ANALISA TEORI DAN DISKUSI

13

BAB III ANALISA TEORI DAN DISKUSI

3.1 Analisa Teori 3.1.1 Teori Perkembangan Remaja Usia 21 Tahun Bedasarkan teori Erik Erikson, individu yang memasuki usia 21 tahun termasuk dalam kategori remaja, yang mana pencarian identitas mengenai diri adalah hal penting untuk menentukan bagaimana individu dimasa mendatang. Tidak jarang ditemui kebingungan mengenai identitas pada diri remaja, sehingga Erikson 1968, dalam Papalia, Olds Feldman, 2009 menyebutkan bahwa krisis identitas adalah tugas utama dari remaja untuk menjadi orang dewasa dengan pemahamannya sendiri. Remaja yang dapat menemukan identitasnya tidak akan mengalami kekacauan identitas yang akan mempengaruhi kedewasaannya. Menurut Erikson dalam Papalia, Olds Feldman, 2009, identitas remaja akan terbentuk ketika menyelesaikan persoalan besar terkait identitas, yaitu pemilihan pekerjaan, pemilihan nilai-nilai yang akan diterapkan dalam hidup, dan identitas seksual. Perkembangan identitas dapat menentukan komitmen remaja yang akan menghasilkan kesetiaan berupa nilai-nilai, ideologi, agama, gerakan politik, pencarian kreatif atau kelompok etnik Erikson, 1982, dalam Papalia, Olds Feldman, 2009. Pencarian identitas remaja dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti gabungan informasi dan pengalaman selama hidup individu Erikson, dalam Papalia, Olds Feldman, 2009 serta kondisi dari perkembangan identitas Marcia, dalam Santrock 2014. Menurut Marcia, perkembangan identitas dipengaruhi oleh ada atau tidaknya krisis dan komitmen individu. Krisis adalah masa indvidu mengeksplorasi alternatif pilihan yang ada dan komitmen adalah saat individu memutuskan pilihan yang akan dijalani Santrock, 2011. Perkembangan tersebut digambarkan Marcia dalam empat status, yaitu: a. Identity achievement, yaitu krisis yang mengarahkan pada komitmen. Status ini ditandai dengan adanya komitmen untuk melakukan pilihan yang sudah dibuat setelah melalui krisis dan dijalani setelah mengeksplorasi berbagai pilihan yang tersedia. b. Moratorium, yaitu saat individu sudah mengalami krisis tapi belum berkomitmen terhadap alternatif pilihan yang ada. Walaupun belum berkomitmen pada alternatif pilihan yang ada, namun pada status ini mulai muncul keinginan dalam diri untuk berkomitmen pada satu pilihan Marcia, dalam Papalia, Olds Feldman, 2009. 14 c. Foreclosure, yaitu menjalani komitmen tanpa krisis. Status ini, individu menjalani pilihan yang dipilihnya tanpa mepertimbangkan alternatif lain yang dapat membuat dirinya mengalami krisis serta belum berkomitmen secara penuh atas pilihannya tersebut. d. Identity diffusion, yaitu saat individu belum merasakan krisis ataupun memiliki komitmen. Pada status ini, individu sadar bahwa terdapat pilihan-pilihan yang harus dipilih, namun tidak mempertimbangakan pilihan yang ada secara serius. 3.1.2 Teori Konflik Menurut McCollum 2009, dalam Lestari 2014 mengatakan bahwa konflik merupakan perilaku seseorang yang beroposisi dengan pikiran, perasaan dan tindakan orang lain. Coon dan Mitterer 2007 menyebutkan bahwa konflik adalah keadaan di mana individu harus memilih dari beberapa pilihan yang ada, termasuk pilihan yang bertentangan dengan diri individu tersebut. Menurut Teori Lapangan Field Theory yang dicetuskan oleh Kurt Lewin, konflik adalah suatu keadaan daya yang saling bertentangan arah, namun dalam kekuatan yang kira-kira sama Sarwono, 2014. Terdapat empat macam konflik, yaitu: a. Konflik mendekat-mendekat approach-approach conflict, yaitu konflik yang terjadi ketika individu