Fisiologi adaptasi Sorgum terhadap toksisitas aluminium dan defisiensi fosfor di tanah masam

(1)

FISIOLOGI ADAPTASI SORGUM

(

Sorghum bicolor

L. Moench) TERHADAP TOKSISITAS

ALUMINIUM DAN DEFISIENSI FOSFOR DI TANAH MASAM

KARLIN AGUSTINA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi ”Fisiologi Adaptasi Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) terhadap Toksisitas Aluminium dan Defisiensi Fosfor di Tanah Masam” merupakan hasil penelitian saya dengan

arahan dari komisi pembimbing. Disertasi ini disusun dari sebagian hasil penelitian payung Hibah Penelitian Tim Pascasarjana (HPTP) yang berjudul

”Pengembangan Sorgum Manis (Sorghum bicolor L. Moench) untuk Bioetanol di

Lahan Kering Bertanah Masam: Fisiologi, Genetika dan Pemuliaan” yang diketuai

oleh Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc. Disertasi ini belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2011

Karlin Agustina


(3)

ABSTRACT

KARLIN AGUSTINA. Physiological Adaptation of Sorgum (Sorghum bicolor

(L.)Moench) to Aluminum Toxicity and Phosphorous Deficiency in Acid Soils. Under direction of DIDY SOPANDIE, TRIKOESOEMANINGTYAS, and DESTA WIRNAS.

Sorghum (Sorghum bicolor (L) Moench) is an ideal crop to be developed as food diversification and source of bioethanol in Indonesia because this crop has high adaptability to be grown in dry lands. From a total of 148.2 millions ha dry land in Indonesia, an estimated are of 108 millions ha are acid soil (ultisols). Acid soils have low fertility and Al toxicity which are major constraints for crop production in acid soil. For sorghum production in acid dry lands, sorghum varieties having high adaptation to acid soil have to be developed. The objectives of this study was to obtain complete information about the physiological

adaptation to aluminum toxicity and phosphorus deficiency which can be used as the character selection in breeding program to obtain the tolerant sorghum in acid soils. The genotypes used was Numbu (Tolerant), ZH-30-29-07 (Tolerant), B-69 (sensitive) and B-75 (sensitive) from selected on acid soils in Lampung. The study on physiological mechanism of sorghum adaptation to acid soils has

resulted in information that the main limiting factor in soghum growth in acid soil was phosphorous deficiency. Under sufficient P, without liming, the sensitive genotype produced similar yield. The tolerant genotype, Numbu and ZH30-29-07 showed higher ability to maintain root growth under Al stress and P deficiency. The tolerant genotypes also showed higher ability to absorp nutient under low P condition compared to sensitive genotypes. The lowest concentration of 74 μM Al can reduce the growth in all genotypes tested. The longer the sorghum roots exposed to the stress, the higher the value of scoring and the accumulation of aluminum in the roots under Al toxicity. Sorghum genotypes had specific absorption rate was high, but it was not followed by increasing of roots length, roots dry weight and shoot dry weight. Specific absorption rate is more affected by Al stress rather than increasing level of P. Genotype ZH-30-29-07 were tolerant in identified in acid soils showed the moderate response to Al toxicity in nutrient solution. The higher aluminum concentration leading to greater plant growth inhibition. The tolerant genotypes had the internal mechanism (tolerance) in the face under low P condition by increasing the efficiency of internal

phosphor (interrelated), otherwise the sensitive genotype had the external

mechanism (avoidance) through increased P absorption or total P . There was no relationship between the use efficiency of P with total P content of plant both in testing using the acid soils in rhizotron and nutrient solution.


(4)

KARLIN AGUSTINA. Fisiologi Adaptasi Sorgum (Sorghum bicolor (L) Moench) Terhadap Toksisitas Aluminium dan Defisiensi Fosfor di Tanah Masam. Dibimbing oleh DIDY SOPANDIE, TRIKOESOEMANINGTYAS dan DESTA WIRNAS.

Sorgum (Sorghum bicolor (L) Moench) ideal dikembangkan sebagai sumber bahan makanan untuk diversifikasi pangan dan bahan baku bioetanol di Indonesia, karena tanaman ini mempunyai kesesuaian yang tinggi untuk dikembangkan di lahan kering. Dari total luas lahan Indonesia yang mencapai 188.2 juta ha,148 juta ha di antaranya merupakan lahan kering yang diperkirakan 102.8 juta ha di antaranya berupa lahan kering bertanah masam (ultisols). Lahan-lahan bertanah masam mempunyai tingkat kesuburan tanah yang rendah dan keracunan Al yang menjadi kendala dalam produksi tanaman. Untuk mencapai tujuan pengembangan sorgum di lahan kering bertanah masam diperlukan upaya mengembangkan varietas-varietas sorgum yang beradaptasi pada kondisi agroekologi lahan kering bertanah masam.

Tujuan penelitian adalah (1) untuk memperoleh informasi tentang tanggap agronomi genotipe sorgum terhadap pertumbuhan dan produksi pada kondisi cekaman Al dan defisiensi fosfor di tanah masam, (2) memperoleh informasi tentang adaptasi sorgum terhadap cekaman Al di larutan hara, (3) memperoleh informasi tentang tanggap morfofisiologi akar sorgum di tanah masam dalam rhizotron, (4) memperoleh informasi tentang mekanisme yang mungkin terjadi yang dapat mendasari perbedaan efisiensi P dalam keadaan tercekam Al baik melalui penilaian serapan P maupun penilaian penggunaan P, (5) memperoleh informasi mengenai distribusi dan akumulasi Al dalam akar sorgum serta kemampuan akar memperbaiki kerusakan akibat cekaman Al, dan (6) mengidentifikasi karakter-karakter tanaman yang berkaitan dengan toleransi terhadap toksisitas Al dan defisiensi P, yang dapat digunakan sebagai karakter untuk seleksi dalam rangka pengembangan tanaman sorgum di tanah masam.

Penelitian dilaksanakan secara terpadu mulai dari lapangan, rumah kaca dan laboratorium. Penelitian lapang dilaksanakan di tanah kering masam di Jasinga Kabupaten Bogor. Rancangan penelitian yang digunakan adalah split plot dengan tiga ulangan. Faktor perlakuan yang digunakan adalah kondisi tanah masam dengan Al tinggi dan Al rendah serta genotipe sorgum. Genotipe yang digunakan adalah dua genotipe toleran yaitu Numbu dan ZH-30-29-07 serta dua genotipe peka yaitu B-69 dan B-75 hasil seleksi Sungkono (2007) di tanah masam Lampung.

