EFEK PERBEDAAN JENIS PAKAN DAN HABITAT TERHADAP NILAI FEMALE MATURITY INDEX (FMI) PADA PENELURAN KEPITING BAKAU (Scylla serrata)

(1)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditas perikanan pada habitat perairan pantai, khususnya di daerah hutan bakau (mangrove). Kawasan hutan mangrove di seluruh wilayah pantai Nusantara yang cukup luas menjadikan negara Indonesia sebagai pengekspor kepiting bakau yang cukup besar dibandingkan negara lain (Kanna, 2002). Kepiting bakau di Indonesia diperoleh terutama dari hasil penangkapan di alam pada perairan pesisir, khususnya di kawasan mangrove atau estuaria dan hanya sebagian kecil yang berasal dari hasil budidaya. Dengan semakin meningkatnya nilai ekonomi hewan tersebut, penangkapannya menjadi semakin meningkat, sehingga rata-rata pertumbuhan produksi kepiting bakau di beberapa provinsi cenderung menurun (Cholik, 1999). Oleh sebab itu perlu dilakukan upaya budi daya secara intensif untuk mengatasi kekurangan stoknya di alam.

Kepiting bakau telah dikenal baik di pasaran dalam maupun luar negeri karena rasa dagingnya yang lezat dan bernilai gizi tinggi yakni mengandung berbagai nutrien penting (Catacutan, 2002). Daging kepiting bakau mengandung 47.5% protein, 11.20% lemak dan nutrisi penting bagi sumber makanan dan


(2)

kesehatan. Daging kepiting mengandung kolesterol yang cukup tinggi, namun rendah kandungan lemak jenuh. Selain itu mengandung vitamin serta

berbagai mineral seperti vitamin B 12, fosfor, zeng, tembaga, dan selenium yang sangat baik (Karim, 2005). Hasil penelitian dari FisheriesReaserch and Development Cooporation di Australia menunjukkan dalam 100 gram daging kepiting mengandung 22 mg Omega-3 (EPA), 58 mg Omega-3 (DHA), dan 15 mg Omega-6 (AA) yang penting bagi pertumbuhan dan kecerdasan otak anak (Shanmugam and Bensam, 1980).

Selain dagingnya, kulit kepiting dapat diekspor dalam bentuk kering sebagai sumber chitin, chitosan, dan karotenoid yang dimanfaatkan oleh berbagai industri sebagai bahan baku obat, kosmetik, pangan, dan lain-lain (Onyango, 2002). Bahan-bahan tersebut memegang peranan sebagai anti virus, anti bakteri dan juga digunakan sebagai obat untuk meringankan dan mengobati luka bakar. Selain itu, dapat digunakan sebagai bahan pengawet makanan yang murah dan aman (Susanto, 2008).

Melihat potensi yang ada di dalam tubuh kepiting bakau, maka perlu

dilakukan upaya budidaya untuk mengatasi penurunan stok yang ada di alam. Dalam upaya budidaya kepiting bakau (S. serrata) masalah utama yang dihadapi adalah proses pembenihannya. Rendahnya tingkat kelangsungan hidup dan ketahanan terhadap stres pada stadia larva terutama pada stadia zoea dan megalopa menyebabkan tingkat kematian yang tinggi. Salah satu

penyebabnya adalah mutu pakan yang rendah (Yunus dkk., 1996) dan habitatnya terutama kawasan hutan mangrove yang kualitasnya semakin


(3)

menurun (Kanna, 2002). Budidaya kepiting bakau dapat dilakukan dengan cara pembesaran, penggemukan, dan peneluran. Proses peneluran kepiting bakau terjadi di dalam tubuh induk betina setelah terjadi pembuahan.

Kemudian kepiting betina yang sudah dibuahi, menghasilkan telur-telur yang ditempatkan pada bagian bawah perut (abdomen) dan terus berkembang hingga akhirnya menetas (Prianto, 2007).

Banyak kendala dan faktor yang mempengaruhi proses peneluran kepiting bakau di alam, antara lain kerusakan habitat yang berdampak langsung terhadap ketersediaan pakan dan kawasan perlindungan. Faktor lingkungan seperti pH, suhu dan pakan tersebut memberikan pengaruh terhadap tingkat kematangan gonad pada produksi peneluran kepiting bakau (Giri, dkk. 2002). Salah satu metode yang digunakan untuk mengetahui tingkat kematangan gonad pada produksi peneluran kepiting bakau adalah melalui pengamatan terhadap nilai Female Maturity Index (FMI). Dengan cara mengukur dan membandingkan penambahan lebar bagian abdomen pada kepiting bakau betina yang sedang bertelur dapat diketahui perkembangan telur tersebut. Dengan mengamati perkembangan tingkat kematangan gonad (FMI) menurut Poovachiranon (1991). Berdasarkan hal tersebut diatas perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh perbedaan jenis pakan dan habitat terhadap nilai


(4)

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui perkembangan nilai Female Maturity Index (FMI) selama periode peneluran kepiting bakau dalam habitat dan pakan yang berbeda. 2. Mengetahui efek pemberian jenis pakan dan habitat yang berbeda terhadap

nilai Female Maturity Index (FMI).

C. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh jenis pakan dan habitat yang berbeda terhadap proses peneluran kepiting bakau. Selain itu dapat diketahui jenis pakan yang tepat dan habitat yang baik untuk menunjang budidaya kepiting bakau (S. serrata), khususnya pada produksi peneluran.

D. Kerangka Pikir

Kepiting bakau (Scylla serrata) hidup mendiami habitat perairan laut dan di sekitar kawasan hutan bakau atau perairan payau. Kepiting bakau merupakan komoditas perikanan yang bernilai ekonomis cukup tinggi, yang banyak diminati bukan hanya rasa dagingnya yang nikmat, tetapi kulitnya juga berkhasiat, sehingga permintaan semakin meningkat. Namun produksi kepiting bakau di alam semakin menurun, karena terjadi penangkapan secara besar-besaran, dan kerusakan habitat alaminya yaitu hutan bakau (mangrove).


