Tingkat prasangka remaja kepada teman yang berbeda agama setelah konflik di Ambon.

(1)

ABSTRAK

Tingkat Prasangka Remaja Kepada Teman Yang Berbeda Agama Setelah Konflik DI Ambon

Friska Fintalia Nanulaita Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

Penelitian ini bertujuan untuk melihat seberapa tinggi tingkat prasangka remaja terhadap teman yang berbeda agama setelah konflik di Ambon. Prasangka adalah sebuah pandangan juga disertai sikap negatif yang tidak berdasar yang ditujukan kepada orang atau kelompok lain. Sebagai sikap, prasangka mengandung komponen-komponen kognitif, afeksi dan konatif yang cenderung lebih bermuatan negatif.

Subjek penelitian ini adalah remaja yang berumur 15/16 tahun sampai dengan 17/18 tahun yang sedang menempuh pendidikan SMU dan yang menetap di Ambon selama konflik terjadi. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 294 subjek dengan jumlah subjek laki-laki sebanyak 156 subjek dan subjek perempuan sebanyak 138 subjek. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif yang bertujuan mendeskripsikan, mencatat, menganalisis dan menginterpretasikan kondisi yang sekarang terjadi. Metode pengambilan data adalah penyebaran skala untuk diisi oleh subjek. Alat pengumpulan data adalah skala prasangka. Uji coba kesahihan butir dan reliabilitas skala penelitian menghasilkan koefisien reliabilitas sebesar 0,9193 yang menunjukkan tes tersebut reliabel.

Data penelitian dianalisis dengan menghitung mean teoritik dan mean empirik. Hasil analisis data menunjukkan mean teoritik lebih lebih besar dari mean empirik (90> 62,24). Hal ini berarti tingkat prasangka remaja kepada teman yang berbeda agama setelah konflik di Ambon adalah rendah.


(2)

ABSTRACT

Adolescences’ Prejudice Level

Toward Their Friends from Different Religion After the Conflict in Ambon

Friska Fintalia Nanulaita Sanata Dharma University

Yogyakarta

This research aims to observe how high the adolescences’ prejudice level toward their friends from different religion after the conflict in Ambon is. Prejudice is a point of view which is followed by a negative attitude to other people or other groups. As an attitude, prejudice has a distinct combination of cognitive, affective, and behavior tendency which tend to be negative.

The subjects of this research were adolescences of 15 or 16 until 17 or 18 who were still in Senior High School, and were living in Ambon during the conflict. The number of the subject was 294 subjects, consisted of 156 males and 138 females. The research was a quantitative descriptive research which aimed to describe, record, analyze, and interpret the present condition. The method of data taking was spreading a scale to be filled by the subject. The tool for data collecting was prejudice scale. The result of the validity and reliability test in this research was a reliability coefficient of 0.9193 which showed that the test was reliable.

The data in this research was analyzed by counting the theoretical and empirical mean. The result of the data analysis showed that the theoretical mean was bigger than the empirical mean (90>62.24). This means that the adolescences’ prejudice level toward their friends from different religion after the conflict in Ambon is low.


(3)

TINGKAT PRASANGKA REMAJA KEPADA TEMAN YANG BERBEDA AGAMA SETELAH KONFLIK DI AMBON

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S. Psi.)

Program Studi Psikologi

Oleh :

Friska Fintalia Nanulaita NIM : 029114127

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

TINGKAT PRASANGKA REMAJA KEPADA TEMAN YANG BERBEDA AGAMA SETELAH KONFLIK DI AMBON

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S. Psi.)

Program Studi Psikologi

Oleh :

Friska Fintalia Nanulaita NIM : 029114127

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2007


(5)

(6)

(7)

Halaman Persembahan

When the task at hand is mountain in front of you

It may seem too hard to climb But you don’t have to climb it

all at once – just one step at a time, Take one small step…. and one small step…..

then another…. And you’ll find….

the task at hand that was a mountain in front of you….

……is a mountain You have climbed

Skripsi ini kupersembahkan untuk Mama dan papa

Erik dan keluarga yang sudah banyak mendukungku


(8)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta,

Penulis

Friska Fintalia Nanulaita


(9)

ABSTRAK

Tingkat Prasangka Remaja Kepada Teman Yang Berbeda Agama Setelah Konflik DI Ambon

Friska Fintalia Nanulaita Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

Penelitian ini bertujuan untuk melihat seberapa tinggi tingkat prasangka remaja terhadap teman yang berbeda agama setelah konflik di Ambon. Prasangka adalah sebuah pandangan juga disertai sikap negatif yang tidak berdasar yang ditujukan kepada orang atau kelompok lain. Sebagai sikap, prasangka mengandung komponen-komponen kognitif, afeksi dan konatif yang cenderung lebih bermuatan negatif.

Subjek penelitian ini adalah remaja yang berumur 15/16 tahun sampai dengan 17/18 tahun yang sedang menempuh pendidikan SMU dan yang menetap di Ambon selama konflik terjadi. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 294 subjek dengan jumlah subjek laki-laki sebanyak 156 subjek dan subjek perempuan sebanyak 138 subjek. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif yang bertujuan mendeskripsikan, mencatat, menganalisis dan menginterpretasikan kondisi yang sekarang terjadi. Metode pengambilan data adalah penyebaran skala untuk diisi oleh subjek. Alat pengumpulan data adalah skala prasangka. Uji coba kesahihan butir dan reliabilitas skala penelitian menghasilkan koefisien reliabilitas sebesar 0,9193 yang menunjukkan tes tersebut reliabel.

Data penelitian dianalisis dengan menghitung mean teoritik dan mean empirik. Hasil analisis data menunjukkan mean teoritik lebih lebih besar dari mean empirik (90> 62,24). Hal ini berarti tingkat prasangka remaja kepada teman yang berbeda agama setelah konflik di Ambon adalah rendah.


(10)

ABSTRACT

Adolescences’ Prejudice Level

Toward Their Friends from Different Religion After the Conflict in Ambon

Friska Fintalia Nanulaita Sanata Dharma University

Yogyakarta

This research aims to observe how high the adolescences’ prejudice level toward their friends from different religion after the conflict in Ambon is. Prejudice is a point of view which is followed by a negative attitude to other people or other groups. As an attitude, prejudice has a distinct combination of cognitive, affective, and behavior tendency which tend to be negative.

The subjects of this research were adolescences of 15 or 16 until 17 or 18 who were still in Senior High School, and were living in Ambon during the conflict. The number of the subject was 294 subjects, consisted of 156 males and 138 females. The research was a quantitative descriptive research which aimed to describe, record, analyze, and interpret the present condition. The method of data taking was spreading a scale to be filled by the subject. The tool for data collecting was prejudice scale. The result of the validity and reliability test in this research was a reliability coefficient of 0.9193 which showed that the test was reliable.

The data in this research was analyzed by counting the theoretical and empirical mean. The result of the data analysis showed that the theoretical mean was bigger than the empirical mean (90>62.24). This means that the adolescences’ prejudice level toward their friends from different religion after the conflict in Ambon is low.


(11)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Tingkat Prasangka Remaja Kepada Teman Yang Berbeda agama Setelah Konflik Di Ambon” sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.) di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Selama penelitian sampai penyusunan skripsi ini, penulis telah banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak berupa bimbingan, dorongan, serta pengarahan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi.

2. Dra. L. Pratidarmanastiti, MS. selaku Dosen Pembimbing atas segala bimbingan, saran, serta pengarahan yang telah diberikan dalam penyusunan skripsi ini.

3. Agung Santoso, S.Psi dan MM. Nimas Eki Suprawati, S.Psi., Psi selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan serta pengarahan selama kuliah

4. Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si selaku dosen Penguji 1 atas segala masukan berupa kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

5. V. Didik Suryo Hartoko, S.Psi., M.Si selaku dosen Penguji 2 atas segala masukan berupa kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

6. Papa dan Mama atas segala doa, kesabaran, dan dukungan yang luar biasa berarti bagi aku.


(12)

7. Goama dan Kong terima kasih untuk doa dan nasehat-nasehatnya, juga seluruh keluarga Natan

8.

Iling terima kasih atas dukungan, sharingnya dan doanya, dan untuk Ibe makasih untuk kesempatan yang diberikan merasakan hal-hal lain selain kuliah dan kuliah

9. Erik thanks ya dah jadi sopir, walaupun sering telat..Kapan ya jadi pengacara??

10. K’uci buat semangat n doanya. Buat Diva cantik terimakasih buat kelucuan dan kepolosannya

11. Dahlia, Ronal dan Ellen buat bantuannya selama pengambilan data di Ambon 12. Pute, Nta untuk persahabatan dan masa-masa tertawa, tersenyum, cemberut

dan airmata yang dilewati bersama. Thanks guys!!! Caiyo..GBU.

13. Spa n Ubul-ubul thanks buat kebersamaan n keanehan-keanehan yang menyenagkan UBUL!!!

14. Ina, Shinta, Pipin n Clare thanks ya buat bantuannya selama ini.

15. Mbak Tina atas sharing informasinya dan dukungannya. Thanks ya mb

16. Mon-mon (thanks ya buat terjemahannya n bantuannya selama ini), Cici n Winda makasih buat kesabaran kalian mendengar semua keluh kesahku selama ini dan warna lain dari persahabatan yang kalian hadirkan. Maaf kalo sering merebut bantal kalian He..He..

17. Mbak Anna yang sudah banyak membantu selama kuliah dan menemani malam-malam yang sepi.


(13)

18. Sutri, Dina, Katrin, dan semua teman-teman di Psikologi, khususnya angkatan ’02…”BERSEMANGAT!!!”.

19. Terakhir buat CUP terima kasih buat bahan-bahan referensi dan omelannya tiap saat biar cepat lulus..I’m coming he..he…

20. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Penulis


(14)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………..i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………...ii

HALAMAN PENGESAHAN ….………..iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ….………...iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………v

ABSTRAK ………...vi

ABSTRACT ………vii

KATA PENGANTAR ………...viii

DAFTAR ISI ………xi

DAFTAR TABEL ………..xiv

DAFTAR LAMPIRAN ………..xv

BAB I. PENDAHULUAN ………1

A. Latar Belakang ………1

B. Rumusan Masalah ………...5

C. Tujuan Penelitian ………5

D. Manfaat Penelitian ………..6

1. Manfaat Teoritis ………6

2. Manfaat Praktis ……….6

BAB II. LANDASAN TEORI ………..7

A. Remaja ………7

1. Pengertian Remaja ……....………...7


(15)

2. Perkembangan Sosial Remaja ………...………...8

B. Prasangka ………..………11

1. Pengertian Prasangka ………..11

2. Prasangka Sebagai Sikap ………13

3. Sebab-sebab Timbul Prasangka ………..15

C. Konflik Di Ambon ………..………..19

D. Tingkat Prasangka Remaja Pada Teman Yang Berbeda Agama Setelah Konflik Di Ambon ………….………...21

BAB III. METODE PENELITIAN ………...……….23

A. Jenis Penelitian ………...………..23

B. Variabel Penelitian ………...………23

C. Definisi Operasional ………..………...24

D. Subyek Penelitian ………..……….. 25

E. Metode Pengambilan Data ………..………….25

F. Analisis Data ………...………..………...30

G. Validitas dan Reliabilitas ………...……….30

1. Validitas ………...………..30

2. Seleksi Aitem ………...………..31

3. Reliabilitas ………...………..33

BAB IV. PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………...………...35

A. Pelaksanaan Penelitian ……….…..………….35

B. Hasil Penelitian ……...………..………..35

1. Deskripsi Data Penelitian ……….35


(16)