Penelitian di rumah kaca dilaksanakan di Kebun Percobaan University Farm IPB Cikabayan Bogor. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap faktorial (RAL) untuk percobaan di larutan hara, percobaan menggunakan rhizotron, pengujian laju serapan spesifik P dan analisis root regrowth. Sedangkan percobaan untuk mengetahui distribusi dan akumulasi Al dalam akar sorgum dilaksanakan di Laboratorium Micro Technique Fakultas Pertanian IPB. Penelitian di rumah kaca dan laboratorium menggunakan genotipe sorgum yang sama seperti yang digunakan pada penelitian lapangan.


(5)

v Hasil penelitian menunjukkan cekaman Al dan defisiensi P merupakan faktor pembatas pertumbuhan di tanah masam. Pemberian kapur saja tanpa diikuti peningkatan dosis pupuk P hanya mampu meningkatkan bobot kering tajuk dan komponen hasil sorgum di tanah masam untuk genotipe toleran, tetapi untuk genotipe peka harus diikuti dengan peningkatan dosis pupuk P. Bobot kering tajuk, padatan terlarut total dan bobot 1000 biji berkorelasi tinggi terhadap produksi sorgum di tanah masam.

Konsentrasi Al 74 μM mampu menurunkan pertumbuhan pada semua genotipe yang diuji, tetapi pada Numbu baru terlihat penurunan nyata pada konsentrasi 148 μM Al. Genotipe ZH-30-29-07 yang teridentifikasi toleran di tanah masam menunjukkan respon moderat terhadap toksisitas Al di larutan hara. Semakin tinggi konsentrasi Al, semakin besar hambatan pertumbuhan tanaman.

Pengujian menggunakan rhizotron menunjukkan diameter penyebaran akar yang tidak berbeda antara sorgum toleran dan peka pada kondisi optimal. Genotipe B-75 memiliki kadar P jaringan tinggi pada media tanah masam, akan tetapi nilai efisiensi penggunaan hara P nya lebih rendah daripada tanaman toleran. Hasil analisis kadar P jaringan dan efisiensi penggunaan ini menunjukkan bahwa genotipe toleran memiliki mekanisme internal (toleransi) dalam menghadapi cekaman P rendah dengan meningkatkan efisiensi penggunaan P internal (interrelated), sebaliknya genotipe peka memiliki mekanisme eksternal (penghindaran) melalui peningkatan serapan P atau kadar P total jaringan. Kadar P jaringan dan efisiensi penggunaan P berkorelasi tinggi dengan diameter akar dan pembentukan biomassa tanaman.

Pada kondisi bercekaman Al, genotipe sorgum memiliki laju serapan spesifik P yang tinggi, tetapi tidak diikuti oleh adanya peningkatan panjang dan bobot kering akar maupun tajuk. Genotipe peka memiliki total serapan P tinggi, tetapi memiliki efisiensi penggunaan P lebih rendah daripada genotipe toleran. Hasil ini sejalan dengan pengujian kemampuan memanfaatkan hara P pada media tanah masam. Laju serapan spesifik P lebih dipengaruhi oleh cekaman Al daripada peningkatan dosis P. Tidak ditemukan adanya hubungan antara efisiensi penggunaan P dengan kadar P total jaringan tanaman baik pada pengujian menggunakan media tanah masam dalam rhizotron maupun di larutan hara.

Metode pewarnaan hematoksilin dengan pengukuran intensitas pewarnaan melalui histokimia (sediaan mikroskopis) untuk melihat penetrasi dan distribusi Al ke dalam akar, dapat digunakan untuk melihat perbedaan toleransi sorgum terhadap Al. Batas konsentrasi tertinggi yang masih bisa ditolerir oleh genotipe sorgum adalah 74 μM Al dengan lama cekaman 24 jam. Semakin lama akar sorgum diberi cekaman, semakin tinggi nilai skoring dan akumulasi Al pada akar.

Cekaman Al tidak mempengaruhi munculnya akar sekunder pada genotipe toleran, tetapi sangat menghambat pertambahan panjang akar sekunder yang muncul pada perkembangan selanjutnya. Kerusakan akar akibat peningkatan konsentrasi Al hingga 148 μM masih mampu di recovery oleh Numbu, tetapi genotipe ZH-30-29-07, B-69 dan B-75 hanya mampu memunculkan kembali akar sekundernya pada konsentrasi cekaman Al 74 μM. Semakin tinggi konsentrasi cekaman Al, semakin berkurang kemampuan genotipe sorgum dalam menumbuhkan kembali akarnya.


(6)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

FISIOLOGI ADAPTASI SORGUM

(

Sorghum bicolor

L. Moench) TERHADAP TOKSISITAS

ALUMINIUM DAN DEFISIENSI FOSFOR DI TANAH MASAM

KARLIN AGUSTINA A.262070021/AGH

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Mayor Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011


(8)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup:

1. Dr. Ir. Ahmad Junaedi, M.Si 2. Dr. Ir. Komaruddin Idris, MS

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka:

1. Prof (R). Dr. Ir. Abdul Karim Makarim, M.Sc 2. Dr. Ir. Miftahudin, M.Si


(9)

Judul Disertasi : Fisiologi Adaptasi Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) terhadap Toksisitas Aluminium dan Defisiensi Fosfor di Tanah Masam

Nama Mahasiswa : Karlin Agustina NRP : A262070021

Mayor : Agronomi dan Hortikultura

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, MAgr. Ketua

Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc Dr. Desta Wirnas, SP, M.Si Anggota Anggota

Diketahui

Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Agronomi dan Hortikultura

Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr


(10)

Alhamdulillahirabbil ’alamin, segala puji syukur penulis panjatkn kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.

Disertasi berjudul Fisiologi Adaptasi Sorgum (Sorghum Bicolor L. Moench) terhadap Toksisitas Aluminium dan Defisiensi Fosfor di Tanah Masam disusun berdasarkan 6 (enam) topik hasil penelitian yang dilaksanakan secara terpadu. Keenam topik ini merupakan satu kesatuan penelitian Land to Lab

yang bertujuan untuk mendapatkan informasi dari bidang kajian fisiologi tentang kemampuan sorgum beradaptasi pada kondisi tercekam Al dan defisiensi P.

