Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

tercipta lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dengan melindungi berbagai macam satwa-satwa langka yang ada di Indonesia. Indonesia memiliki kekayaan satwa yang beragam. Sederet rekor dan catatan kekayaan dimiliki oleh negeri ini. Namun Indonesia juga merupakan salah satu penyumbang kepunahan satwa di dunia. Hal ini disebabkan karena masih banyaknya perburuan-perburuan liar dan perdagangan ilegal yang dilakukan di Indonesia. Makin lama, semakin panjang daftar jenis satwa Indonesia yang masuk dalam kategori terancam kepunahan. Salah satu satwa yang terancam punah di Indonesia adalah penyu. Penyu adalah salah satu satwa langka peninggalan dari zaman purba yang dilindungi oleh Pemerintah Indonesia. Kehidupan penyu saat ini mulai terancam punah akibat gangguan-gangguan oleh manusia, predator, lingkungan maupun penyu itu sendiri. Penyu merupakan satwa langka yang bukan hanya milik negara tertentu saja, akan tetapi menjadi milik dunia sehingga semua bangsa di dunia berkepentingan untuk menjaga kelestariannya. Penyu merupakan hewan langka yang dilindungi oleh Pemerintah Indonesia tentu saja memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi, sehingga terjadi perdagangan dan penyelundupan penyu yang terjadi di perairan Indonesia. Penyelundupan satwa penyu merupakan tindak pidana yang sangat kompleks, di mana tindak pidana ini melibatkan banyak pihak mulai dari pemburu sampai dengan eksportir. Oleh karena itu, sangat penting bagi Indonesia memiliki pengaturan yang tegas mengatur hal-hal yang berkaitan dengan penyelundupan penyu. Sebagai negara kepulauan dengan kondisi geografis wilayah perairan yang luas, Indonesia menempati posisi yang rentan terhadap berbagai bentuk penyelundupan, termasuk salah satunya penyelundupan satwa penyu. Negara-negara di dunia membentuk suatu perjanjaian yang dinamakan CITES Convention on International Trade in Endangered Species adalah suatu Perjanjian Internasional antar pemerintah Negara Anggota yang ditandatangani di Washington, D.C., pada tanggal 3 Maret 1973. 1 Selanjutnya diubah di Bonn, Jerman Barat, pada tanggal 22 Juni 1979, yang kemudian diratifikasi dengan Keputusan Pemerintah No. 43 Tahun 1978. Tujuan dari CITES itu sendiri adalah untuk memastikan bahwa perdagangan internasional jenis satwa dan tumbuhan liar atau bagian dan produk olahannya yakni produk yang terbuat dari bagiannya tidak mengancam kelestariannya. CITES merupakan perjanjian yang memuat tiga lampiran appendix yang terdiri dari : a. Appendix I yang memuat daftar dan melindungi seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang terancam dari segala bentuk perdagangan internasional secara komersial, b. Appendix II yang memuat daftar dari spesies yang tidak terancam kepunahan, tetapi mungkin akan terancam punah apabila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan, c. Appendix III yang memuat daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang telah dilindungi di suatu negara tertentu dalam batas-batas kawasan habitatnya, dan memberikan pilihan option bagi negara-negara anggota 1 Chairul Saleh dkk. 2005, Peraturan Perundang-Undangan Penanganan Kasus Peredaran Ilegal Tumbuhan dan Satwa Liar, WWF for living planet. Jakarta, h. 8. CITES bila suatu saat akan dipertimbangkan untuk dimasukkan ke Appendix II, bahkan mungkin ke Appendix I. 2 Penyu secara Internasional telah dimasukkan dalam Appendix 1 CITES, hal ini berarti bahwa penyu telah dinyatakan sebagai satwa yang terancam punah dan tidak dapat diperdagangkan dalam bentuk apapun. 