2. Hasil Wawancara ………. 38

C. Pembahasan ………... 41

BAB V. PENUTUP ………. 46

A. Kesimpulan ……… 46

B. Saran ………...46

1. Bagi Subyek Penelitian ………...46

2. Bagi Peneliti Lain ……… …47

DAFTAR PUSTAKA ………...48

LAMPIRAN ……… 50


(17)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Komponen Aitem Prasangka ……… 26

Tabel 2 Skor Berdasarkan Kategori Jawaban ……… 27

Tabel 3 Guide Wawancara………...28

Tabel 4 Aitem yang gugur dan lolos setelah uji Coba ………... 32

Tabel 5 Nomer aitem bentuk Skala Final ………...33

Tabel 6 Deskripsi Data Penelitian ……… 36

Tabel 7 Uji t Mean Empirik dan Mean Teoritis ……… 37

Tabel 8 Perbedaan Mean Pada Subjek Laki-laki Dan Perempuan ………….. 38


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

A. Skala Dan Analisis Statistik Uji Coba B. Skala Dan Analisis Statistik Penelitian C. Lampiran Wawancara

D. Surat Penelitian


(19)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

Konflik yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia belakangan ini cenderung meningkat dan sudah dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Faktor-faktor SARA, organisasi atau kelompok mudah dijadikan sarana memecah belah demi kepentingan politik kelompok (dalam Ikawati, Sumarwawi, 2004). Salah satu wilayah yang mengalami konflik adalah Ambon. Konflik ini terjadi sejak 19 Januari 1999 tepat pada saat umat Muslim merayakan Lebaran. Konflik ini diawali dengan perkelahian antara preman dari suku Bugis dengan sopir angkot beretnik Ambon. Akibat dari perkelahian ini memicu terjadinya perkelahian antar kampung dan terus berkembang menjadi konflik antar etnik. Konflik antar etnik ini terjadi antara masyarakat asli beretnik Ambon dengan pendatang beretnik Bugis, Buton dan Makasar yang terkenal dengan sebutan BBM. Konflik ini menyebabkan banyak sekali penduduk berentik Bugis, Buton dan Makasar bereksodus keluar Ambon (dalam Sarwono, 2006)

Setelah eksodus etnik-etnik ini dari Ambon, konflik yang terjadi tidak semakin membaik tetapi kemudian berkembang menjadi konflik antar agama. Konflik antar agama ini terjadi antara penduduk beretnik Ambon yang beragama Muslim dan Kristen. Konflik antar agama ini kemudian terjadi


(20)

2

dalam jangka waktu yang cukup lama ( dalam Sarwono, 2006). Dampak yang ditimbulkan dari konflik ini tidak hanya sebatas pada kerusakan fisik tetapi juga mengakibatkan banyak jatuh korban. Banyak sudah korban yang meninggal dari kedua belah pihak dan dampak-dampak negatif yang ditimbulkan dari konflik ini.

Jauh sebelum konflik yang terjadi kerukunan antar umat beragama di Ambon sangat terjaga. Ikatan adat istiadat, melalui pela gandong yang menjadi tali penyekat antar umat beragama Kristen maupun Islam untuk saling menghormati dan menghargai (dalam Suaedy, 2000). Namun konflik yang terjadi ini menghancurkan kehidupan kerukunan antar umat beragama ini.

Masyarakat mudah sekali terprovokasi isu-isu yang dengan sengaja dibuat oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Isu yang paling mudah membuat masyarakat terpancing adalah isu agama. Seperti ketika suatu isu (informasi negatif yang bersifat memecahbelahkan) disebarkan pada kelompok agama Kristen tentang kelompok agama Islam maka kelompok agama Kristen akan dengan mudah mempercayainya tanpa mengkajinya secara rasional dan hal yang serupa pun terjadi di kelompok agama Islam. Pikiran-pikiran negatif yang tercipta ini dibiarkan terus berkembang dalam masyarakat.

Masyarakat menjadi tidak lagi saling mempercayai satu sama lain. Selalu ada pikiran-pikiran negatif ketika berdekatan dengan seseorang yang berbeda dengan dirinya khususnya yang berbeda agama. Hal ini dapat terlihat


(21)

3

dari pemukiman penduduk yang menjadi tersekat-sekat berdasarkan agama, Kristen dan Islam. Hal ini sangat menyedihkan dan juga menyusahkan karena ruang lingkup untuk melakukan mobilitas menjadi sangat sempit.

Allport mengemukakan bahwa dengan prasangka seseorang atau sekelompok orang menganggap buruk atau memandang negatif orang lain secara tidak rasional. Menurut Sherif dan Sherif, prasangka adalah sikap yang tidak menyenangkan (unfavourable attitude) yang dimiliki oleh suatu kelompok terhadap kelompok lain ( dalam Santi,dkk 2000). Terjadinya prasangka disebabkan karena penilaian yang tidak berdasar (unjustified) dan pengambilan sikap sebelum menilai dengan cermat, sehingga terjadi penyimpangan pandangan (bias) dari kenyataan yang sesungguhnya ( dalam Atmadji, 2002).

Pandangan yang bias inilah yang terjadi sewaktu konflik, masyarakat dengan mudah terprovokasi oleh isu-isu yang tidak benar. Tanpa tahu apakah informasi yang didengar benar atau salah, masyarakat bisa dengan mudah menyatakan bahwa kelompok agama tertentulah yang menyababkan terjadinya sesuatu (dalam Sarwono, 2006).

Pandangan-pandangan bias yang menyebabkan prasangka negatif terhadap sekelompok agama tertentu ini merambah pada seluruh elemen masyarakat termasuk remaja. Orang dewasa atau orang tua yang mempunyai pandangan bias dan perasaan-perasaan negatif terhadap kelompok agama lain kemudian mengkomunikasikan pandangan dan perasaan negatifnya ini kepada


(22)

4

anak-anaknya. Orang tua juga akan marah bila anak-anaknya bergaul dengan teman yang berbeda agama (dalam Save The Children, 2006)

Para remaja menjadi harus memilih-milih teman dalam bergaul, yang beragama Kristen tidak bisa berteman akrab dengan yang beragama Islam. Terkadang juga bila ada yang sebelumnya telah berteman akrab dengan teman yang berbeda agama sebelum konflik terpaksa harus terputus hubungan pertemanan atau komunikasinya. Hal ini disebabkan karena ruang lingkup untuk pertemuan yang menjadi kecil, hilangnya rasa percaya dan adanya pemikiran-pemikiran yang negatif tentang agama yang dianut oleh temannya.

Usia remaja sebagai salah satu tahap dari perkembangan merupakan masa terjadi banyak sekali perubahan, baik fisik, emosi maupun sosial. Pada masa remaja hubungan sosial mengalami perubahan, yang awalnya lebih senang bermain sendiri dengan mainannya berubah menjadi lebih senang bergaul dengan teman-teman sebayanya. Remaja lebih senang bergaul dengan teman-teman sebayanya dikarenakan remaja lebih sering berada diluar rumah bersama-sama teman-teman sebayanya sehingga dapat dimengerti mengapa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga (Hurlock, 1980)

Havighurst (dalam Dariyo, 2004) mengemukakan bahwa ketika memasuki masa remaja , individu memiliki hubungan pergaulan yang lebih luas bila dibandingkan dengan masa kanak-kanaknya. Remaja lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bergaul dengan teman-temannya (peer-group) dibandingkan dengan keluarganya. Remaja menginginkan teman yang


(23)

5

mempunyai minat yang sama, yang dapat mengerti dan membuatnya merasa aman, dan yang kepadanya ia dapat mempercayakan masalah-masalah dan membahas hal-hal yang tidak dapat dibicarakan dengan orang tua maupun guru. Menurut Hurlock (1980) yang diinginkan remaja sebagai teman adalah orang-orang yang dapat dipercaya, seseorang yang dapat diajak bicara, dan seseorang yang dapat diandalkan. Berdasarkan pendapat ini, maka remaja seharusnya dalam berteman tidaklah membeda-bedakan atau memilih teman menurut suku, ras ataupun agama, tetapi lebih pada minat yang sama, dan dapat dipercaya. Kondisi inilah yang mendorong penulis ingin meneliti apakah remaja juga memiliki prasangka terhadap teman-teman sebayanya yang berbeda agama sehingga dapat mempengaruhi hubungan pertemanan mereka.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan permasalahan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

“Bagaimana prasangka remaja pada temannya yang berbeda agama setelah konflik di Ambon ? “

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan :

Bagaimana prasangka remaja terhadap teman yang berbeda agama setelah konflik di Ambon.


(24)

6

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini memiliki manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Manfaat secara teoritis adalah memberikan dan menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya dibidang Psikologi Sosial mengenai tingkat prasangka remaja terhadap teman yang berbeda agama setelah konflik karena selama ini pembahasan tentang prasangka lebih didominasi tentang prasangka terhadap RAS yang terjadi di Amerika khususnya terhadap warna kulit dan masih sedikitnya adanya pembahasan secara khusus tentang prasangka yang terjadi di Indonesia.

Sedangkan manfaat praktis penelitian ini adalah memberikan gambaran secara umum kepada masyarakat ataupun pemerintah tentang tingkat prasangka pada remaja sebagai akibat dari konflik dan memberikan gambaran kepada remaja agar lebih objektif dalam berinteraksi dengan teman-teman sebaya yang berbeda agama.


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. REMAJA

1. Pengertian Remaja

Remaja yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa Latin adolescere yang artinya “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan” (Ali dan Asrori, 2004). Istilah adolescence¸ seperti yang dipergunakan saat ini, mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 1980). Piaget dalam Hurlock (1980) mendukung pandangan ini dengan menyatakan bahwa secara psikologis, masa remaja adalah usia individu yang berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkat yang sama.

Masa remaja menurut Mappiare (dalam Ali dan Asrori, 2004), berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Rentang usia ini dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu usia 12/13 tahun sampai dengan 17/18 tahun adalah remaja awal, dan usia 17/18 tahun sampai dengan 21/22 tahun adalah remaja akhir. Sedangkan menurut hukum di Amerika Serikat saat ini, individu dianggap telah dewasa apabila telah mencapai usia 18 tahun, bukan 21 tahun seperti sebelumnya (Hurlock, 1980). WHO sendiri (dalam Sarwono, 1994) menetapkan batas usia 10-20 tahun sebagai batasan usia remaja, WHO


(26)

8

membagi kurun usia tersebut dalam 2 bagian yaitu remaja awal 10-14 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun.

Menurut Stanley Hall (Santrock, 2003), remaja adalah masa antara usia 12 sampai 23 tahun. Stanley Hall (Santrock, 2003) menggambarkan remaja sebagai masa goncangan (strom and stress) yang ditandai dengan konflik dan perubahan suasana hati. Menurut Hall (Santrock, 2003) pikiran, perasaan, dan tindakan remaja berubah-ubah antara kesombongan dan kerendahan hati, baik dan godaan, kebahagian dan kesedihan. Perubahan ini digambarkan oleh Hall (Santrock, 2003) seperti ini: pada satu saat remaja mungkin akan bersikap jahat pada temannya tapi juga bisa bersikap baik di waktu yang lain atau ingin berada sendirian tetapi sesaat kemudian mencari teman.

Berdasarkan uraian diatas maka remaja adalah masa antara usia 12 sampai dengan 23 tahun dan ditandai dengan perubahan fisik, sosial, emosional maupun mental. Remaja mengalami perubahan suasana hati yang timbul secara bergantian antara senang dan sedih, namun perubahan seperti ini wajar terjadi di masa remaja.