Disertasi ini disusun dari sebagian hasil penelitian payung Hibah

Penelitian Tim Pascasarjana (HPTP) yang berjudul ”Pengembangan Sorgum

Manis (Sorghum bicolor L. Moench) untuk Bioetanol di Lahan Kering Bertanah Masam: Fisiologi, Genetika dan Pemuliaan” yang diketuai oleh Dr.Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc. Hasil penelitian ini telah dipublikasikan pada jurnal Agronomi Indonesia (terakreditasi) No.38 (2):88-94 (2010). Telah dipresentasikan pada Seminar Nasional PERAGI di Medan pada bulan Oktober 2009 dan memenangkan dana Hibah untuk diterbitkan pada jurnal berskala Internasional. Telah dipresentasikan juga di Maros Sulawesi Selatan pada acara Pekan Serealia Nasional I bulan Juli 2010. Topik penelitian mengenai análisis root regrowth dan uji pewarnaan hematoksilin juga telah terseleksi oleh DP2M DIKTI sebagai penelitian berpotensi paten dan telah diikutsertakan dalam program Pelatihan Pemanfaatan Hasil Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Kreativitas Mahasiswa Berpotensi Paten yang diselenggarakan pada tanggal 10 – 12 Maret 2011 di Jakarta.

Dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian studi, penulis banyak mendapat bantuan baik dari perorangan maupun lembaga atau instansi tertentu. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan secara khusus kepada komisi pembimbing yang diketuai oleh Bapak Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr dan beranggotakan Ibu Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc dan Ibu Dr. Desta Wirnas, SP, M.Si.


(11)

xi Terima kasih disampaikan juga kepada Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya dan Dr. Ir. Anas D.Susila atas kesediaan sebagai penguji luar komisi pada ujian prakuallifikasi. Kepada Dr. Ir. Ahmad Junaedi, M.Si dan Dr. Ir. Komaruddin Idris, MS disampaikan terima kasih atas kesediaan sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup, dan kepada Prof (R). Dr. Ir. Abdul Karim Makarim, M.Sc dan Dr. Ir. Miftahudin, M.Si sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka.

Terima kasih juga disampaikan kepada DITJENDIKTI KEMDIKNAS atas bantuan beasiswa BPPS, bantuan biaya penelitian dan penyelesaian studi melalui program Hibah Penelitian Tim Pascasarjan (HPTP) dan program Hibah Disertasi Doktor tahun 2010. Ucapan yang sama juga disampaikan kepada Pemda Provinsi Sumatera Selatan atas dukungan dana penelitian dan penyelesaian studi melalui program Beasiswa Kemitraan Daerah tahun 2010-2011.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada PATIR-BATAN, UPTD Lahan kering Tenjo, Kebun percobaan University Farm IPB, Laboratorium RGCI, Laboratorium Micro Tehnique IPB, Laboratorium Puslit Tanah dan Laboratorium SEAMEO BIOTROP sebagai unit kerja dan lembaga yang telah banyak membantu terlaksananya penelitian ini dengan baik dan lancar.

Kepada Pengurus Yayasan IBA, Rektor Universitas IBA dan Dekan Fakultas Pertanian disampaikan ucapan terima kasih atas izin dan kesempatan untuk melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ucapan serupa disampaikan kepada teman-teman satu tim penelitian sorgum: Sungkono, Isnaini, Rahmansyah Dermawan, Sumiyati dan Winda yang telah banyak membantu pelaksanaan penelitian dan bertukar informasi hasil penelitian.

Akhirnya kepada Ibu Misdariyah dan Ayah Bastomi Amin kedua orang tuaku, terima kasih tak terhingga atas kasih sayang dan doa yang tak pernah putus. Kepada Ade Munirwan, SE suamiku, dan anak-anakku Agung Anggana Ajie dan Zhafir Afla Raihan terima kasih atas segala kesabaran, keikhlasan dorongan serta doa kalian. Terima kasih juga disampaikan kepada semua saudaraku dan semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penulisan disertasi.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2011


(12)

Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 13 Agustus 1968 merupakan anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Bastomi Amin dan Ibu Misdaryah. Menikah dengan Ade Munirwan,SE dan dikaruniai dua anak laki-laki, Agung Anggana Ajie (17 tahun) dan Zhafir Afla Raihan (8 tahun).

Penulis menamatkan pendidikan formal di SDN 134 Palembang tahun 1981, SMPN 4 Palembang tahun 1984, dan SMAN 5 Palembang pada tahun 1987. Penulis mendapatkan gelar Sarjana Pertanian (Ir.) di Fakultas Pertanian Universitas IBA Palembang dengan bidang Budidaya Pertanian pada tahun 1992. Tahun 1995 penulis melanjutkan pendidikan ke Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Agronomi, dan menyelesaikannya pada tahun 1998. Tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan Program Doktor di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan biaya pendidikan dari BPPS DITJENDIKTI.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar Kopertis Wilayah II Palembang dipekerjakan di Fakultas Pertanian Universitas IBA Palembang pada program studi Agroteknologi sejak tahun 1994.

Selama mengikuti Program S3, penulis pernah menjadi bendahara Forum Mahasiswa Pascasarjana (FORSCA) Departeman AGH dan bendahara pada FORUM WACANA IPB periode 2008-2009. Pada bulan Juli 2009 penulis juga berkesempatan mengikuti program International Round Table Discussion on Globalization, Poverty and Food di Universiti Putra Malaysia (UPM) dan Centre for Postgraduate Studies, International Islamic University Malaysia (IIUM).


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL...……… xiv

DAFTAR GAMBAR... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xxii

PENDAHULUAN... Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

Kerangka dan Ruang Lingkup Penelitian... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 6

Morfologi dan Fisiologi Sorgum ... 6 Karakteristik Tanah Masam ... Pengaruh Cekaman Aluminium terhadap Tanaman ... Mekanisme Fisiologi Tanaman terhadap Cekaman Aluminium... Interaksi Fosfor dengan Aluminium... Fungsi dan Gejala Defisiensi Fosfor ... Mekanisme Toleransi Tanaman terhadap Defisiensi Fosfor ...

7 8 10 15 16 18 TANGGAP AGRONOMI SORGUM (Sorghum bicolor L. Moench)

TERHADAP CEKAMAN ALUMINIUM DAN DEFISIENSI FOSFOR DI TANAH MASAM... Pendahuluan... . Bahan dan Metode ...

25 26 27 Hasil dan Pembahasan... Kesimpulan ...

29 44 TOLERANSI SORGUM (Sorghum bicolor L. Moench) TERHADAP

CEKAMAN ALUMINIUM DI LARUTAN HARA ... Pendahuluan... Bahan dan Metode... Hasil dan Pembahasan ... Kesimpulan ... 45 45 48 49 61 TANGGAP MORFO-FISIOLOGIS AKAR SORGUM (Sorghum bicolor

L. Moench) TERHADAP CEKAMAN ALUMINIUM DAN DEFISIENSI FOSFOR DALAM RHIZOTRON ... Pendahuluan... Bahan dan Metode... Hasil dan Pembahasan ... Kesimpulan ... 62 63 65 67 77


(14)

LAJU SERAPAN SPESIFIK PADA SORGUM (Sorghum bicolor L. Moench) DALAM KONDISI BERCEKAMAN ALUMINIUM DAN DEFISIENSI FOSFOR DI LARUTAN HARA ... Pendahuluan... Bahan dan Metode... Hasil dan Pembahasan ... Kesimpulan ... 78 79 80 82 96 DISTRIBUSI DAN AKUMULASI ALUMINIUM PADA AKAR

SORGUM (Sorghum bicolor L. Moench) MELALUI UJI PEWARNAAN HEMATOKSILIN... ... Pendahuluan... Bahan dan Metode... Hasil dan Pembahasan ... Kesimpulan ... 97 98 99 101 113 ANALISIS ROOT REGROWTH AKAR SORGUM (Sorghum bicolor L.