(5)

untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan upaya budidaya yang terkendali.

Salah satu usaha budidaya kepiting bakau yang dirasa cukup potensial adalah produksi peneluran kepiting bakau. Kelebihan dari produksi peneluran dibandingkan dengan budidaya pembesaran dan penggemukan adalah harga jual kepiting bakau bertelur (penuh) lebih mahal dibandingkan kepiting bakau dewasa (kosong). Pada budidaya peneluran waktu pemeliharaannya relatif lebih singkat, dan kelangsungan hidup lebih baik, sehingga mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi dibandingkan dengan budidaya pembesaran.

Untuk mendukung keberhasilan pada proses budidaya dilakukan pelestarian dengan cara menjaga kualitas habitat secara efektif dan memberikan pakan yang baik. Budidaya kepiting bakau pada habitat dan pemberian jenis pakan yang berbeda diduga dapat menghasilkan induk dengan tingkat kematangan gonad pada produksi peneluran yang berbeda. Pemberian tiga jenis pakan yang berbeda berupa ikan rucah, cumi-cumi, dan kerang untuk kepiting bakau yang dipelihara dalam kurungan bambu diharapkan akan memberikan

pengaruh terhadap tingkat kematangan gonad (FMI) pada produksi

penelurannya. Begitu juga dengan habitat yang berbeda yaitu habitat aliran pasang surut tambak dan habitat mangrove.


(6)

E. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Terdapat perbedaan nilai FMI selama periode peneluran kepiting bakau pada habitat dan jenis pakan yang berbeda.

2. Terdapat efek yang nyata pada nilai FMI dengan pemberian pakan dan habitat yang berbeda selama periode peneluran kepiting bakau (Scylla serrata).


(7)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Biologi Kepiting Bakau (Scylla serrata)

1. Klasifikasi Kepiting Bakau (Scylla serrata)

Menurut Kanna (2002) kepiting bakau (S. serrata) berdasarkan taksonominya dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Phyllum : Arthropoda Class : Crustaceae Sub class : Malacostraca Ordo : Decapoda Sub ordo : Brachyuran Familia : Portunidae Genus : Scylla

Species : Scylla serrata

2. Morfologi Kepiting Bakau (S. serrata)

Kepiting bakau dewasa hidup pada kisaran kadar garam yang luas

(euryhaline) dan memiliki kapasitas untuk menyesuaikan diri (adaptasi) yang cukup tinggi. Hewan ini juga memiliki kemampuan untuk bergerak dan beradaptasi pada daerah terestrial serta tambak yang memiliki cukup


(8)

pakan. Semua itu karena kepiting bakau memiliki vaskularisasi dinding ruang insang untuk memudahkan penyesuaian diri terhadap habitatnya (Nirmalasari, 2011).

Berdasarkan morfologinya, perbedaan pada kepiting bakau jantan dan betina seperti terlihat pada Gambar 1 :

a. Kepiting bakau jantan memiliki sepasang capit yang lebih besar bila dibandingkan dengan capit yang dimiliki kepiting betina.

b. Bagian perut (abdomen) kepiting jantan berbentuk segitiga dan agak meruncing di bagian ujungnya, kemudian pada kepiting betina berbentuk membulat. Organ kelamin kepiting jantan menempel pada bagian perut ini (Kanna, 2002).

c. Ruas perut (abdomen) kepiting jantan lebih sempit dari pada kepiting betina,sedangkan kepiting betina bentuknya cenderung lebih membulat yang menjadikan ruas-ruas abdomennya lebih lebar (Kordi, 1997).


(9)

Menurut Siahainenia (2008) kepiting bakau memiliki warna karapas yang bervariasi dari ungu, hijau, sampai hitam kecoklatan, hal itu karena habitat alami mereka yang berada di kawasan mangrove yang bertekstur tanah pasir berlumpur. Ada empat spesies dari genus Scylla sebagaimana dikemukakan oleh Keenan (1999) yakni Scylla serrata, Scylla

tranquebarica, Scylla paramamosain dan Scylla olivacea (oceanica). Karapas hewan ini dilengkapi dengan 3-9 buah duri tajam pada bagian kanan kirinya, sedangkan pada bagian depan terdapat enam buah duri diantara kedua matanya. Hewan ini memiliki tiga pasang kaki jalan dan satu pasang kaki renang yang berpola poligon. Kaki renang terdapat pada bagian ujung perut dan pada bagian ujung kaki renang dilengkapi dengan alat pendayung. Kepiting bakau jantan memiliki sepasang capit yang dalam keadaan normal capit sebelah kanan lebih besar dibandingkan capit sebelah kiri (Kasry, 1996). Secara morfologi bagian tubuh dari kepiting bakau dapat dilihat pada Gambar 2.


(10)

Bentuk dan ukuran kepiting bakau sangat beragam tetapi seluruhnya memiliki kesamaan pada struktur dan bentuk tubuh. Kepiting mempunyai

chelipeda dan tiga pasang kaki jalan. Pada bagian kaki juga dilengkapi dengan kuku dan sepasang penjepit, letak chelipeda di depan kaki pertama dan setiap jenis kepiting memiliki struktur dan ukuran chelipeda yang berbeda. Chelipeda digunakan untuk memegang dan membawa makanan, menggali, membuka kulit kerang dan juga sebagai senjata dalam

menghadapi musuh. Tubuh kepiting ditutupi dengan karapaks (carapace). karapaks merupakan kulit keras atau exoskeleton (kulit luar) yang

berfungsi untuk melindungi organ bagian dalam kepiting (Prianto, 2007).

