STRATEGI PEMERINTAH KOTA METRO DALAM MEWUJUDKAN KOTA YANG BERINTEGRITAS TINGGI

(1)

STRATEGI PEMERINTAH KOTA METRO DALAM MEWUJUDKAN KOTA YANG BERINTEGRITAS TINGGI

Oleh Ristra Astriani

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA ADMINISTRASI NEGARA

Pada

Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRACT

THE STRATEGY OF METRO CITY GOVERNMENT IN MAKING A HIGH INTEGRITY CITY

By:

RISTRA ASTRIANI

The aim of this research is to analyzing Metro city government strategy in making a high integrity city. The method used was descriptive research by using qualitative approach. The data collecting technique was done by using a deep interview, documentation and observation.

The result of the research namely: (1) Metro city government strategy in making a high integrity city was analyzed by 5 aspects, they were (a) privatization and coproduction were done by devolution from government to private institution through services procurement electronically (LPSE); (b) debureaucratization was done by using making simple of service procedures to be easy and quick; (c) reorganization was done by sharpening main tasks and public organization function; (d) an effective public management was done by improving the managerial processes to be more effective in carrying out its functions; and (e) value for money was done by the prudence of government

officials in managing budget that next was done in the form of government activities; (2) problems faced; (a) lack of commitment; (b) lack of

competence; (c) ) feodal culture; (d) permissive culture; and (e) resistence.

This research recommends several things, namely: (1) there is a high integrity commitment from all governmental officers in Metro; (2) do socialization to the society about the easiness of service in Metro city and the commitment not to give gratification to the service-giving officer; (3) tighten the public service giving and give a hard punishment to panders that are still offering their service to the society; (4) there is the improvement of public service facilities in the poor places; (5) routine guidance to all public service officer; and (6) make the scale of priority against activities of Metro city government.


(3)

ABSTRAK

STRATEGI PEMERINTAH KOTA METRO DALAM MEWUJUDKAN KOTA YANG BERINTEGRITAS TINGGI

OLEH:

RISTRA ASTRIANI

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis strategi pemerintah kota Metro dalam mewujudkan kota yang berintegritas tinggi. Metode yang digunakan adalah tipe penelitian deskritif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam, dokumentasi dan observasi.

Hasil penelitian ini yaitu: (1) strategi pemerintah kota Metro dalam mewujudkan kota yang berintegritas tinggi dianalisis dengan 5 aspek, yaitu (a) privatisasi dan koproduksi dilakukan dengan penyerahan kewenangan dari pemerintah kepada pihak swasta melalui layanan pengadaan barang dan jasa secara elektronik (LPSE); (b) debirokratisasi dilakukan dengan penyederhanaan prosedur pelayanan agar menjadi mudah dan cepat; (c) reorganisasi dilakukan dengan mempertajam tugas pokok dan fungsi organisasi publik; (d) manajemen publik yang efektif dilakukan dengan memperbaiki proses manajerial agar menjadi lebih efektif dalam menjalankan fungsinya; dan (e) value for money dilakukan dengan kehati-hatian aparat pemerintah dalam mengelola anggaran yang kemudian dituangkan dalam bentuk-bentuk kegiatan pemerintahan; (2) kendala-kendala yang dihadapi: (a) minimnya komitmen (b) minimnya kompetensi sumber daya (c) budaya feodal (d) budaya permisif dan (e) resistensi birokrasi.

Peneliti merekomendasikan beberapa hal, yaitu: (1) perlunya komitmen integritas yang tinggi dari seluruh aparat pemerintah daerah kota Metro; (2) menggalakkan sosialisasi kepada masyarakat tentang mudahnya pelayanan di kota Metro dan larangan pemberian gratifikasi kepada petugas pemberi layanan; (3) memperketat kembali prosedur pelayanan publik dan pemberian sanksi yang tegas kepada oknum perantara yang masih menawarkan jasanya kepada masyarakat; (4) perlunya perbaikan fasilitas


(4)

pelayanan publik di tempat-tempat yang masih belum memadai; (5) pembinaan rutin kepada seluruh petugas pelayanan publik; dan (6) membuat skala prioritas terhadap kegiatan-kegiatan pemerintahan daerah kota Metro. Kata kunci: strategi, kota yang berintegritas tinggi


(5)

(6)

(7)

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL i

DAFTAR GAMBAR ii

I. PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Rumusan Masalah 9

C. Tujuan Penelitian 9

D. Manfaat Penelitian 9

II. TINJAUAN PUSTAKA 11

A. Pemberantasan Korupsi 11

B. Perbaikan Pelayanan Publik 17

C. Reformasi Administrasi 21

D. Kendala Reformasi Administrasi 29

E. Kerangka Pikir 37

III. METODOLOGI PENELITIAN 40

A. Tipe Penelitian 40

B. Fokus Penelitian 41

C. Lokasi Penelitian 42

D. Sumber Data 43

E. Teknik Pengumpulan Data 45

F. Teknik Analisis Data 47

G. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data 49

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 53

A. Gambaran Umum Kota Metro 53

B. Penyajian Data 62

1. Nilai Indeks Integritas Nasional Kota Metro Tahun 2011 62

2. Strategi Mewujudkan Kota yang Berintegritas Tinggi 65

a. Privatisasi dan Koproduksi 66

b. Debirokratisasi 70

c. Reorganisasi 79


(9)

e. Value for Money 92 3. Nilai Indeks Integritas Nasional Kota Metro Tahun 2012 94 4. Kendala-kendala Menuju Kota yang Berintegritas Tinggi 95

a. Minimnya Komitmen 96

b. Minimnya Sumber Daya 98

c. Budaya feodal 100

d. Budaya permisif 102

e. Resistensi birokrasi 104

C. Pembahasan 106

1. Strategi Mewujudkan Kota yang Berintegritas Tinggi 106

a. Privatisasi dan Koproduksi 107

b. Debirokratisasi 110

c. Reorganisasi 119

d. Manajemen Publik yang Efektif 124

e. Value for Money 131

2. Kendala-kendala Menuju Kota yang Berintegritas Tinggi 133

a. Minimnya komitmen 133

b. Minimnya sumber daya 136

c. Budaya feodal 138

d. Budaya permisif 140

e. Resistensi birokrasi 143

V. KESIMPULAN DAN SARAN 146

A. Kesimpulan 146

B. Saran 147

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Data Pelaksanaan Wawancara Pada Informan Penelitian 46 2. Daftar Dokumen-Dokumen yang Berkaitan Dengan Penelitian 47 3. Daftar Nama-nama Anggota DPRD Kota Metro Menurut Daerah


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Alur Kerangka Pikir 39

2. Bagan/Alur Proses Perijinan di KPMPTSP 71

3. Perizinan yang memerlukan retribusi di KPMPTSP 71

4. Jenis Pelayanan dan waktu yang dibutuhkan di KPMPTSP 74

5. Loket Pembayaran khusus biaya perijinan dari Bank Lampung 74

6. Loket-loket pelayanan di Dinas Kependudukan Sipil Kota Metro 77

7. Kotak Saran di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kota Metro 77

8. Struktur Organisasi KPMPTSP Kota Metro 81

9. Suasana Coffee Morning antara Walikota dan jajarannya dengan masyarakat pengguna layanan publik 86

10. Sidak Walikota di Disdukcapil dan Banner Himbauan Anti-korupsi 88


(12)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan dirumuskan sebagai proses perubahan yang terencana dari suatu situasi nasional yang satu ke situasi nasional yang lain yang dinilai lebih tinggi (Katz, dalam Moeljarto 1995). Pembangunan nasional merupakan serangkaian pembangunan multidimensional yang mencakup bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya dalam upaya pencapaian tujuan bangsa dan negara. Dalam rangka pencapaian tujuan bangsa dan negara yang telah ditetapkan, suatu negara berupaya menyelenggarakan berbagai kegiatan pembangunan di seluruh segi kehidupan masyarakat.

Dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pembangunan, diperlukan sistem administrasi dan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) memuat ketentuan yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan penegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme yang ditujukan kepada para penyelenggara negara dan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Agar Undang-Undang ini


(13)

dapat mencapai sasarannya secara efektif, diatur pembentukkan komisi pemeriksa yang bertugas dan berwenang melakukan pemeriksaan harta kekayaan pejabat negara sebelum, selama dan setelah menjabat.

Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) merupakan suatu tindakan penyimpangan kekuasaan yang dilakukan oleh pejabat publik guna memperkaya dan menguntungkan dirinya sendiri atau suatu golongan. Korupsi ibarat kanker yang mengganggu proses pembangunan. Korupsi mengakibatkan anggaran negara yang sumbernya sudah langka menjauh dari pembangunan. Korupsi menghambat investasi dengan meningkatkan berbagai resiko bagi investor yang berasal dari dalam negeri maupun mancanegara karena perilaku bisnis bekerja dan berurusan dalam lingkungan masyarakat korup dengan banyak waktu yang terbuang dan menggunakan uang dalam berurusan dengan pegawai pemerintah yang korup (Juni Sjafrien Jahja, 2012). Jelas sekali bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan atau perekonomian negara serta menghambat proses pembangunan nasional, oleh karena itu tindak pidana korupsi perlu diberantas dan dicegah penyebarannya dalam rangka mewujudkan amanah Undang-Undang Dasar 1945 yaitu masyarakat adil dan makmur.

Sistem pemerintahan yang diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) akan menciptakan proses penyelenggaraan negara menuju tata pemerintahan yang baik (good governance) dan bersih dari praktik KKN melalui penerapan asas-asas umum penyelenggara negara sehingga berdampak pada keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Adapun asas-asas umum penyelenggara negara yang disusun sesuai Pasal 3


(14)

Undang-3

Undang RI Nomor 28 Tahun 1999 yaitu: (1) asas-asas kepastian hukum; (2) asas tertib penyelenggara negara; (3) asas kepentingan umum; (4) asas keterbukaan; (5) asas proporsionalitas; (6) asas profesionalitas; dan (7) asas akuntabilitas.