Moench) TERHADAP CEKAMAN ALUMINIUM DI LARUTAN

HARA... ... Pendahuluan... Bahan dan Metode... Hasil dan Pembahasan ... Kesimpulan ... 114 115 116 117 122 PEMBAHASAN UMUM ... ... KESIMPULAN DAN SARAN... Kesimpulan ... Saran ... 123 130 130 131 DAFTAR PUSTAKA ... ... LAMPIRAN ...

132 141


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 1 Jenis-jenis asam organik yang dieksudasi tanaman dalam

hubungannya dengan toleransi terhadap Al... 11 2 Respon tanaman terhadap Defisiensi P... 20 1.1 Ciri kimia dan fisika contoh tanah pada lokasi penelitian ... 30 1.2 pitu Rekapitulasi analisis ragam pengaruh kondisi cekaman,

genotipe dan interaksi antara kondisi cekaman dan genotipe terhadap pertumbuhan dan produksi sorgum di tanah

masam... 32 1.3 Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot kering tajuk pada

berbagai kondisi cekaman ... 34 1.4 Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot kering tajuk pada

kondisi cekaman Al tinggi di tanah masam ... 35 1.5 Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot kering tajuk pada

kondisi cekaman Al rendah di tanah masam... 35 1.6 Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot kering tajuk

terhadap pemberian pupuk P pada kondisi cekaman Al tinggi... 36 1.7 Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot kering tajuk

terhadap pemberian pupuk P pada kondisi cekaman Al rendah.. 36 1.8 Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot biji per tanaman

pada berbagai kondisi cekaman di tanah masam... 37 1.9

Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot biji pertanaman pada kondisi cekaman Al tinggi di tanah masam ... 38 1.10 Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot biji pertanaman

pada kondisi cekaman Al rendah di tanah masam... 38 1.11 Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot biji per tanaman

terhadap pemberian pupuk P pada kondisi cekaman Al tinggi .. 39 1.12 Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot biji per tanaman


(16)

1.13

Respon genotipe pada bobot 1000 biji sorgum terhadap berbagai kondisi cekaman Al dan pupuk P di tanah masam 40 1.14

1.15

Respon genotipe untuk karakter bobot 1000 biji terhadap pemberian pupuk P dengan kondisi cekaman Al tinggi... Respon genotipe untuk karakter bobot 1000 biji terhadap pemberian pupuk P dengan kondisi cekaman Al rendah...

40 40 1.16 Respon genotipe pada berbagai kondisi cekaman terhadap

padatan terlarut (PTT) dan gula total ... 41 1.17

.

Nilai padatan terlarut total empat genotipe sorgum di tanah

masam………... 41

1.18 .

Respon genotipe sorgum toleran dan peka terhadap kandungan gula total dan padatan terlarut total (PTT) batang sorgum di

tanah masam………. 42

1.19 1.20

Respon genotipe pada dua kondisi cekaman Al terhadap

kandungan padatan terlarut total (PTT)………

Nilai korelasi antara peubah pertumbuhan, produksi dan padatan terlarut total sorgum di tanah masam...

42 43 2.1 Rekapitulasi nilai analisis ragam pengaruh genotipe,

konsentrasi Al dan pengaruh interaksi antara pengaruh genotipe dan konsentrasi Al terhadap pertumbuhan pertumbuhan sorgum

di larutan hara ……….. 50

2.2 Respon genotipe sorgum pada berbagai konsentrasi cekaman Al

terhadap panjang akar dan panjang tajuk di larutan hara………. 52 2.3 Respon antar genotipe sorgum pada berbagai konsentrasi

cekaman Al di larutan hara ……… 53 2.4

2.5

Respon genotipe ZH-30-29-07 dan B-75 terhadap panjang akar dan panjang tajuk pada berbagai konsentrasi cekaman Al di

larutan hara ……….

Respon genotipe sorgum terhadap panjang akar pada berbagai konsentrasi cekaman Al ...

53 54 2.6 Respon genotipe sorgum terhadap panjang tajuk pada berbagai

konsentrasi cekaman Al ... 55 2.7 Bobot kering akar dan bobot kering tajuk sorgum fase bibit


(17)

xvii 2.8 Respon antar genotipe sorgum pada berbagai konsentrasi

cekaman Al di larutan hara ……… 57 2.9 Respon genotipe sorgum terhadap bobot kering akar pada

berbagai konsentrasi cekaman Al ... 57 2.10 Respon genotipe sorgum terhadap bobot kering tajuk pada

berbagai konsentrasi cekaman Al ... 58 2.11

2.12

Nilai rataan pengaruh genotipe dan konsentrasi cekaman Al terhadap panjang akar relatif dan Bobot tajuk relatifsorgum

pada fase bibit ………..

Nilai korelasi antar peubah panjang akar, bobot kering tajuk,

panjang tajuk dan bobot kering akar ………

60 61 3.1 Rekapitulasi nilai analisis ragam pengaruh genotipe,

konsentrasi Al dan interaksi antara pengaruh genotipe dan konsentrasi Al terhadap pertumbuhan sorgum di dalam

rhizotron ………... 68

3.2 3.3

Rata-rata nilai pengaruh interaksi antara kondisi cekaman dan genotipe terhadap bobot kering total dalam rhizotron ... Respon genotipe sorgum pada berbagai kondisi cekaman P di tanah masam terhadap bobot kering total ..……….