3. Jenis Pakan Kepiting Bakau

Selama periode perkembangan gonad kepiting bakau membutuhkan lebih banyak asupan protein (asam amino), lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral guna memenuhi kebutuhan energi dalam proses metabolisme serta proses perkembangan gonad. Menurut Giri dkk. (2002) setidaknya

dibutuhkan pakan yang mengandung 52% protein guna memaksimalkan proses pematangan gonad. Ikan rucah mempunyai kandungan protein 60,46%, karbohidrat 1,14%, lemak 7,40%, abu, 16,80%, air 13,20% (Novian, 2008). Kemudian ditinjau dari nilai gizi cumi-cumi memiliki kandungan protein 67%, lemak 3-8% abu 1-14% dan kalori 1,5-2,5/gram (Suharsono,1988 dan Astawan, 2009). Menurut Nurjanah et.al. (2005), kerang mengandung protein 41,48%, lemak 2,5%, air 52,37%, abu 2,24%, kalsium (Ca) 698,49 ppm, dan zat besi (Fe) 93,91 ppm.


(11)

Di dalam habitat alaminya kepiting bakau mengkonsumsi berbagai jenis pakan antara lain alga, daun-daun yang telah membusuk, akar serta jenis kacang-kacangan, jenis siput, kodok, katak, daging kerang, udang, ikan, bangkai hewan (Kasry, 1996), sehingga kepiting bakau bersifat omnivora

(pemakan segala). Kepiting bakau aktif makan pada waktu malam hari, namun sebenarnya waktu makannya tidak beraturan. Pada saat stadia larva, kepiting bakau lebih cenderung mengkonsumsi pakan dari jenis planktonik seperti Diatom, Tetraselmis, Chlorella, Rotifer (Brachionus sp.), serta larva Echinodermata, Moluska, cacing dan lain-lain (Kasry, 1996; Kordi, 1997).

4. Habitat Alami Kepiting Bakau (Scylla serrata)

Habitat alami kepiting bakau adalah daerah perairan payau yang dasarnya berlumpur dan berada di sepanjang garis pantai yang banyak ditumbuhi pohon bakau (mangrove). Kepiting bakau dapat ditemukan hampir di seluruh perairan payau di Indonesia (Motoh, 1979). Kepiting bakau selalu menggali sebuah lubang sebagai tempat berlindung dan jarang terlihat jauh dari lubangnya (Macnae, 1968).

Romimohtarto dan Juwana (2001) mengatakan bahwa ekosistem hutan mangrove Indonesia memiliki biodiversitas yang tinggi di dunia dengan jumlah total lebih dari 89 spesies, yang terdiri dari 35 spesies tanaman, 9 spesies liana, 9 spesies perdu, 29 spesies epifit dan 2 spesies parasit. Vegetasi mangrove yang umum dijumpai di wilayah pesisir Indonesia, antara lain api-api (Avicennia), nyrih (Xylocarpus), bakau (Rhizophora),


(12)

pedada (Sonneratia), tanjang (Brugueira), tengar (Ceriops) dan buta-buta (Exoecaria).

Sebagian besar kepiting merupakan fauna yang aktif di malam hari (nocturnal) untuk beraktivitas mencari makan. Begitu juga ketika air pasang kepiting cenderung akan memanjat akar-akar mangrove dan pohon untuk mencari makan. Pada saat siang hari, waktu pasang terendah kebanyakan kepiting tinggal di dalam lubang untuk berlindung dari

tangkapan manusia, serangan burung dan predator lainnya (Prianto, 2007).

5. Siklus Hidup Kepiting Bakau

Siklus hidup kepiting bakau (Scylla serrata) diawali dengan beruaya dari perairan pantai menuju ke laut untuk memijah, lalu induk berusaha kembali ke perairan pantai, muara sungai atau perairan di sekitar hutan bakau untuk berlindung, mencari makanan dan membesarkan diri (Nontji, 2005). Reproduksi kepiting terjadi di luar tubuh (eksternal), karena di dalam tubuh hewan ini tersimpan telur-telur dan sperma dari induk jantan setelah kopulasi. Kemampuan kepiting betina dalam menyimpan sperma cukup lama, sampai beberapa bulan. Hal ini menyebabkan kepiting yang dipelihara di dalam keramba dapat bertelur dengan sendirinya walaupun tidak dibuahi oleh induk jantan selama pemeliharaan (Prianto, 2007). Setelah telur dibuahi akan ditempatkan pada bagian bawah perut (abdomen), berkembang dan akhirnya menetas. Siklus hidup kepiting bakau dapat dilihat pada Gambar 3.


(13)

Gambar 3. Siklus Hidup Kepiting Bakau (Rosmaniar, 2008)

Menurut Kanna (2002), ada 3 tahapan dalam perkembangan hidup kepiting bakau yaitu :

a. Stadia Zoea

Merupakan stadia yang paling awal, waktu sekitar 18-20 hari. Stadia zoea yang terdiri dari 5 tahapan :

1) Sub stadia zoea 1 : mempunyai warna transparan, panjang tubuh berukuran 1,15 mm.

2) Sub stadia zoea 2 : lebih aktif menangkap makanan, karena organ tubuhnya makin berkembang, baik dalam hal ukuran maupun fungsinya, panjang tubuh larva mencapai 1,51 mm.

3) Sub stadia zoea 3 : memiliki organ tubuh yang semakin lengkap, panjang tubuh 1,93 mm.

4) Sub stadia zoea 4 : larva sudah semakin aktif, panjang tubuh 2,4 mm dan terbentuk maxilleped 3 serta chelipeda bergerak.