dihadapkan pada dua pilihan yang keduanya memiliki nilai positif bagi individu. b. Konflik mejauh-menjauh avoidance-avoidance conflict, yaitu konflik yang terjadi saat individu dihadapkan pada dua pilihan yang keduanya memiliki nilai negatif bagi individu, c. Konflik mendekat-menjauh approach-avoidance conflict, yaitu konflik yang terjadi pada saat individu dihadapkan pada dua pilihan yang mana salah satu alternatif pilihan tersebut mengarahkan individu pada hal yang bernilai negatif bagi individu dan alternatif lainnya bermakna positif bagi individu. d. konflik mendekat-menjauh ganda double approach-avoidance conflict, yaitu konflik yang terjadi saat individu dihadapkan pada dua pilihan yang mana masing-masing kedua pilihan tersebut bermakna postif dan negatif bagi individu. Konflik-konflik tersebut digambarkan sebagai berikut: Gambar 3.1.2.1 Empat Macam Konflik 15 Dalam menentukan pilihan yang memungkinkan munculnya konflik, terdapat beberapa hal yang dapat mengarahkan individu untuk bergerak dan memilih salah satu dari alternatif pilihan yang ada. Lewin menyebutkan hal tersebut sebagai daya Sarwono, 2014. Daya-daya tersebut adalah sebagai berikut: a. Daya mendorong, yaitu daya yang mendorong untuk melakukan sesuatu. b. Daya yang menghambat, yaitu daya yang menghambat atau menahan untuk melakukan sesuatu. c. Daya yang berasal dari kebutuhan sendiri, yaitu motivasi untuk melakukan suatu hal. d. Daya yang berasal dari orang lain, yaitu daya yang berasal dari keinginan atau dorongan orang lain. e. Daya impersonal, yaitu daya yang berasal bukan dari dalam diri dan bergantung pada situasi tertentu. Konflik dapat terjadi dalam berbagai hal dan kepada siapa saja, bahkan pada orang- orang terdekat seperti saudara dan orangtua. Semakin tinggi ketergantungan atau kelekatan hubungan yang terjalin, maka konflik yang terjadi cenderung tinggi Lestari, 2014. 3.1.3 Teori Pengambilan Keputusan Pengambilan keputusan merupakan hal penting dalam kehidupan karena dengan mengambil keputusan, individu mampu untu berpikir tentang pilihan dalam kehidupan yang tersedia yang sedianya akan dipilih. Memilih suatu keputusan dapat menjadi hal yang sulit karena disetiap alternatif pilihan tersebut bisa memiliki atribut, serta menghasilkan dampak positif bahkan negatif. Masing-masing atribut memiliki aspek-aspek dan individu dalam mempertimbangkan aspek tersebut dapat menggunakan beberapa cara, diantaranya adalah eliminasi, yaitu mengambil keputusan dengan menghilangkan atau mengeliminasi aspek yang dirasa tidak memiliki dampak yang diharapkan individu. Pengambilan keputusan dilakukan dengan memperkirakan dua hal, yaitu subject utility yaitu pengambilan keputusan bedasarkan nilai-nilai yang terkandung didalam alternatif pilihan dan subjective probability yaitu pemilihan keputusan bedasarkan hal yang disukai. Pengambilan keputusan bekerja menggunakan kognitif dan secara rasional, namun tingkat rasional yang dimiliki individu memiliki batas Simon, 1957 dalam Sternberg, 2009. 16 Proses pengambilan keputusan individu dilakukan bedasarkan bias atau heuristic dari pikiran mereka Kahneman Tversky, 1972, 1990; Stanovich, Sai West, 2004; Tveresky Kahneman 1971, 1993 dalam Sternberg, 2009. Beberapa bias atau heuristic tersebut yaitu: a. Representative heuristic: pengambilan keputusan bedasarkan penilaian individu terhadap probabilitas munculnya peristiwa yang tidak menentu bedasarkan kemiripan gambaran yang diperoleh dan merefleksikan atribut menonjol yang digeneralisasikan. b. Availability heuristic: pengambilan keputusan bedasarkan seberapa mudah individu memanggil apa yang didapatkan oleh pikirannya terhadap suatu peristiwa atau terdapat perkiraan terdapat persamaan kejadian yang akan dialami jika memilih satu alternatif. Pengambilan keputusan juga dapat dipengaruhi oleh konflik. Menurut Janis dan Mann 1977 dalam Roecklein, 2013, pengambilan keputusan bedasarkan konflik melibatkan emosi, perilaku untuk menangani konflik, hingga berbagai konsekuensi yang akan didapatkan dari pilihan yang dipilih. 