69 70 3.4 Respon genotipe terhadap bobot kering total pada kondisi

cekaman Al tinggi dan Al rendah di tanah masam... 70 3.5 Rata-rata nilai terhadap peubah diameter sebaran akar, jumlah

akar primer, kadar P jaringan dan efisiensi penggunaan P (EPP) 71 3.6 Respon genotipe sorgum pada dua kondisi cekaman Al di tanah

masam terhadap diameter sebaran akar. jumlah akar primer, kadar P jaringan, dan efisiensi penggunaan P... 73 3.7 Respon karakter diameter sebaran akar, jumlah akar primer,

kadar P jaringan dan efisiensi penggunaan P genotipe sorgum terhadap pemberian pupuk P pada kondisi cekaman Al tinggi.... 73 3.8 Respon karakter diameter sebaran akar, jumlah akar primer,

kadar P jaringan dan efisiensi penggunaan P genotipe sorgum terhadap pemberian pupuk P pada kondisi cekaman Al rendah... 74 3.9 Nilai korelasi antara parameter kadar P jaringan, efisiensi


(18)

4.1

4.2

Rekapitulasi sidik ragam pengaruh genotipe, dan komposisi larutan hara serta interaksi antara genotipe dan komposisi

larutan hara terhadap pertumbuhan sorgum fase bibit ………….

Respon genotipe sorgum pada berbagai cekaman Al dan defisiensi P terhadap bobot kering total di larutan hara…………

83 84 4.3 Respon genotipe sorgum pada kondisi cekaman Al berbeda

terhadap bobot kering total di larutan hara ……….. 85 4.4 Respon pembentukan bobot kering total genotipe sorgum

terhadap pemberian pupuk P pada dua kondisi cekaman Al... 86 4.5

4.6

Nilai tengah pengaruh konsentrasi Al dan genotipe, terhadap nisbah tajuk akar sorgum fase bibit umur 14 HST di larutan hara ………... Rataan Laju Serapan Spesifik sorgum yang ditumbuhkan pada larutan hara dengan komposisi yang berbeda selama 14 hari…...

86 88 4.7 Respon genotipe sorgum pada kondisi cekaman Al dan hara P

berbeda terhadap laju serapan spesifik P di larutan hara……….. 89 4.8 Rataan Laju Serapan Spesifik pada sorgum toleran dan peka

yang ditumbuhkan pada larutan hara selama 14 hari…………... 90 4.9

4.10

Nilai rataan pengaruh komposisi larutan hara terhadap kadar P jaringan sorgum fase bibit umur 14 HST di larutan hara ……... Nilai rataan pengaruh genotipe terhadap kadar P jaringan sorgum fase bibit umur 14 HST di larutan hara………..

91 91 4.11

4.12

Nilai rataan efisiensi penggunaan P (mg.mg BK/mg P) dalam larutan hara dengan komposisi yang berbeda selama 14

hari………

Nilai rataan efisiensi penggunaan P (mg.mg BK/mg P) genotipe sorgum selama 14 hari ……….

92 93 4.13

4.14 4.15

Nilai rataan rasio efisiensi P (mg BK/mg P) dalam larutan

hara dengan komposisi yang berbeda selama 14 hari …………..

Nilai rataan rasio efisiensi P (mg BK/mg P) genotipe sorgum selama 14 hari di larutan hara………... Korelasi antara Efisiensi Penggunaan P (EPP), Kadar P Jaringan dan laju serapan spesifik sorgum umur 14 hari di

larutan hara ……….

94 94


(19)

xix 5.1 Rekapitulasi nilai sidik ragam pengaruh konsentrasi Al dan

genotipe, terhadap panjang akar dan nilai skoring warna sorgum

fase bibit pada lama cekaman Al 6 jam, 24 jam dan 48 jam…… 102 5.2 Nilai rataan pengaruh konsentrasi Al dan genotipe, terhadap

panjang akar sorgum selama 6 jam tercekam Al ... 102 5.3 Nilai rataan pengaruh konsentrasi Al dan genotipe, terhadap

panjang akar sorgum selama 24 jam tercekam Al ... 103 5.4

5.5

Nilai rataan pengaruh konsentrasi Al dan genotipe, terhadap panjang akar sorgum selama 48 jam tercekam Al ... Respon genotipe terhadap panjang akar pada konsentrasi dan lama cekaman Al berbeda...

103 104 5.6 Pengaruh konsentrasi Al dan genotipe, terhadap nilai kuantitatif

pewarnaan hematoksilin pada sorgum fase bibit dengan lama cekaman 6 jam ... 105 5.7 Pengaruh konsentrasi Al dan genotipe, terhadap nilai kuantitatif

pewarnaan hematoksilin pada sorgum fase bibit dengan lama cekaman 24 jam ... 105 5.8 Pengaruh konsentrasi Al dan genotipe, terhadap nilai kuantitatif

pewarnaan hematoksilin pada sorgum fase bibit dengan lama cekaman 48 jam ... 105 5.9 pengaruh konsentrasi cekaman Al terhadap skoring pewarnaan

hematoksilin pada sorgum dengan berbagai lama waktu cekaman ... 106 6.1 Rekapitulasi nilai sidik ragam pengaruh genotipe, dan

komposisi larutan hara terhadap pertumbuhan sorgum pada fase bibit ……….. 118 6.2 Nilai rataan pertambahan panjang akar, pertambahan volume

akar dan pertambahan panjang tajuk sorgum fase bibit pada berbagai genotipe ... 118 6.3 Nilai rataan pertambahan panjang akar, pertambahan volume

akar dan pertambahan panjang tajuk sorgum fase bibit pada berbagai konsentrasi Al... 119 6.4 Nilai korelasi antara parameter pertambahan panjang akar,

pertambahan volume akar dan pertambahan panjang tajuk sorgum ... 122


(20)

Gambar Halaman 1 Bagan alir penelitian mekanisme toleransi sorgum terhadap

toksisitas aluminium dan defisiensi fosfor untuk adaptasi di tanah masam……….

5 2 Mekanisme detoksifikasi Al dalam sel tanaman toleran Al ... 12 3 Pola-pola akumulasi Al di dalam akar jagung toleran Al... 13 4 Urutan gen-gen yang berubah ekspresinya saat terinduksi kahat P

secara hipotetik... 22 5

6

Sekresi S-APase dari akar white lupin yang ditumbuhkan pada kondisi P rendah……… Pola sekresi S-APase pada akar Wite Lupin setelah ditumbuhkan 25 hari dan dipindahkan ke larutan hara dengan P rendah dan P-cukup selama 24 jam……….. ………..

23 23 1.1

1.2

Kurva logaritmik erapan P contoh tanah dengan Al tinggi... Kurva logaritmik erapan P contoh tanah dengan Al rendah...

30 31 2.1

2.2

Respon genotipe sorgum terhadap cekaman Al di larutan hara (A) kontrol ( tanpa Al) dan (B) 222 μM Al , dari kiri ke kanan: Numbu, ZH-30-29-07, B-69 dan B-75 ……….

Respon genotipe tanaman terhadap berbagai tingkat konsentrasi Al (A) Numbu/ toleran dan (B) B-75/peka, dari kiri ke kanan: tanpa

Al, 74μM Al, 148 μMAl, dan 222μM Al………...