3 Setelah diratifikasinya CITES, pemerintah Indonesia mengambil langkah bertahap untuk melindungi penyu laut. Langkah awal pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap satwa penyu dimulai dari Tahun 1978 melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 237KptsUm51978, tanggal 29 Mei Tahun 1978, tentang Penetapan Jenis-jenis Binatang Liar Yang Dilindungi dan memberikan status terlindungi untuk jenis penyu belimbing Dermochelys coriacea. Tahun 1980 melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 716Kpts-101980, tanggal 4 Oktober Tahun 1980 tentang Penetapan Jenis-jenis Binatang Liar Yang Dilindungi, memberikan status terlindungi untuk jenis penyu lekang Lepidochelys olivacea dan penyu tempayan Caretta-caretta. Tahun 1990 melalui Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Larangan terhadap segala bentuk eksploitasi terhadap Satwa yang dilindungi. Tahun 1996 melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 882Kpts21996, tentang Penetapan Jenis-jenis Binatang Liar Yang Dilindungi, memberikan status terlindungi untuk jenis Penyu Pipih Natatordepressa. Tahun 1996 melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 771Kpts21996, tentang Penetapan Jenis-jenis Binatang Liar Yang 2 http:www.dephut.go.idINFORMASISETJENPUSSTANINFO_III01IV_III01.htm, diakses tanggal 26 Oktober 2015. 3 Chairul Saleh dkk. Op. Cit., h. 10. Dilindungi, memberikan status terlindungi untuk jenis penyu sisik Eretmochelys imbricata. Tahun 1999 melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa, Perlindungan terhadap semua jenis penyu di Indonesia, termasuk penyu hijau. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya selanjutnya disebut Undang-undang KSDAHE merupakan payung hukum untuk memberi perlindungan terhadap berbagai jenis tumbuhan dan satwa, salah satunya adalah penyu. Larangan terhadap segala aktivitas pemanfaatan satwa-satwa yang dilindungi, sudah sangatlah jelas diatur sebagaimana ketentuan dalam Undang-undang KSDAHE, Pasal 21 ayat 2 yang berbunyi : Setiap orang dilarang untuk : a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup; b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati; c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di indonesia ke tempat lain didalam atau diluar Indonesia; d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian- bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain didalam atau di luar Indonesia; e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dilindungi. Ketentuan dari larangan-larangan di atas, diikuti pula dengan sanksi-sanksi dari tindak pidana perdagangan satwa dilindungi. Sebagaimana juga diatur dalam Undangundang KSDAHE Pasal 40 menyatakan : 1. barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal19 ayat 1 dan Pasal33 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah. 2. barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal21 ayat 1 dan ayat 2 serta Pasal33 ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 seratus juta rupiah. 3. barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal19 ayat 1 dan Pasal33 ayat 1 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 satu tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 seratus juta rupiah. 4. barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat 1 dan ayat 2 serta Pasal33 ayat 3 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 satu tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 lima puluh juta rupiah. 5. tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dan ayat 4 adalah pelanggaran. Selain sanksi pidana sesuai ketentuan diatas, perdagangan terhadap satwa liar yang dilindungi khususnya penyu laut juga diancam dengan sanksi denda, yaitu sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar diatur dalam Pasal 56 menyatakan : 1. barang siapa melakukan perdagangan satwa liar yang dilindungi hukum karena melakukan perbuatan yang dilarang menurut ketentuan Pasal21 Undangundang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konsevasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 2. berbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dengan serta merta dapat dihukum denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp. 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah dan atau pencabutan ijin usaha yang bersangkutan. Disahkannya undang-undang ini dipandang sebagai suatu bentuk keseriuasan Indonesia untuk memberantas kejahatan lintas batas negara terutama tindak pidana penyelundupan penyu serta telah mampu mengisi kekosongan legislasi terkait dengan penyelundupan penyu. Akan tetapi nyatanya undang-undang tersebut belum mampu mengatasi permasalahan terkait dengan penyelundupan penyu secara signifikan. Bahkan pergerakan kegiatan penyelundupan penyu di wilayah Indonesia masih terjadi. Khususnya di Provinsi Bali tepatnya di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Denpasar sering terjadinya penyelundupan penyu. Ini terbukti dari laporan Kepolisian Daerah Bali pada bulan Agustus tahun 2014, kepolisian menggagalkan penyelundupan 17 penyu dari Banyuwangi. Dalam 2013, setidaknya lima kasus penyelundupan dengan total bukti 85 penyu, serta 77 telur penyu. Pada Desember 2012, Polda Bali berhasil menggagalkan penyelundupan 33 penyu. 