Adanya penerapan asas-asas umum penyelenggara negara di atas dapat menjadikan proses penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia berjalan dengan baik. Proses penyelenggaraan pemerintahan Indonesia dilaksanakan oleh birokrasi-birokrasi pemerintah yang bertugas melayani masyarakat. Sejauh ini, birokrasi menunjuk pada empat pengertian, yaitu: pertama, menunjuk pada kelompok pranata atau lembaga tertentu. Pengertian ini menyamakan birokrasi dengan biro. Kedua, menunjuk pada metode khusus untuk pengalokasian sumber daya dalam suatu organisasi besar. Ketiga, menunjuk pada “kebiroan” atau mutu yang membedakan antara biro-biro dengan jenis-jenis organisasi lain. Pengertian ini lebih menunjuk pada sifat-sifat statis organisasi. Keempat, sebagai kelompok orang, yakni orang-orang yang digaji yang berfungsi dalam pemerintahan (Eko dan Moh. Waspa, 2009). Birokrasi sebagai organisasi pemerintahan yang digaji untuk menjalankan tugas dan fungsi dalam pemerintahan perlu dipahami sebagai suatu mindset para birokrat untuk memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat. Birokrasi publik menjadi ujung tombak pelaksanaan program-program pemerintah yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, birokrasi berperan penting dalam keberhasilan suatu program yang dilaksanakan oleh pemerintah.

Sistem pemerintahan dan lingkungan birokrasi publik yang bebas dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) akan menciptakan situasi dan kondisi pemerintahan yang kondusif serta meningkatkan kepuasan masyarakat


(15)

atas pelayanan publik yang berkualitas. Sebaliknya, jika sistem pemerintahan dan lingkungan birokrasi publik memburuk, maka akan menciptakan pasar bagi terjadinya transaksi korupsi. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi pada sistem pemerintahan dan lingkungan birokrasi perlu dilakukan. Upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan reformasi administrasi untk menciptakan birokrasi yang transparan dan akuntabel. Menurut Zauhar (2007:4), reformasi administrasi adalah suatu usaha sadar dan terencana untuk mengubah: (a) struktur dan prosedur birokrasi (aspek reorganisasi atau institusional atau kelembagaan), (b) sikap dan perilaku birokrat (aspek perilaku), guna meningkatkan efektivitas organisasi atau terciptanya administrasi yang sehat dan menjamin tercapainya tujuan pembangunan nasional.

Reformasi administrasi dilakukan untuk merespon perubahan, masalah dan tantangan dalam rangka mewujudkan good governance. Salah satu pemerintah daerah di Indonesia yang sedang melakukan reformasi administrasi dalam rangka memperbaiki penyelenggaraan pemerintahannya yaitu pemerintah daerah kota Metro. Pemerintah kota Metro melakukan upaya-upaya perbaikan dalam rangka menyikapi hasil Survei Indeks Integritas Nasional untuk layanan publik di daerah yang dilaksanakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tahun 2011 yang menyatakan bahwa indeks integritas nasional pelayanan publik di kota Metro bernilai buruk, di urutan terbawah dari 60 kota yang disurvei. Nilai indeks integritas nasional kota Metro pada tahun 2011 yaitu 3,15 yang terdiri dari nilai pengalaman integritas sebesar 2,59 dan nilai potensi integritas sebesar 4,29, nilai yang diperoleh kota Metro tersebut merupakan nilai terendah dari 60 kota yang disurvei.


(16)

5

Penilaian indeks integritas yaitu dengan variabel pengalaman integritas dan potensi integritas. Variabel pengalaman integritas memiliki indikator yaitu pengalaman korupsi dan cara pandang terhadap korupsi, serta sub indikator yang meliputi jumlah atau besaran gratifikasi, frekuensi pemberian gratifikasi, waktu pemberian gratifikasi, arti pemberian gratifikasi dan tujuan pemberian gratifikasi. Variabel potensi integritas memiliki indikator yaitu lingkungan kerja, sistem administrasi, perilaku individu dan pencegahan korupsi, serta sub indikator yang meliputi kebiasaan pemberian gratifikasi, kebutuhan pertemuan di luar prosedur, keterlibatan calo, fasilitas di sekitar lingkungan pelayanan, suasana atau kondisi di sekitar pelayanan, kepraktisan Standar Operasional Pelayanan (SOP), keterbukaan informasi, pemanfaatan teknologi informasi, keadilan dalam layanan, ekspektasi petugas terhadap gratifikasi, perilaku pengguna layanan, tingkat upaya anti korupsi dan mekanisme pengaduan masyarakat.

Berdasarkan pada penilaian indeks integritas nasional untuk layanan publik di daerah yang diperoleh kota Metro tersebut, pemerintah kota Metro melakukan upaya-upaya perbaikan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan mewujudkan kota Metro sebagai kota yang berintegritas tinggi. Upaya-upaya yang dilakukan antara lain dengan melakukan perbaikan kualitas pelayanan publik menjadi lebih mudah dan cepat, membangun komitmen integritas di lingkungan pemerintah kota Metro, pencanangan wilayah menuju bebas korupsi dan sebagainya. Penandatanganan surat perjanjian antikorupsi berdasarkan surat Nomor 498/III.15/HK/2012 tentang penetapan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan Pemerintah Kota Metro sebagai zona integritas menuju wilayah bebas dari korupsi (Harian Lampost, 5 Juni 2012). Zona menuju bebas


(17)

korupsi merupakan suatu program yang dicanangkan oleh pemerintah kota Metro agar kota Metro bersih dari korupsi. Pencanangan zona menuju bebas korupsi di Metro sejak 4 Juni 2012 lalu merupakan yang pertama di Lampung dan sebagian kecil kota-kota di Indonesia. Pencanangan dihadiri oleh wakil dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kementerian Pendayagunaan Aparatur dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB), serta Komisi Ombudsman Nasional (Harian Lampost, 4 Juni 2012).

Pemerintah provinsi Lampung mengapresiasi pencanangan zona integritas menuju wilayah bebas dari korupsi oleh pemerintah kota Metro. Metro menjadi satu-satunya daerah di Lampung yang telah mencanangkannya sehingga pemerintah provinsi Lampung berharap kabupaten dan kota lainnya untuk dapat

segera menyusul mencanangkan program tersebut

(http://lampung.tribunnews.com/2012/06/04/pemprov-dukung-metro-zona-bebas-korupsi diakses 28 November 2012). Pemerintah Kota Metro telah berupaya melakukan langkah perbaikan terhadap pelayanan publik, sekaligus melakukan kampanye dan sosialisasi antikorupsi kepada masyarakat, dan penindakan terhadap pemberi pelayanan publik yang menerima suap atau gratifikasi. Sosialisasi kepada masyarakat digencarkan. Baliho antikorupsi ada di setiap kecamatan dan kelurahan. Semua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dilibatkan dalam sosialisasi ini. Semua pejabat eselon II, III, IV di Kota Metro menandatangani Pakta Integritas antikorupsi. Pemerintah Daerah Kota Metro juga telah berupaya menindaklanjuti rekomendasi yang disampaikan KPK dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik, pasca-survei Indeks Integritas Nasional tahun 2011 lalu. Kota Metro berupaya menjadi kota berintegritas tinggi


(18)

7

yang mampu melayani warganya dengan baik, dan dapat mengelola anggaran publik, serta melaksanakan pembangunan kota ini secara akuntabel dan transparan

terpercaya (Sumber/Bahan: Bappeda Kota Metro.

http://www.antaralampung.com/print/264416/metro-menuju-kota-berintegritas-tinggi diakses 19 April 2013).

Pemerintah Kota Metro yang mendapat nilai terendah indeks integritas tahun 2011 dapat menerima penilaian tersebut secara positif. Walikota Metro, Lukman Hakim mengapresiasi KPK yang telah membuka mata publik, terutama aparatur pemerintah daerah, tentang pentingnya perbaikan sektor layanan publik guna menciptakan pelayanan publik yang berkualitas dan berintegritas. Bahkan, Walikota Metro datang ke KPK mendengarkan ekspos dan berdialog tentang survei tersebut. Pemerintah kota Metro juga menindaklanjutinya dengan mengundang Direktur Penelitian dan Pengembangan (Litbang) KPK datang ke Metro untuk menjelaskan dan berdialog langsung dengan jajaran pemerintah daerah untuk memperoleh masukan lebih lanjut dalam perbaiakn penyelenggaraan pelayanan publik.

Upaya perbaikan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Metro dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik dan mewujudkan kota Metro sebagai kota yang berintegritas tinggi ternyata membuahkan hasil. Nilai indeks integritas nasional untuk pelayanan publik di daerah kota Metro tahun 2012 meningkat signifikan dengan peningkatan skor lebih dari 2 poin, sehingga total skor nilai integritas yang diperoleh yaitu 5,31. Berdasarkan hasil survei tersebut, Metro berada pada urutan ke-4 nasional yang skor indeks integritasnya mengalami kenaikan signifikan, dari semula 3,15 menjadi 5,31. Meskipun nilai indeks


(19)

integritas yang diperoleh kota Metro pada tahun 2012 sudah mengalami kenaikan, namun nilai tersebut masih belum maksimal. Nilai indeks integritas yang seharusnya dapat dicapai oleh pemerintah kota Metro yaitu nilai 6,00 sebagai standar nilai indeks integritas nasional atau bahkan lebih dari nilai 6,00. Oleh karenanya, pemerintah kota Metro perlu meningkatkan upayanya agar tahun 2013 nilai indeks integritas nasional kota Metro dapat naik kembali.

Peneliti tertarik untuk meneliti strategi pemerintah kota Metro dalam mewujudkan kota yang berintegritas tinggi karena langkah-langkah yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Metro untuk memperbaiki pelayanan publik dan meningkatkan nilai integritas nasional layanan publik cukup berhasil. Peningkatan prestasi indeks integritas nasional dalam pelayanan publik tahun 2011 dari skor 3,15 mengalami kenaikan yang signifikan urutan keempat nasional pada tahun 2012 dengan perolehan skor sebesar 5,31 dengan kenaikan skor lebih dari 2 poin dari tahun sebelumnya. Meskipun nilai yang diperoleh kota Metro belum mencapai nilai 6 sebagai standar indeks integritas nasional, tetapi dengan adanya hasil peningkatan prestasi tersebut, maka upaya perbaikan Pemerintah Kota Metro dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik dan mewujudkan kota Metro sebagai kota yang berintegritas tinggi tersebut diharapkan dapat memberikan informasi terkait upaya perbaikan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Metro sehingga Kabupaten atau Kota lainnya dapat menerapkan upaya-upaya tersebut untuk meningkatkan prestasinya masing-masing.


(20)

9

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pelaksanaan strategi Pemerintah Kota Metro dalam mewujudkan kota yang berintegritas tinggi?

2. Apa saja kendala-kendala yang dihadapi dalam mewujudkan kota yang berintegritas tinggi?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk menganalisis pelaksanaan strategi yang dilakukan Pemerintah Kota Metro dalam mewujudkan kota yang berintegritas tinggi.

2. Untuk mengetahui apa saja kendala-kendala yang dihadapi dalam mewujudkan kota yang berintegritas tinggi.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian, manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran, informasi dan penambahan ilmu pengetahuan dalam khasanah perkembangan ilmu administrasi negara, khusunya yang berkaitan dengan reformasi administrasi.