51 51 2.3 Panjang akar sorgum fase bibit pada berbagai konsentrasi Al di

larutan hara……….. 54

2.4 Panjang tajuk sorgum fase bibit pada berbagai konsentrasi Al di

larutan hara ………. 55

2.5 Bobot kering akar sorgum fase bibit pada berbagai konsentrasi Al

di larutan hara………. 58

2.6 Bobot kering tajuk sorgum fase bibit pada berbagai konsentrasi Al


(21)

xxi 3.1 Kondisi tanaman yang ditumbuhkan dalam media Al tinggi-tanpa P (R1),

Al tinggi-P kurang (R2), dan Al tinggi-P cukup (R3) pada tanaman toleran (T) dan tanaman peka (P) ... 74

3.2

3.3

Kondisi tanaman yang ditumbuhkan dalam media Al rendah-tanpa P (R4), Al rendah-P kurang (R5), dan Al rendah-P cukup (R6) pada tanaman toleran (T) dan t anaman peka (P) ...

Perbandingan morfologi akar sorgum yang ditumbuhkan dalam media Al tinggi - tanpa P (R1), Al tinggi - P kurang (R2), dan Al tinggi - P cukup (R3) pada tanaman toleran (T) dan peka (P) ...

75

76 3.4 Perbandingan morfologi akar sorgum yang ditumbuhkan dalam

media berAl rendah-tanpa P (R4), berAl rendah-P kurang (R5), dan berAl rendah-P cukup (R6) pada tanaman toleran (T) dan peka (P) 76 4.1

4.2

Kondisi sorgum peka (A) dan toleran (B) pada umur lima hari setelah di tumbuhkan di larutan hara dengan cekaman Al dan P

kurang……….

Pertumbuhan sorgum pada umur 14 hari dalam komposisi larutan hara yang berbeda (A) bercekaman Al-P kurang dan (B) bercekaman Al-P cukup………..

83

87 4.3 Pertumbuhan sorgum pada umur 14 hari dalam komposisi larutan

hara yang berbeda, (A) bercekaman Al-P cukup dan (B) tanpa cekaman Al-P cukup ……… 88 5.1 Perbandingan potongan melintang akar sorgum genotipe B-75

pada perlakuan 6 jam tercekam Al. A) 74μM Al, B) 148μM Al,

dan C) 222μM Al ………... 107 5.2

5.3

Genotipe B-69 pada perlakuan 6 jam tercekam Al. A) 74μM Al, B) 148μM Al, dan C) 222μM Al ………

Genotipe ZH-30-29-07 pada perlakuan 6 jam tercekam Al. A) 74μM Al, B) 148μM Al, dan C) 222μM Al ……….

107 108 5.4 Varietas Numbu pada perlakuan 6 jam tercekam Al. A) 74μM Al,

B) 148μM Al, dan C) 222μM Al ……….. 108 5.5

5.6

Potongan melintang akar sorgum genotipe B-75 pada perlakuan 24 jam tercekam Al. A) 74μM Al, B) 148μM Al, dan C) 222μM Al...

Genotipe B-69 pada perlakuan 24 jam tercekam Al. A) 74μM Al, B) 148μM Al, dan C) 222μM Al ...

109 110 5.7 Varietas Numbu pada perlakuan 24 jam tercekam Al. A) 74μM Al,


(22)

5.8 5.9

ZH-30-29-07 pada perlakuan 24 jam tercekam Al. A) 74μM Al, B) 148μM Al, dan C) 222μM Al………..

Perbandingan potongan melintang akar sorgum genotipe B-75 pada perlakuan 48 jam tercekam Al. A) 74μM Al, B) 148μM Al, dan C) 222μM Al ...

110

111 5.10 Genotipe B-69 pada perlakuan 48 jam tercekam Al. A) 74μM Al,

B) 148μM Al, dan C) 222μM Al... 111 5.11 Varietas Numbu pada perlakuan 48 jam tercekam Al. A) 74μM Al,

B) 148μM Al, dan C) 222μM Al………... 112 5.12 ZH-30-29-07 pada perlakuan 48 jam tercekam Al. A) 74μM Al, B)

148μM Al, dan C) 222μM Al ……… 112 6.1

6.2

Akar sorgum Numbu setelah ditumbuhkan kembali pada larutan tanpa Al. Perlakuan 74μM Al (A), 148μM Al (B), dan 222μM Al

(C) ………..

Akar sorgum ZH-30-29-07 setelah ditumbuhkan kembali pada

larutan tanpa Al. Perlakuan 74μM Al (A), 148μM Al (B), dan 222μM Al (C) ………

120

120 6.3 Perbandingan akar sorgum B-69 setelah ditumbuhkan kembali

pada larutan tanpa Al. Setelah perlakuan 74μM Al (A), 148μM Al (B), dan 222μM Al (C) ……….. 120 6.4 Perbandingan akar sorgum B-75 setelah ditumbuhkan kembali

pada larutan tanpa Al. Setelah perlakuan 74μM Al (A), 148μM Al (B), dan 222μM Al (C) ……….. 121 7 Pengelompokan empat genotipe sorgum berdasarkan efisiensi

penggunaan P pada kondisi bercekaman Al dan P rendah di larutan


(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman 1

2

Denah penelitian toleransi terhadap Al dan defisiensi di tanah masam Jasinga ... Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah (Pusat Penelitian Tanah, 1983) ...

141 142


(24)

Latar Belakang

Bahan pangan karbohidrat yang berasal dari komoditi tanaman pangan di negara kita masih berasal dari tanaman padi. Secara teoritis pemenuhan ketersediaan pangan dapat ditempuh melalui produksi domestik dan impor, namun bagi bangsa Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar dan tersebar di banyak kepulauan, pemenuhan kebutuhan yang mengandalkan impor akan menciptakan kerentanan ketahanan pangan nasional. Ketahanan pangan dapat dioptimalkan dengan mempercepat peningkatan diversifikasi konsumsi pangan (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 2007). Upaya diversifikasi pangan memberi dampak terhadap pengurangan konsumsi beras dan berkembangnya komoditi selain padi.

Salah satu tanaman pangan non beras yang telah diidentifikasi sangat cocok untuk agroklimat Indonesia dan mempunyai prospek sangat bagus untuk usaha agribisnis lainnya adalah sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) Sorgum merupakan tanaman serealia yang potensial untuk dibudidayakan dan dikembangkan khususnya pada daerah-daerah marjinal dan lahan kering di Indonesia. Keunggulan sorgum terletak pada daya adaptasi agroekologi yang luas, tahan terhadap kekeringan, produksi yang tinggi, dan kebutuhan input rendah.

Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1992) menyatakan, sorgum memiliki kandungan nutrisi yang tinggi sehingga sangat baik digunakan sebagai sumber bahan pangan maupun pakan ternak alternatif. Beberapa kandungan nilai gizi yang dimiliki sorgum melebihi kandungan yang dimiliki penghasil karbohidrat utama (beras) seperti protein, lemak, kalsium, besi, fosfor, dan vitamin B-1.

Menurut Rajvanshi dan Nimbkar (2001), Yudiarto (2006), Reddy dan Dar (2007), selain untuk pangan sorgum juga dapat dijadikan bahan baku bioenergi. Batang dan biji sorgum dapat dikonversi menjadi bioetanol melalui proses fermentasi. Di Amerika Serikat, India, dan Cina, sorgum digunakan sebagai bahan baku pembuatan bahan bakar bioetanol. Sorgum dapat pula dijadikan bahan baku industri bir, anggur (wine), sirup, lem, dan cat.


(25)

2 Bioetanol merupakan salah satu bahan bakar nabati dengan sumber bahan baku tanaman yang mengandung karbohidrat seperti tebu, jagung, ubi kayu dan sorgum. Produksi bahan bakar nabati semakin mendesak untuk terus ditingkatkan. Perpres Nomor 5 Tahun 2006 dan Inpres Nomor 1 Tahun 2006 menjadi dasar pengembangan sumber bahan baku untuk bahan bakar nabati dengan target minimal 5% terhadap total penggunaan energy mix atau setara dengan produksi 400.000 barel minyak per hari pada tahun 2025 (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 2007). Jika sepertiganya dipenuhi dengan bioetanol, maka harus diproduksi sekitar 9 juta kilo liter bioetanol kualitas bahan bakar pada tahun 2025. Peningkatan produksi bioetanol memerlukan pengembangan ketersediaan sorgum sebagai salah satu bahan bakunya.

Agar sorgum dapat sejajar dengan bahan pangan dan industri lainnya, perlu diupayakan peningkatan produksi melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi dapat dilaksanakan dengan memanfaatkan varietas unggul dan ekstensifikasi melalui perluasan areal penanaman dengan pemanfaatan lahan-lahan marjinal. Varietas unggul bisa didapatkan dengan program pemuliaan tanaman melalui perubahan susunan genetik yang diarahkan pada kondisi lingkungan. Varietas unggul yang dikembangkan harus disesuaikan dengan target area produksi.

Di Indonesia, kondisi lahan untuk pengembangan tanaman sebagian besar merupakan lahan marjinal yang kering dan bersifat masam. Kendala utama pengembangan tanaman pada tanah masam adalah cekaman aluminium dan kurangnya unsur hara makro terutama fosfor (Taylor 1991). Menurut Sopandie (2006), perbaikan tanaman pada lahan marjinal sangat memerlukan pemahaman tentang mekanisme yang berperan dalam peningkatan potensi hasil (yield potential) dan adaptasi tanaman terhadap berbagai cekaman lingkungan abiotik. Pendekatan fisiologi untuk perbaikan potensi hasil dapat dilakukan melalui perbaikan indeks panen (harvest indeks), efisiensi penggunaan hara, efisiensi fotosintesis, serta keseimbangan source-sink.

Secara umum, tujuan penelitian ini adalah mendapatkan informasi tentang adaptasi sorgum terhadap cekaman aluminium dan defisiensi fosfor untuk pengembangan varietas sorgum agar dapat beradaptasi di lahan kering masam.


(26)

Penelitian ini menjadi penting karena masih terbatasnya informasi mengenai mekanisme toleransi sorgum terhadap cekaman aluminium dan defisiensi fosfor pada lahan masam.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian yang bertujuan untuk mengembangkan sorgum sebagai bahan pangan dan penghasil bioetanol di lingkungan area produksi lahan masam, yaitu pembentukan varietas sorgum yang toleran terhadap cekaman Aluminium dan efisien dalam penggunaan hara mineral terutama fosfor. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :

1. Memperoleh informasi tentang tanggap agronomis genotipe sorgum terhadap produksi biomassa dan kandungan padatan terlarut total pada kondisi cekaman Al dan defisiensi fosfor di lahan masam

2. Memperoleh informasi tentang dasar fisiologi dari sifat efisiensi hara fosfor dalam keadaan tercekam Al pada sorgum

3. Memperoleh informasi tentang mekanisme yang mungkin terjadi yang dapat mendasari perbedaan efisiensi P dalam keadaan tercekam Al baik melalui penilaian serapan P maupun penilaian penggunaan P dari sorgum yang toleran dan peka Al

4. Mengidentifikasi karakter-karakter tanaman yang berkaitan dengan toleransi terhadap toksisitas Al dan defisiensi P, yang dapat digunakan sebagai karakter untuk seleksi dalam rangka pengembangan tanaman sorgum sebagai penghasil bioetanol di tanah masam.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat 1) sebagai masukan dari bidang kajian fisiologi untuk dijadikan karakter seleksi dalam program pemuliaan tanaman untuk perbaikan genotipe sorgum sebagai bahan baku penghasil bioetanol untuk toleransi terhadap toksisitas Al dan efisiensi P di tanah masam, dan 2) memperkaya informasi tentang mekanisme toleransi tanaman sorgum terhadap toksisitas Al dan defisiensi P di tanah masam.


(27)

4

Hipotesis

Hipotesis yang dikemukakan pada penelitian ini adalah :

1. Terdapat perbedaan tanggap agronomi genotipe sorgum terhadap toksisitas Al dan defisiensi P di tanah masam

2. Terdapat perbedaan toleransi terhadap cekaman Al pada genotipe sorgum di larutan hara.

3. Genotipe adaptif tanah masam memiliki akar lebih panjang, diameter sebaran akar lebih luas serta mampu mempertahankan bobot kering tajuk yang lebih tinggi dibandingkan genotipe peka

4. Genotipe toleran memiliki laju serapan spesifik P dan efisiensi penggunaan P lebih tinggi dibandingkan genotipe peka..