(14)

5) Sub stadia zoea 5 : telah mampu secara efektif memangsa makanan yang diberikan dan aktif berenang, karena telah memiliki pleopod yang sudah cukup panjang dan periopoda, panjang tubuh 3,43 mm.

b. Stadia megalopa

Kepiting bakau telah mampu menggigit yang dicirikan dengan

tumbuhnya gigi tajam pada bagian pinggir mandibula dan maxilliped 3 semakin sempurna. Ciri morfologi lainnya adalah panjang karapaks 1,52 mm, panjang abdomen 1,87 mm, panjang tubuh total 4,1 mm.

c. Stadia crab (kepiting muda)

Kepiting muda telah memiliki organ tubuh yang lengkap seperti halnya kepiting dewasa, namun ukurannya masih kecil.

B. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Kepiting Bakau

Penentuan tingkat kematangan gonad (TKG) pada kepiting bakau betina dapat dilakukan dengan dua pemeriksaan yakni pemeriksaan secara morfologis dan histologis. Pengamatan secara morfologis dilakukan dengan melihat

perubahan ukuran dan warna yang tampak pada bagian bawah abdomen. Kedua teknik penentuan tingkat kematangan gonad dari kepiting bakau ini berdasarkan petunjuk Kasry (1996) yaitu :

1. TKG I belum matang (immature)

Ciri morfologis : ovarium berbentuk sepasang filamen yang mengarah ke punggung, berwarna kuning keputihan, seluruhnya ditutupi selaput peritoneum tipis.


(15)

Ciri histologis : epitel folikel yang menutupi sel telur tidak begitu jelas, sitoplasma berwarna agak lemah dan nukleus dan nukleolus sangat jelas. Sebagian besar ovarium yang belum matang mempunyai bentuk yang tidak beraturan, sel telur yang mengalami asteria (ketidak jelasan bentuk) relatif banyak.

2. TKG II menjelang matang (maturing)

Ciri morfologis : ukuran ovarium bertambah dan meluas baik ke arah lateral maupun antero-posterior, butiran telur belum kelihatan dan warnanya menjadi kuning keemasan. Ciri histologis : ovari masih kecil dan terlihat kuning telur dengan

ukuran kecil. Kuning telur tersebut menyebar di dalam sitoplsma.

3. TKG III matang (mature)

Ciri morfologis : ovarium semakin membesar. Warnanya mulai orang muda dan butiran telurnya sudah terlihat, namun masih dilapisi oleh kelenjar minyak.

Ciri histologis : butiran kuning telurnya makin membesar dan hamper seluruh sitoplasma tertutup kelenjar minyak.

4. TKG IV (matang sempurna dan siap dipijahkan)

Ciri morfologis : butiran telur semakin membesar dan terlihat jelas berwarna orange serta dapat dipisahkan dengan mudah karena lapisan minyak sudah semakin berkurang.


(16)

Ciri histologis : butiran kuning telurnya lebih besar dari TKG III dan lapisan minyaknya menutupi seluruh sitoplasma. 5. TKG V (sesudah dipijahkan telur berada di bagian luar abdomen)

Ciri morfologis : ukuran ovarium kembali mengecil dan di bagian abdomen terdapat banyak telur. Masih terlihat butiran telur yang tidak dikeluarkan waktu pemijahan.

Ciri histologis : sel telurnya seperti pada TKG I, tetapi dijumpai sel telur yang sudah matang.

C. Pemijahan dan Perkembangan Telur Kepiting Bakau

Proses pemijahan telur dari kepiting bakau umumnya berlangsung sepanjang tahun, akan tetapi ada perbedaan dari masa puncak bertelur pada setiap perairan. Di seluruh perairan tropis di Indonesia, hewan ini melakukan pemijahan sepanjang tahun, namun karena adanya perbedaan musim hujan dan musim kemarau, puncak kegiatan memijah tidak sama untuk setiap tempat dan setiap tahunnya. Proses pemijahan biasa dilakukan pada dasar perairan, di sekitar kawasan hutan mangrove di pinggir pantai, akan tetapi pada saat

tertentu kepiting ini juga ada di sekitar tambak dan estuaria. Berdasarkan penelitian Kasry (1996) dan Kanna (2002), kepiting bakau juga dapat dipijahkan di laboratorium dengan masa inkubasi 12 hari, namun

kelulushidupan (survival) larva hasil pemijahan di laboratorium masih rendah. Tingkat perkembangan indung telur (gonad) merujuk pada tingkat kematangan gonad, menjelang matang (mature) belum dapat dilihat dengan mata telanjang dan terbentuk sepasang filamen seperti sari susu berwarna kuning keputihan.


(17)

Ketika telur matang sedang, ukuran gonad bertambah besar dan mengisi hampir seluruh permukaan ruang bagian punggung dan daerah dada, terlihat berwarna kemerahan atau kuning keemasan. Selanjutnya telur itu akan berkembang dengan baik (Poovachiranon, 1991).

Menurut Poovachiranon (1991) terdapat 4 tingkat kematangan gonad dari induk kepiting, yaitu :

1. Tingkat I : gonad belum masak, terlihat tipis dan transparan, abdomen berbentuk triangular dan terlihat menggembung pada kepiting betina yang masih muda.

2. Tingkat II : menampakkan perkembangan gonad, telur berwarna putih krim atau kekuningan dan menempati seperempat bagian dari area diantara kelenjar digestiva.

3. Tingkat III : keadaan gonad masak, kantong telur membesar dan

menempati setengah atau lebih dari area kelenjar digestiva, gonad sudah berwarna kuning atau orange.

4. Tingkat IV : menempel pada seminal reseptakel, gonad berwarna merah.

D. Kehalalan Kepiting Bakau Sebagai Hewan Air

Permintaan konsumsi kepiting bakau di Indonesia belum sebanyak hewan krustasea lain, seperti udang. Sampai saat ini, sebagian masyarakat masih banyak yang meragukan kehalalan kepiting, terutama jenis kepiting bakau untuk dikonsumsi. Keraguan ini disebabkan perilaku kepiting bakau yang mampu bertahan hidup lebih lama dibandingkan hewan air lain, dalam kondisi


(18)

tidak ada air, sehingga kepiting bakau sering dianggap sebagai hewan yang hidup di dua alam, seperti halnya katak dan kodok. Pemahaman ini sedikit banyak berimbas pada rendahnya tingkat permintaan kepiting di negara-negara muslim, terutama di Indonesia sendiri (Nirmalasari, 2011).