2. Perkembangan Sosial Remaja

Remaja lebih banyak berada diluar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapat dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga (Hurlock, 1980). Misalnya sebagian besar remaja mengetahui bahwa bila mereka memakai model pakaian


(27)

9

yang sama dengan pakaian anggota kelompok yang popular, maka kesempatan baginya untuk diterima oleh kelompok menjadi lebih besar (Hurlock, 1980).

Remaja tidak lagi memilih teman-teman berdasarkan kemudahannya entah di sekolah atau di lingkungan tetangga sebagaimana halnya pada masa kanak-kanak. Kegemaran pada kegiatan-kegiatan yang sama tidak lagi merupakan faktor penting dalam pemilihan teman (Hurlock, 1980), tetapi remaja menginginkan teman yang mempunyai minat, pola tingkah laku, ciri fisik dan kepribadian yang sama (Hurlock, 1980 dan Mappiare dalam Ali dan Asrori,2004 ). Persamaan tersebut membuat para remaja dapat saling mengerti dan merasa aman, sehingga dapat mempercayakan masalah-masalah juga membahas hal-hal yang tidak dapat ia bicarakan dengan orang tua maupun guru (Hurlock, 1980). Sullivan (Santrock, 2003) menyatakan bahwa remaja dapat lebih mengungkapkan informasi yang bersifat mendalam dan pribadi kepada teman-teman mereka daripada para anak yang lebih kecil. Remaja juga lebih mengandalkan teman daripada orang tua untuk memenuhi kebutuhan kebersamaan, untuk meyakinkan harga diri dan keakraban.

Menurut Santrock (2003) teman sebaya (peers) adalah anak atau remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama dan bagi remaja hubungan teman sebaya merupakan bagian yang paling penting dalam kehidupannya. Hubungan teman sebaya yang baik perlu bagi perkembangan sosial yang normal pada masa remaja. Menurut Hightower (dalam Santrock, 2003) hubungan teman sebaya yang harmonis pada masa remaja berhubungan dengan mental yang positif pada usia pertengahan. Menurut Sullivan


(28)

10

(Santrock, 2003) melalui interaksi teman sebayalah anak-anak dan remaja belajar mengenai pola hubungan yang timbal balik dan setara, menggali prinsip-prinsip kejujuran dan keadilan dengan cara mengatasi ketidaksetujuan dengan teman sebaya. Melalui hubungan dengan teman sebaya, remaja belajar menjadi teman yang memiliki kemampuan dan sensitif terhadap hubungan yang lebih akrab dengan menciptakan persahabatan yang lebih dekat dengan teman sebaya yang dipilih. Teman bagi remaja sebagai orang kepercayaan yang penting yang mampu menolong remaja untuk melewati berbagai situasi yang menjengkelkan (kesulitan dengan orang tua atau putus pada hubungan romantis) dengan menyediakan dukungan emosi dan nasihat yang memberikan informasi.

Kondisi yang digambarkan diatas menunjukkan bahwa kelompok teman sebaya (peers) merupakan hal yang penting dan positif bagi perkembangan remaja. Menurut Gunarsa, (1984) kelompok remaja merupakan hal yang positif karena kelompok teman sebaya dapat memberikan kesempatan yang luas bagi remaja untuk melatih cara bersikap, bertingkah laku dan berhubungan sosial. Kelompok teman sebaya menjadi hal yang positif dan berguna juga bagi remaja untuk pembentukan identitasnya. Menurut Erikson (dalam Gunarsa, 1984 ; Santrock, 2003) pada masa remaja tujuan utama dari seluruh perkembangan adalah pembentukan identitas diri namun pembentukan identitas tidak dimulai ataupun berakhir hanya ada masa remaja. Menurut Erikson (dalam Gunarsa, 1984 ; Hurlock, 1980 ; Santrock, 2003) pertanyaan-pertanyaan tentang siapa saya, apakah yang ada pada diri


(29)

11

saya, dimana tempat saya merupakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan remaja yang berkaitan dengan konsep identitasnya. Maka remaja untuk membentuk konsep identitasnya ini memerlukan tempat atau wadah agar dapat menjawab setiap pertanyaan-pertanyaan ini. Tempat yang menjadi awal pembentukan identitas remaja berawal dari keluarga dimasa anak-anak kemudian setelah memasuki masa remaja kelompok teman sebayalah yang diperlukan remaja untuk menjadi tempat untuk menggembangkan identitasnya (dalam Soekanto,1989)

Berdasarkan informasi diatas maka dapat disimpulkan bahwa teman sebaya merupakan sosok yang penting dan terpercaya bagi remaja selain orang tua. Teman merupakan tempat bagi remaja untuk mengungkapkan perasaan yang dirasakannya atau pemikiran-pemikirannya, hal ini mungkin disebabkan karena rasa aman dan dimengerti yang didapatkan remaja dari temannya. Teman sebaya yang dipilih oleh remaja adalah teman yang memiliki persamaan minat, kesukaan, kepribadian tanpa melihat suku, ras dan agama.

B. PRASANGKA

1. Pengertian Prasangka

Menurut Allport dan Sears, Freedman serta Peplau (1985) prasangka adalah pandangan negatif seseorang atau kelompok terhadap orang atau kelompok lain yang hanya berdasarkan kategori sosial atau rasial seseorang atau kelompok sehingga prasangka menjadi sangat tidak rasional. Selain itu prasangka juga bermuatan kualitas suka dan tidak suka. Kimball Young


(30)

12

(dalam Ahmadi Abu,1991) menyebutkan prasangka adalah mempunyai ciri khas pertentangan antara kelompok yang ditandai oleh kuatnya in group dan out group. Sedangkan menurut Sherif dan Sherif prasangka adalah sikap tidak menyenangkan (unfavourable attitude) yang dimiliki oleh suatu kelompok dengan kelompok lain ( dalam Ahmadi Abu, 1991).

Nelson (dalam Sarwono, 2006) menyatakan prasangka merupakan evaluasi negatif seseorang atau sekelompok orang terhadap orang atau kelompok lain yang disebabkan karena bukan bagian dari kelompoknya. Menurut Brown (2005) prasangka merupakan seperangkat kepercayaan yang “salah” atau “irasional”, generalisasi yang semparangan atau disposisi yang “tidak beralasan” yang menyebabkan orang berperilaku negatif terhadap kelompok lain.

Baron dan Byrne (2004) serta Gerungan (1988) menyatakan prasangka sebagai suatu sikap negatif yang ditujukan kepada orang lain atau kelompok tertentu, semata-mata karena keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Prasangka mengarahkan seseorang atau sekelompok orang kepada keyakinan bahwa kelompok atau orang tertentu adalah golongan manusia yang rendah dan tidak dapat disejajarkan dengan manusia lain. Sikap diskriminasi seperti ini pada akhirnya dapat menimbulkan perilaku agresi (Koeswara dalam Santi,dkk 2000).

Dari pendapat beberapa ahli yang menjelaskan tentang prasangka maka dapat disimpulkan bahwa prasangka adalah sebuah pandangan juga disertai sikap negatif yang tidak berdasar yang ditujukan kepada orang


(31)

13

ataupun kelompok lain. Sikap negatif yang tidak berdasar ini disebabkan karena adanya kepercayaan yang salah, evaluasi negatif, ataupun adanya generalisasi yang salah. Penilaian yang tidak berdasar berupa penilaian yang diberikan hanya berdasarkan golongan, agama, ataupun suku seseorang bukannya memandang seseorang tersebut sebagai seorang individu yang utuh. Prasangka juga bermuatan kualitas suka dan tidak suka terhadap objek yang diprasangkai. Selanjutnya prasangka tidak hanya sebatas pada kepercayaan yang salah, rasa suka ataupun tidak suka tetapi juga dapat di wujudkan dalam bentuk perilaku ataupun tindakan yang tidak menyenangkan berupa diskriminasi yang pada titik ekstrem dapat berupa tindakan penyerangan terhadap objek yang diprasangkai.

2. Prasangka Sebagai Sikap

Prasangka sosial terdiri atas attitude-attitude sosial yang negatif terhadap golongan lain, dan mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok kepada orang atau kelompok lain (Gerungan 1988). Menurut Myers (1999) prasangka adalah sikap, maka sikap merupakan sebuah kombinasi dari perasaan, kecenderungan perilaku dan sebuah kepercayaan. Hal ini menunjukkan adanya komponen-komponen sikap yang terkandung dalam prasangka, maka perlulah dijelaskan tentang prasangka sebagai sikap.

Menurut John H Harvey dan William P. Smith (dalam Ahmadi Abu 1991) sikap adalah kesiapan merespon secara konsisten dalam bentuk positif atau negatif terhadap objek atau situasi. Sedangkan menurut L.L. Thurstone (dalam Ahmadi 1991) sikap sebagai tingkatan kecenderungan yang bersifat


(32)

14

positif atau negatif yang berhubungan dengan simbol, kata-kata, slogan, orang, lembaga ataupun ide-ide. Menurut Traves, dkk (dalam Ahmadi Abu, 1991) sikap melibatkan tiga komponen yaitu komponen afeksi, kognitif dan konasi.

Menurut Walgito (1990) sikap merupakan organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai objek atau situasi yang relatif ajeg yang disertai adanya perasaan tertentu dan memberikan dasar kepada orang tersebut untuk membuat respons atau berperilaku dalam cara yang tertentu yang dipilihnya.

Seperti halnya sikap maka prasangka juga memiliki komponen yang sama seperti sikap, tetapi prasangka cenderung berupa sikap-sikap yang bermuatan negatif. Maka tiga komponen prasangka adalah :

1. Komponen kognitif adalah kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau pada yang benar bagi objek sikap (Azwar. S,1998). Menurut Wyer dan Srull (dalam Baron dan Byrne 2004) sikap memiliki fungsi sebagai kerangka pikir kognitif untuk mengorganisasi, menginterpretasi dan mengambil informasi. Maka menurut Baron dan Byrne (2004) individu yang memiliki prasangka terhadap kelompok-kelompok tertentu cenderung memproses informasi tentang kelompok-kelompok secara berbeda dari cara mereka memproses informasi tentang kelompok lain. Prasangka juga melibatkan keyakinan dan harapan terhadap anggota berbagai kelompok. Keyakinan-keyakinan ini disebut sebagai stereotipe. Pada prasangka meliputi keyakinan yang bervalensi negatif tentang kelompok lain. Hal ini dapat disebabkan karena


(33)

15

informasi yang diterima kurang tepat atau generalisasi yang kurang tepat

2. Prasangka juga melibatkan perasaan negatif atau emosi pada orang yang dikenai prasangka ketika mereka hadir atau hanya dengan memikirkan anggota kelompok yang tidak disukai (Baron dan Bryne, 1994). Komponen afektif pada prasangka berisi perasaan ataupun emosi negatif terhadap kelompok lain. Emosi-emosi negatif tersebut berupa perasaan tidak suka, membenci, tidak simpati, dll (Ahmadi Abu,1991)

3. Komponen konatif yang menunjukkan pada pengalaman dengan kelompok. Merujuk pada perilaku diskriminatif kepada kelompok lain atau orang lain. Menurut Baron dan Byrne (2004) diskriminasi adalah tingkah laku negatif yang ditujukan kepada anggota kelompok sosial yang menjadi objek prasangka.