(21)

2. Secara praktis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan-masukan bagi para stakeholder Kabupaten atau Kota lain dalam memperbaiki sistem pemerintahan dan lingkungan birokrasi publik yang bebas dari KKN yang dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik dan meningkatkan nilai integritas nasional.


(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pemberantasan Korupsi

Menurut definisi Jeremy Pope (2003:30), korupsi adalah menyalahgunakan kekuasaan kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Namun, korupsi dapat pula dilihat sebagai perilaku tidak mematuhi prinsip „mempertahankan jarak”, artinya, dalam pengambilan keputusan di bidang ekonomi, apakah ini dilakukan oleh perorangan di sektor swasta atau oleh pejabat publik, hubungan pribadi atau keluarga tidak memainkan peranan.

Andi Hamzah dalam Juni Sjafrien Jahja (2012:8), mengemukakan bahwa korupsi berawal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Corruptio berasal dari kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Prancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie, korruptie. Dari Bahasa Belanda inilah kata itu turun ke Bahasa Indonesia yaitu korupsi. Sedangkan Henry dalam Juni Sjafrien Jahja (2012:8), korupsi merupakan suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan beberapa keuntungan yang bertentangan dengan tugas dan hak orang lain. Perbuatan seorang pejabat atau seorang pemegang kepercayaan yang secara bertentangan dengan hukum, secara keliru menggunakan kekuasaannya untuk mendapatkan keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, bertentangan dengan tugas dan hak orang lain.


(23)

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), penerbitan Balai Pustaka Tahun 1997, menjelaskan istilah-istilah korupsi, kolusi dan nepotisme sebagai berikut: (a) korup berarti buruk (rusak), suka memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok dan memakai kekuasaannya untuk kepentingan pribadi; (b) korupsi mengandung arti penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Dapat juga berupa korupsi waktu, yakni menggunakan waktu dinas (bekerja) untuk urusan pribadi; (c) nepotisme ialah kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah, atau tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan; dan (d) kolusi ialah kerja sama rahasia untuk maksud tidak terpuji; persekongkolan. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa korupsi merupakan suatu tindakan penyimpangan dan penyelewengan kepentingan pemerintah yang digunakan untuk keuntungan pribadi guna memperkaya diri sendiri atau kelompoknya.

Menurut perspektif hukum, definisi korupsi telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk atau jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara rinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi. Ketigapuluh bentuk atau jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut: (a) kerugian keuangan Negara; (b) suap-menyuap; (c) penggelapan dalam jabatan; (d) pemerasan; (e) perbuatan curang; (f) benturan kepentingan dalam pengadaan; dan (g) gratifikasi.


(24)

13

Selain bentuk atau jenis tindak pidana korupsi yang sudah dijelaskan tersebut, masih ada tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang tertuang pada Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan pihak pidana korupsi itu adalah: (a) kerugian keuangan negara; (b) tidak memberi keterangan atau memberi keterangan rekening tersangka; (c) bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka; (d) saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu; (e) orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan rekening tersangka; (f) orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau meberi keterangan palsu; dan (g) saksi yang membuka identitas pelapor.

Sebuah survei mengenai pengalaman organisasi-organisasi cabang Transparency International yang dilakukan pada tahun 1995 dalam Jeremy Pope (2003:32) menunjukkan bahwa korupsi di sektor publik sama bentuknya dan berjangkit di bidang-bidang yang sama pula, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Bidang-bidang kegiatan pemerintahan yang paling mudah dijangkiti korupsi, yaitu: (a) pengadaan barang dan jasa publik; (b) penetapan batas-batas tanah; (c) pengumpulan pemasukan; (d) pengangkatan pegawai pemerintah; dan (e) tata pemerintahan setempat. Kemudian cara yang digunakan dalam melakukan tindakan korupsi pun sama, yaitu: (a) kronisme, koneksi, anggota keluarga dan sanak kerabat; (b) korupsi politik melalui sumbangan dana untuk kampanye politik dan sebagainya; (c) uang komisi bagi kontrak pemerintah (dan subkontrak jasa konsultan); dan (d) berbagai ragam penggelapan


(25)

David J. Could dalam Jeremy Pope (2003:15), mengemukakan bahwa korupsi menimbulkan inefisiensi dan pemborosan dalam ekonomi, karena dampaknya pada alokasi dana, pada produksi, pada konsumsi. David Bayley dalam Jeremy Pope (2003:16) menyebutkan ringkasan biaya yang ditimbulkan oleh perilaku korupsi adalah sebagai berikut: (1) tindak korupsi mencerminkan kegagalan mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan pemerintah; (2) korupsi menular ke lingkungan tempat sektor swasta beroperasi menimbulkan tindak mengejar laba dengan cepat dalam situasi yang sulit diramalkan; (3) korupsi mencerminkan kenaikan harga administrasi; (4) jika korupsi merupakan bentuk pembayaran yang tidak sah, hal ini akan mengurangi jumlah dana yang disediakan untuk publik; (5) korupsi menimbulkan pengaruh yang merusak mental aparat pemerintah, melunturkan keberanian yang diperlukan untuk mematuhi standar etika yang tinggi; (6) korupsi dalam pemerintahan, dalam pandangan masyarakat luas, menurunkan rasa hormat pada kekuasaan yang dipercayakan dan karena itu pada legitimasi pemerintah; (7) jika elite politik dan pejabat tinggi pemerintahan secara luas dianggap korup, maka publik akan menyimpulkan tidak ada alasan mengapa publik tidak boleh korup juga; (8) hal yang menghambat pembangunan adalah keengganan di tingkat politik untuk mengambil keputusan yang tidak popular; (9) korupsi menimbulkan kerugian yang sangat besar dari sisi produktivitas karena waktu dan energi habis untuk menjalin hubungan guna menghindari atau mengalahkan sistem, daripada untuk meningkatkan kepercayaan dan memberikan alasan yang objektif mengenai permintaan layanan yang diperlukan; (10) korupsi, karena merupakan ketidakadilan yang dilembagakan, mau tidak mau akan menimbulkan perkara yang harus dibawa ke pengadilan dan


(26)

15

tuduhan-tuduhan palsu yang dapat digunakan pada pejabat yang jujur sekalipun untuk diperas; dan (11) bentuk korupsi yang paling menonjol di beberapa negara, „uang pelicin” atau “uang rokok” menyebabkan keputusan ditimbang berdasarkan uang, bukan berdasarkan kebutuhan manusia.

Upaya yang efektif untuk melawan korupsi harus mulai dari penyebab-penyebabnya yang paling dalam, kita perlu memahami insentif orang yang berpotensi memberi suap dan pihak yang dirugikan oleh korupsi yang dilakukan pihak lain. Jeremy Pope (2003:37) menyebutkan ada empat kategori penyuapan yaitu : (1) kategori 1 yaitu suap yang diberikan untuk (a) mendapat keuntungan yang langka, atau (b) menghindari biaya; (2) kategori 2 yaitu suap yang diberikan untuk mendapat keuntungan (atau menghindari biaya) yang tidak langka, tetapi memerlukan kebijakan yang harus diputuskan oleh pejabat publik; (3) kategori 3 yaitu suap yang diberikan, tidak untuk mendapatkan keuntungan tertentu dari publik, tetapi untuk mendapat layanan yang berkaitan dengan perolehan keuntungan (atau menghindari resiko), seperti mialnya, layanan yang cepat atau informasi dari orang dalam; dan (4) kategori 4 yaitu suap yang diberikan (a) untuk mencegah pihak lain mendapatlam bagian dari keuntungan, atau (b) untuk membebankan biaya pada pihak lain.

Upaya mewujudkan pemerintahan yang Anti-korupsi, pemerintah meratifikasi Konvensi PBB Anti-korupsi 2003, terdapat 10 kegiatan yang bersifat preventif (Juni Sjafrien Jahja, 2012:13) : (a) kebijakan dan praktik pencegahan korupsi; (b) badan-badan pencegahan korupsi; (c) sektor publik; (d) aturan perilaku bagi pejabat publik; (e) pengadaan barang dan pengelolaan keuangan publik; (f) pelaporan publik; (g) tindakan-tindakan yang berhubungan dengan


(27)

jasa-jasa peradilan dan penuntutan; (h) sektor swasta; (i) partisipasi masyarakat; dan (j) tindakan pencegahan pencucian uang seharusnya dijadikan standar acuan yang perlu diikuti langkah penjabarannya disetiap sektor kehidupan bernegara agar lebih diintensifkan.

Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam mendukung Undang-Undang Pemberantasan Korupsi di Indonesia, menurut Juni Sjafrien Jahja (2012:131), yaitu: (a) political will dari pemerintah dalam menemukan pemerintahan yang bersih dan berwibawa sangatlah penting ini dapat dimanifestasikan dengan serangkaian tindakan nyata berupa penindakan kepada pegawai yang telah terbukti melakukan perbuatan yang merugikan keuangan negara dan secara ketat menerapkan ketentuan agar para pegawai memegang teguh disiplin dalam tugas sehari-hari dan menjauhkan diri dari perbuatan tercela lainnya; (b) meningkatkan kesejahteraan bagi pegawai negeri sipil (PNS) dengan menetapkan standar gaji yang dapat menjamin kehidupan yang layak dan pantas guna memenuhi kebutuhan sehari-hari; (c) mewujudkan secara transparansi prinsip reward and punishment dalam manajemen sumber daya manusia di setiap instansi pemerintah dan (d) membenahi kesadaran hukum masyarakat untuk tidak terlarut dalam situasi yang tidak sehat dan melanggar undang-undang yang berlaku.

Berbeda dengan Juni Sjafrien Jahja, Jeremy Pope (2003) mengemukakan bahwa terdapat enam bidang pokok perubahan yang dapat mendukung pelaksanaan strategi anti-korupsi yang menyeluruh yaitu: (a) kepemimpinan; (b) program publik; (c) perbaikan organisasi pemerintah; (d) penegakan hukum; (e) kesadaran masyarakat; dan (f) pembentukan lembaga pencegah korupsi. Berdasarkan Perpres No. 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan


(28)

17

dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014: (1) Stranas PPK adalah dokumen yang memuat visi, misi, sasaran, strategi, dan fokus kegiatan prioritas pencegahan dan pemberantasan korupsi jangka panjang tahun 2012-2025 dan jangka menengah tahun 2012-2014, serta peranti anti korupsi; (2) Aksi PPK adalah kegiatan atau program yang dijabarkan dari Stranas PPK untuk dilakukan oleh Kementerian atau Lembaga dan Pemerintah Daerah; (3) Peran serta masyarakat adalah peran aktif perorangan, Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi; (4) Hasil pelaksanaan Stranas PPK meliputi hasil pemantauan, evaluasi, dan laporan capaian Aksi PPK, serta hasil evaluasi Stranas PPK.