Namun berdasarkan ketetapan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang pada tanggal 15 Juli 2002, kepiting dinyatakan halal untuk dikonsumsi selama tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan manusia. Rapat Komisi Fatwa MUI menyampaikan, ada empat jenis kepiting bakau yang sering dikonsumsi dan menjadi komoditas yaitu, Scylla serrata, Scylla tranquebarrica, Scylla olivacea, dan Scylla paramamosain. Keempat jenis kepiting bakau ini oleh masyarakat umum hanya disebut sebagai 'kepiting' (Nirmalasari, 2011).

Kepiting disebut binatang air dengan alasan, bernafas dengan insang, habitat di air, tidak pernah mengeluarkan telur di darat melainkan di air serta

memerlukan oksigen dari air (Nirmalasari, 2011).

Keempat jenis kepiting tersebut tidak ada yang hidup atau berhabitat di dua alam yaitu di laut dan di darat. Komisi Fatwa MUI dalam hal kepiting

menyatakan bahwa hewan ini hidup di air, baik di air laut maupun di air tawar dan bukan hewan yang mempunyai habitat di dua alam.


(19)

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Mei – September 2012. Lokasi penelitian berada di kawasan dusun Perumpung, desa Sidodadi , Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran dan laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung.

B. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah jangka sorong untuk mengukur panjang dan lebar karapaks kepiting, neraca Ohaus untuk mengukur berat kepiting, keramba bambu sebagai tempat untuk

memelihara kepiting, boks es untuk tempat penyimpanan pakan, tali rafia sebagai pengikat kepiting, alat tulis untuk pencatatan data, refraktometer untuk mengukur salinitas air, pH stick untuk mengukur pH air,

thermometer untuk mengukur suhu air. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepiting bakau betina siap bertelur, ikan rucah, cumi-cumi, dan kerang. Habitat yang digunakan untuk penelitian adalah aliran pasang surut tambak dan mangrove.


(20)

C. Prosedur Kerja

Beberapa tahapan yang dilakukan dalam penelitian mencakup :

1. Penyiapan wadah pemeliharaan (kurungan bambu)

Wadah yang digunakan sebagai tempat pemeliharaan terbuat dari rangkaian bilah bambu yang disusun secara rapih. Dengan lebar bilah bambu 1-2 cm dan panjangnya mencapai 1,5-2 m. Proses

pembuatannya dengan cara merangkai bilah bambu dengan jarak yang cukup rapat sehingga berbentuk kere yang ditancapkan.

Kurungan ini akan diletakkan di sekitar aliran pasang surut tambak dan kawasan mangrove pada kedalaman yang sudah ditentukan (30-50 cm) dan mendapat suplai pergantian dari pasang surut air. Kurungan bambu yang digunakan berjumlah 2 buah berbentuk persegi panjang dengan ukuran 2 x 1,30 x 1 m3 dengan masing-masing disekat menjadi 3 ruang dalamnya (Gambar 4). Ukuran kurungan bambu tersebut disesuaikan dengan jumlah induk yang ditebar, seperti yang telah dilakukan oleh Efrizal dkk. (2001).


(21)

2. Pemilihan calon induk berkualitas

Indukan kepiting bakau diperoleh dari hasil tangkapan di alam atau berasal dari usaha budidaya di tambak tradisional, dan dipilih yang kepiting betina dengan kondisi telur kosong atau belum terisi penuh telur. Indukan yang dipilih yang kuat dengan bobot tubuh berkisar 150-250 gram, yang tidak mudah stres dan sakit, indukan seperti itu dapat terlihat dari gerakannya yang agresif serta selalu melakukan perlawanan saat dipegang (ditangkap). Antisipasi dari terjadinya kerusakan akibat adanya perkelahian sesama (saling menyerang), maka selama penanganan (sebelum ditebar) kepiting terlebih dahulu diikat dengan tali rafia pada bagian lipatan kaki bagian depan (capit), dengan ikatan yang sedikit longgar agar tidak menggangu aktifitas gerakannya. Selanjutnya kepiting direndam dalam air sesuai dengan kelompok habitat dan perlakuan pakan. Cara ini merupakan salah satu bentuk adaptasi dalam proses aklimatisasi.

3. Penebaran induk dalam kurungan bambu

Indukan kepiting betina yang ditebar adalah kepiting kosong atau belum terisi penuh telur. Untuk sistem kurungan, kepiting ditebar dengan kepadatan 9 ekor untuk setiap kurungan. Sebelum dilakukan penebaran, terlebih dahulu dilakukan pengukuran panjang dan lebar karapas serta abdomennya, dan berat tubuh setiap ekornya. Kemudian diamati kelengkapan anggota tubuh (alat gerak) dan diberi tanda berupa ikatan dengan menggunakan tali rafia pada bagian capitnya untuk membedakan setiap individu yang ditebar (Gambar 5).


(22)

Gambar 5. Pengukuran dan pemeriksaan kelengkapan alat gerak

4. Pemeliharaan induk selama produksi peneluran

Pengontrolan pada setiap indukan yang ditebar dilakukan dengan teliti. Terutama pada jumlah dan intensitas pemberian pakan untuk

mencegah terjadinya proses saling memangsa antar sesama individu (kanibalisme). Frekuensi pemberian pakan dilakukan sebanyak 2 kali, saat pagi hari yaitu pada pukul 07.00-08.00 WIB dan sore hari pada pukul 16.00-17.00 WIB. Pakan yang diberikan adalah ikan rucah, cumi-cumi, dan kerang dengan jumlah 5% dari berat tubuh total. Setiap 7-8 hari akan dilakukan pengukuran berat, lebar dan panjang karapaks, kemudian abdomen terbesar dan abdomen ke 5 nya dari seluruh indukan kepiting yang berjumlah 54 ekor. Selain itu diamati juga kelengkapan bagian tubuh kepiting yang meliputi capit, kaki jalan dan kaki dayungnya. Lama pengamatan berkisar 20-30 hari, dengan 4-5 kali sampling untuk pengukuran.