3. Sebab-sebab Timbul Prasangka

Ada beberapa faktor penyebab timbulnya prasangka antara lain : a. Proses Belajar

Proses belajar yang salah bisa menjadi salah satu penyebab seseorang khususnya anak-anak sudah berada dalam sebuah lingkungan yang penuh dengan prasangka. Anak-anak akan belajar dari orang tuanya, teman-temannya ataupun dari gurunya. Anak-anak akan melihat, memperhatikan dan mendengar apa saja yang dilakukan oleh orang tuanya dan akan


(34)

16

terekam dalam pikiran mereka (Baron dan Byrne 2004). Berdasarkan pandangan proses pembelajaran sosial (social learning), sesorang mengadopsi informasi baru, tingkah laku, atau sikap dari orang lain (Baron dan Byrne 2004). Hal ini akan semakin diperkuat apabila diberikan sebuah reinforcement positif berupa sikap teman-teman sebaya yang bersikap sama, informasi-informasi dari media massa yang kurang proposional, ataupun lingkungan yang mendukung seseorang bersikap seperti itu (Baron dan Byrne 2004). Hal ini sejalan dengan penjelasan Bandura, bahwa prasangka dapat terjadi karena subjek belajar dari orang-orang disekitarnya yang berprasangka terhadap kelompok lain dengan cara meniru atau mendapatkan pengaruh reinforcement positif dari orang-orang disekitarnya (dalam Atmadji 2002). Hal ini menunjukkan bahwa prasangka merupakan sebuah sikap yang bisa dipelajari.

b. Realistic Conflict Theory

Penyebab lain terjadinya prasangka adalah adanya kompetisi yang menyebabkan konflik dan berakibat timbulnya prasangka. Menurut Realistic Conflict Theory, prasangka timbul karena adanya kompetisi antara dua kelompok sosial yang disebabkan kerena perebutan kesempatan ataupun karena sebuah komoditas. Jika kompetisi ini terus berlanjut maka akan meningkatkan pandangan-pandangan negatif diantara anggota kelompok lain tersebut. Suatu kelompok dilabelkan sebagai musuh dan menganggap kelompoknya sebagai yang terbaik (White dalam Baron dan Byrne 2004).


(35)

17

Menurut Sherif dan Sherif (dalam Baron dan Byrne 2004) kompetisi yang rasional terhadap sumber daya yang sedikit dapat dengan cepat berkembang menjadi konflik berskala penuh sehingga menimbulkan sikap negatif terhadap lawannya dan pada akhirnya bisa membentuk akar prasangka. Selanjutnya hubungan yang dipenuhi dengan konflik dapat menimbulkan jarak sosial antara kelompok atau individu. Menurut Sherif & Sherif (dalam Atmadji, 2002) jarak sosial adalah sikap negatif anggota kelompok tertentu pada anggota kelompok lain yang dijadikan norma-norma kelompok. Akibatnya jarak sosial ini menimbulkan batasan-batasan negatif diantara kelompok-kelompok.

c. Kategorisasi Sosial

Situasi lain yang dapat meningkatkan prasangka dalam kelompok adalah kategorisasi sosial. Menurut Baron dan Byrne (2004) kategorisasi sosial merupakan kecenderungan untuk membagi dunia sosial ke dalam dua kategori yang berbeda : in group dan out group. Perbedaan antara in group dan out group dapat terjadi karena adanya perbedaan latar belakang seperti ras, agama, jenis kelamain, usia, latar belakang etnis, pekerjaan dan pendapatan. Kategorisasi sosial tidak hanya menyebabkan prasangka tetapi juga terjadi perbedaan perasaan dan keyakinan antara kelompok in group dan out group. Perbedaan perasaan dan keyakinan antar in group dan out group ini juga mengakibatkan terjadi kesalahan atribusi.


(36)

18

Kesalahan atribusi merupakan kecenderungan untuk memberikan atribusi yang lebih baik dan menyanjung anggota kelompoknya sendiri daripada anggota kelompok lain. Menurut Lambert ; Linville dan Fischer (dalam Baron dan Byrne 2004) kelompok out group diasumsikan memiliki traits yang tidak diinginkan dan dipersepsikan lebih serupa daripada anggota dari in group dan sering tidak disukai.

Perbedaan antara in group dan out group juga membentuk persepsi lebih superior dari kelompok lain yang menjadi pesaingnya. Menurut Tajfel dan Turne (dalam Baron dan Byrne 2004) persepsi superior ini terjadi dikarenakan individu berusaha meningkatkan self esteem mereka dengan mengidentifikasikan diri dengan kelompok sosial lainnya.

d. Stereotipe

Prasangka juga bersumber dari aspek dasar kognisi sosial yaitu berpikir mengenai orang lain, menyimpan dan mengintegrasikan informasi tentang mereka, dan kemudian menggunakan informasi ini untuk menarik kesimpulan tentang mereka atau membuat penilaiaan sosial. Aspek kognisi yang dimaksud adalah stereotipe. Menurut Judd, Ryan dan Parke (dalam Baron dan Bryne 2004) stereotipe merupakan kerangka berpikir kognitif yang terdiri dari pengetahuan dan keyakinan tentang kelompok sosial tertentu dan traits tertentu yang mungkin dimiliki oleh orang yang menjadi anggota kelompok-kelompok lain.

Dunning dan Sherman (dalam Baron dan Byrne 2004) juga mendeskripsikan stereotipe sebagai penjara kesimpulan (inferential


(37)

19

prisons) : ketika stereotipe telah terbentuk, stereotipe akan membangun persepsi kita terhadap orang lain, sehingga informasi baru tentang orang ini akan diinterpretasikan sebagai penguatan terhadap stereotipe kita, bahkan ketika hal ini tidak terjadi. Menurut Baron dan Byrne (2004) sterotipe memberikan efek kuat bagaimana kita memproses informasi, bahkan menurut Kunda & OLeson ; O’sullivan 7 Durso (dalam Baron dan Byne 2004) sterotipe bahkan mendorong seseorang memperhatikan jenis-jenis informasi tertentu saja. Informasi yang diperhatikan ini khususnya informasi yang konsisten dengan stereotipe tersebut dan bahkan ketika informasi tersebut tidak konsisten dengan stereotipe yang disadari, maka seseorang secara aktif menolak atau sedikit merubahnya sehingga tampaknya konsisten dengan stereotipe tersebut. Menurut Sarwono (2006) stereotipe memang berhubungan dengan prasangka, yaitu prasangka mengaktifkan stereotipe dan stereotipe menguatkan prasangka.

C. KONFLIK DI AMBON

Kota Ambon merupakan ibu kota propinsi dari Maluku dan merupakan sentral dari kegiatan pemerintahan dan politik, ekonomi maupun pendidikan. Keadaan ini membuat kota Ambon mempunyai daya tarik tersendiri untuk masyarakat dari segala penjuru desa di Maluku maupun dari luar Maluku untuk datang dan hidup di Ambon (www.fica.org/hr/ambon/idRusuh1.hmtl). Masyarakat di Ambon maupun di Maluku pada umumnya hidup dalam keberagaman dan jauh sebelum tanggal 19 Januari1999 keberagaman tersebut


(38)

20

dapat berjalan dengan damai. Keberagaman tersebut dapat berjalan dengan damai karena diikat oleh sebuah sistem adat-istiadat yang sering disebut Pela Gandong. Sistem ini memungkinkan warga yang berbeda agama ataupun suku mengangkat sumpah melalui suatu upacara khusus, berjanji untuk saling setia dan saling membantu, membela dalam suka dan duka (Suedy, 2000). Menurut F. L Cooley (dalam Suedy, 2000) Pela ini terbentuk dalam abad ke XVI di Maluku dengan latar belakang yang berbeda-beda tetapi mempunyai yang sama yaitu ‘bekerja sama untuk kepentingan bersama’. Hal diatas menunjukan walaupun kehidupan masyarakat di Ambon dan Maluku memiliki agama, suku, jenis pekerjaan , dll yang berbeda tetapi mereka dipersatukan oleh sebuah sistem yang disebut Pela Gandong.

Keadaan yang tenang dan damai ini rusak oleh sebuah konflik yang terjadi sejak 19 Januari 1999. Konflik yang terjadi ini menyebabkan masyarakat diliputi ketegangan dan ketakutan baik yang beragama Muslim maupun Kristen dan wilayah kota Ambon tersegresi secara ketat antara wilayah Muslim dan Kristen. Hal ini mengakibatkan mereka yang berbeda agama hampir tidak pernah berhubungan secara fisik, kecuali para relawan kemanusian, sedikit pelaku bisnis, atau petugas pemerintahan. Itu pun terbatas dilakukan di tempat-tempat netral (Margawati dan Aryanto, 2000). Konflik yang berlangsung ini tidak hanya menyebabkan ketegangan dan segresi wilayah tetapi juga menyebabkan banyaknya jatuh korban baik berupa fisik maupun nyawa serta permasalahan lain seperti pengungsian (Sarwono, 2006). Konflik yang terjadi tidak hanya membawa dampak sebatas pada orang


(39)

21

dewasa tapi juga anak-anak yang beranjak remaja. Dalam laporan salah satu organisasi yang memperhatikan hak-hak anak Save the Children UK (SCKU) yang bekerja di Indonesia khususnya wilayah Ambon dan sekitarnya melaporkan bahwa dalam konflik di Ambon ada anak-anak yang terlibat secara aktif dalam konflik ataupun anak yang menjadi korban langsung dan anak yang menjadi saksi konflik yang terjadi di Ambon. Dampak yang dirasakan anak-anak mulai dari rasa takut, rasa tegang, sedih, gangguan makan dan tidur sampai dengan menyimpan dendam dan merasakan kebencian yang terus menerus. Save the Children juga mencatat bahwa konflik di Ambon mengakibatkan anak-anak terpisah dari teman-teman mereka yang pergi atau tewas karena koflik. Ketakutan dan kebencian baru terhadap anggota komunitas dan agama lain mengakibatkan hilangnya pertemanan yang dulu ada serta munculnya keterbatasan dalam membentuk hubungan-hubungan baru dengan teman sebaya. Situasi seperti ini mendorong SCUK melakukan tindakan-tindakan rekonsiliasi yang juga melibatkan anak-anak sebagai fasilitator perdamaian untuk sesama anak-anak sendiri juga.

D. TINGKAT PRASANGKA REMAJA PADA TEMAN YANG BERBEDA AGAMA SETELAH KONFLIK DI AMBON

Remaja sebagai bagian dari tahap perkembangan mengalami banyak sekali perubahan baik dari fisik, emosi, maupun sosial. Perubahan sosial ditunjukkan dengan semakin kuatnya hubungan dengan teman-teman sebaya. Hal ini disebabkan karena remaja lebih sering berada diluar rumah bersama-


(40)

22

sama dengan teman-teman sebayanya (Hurlock, 1980). Menurut Santrock (2003) teman sebaya adalah anak atau remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama dan bagi remaja hubungan dengan teman sebaya sangatlah penting. Menurut Sullivan (Santrock, 2003) teman bagi remaja sebagai orang kepercayaan yang penting yang mampu menolong remaja melewati berbagai situasi yang kurang menyenangkan. Remaja juga mengungkapkan informasi yang bersifat mendalam dan pribadi kepada temannya. Menurut Hurlock, 1980 dan Mappiare (Ali dan Asrori, 2004) pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga. Mengapa pengaruh teman sebaya menjadi hal yang penting bagi remaja dapat dipahami karena menurut Erikson (dalam Gunarsa, 1984 dan Santrock, 2003) masa remaja merupakan masa pembentukan identitas diri namun pembentukan identitas tidaklah mulai ataupun berakhir hanya pada masa remaja. Menurut Soekanto, (1989) pembentukan identitas berawal dari keluarga pada masa anak-anak dan kemudian pada masa remaja kelompok teman sebayalah (peers) yang merupakan tempat bagi pembentukan identitas diri.

