodjo, 2012).

Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2017. Tempat penelitian di Solo raya yang meliputi Kabupaten Sragen, Karanganyar, Surakarta, Sukoharjo, Wonogiri, Klaten, dan Boyolali

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien balita yang menderita tuberkulosisis paru di BBKPM Surakarta pada tahun 2016 dan bertempat tinggal di wilayah Solo raya yaitu 46 balita. Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada kelompok kasus adalah sampling jenuh. Sampling jenuh merupakan cara pengambilan sampel dengan mengambil semua anggota populasi untuk dijadikan sampel (Hidayat, 2010). Dalam penelitian ini hanya 41 responden yang dapat mengikuti penelitian,


(8)

4

sedangkan 5 responden mengalamidropped out. Penelitian ini menggunakan rancangan

kasus kontrol dengan perbandingan 1 : 2, sehingga jumlah seluruh sampel 41: 82 yakni 123 sampel.

Analisis data yang digunakan adalah analisis univariat dan analisis bivariat. Analisis univariat bertujuan untuk mengetahui distribusi frekuensi dan persentase dari variabel yang diteliti. Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara masing-masing variabel bebas yaitu riwayat kontak serumah, status ekonomi, paparan asap rokok anggota keluarga, tingkat pengetahuan ibu, dengan variabel terikat kejadian

tuberkulosis paru pada balita menggunakan uji statistik Chi-Square

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Karakteristik Responden

Sampel dalam penelitian ini adalah balita, tetapi melibatkan ibu dari balita sebagai responden penelitian.

3.1.1 Karakteristik Responden

Tabel 1. Distribusi Karateristik Responden

Karakteristik Responden Kasus Kontrol

N % n %

Kabupaten

Surakarta 16 39 32 39

Karanganyar 8 19,5 16 19,5

Wonogiri 2 4,9 4 4,9

Boyolali 6 14,6 12 14,6

Sragen 4 9,8 8 9,8

Klaten 1 2,4 2 2,4

Sukoharjo 4 9,8 8 9,8

Usia

20-<30 tahun 14 34,1 32 39

30-<40 tahun 23 56,1 35 42,7

40-<50 tahun 4 9,8 15 18,3

Pekerjaan

Ibu rumah tangga 23 56,1 57 69,5

Swasta 9 22 20 24,2

Wiraswasta 8 19,5 4 4,9

PNS 1 2,4 1 1,2

Pendidikan Terakhir

SD 2 4,9 9 11,0

SMP 8 19,5 21 25,6

SMA 22 53,7 37 45,1


(9)

5

Berdasarkan Tabel 1 diketahui paling banyak responden berasal dari Kabupaten Surakarta sebanyak 16 orang (39%). Berdasarkan karakteristik umur sebagian besar responden berusia 30-<40 tahun, yakni pada kelompok kasus sebanyak 23 orang (56,1%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 35 orang (42,7%).

Berdasarkan jenis pekerjaan sebagian besar responden merupakan ibu rumah tangga, yakni pada kelompok kasus sebanyak 23 orang (56,1%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 57 orang (69,5%). Berdasarkan pendidikan terakhir sebagian besar responden merupakan tamatan SMA, yakni pada kelompok kasus sebanyak 22 orang (53,7%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 37 orang (45,1%).

3.2.2 Karakteristik Sampel Penelitian

Tabel 2. Distribusi Karateristik Sampel Penelitian

Karakteristik Sampel Kasus Kontrol

n % n %

Usia Anak

< 1 tahun 0 0 12 14,6

1-<2 tahun 8 19,5 18 22

2-<3 tahun 13 31,7 26 31,7

3-<4 tahun 7 17,1 14 17,1

4-<5 tahun 13 31,7 12 14,6

Total 41 100 82 100

Usia Terdiagnosis TB Paru

Tidak Pernah 0 0 82 100

< 1 tahun 5 12,2 0 0

1-<2 tahun 12 29,3 0 0

2-<3 tahun 10 24,4 0 0

3-<4 tahun 9 22,0 0 0

4-<5 tahun 5 12,2 0 0

Total 41 100 82 100

Jenis Kelamin

Laki-laki 18 43,9 41 50

Perempuan 23 56,1 41 50

Total 41 100 82 100

Status BCG

Tidak 0 0 0 0

Iya 41 100 82 100

Total 41 100 82 100

Anak ke

Pertama 17 41,5 28 34,1

Kedua 17 41,5 35 42,7

Ketiga 7 17,1 16 19,5

>3 0 0 3 3,7


(10)

6

Berdasarkan Tabel 2 diketahui paling banyak sampel berusia 2-3 tahun, yakni pada kelompok kasus sebanyak 13 anak (31,7%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 26 anak (31,7%). Berdasarkan usia saat terdiagnosisi tuberkulosis paru, sampel pada kelompok kasus paling banyak terdiagnosis tuberkulosis paru pada usia 1-<2 tahun yakni sebanyak 12 anak (29,3%). Pada kelompok kontrol tidak ada anak yang terdiagnosis tuberkulosis paru.