(23)

5. Pengamatan tingkat kematangan gonad (TKG) dan pengukuran parameter biologi serta kualitas air selama pemeliharaan

Cara yang dilakukan untuk mengetahui apakah telur dari indukan kepiting sudah matang adalah dengan cara mengamati bagian di sela persambungan antara abdomen dan karapas dorsal pada bagian belakang. Apabila telah terlihat warna orange atau agak kemerahan, maka calon induk kepiting tersebut telah menunjukkan kematangan telur penuh. Selama proses pemeliharaan, ada dua parameter yang diamati yaitu parameter biologi kepiting bakau (Scylla serrata).

6. Pengukuran FMI (Female Maturity Index)

Untuk mengetahui tingkat kematangan gonad (TKG) dari setiap indukan, maka dapat dilakukan dengan cara menghitung nilai FMI (Female Maturity Index). Menurut Poovachiranon (1991)

penghitungan FMI dapat dilakukan dengan rumus :

Female Maturity Index (FMI).

FMI = � � � �

� � �ℎ

D. Parameter Penelitian

1. Parameter biologi kepiting bakau (S. serrata)

Parameter biologi kepiting bakau yang diukur dalam penelitian ini mencakup panjang dan lebar karapas, segmen abdomen terbesar dan segmen abdomen ke limanya, yang diukur dengan menggunakan


(24)

jangka sorong, serta berat tubuh dari kepiting bakau yang diukur dengan menggunakan neraca Ohaus.

2. Parameter kualitas air

Pengukuran parameter kualitas air dilakuakan bersamaan dengan pelaksanaan sampling yakni setiap 7-8 hari sekali, ada beberapa hal yang dijadikan sebagai acuan pengukuran, adalah salinitas, suhu, dan pH.

a. Salinitas

Salinitas (promil (0/

00)) perairan tambak diukur dengan menggunakan refraktometer, dengan cara :

1) Air sampel sebanyak 1 ml diteteskan ke dalam prisma refraktometer, kemudian tutup plat cahayanya

2) Nilai salinitas yang terukur pada refraktometer dicatat b. Suhu

Suhu (˚C) perairan diukur dengan termometer alkohol, dengan cara 1) Ujung atas termometer diikat dengan tali kemudian ujung

bawah termometer dimasukkan ke dalam perairan, lalu kemudian didiamkan selama 5 menit

2) Mencatat suhu yang terukur termometer c. pH (Derajat keasaman)

Derajat keasaman (pH) diukur dengan menggunakan pH stick, dengan cara :

1) pH stick dicelupkan ke dalam perairan selama 30 detik kemudian diangkat dan warna yang terbentuk pada pH-stick


(25)

dicocokkan dengan warna-warna yang telah ada pada kotak pH-stick agar dapat ditentukan berapa nilai pH-nya.

E. Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Objek penelitian ini adalah induk betina kepiting bakau (Scylla serrata ). Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial, dengan habitat sebagai faktor utama yaitu habitat mangrove dan habitat aliran pasang surut tambak serta jenis pakan sebagai faktor ke dua yaitu ikan rucah, cumi-cumi, dan kerang. Parameter penelitian ini adalah pengukuran tingkat kematangan gonad berdasarkan nilai FMI, dianalisis dengan menggunakan Analisis ragam (Anara) dan apabila terdapat

perbedaan yang nyata, dilakukan pengujian lanjutan dengan menggunakan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) dengan kepercayaan α=5%. Selain itu diambil parameter pendukung yaitu pertambahan berat, panjang dan lebar karapas serta lebar abdomen terbesar dan abdomen kelima nya.


(26)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa :

1. Pemberian pakan dan habitat yang berbeda tidak memberikan efek yang nyata terhadap peningkatan nilai FMI kepiting bakau (Scylla serrata). 2. Pemberian pakan cumi-cumi dan pemeliharaan di habitat mangrove

berpengaruh nyata (α=0,05) terhadap pertambahan lebar segmen abdomen ke 5, abdomen terbesar dan berat tubuh kepiting bakau pada masa peneluran.

3. Pemberian jenis pakan dan habitat yang berbeda tidak menyebabkan pertambahan panjang dan lebar karapas kepiting bakau.

4. Kualitas air pada kedua habitat berupa suhu, pH, salinitas, dan oksigen terlarut tempat pemeliharaan masih cukup baik untuk menunjang budidaya peneluran kepiting bakau.


(27)

ABSTRAK

EFEK PERBEDAAN JENIS PAKAN DAN HABITAT TERHADAP NILAI

FEMALE MATURITY INDEX (FMI) PADA PENELURAN KEPITING BAKAU (Scylla serrata)

Oleh

Muhammad Zulhafid

Kepiting bakau (Scylla serrata) adalah salah satu jenis komoditas perikanan yang potensial untuk dikembangkan, karena memiliki nilai gizi yang tinggi.