Remaja menginginkan teman yang mempunyai minat , pola tingkah laku, ciri fisik dan kepribadian yang sama. Penjelasan tersebut menunjukan bahwa interaksi remaja dengan teman yang sebaya merupakan hal yang penting. Tetapi konflik yang terjadi selama 4,5 tahun di Ambon bisa meruntuhkan kepercayaan remaja terhadap teman. Ketidakpercayaan kepada teman merupakan dampak yang ditimbulkan karena orang dewasa atau orang


(41)

23

tua yang mempunyai pandangan dan perasaan negatif mengkomunikasikan pandangan dan perasaan negatif kepada anak-anaknya. Orang tua juga akan marah bila anak-anaknya bergaul denagn teman yang berbeda agama (dalam Save The Children, 2006). Hubungan yang penuh dengan konflik ini dapat menimbulkan jarak sosial.

Menurut Sherif & Sherif (dalam Atmadji, 2002) jarak sosial adalah sikap negatif anggota kelompok tertentu pada anggota kelompok lain yang dijadikan norma-norma kelompok. Sikap negatif inilah yang bisa berakibat timbulnya prasangka antara remaja terhadap teman sebayanya. Prasangka tidak hanya sebatas sebuah pandangan atau wacana tetapi juga sebagai sebuah sikap. Menurut Baron dan Byrne, 2004 prasangka juga merupakan suatu sikap negatif yang ditujukan kepada kelompok lain ataupun orang lain. Selain itu prasangka juga dapat muncul karena proses belajar yang salah. Sikap orang tua dalam keluarga yang menunjukkan sikap negatif terhadap orang lain atau kelompok lain dipelajari oleh remaja. Sikap negatif yang dipelajari remaja dari orang tua diperkuat dengan reinforcement positif yang diterimanya dari lingkungan ataupun teman-temannya.

Keadaan ini menyebabkan remaja dalam memilih teman tidak lagi berdasarkan minat, pembicaraan, sikap serta perilaku teman-teman sebayanya tetapi lebih pada agama dan keyakinan yang sama dengan dirinya. Bila teman sebayanya tidak memiliki keyakinan yang sama dengan dirinya maka akan timbul penilaian yang negatif terhadap temannya dan berdampak pada sikap yang ditunjukkan kepada teman sebayanya. Kondisi ini sejalan dengan


(42)

24

penjelasan dalam laporan Save the Children (2006) bahwa konflik di Ambon juga mengakibatkan ketakutan dan kebencian baru terhadap anggota komunitas dan agama lain mengakibatkan hilangnya pertemanan yang dahulu ada serta munculnya keterbatasan dalam membentuk hubungan-hubungan baru dengan teman sebaya. Hurlock (1980) menyatakan bahwa bertambah tau berkurangnya prasangka dan diskriminasi selama masa remaja sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana remaja berada dan oleh sikap serta perilaku rekan-rekan dan teman-teman baiknya. Keadaan ini menunjukkan adanya prasangka yang muncul antara remaja dengan teman sebayanya dimana seharusnya remaja dalam berteman tidaklah mempertimbangkan faktor agama dan keyakinan.


(43)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu penelitian yang berusaha menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data-data dengan cara menyajikan data, menganalisis dan menginterpretasi (Acmadi. A dan Narbuko Cholid, 2001). Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang bertujuan mendeskripsikan, mencatat, menganalisis dan menginterpretasikan kondisi yang sekarang ini terjadi atau ada. Penelitian ini tidak menguji atau tidak menggunakan hipotesa tetapi hanya mendeskripsikan informasi apa adanya sesuai variabel yang diteliti

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif mengenai variabel yang diperoleh melalui analisis skor jawaban subjek pada skala sebagaimana adanya. Dengan demikian jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian deskriptif kuantitatif yaitu memberikan gambaran tentang tingkat prasangka remaja terhadap teman yang berbeda agama setelah konflik di Ambon. Seberapa tinggi atau rendah tingkat prasangka remaja terhadap teman yang berbeda agama dan menunjukkan bagaimana prasangka tersebut terlihat melalui indikasi-indikasi yang tergambarkan.

B. Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini yang menjadi variabel penelitian adalah Prasangka agama.


(44)

24

C. Definisi Operasional

Prasangka adalah sikap negatif yang ditujukan oleh seseorang atau kelompok kepada orang lain atau kelompok lain. Dan dalam penelitian ini prasangka dilakukan oleh remaja kepada teman sebayanya yang berbeda agama.

Prasangka dalam penelitian ini diungkap dengan skala parasangka. Tingkat prasangka diperoleh dari skor total penelitian yang merupakan hasil penjumlahan skor yang terdapat pada setiap pernyataan skala. Semakin tinggi skor total yang diperoleh subjek, maka dapat dikatakan bahwa semakin tinggi prasangka remaja kepada teman yang berbeda agama dan sebaliknya semakain rendah skor total yang diperoleh maka semakin rendah prasangka remaja kepada teman yanag berbeda agama. Beberapa komponen prasangka :

1. Komponen kognitif meliputi keyakinan yang bervalensi negatif tentang kelompok lain. Seperti penilaian negatif, menilai agamanya yang paling baik, menilai perayaan agamanya yang paling baik, hanya yakin pada informasi yang berasal dari teman yang seagama, dll

2. Komponen afektif berisi perasaan ataupun emosi negatif terhadap kelompok lain. Emosi-emosi negatif tersebut berupa perasaan tidak suka, membenci, tidak simpati, tidak nyaman dan lain-lain

3. Komponen konatif

Merujuk pada perilaku diskriminatif kepada kelompok atau orang lain.. Sikap diskriminatif yang ditunjukkan berupa sikap yang


(45)

25

membeda-bedakan atau memilih-milih teman untuk menjadi temannya, tidak bersedia melakukan kegiatan dengan teman yang berbeda agama, dan lain-lain

D. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah remaja yang berumur 15/16 tahun sampai dengan 17/18 tahun yang sedang menempuh pendidikan SMU dan yang menetap di Ambon selama konflik terjadi. Dalam hal ini peneliti menggunakan Purposive Sampling yaitu memilih sekelompok subjek didasarkan karakteristik tertentu yang sesuai dengan karakteristik populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Hadi, 1998)

E. Metode Pengambilan Data

Metode yang digunakan untuk mengukur data dalam penelitian ini adalah dengan menyebarkan skala prasangka untuk mengungkap tingkat prasangka remaja terhadap temannya yang berbeda agama. Skala prasangka ini dibuat berdasarkan komponen-konponen prasangka yang telah disebutkan sebelumnya.

Metode penyusunan skala yang digunakan adalah Summated Rating dengan menggunakan skala Likert dengan 4 kategori jawaban yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS) dan sangat tidak setuju (STS). Dimana butir-butir pernyataannya terdiri atas pernyataan favorable dan


(46)

26

sikap positif yang mendukung atau memihak pada objek sikap yang hendak diukur sedangkan pernyataan unfavorable adalah pernyataan sikap negatif

yang tidak mendukung atau memihak pada objek sikap yang hendak diukur.

Tabel 1

Komponen Aitem Prasangka

No Komponen Favorable Unfavorable Presentase 1 Kognitif terdiri dari

keyakinan yang bervalensi negatif terhadap teman yang berbeda agama

7,14,20,25, 28,37,39, 48,51,56,62

6,11,15,19, 34,36,50,63

30,2%

2 Afeksi terdiri dari emosi-emosi negatif (seperti :marah, benci, tidak simpati,tidak

menghargai,dll) kepada teman yang berbeda agama

2,10,12,17, 21,30,43,47,

54,57,60,61

4,5,8,16, 24,27,29,32,

35,40,59

36,5%

3 Konatif berupa

tindakan diskriminatif

1,3,13,22, 26,31,33,38

,41,44,49

9,18,23,42, 45,46,52,53,

55,58


(47)

27

(tingkah laku negatif, menghina, membeda-bedakan, memilih-milih,dll) teman yang tidak seagama

Jumlah 34 29 63

Cara penyekoran yang akan dilakukan pada aitem-aitem favorable dan

unfavorable adalah sebagai berikut :

Tabel 2

Skor Berdasarkan Kategori Jawaban Skor Jawaban

Favorable Unfavorable

Sangat Setuju (SS) 4 1

Setuju (S) 3 2

Tidak Setuju (TS) 2 3

Sangay Tidak Setuju (STS) 1 4

Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek berarti semakin tinggi tingkat prasangka remaja pada temannya yang berbeda agama, sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh subjek berarti semakin rendah tingkat prasangka remaja pada temannya yang berbeda agama.


(48)

28

Penelitian ini selain menggunakan metode penggukuran melalui skala juga menggunakan metode wawancara. Metode wawancara bukanlah metode utama yang digunakan untuk menggumpulkan data pada penelitian ini. Metode wawancara hanya bertujuan untuk semakin melengkapi data yang diperoleh dari metode pengukuran melalui skala. Model wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara terpimpin. Menurut Acmadi. A dan Narbuko Cholid (2001) wawancara terpimpin adalah wawancara yang menggunakan panduan pokok-poko kmasalah yang diteliti sehingga akan memudahkan dan melancarakan jalannya wawancara. Guide wawancara yang digunakan terdiri dari 10 pertanyaan yang mengandung komponen kognitif, afektif dan konatif.

Tabel 3 Guide Wawancara

No Komponen Pertanyaan

1 Kognitif 1. Bagaimana pendapatmu (pandanganmu) tentang ajaran agama teman yang berbeda agama dengan kamu?

2. Bagaimana pendapatmu tentang

teman-temanmu yang menggunakan aksesoris/pakaian yang menunjukkan keagamaannya?

3. Apakah kamu mempunyai teman baik? Agamanya apa? Mengapa kamu mau berteman dengan dia?


(49)

29

berebeda agama dengan kamu? Kemudian apa pendapatmu tentang teman-temanmu yang seagama dengan kamu?

2 Afeksi 5. Bagaimana perasaanmu terhadap teman yang seagama dengan kamu? Bagaimana perasaanmu dengan teman yang berbeda agama dengan kamu ?

6. Misalnya pada sebuah ujian ada temanmu yang berbeda agama denganmu memperoleh nilai ujian yang lebih tinggi dari kamu. Bagaimana perasaanmu? Bagaimana pendapatmu terhadap temanmu itu?

3 Konatif 7. Apakah dalam bergaul, kamu mempunyai syarat dalam memilih teman? Kalau iya syaratnya apa? Mengapa? Kalau tidak, mengapa?

8. Kalau ada teman yang sakit apakah kamu akan menjenguk? Nah kalau misalkan temanmu berbeda agama dengan kamu apakah akan tetap menjenguk? Kalau iya, mengapa? Kalau tidak, mengapa?

9. Apakah kamu akan selalu membantu temanmu yang membutuhkan bantuan walaupun dia berebda agama denganmu? Mengapa?

10. Misalnya kamu kenalan dengan seorang cewek/cowok dan kamu ada perasaan suka tapi ternyata dia berbeda agama dengan kamu. Bagaimana sikapmu? (kamu akan menjauhi dia atau bagaimana?)


(50)

30

F. Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan adalah melalui perhitungan median atau mean dan yang menjadi dasar pemberian skor adalah pernyataan yang disetujui oleh responden. Pada metode wawancara analisis data yang dilakukan dengan membuat kesimpulan berdasarkan hal-hal paling dominan muncul dari hasil wawancara.