Berdasarkan jenis kelamin sebagian besar kelompok kontrol adalah perempuan yakni sebanyak 18 anak (43,9%). Pada kelompok kontrol jumlah sampel laki-laki dan perempuan sama yakni masing-masing 41 anak (50%). Berdasarkan status imunisasi BCG semua sampel telah diberikan imunisasi BCG (100%). Sebagian besar kelompok kasus merupakan anak pertama dan kedua dengan jumlah yang sama yakni masing-masing 17 anak (41,5%). Pada kelompok kontrol paling banyak merupakan anak kedua yakni sebanyak 35 anak (42,7%).

3.2 Analisis Bivariat

3.2.1 Hubungan antara Riwayat Kontak Serumah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru

pada Balita di BBKPM Surakata

Tabel 3. Hubungan antara Riwayat Kontak Serumah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru pada Balita di BBKPM Surakata

Riwayat Kontak Serumah Kasus Kontrol p value

n % n %

Ya 20 48,8 0 0 0,000

Tidak 21 51,2 82 100

Jumlah 41 100 82 100

Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan nilai p value 0,000 yang menunjukkan

bahwa ada hubungan antara riwayat kontak serumah dengan kejadian tuberkulosis paru pada balita. Nilai OR pada penelitian ini tidak dihasilkan karena terdapat salah satu sel

yang kosong. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ajiz et.al (2009) dan Halim

et.al (2015).

Riwayat kontak serumah dengan penderita tuberkulosis paru merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Menurut Kemenkes (2013) anak dengan kejadian tuberkulosis paru harus dicari sumber penularan dengan melakukan identifikasi terhadap keluarga yang tinggal serumah. Selain itu untuk mencegah kejadian tuberkulosis pada anak yang tinggal serumah dengan penderita tuberkulosis paru


(11)

7

dilakukan pemberian kemprofilaksis. BBKPM Surakarta hanya melakukan pengobatan bagi pasien yang datang ke BBKPM Surakarta dan tidak melakukan pencarian kasus baru tuberkulosis secara aktif.

Crofton et.al (2002) menyatakan bahwa anak yang terinfeksi tuberkulosis

hampir selalu tertular oleh anggota keluarganya. Selain itu Chin (2009) menyatakan bahwa bahwa keluarga yang tinggal serumah dengan penderita tuberkulosis paru mempunyai risiko yang lebih besar untuk tertular tuberkulosis paru karena tidak dapat

menghindari kontak dengan penderita. Pajanan kuman Mycobacterium tuberkulosis

selama jangka waktu yang lama dan dalam satu rumah menyebabkan risiko terinfeksi sebesar 30%. Eka (2013) menyatakan bahwa tingkat penularan tuberkulosis paru di lingkungan keluarga cukup tinggi, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya. Hal tersebut terjadi karena adanya penderita tuberkulosis di rumah meningkatkan frekuensi dan durasi kontak dengan.

3.2.2 Hubungan antara Status Ekonomi dengan Kejadian Tuberkulosis Paru pada

Balita di BBPKM Surakata

Tabel 4. Hubungan antara Status Ekonomi dengan Kejadian Tuberkulosis Paru pada Balita di BBKPM Surakata

Status Ekonomi Kasus Kontrol p value OR 95% CI

n % n %

Rendah 21 51,2 15 18,3 0,000 4,690 2,046-10,753

Tinggi 20 48,8 67 81,7

Jumlah 41 100 82 100

Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan nilai p value 0,000 yang menunjukkan

bahwa ada hubungan yang signifikan antara status ekonomi dengan kejadian tuberkulosis paru pada balita. Nilai OR= 4,690 (95% CI 2,046-10,753) sehingga dapat diartikan bahwa balita yang memiliki status ekonomi rendah berisiko sebesar 4,690 kali untuk menderita tuberkulosis paru. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ajiz et.al (2009) dan Rakhmawati et.al (2009).