4 Walaupun Polisi sudah berhasil menggagalkan penyelundupan penyu di Bali, namun praktek penyelundupan penyu masih marak terjadi, salah satu kasus penyelundupan penyu yang tidak berhasil di gagalkan oleh pihak kepolisian terkait penyelundupan karapas penyu dari Bali ke Turki. Selain itu penyelundupan penyu yang masuk ke Bali juga melibatkan seorang oknum anggota Polair Polda Bali. Pernyataan ini disampaikan LSM Pro Fauna terkait tertangkapnya seorang oknum anggota Polair Polda Bali, berinisial MR, di Pantai Pandawa, Kutuh, Kuta Selatan, Badung pada, Kamis 27122012 malam lalu. 5 MR ditangkap dalam kaitan dengan dugaan penyelundupan 22 ekor penyu langka. Dan berdasarkan Konservasi Satwa 4 http:www.mongabay.co.id20141121sita-51-penyu-hijau-kapolda-bali-target- penyelundupan diakses tanggal 26 Oktober 2015. 5 http:www.beritabali.comreadPol-Air-Kembali-Gagalkan-Penyelundupan-Penyu.html diakses tanggal 24 Nopember 2015. Bagi Kehidupan KSBK beberapa waktu lampau mengungkapkan, perdagangan daging, telur dan masakan daging penyu hijau terjadi secara bebas. Mulai restoran besar hingga pedagang kecil, beberapa lokasi restoran yang dikenal menjual daging penyu ada di Denpasar Barat, Denpasar Selatan, dan sedikit Denpasar Timur, 6 yang tidak ditangani serius oleh pihak Kepolisian. Ini berarti bahwa perdagangan penyu di pulau Bali masih saja terjadi. Tentu saja dalam hal ini walaupun penegak hukum sudah bekerja secara maksimal untuk mencegah terjadinya tindak pidana penyelundupan penyu dan perdagangan daging penyu di Bali, namun penyelundupan dan perdagangan penyu masih saja terjadi. Bahkan oknum anggota Kepolisian juga terlibat dalam tindak pidana penyelundupan penyu di Bali, tentu saja ini menjadi keperihatinan bagi kita semua, seharusnya oknum anggota Kepolisian sebagai penegak hukum bekerja secara maksimal untuk mencegah terjadinya penyelundupan penyu di Bali. Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada latar belakang tersebut diatas, maka menarik untuk ditulis dalam sebuah skripsi yang berjudul “Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan Penyu di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Denpasar”.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas pada bab selanjutnya terkait dengan uraian latar belakang diatas ialah sebagai berikut: 6 http:www.kompasiana.comwyndramemburu-penyu-dilindungi-peringati-deklarasi-hari- konservasi_ diakses tanggal 24 Nopember 2015. 1. Bagaimana penegakan hukum terhadap tindak pidana penyelundupan penyu di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Denpasar? 2. Faktor apakah yang menyebabkan terjadinya tindak pidana penyelundupan penyu di Bali dan penghambat penegakan hukumnya?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Untuk menghindari pembahasan yang menyimpang dari pokok permasalahan yang akan diuraikan, maka penulis memberikan batasan-batasan sebagai berikut: 1. Menguraikan penegakan hukum terhadap tindak pidana penyelundupan penyu di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Denpasar. 2. Menguraikan faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana penyelundupan penyu di Bali dan penghambat penegakan hukumnya.

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum 1. Untuk memahami tentang bagaimana penegakan hukum terhadap tindak pidana penyelundupan penyu di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Denpasar. 2. Untuk melatih menyatakan pikiran secara tertulis serta mengembangkan ilmu pengetahuan hukum. 3. Untuk memberikan kontribusi ilmiah terkait dengan permasalahan hukum dalam rangka melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu ilmu hukum khususnya dibidang pidana.