SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 2015
tahun 1979 telah telah menurun dan telah berhasil mendeklarasikan eradikasi brucellosis. Namun tahun 1996 kasus penyakit kembali meledak dengan angka kejadian sekitar 13. Namun pada tahun 2005 dengan
program vaksinasi dan eradikasi kasus dapat ditekan menjadi 1,8.
Brucellosis di Indonesia bersifat endemis dan kadang-kadang muncul sebagai epidemi pada sapi perah di Jakarta, Bandung, dan Jawa Tengah. Prevalensi kejadian Brucellosis di Pulau Madura tahun
2011 adalah sebesar 0.04 [5]. Pulau Bali, Pulau Lombok, Kalimantan dan Pulau Sumatra bagian tengah dinyatakan bebas brucellosis. Nusa Tenggara Timur termasuk pulau Timor dan Sumba, penyakit ini masih
bersifat endemis. Kejadian penyakit di Pulau Sumbawa masih belum jelas. Hal ini karena wilayahnya berdekatan dengan Pulau Sumba dan lalu lintas ternak dari Sumba ke Sumbawa atau sebaliknya sering
terjadi.
Pulau Sumbawa yang dikenal sebagai bumi sejuta sapi, mendapat ancaman yang serius terhadap kasus brucellosis [6]. Hal ini karena sistem pemeliharaan sapi masih bersifat tradisional, dan wilayah
Sumbawa berdekatan dengan daerah endemis brucellosis. Lalu lintas sapi dari daerah endemis brucellosis ke daerah sumbawa begitu juga sebaliknya sangat sulit dibendung. Secara geogra s letak Pulau Sumbawa
sangat berdekatan dengan daerah endemis brucellosis yaitu Pulau Flores, Pulau Sumba dan Pulau Alor. Adanya lalu lintas ternak yang tidak terkontrol akan membuka peluang terjadinya perpindahan penyakit
dari daerah tertular ke daerah bebas.
Informasi peternak di Kabupaten Sumbawa mengungkapkan bahwa ada beberapa ternak sapi yang mengalami keguguran dan majir. Keguguran biasanya terjadi pada umur kebuntingan di atas 5 bulan.
Kadang-kadang juga diikuti gejala klinis berupa keluron yang keluar dari vagina. Penyakit yang ditandai dengan keguguran dan diikuti dengan keluarnya keluron, patut dicurigai sebagai brucellosis. Namun
sampai saat ini belum ada data tentang kejadian brucellosis di Nusa Tenggara Barat.
2. METODE DAN METODE
2.1. Bahan
Sampel diperoleh dari sapi yang dipelihara di Kabupaten Bima, Dompu dan Sumbawa Besar. Darah sapi dari ketiga Kabupaten tersebut dikoleksi dan diambil serumnya, lalu diuji dengan RBT dan
CFT. Sebanyak 300 ekor sapi bali jantan dan betina yang sudah dewasa kelamin diambil serum dan darah penuh. Sampel ini berasal dari 100 ekor dari Kabupaten Dompu, 100 ekor dari Kabupaten Bima, dan 100
ekor sampel dari Kabupaten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat. Darah tersebut diperoleh dengan mengambil darah sapi melalui vena jugularis dan diendapkan selama beberapa menit. Serum yang diperoleh
ditampung dan disimpan pada suhu 20
C. Sebagai uji pendahuluan terhadap sampel dilakukan dengan uji RBPT Rose Bengal Plate Test.
Sampel yang menunjukkan reaksi positif atau aglutinasi tidak sempurna dubius dikon rmasi dengan uji
CFT.