Achmadi (2008) menyatakan jika status ekonomi yang rendah berkaitan dengan ketidakmampuan membuat rumah yang memenuhi syarat kesehatan, kurangnya pemenuhan gizi, serta kurangnya mendapat jangkauan pelayanan kesehatan. Responden menyatakan bahwa penderita tuberkulosis paru baru memeriksakan ke pelayanan kesehatan setelah tidak berhasil diobati sendiri menggunaakan obat warung. Diagnosa


(12)

8

tuberkulosis paru baru diketahui ketika memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan, tetapi sebelumnya sudah bisa menjadi sumber penularan tuberkulosis paru di lingkungannya. Padahal BBKPM Surakarta merupakan salah satu pelayanan kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Selain itu sebagian besar pendidikan ibu merupakan tamatan SMA (53,7%), sehingga seharusnya memiliki pengetahuan atau kemampuan untuk akses informasi yang baik.

3.2.3 Hubungan antara Paparan Asap Rokok Anggota Keluarga dengan Kejadian

Tuberkulosis Paru pada Balita di BBKPM Surakata

Tabel 5. Hubungan antara Paparan Asap Rokok Anggota Keluarga dengan Kejadian Tuberkulosis Paru pada Balita di BBKPM Surakata

Paparan Asap Rokok Anggota Keluarga

Kasus Kontrol p value

n % n %

Ya 26 63,4 48 58,5 0,602

Tidak 15 36,6 34 41,5

Jumlah 41 100 82 100

Berdasarkan hasil uji statistik dari penelitian ini didapatkan nilai p value 0,602

yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara paparan asap rokok anggota keluarga dengan kejadian tuberkulosis paru pada balita. Hal ini dikarenakan proporsi balita yang terpapar rokok antara kelompok kasus (63,4%) dan kelompok kontrol (58,5%) tidak berbeda jauh. Padahal sebagian besar pekerjaan ibu baik pada kelompok kasus (56,1%) maupun kelompok kontrol (69,5%) adalah sebagai ibu rumah tangga, sehingga seharusnya pengawasan atau perlindungan terhadap balita dari paparan asap rokok akan lebih baik. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wiharsimi (2013)

dan Halim et.al (2009).

Meskipun hasil analisis bivariat menunjukkan tidak adanya hubungan namun dilihat dari proporsi balita yang terpapar asap rokok anggota keluarga lebih banyak pada kelompok kasus dibandingkan dengan kelompok kontrol. Merokok dapat mengganggu efektifitas sebagian mekanisme pertahanan respirasi, hasil dari asap rokok dapat merangsang pembentukan mukosa dan menurunkan pergerakan silia sehingga menyebabkan terjadinya penimbunan mukosa dan peningkatan risiko pertumbuhan

bakteri termasuk kuman Mycobacterium tuberkulosis yang berakibat pada rentannya


(13)

9

3.2.4 Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Tuberkulosis Paru dengan

Kejadian Tuberkulosis Paru pada Balita di BBKPM Surakata

Tabel 6. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Tuberkulosis Paru dengan Kejadian Tuberkulosis Paru pada Balita di BBKPM Surakata

Tingkat Pengetahuan Ibu Kasus Kontrol p value

n % n %

Kurang 11 26,8 36 43,9 0,066

Baik 30 73,2 46 56,1

Jumlah 41 100 82 100

Berdasarkan hasil uji statistik dari penelitian ini didapatkan nilai p value

0,066 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu tentang tuberkulosis paru dengan kejadian tuberkulosis paru pada balita. Hal ini dikarenakan sebagian besar ibu baik pada kelompok kasus (73,2%) maupun kelompok kontrol (56,1%) memiliki tingkat pengetahuan yang baik tentang tuberkulosis paru. Sebagian besar ibu baik pada kelompok kasus (75,7%) maupun kelompok kontrol (63,4%) merupakan tamatan SMA dan perguruan tinggi sehingga sudah memiliki pengetahuan atau kemampuan untuk akses informasi yang baik. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wiharsimi (2013) dan Roswendi (2009).

Sebagian besar responden menjawab pertanyaan dengan benar. Persentase jawaban benar untuk pertanyaan penyebab 72%, penularan 80%, gejala 98%, pencegahan 78% dan pengobatan 77%. Dari beberapa pertanyaan yang diajukan, persentase jawaban benar yang lebih sedikit yaitu mengenai penyebab (72%) dan pengobatan (77%). Sebanyak 28% responden menyatakan bahwa tuberkulosis paru merupakan penyakit keturunan. Selain itu sebanyak 23% responden tidak mengetahui pengobatan tuberkulosis dengan benar.