Masalah korupsi selama ini lebih banyak dipecahkan hanya melalui hukum dengan instrument pidana saja, padahal tindak pidana korupsi dapat timbul tidak semata-mata karena keinginan individu untuk korupsi, namun oleh karena sistem yang buruk memberikan peluang bagi terjadinya tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, korupsi dapat pula dipecahkan melalui perbaikan sistem, yaitu perbaikan pelayanan publik.

B. Perbaikan Pelayanan Publik

Perbaikan pelayanan publik sebagai salah satu solusi bagi pemecahan tindak pidana korupsi. Dengan adanya perbaikan pelayanan publik, maka akan tercipta sistem yang baik sehingga dapat mempersempit ruang gerak yang dapat berpotensi korupsi. Pelayanan publik merupakan serangkaian aktivitas pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan


(29)

masyarakat. Menurut Kumorotomo dalam Eko dan Moh Waspa (2009:39) salah satu prasyarat legitimasi kekuasaan negara apabila negara, melalui aktivitas-aktivitas pemerintahan dapat mengusahakan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat. Untuk mewujudkan kesejahteraan umum negara menggunakan instrument birokrasi sebagai pelaksana kebijakan pelayanan kepada masyarakat. Sudah menjadi kewajiban negara untuk melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya. Peran pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa publik tidak semata-mata karena organisasi privat tidak mau menyentuh bidang tersebut (tidak menguntungkan), tetapi memang sudah menjadi kewajiban negara melalui salah satu instrumennya, birokrasi pemerintahan, melaksanakan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu, pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat harus berkualitas untuk mewujudkan kesejahteraan umum negara. Pelayanan publik yang buruk dapat diatasi dengan reformasi administrasi dalam rangka memperbaiki pelayanan publik.

1. Karakteristik Kualitas Pelayanan Publik

Pelayanan publik yang diberikan oleh birokrasi hendaknya berdasarkan prinsip-prinsip dasar berikut ini seperti yang dikemukakan oleh Eko dan Moh Waspa (2009:39): (a) rasional, efektif dan efisien yang dilakukan melalui manajemen terbuka; (b) ilmiah, berdasarkan kajian dan penelitian serta didukung oleh cabang-cabang ilmu pengetahuan lainnya; (c) inovatif, pembaruan yang dilakukan terus menerus untuk menghadapi lingkungan yang dinamis, berubah dan berkembang; (d) produktif, berorientasi kepada hasil kerja yang optimal; (e) profesionalisme, penggunaan tenaga kerja professional, terampil dalam istilah


(30)

19

The right man in the right place”; dan (f) penggunaan teknologi modern yang tepat guna.

Kriteria lain tentang pelayanan publik yang baik sebagaimana dikemukakan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) dalam Eko dan Moh Waspa (2009:40) yakni kesederhanaan, kejelasan dan kepastian, keamanan, keterbukaan, efisiensi, ekonomis, keadilan yang merata, ketepatan waktu serta kriteria kuantitatif lainnya (jumlah warga yang meminta pelayanan dalam kurun waktu tertentu, lamanya waktu pemberian layanan sesuai permintaan, penggunaan perangkat-perangkat modern untuk mempercepat pemberian layanan dan frekuensi keluhan maupun pujian dari masyarakat penerima layanan).

2. Pelayanan Prima

Pelayanan prima menurut Sedarmayanti (2009:249) merupakan pelayanan yang diberikan kepada pelanggan (masyarakat) minimal sesuai dengan standar pelayanan (cepat, tepat, akurat, murah, ramah). SESPANAS LAN dalam Sedarmayanti (2009:249) mengemukakakan bahwa dalam sektor publik, pelayanan dikatakan prima apabila sebagai berikut: (a) pelayanan yang terbaik dari pemerintah kepada pelanggan atau pengguna jasa; (b) pelayanan prima ada bila ada standar pelayanan; (c) pelayanan prima bila melebihi standar, atau sama dengan standar. Bila belum ada standar, pelayanan yang terbaik dapat diberikan, pelayanan yang mendekati apa yang dianggap pelayanan standar, dan pelayanan yang dilakukan secara maksimal; dan (d) pelanggan adalah masyarakat dalam arti luas; masyarakat eksternal dan masyarakat internal.

Pelayanan prima menurut Eko dan Moh Waspa (2009:44) mengandung tiga aspek, yakni kemampuan professional, kemauan yang teguh dan sikap yang


(31)

ikhlas, tulus, senang membantu menyelesaikan keluhan. Kemampuan yang professional tercermin dalam pemikirannya yang brilian, perencanaan yang tepat, kerja yang berkualitas, sentuhan yang menyenangkan. Pelayanan yang professional diartikan juga lebih professional dalam menanggapi keluhan permasalahan pelanggan (responsive public service), menyelesaikan pekerjaan dengan cepat (quick service), melayani dan memuaskan kebutuhan masyarakat, seperti halnya dunia swasta melayani pelanggan. Seperti yang dikatakan J.Levy dalam Eko dan Moh Waspa (2009:45), apabila urusan di dunia swasta dapat diselesaikan dengan cepat, maka semestinya begitu juga tentang sikap dari petugas birokrasi publik, artinya birokrasi harus memiliki keluwesan (flexibility), dan peraturan-peraturan yang tidak terlalu ketat (stiff regulations) serta tidak terlalu banyak pekerjaan arsip (too much paper work).

Strategi pelayanan prima yang mengacu pada kepuasan pelanggan menurut Sedarmayanti (2009:250) dapat ditempuh melalui: (a) implementasi visi misi pelayanan pada semua tingkat yang terkait dengan pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat (pelanggan); (b) hakikat pelayanan prima disepakati untuk dilaksanakan oleh semua aparatur yang member pelayanan; (c) dalam pelaksanaan pelayanan prima, didukung sistem dan lingkungan yang dapat memotivasi anggota organisasi untuk melaksanakan pelayanan prima; (d) pelaksanaan pelayanan prima aparatur pemerintah, didukung sumber daya manusia, dana dan teknologi canggih tepat guna; dan (e) pelayanan prima dapat berhasil guna, apabila organisasi menerbitkan standar pelayanan prima yang dapat dijadikan pedoman dalam melayani dan panduan bagi pelanggan yang memerlukan jasa pelayanan.


(32)

21

Perbaikan pelayanan publik dilakukan dalam rangka memperbaiki sistem pelayanan agar pelayanan menjadi berkualitas dan menutup ruang gerak bagi terjadinya potensi korupsi. Upaya untuk menghentikan mesin pembentuk perilaku korupsi dapat juga dilakukan dengan melakukan reformasi administrasi. Menurut Agus Dwiyanto dalam Agus Pramusinto dan Wahyudi Kumorotomo (2009:214), birokrasi mempertemukan supply of dan demand for corruption, institusi dan mekanisme birokrasi sering menciptakan aktor-aktor pemburu rente, baik aktor di dalam ataupun di luar birokrasi yang melihat adanya peluang untuk menciptakan rente dari mekanisme dan institusi birokrasi. Lebih lanjut, Agus menyatakan birokrasi yang buruk dapat mendorong perilaku korupsi melalui terciptanya peluang bagi aktor-aktor di dalam dan di luar birokrasi untuk memburu rente dengan mempertukarkan privileges dengan uang, fasilitas dan sumber kenikmatan lainnya. Kondisi birokrasi yang buruk seperti ini menciptakan pasar bagi terjadinya transaksi korupsi, oleh karenanya diperlukan reformasi administrasi untuk menciptakan birokrasi yang transparan dan akuntabel sehingga meningkatkan kualitas pelayanan publik.

C. Reformasi Administrasi

Pergeseran politik dan pemerintahan yang terjadi pada era reformasi saat ini merupakan momentum tepat untuk menata kembali administrasi penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia agar lebih efektif, efisien dan demokratis dalam upaya mewujudkan good governance (Sedarmayanti,2009:3). Pemerintah dihadapkan pada arus perubahan semakin cepat dan mengglobal, sehingga perubahan harus segera direspons pemerintah. Upaya untuk merespons perubahan, masalah dan


(33)

tantangan menuju good governance, pemerintah perlu melakukan reformasi administrasi guna mewujudkan good governance.

Menurut Zauhar (2007:4), reformasi administrasi merupakan bagian yang sangat penting dalam pembangunan di negara-negara sedang berkembang, terlepas dari tingkat perkembangan atau kecepatan pertumbuhan dan arah serta tujuannya. Reformasi administrasi adalah suatu usaha sadar dan terencana untuh mengubah: (a) struktur dan prosedur birokrasi (aspek reorganisasi atau institusional atau kelembagaan), (b) sikap dan perilaku birokrat (aspek perilaku), guna meningkatkan efektivitas organisasi atau terciptanya administrasi yang sehat dan menjamin tercapainya tujuan pembangunan nasional.

Miftah Thoha seperti dikutip Pandji Santosa (2009:117) menyatakan bahwa reformasi adalah suatu proses yang tidak bisa diabaikan, reformasi secara naluri harus dilakukan karena tatanan pemerintahan yang baik pada suatu masa, dapat menjadi tidak sesuai lagi karena perkembangan zaman. Kemudian Yehekzel Dror dalam Zauhar (2007:6) mengatakan bahwa reformasi administrasi adalah perubahan yang terencana terhadap aspek utama administrasi. Caiden dalam Zauhar (2007:6) mendefinisikan reformasi administrasi sebagai “The Artificial Indusment of Administrative Transformation Against Resistance”. Definisi tersebut mengandung beberapa implikasi, yaitu: (a) reformasi administrasi merupakan kegiatan yang dibuat oleh manusia, tidak bersifat eksidental, otomatis maupun alamiah; (b) reformasi administrasi merupakan suatu proses dan (c) resistensi beriringan dengan proses reformasi administrasi.

Caiden dengan tegas membedakan antara reformasi administrasi (Administrative Reform) dan perubahan administrasi (Administrative Change).


(34)

23

Perubahan administrasi dimaknai sebagai respons keorganisasian yang sifatnya otomatis terhadap fluktuasi atau perubahan kondisi, kemudian munculnya kebutuhan akan reformasi administrasi sebagai akibat dari adanya perubahan administrasi. Tidak berfungsinya perubahan administrasi yang alamiah ini menyebabkan diperlukannya reformasi administrasi.

