Analisis Pertimbangan Hakim dalam Memberi Izin untuk

41 hakim melihat lebih banyak dari aspek sosialnya dibandingankan pada putusan PN No 115pdt.P2008PN.Ska dan PN No 421pdt.P2013PN.Ska. Peneliti menggunakan alasan tersebut karena menurut peneliti didalam putusan permohonan perkawinan beda agama, pertimbangan menggunakan aspek sosial dirasa lebih tepat dibandingkan pertimbangan yang tidak menggunakan aspek sosial melainkan hanya melihat dari aspek yuridis. Hal tersebut dikarenakan belum adanya kepastian hukum tentang perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda.

2. Analisis Pertimbangan Hakim dalam Memberi Izin untuk

Melangsungkan Perkawinan Beda Agama a. Terhadap dasar hukum yang digunakan 1 Undang-Undang Hukum Perdata, HOCI Stbl. 1993 No.74 Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen, Peraturan Perkawinan Campuran Regeling op de gemengde Huwelijke Stbl 1898 No. 158 dan Pasal 66 UU Perkawinan Tahun 1974 Digunakan sebagai dasar hukum bagi putusan no. 115 dan 04 Dasar hukum ini berisikan petunjuk bahwa perkawinan antar umat yang berbeda agama dapat dilaksanakan di Catatan Sipil. Mengapa dasar hukum ini digunakan karena memang Undang-undang ini masih berlaku berhubung Pasal 66 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang memungkinkan berlaku selama mengatur hal yang belum diatur dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Dengan demikian ini menunjukkan bahwa perkawinan oleh mereka yang 42 berbeda agama tidaklah dilarang dan dapat dilangsungkan di Catatan Sipil. Jadi tidaklah bisa dikatakan bahwa perkawinan antar mereka yang berbeda agama itu dilarang. 2 Penggunaan dasar hukum Pasal 29 UUD 1945 dan Piagam PBB tahun 1948 dan UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 10 ayat 1 Hendak menunjukkan bahwa memeluk agama merupakan hak azasi manusia karena itu kebebasan memeluk dan mempertahankan agamanya adalah hak setiap orang, jika mereka-mereka ini akan kawin tidak harus dibatasi, sehingga penggunaan dasar hukum ini tidaklah keliru dan telah sesuai dengan hukum. 3 Pasal 8 UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal ini memuat alasan-alasan larangan perkawinan. Pengaturan pada pasal ini harus difahami sebagai larangan yang sifatnya limitatif. Artinya larangan yang dituliskan di pasal ini tak boleh dilanggar. Sementara perbedaan agama di pasal ini termasuk yang tidak di larang karena tidak termasuk yang disebutkan. Bila melihat huruf f Pasal 8 UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 berbunyi perkawinan di larang antar orang-orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan yang berlaku dilarang kawin, secara gramatikal tidaklah menunjuk pada perbedaan agama dilarang untuk melakukan perkawinan. 4 Pasal 35 UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. 43 Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi: Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan adalah yang dimaksud dengan ”Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama. Penggunaan dasar hukum ini adalah dalam rangka untuk menguatkan bahwa perkawinan oleh mereka yang berbeda agama tidaklah dilarang dan dapat ditetapkan oleh Pengadilan. Jadi tidaklah bisa dikatakan bahwa perkawinan antar mereka yang berbeda agama itu dilarang. b. Terhadap pertimbangan hakim Putusan No. 115 dan 04 sama-sama memberi pertimbangan bahwa sepakat untuk melaksanakan kawin berbeda agama dan tidak hendak melepaskan agamanya sesuai dengan dasar hukum yang digunakan diatas yaitu 1 Undang-Undang Hukum Perdata, HOCI Stbl. 1993 No.74 Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen, Peraturan Perkawinan Campuran Regeling op de gemengde Huwelijke Stbl 1898 No. 158 dan Pasal 66 UU Perkawinan Tahun 1974; 2 Pasal 29 UUD 1945 dan Piagam PBB tahun 1948 dan UU No 39 tahun 1999 tentang HAM pasal 10 ayat 1; 3 Pasal 8 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974; 4 Pasal 35 UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan di atas, dengan demikian antara dasar hukum dan pertimbangan hakim tersebut sesuai dengan hukumnya bahwa 44 perkawinan beda agama tidak dilarang oleh peraturan perundangan di Indonesia. Hakim-hakim tersebut menggunakan dasar hukum dan membuat pertimbangan berdasarkan pada dasar hukum yang komprehensif. Dasar hukum yang digunakan tidak hanya mengacu kepada satu sumber peraturan perundang-undangan, melainkan secara menyeluruh. Hal ini disebabkan perkawinan beda agama melibatkan banyak institusi, seperti lembaga lintas keagamaan, pengadilan, PBB yang terkait dengan hak asasi manusia, administrasi kependudukan, dan lembaga masyarakat lainnya.

3. Perbedaan-Perbedaan Dasar Hukum dan Pertimbangan Hakim