2.2. Metode Uji RBT
Sampel serum, reagen dan antigen yang digunakan ditempatkan pada suhu ruangan 22 + 4
o
C, selanjutnya sebanyak 25-30 µ l setiap serum dipipet ke dalam plate RBT atau WHO haemagglutination
plate. Lalu ditambahkan antigen Brucella dalam volume yang sama. Antigen dan serum dicampur segera dengan menggunakan pengaduk kaca mikrotip sampai membentuk zona bulat atau oval dengan diameter
sekitar 2 cm lalu campuran dibiarkan beragitasi selama kira-kira 4 menit pada temperature ruangan. Setelah 4 menit dilihat adanya aglutinasi dengan hasil : +1, +2, +3 atau negatif.
Pembacaan : Negatif
: Tidak ada aglutinasi campuran Antigen dengan serum homogen Positif 1
: Terjadi aglutinasi ringan yang ditandai butiran halus dengan tepi dikelilingi partikel halus membentuk garis yang terputus-putus.
Kuta, 29-30 Oktober 2015 | 937
SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 2015
Positif 2 : Terjadi aglutinasi sedang yang ditandai dengan butiran seperti pasir dengan tepi pinggiran
lebar yang dibentuk partikel aglutinasi. Positif 3
: Terjadi aglutinasi sempurna yang ditandai dengan butiran sangat jelas dan kasar
Uji CFT
Setiap lubang cawan micro yang mempunyai dasar berbentuk U U bottom pada baris A masing- masing diisi serum sebanyak 0,05 ml termasuk serum kontrol negatif dan positif, kemudian diinaktivasi
pada suhu 58°C selama 30 menit di dalam penangas air. Setiap lubang cawan kecuali baris A di isi pengencer Barbital Buffer Saline BBS sebanyak 0,025 ml. Serum di encerkan dalam BBS dengan cara memindahkan
0,025 ml serum dari A ke lubang cawan di baris B, begitu seterusnya sampai baris H, sehingga diperoleh enceran serum 12, 14, 18, 116 dan seterusnya. Setiap lubang cawan mikro mulai baris C sampai dengan
H masing-masing diisi antigen sebanyak 0,025 ml. Mulai baris B sampai dengan H masing-masing lubang ditambah 0,025 ml komplemen. Semua lubang pada baris B ditambah pengencer 0,025 ml dan digunakan
sebagai kontrol terhadap adanya aktivitas antikomplementer. Cawan-cawan ini kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 30 menit. Setelah masa inkubasi berakhir, setiap lubang cawan mulai dari baris B
sampai dengan H masing-masing ditambah 0,025 ml eritrosit yang telah disensitifkan dengan hemolisin. Selanjutnya cawan-cawan ini diinkubasikan lagi pada temperatur 37°C selama 30 menit sambil dikocok
dengan alat pengocok shaker. Cawan-cawan mikro diputar pada kecepatan 2.000 rpm selama 5 menit atau didiamkan pada suhu 4°C semalam, lalu hasil reaksinya dibaca dengan kriteria sebagai berikut :
Negatif - : Terjadi hemolisis sempurna, cairan dalam lubang cawan berwarna merah, tidak ada endapan
eritrosit didasar cawan .++1
: Terjadi hemolisis hampir sempurna, cairan dalam cawan berwama merah, ada sedikit eritrosit didasar cawan
+++2 : Sebagian besar hemolisis, cairan berwarna merah, endapan eritrosit agak melebar dengan
tepi rata. ++++3
: Sebagian eritrosit tidak lisis, warna cairan agak merah, endapan eritrosit terlihat jelas. +++++4
: Tidak terjadi hemolisis, cairan dalam cawan bening, endapan eritrosit terlihat nyata dengan batas pinggir rata.
Interpretasi hasil uji pengikatan komplemen : hasil reaksi ditentukan berdasarkan terjadinya 50 hemolisis pada pengenceran serum tertinggi. Serum dengan titer CFT 14 atau lebih dikategorikan positif
Analisis Data
Data yang diperoleh berupa serum sampel yang positif dan negatif brucellosis pada pengujian dengan CFT, disajikan secara deskriptif dengan menjelaskan terhadap hasil seropositip dan seronegatip
dari masing-masing asal sampel.
3. HASIL