Mosher seperti dikutip Falih Suaedi dan Bintoro Wardiyanto (2010:10) menyebutkan bahwa isi reformasi administrasi adalah reorganisasi administrasi, bahkan dia menyamakan antara keduanya. Reorganisasi administrasi itu hanya salah satu isi dari reformasi administrasi, yang sering disebut sebagai aspek institusional (kelembagaan) reformasi administrasi. Aspek lain dari reformasi administrasi adalah perubahan sikap, perilaku dan nilai orang-orang yang terlibat dalam proses reformasi administrasi. Aspek inilah yang disebut aspek perilaku, dengan kata lain isi reformasi administrasi meliputi aspek institusional atau kelembagaan dan aspek perilaku.

Terkait dengan perilaku, seminar tentang administrative reform and innovations yang diselenggarakan oleh Pemerintah Malaysia bekerja sama dengan Eastern Regional Organizations for Public Administration (EROPA) di Kuala Lumpur pada bulan Juni 1968 menyepakati bahwa reformasi administrasi tidak hanya diartikan sebagai perbaikan struktur organisasi, namun juga meliputi perbaikan perilaku orang yang terlibat di dalamnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh moderator seminar tersebut, Hahn Been Lee bahwa…there was a genuine consensus from the very beginning of the seminar on what we really mean change of names and structures of some administrative organization. Rather, it menat changing the behavior of those involved (Zauhar,2007:10).


(35)

Kemudian Hahn Been Lee dan Samonte dalam Zauhar (2007:9), mengemukakan lima alat pengukur reformasi administrasi, yaitu: (1) penekanan baru terhadap program; (2) perubahan sikap dan perilaku masyarakat dan anggota birokrasi; (3) perubahan gaya kepemimpinan yang mengarah kepada komunikasi terbuka dan manajemen partisipatif; (4) penggunaan sumber daya yang lebih efisien dan (5) pengurangan penggunaan pendekatan legalistik.

Selanjutnya seorang peserta seminar EROPA tersebut, Cho (Zauhar 2007:10), yang berasal dari Korea juga menyatakan bahwa “administrative reform as a conscious human efforts to introduce changes into the behavior and performance of administrators”. Abueva dalam Zauhar (2007:10) menekankan definisi reformasi administrasi pada segi kelembagaan dan perilaku, Ia memandang reformasi administrasi sebagai “essentially a deliberate attempt to use power, authority and influence to change the goals, structure or procedures of the bureaucracy, and therefore, to after the behavior of its personnel”.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa reformasi administrasi merupakan usaha yang direncanakan untuk melakukan perubahan sistem administrasi dengan menerapkan ide-ide baru ke dalam sistem administrasi dengan tujuan menciptakan sistem administrasi yang sehat dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional.

Penentuan tujuan merupakan hal yang sangat penting dalam reformasi administrasi sebagai tolak ukur penetapan sukses atau gagalnya program reformasi administrasi. Pentingnya pelaksanaan reformasi administrasi bertujuan untuk efisiensi administrasi dan membenahi penyakit administrasi. Hahn Been Lee dalam Zauhar (2007:13), mengungkapkan adanya tujuan umum reformasi


(36)

25

administrasi, yaitu meningkatkan keteraturan, meningkatkan atau menyempurnakan metode dan meningkatkan performance (unjuk kerja). Sedangkan Abueva dalam Zauhar (2007:14) menyebutkan dua tujuan administrative reform (reformasi administrasi) yaitu: (a) Manifest or declared goal (tujuan terbuka), antara lain adalah efisiensi, ekonomis, efektivitas, peningkatan pelayanan, struktur organisasi, prosedur yang ramping dan sebagainya dan (b) Undisclosed or undeclared goal (tujuan terselubung) yakni tujuan yang bersifat politis.

Adapun menurut Mosher seperti dikutip Zauhar (2007:13), ada empat tujuan reformasi administrasi, yaitu: (a) perubahan inovatif terhadap kebijaksanaan dan program pelaksanaan; (b) peningkatkan efektivitas administrasi; (c) meningkatkan kualitas personel; (d) melakukan antisipasi terhadap kemungkinan kritik dan keluhan dari pihak luar. Pakar lain, dalam sebuah karyanya yang berjudul The Objectives of Governmental Reorganization, Marshall E.Dimock dalam Zauhar (2007:13) menyatakan tujuan utama reorganisasi adalah untuk meningkatkan efektivitas organisasi. Dengan nada hampir sama, Carlos P. Ramos dalam Zauhar (2007:14) juga menyatakan bahwa tujuan peningkatan efektivitas administrasi berkaitan erat dengan pencapaian tujuan umum pembangunan nasional, karena keberhasilan administrative reform merupakan salah satu ukuran yang dipakai oleh pemerintah negara berkembang dalam mencapai tujuan pembangunan.

Selanjutnya Dror seperti dikutip Zauhar (2007:14) mengklasifikasikan tujuan reformasi ke dalam dua kelompok, yaitu tujuan yang bersifat intra-administrasi yang ditujukan untuk menyempurnakan intra-administrasi internal dan tujuan yang berkaitan dengan masyarakat di dalam sistem administrasi. Tujuan


(37)

yang bersifat intra-administrasi menurut Dror adalah: (a) efisiensi administrasi, dalam arti penghematan uang, yang dapat dicapai melalui penyederhanaan formulir, perubahan prosedur, penghilangan duplikasi dan kegiatan organisasi metode yang lain; (b) penghapusan kelemahan atau penyakit administrasi seperti korupsi, pilih kasih dan sistem taman dalam sistem politik dan lain-lain; dan (c) pengenalan dan penggalakan sistem merit, pemakaian PPBS, pemrosesan data melalui sistem informasi yang otomatis, peningkatan penggunaan pengetahuan ilmiah dan lain-lain. Sedangkan tujuan yang berkaitan dengan masyarakat di dalam sistem administrasi, yaitu: (a) menyesuaikan sistem administrasi terhadap meningkatnya keluhan masyarakat; (b) mengubah pembagian pekerjaan antara sistem administrasi dan sistem politik, misalnya meningkatkan otonomi professional dari sistem administrasi dan meingkatkan pengaruhnya pada suatu kebijaksanaan; dan (c) mengubah hubungan antara sistem administrasi dan penduduk, misalnya melalui relokasi pusat-pusat kekuasaan (desentralisasi).

Merumuskan tujuan reformasi administrasi sangatlah rumit, karena banyak pihak yang terlibat, yang masing-masing mempunyai tujuan sendiri-sendiri, yang tidak hanya berbeda, tetapi sering bertentangan satu sama lain. Oleh karena itu, tujuan reformasi administrasi bersifat sangat subjektif. Untuk mencapai tujuan reformasi administrasi, ada beberapa pendekatan yang dapat dipakai. Caiden dalam Zauhar (2007:16) mengidentifikasi adanya lima pendekatan di dalam reformasi administrasi, yaitu: (a) pendekatan Perancis; (b) pendekatan Prussia; (c) pendekatan Bolshevin atau Rusia; (d) pendekatan Inggris; dan (e) pendekatan Amerika. Berdasarkan lima pendekatan tersebut, ada empat butir pembanding yang dapat digunakam untuk membandingkan masing-masing pendekatan satu


(38)

27

sama lain, yaitu: (a) ada pembaru yang berasal dari luar, ada pula yang berasal dari dalam; (b) ada pembaruan yang dicanangkan dari bawah, ada pula yang berasal dari atas; (c) ada ideologi yang mempengaruhi reformasi administrasi, ada pula reformasi administrasi yang tidak depengaruhi oleh ideologi; dan (d) ada reformasi administrasi yang diikuti oleh resolusi, ada pula yang tidak.

Dalam pengembangan ilmu reformasi administrasi yang lebih luas, Caiden tidak melupakan reformasi administrasi di negara berkembang, disamping pengamatannya terhadap dinamika reformasi administrasi di negara maju. Menurut Caiden, kemerdekaan di Negara-negara berkembang membuat reformasi administrasi menjadi sebuah kewajiban bagi mereka. Hal ini disebabkan karena sistem administrasi di negara berkembang yang masih baru memerlukan banyak sekali adaptasi dan perubahan untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi selama ini. Adapun pendekatan yang harus dipilih oleh negara berkembang tersebut sangat tergantung pada faktor-faktor meliputi sifat kultur setempat, caliber atau reputasi kepemimpinan nasional, jenis rezim politik, kekuatan dan diversitas oposisi/penentang dan ketersediaan sumber daya.

Atas dasar berbagai faktor tersebut, Caiden dalam Zauhar (2007:17) mengklasifikasikan empat pendekatan reformasi di negara berkembang, yaitu: (a) negara yang tidak menganut paham reformasi dan lebih menyukai status quo; (b) negara dengan pendekatan pragmatis murni terhadap reformasi administrasi. Artinya, melakukan pembaruan dengan ala kadarnya saja, serta tidak ada perangkat institusional untuk mengimplementasikannya; (c) negara-negara yang sangat sering melakukan reformasi administrasi dan melengkapinya dengan


(39)

seperangkat aturan formasl untuk substansi dan evaluasinya; dan (d) negara-negara yang telah mengalami pembaruan yang diperoleh dari luar.

Reformasi administrasi merupakan usaha yang direncanakan untuk melakukan perubahan sistem administrasi dengan menerapkan ide-ide baru ke dalam sistem administrasi dengan tujuan menciptakan sistem administrasi yang sehat dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional. Oleh karena itu diperlukan suatu strategi reformasi administrasi yang akan membantu keberhasilan reformasi administrasi tersebut. Ada beberapa strategi yang dikemukakan oleh para pakar diantaranya strategi reformasi menurut Caiden dan Turner dan Hulme. Menurut Caiden (1991:75-86) ada beberapa strategi reformasi administrasi, yaitu: (a) privatisasi dan koproduksi, menyerahkan kewenangan penyediaan barang dan jasa publik kepada swasta; (b) debirokratisasi, memangkas struktur dan prosedur birokrasi yang berbelit-belit untuk efisiensi dan efektivitas kepemerintahan; (c) reorganisasi, menata ulang organisasi publik sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) agar lebih fleksibel; (d) manajemen publik yang efektif, memperbaiki proses manajerial pada organisasi publik agar lebih efektif dalam menjalankan fungsinya; dan (e) Value for money, menghapus kegiatan-kegiatan yang tidak penting, yang dapat menghabiskan anggaran.