3.2 Diskusi Bedasarkan hasil wawancara, kasus dalam penelitian ini dapat dijelaskan melaui teori psikologi perkembangan dan psikologi sosial. Jika dilihat dari status perkembangan identitas milik James Marcia, pencarian identitas KA terkait agama menggambarkan status foreclosure dan moratorium. Hal tersebut tergambar sejak KA masih kecil. KA yang sebelumnya tinggal di Jakarta dan diajarkan agama Islam oleh ibunya harus mulai membiasakan dirinya beribadah sebagaimana umat Hindu semenjak pindah ke Denpasar. Mulai saat itu, jika sedang ada upacara agama dan hari raya umat Hindu, KA diingatkan untuk ikut bersembahyang, namun di sisi lain, KA juga beribadah sebagaimana umat Islam. KA yang masih kecil pada waktu itu mengikuti apa yang orangtuanya arahkan, yaitu untuk beribadah sebagaimana umat Hindu dan Islam. Situasi yang dialami KA tersebut menggambarkan status foreclosure, yaitu menjalankan komitmen tanpa krisis berupa mengikuti ibadah agama Hindu dan Islam sesuai arahan kedua orangtua. Marcia dalam Santrock, 2011 menyebutkan bahwa status foreclosure sering terjadi saat orangtua melimpahkan komitmen yang mereka miliki kepada anak-anaknya saat anak-anaknya belum berkesempatan mempelajari komitmen yang dilimpahkan kepadanya secara mendalam. Hal tersebut juga tergambar dalam kasus KA, yaitu ketika orangtua mengarahkan dan mengingatkan KA untuk mengikuti ibadah umat Hindu dan Islam sesuai komitmen agama yang mereka jalani, namun tanpa penjelasan lebih 17 mendalam mengapa harus menjalani hal tersebut hingga KA mengikuti arahan kedua orangtuanya. Menjadi seorang remaja yang beranjak menuju dewasa, keadaan keluarga yang memiliki perbedaan membuat KA berpikir untuk memilih agama yang akan ia pegang. Menurut pengakuannya, kedua orangtuanya pernah menuntutnya untuk mengikuti agama yang mereka anut, yaitu Hindu atau Islam, namun saat ini belum menentukan pilihannya karena masih bingung. Jika KA memilih untuk mengikuti agama Hindu, ia merasa belum memahami ajaran agama Hindu, sedangkan jika KA memilih untuk mengikuti agama Islam, ia dapat memahami namun belum dapat menjalankan seutuhnya. Saat ini, KA belum mengambil keputusan terkait agama, namun dimasa depan, ia memutuskan agama yang akan dipilihnya bergantung dari agama pasangannya kelak. KA berprinsip jika nanti ia berumah tangga, ia harus memiliki agama dan keyakinan yang sama dengan pasangannya agar tidak mengalami permasalahan terkait agama seperti yang ia rasakan. Hal tersebut menggambarkan status moratorium, terdapat krisis yang dirasakan terhadap pilihan yang ada, namun belum menentukan pilihan dari alternatif tersebut. Krisis yang dialami KA berupa kesadarannya untuk memilih agama sebagai pegangannya di masa depan, namun masih merasakan dilema untuk memilih satu dari kedua agama tersebut. Walaupun belum menentukan komitmen, dalam status ini mulai muncul untuk berkomitmen pada satu pilihan dimasa mendatang. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran KA saat ini dengan membentuk komitmen melalui prinsipnya untuk memiliki agama dan keyakinan yang sama dalam rumah tangganya kelak. Kebingungan KA saat ini dalam memilih agama tersebut memunculkan konflik dalam dirinya. Sang ayah menuntut KA untuk mendalami agama Hindu, sedangkan sang ibu juga menuntut KA untuk mendalami agama Islam. Gambaran konflik yang dialami oleh KA dapat dijelaskan melalui teori konflik mendekat-menjauh ganda double approach-avoidance conflict. Pada teori teori konflik mendekat-menjauh ganda, disebutkan bahwa dua pilihan yang didalamnya masing-masing terdapat nilai positif dan negatif bagi individu dapat menimbulkan konflik ketika individu tersebut harus memilih. Dalam kasus yang dialami KA, pilihan yang dihadapinya adalah agama Hindu mengikuti agama ayah dan agama Hindu mengikuti agama ibu. Jika KA memilih untuk mengikuti agama Hindu, maka hal positif yang dirasakan KA yaitu tidak menimbulkan perasaan kecewa dalam diri ayahnya karena KA memilih untuk mendalami agama yang juga dianut ayahnya, namun hal negatif yang dirasakan jika mengikuti agama Hindu adalah ketidakpahaman KA terhadap agama Hindu dan keyakinannya yang lebih mengarah pada agama Islam. Di sisi lain jika KA memilih untuk mengikuti agama Islam, maka hal positif yang dirasakannya berupa kemudahan jika harus mempelajari agama Islam karena 18 semenjak kecil sudah diajarkan agama Islam oleh ibunya, namun hal negatif yang muncul adalah perasaan kecewa ayahnya karena anaknya tidak mengikuti keyakinannya. KA mengaku bisa jika harus beribadah sebagaimana umat Hindu dan Islam seperti arahan kedua orangtuanya sejak ia masih kecil. Saat sedang ada upacara atau hari raya umat Hindu, orangtuanya mengingatkannya untuk sembahyang begitupula pada saat waktu sholat dan KA menjalani hal tersebut. Walau diingatkan untuk menjalani ibadah masing- masing agama, kedua orangtua KA juga menuntut KA untuk memilih mendalami agama hindu atau Islam. Jika dilihat dari teori daya milik Lewin, keadaan KA yang kemudian menjalankan ibadah masing-masing agama tersebut dapat dijelaskan sebagai daya mendorong serta daya yang mendorong dan daya yang berasal dari orang lain. Peran kedua orangtua KA dapat menggambarkan sebagai daya mendorong KA untuk melakukan suatu hal, yaitu memilih untuk mendalami agama Hindu atau Islam. Peran orangtua KA juga menggambarkan daya yang berasal dari orang lain, yaitu daya yang mengarahkan KA untuk memilih atau menjalani sesuatu bedasarkan dorongan orang lain berupa dorongan yang diberikannya kepada KA untuk melakukan ibadah sehingga saat ini KA masih mengikuti arahan kedua orangtuanya tersebut. Bedasarkan konflik yang dialaminya, saat ini KA mengambil keputusan untuk menjalani ibadah dari kedua keyakinan orangtua walaupun ia mengakui kurang mendalami keyakinan tersebut dan saat ini lebih mengarah pada agama Islam. KA lebih mengarah ada agam Islam karena merasa bahwa ia dapat lebih memahami agama Islam jika dibandingkan dengan pemahamannya pada agama Hindu, namun ditanya masa depan, KA berprinsip untuk memiliki pasangan yang berpandangan sama mengenai nilai-nilai agama agar keluarganya tidak merasakan seperti apa yang dirasakannya saat ini. Hal tersebut menggambarkan subject utility yang dimiliki oleh KA, yaitu mengambil keputusan yang didasarkan nilai-nilai dari pilihan yang ada. Nilai-nilai yang termasuk dalam subject utility tersebut digambarkan sebagai nilai-nilai agama. Dimasa depan KA berprinsip untuk memiliki agama yang sama dengan pasangannya dalam membangun rumah tangga yang mampu mengajarkan nilai satu agama kepadanya secara mendalam. 19

BAB IV PENUTUP