Meningkatnya permintaan masyarakat terhadap jenis kepiting ini cukup besar, dan hanya mengandalkan potensi yang ada di alam, yang berakibat terjadi penurunan produksi kepiting bakau di alam. Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan budidaya kepiting bakau pada masa peneluran.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan nilai Female Maturity Index (FMI) selama masa peneluran kepiting bakau, serta untuk mengetahui pengaruh pemberian jenis pakan dan habitat yang berbeda terhadap nilai Female Maturity Index (FMI). Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial dengan 9 kali ulangan. Objek penelitian ini adalah kepiting bakau (Scylla serrata) betina dengan kondisi belum terisi penuh telur (kosong) dengan perlakuan berupa habitat yang berbeda yaitu kawasan aliran pasang surut tambak dan kawasan mangrove, serta pemberian tiga jenis pakan yang berbeda yaitu ikan rucah, cumi-cumi, dan kerang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pakan dan habitat yang berbeda tidak memberikan efek yang nyata terhadap peningkatan nilai FMI kepiting bakau (Scylla serrata). Pemberian pakan cumi-cumi dan pemeliharaan di habitat

mangrove berpengaruh nyata (α=0,05) terhadap pertambahan lebar segmen abdomen ke 5, abdomen terbesar dan berat tubuh kepiting bakau pada masa peneluran. Pemberian jenis pakan dan habitat yang berbeda tidak menyebabkan pertambahan panjang dan lebar karapas kepiting bakau. Kualitas air dari kedua habitat berupa suhu, pH, salinitas, dan oksigen terlarut tempat pemeliharaan masih cukup baik untuk menunjang budidaya peneluran kepiting bakau.


(28)

EFEK PERBEDAAN JENIS PAKAN DAN HABITAT TERHADAP NILAI

FEMALE MATURITY INDEX (FMI) PADA PENELURAN KEPITING BAKAU (Scylla serrata)

(Skripsi)

Oleh

Muhammad Zulhafid

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(29)

EFEK PERBEDAAN JENIS PAKAN DAN HABITAT TERHADAP NILAI

FEMALE MATURITY INDEX (FMI) PADA PENELURAN KEPITING BAKAU (Scylla serrata)

Oleh

MUHAMMAD ZULHAFID

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA SAINS

Pada Jurusan Biologi

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(30)

Judul Penelitian : EFEK PERBEDAAN JENIS PAKAN DAN HABITAT TERHADAP NILAI FEMALE MATURITY

INDEX (FMI) PADA PENELURAN KEPITING BAKAU (Scylla serrata)

Nama : Muhammad Zulhafid NPM : 0817021038

Jurusan : Biologi (S1)

Fakultas/Universitas : Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam/ Universitas Lampung

MENYETUJUI, Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. G. Nugroho Susanto, M. Sc. Dra. Sri Murwani, M. Sc. NIP. 196103111988031001 NIP. 195307091984032001

Mengetahui, Ketua Jurusan Biologi

Dra. Nuning Nurcahyani, M. Sc. NIP. 196603051991032001


(31)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Dr. G. Nugroho Susanto, M.Sc

Sekretaris : Dra. Sri Murwani, M.Sc

Penguji

Bukan Pembimbing : Dra. Nuning Nurcahyani, M.Sc

2. Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Prof. Suharso, Ph.D 196905301995121001


(32)

(33)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 15 Juni 1989, sebagai anak keempat dari empat bersaudara, dari pasangan Bapak Suyono dan Ibu Masrifah.

Pendidikan Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN 1 Ketapang pada tahun 2000, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di SLTPN 11 Bandar Lampung pada tahun 2003, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA YP UNILA Bandar Lampung pada tahun 2007

Pada tahun 2008, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Biologi FMIPA Unila melalui jalur SPMB. Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Struktur Perkembangan Hewan (semester ganjil 2011), praktikum Karsinologi (semester genap 2012), praktikum Taksonomi Hewan (semester ganjil 2012), praktikum Planktonologi (semester ganjil 2012) untuk jurusan S1 Biologi FMIPA Unila serta praktikum Zoologi Invertebrata (semester ganjil 2012) untuk mahasiswa FKIP. Penulis juga aktif dalam

Organisasi Himpunan Mahasiswa Biologi (HIMBIO) FMIPA Unila periode 2009-2010. Pada tahun 2012, penulis melakukan Kerja Praktek di RSUD. Dr. Abdul Moeloek Bandar Lampung.


(34)

SANWACANA

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan.

Skripsi dengan judul “Efek Perbedaan Jenis Pakan Dan Habitat Terhadap Nilai Female Maturity Index (FMI) Pada Peneluran Kepiting Bakau (Scylla serrata)” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Sains (S. Si) di Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tuaku, Bapak dan Ibu yang sangat aku cintai dan aku sayangi, terima kasih atas semua nasihat, kasih sayang, doa, kerja keras serta

pengorbanan sehingga anakmu ini dapat menyelesaikan kuliah dan meraih gelar Sarjana. Semoga anakmu ini bisa membanggakanmu kelak (amin). 2. Bapak Prof. Suharso, Ph.D selaku Dekan FMIPA Universitas Lampung. 3. Bapak Dr. G. Nugroho Susanto, M. Sc sebagai pembimbing pertama yang

telah memberikan bimbingan, arahan, saran, kritik dan masukan dengan sabar sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Ibu Dra. Sri Murwani, M. Sc sebagai pembimbing kedua yang telah memberikan bimbingan, semangat, ide, motivasi, arahan, nasihat, saran dan kritik yang sangat berharga dalam penyusunan skripsi ini.


(35)

koreksi yang sangat berharga demi kesempurnaan skripsi ini. 6. Bapak Ir. Salman Alfarizi, selaku pembimbing akademik ynag telah

banyak memberikan masukannya.

7. Bapak dan Ibu Dosen beserta Staf Jurusan Biologi atas ilmu, didikan, dan pengalaman yang telah penulis terima.

8. Ketiga kakak ku, M.Andi Wardani, M.Dedi Kurniawan, dan Tina Winaya atas doa dan semangat yang membangun kepada penulis.

9. Prili Olda Fitriana, S. Ked atas motivasi, bantuan, semangatnya terhadap penulis, sehingga penulisan ini terselesaikan tepat pada waktunya. 10.Keluarga besar Biologi FMIPA Unila, 2006 dan 2007, serta adik-adik

2009, 2010 dan 2011. Terimakasih atas canda dan kerja samanya. 11.Pak Rakam dan Ibu Jamilah, Pak Haris, Pak Made dan Ibu Made, terima

kasih atas ilmu, bimbingan dan bantuannya kepada penulis sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar

12.Mas Yanto, atas kerjasama dan bantuanya selama ini kepada penulis.

Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin

Bandar Lampung, 11 Januari 2013 Penulis


(36)

Kupersembahkan karya ini sebagai bentuk dedikasi,

tanggung jawab dan baktiku kepada

Kedua orangtua

Bapak Suyono (Alm.) dan ibu Masrifah

Ketiga kakakku

M. Andi Wardani, M. Dedi Kurniawan, Tina Winaya


(37)

Tidak ada satupun masalah yang bermasalah, yang menjadi masalah

adalah cara kita yang salah dalam memecahkan sebuah

masalah

(KH. Abdullah. Gymnastiar)

Jangan mudah patah semangat walau apapun yang terjadi, jika kita

menyerah, maka habislah sudah

(Top secred movie)

Manusia diberikan sepasang telinga dan sebuah mulut, artinya sebagai manusia kita

harus lebih banyak mendengarkan sesuatu yang bermanfaat dari pada

menggunakan mulut untuk bebicara hal yang sia-sia

(Muhammad Zulhafid).


(1)

(2)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 15 Juni 1989, sebagai anak keempat dari empat bersaudara, dari pasangan Bapak Suyono dan Ibu Masrifah.

Pendidikan Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN 1 Ketapang pada tahun 2000, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di SLTPN 11 Bandar Lampung pada tahun 2003, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA YP UNILA Bandar Lampung pada tahun 2007

Pada tahun 2008, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Biologi FMIPA Unila melalui jalur SPMB. Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Struktur Perkembangan Hewan (semester ganjil 2011), praktikum Karsinologi (semester genap 2012), praktikum Taksonomi Hewan (semester ganjil 2012), praktikum Planktonologi (semester ganjil 2012) untuk jurusan S1 Biologi FMIPA Unila serta praktikum Zoologi Invertebrata (semester ganjil 2012) untuk mahasiswa FKIP. Penulis juga aktif dalam

Organisasi Himpunan Mahasiswa Biologi (HIMBIO) FMIPA Unila periode 2009-2010. Pada tahun 2012, penulis melakukan Kerja Praktek di RSUD. Dr. Abdul Moeloek Bandar Lampung.


(3)

SANWACANA

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan.

Skripsi dengan judul “Efek Perbedaan Jenis Pakan Dan Habitat Terhadap Nilai Female Maturity Index (FMI) Pada Peneluran Kepiting Bakau (Scylla serrata)” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Sains (S. Si) di Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tuaku, Bapak dan Ibu yang sangat aku cintai dan aku sayangi, terima kasih atas semua nasihat, kasih sayang, doa, kerja keras serta

pengorbanan sehingga anakmu ini dapat menyelesaikan kuliah dan meraih gelar Sarjana. Semoga anakmu ini bisa membanggakanmu kelak (amin). 2. Bapak Prof. Suharso, Ph.D selaku Dekan FMIPA Universitas Lampung. 3. Bapak Dr. G. Nugroho Susanto, M. Sc sebagai pembimbing pertama yang

telah memberikan bimbingan, arahan, saran, kritik dan masukan dengan sabar sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Ibu Dra. Sri Murwani, M. Sc sebagai pembimbing kedua yang telah memberikan bimbingan, semangat, ide, motivasi, arahan, nasihat, saran dan kritik yang sangat berharga dalam penyusunan skripsi ini.


(4)

5. Ibu Dra. Nuning Nurcahyani, M. Sc selaku pembahas dan Ketua Jurusan Bilogi FMIPA UNILA yang telah memberikan arahan, saran, kritik, dan koreksi yang sangat berharga demi kesempurnaan skripsi ini.

6. Bapak Ir. Salman Alfarizi, selaku pembimbing akademik ynag telah banyak memberikan masukannya.

7. Bapak dan Ibu Dosen beserta Staf Jurusan Biologi atas ilmu, didikan, dan pengalaman yang telah penulis terima.

8. Ketiga kakak ku, M.Andi Wardani, M.Dedi Kurniawan, dan Tina Winaya atas doa dan semangat yang membangun kepada penulis.

9. Prili Olda Fitriana, S. Ked atas motivasi, bantuan, semangatnya terhadap penulis, sehingga penulisan ini terselesaikan tepat pada waktunya. 10.Keluarga besar Biologi FMIPA Unila, 2006 dan 2007, serta adik-adik

2009, 2010 dan 2011. Terimakasih atas canda dan kerja samanya. 11.Pak Rakam dan Ibu Jamilah, Pak Haris, Pak Made dan Ibu Made, terima

kasih atas ilmu, bimbingan dan bantuannya kepada penulis sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar

12.Mas Yanto, atas kerjasama dan bantuanya selama ini kepada penulis.

Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin

Bandar Lampung, 11 Januari 2013 Penulis


(5)

Kupersembahkan karya ini sebagai bentuk dedikasi,

tanggung jawab dan baktiku kepada

Kedua orangtua

Bapak Suyono (Alm.) dan ibu Masrifah

Ketiga kakakku

M. Andi Wardani, M. Dedi Kurniawan, Tina Winaya


(6)

Tidak ada satupun masalah yang bermasalah, yang menjadi masalah

adalah cara kita yang salah dalam memecahkan sebuah

masalah

(KH. Abdullah. Gymnastiar)

Jangan mudah patah semangat walau apapun yang terjadi, jika kita

menyerah, maka habislah sudah

(Top secred movie)

Manusia diberikan sepasang telinga dan sebuah mulut, artinya sebagai manusia kita

harus lebih banyak mendengarkan sesuatu yang bermanfaat dari pada

menggunakan mulut untuk bebicara hal yang sia-sia

(Muhammad Zulhafid).