Sedangkan menurut Turner dan Hulme (1997:107-126) ada beberapa strategi reformasi administrasi yaitu: (a) restrukturisasi, merekayasa ulang struktur organisasi publik baik di tingkat pusat maupun di level lokal; (b) partisipasi, memperkuat partisipasi publik di dalam proses pemerintahan; (c) peningkatan sumber daya manusia (SDM), meningkatkan kualitas dan kuantitas aparatur negara sehingga memiliki dedikasi yang tinggi dalam melayani masyarakat; (d)


(40)

29

akuntabilitas, memperjelas mekanisme pertanggung-jawaban aparat pemerintah. Pertanggung-jawaban di sini tidak hanya pertanggungjawaban kepada atasan saja, tetapi juga pertanggungjawaban terhadap publik; dan (e) kerja sama Pemerintah-Swasta, memberdayakan sektor privat dengan membangun kemitraan yang saling menguntungkan.

Strategi reformasi administrasi yang dikemukanan oleh Caiden di atas digunakan peneliti untuk menganalisis strategi pemerintah kota Metro dalam mewujudkan kota yang berintegritas tinggi, karena untuk mewujudkan kota yang berintegritas tinggi tersebut pemerintah kota Metro melakukan reformasi guna mewujudkan sistem pemerintahan dan lingkungan birokrasi publik yang bebas dari KKN sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik dan berintegritas tinggi.

Beberapa strategi reformasi administrasi negara yang telah diuraikan di atas, tidak bisa dilakukan sepenggal-sepenggal karena reformasi mengandung prinsip paralelitas dan gradualitas. Strategi-strategi tersebut adalah prinsip dasar dalam melakukan perubahan dalam aspek kepemerintahan sehingga harus dijalankan secara bersamaan dan konsisten. Namun, pada kenyataannya di kebanyakan negara berkembang, termasuk di Indonesia, reformasi administrasi negara tidak dilakukan secara gradual dan konsisten karena adanya berbagai kendala politik, ekonomi, sosial dan budaya.

D. Kendala Reformasi Administrasi

Kendala-kendala yang dihadapi dalam reformasi diungkapkan oleh beberapa ahli, Caiden dalam Katharina (2013) memberikan peringatan bahwa proses reformasi administrasi akan menimbulkan banyak kendala, antara lain; (a)


(41)

tidak ada yang ingin mengoreksi sistem adminitrasi yang sudah berjalan, mungkin karena mereka menganggap sistem itu merupakan kenyataan yang sulit untuk dirubah, atau masyarakat tidak menyukai orang-orang yang tidak tunduk pada sistem yang berlaku; (b) tidak adanya orang yang sanggup merumuskan rencana perubahan dengan baik dan efektif. Untuk merumuskan proposal reformasi diperlukan pengetahuan yang cukup. Informasi yang dibutuhkan mungkin tidak tersedia, tidak akurat, tidak tepat atau terdistorsi, atau tidak berguna sama sekali; (c) tidak adanya advokasi pembaharuan, tidak cukup dukungan, dan tidak ada pemimpin yang mau mengambil alih inisiatif reformasi. Akar masalahnya mungkin ekonomi dan kurangnya sumber daya. Reformasi dianggap hanya akan merugikan mereka yang mendapatkan dan menikmati keuntungan dari sistem seperti ini; dan (d) tidak adanya kepentingan untuk memperbaiki kinerja administrasi yang sudah ada karena administrasi dianggap tidak memiliki nilai, sementara di lain sisi, kinerja rendah biasanya dapat diterima dan ditolerir. Hal ini disebabkan masalah sosial atau ekonomi. Orang tidak perduli pada sistem administrasi yang bobrok selagi dirinya tidak dirugikan. Caiden juga menekankan bahwa salah satu yang mempengaruhi berjalannya reformasi administrasi adalah politik. Dalam sebuah negara demokrasi dengan sistem multi partai, administrasi biasanya berada di luar politik, dan reformasi dapat berjalan tanpa campur tangan politik.

Selanjutnya, Budianto (2010), menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang masih menjadi kendala dan tantangan dalam reformasi birokrasi yaitu; (a) minimnya komitmen dan kepemimpinan politik. Kuatnya komitmen dan kepemimpinan politik untuk merubah paradigma birokrasi akan menentukan


(42)

31

keberhasilan reformasi birokrasi ini; (b) terjadinya politisasi birokrasi. Masih adanya politisasi birokrasi di Indonesia tidak hanya terjadi pada saat ini, namun telah terjadi sejak kita masih dibawah pemerintahan Hindia Belanda. Kooptasi partai politik ataupun kepentingan lain terhadap birokrasi sudah menjadi hal yang akut. Hal ini mejadikan birokrasi yang lemah dan tidak berpihak pada kepentingan publik secara keseluruhan; (c) penentangan (resistensi) dari dalam birokrasi itu sendiri. “Kenyamanan” yang dirasakan selama ini oleh jajaran birokrat (status quo) membuat mereka sulit untuk mengubah pola pikir maupun sikap mental untuk mendukung kearah perubahan yang lebih baik. Intinya terjadi penentangan oleh pihak internal (birokrat itu sendiri) terhadap usaha perubahan yang menjadi inti dari reformasi birokrasi. Ketidakinginan untuk mengubah pola pikir termasuk budaya kerja dari para birokrat yang ada tentunya menjadi kendala dalam perubahan itu sendiri. Faktor inilah yang merupakan hal krusial dan menjadi kendala dalam implementasi reformasi birokrasi di Indonesia secara menyeluruh; dan (d) minimnya kompetensi dalam pelaksanaan reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi tidak akan berhasil jika tidak ada kompetensi sumberdaya manusianya dalam implementasinya. Semakin tepat dan kompeten pelaksananya semakin tinggi tingkat keberhasilan reformasi birokrasi. Seringkali unsur pertama tentang komitmen politik sudah ada, namun unsur pelaksana tidak tepat, maka tingkat keberhasilan reformasi birokrasi menjadi mengecil.

Kendala reformasi administrasi selanjutnya diungkapkan oleh Didik (2011), yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang menghambat upaya reformasi birokrasi, antara lain: (a) faktor keteladanan pemimpin. Pimpinan birokrasi sesungguhnya berperan penting menentukan keberhasilan reformasi. Namun,


(43)

tidak banyak kita temukan pemimpin yang memiliki konsep jelas dan kemauan keras mereformasi; (b) faktor budaya. Birokrasi yang mewarisi budaya feodal sejak zaman kerajaan hingga penjajahan dan tetap bertahan pada era Orde Baru, tidak mudah dibawa memasuki paradigma baru menuju birokrasi (administrasi publik) modern; (c) faktor kualitas pegawai. Kualifikasi dan kompetensi birokrat harus diakui masih cukup jauh dari harapan yang berdampak pada rendahnya kinerja pegawai. Moratorium penerimaan PNS semestinya menjadi titik tolak menata kepegawaian; (d) buruknya sistem. Upaya mereformasi birokrasi sering terhalang oleh sistem yang berlaku yang kurang mendukung perwujudan birokrasi ideal; dan (e) uji eksistensi. Meskipun ada seperangkat regulasi untuk menata sistem, implementasi peraturan itu masih jauh dari yang diharapkan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, peneliti membuat poin-poin kendala dalam reformasi yang diungkapkan beberapa ahli tersebut. Berdasarkan pendapat Caiden, peneliti membuat poin-poin kendala reformasi antara lain: (a) no political will; (b) lack of information; (c) no reform advocation; dan (d) permissive culture. Selanjutnya, peneliti membuat poin-poin kendala reformasi menurut Budianto, antara lain; (a) lack of commitment; (b) bureaucracy politicization; (c) resistence; dan (d) lack of resources. Kemudian, peneliti membuat poin-poin kendala reformasi menurut Didik, antara lain: (a) crisis of model; (b) feodal culture; (c) quality of civil servant; dan (d) bad system.

Setelah membuat poin-poin kendala administrasi menurut beberapa ahli, kemudian peneliti membuat kesimpulan terhadap pendapat-pendapat tersebut. Peneliti menyimpulkan bahwa no political will yang diungkapkan oleh Caiden sama makna nya dengan lack of commitment yang diungkapkan oleh Budianto dan


(44)

33

crisis of model yang diungkapkan oleh Didik, sehingga peneliti menyimpulkan bahwa kendala reformasi yang pertama yaitu minimnya komitmen. Selanjutnya, lack of resources yang diungkapkan oleh Budianto sama maknanya dengan quality of civil servant yang diungkapkan oleh Didik, sehingga peneliti menyimpulkan bahwa kendala reformasi yang kedua yaitu minimnya sumber daya. Selanjunya kendala reformasi lainnya yaitu resistensi, minimnya informasi, budaya feodal, budaya permisif, politisasi birokrasi dan sistem yang buruk.

Kendala-kendala yang dihadapi oleh pemerintah kota Metro dalam mewujudkan kota yang berintegritas tinggi antara lain minimnya komitmen, minimnya sumber daya, budaya feodal, budaya permisif dan resistensi birokrasi. a. Minimnya komitmen

Komitmen menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu perjanjian (keterkaitan) untuk melakukan sesuatu. Komitmen merupakan salah satu unsur penting dalam reformasi administrasi, sehingga semakin tinggi komitmen maka keberhasilan reformasi administrasi semakin terwujud. Menurut Budianto (2010), kuatnya komitmen dan kepemimpinan politik untuk merubah paradigma birokrasi akan menentukan keberhasilan reformasi birokrasi, singkatnya, semakin kuat komitmen dan kepimpinan politik untuk mereformasi birokrasi, semakin besar peluang untuk berhasil. Selanjutnya, menurut Luthans (2006:249), ada 3 (tiga) cara mengukur komitmen kerja seorang pegawai dalam suatu organisasi, yaitu: keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi, keinginan untuk berusaha keras sesuai dengan keinginan organisasi, dan penyatuan tujuan dan nilai-nilai perusahaan atau organsasi. Minimnya komitmen dapat menjadi suatu


(45)

penghambat bagi keberhasilan reformasi admininstrasi. Minimnya komitmen menjadi salah satu kendala yang dihadapi oleh pemerintah kota Metro dalam mewujudkan kota yang berintegritas tinggi. Komitmen dari pemimpin politik, yaitu Walikota Metro sudah cukup tinggi, namun masih ada pejabat dan pegawai yang belum berkomitmen tinggi dalam mendukung reformasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah kota Metro. Hal ini menjadi penghambat keberhasilan reformasi di kota Metro, sehingga reformasi yang dilakukan masih belum optimal.

b. Minimnya Sumber Daya

Minimnya sumber daya menjadi salah satu kendala yang dihadapi oleh pemerintah kota Metro dalam mewujudkan kota yang berintegritas tinggi. Sumber daya ini meliputi kompetensi aparat dan fasilitas pelayanan. Minimnya sumber daya dinilai dari keterbatasan fasilitas sarana dan prasarana yang memadai. Untuk menilai kompetensi sumber daya manusia, Hutapea dan Thoha (2008:28) mengungkapkan bahwa ada tiga komponen utama pembentukan kompetensi yaitu pengetahuan yang dimiliki seseorang, kemampuan, dan perilaku individu. Menurut Budianto (2010), reformasi birokrasi tidak akan berhasil jika tidak ada kompetensi sumberdaya manusianya dalam implementasinya. Semakin tepat dan kompeten pelaksananya semakin tinggi tingkat keberhasilan reformasi birokrasi.