Proporsi ibu yang memiliki pengetahuan baik tentang tuberkulosis paru lebih banyak pada kelompok kasus (73,2%) dari pada kelompok kontrol (56,1%) dikarenakan wawancara dilakukan setelah balitanya menderita tuberkulosis paru dan sebagian besar balita telah menyelesaikan pengobatannya. Selama proses pengobatan responden telah mendapatkan edukasi tentang tuberkulosis paru. Menurut Notoatmodjo (2011) pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan. Ibu yang memiliki pengetahuan tinggi tentang tuberkulosis akan bisa menjaga sumber


(14)

10

penularan yang ada di rumahnya untuk tidak menginfeksi anggota keluarga lainnya, serta dapat menjaga balita agar tidak tertular tuberkulosis paru.

4. PENUTUP 4.1 Kesimpulan

Karakterisik responden paling banyak berasal dari kabupaten Surakarta (39,0%), berusia 30-< 40 tahun (kelompok kasus 56,1%, kelompok kontrol 42,7%), sebagai ibu rumah tangga (kelompok kasus 56,1%, kelompok kontrol 69,5%) dan pendidikan terakhir adalah tamatan SMA (kelompok kasus 53,7%, kelompok kontrol 45,1%). Karakteristik sampel sebagian besar berusia 2-3 tahun (kelompok kasus 31,7%, kelompok kontrol 31,7%), semua sampel sudah mendapatkan imunisasi BCG (100%). Pada kelompok kasus usia paling banyak terdignosis tuberkulosis paru yakni usia 1-<2 tahun (29,3%), jenis kelamin perempuan (56,1% ) serta merupakan anak pertama dan kedua (masing-masing 41,5%). Pada kelompok kontrol tidak ada yang terdiagnosis tuberkulosis paru, jenis kelamin perempuan dan laki-laki sama (masing-masing 50%), serta merupakan anak kedua (42,7%).

Ada hubungan antara riwayat kontak serumah (p value 0,000) dan status

ekonomi (p value 0,000; OR= 4,690; 95% CI= 2,046-10,753) dengan kejadian

tuberkulosis paru pada balita di BBKPM Surakarta (p value 0,000). Tidak ada hubungan

antara paparan asap rokok anggota keluarga (p value 0,602) dan tingkat pengetahuan

ibu tentang tuberkulosis paru(p value 0,066) dengan kejadian tuberkulosis paru pada

balita di BBKPM Surakarta. 4.2 Saran

4.2.1 Bagi BBKPM Surakarta

Melakukan kerjasama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten dalam rangka pencarian kasus baru secara aktif, memberikan kemoprofilaksis bagi balita yang tinggal serumah dengan penderita tuberkulosis paru, mengoptimalkan pemantauan dan pengobatan tuntas pada balita yang terdiagnosis tuberkulosis, memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang penyebab dan pengobatan tuberkulosis paru serta meningkatkan penyebaran informasi bahwa BBKPM Surakarta bekerjasama dengan BPJS Kesehatan


(15)

11

sehingga masyarakat dengan status ekonomi rendah tidak perlu takut untuk memeriksakan diri maupun melakukan pengobatan.

4.2.2 Bagi Masyarakat

Keluarga terutama ibu perlu menjaga balita dari kontak langsung dengan penderita tuberkulosis paru, serta meningkatkan pengetahuan tentang penyebab tuberkulosis paru. 4.2.3 Bagi Peneliti Lain

Peneliti lain dapat menggunakan kelompok kontrol yang diambil dari balita yang tidak terdianogsis paru berdasarkan uji laboratrium dan diagnosis dokter serta melakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru pada balita seperti status gizi dan kondisi fisik rumah.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi U.F. (2008). Manajemen Penyakit Berbasi Lingkungan. Jakarta: Penerbit

Universitas Indonesia.

Ajiz E., Mulyani N.S, Pramono D. (2009). Hubungan antara Faktor-faktor Eksternal

dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis pada Balita. Berita Kedokteran

Masyarakat, Vol. 25, No. 3, September 2009.

Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta. (2016). Data Pasien Tuberkulosis

Anak Tahun 2013-2016. Surakarta: BKKPM Surakarta.

Chin J. (2009). Manual Pemberantasan Penyakit Menular (I Nyoman Kandun,

Penerjemah). Jakarta: Infomedika.