G. Validitas dan Reliabilitas

Sebelum skala diujikan kepada subjek penelitian, terlebih dahulu dilakukan uji coba dengan subjek yang mmemiliki kriteria yang sama dengan subjek penelitian untuk memperoleh validitas dan reliabilitas dari pernyataan-pernyataan dalam skala.dilakukan uji coba dengan tujuan agar alat ukur yang digunakan dalam penelitian bisa dipercaya, lebih akurat dan representative.

1. Validitas

Menurut Azwar (2006) validitas adalah ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes atau instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut mampu menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan tujuan pengukuran.

Pada penelitian ini validitas yang digunakan adalah validitas isi. Validitas ini merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau lewat professional judgment dengan


(51)

31

keluar dari batasan tujuan ukur. Dalam hal ini sebelum peneliti melakukan uji coba, peneliti terlebih dahulu mengkonsultasikannya dengan dosen pembimbing skripsi, sehingga aitem-aitemnya di pandang cukup untuk mewakili keseluruhan isi obyek yang hendak diukur.

2. Seleksi Aitem

Dalam seleksi aitem, parameter yang paling penting adalah daya beda aitem. Indeks daya beda aitem merupakan indikator keselarasan antara fungsi aitem dengan fungsi skala secara keseluruhan yang dikenal dengan konsistensi aitem total. Parameter daya beda aitem diestimasi berdasarkan koefisien korelasi item total.

Sebagai kriteria pemilihan aitem berdasarkan korelasi aitem total (rix), biasanya digunakan batasan rix ≥ 0,30. Artinya aitem-aitem yang

dianggap mempunyai daya beda yang tinggi apabila mempunyai indeks daya beda lebih besar atau sama dengan 0,30 (Azwar 2003).

Dalam penelitian ini analisis dan seleksi aitem dilakukan dengan menggunakan komputasi SPSS 11.0.

Tahap uji coba dilakukan pada tanggal 27- 29 Desember 2006 dan pada tanggal 8-13 Januari 2007 pada lima SMU yang berbeda. Sekolah-sekolah yang dipilih terdiri dari Sekolah-sekolah swasta dan negeri dengan jumlah responden 101 orang.

Hasil pengujian terhadap 63 aitem menunjukkan terdapat 51 aitem yang lolos dan 11 aitem yang gugur. Kesebelas aitem gugur terdiri dari 7


(52)

32

aitem komponen kognitif dan masing-masing 2 aitem komponen afeksi dan konatif

Tabel 4

Aitem yang gugur dan lolos setelah uji coba

Kompenen Favorable Unfavorable Jumlah

Kognitif 7,(14),20,(25),28,(37), (39),48,51,56,62

6,(11),(15),19, (34),36,50,63,

12

Afeksi 2,10,12,17,(21), 30,43,47,54

,57,60,61

4,5,8,16,24, 27,29,32, (35),40,59

21

Konatif 1,3,13,22,26 ,31,33,(38)

,41,44,49

9,18,23,42, 45,46,52, (53),55,58

19

Keterangan : ( ) adalah aitem yang gugur

Dari hasil uji coba diketahui jumlah aitem yang layak digunakan untuk penelitian adalah 52 aitem. Namun untuk menyeimbangkan jumlah aitem pada setiap komponen kembali digugurkan masing-masing 9 aitem dari komponen afektif dan 7 aitem untuk komponen konatif yang mempunyai indeks daya beda yang paling kecil diantara indeks daya beda aitem-aitem pada komponen afeksi dan konatif tersebut. Maka diperoleh 36 aitem yang akan digunakan pada skala penelitian.


(53)

33

Tabel 5

Nomer aitem bentuk Skala Final

Komponen Favorable Unfavorable Presentase Kognitif 7(18),20(2),28(20),

48(26),51(16), 56(30),62(14)

6(36),19(10),63(8), 36(3),50(13)

33,3 %

Afeksi 10(32),30(1), 43(25),47(22),

54(7),61(9)

5(23),16(17), 24(29),27(19),

32(24),40(31)

33,3%

Konatif 13(27),22(21),26(33), 31(11),33(34),44(6)

23(28),45(12),46(5), 52(15),55(4),58(35)

33,3%

Jumlah 19 17 36

Keterangan : ( ) no aitem pada skala final

3. Reliabilitas

Ide pokok yang terkandung dalam reliabilitas menurut Azwar (2006) adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya sehingga apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok objek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama.

Tinggi rendahnya reliabilitas tes dicerminkan oleh koefisien reliabilitas (r ). Secara teoritis besarnya koefisien relibilitas berkisar

mulai dari 0,0 sampai 1,0 akan tetapi pada kenyataannya koefisien sebesar


(54)

34

1,0 dan sekecil 0,0 tidak pernah dijumpai. Koefisien reliabiliras r = 1,0 berarti adanya konsistensi yang sempurna pada hasil ukur alat yang bersangkutan atau berarti koefisien reliabilitas alat ukur tinggi. Pada umumnya reliabilitas telah dianggap memuaskan bila koefisisennya mencapai minimal r

xx

xx = 0,900.

Pada penelitian ini pendekatan reliabilitas yang digunakan untuk menghitung koefisien reliabilitas adalah perhitungan reliabilitas koefisien Alpha. Perhitungan reliabilitas koefisien Alpha dilakukan dengan menggunakan satu bentuk tes yang dikenakan hanya sekali saja pada sekelompok subjek. Selain itu penggunaan reliabilitas ini dimungkinkan untuk penggunaan aitem yang berjumlah ganjil.

Setelah uji coba skala yang dilakukan diperoleh reliabilitas koefisien Alpha yang di hitung dengan bantuan SPSS 11.0 diperoleh koefisien Alpha sebesar 0,9193 yang berarti reliabilitas skala dianggap memuaskan dan bisa dipercaya (reliabel) untuk di ujikan kembali untuk memperoleh data penelitian yang dibutuhkan.


(55)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilakukan pada tanggal 25 Januari 2007 sampai 1 Febuari 2007 di enam SMU negeri dan swasta, baik yang mayoritas muridnya beragama Kristen dan Islam maupun pada sekolah yang campur. Dari enam SMU ini diperoleh 294 subjek dengan jumlah subjek laki-laki sebanyak 156 subjek dan subjek perempuan sebanyak 138 subjek. Selama penelitian, tidak ada permasalahan yang sangat menganggu. Dalam pemberian instruksi ditekankan kepada subjek untuk mengisi skala sesuai dengan apa yang dirasakan dan tidak perlu takut. Selain itu peneliti juga meminta subjek untuk membayangkan apabila berada dalam situasi yang ada dalam skala karena sebagian besar subjek belum pernah lagi mempunyai teman yang berbeda agama dengan mereka sejak konflik di Ambon terjadi. Pada saat pengisisan skala juga diberikan batasan waktu, setiap subjek dapat mengisi setiap skala dalam waktu 15 menit. Pemberian waktu ini bertujuan agar subjek bisa mengisi secepat mungkin sehingga bisa menghindari facking good.

B. Hasil penelitian

1. Deskripsi Data Penelitian

Dari hasil penelitian yang dilakukan pada enam sekolah diperoleh data sebagai berikut


(56)

36

Tabel 6

Deskripsi Data Penelitian

N 293 Skor Minimum Teoritik 36

Skor Maksimum Teoritik 144

Mean Teoritik 90

Skor Minimum Empiris 37 Skor Maksimum Empiris 101

Mean Empiris 62, 24

Dari deskripsi data penelitian diatas dapat dilihat bahwa mean empirik dalam penelitian ini lebih kecil dari mean teoritik ( 62,24 < 90 ). Hal ini menunjukkan bahwa nilai rata kelompok data lebih rendah dari nilai rata-rata teoritik, yang berarti bahwa subjek penelitian secara umum memiliki tingkat prasangka yang rendah pada teman yang berebeda agama dengannya.

Hasil penelitian yang menunjukan bahwa mean empirik lebih kecil dari mean teoritik di uji lagi dengan uji statistik one sample t-test dengan bantuan program SPSS for window dengan tujuan untuk membuktikan bahwa mean empirik secara signifikan lebih kecil dari mean teoritik. Berikut ini hasil perhitungan uji one sample t-test :


(57)

37

Tabel 7

Uji t Mean Empirik dan Mean Teoritis

One-Sample Statistics

294 62,24 11,606 ,677

TOTAL

N Mean Std. Deviation

Std. Error Mean

One-Sample Test

-41,014 293 ,000 -27,76 -29,09 -26,43

TOTAL

t df Sig. (2-tailed)

Mean

Difference Lower Upper

95% Confidence Interval of the

Difference Test Value = 90

Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa nilai t sebesar 41,014 dengan probabilitas sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,01 (p = 0,000 < 0,01) yang berarti secara signifikan ada ada perbedaan antara mean empirik dan mean teoritis. Hal ini membuktikan bahwa secara signifikan mean empirik lebih kecil dari mean teoritik sehingga bisa dinyatakan bahwa tingkat prasangka remaja kepada teman yang berbeda agama setelah konflik di Ambon adalah rendah terbukti secara signifikan.

Selain deskripsi data di atas juga di peroleh adanya perbedaan yang signifikan tingkat prasangka pada teman yang berbeda agama pada subjek laki-laki dan perempuan. Hal ini dapat terlihat pada tabel di bawah ini :


(58)

38

Tabel .8

Perbedaan Mean Pada Subjek Laki-laki Dan Perempuan

Group Statistics

156 64,62 11,803 ,945

138 59,54 10,803 ,920

JK laki-laki perempuan TOTAL

N Mean Std. Deviation

Std. Error Mean

Independent Samples Test

,570 ,451 3,831 292 ,000 5,08 1,326 2,469 7,688

3,851 291,653 ,000 5,08 1,319 2,483 7,673

Equal variances assumed Equal variances not assumed TOTAL

F Sig.

Levene's Test for Equality of Variances

t df Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error

Difference Lower Upper

95% Confidence Interval of the

Difference t-test for Equality of Means

Dari deskripsi diatas terlihat bahwa ada tingkat prasangka remaja kepada teman yang berbeda agama pada subjek laki-laki lebih tinggi dari subjek perempuan dengan nilai probabilitas 0,000 lebih kecil dari 0,01 (p = 0,000 < 0,01). Hal ini berarti bahwa ada perbedaan tingkat prasangka pada subjek laki-laki dan perempuan secara signifiikan.