Minimnya kompetensi sumber daya di kota Metro dapat dilihat dari masih ada aparat yang berkinerja buruk dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan keterbatasan fasilitas dan dana dalam mendukung penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas. Sumber daya yang


(46)

35

memadai akan mendukung keberhasilan reformasi administrasi, oleh karena itu minimnya sumber daya di kota Metro perlu segera diatasi agar reformasi di kota Metro dapat berjalan optimal.

c. Budaya feodal. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, feodal adalah berhubungan dengan susunan masyarakat yang dikuasai oleh kaum bangsawan. Sementara feodalisme adalah (1) sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan; (2) sistem sosial yang mengagung-agungksn jabatan atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja; (3) sistem sosial di Eropa pada Abad Pertengahan yang ditandai oleh kekuasaan yang besardi tangan tuan tanah. Menurut Didik (2011), birokrasi yang mewarisi budaya feodal sejak zaman kerajaan hingga penjajahan dan tetap bertahan pada era Orde Baru, tidak mudah dibawa memasuki paradigma baru menuju birokrasi (administrasi publik) modern. Didik (2011) mengungkapkan bahwa untuk menilai adanya budaya feodal dapat dilihat dari masih menjamurnya praktik pungli, sogok atau suap, laporan asal bapak senang (ABS), boros anggaran, dan pelayanan publik asal-asalan. Tugas Korpri mereformasi budaya birokrasi tampaknya tidak mudah dan tidak bisa instan mengingat budaya itu telanjur mengakar kuat. Adanya pengaruh budaya feodal, membuat pejabat merasa bahwa mereka adalah raja dan patut dilayani oleh masyarakat, padahal yang seharusnya terjadi adalah sebaliknya. Budaya feodal yang ada di kota Metro yaitu adanya rasa sungkan dan segan yang berlebihan antara pegawai dengan atasannya dan mentalitas pejabat yang tidak bekerja sebagai pelayan


(47)

masyarakat. Hal tersebut dilihat dari adanya pejabat yang lalai dalam pelayanan publik.

d. Budaya permisif. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, permisif adalah bersifat terbuka (serba membolehkan; suka mengizinkan). Caiden dalam Katharina (2013) mengungkapkan, budaya permisif dilihat dari tidak adanya kepentingan untuk memperbaiki kinerja administrasi yang sudah ada karena administrasi dianggap tidak memiliki nilai, sementara di lain sisi, kinerja rendah biasanya dapat diterima dan ditolerir. Hal ini disebabkan masalah sosial atau ekonomi. Orang tidak perduli pada sistem administrasi yang bobrok selagi dirinya tidak dirugikan. Dengan demikian, budaya permisif ini dapat dilihat dari sikap masyarakat yang tidak peduli atau cuek terhadap praktek penyelenggaraan pelayanan publik yang buruk. Masyarakat tidak peduli dengan buruknya penyelenggaraan pemerintahan, dan kinerja aparat yang rendah biasanya dapat diterima dan ditolerir oleh masyarakat. Caiden mengatakan bahwa proses reformasi administrasi akan menimbulkan banyak kendala, salah satunya yaitu adanya budaya permisif. Budaya permisif di kota Metro dapat dilihat dari adanya kebiasaan memberikan gratifikasi kepada petugas pelayanan, masyarakat tidak peduli meskipun gratifikasi tersebut adalah salah. Dengan demikian, budaya permisif masyarakat kota Metro ini perlu segera diatasi agar masyarakat dapat bersikap perhatian dan melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah di kota Metro.


(48)

37

e. Resistensi birokrasi

Resistensi birokrasi menjadi kendala sekaligus tantangan dalam keberhasilan pelaksanaan reformasi administrasi. Menurut Budianto (2010), “Kenyamanan” yang dirasakan selama ini oleh jajaran birokrat (status quo) membuat mereka sulit untuk mengubah pola pikir maupun sikap mental untuk mendukung kearah perubahan yang lebih baik. Intinya terjadi penentangan oleh pihak internal (birokrat itu sendiri) terhadap usaha perubahan yang menjadi inti dari reformasi birokrasi. Ketidakinginan untuk mengubah pola pikir termasuk budaya kerja dari para birokrat yang ada tentunya menjadi kendala dalam perubahan itu sendiri. Faktor inilah yang merupakan hal krusial dan menjadi kendala dalam implementasi reformasi birokrasi di Indonesia secara menyeluruh. Mengukur adanya resistensi birokrasi melalui adanya kinerja yang buruk dari birokrasi itu sendiri yang tidak mendukung perubahan ke arah yang lebih baik. Resistensi birokrasi di lingkungan pemerintah daerah kota Metro dapat dilihat dari adanya beberapa orang pejabat yang dinon-jobkan oleh Walikota Metro karena berkinerja buruk sehingga tidak dapat mendukung keberhasilan pelaksanaan reformasi.

E. Kerangka Pikir

Upaya mewujudkan sistem pemerintahan dan lingkungan birokrasi publik yang bebas KKN dalam rangka menyikapi hasil Survey Indeks Integritas Nasional untuk layanan publik di daerah yang dilaksanakan oleh KPK Tahun 2011 yang menyatakan bahwa indeks integritas nasional pelayanan publik di kota Metro bernilai buruk. Nilai indeks integritas nasional kota Metro pada tahun 2011 yaitu


(49)

3,15 yang terdiri dari nilai pengalaman integritas sebesar 2,59 dan nilai potensi integritas sebesar 4,29, nilai yang diperoleh kota Metro tersebut merupakan nilai terendah dari 60 kota yang disurvei.

Berdasarkan pada penilaian indeks integritas nasional untuk layanan publik yang diperoleh kota Metro, Pemerintah Kota Metro melakukan upaya-upaya perbaikan guna mewujudkan sistem pemerintahan dan lingkungan birokrasi publik yang bebas dari KKN sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik dan berintegritas tinggi. Upaya perbaikan yang dilakukan dalam mewujudkan sistem pemerintahan dan lingkungan birokrasi publik yang bebas dari KKN sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik dan berintegritas tinggi ternyata membuahkan hasil. Peningkatan prestasi indeks integritas nasional dalam pelayanan publik tahun 2011 dengan skor 3,15 mengalami kenaikan yang signifikan urutan keempat nasional pada tahun 2012 dengan perolehan skor sebesar 5,31.

Upaya perbaikan berupa strategi pemerintah kota metro dalam mewujudkan kota yang berintegritas tinggi dapat dilihat dari 5 aspek, yaitu privatisasi dan koporduksi, debirokratisasi, reorganisasi, manajemen publik yang efektif dan value for money. Dalam melaksanakan strateginya, ada kendala-kendala yang dihadapi oleh pemerintah kota Metro dalam mewujudkan kota yang berintegritas tinggi yaitu minimnya komitmen, minimnya kompetensi sumber daya, adanya budaya feodal, adanya budaya permisif dan adanya resistensi birokrasi. Dengan adanya strategi yang ditempuh oleh pemerintah kota Metro, maka akan tercipta sistem pemerintahan kota Metro yang bersih dan bebas KKN serta berintegritas tinggi.


(50)

39

Gambar 1. Alur Kerangka Pikir

Hasil Survey Indeks Integritas Nasional untuk layanan publik di daerah yang dilaksanakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Tahun 2011 yang menyatakan bahwa indeks integritas nasional pelayanan publik kota Metro bernilai buruk, di urutan terbawah dari 60 kota yang disurvei.

Strategi reformasi administrasi yang dikemukakan Caiden, meliputi:

a. Privatisasi dan koproduksi b. Debirokratisasi

c. Reorganisasi

d. Manajemen publik yang efektif

e. Value for money Strategi Pemerintah Kota Metro untuk

mewujudkan sistem pemerintahan yang bersih dan bebas KKN sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik dan berintegritas tinggi.

Terciptanya sistem pemerintahan kota Metro yang bersih dan bebas KKN serta berintegritas tinggi.

Kendala-kendala: a. Minimnya komitmen b. Minimnya kompetensi

sumber daya c. Budaya feodal d. Budaya permisif e. Resistensi birokrasi


(51)

III. METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Tipe Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan suatu fenomena atau kejadian dengan apa adanya, dan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Tipe penelitian ini menurut Bugdon dan Taylor dalam Moleong (2005:4) berupaya menggambarkan kejadian atau fenomena sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan, di mana data yang dihasilkan berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Data yang dikumpulkan tersebut berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Dengan demikian, penelitian deskriptif melakukan representasi objektif mengenai gejala-gejala yang terdapat di dalam masalah penelitian. Representasi itu dilakukan dengan cara mendeskripsikan gejala-gejala sebagai data atau fakta sebagaimana adanya.

Moleong mendefinisikan penelitian kualitataif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.


(52)

41

Lebih lanjut Sugiyono (2009:1) mengemukakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi. Penelitian ini lebih menekankan proses penelitian daripada hasil penelitian, sehingga bukan kebenaran mutlak yang dicari tetapi pemahaman mendalam tentang sesuatu. Dengan penelitian kualitatif, penelitian ini bermaksud memperoleh pemahaman menyeluruh dan mendalam mengenai strategi Pemerintah Kota Metro dalam mewujudkan kota yang berintegritas tinggi

B. Fokus Penelitian

Fokus penelitian bersifat penting dalam suatu penelitian kualitatif, karena hal ini berperan penting dalam memandu dan mengarahkan penelitian. Fokus penelitian dimaksudkan untuk membatasi penelitian guna memilih mana data yang relevan dan mana data yang tidak relevan (Moleong,2005). Melalui fokus penelitian, suatu informasi di lapangan dipilah-pilah sesuai dengan konteks permasalahan. Adapun yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis pelaksanaan strategi pemerintah kota Metro dalam mewujudkan kota yang berintegritas tinggi dengan teori strategi reformasi administrasi yang dikemukakan Caiden, meliputi:

a. Privatisasi dan koproduksi b. Debirokratisasi


(53)

c. Reorganisasi

d. Manajemen publik yang efektif e. Value for money

2. Kendala-kendala yang dihadapi oleh pemerintah kota Metro dalam mewujudkan kota yang berintegritas tinggi:

a. Minimnya komitmen

b. Minimnya kompetensi sumber daya c. Budaya feodal

d. Budaya permisif e. Resistensi birokrasi

C. Lokasi Penelitian

Lokasi yang diambil dalam penelitian ini ditentukan dengan sengaja (purposive). Lokasi penelitian adalah tempat di mana peneliti melakukan penelitian dalam melihat fenomena atau peristiwa yang sebenarnya terjadi dari objek yang diteliti dalam rangka mendapatkan data-data penelitian yang akurat. Penelitian ini berlokasi di Pemerintahan Kota Metro. Pemilihan lokasi penelitian di Pemerintahan Kota Metro dengan alasan karena langkah-langkah yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Metro untuk memperbaiki pelayanan publik dan meningkatkan nilai integritas nasional layanan publik cukup berhasil, sehingga hal imi menarik perhatian peneliti untuk meneliti lebih lanjut mengenai strategi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Metro dalam mewujudkan kota yang berintegritas tinggi. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan dan contoh bagi kabupaten dan kota lainnya dalam memperbaiki sistem


(54)

43

pemerintahan dan lingkungan birokrasi publik yang bebas dari KKN yang dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik dan meningkatkan nilai integritas nasional.