Crofton J., Horne N., Miller F. (2002). Tuberklosis Klinis (Muherman Harun,

Penerjemah). Jakarta: Widya Medika.

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. (2015). Profil Kesehatan Provinsi Jawa

Tengah Tahun 2014. Semarang: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.

Eka F. (2013). Faktor Risiko yang berhubungan dengan Kejadian Tuberkulosis Paru.

[Skripsi Ilmiah]. Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Halim, Naning R., Satrio D.B. (2015). Faktor Risiko Kejadian TB Paru pada Anak Usia

1-5 Tahun di Kabupaten Kebumen. Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri

Sains. Volume 17, Nomor 2, Juli-Desember 2015.

Hidayat A.A.A. (2010). Metode Penelitian Kesehatan Paradigma Kuantitatif. Surabaya:

Health Books Publishing.

Kementerian Kesehatan RI. (2011). Informasi tentang Penanggulangan Masalah


(16)

12

Kementerian Kesehatan RI. (2013). Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. Jakarta:

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Kementerian Kesehatan RI. (2014). Perilaku Merokok Masyarakat Indonesia

Berdasarkan Riskesdas 2007 dan 2013. Jakarta: Kemenkes RI.

Kementerian Kesehatan RI. (2016). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2015. Jakarta:

Kementerian Kesehatan RI.

Ngastiyah. (2005). Perawatan Anak Sakit, Edisi 2. Jakarta: EGC.

Notoadmojo S. (2011). Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta.

Notoadmojo S. (2012). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Rahajoe N., Supriyanto B., Setyanto D.B. (2015). Buku Ajar Respilogi Anak. Jakarta:

Bada Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Rakhmawati W., Fatimah S., Nurhidayah I. (2009). Faktor-Faktor yang Berhubungan

dengan Kejadian Tuberkulosis pada Anak di Kecamatan Ngamprah Kabupaten Bandung Barat. [Laporan Akhir Penelitian]. Bandung: Universitas Padjadjaran.

Roswendi A. S. (2009). Faktor Determinan Kejadian TB Paru pada Anak di Kabupaten

Purworejo Provinsi Jawa Tengah. [Tesis Ilmiah]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Soetjiningsih. (2002). Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC.

Wiharsimi W. (2013). Hubungan Faktor Kontak, Karakteristik Balit dan Orang Tua

dengan Kejadian Tuberkulosis Paru pada Balita di RSPI. Prof. dr. Sulianti Saroso tahun 2012. [Skripsi Ilmiah]. Depok: Universitas Indonesia.

World Health Organization. (2015). Global Tuberculosis Report 2015. Geneva: World


(1)

7

dilakukan pemberian kemprofilaksis. BBKPM Surakarta hanya melakukan pengobatan bagi pasien yang datang ke BBKPM Surakarta dan tidak melakukan pencarian kasus baru tuberkulosis secara aktif.

Crofton et.al (2002) menyatakan bahwa anak yang terinfeksi tuberkulosis hampir selalu tertular oleh anggota keluarganya. Selain itu Chin (2009) menyatakan bahwa bahwa keluarga yang tinggal serumah dengan penderita tuberkulosis paru mempunyai risiko yang lebih besar untuk tertular tuberkulosis paru karena tidak dapat menghindari kontak dengan penderita. Pajanan kuman Mycobacterium tuberkulosis selama jangka waktu yang lama dan dalam satu rumah menyebabkan risiko terinfeksi sebesar 30%. Eka (2013) menyatakan bahwa tingkat penularan tuberkulosis paru di lingkungan keluarga cukup tinggi, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya. Hal tersebut terjadi karena adanya penderita tuberkulosis di rumah meningkatkan frekuensi dan durasi kontak dengan.

3.2.2 Hubungan antara Status Ekonomi dengan Kejadian Tuberkulosis Paru pada Balita di BBPKM Surakata

Tabel 4. Hubungan antara Status Ekonomi dengan Kejadian Tuberkulosis Paru pada Balita di BBKPM Surakata

Status Ekonomi Kasus Kontrol p value OR 95% CI

n % n %

Rendah 21 51,2 15 18,3 0,000 4,690 2,046-10,753 Tinggi 20 48,8 67 81,7

Jumlah 41 100 82 100

Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan nilai p value 0,000 yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara status ekonomi dengan kejadian tuberkulosis paru pada balita. Nilai OR= 4,690 (95% CI 2,046-10,753) sehingga dapat diartikan bahwa balita yang memiliki status ekonomi rendah berisiko sebesar 4,690 kali untuk menderita tuberkulosis paru. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ajiz

et.al (2009) dan Rakhmawati et.al (2009).