2. Hasil Wawancara

Penelitian ini selain dilakukan melalui mengambilan skala juga dilakukan melalui wawancara pada 4 orang subjek. Wawancara yang dilakukan hanya sebagai data tambahan untuk memperkuat data kuantitatif yang diperoleh. Subjek rata-rata duduk di kelas dua SMU yang terdiri dari 3 subjek perempuan dan satu orang subjek laki-laki. Keempat subjek adalah remaja yang selama konflik berada di Ambon dan merasakan konflik sejak


(59)

39

mereka masih duduk di SD. Salah satu subjek adalah anak yang selama konflik di Ambon pernah terlibat secara langsung dalam konflik. Pernah dipersenjatai namun sekarang ini telah mengikuti beberapa pembinaan oleh salah satu LSM yang melindungi hak-hak anak di Ambon. Kesimpulan dari wawancara pada 4 orang subjek sebagai berikut :

Dari hasil wawancara dapat di simpulkan bahwa ketiga subjek pernah mempunyai teman yang berbeda agama dengan mereka namun hanya sewaktu SD sebelum Konflik terjadi di Ambon. Sejak Konflik di Ambon hubungan pertemanan dengan teman yang berbeda agama terputus dan hingga saat ini Mereka tidak mempunyai teman yang berbeda agama dengan mereka. Ketiga subjek cenderung berteman dengan teman yang seagama saja karena merasa lebih nyaman, lebih dekat. Ada perasaan takut dan menjaga jarak (cenderung lebih berhati-hati) juga perasaan tidak suka dan benci (terlihat pada subjek1 afeksi 28-30,32,48-49 ;subjek 2,afektif 19,23-24 ;subjek 3 afeksi 22-24,27-28) dengan teman yang berbeda agama karena sejak konflik belum pernah lagi berteman dengan teman yang berbeda agama. Menurut ketiga subjek, ajaran agama merekalah yang paling benar dan ada perasaan-perasaan aneh terhadap ajaran agama yang berbeda dengan mereka (terlihat pada subjek 1 kognitif 5-6,10-12 ;subjek 2 kognitif11-13 ;subjek 3, kognitif 4-5). Hal ini dikarenakan ketidaktahuan mereka terhadap ajaran agama lain. Ketiga subjek mempertanyakan apa yang mendasari atau bagaimana ajaran agama lain sehingga dalam suatu agama melakukan tindakan yang buat ketiga subjek terlihata aneh, contohnya penggunaan aksesoris yang menunjukkan


(60)

40

keagamaannya. Selain itu berdasarkan yang mereka lihat dan dengar, menurut mereka teman-teman yang berbeda agama, dalam pergaulannya terlalu bebas dan cenderung memaksakan kehendak (terlihat pada subjek 1 Kognitif 178-181 ;subjek2 kognitif 109-114, 132-133). Namun buat ketiga subjek mereka mau dan mempunyai keinginan untuk membangun hubungan pertemanan apabila ada kesempatan, sehingga bisa membuka wawasan serta bisa berdiskusi tentang ajaran agama masing-masing sehingga tidak ada lagi kebingungan perasaan aneh terhadap ajaran agama lain.

Sedangkan pada salah satu subjek yang pernah terlibat secara langsung dan aktif pada saat konflik di Ambon menyatakan bahawa subjek tetap memiliki perasaan tidak nyaman, perasaan tidak tenang, ada rasa dendam, tidak bisa berkomunikasi dengan baik dengan teman yang berbeda agama (terlihat pada subjek4 afeksi16-18, 45-47) namun subjek berusaha agar perasaan-perasaan seperti ini tidak mengganggu kehidupannya. Subjek tetap membangun hubungan pertemanan dengan teman-teman yang berbeda agama dan subjek cenderung tidak mempunyai pandangan yang negatif terhadap ajaran agama teman yang lain. Menurut subjek setiap agama mempunyai tujuan yang baik. Hal ini mungkin disebabkan subjek telah mengikuti bimbingan / pembinaan dan sampai saat ini masih tetap mengikuti bimbingan / pembinaan pada salah satu organisasi yang memperhatikan anak-anak. Subjek saat ini ikut serta dalam proses-proses perdamaian yang dilakukan oleh organisasi yang memperhatikan anak-anak ini dan pada proses ini subjek menjadi lebih banyak kesempatan untuk berinteraksi teman-teman yang


(61)

41

berbeda agama dengan dirinya . Hal ini mau dilakukan oleh subjek karena subjek ingin memandang dan menjalani kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang, subjek ingin menyenangkan orang tuanya.

C. Pembahasan

Dari hasil penelitian diperoleh mean empirik lebih kecil dari mean teoritik (62,24 < 90 ) hal ini menunjukkan tingkat prasangka pada remaja kepada teman yang berbeda agama setelah konflik rendah. Hasil wawancara pada keempat subjek juga menunjukkan bahwa mereka cenderung memiliki prasangka yang rendah, walaupun keempat subjek tetap menyebutkan bahwa mereka masih tetap memiliki perasaan takut dan menjaga jarak (lebih berhati-hati). Hal tersebut kemungkinan dapat terjadi karena sudah banyak proses-proses rekonsiliasi dan pembinaan-pembinaan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memperhatikan dampak konflik yang terjadi, misalnya Save the Children yang memperhatikan dampak konflik bagi anak-anak di Ambon. Salah satu program yang dilakukan oleh Save the Children adalah mempersiapkan anak-anak dengan berbagai latar belakang untuk menjadi fasilitator bagi teman-teman sebayanya. Melalui program ini diharapkan dapat menciptakan kesempatan bagi anak-anak untuk bisa berkomunikasi dan berinteraksi bersama secara kooperatif. Melaui proses ini juga diharapkan dapat tercipta rasa percaya diri, terbentuk kepercayaan terhadap teman yang berbeda agama, tercipta rasa aman dan terbebas dari rasa takut atau kecemasan. Menurut Baron dan Byrne (1994) prasangka merupakan sebuah


(62)

42

proses yang bisa dipelajari dan akan semakin kuat bila ada reinforcement positif, mereka percaya bahwa anak mempelajari prasangka dari orang tuanya, orang dewasa lain, pengalaman masa kanak-kanak dan media massa. Hal ini pun dibenarkan dari hasil pengumpulan data dari Save the Children bahwa banyak orang dewasa yang memelihara perasaan negatif mereka sendiri terhadap komunitas lawan dan mengkomunikasikannya kepada anak. Dari hasil wawancara pun dapat dilihat bahwa anak-anak pada saat konflik menjadi takut ketika mendengar isu-isu ataupun informasi yang bisa memprovokasi. Maka menurut Baron dan Byrne (1994) untuk mengurangi prasangka dapat dilakukan dengan teknik belajar untuk tidak membenci dan mengembangkan toleransi. Pettigrew (dalam Baron dan Byrne, 1994) juga memunculkan ide untuk mengurangi prasangka dengan meningkatkan derajat kontak antara kelompok-kelompok yang berbeda, dengan asumsi melalui kontak dengan kelompok yang berbeda dapat mengembangkan pemahaman akan kesamaan. Kontak dengan kelompok yang berbeda juga dapat memunculkan informasi-informasi baru yang tidak sesuai dengan stereotipe yang sudah ada sehingga mampu menggeser stereotipe tersebut. Ide ini terus dikembangkan sehingga muncul asumsi bahwa bukan hanya kontak langsung yang menjadi inti dalam mengurangi prasangka, tapi efek yang menguntungkan dapat diperoleh jika orang yang terkait tahu bahwa orang dalam kelompok mereka sendiri telah menjalin persahabatan dengan orang yang berasal dari kelompok lain.

Pada program yang dilakukan oleh Save the Children, anak-anak yang berbeda latar belakang disatukan dan diberi kesempatan untuk berinteraksi


(63)

43

agar bisa saling mengenal. Pada sesi-sesi awal program, anak diminta untuk saling berbagi tentang pengalaman masing-masing selama konflik. Dari sini akan muncul informasi-informasi baru yang bisa menghadirkan kesadaran dan pengertian bahwa informasi yang selama ini didengar merupakan desas-desus dan informasi yang salah, yang sengaja dihembuskan untuk tetap menjaga ketegangan. Pada sesi sharing ini pun, para peserta akan bisa menyadari bahwa dampak konflik ini dirasakan bersama dan merata oleh semua pihak, baik orang dewasa, remaja maupun anak-anak dari kedua komunitas yang berkonflik. Kesempatan untuk bertemu satu sama lain pun sangat bermanfaat untuk menumbuhkan komunikasi, rasa percaya satu sama lain, rasa aman dan nyaman karena program ini tidak hanya berhenti pada membina hubungan yang baik antara temen-teman yang berbeda agama tapi diharapkan pengalaman dan ilmu yang diperoleh selama pelatihan dapat ditransferkan kepada teman-teman sebayanya. Save the Children berharap bahwa anak-anak yang memperoleh pembinaan bisa menjadi agen perdamaian untuk teman-teman sebayanya. Kondisi ini menunjukkan bahwa kontak langsung bisa memunculkan kesadaran akan persamaan bahwa dampak konflik dirasakan merata oleh semua pihak dan informasi yang diterima selama ini pun keliru. Kondisi ini pun tergambar pada hasil wawancara pada salah seorang subjek yang menyatakan bahwa dengan banyaknya diskusi-diskusi yang dilakukan, subyek menyadari bahwa konflik selama ini disebabkan karena pihak ketiga bukan karena konflik agama.

kita menganggap yang salah itu yang sebelah sana (non-muslim) sedangkan yang sana pun akan menganggap yang


(1)

86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131

agamanya berbeda dengan kamu yang banyak yang lulus dan mendapatkan nilai yang lebih tinggi, Perasaanmu bagaimana? Benci rasanya, masa mereka bisa membantu orang-orangnya (red: murid-murid dibantu guru-gurunya), masa orang-orang kita tidak bisa membantu kita. Lalu gimana dengan cara belajarnya sampai bisa pada lulus seperti itu, padahal cara belajarnya sama saja khan. Ok, andaikan kamu di sekolah campur dan itu teman satu kelasmu yang berbeda agama dengan kamu yang mendapat nilai lebih tinggi dari kamu, bagaimana persaanmu? Rasa iri, masa dia bisa sedangkan saya tidak bisa padahal makannya sama saja

Apakah kamu mempunyai teman baik? Iya punya banyak. Agamanya apa? Agama Islam. Mengapa kamu mau berteman dengan dia? Salah satunya karena sama-sama satu agama, saling mengerti satu sama lain. Karena mereka sangat mengerti saya, mau tahu masalah yang saya hadapi dan mau membantu. Apa pendapatmu tentang teman-temanmu yang berebeda agama dengan kamu, ya berdasarkan yang kamu dengar atau lihat karena kamu belum pernah membangun pertemanan? Mereka itu orangnya mau menang sendiri, maunya kita harus ikut mereka tidak boleh tidak. Apapun yang dikatakan mereka harus diikuti, jadi anggap aja kita seperti pembantu jadi harus ikut dengan mereka terus. Dalam hal apa? Soalnya saya pernah SMS dengan seorang cowok non muslim. Cowoknya ngajak kenalan tapi saya bilang saya ini orang muslim jadi saya ini jarang keluar, kalau keluar perlu izin orang tua yang jelas. Terus kata cowoknya khan bisa berbohong dengan orang tua sekali-kali, khan tidak berdosa. Terus saya bilang sorry saya ini perempuan yang berjilbab jadi saya belum bisa keluar seperti itu. Terus cowoknya bilang khan bisa kamu keluar dari rumah baru melepas jilbab. Terus saya bilang tidak bisa, mungkin kalau perempuan lain bisa tapi tidak bisa. Terus kata cowok itu, mau tidak kita berdua berpacaran. Lalu saya bilang tidak mungkin lah. Kita harus lihat dari sisi lain seperti agama. Agama kita aja sudah berbeda sekali, terus saya bilang kita juga harus lihat kehidupan kita, harus dilihat lebih mendalam. Ok jadi menurut kamu mereka terlalu memaksa, terlalu anggap enteng?