D. Sumber Data

Menurut Lofland dan Lofland ( Moleong, 2007:157) sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan yang didapat dari informan melalui wawancara, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Untuk mendapatkan data dan informasi maka informan dalam penelitian ini ditentukan secara purposive atau sengaja dimana informan telah ditetapkan sebelumnya.

Sumber-sumber data dalam penelitian ini adalah: 1. Informan

Sumber data ini merupakan orang-orang terlibat atau mengalami proses pelaksanaan dan perumusan program di lokasi penelitian. Informan yang akan dimintai informasi dalam penelitian ini meliputi:

1) Bapak Drs. R. Haru Nurdi selaku Kepala Bagian Organisasi Sekretariat Pemerintah Daerah Kota Metro sekaligus Sekretaris Satuan Tugas (Satgas) Peningkatan Pelayanan Publik

2) Bapak I Made Wiryana, S.Sos. selaku Kasubbag Kepegawaian dan Pemberdayaan Aparatur Bagian Organisasi Sekretariat Daerah Kota Metro 3) Bapak Rubiyo, selaku Sekretaris Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil

Kota Metro

4) Ibu Juni Kuswati, S.H. selaku Kepala Kantor Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (KPMPTSP) Kota Metro


(1)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan pada bab sebelumnya terkait strategi pemerintah kota Metro dalam mewujudkan kota yang berintegritas tinggi, maka dapat disimpulkan bahwa strategi pemerintah kota Metro untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik dalam mewujudkan kota yang berintegritas tinggi sudah dilakukan dengan cukup baik, hal ini dapat dilihat dari berbagai upaya yang dilakukan pemerintah yang dianalisis melalui strategi reformasi administrasi yaitu: (a) privatisasi dan koproduksi, (b) debirokratisasi, (c) reorganisasi, (d) manajemen publik yang efektif dan (e) value for money. Selanjutnya, kendala-kendala yang dihadapi oleh pemerintah kota Metro dalam mewujudkan kota yang berintegritas tinggi, yaitu: (a) minimnya komitmen, (b) minimnya kompetensi sumber daya, (c) adanya budaya feodal, (d) adanya budaya permisif dan (e) resistensi birokrasi.

Keberhasilan pemerintah kota Metro dalam memperbaiki kualitas pelayanan publik sehingga dapat meningkatkan nilai indeks integritas nasional dan mewujudkan kota Metro sebagai kota yang berintegritas tinggi tidak lepas dari peran serta Walikota Metro sebagai kepala daerah. Predikat pelayanan publik terburuk dalam survei indeks integritas nasional tahun 2011 tidak lantas membuat


(2)

147

Walikota Metro berdiam diri. Segala bentuk perbaikan dilakukan untuk memperbaiki wajah pelayanan publik di kota Metro. Ketegasan dan keberanian Walikota Metro dalam mengambil keputusan untuk melakukan reformasi pelayanan publik patut diacungi jempol. Berbagai upaya dilakukan untuk mereformasi pelayanan publik, sehingga pelayanan publik menjadi lebih mudah dan cepat. Ketegasan dan keberanian Walikota Metro inilah yang menjadi penting dan menarik untuk dijadikan contoh agar kepala daerah lainnya juga dapat melakukan perubahan demi terwujudnya good governance.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dikemukakan saran sebagai berikut:

1. Perlunya komitmen integritas yang tinggi dari seluruh aparat pemerintah daerah kota Metro yang dapat diwujudkan melalui pengawasan yang lebih ketat terhadap kinerja aparat pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah kota Metro sehingga dapat meningkatkan komitmen aparat pemerintah untuk mewujudkan kota Metro sebagai kota yang berintegritas tinggi.

2. Menggalakkan sosialisasi besar-besaran kepada masyarakat kota Metro tentang mudahnya pelayanan di kota Metro dan larangan pemberian gratifikasi kepada petugas pemberi layanan agar masyarakat sadar akan pentingnya pengurusan pelayanan sendiri dan menghilangkan budaya gratifikasi tersebut.


(3)

148

3. Memperketat kembali prosedur pelayanan publik dan pemberian sanksi yang tegas kepada oknum perantara yang masih menawarkan jasanya kepada masyarakat.

4. Adanya perbaikan fasilitas pelayanan publik di tempat-tempat yang masih belum memadai, seperti di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Metro yang memerlukan pembangunan aula dalam mendukung proses penyelenggaraan pelayanan publik.

5. Pembinaan yang lebih rutin lagi dari Walikota Metro dan Satgas Peningkatan Pelayanan Publik kepada seluruh petugas pelayanan publik melalui coffee morning dan rapat kordinasi agar dapat melayani masyarakat dengan baik dan mencegah adanya oknum internal di lingkungan organisasi publik.

6. Membuat skala prioritas terhadap kegiatan-kegiatan pemerintahan daerah kota Metro yang akam dilaksanakan, sehingga kegiatan-kegiatan pemerintahan akan dilaksanakan berdasarkan urutan prioritasnya, hal ini dilakukan untuk mengantisipasi adanya pemborosan dalam penggunaan APBD Kota Metro.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Affifudin.2010.Pengantar Administrasi Pembangunan.Bandung: Alfabeta Caiden, Gerald E.1991.Administrative Reforms Comes Of Ages.New York:

Walter The Gruyter

Effendy, Marwan.2010.Reformasi Pelayanan Sektor Publik Merupakan Bagian dari Penanggulangan Korupsi secara Integral dan Sistemik. Universitas Tulang Bawang Lampung

Eko B. Sulistio dan Moh. Waspa K.B.2009.Birokrasi Publik, perspektif ilmu administrasi publik.Metro: STISIPOL Dharma Wacana Metro

Falih Suaedi dan Bintoro Wardiyanto.2010.Revitalisasi Administrasi Negara, Reformasi Birokrasi dan E-Governance.Yogyakarta: Graha Ilmu

Jahja, Juni Sjahfrien.2012.Say No To Korupsi, mengenal, mencegah, & memberantas Korupsi di Indonesia.Jakarta: Visimedia

Kansil, C.S.T.2003.Bersih dan Bebas KKN.Jakarta: PT Perca

Katharina, Riris.2013. Reformasi Administrasi Melalui Perampingan Organisasi Birokrasi.Jurnal Administrasi Negara Vol. V, No. 05/I/P3DI/Maret/2013 Moeljarto.1995.Politik Pembangunan, sebuah analisis, arah dan strategi.

Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya

Moleong, Lexy J.2005.Metode Penelitian Kualitatif.Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Pope, Jeremy.2003.Strategi Memberantas Korupsi, Elemen Sistem Integritas Nasional.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Santosa, Pandji.2009.Administrasi Publik, Teori dan Aplikasi Good Governance.Bandung: PT Refika Aditama

Sedarmayanti.2009.Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa Depan.Bandung: PT Refika Aditama


(5)

Siagian, Sondang, P.1999.Administrasi Pembangunan, Konsep, Dimensi dan Strateginya.Jakarta: PT. Bumi Aksara

Sugiyono.2009.Memahami Penelitian Kualitatif.Bandung: Alfabeta Tunner Mark dan David Hulme.1997.Governance, Administration and

Development: Making the State Work. London: Macmillan Press Ltd. Wahyudi Kumorotomo dan Agus Pramusinto.2007.Governance Reform di

Indonesia: Mencari Arah kelembagaan Politik yang Demokratis dan Birokrasi yang Profesional.Yogyakarta: Penerbit Gaya Media dan MAP UGM

Wibawa, Samodra.2009. Administrasi Negara Isu-isu Kontemporer.Yogyakarta: Graha Ilmu

Zauhar, Soesilo.2007.Reformasi Administrasi, Konsep, Dimensi, dan Strategi. Jakarta: PT. Bumi Aksara

Dokumen :

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Pasal 23 Undang-Undang RI Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014.

Progress Report (1) Penyelenggaraan Pelayanan Publik Kota Metro Progress Report (2) Penyelenggaraan Pelayanan Publik Kota Metro


(6)

Progress Report (3) Penyelenggaraan Pelayanan Publik Kota Metro Progress Report (4) Penyelenggaraan Pelayanan Publik Kota Metro Progress Report (5) Penyelenggaraan Pelayanan Publik Kota Metro Progress Report (6) Penyelenggaraan Pelayanan Publik Kota Metro

Profil Kantor Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (KPMPTSP) Kota Metro

Surat Keputusan Gubernur Nomor: G/530/B.II/HK/2009 tentang Peresmian Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tahun 2009-2014 dan Peresmian Pemberhentian Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Metro Hasil Pemilihan Umum Tahun 2004, komposisi keanggotaan DPRD Kota Metro

Sumber Lain :

Harian Lampost, 4 Juni 2012 Harian Lampost, 5 Juni 2012

http://lampung.tribunnews.com/2012/06/04/pemprov-dukung-metro-zona-bebas-korupsi diakses 28 November 2012

http://lampung.tribunnews.com/2012/06/06/wtp-murni-metro-merupakan-peningkatan diakses 28 November 2012

http://www.antaralampung.com/print/264416/metro-menuju-kota-berintegritas-tinggi diakses 19 April 2013

WWW.METROKOTA.GO.ID/ diakses 25 Juni 2013

http://febrybudianto.wordpress.com/2010/02/17/reformasi-birokrasi/ diakses 10 September 2013

http://www.antikorupsi.org/id/content/kendala-reformasi-birokrasi diakses 10 September 2013