Achmadi (2008) menyatakan jika status ekonomi yang rendah berkaitan dengan ketidakmampuan membuat rumah yang memenuhi syarat kesehatan, kurangnya pemenuhan gizi, serta kurangnya mendapat jangkauan pelayanan kesehatan. Responden menyatakan bahwa penderita tuberkulosis paru baru memeriksakan ke pelayanan kesehatan setelah tidak berhasil diobati sendiri menggunaakan obat warung. Diagnosa


(2)

8

tuberkulosis paru baru diketahui ketika memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan, tetapi sebelumnya sudah bisa menjadi sumber penularan tuberkulosis paru di lingkungannya. Padahal BBKPM Surakarta merupakan salah satu pelayanan kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Selain itu sebagian besar pendidikan ibu merupakan tamatan SMA (53,7%), sehingga seharusnya memiliki pengetahuan atau kemampuan untuk akses informasi yang baik.

3.2.3 Hubungan antara Paparan Asap Rokok Anggota Keluarga dengan Kejadian Tuberkulosis Paru pada Balita di BBKPM Surakata

Tabel 5. Hubungan antara Paparan Asap Rokok Anggota Keluarga dengan Kejadian Tuberkulosis Paru pada Balita di BBKPM Surakata

Paparan Asap Rokok Anggota Keluarga

Kasus Kontrol p value

n % n %

Ya 26 63,4 48 58,5 0,602

Tidak 15 36,6 34 41,5

Jumlah 41 100 82 100

Berdasarkan hasil uji statistik dari penelitian ini didapatkan nilai p value 0,602 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara paparan asap rokok anggota keluarga dengan kejadian tuberkulosis paru pada balita. Hal ini dikarenakan proporsi balita yang terpapar rokok antara kelompok kasus (63,4%) dan kelompok kontrol (58,5%) tidak berbeda jauh. Padahal sebagian besar pekerjaan ibu baik pada kelompok kasus (56,1%) maupun kelompok kontrol (69,5%) adalah sebagai ibu rumah tangga, sehingga seharusnya pengawasan atau perlindungan terhadap balita dari paparan asap rokok akan lebih baik. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wiharsimi (2013) dan Halim et.al (2009).

Meskipun hasil analisis bivariat menunjukkan tidak adanya hubungan namun dilihat dari proporsi balita yang terpapar asap rokok anggota keluarga lebih banyak pada kelompok kasus dibandingkan dengan kelompok kontrol. Merokok dapat mengganggu efektifitas sebagian mekanisme pertahanan respirasi, hasil dari asap rokok dapat merangsang pembentukan mukosa dan menurunkan pergerakan silia sehingga menyebabkan terjadinya penimbunan mukosa dan peningkatan risiko pertumbuhan bakteri termasuk kuman Mycobacterium tuberkulosis yang berakibat pada rentannya tubuh pada infeksi tuberkulosis paru (Kemenkes, 2011).


(3)

9

3.2.4 Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Tuberkulosis Paru dengan Kejadian Tuberkulosis Paru pada Balita di BBKPM Surakata

Tabel 6. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Tuberkulosis Paru dengan Kejadian Tuberkulosis Paru pada Balita di BBKPM Surakata

Tingkat Pengetahuan Ibu Kasus Kontrol p value

n % n %

Kurang 11 26,8 36 43,9 0,066

Baik 30 73,2 46 56,1

Jumlah 41 100 82 100

Berdasarkan hasil uji statistik dari penelitian ini didapatkan nilai p value 0,066 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu tentang tuberkulosis paru dengan kejadian tuberkulosis paru pada balita. Hal ini dikarenakan sebagian besar ibu baik pada kelompok kasus (73,2%) maupun kelompok kontrol (56,1%) memiliki tingkat pengetahuan yang baik tentang tuberkulosis paru. Sebagian besar ibu baik pada kelompok kasus (75,7%) maupun kelompok kontrol (63,4%) merupakan tamatan SMA dan perguruan tinggi sehingga sudah memiliki pengetahuan atau kemampuan untuk akses informasi yang baik. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wiharsimi (2013) dan Roswendi (2009).