Afeksi 88- 93

Konatif 102-103

Kognitif 109-114


(2)

132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147

Iya..ya seperti itu..Ada lagi? Ya maksudnya mereka mau menang sendiri. Hm apakah dalam semua aspek kehidupan orang-orang yang non-muslim adalah orang yang suka memaksa, dll? Iya mereka maunya semua orang yang beragama Islam harus tunduk kepada mereka selalu gitu. Kemudian apa pendapatmu tentang teman-temanmu yang seagama dengan kamu? Menurut saya, pendapat mereka pastilah sama dengan saya bahwa agama Islam-lah yang paling sempurna di mata Allah Tuhan kita tapi kalau agama lain mungkin agama kamilah yang paling jelek. Oh ok, tapi maksud saya menurut kamu teman-teman yang seagama denganmu orangnya gimana? Mereka baik, tidak macam-macam. Selain itu? Murah senyum gitu. Pengertian? Iya , penuh pengertian

Kognitif 132-133

Kognitif 135-137

Kognitif 139 – 143

Subjek 3

No Verbatim Koding

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26

Bagaimana pendapatmu (pandanganmu) tentang ajaran agama teman yang berbeda agama dengan kamu? Hm pelajaran agama Muslim ya pakai jilbab, pokoknya segala hal dalam Islam itu menurut saya baiklah dan menurut saya juga yang diajarkan dalam agama non muslim juga baik tergantung pada orang yang menjalankannya. Yang dirasakan cuman aneh aja, kenapa orang-orang yang non Muslim itu menggunakan tanda-tanda salib dan kegereja tiap minggu pake rok gitu. Jadi menurut pandanganmu ajaran agama yang berbeda dengan kamu aneh? Maksudnya dasarnya itu bagaimana, nggak tahu apa yang melatarbelakanginya gitu jadinya rasanya aneh. Kalau kita di suruh memakai jilbab pakaian tertutup khan ada dasar agamanya, ada akibatnya kalau tidak dipakai. Tapi kalau yang non Muslim memakai kaya gitu rasanya aneh, buat apa pakai kaya gitu (red: tanda-tanda salib) gunanya buat apa.

Bagaimana perasaanmu terhadap teman yang seagama dengan kamu? Perasaan ya senang, sayang. Itu aja. Bagaimana perasaanmu dengan teman yang berbeda agama dengan kamu? Takut sich sedikit-sedikit, aneh juga. Sudah lama tidak kenal mereka khan sudah tinggal terpisah, bagian acang sendiri, bagian obeth sendiri (red: acang sebutan untuk Islam dan obeth untuk Kristen selama konflik).

Kognitif 4-5


(3)

27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72

Apa seperti rasa tidak aman? Ya kaya begitu mungkin.

Bagaimana pendapatmu tentang teman-temanmu yang menggunakan aksesoris/pakaian yang menunjukkan keagamaannya? Aneh saja, kenapa sich rantai salibnya di gantung-gantung kaya begitu dan besar-besar. Misalkan saya ke pasar dan menemukan aksesoris-aksesoris berbentuk salib rasa nya aneh saja. Kenapa ada tanda yang di pasang, maksudnya untuk apa.

Apakah dalam bergaul, kamu mempunyai syarat dalam memilih teman? Sepertinya tidak ada. Karena dalam berteman yang paling penting itu bisa mengerti teman, bisa sudah kenal, bisa saling mengenal, bisa kompak, bisa diajak kerja sama

Kalau ada teman yang sakit apakah kamu akan menjenguk? Ya dibantu, dijenguk. Khan naluri, perasaan manusia seperti itu. Nah kalau misalkan temanmu berbeda agama dengan kamu apakah akan tetap menjenguk? Iya dibantu, dijenguk. Mengapa? Ya khan sesama manusia harus saling tolong menolong.

Apakah kamu akan selalu membantu temanmu yang membutuhkan bantuan walaupun dia berbeda agama denganmu? Iya tentu. Mengapa? Ya sudah sewajarnya kita membantu apalagi kita mampu. Ya kenapa tidak, apa salahnya.

Misalnya kamu kenalan dengan seorang cewek/cowok dan kamu ada perasaan suka tapi ternyata dia berbeda agama dengan kamu. Bagaimana sikapmu? Baik-baik saja tapi membatasi hubungan, anggap aja rasa suka biasa. Karena dalam Islam sendiri juga sudah diajarkan dari non-muslim tidak bisa dengan wanita muslim. Ya sesuai dengan ajaran agama saja, batas bertemannya.

Misalnya pada sebuah ujian ada temanmu yang berbeda agama denganmu memperoleh nilai ujian yang lebih tinggi dari kamu. Bagaimana perasaanmu? Ya mungkin karena kemampuan mereka dan juga mungkin persiapan mereka juga baik dan mantap makanya sudah sewajarnya dapat lebih tinggi.

Apakah kamu mempunyai teman baik? Ada. Agamanya apa? Islam. Mengapa kamu mau berteman dengan dia? Karena sudah kenal dari dulu, sering jalan sama-sama jadi kenal, trus jadi


(4)

73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83

teman baik.

Apa pendapatmu tentang teman-temanmu yang berbeda agama dengan kamu? Belum kenal jadi kurang tahu. Tapi yang pasti dalam berteman itu harus saling mengenal dulu. Kemudian bisa saling mengerti dan bisa menerima perbedaan begitu. Jadi saya tidak tahu mereka orangnya bagaimana. Kemudian apa pendapatmu tentang teman-temanmu yang seagama dengan kamu? Orangnya baik, pengertian sama teman. Tidak suka mengejek teman, mengerti tentang teman-lah

Subjek 4

No Verbatim Koding

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32

Bagaimana pendapatmu (pandanganmu) tentang ajaran agama teman yang berbeda agama dengan kamu? Menurut saya semua ajaran sama saja tergantung pada orang-orang yang melakukannya, menjalankannya. Setiap agama khan menyarankan untuk melakukan yang tidak merusak, begitu. Jadi bagaimana pendapatmu tentang ajaran agama teman yang berbeda agama dengan kamu? Kalau menurut saya sama saja tidak ada perbedaan, cuma cara melakukannya saja. Tujuannya juga baik.

Bagaimana perasaanmu terhadap teman yang seagama dengan kamu? Dalam berteman dengan yang seagama rasanya sangat dekat, bisa saling mengerti. Satu rasa, saling memiliki. Bagaimana perasaanmu dengan teman yang berbeda agama dengan kamu? Ada perasaan tidak tenang, tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Tidak bisa saling terbuka, rasanya terbatas, rasanya tidak nyaman. Apa yang menyebabkan, memicu adanya perasaan-perasaan itu, tidak nyaman, dll? Karena di dalam diri hanya ingat bahwa mereka beda agama dengan saya, mereka pernah menyakiti saya. Pernah membunuh keluarga saya, jadi ada rasa dendam terhadap mereka.

Bagaimana pendapatmu tentang teman-temanmu yang menggunakan aksesoris/pakaian yang menunjukkan keagamaannya? Kalau pendapat terserah saja, itu khan penampilan mereka. Selama mereka tidak mengganggu ya tenang-tenang saja. Masing-masing dengan pendiriannya.

Apakah dalam bergaul, kamu mempunyai syarat dalam memilih teman? Kalau dalam berteman tidak


(5)

33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78

pernah pilih-pilih teman hanya satu saja permintaan saya dalam berteman, tolong jaga rahasia itu saja. Jadi kamu berteman dengan siapa saja walaupun dia berbeda agama dengan kamu? Saya lebih banyak berteman dengan teman-teman yang muslim. Saya khan suka dance jadi saya sering ajarin dance. Melalui dance saya melakukan perdamaian. Kenapa tidak ada syarat dalam berteman? Karena saya tidak ingin ada keterbatasan dalam berteman, walau memang ada dendam tapi ini semua demi masa depan. Kamu tetap berteman dengan yang berbeda agama tapi apakah perasaan canggung, tidak nyaman tetap ada? Iya tetap ada perasaan tidak nyaman, tidak dekat, tidak nyaman dalam berkomunikasi

Kalau ada teman yang sakit apakah kamu akan menjenguk? Iya pasti tetap akan dijenguk. Nah kalau misalkan temanmu berbeda agama dengan kamu apakah akan tetap menjenguk? Iya tetap, karena ada rasa tanggung jawab saya sebagai teman harus menjenguk teman yang sakit.

Apakah kamu akan selalu membantu temanmu yang membutuhkan bantuan walaupun dia berbeda agama denganmu? Tetap akan saya bantu. Mengapa? Karena rasa berteman, agar hubungan pun bisa semakin dekat. Walaupun ada perasaan benci tapi tetap membantu bila membutuhkan bantuan.

Misalnya kamu kenalan dengan seorang cewek/cowok dan kamu ada perasaan suka tapi ternyata dia berbeda agama dengan kamu. Bagaimana sikapmu? Biasa-biasa saja, anggap saja sebagai teman. Kamu akan menjauhi mereka? saya tidak menjauhi mereka. Saya akan menjaga mereka, saya akan anggap saudara walaupun ada rasa sakit di diri

Misalnya pada sebuah ujian ada temanmu yang berbeda agama denganmu memperoleh nilai ujian yang lebih tinggi dari kamu. Bagaimana perasaanmu? Biasa saja, tergantung tiap orang kalau dia belajar berarti bisa dapat nilai yang tinggi. Tapi yang penting bukan karena dia nyontek saja Bagaimana pendapatmu terhadap temanmu itu? Apakah kamu mempunyai teman baik? Tidak punya teman baik lagi, karena sudah meninggal waktu konflik. Dulu teman baik saya itu tinggal di Ternate dan beragama Islam. Sekarang ada sisa satu


(6)

79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121

teman di sini, agamanya Kristen. Mengapa kamu mau berteman dengan dia? Karena sudah dari kecil berteman dengan dia bersama-sama. Dia tidak pernah terlibat dalam konflik seperti saya. Saya melarangnya. Kenapa kamu melarangnya? Saya tidak mau terjadi apa-apa. Andaikan suatu saat kamu mendapat teman yang berbeda agama dengan kamu, apakah kamu mau berteman dengannya? Tetap maulah, walaupun ada perasaan benci. Dalam diri saya ingin agar tidak ada lagi konflik, bisa damai. Sekarang pun di sekolah sudah ada teman-teman yang muslim jadi bisa membangun hubungan pertemanan. Sekarang ini banyak berteman dengan yang cewek-cewek saja. Apa pendapatmu tentang teman-temanmu yang berbeda agama dengan kamu? Selama berteman dengan mereka, mereka itu baik. Namun terkadang mereka membicarakan kita dibelakang-belakang kita juga. Saya pernah dengar sendiri mereka membicarakan kita yang jelek-jelek. Bagaimana perasaan kamu saat mendengar seperti itu? Sakit, pengen saya pukul (sambil tertawa). Kemudian apa pendapatmu tentang teman-temanmu yang seagama dengan kamu? Orangnya kacau-kacau (sambil tertawa). Kalau saya berteman dengan Kristen biasa berasal dari satu kelompok dulu itu (kelompok yang dipersenjatai). Mereka kacau-kacau, apapun yang baik bisa jadi rusak juga (sambil tertawa). Karena dalam diri sudah ada obsesi untuk menghancurkan. Kamu? Bukan teman-teman, saya juga sich tapi kadang-kadang. Tapi saat ini, sejak ada pembinaan-pembinaan sudah bisa mengubah diri sedikit-sedikit. Kalau seandainya kamu tidak terlibat dalam pembinaan-pembinaan kira-kira kamu sekarang ini seperti apa? Kalau misalnya masih dalam situasi kerusuhan seperti dulu, di kompleks tempat tinggalku kelompokku (kelompok yang dipersenjatai) sangat didukung oleh warga tempat tinggalku tapi sekarang ini kami ditolak oleh lingkungan. Kita jadi asing di lingkungan itu. Kalau misalnya tidak ikut bimbingan mungkin dari lingkungan yang membuat-buat kita ulang, sekarang ini kita punya papi dan mami orang yang lebih tua yang sering membimbing dan menasehati kami.