Sebagian besar responden menjawab pertanyaan dengan benar. Persentase jawaban benar untuk pertanyaan penyebab 72%, penularan 80%, gejala 98%, pencegahan 78% dan pengobatan 77%. Dari beberapa pertanyaan yang diajukan, persentase jawaban benar yang lebih sedikit yaitu mengenai penyebab (72%) dan pengobatan (77%). Sebanyak 28% responden menyatakan bahwa tuberkulosis paru merupakan penyakit keturunan. Selain itu sebanyak 23% responden tidak mengetahui pengobatan tuberkulosis dengan benar.

Proporsi ibu yang memiliki pengetahuan baik tentang tuberkulosis paru lebih banyak pada kelompok kasus (73,2%) dari pada kelompok kontrol (56,1%) dikarenakan wawancara dilakukan setelah balitanya menderita tuberkulosis paru dan sebagian besar balita telah menyelesaikan pengobatannya. Selama proses pengobatan responden telah mendapatkan edukasi tentang tuberkulosis paru. Menurut Notoatmodjo (2011) pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan. Ibu yang memiliki pengetahuan tinggi tentang tuberkulosis akan bisa menjaga sumber


(4)

10

penularan yang ada di rumahnya untuk tidak menginfeksi anggota keluarga lainnya, serta dapat menjaga balita agar tidak tertular tuberkulosis paru.

4. PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Karakterisik responden paling banyak berasal dari kabupaten Surakarta (39,0%), berusia 30-< 40 tahun (kelompok kasus 56,1%, kelompok kontrol 42,7%), sebagai ibu rumah tangga (kelompok kasus 56,1%, kelompok kontrol 69,5%) dan pendidikan terakhir adalah tamatan SMA (kelompok kasus 53,7%, kelompok kontrol 45,1%). Karakteristik sampel sebagian besar berusia 2-3 tahun (kelompok kasus 31,7%, kelompok kontrol 31,7%), semua sampel sudah mendapatkan imunisasi BCG (100%). Pada kelompok kasus usia paling banyak terdignosis tuberkulosis paru yakni usia 1-<2 tahun (29,3%), jenis kelamin perempuan (56,1% ) serta merupakan anak pertama dan kedua (masing-masing 41,5%). Pada kelompok kontrol tidak ada yang terdiagnosis tuberkulosis paru, jenis kelamin perempuan dan laki-laki sama (masing-masing 50%), serta merupakan anak kedua (42,7%).

Ada hubungan antara riwayat kontak serumah (p value 0,000) dan status ekonomi (p value 0,000; OR= 4,690; 95% CI= 2,046-10,753) dengan kejadian tuberkulosis paru pada balita di BBKPM Surakarta (p value 0,000). Tidak ada hubungan antara paparan asap rokok anggota keluarga (p value 0,602) dan tingkat pengetahuan ibu tentang tuberkulosis paru(p value 0,066) dengan kejadian tuberkulosis paru pada balita di BBKPM Surakarta.

4.2 Saran

4.2.1 Bagi BBKPM Surakarta

Melakukan kerjasama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten dalam rangka pencarian kasus baru secara aktif, memberikan kemoprofilaksis bagi balita yang tinggal serumah dengan penderita tuberkulosis paru, mengoptimalkan pemantauan dan pengobatan tuntas pada balita yang terdiagnosis tuberkulosis, memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang penyebab dan pengobatan tuberkulosis paru serta meningkatkan penyebaran informasi bahwa BBKPM Surakarta bekerjasama dengan BPJS Kesehatan


(5)

11

sehingga masyarakat dengan status ekonomi rendah tidak perlu takut untuk memeriksakan diri maupun melakukan pengobatan.

4.2.2 Bagi Masyarakat

Keluarga terutama ibu perlu menjaga balita dari kontak langsung dengan penderita tuberkulosis paru, serta meningkatkan pengetahuan tentang penyebab tuberkulosis paru. 4.2.3 Bagi Peneliti Lain

Peneliti lain dapat menggunakan kelompok kontrol yang diambil dari balita yang tidak terdianogsis paru berdasarkan uji laboratrium dan diagnosis dokter serta melakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru pada balita seperti status gizi dan kondisi fisik rumah.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi U.F. (2008). Manajemen Penyakit Berbasi Lingkungan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Ajiz E., Mulyani N.S, Pramono D. (2009). Hubungan antara Faktor-faktor Eksternal dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis pada Balita. Berita Kedokteran

Masyarakat, Vol. 25, No. 3, September 2009.

Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta. (2016). Data Pasien Tuberkulosis

Anak Tahun 2013-2016. Surakarta: BKKPM Surakarta.

Chin J. (2009). Manual Pemberantasan Penyakit Menular (I Nyoman Kandun, Penerjemah). Jakarta: Infomedika.

Crofton J., Horne N., Miller F. (2002). Tuberklosis Klinis (Muherman Harun, Penerjemah). Jakarta: Widya Medika.

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. (2015). Profil Kesehatan Provinsi Jawa

Tengah Tahun 2014. Semarang: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.

Eka F. (2013). Faktor Risiko yang berhubungan dengan Kejadian Tuberkulosis Paru. [Skripsi Ilmiah]. Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Halim, Naning R., Satrio D.B. (2015). Faktor Risiko Kejadian TB Paru pada Anak Usia 1-5 Tahun di Kabupaten Kebumen. Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri

Sains. Volume 17, Nomor 2, Juli-Desember 2015.

Hidayat A.A.A. (2010). Metode Penelitian Kesehatan Paradigma Kuantitatif. Surabaya: Health Books Publishing.

Kementerian Kesehatan RI. (2011). Informasi tentang Penanggulangan Masalah


(6)

12

Kementerian Kesehatan RI. (2013). Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Kementerian Kesehatan RI. (2014). Perilaku Merokok Masyarakat Indonesia

Berdasarkan Riskesdas 2007 dan 2013. Jakarta: Kemenkes RI.

Kementerian Kesehatan RI. (2016). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2015. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Ngastiyah. (2005). Perawatan Anak Sakit, Edisi 2. Jakarta: EGC.

Notoadmojo S. (2011). Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta.

Notoadmojo S. (2012). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Rahajoe N., Supriyanto B., Setyanto D.B. (2015). Buku Ajar Respilogi Anak. Jakarta: Bada Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Rakhmawati W., Fatimah S., Nurhidayah I. (2009). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Tuberkulosis pada Anak di Kecamatan Ngamprah Kabupaten

Bandung Barat. [Laporan Akhir Penelitian]. Bandung: Universitas Padjadjaran.

Roswendi A. S. (2009). Faktor Determinan Kejadian TB Paru pada Anak di Kabupaten

Purworejo Provinsi Jawa Tengah. [Tesis Ilmiah]. Yogyakarta: Universitas

Gadjah Mada.

Soetjiningsih. (2002). Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC.

Wiharsimi W. (2013). Hubungan Faktor Kontak, Karakteristik Balit dan Orang Tua dengan Kejadian Tuberkulosis Paru pada Balita di RSPI. Prof. dr. Sulianti

Saroso tahun 2012. [Skripsi Ilmiah]. Depok: Universitas Indonesia.

World Health Organization. (2015). Global Tuberculosis Report 2015. Geneva: World Health Organization.


Dokumen yang terkait

ANALISIS FAKTOR RISIKO DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU PADA BALITA DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU Analisis Faktor Risiko Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Pada Balita Di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta.

0 2 16

PENDAHULUAN Analisis Faktor Risiko Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Pada Balita Di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta.

0 2 7

DAFTAR PUSTAKA Analisis Faktor Risiko Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Pada Balita Di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta.

0 15 4

HUBUNGAN PERILAKU MEROKOK DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI BALAI BESAR KESEHATAN Hubungan perilaku merokok dengan kejadian tuberkulosis paru di balai besar kesehatan paru masyarakat (bbkpm) surakarta.

0 2 14

HUBUNGAN PERILAKU MEROKOK DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU Hubungan perilaku merokok dengan kejadian tuberkulosis paru di balai besar kesehatan paru masyarakat (bbkpm) surakarta.

0 1 15

ANGKA KEJADIAN PENEMUAN TUBERKULOSIS PARU PADA PASIEN BRONKIEKTASIS DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT Angka Kejadian Penemuan Tuberkulosis Paru Pada Pasien Bronkiektasis Di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta Tahun 2012 Sampai 2013.

0 3 14

ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PADA ANAK DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA.

0 2 8

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU PADA PENDERITA DIABETES MELITUS DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT (BBKPM) SURAKARTA.

0 1 5

FAKTOR RISIKO TERJADINYA RELAPSE PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT (BBKPM) SURAKARTA Faktor Risiko Terjadinya Relapse Pada Penderita Tuberkulosis Paru Di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta.

0 2 17

PENDAHULUAN Faktor Risiko Terjadinya Relapse Pada Penderita Tuberkulosis Paru Di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta.

0 2 7