5. Genotipe toleran lebih mampu menahan distribusi dan akumulasi Al ke dalam jaringan akar dibandingkan genotipe peka.

6. Genotipe toleran mampu menumbuhkan akarnya kembali setelah terkena cekaman Al.

Kerangka dan Ruang Lingkup Penelitian

Untuk mencapai tujuan penelitian dan menjawab hipotesis, dilakukan serangkaian percobaan yang merupakan satu kesatuan, dan tahapan yang ditempuh merupakan proses yang sistematis dalam mencapai tujuan. Penelitian ini lebih menekankan pada studi fisiologi mekanisme toleransi sorgum terhadap toksisitas Al dan defisiensi P. Percobaan 1 merupakan percobaan lapangan yang dilaksanakan di tanah masam Kebun Percobaan UPTD Lahan Kering Dinas Pertanian Kabupaten Bogor Kecamatan Tenjo, Jasinga. Berdasarkan peta tanah Lembaga Pusat Penelitian Tanah Bogor, tanah di daerah ini tergolong Podzolik Merah Kekuningan dengan bahan induk batuan liat. Percobaan 2, 3, 4, 5 dan 6 dilaksanakan di rumah kaca Kebun Percobaan University Farm IPB di Cikabayan. Analisis kimia jaringan tanaman dan media tumbuh dilaksanakan di Laboratorium RGCI Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Micro Technique IPB dan Laboratorium SEAMEO BIOTROP. Ruang lingkup penelitian secara ringkas disajikan pada Gambar 1 berikut ini:


(28)

Gambar 1. Bagan alir penelitian fisiologi adaptasi sorgum terhadap toksisitas aluminium dan defisiensi fosfor di tanah masam

Pertumbuhan Akar pada Cekaman Al di Larutan

Hara

Distribusi Sebaran Akar dalam Rhizotron

Karakter-karakter

tanaman untuk seleksi sorgum di tanah masam

Tanggap Agronomis di Tanah Masam

Root-regrowth

Distribusi Al di Ujung Akar

Laju Serapan Spesifik P

Genotipe sorgum toleran dan peka hasil uji daya adaptasi di Taman Bogo Lampung Timur dan

Sulusuban Lampung Tengah

Tanaman toleran dan peka Al serta defisiensi P dengan

produksi, biomassa dan kandungan gula total yang

berbeda

Tanaman sorgum toleran dan peka Al dengan pola mekanisme toleransi berbeda

Studi Lapang Studi di Larutan Hara, Rhizotron dan

Laboratorium

1. Morfo-fisiologi akar toleran

dan peka cekaman Al dan defisiensi P 2. Informasi tentang efisiensi dan responsivitas sorgum terhadap hara P di tanah masam

Tanaman toleran dan peka dengan perbedaan laju

penyerapan P dalam kondisi cekaman Al


(29)

TINJAUAN PUSTAKA

Morfologi dan Fisiologi Sorgum

Sorgum memiliki sistem perakaran serabut. Keunggulan sistem perakaran pada tanaman sorgum yaitu sanggup menopang pertumbuhan dan perkembangan tanaman ratun (ratoon) hingga dua atau tiga kali ratoon dengan akar yang sama. Saat proses perkecambahan akar primer mulai tumbuh dan seiring dengan proses pertumbuhan tanaman akan diikuti pula dengan pertumbuhan akar sekunder pada ruas pertama. Tahap berikutnya akar sekunder lebih dominan berfungsi menyerap air dan hara dari media tumbuh serta memperkokoh tegaknya tanaman (House 1985).

Sorgum memiliki batang dengan tinggi bervariasi antara 0.5 – 4.0 m. Tinggi batang sorgum yang dikembangkan di China dapat mencapai 5.0 m (FAO, 2002),. Beberapa varietas sorgum memiliki batang yang menghasilkan percabangan dan anakan baru (Steenis 1975). Batang tanaman sorgum merupakan rangkaian berseri dari ruas (internodes) dan buku (nodes). Bentuk batang silinder dengan ukuran diameter batang bagian pangkal antara 0.5 – 5.0 cm (House 1985).

Daun sorgum mirip tanaman jagung, berbentuk pita dengan struktur daun terdiri atas helai dan tangkai daun. Panjang rata-rata daun sorgum adalah 1 m (House 1985). Posisi daun terdistribusi secara berlawanan sepanjang batang dengan pangkal daun menempel pada buku. Menurut Martin (1970) jumlah total daun berkisar antara 13-40 helai per batang. Jumlah daun sorgum berkorelasi tinggi dengan panjang periode vegetatif yang dibuktikan oleh setiap penambahan satu helai daun memerlukan waktu 3-4 hari ( Bullard dan York 1985). Tanaman sorgum juga memiliki daun bendera (leaf blades) yang muncul paling akhir bersamaan dengan inisiasi malai. Daun bendera muda bentuknya kaku, tegak dan berfungsi penting dalam transportasi fotosintat (Freeman 1970).

Sorgum tergolong tanaman C4, yaitu tanaman yang dalam proses metabolisme karbon (C) menghasilkan asam berkarbon empat (malat dan aspartat) sebagai produk awal penambatan CO2. Produk asam malat dan aspartat yang dihasilkan oleh sel mesofil dengan cepat ditransfer ke sel seludang pembuluh, lalu


(30)

mengalami dekarboksilasi melepaskan CO2 yang selanjutnya ditambat Rubisco dan diubah menjadi 3-PGA (asam fosfo gliserat). Sel seludang pembuluh tanaman C4 lebih tebal dibandingkan tanaman C3, sehingga lebih banyak mengandung kloroplas, mitokondria dan organel lain yang berperan sangat penting dalam proses fotosintesis (Taiz dan Zeiger 2002). Daun-daun spesies C4 mempunyai laju pertukaran CO2 yang lebih tinggi, rasio antara luas potongan melintang floem dengan luas daun yang lebih besar dan memiliki laju translokasi lebih besar dibandingkan tanaman C3 (Salisburry dan Ross 1995). Ekspor hasil asimilasi yang lebih baik oleh tanaman C4 disebabkan oleh anatomi khususnya, yaitu sel-sel seludang ikatan pembuluhnya yang mempunyai kloroplas (anatomi kranzs) atau hasil dari luas potongan melintang floem yang lebih besar.

Karakteristik Tanah Masam

Tanah di lingkungan tropika basah pada umumnya bersifat masam dan merupakan ciri khas sebagian besar wilayah di Indonesia. Tanah jenis ini tersebar di bebarapa daerah di luar Jawa, seperti Sumatera dan Kalimantan. Di Sumatera terdapat sekitar 21 juta hektar, Kalimantan 15.5 juta hektar, dan Jawa 2 juta hektar (Van der Heide et al., 1992). Menurut Hidayat dan Mulyani (2002), luas tanah masam yang berupa lahan kering mencapai 99.5 juta hektar dan berpotensi untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian. Kondisi tropika basah di Indonesia dengan curah hujan tinggi dapat mengakibatkan pencucian, sehingga cadangan unsur hara dan kesuburan tanah rendah, kandungan Al dapat ditukar (Al-dd) dan kapasitas retensi P tinggi, kandungan nitrogen yang rendah, kapasitas tukar kation (KTK) rendah, serta keracunan alumunium di lapisan bawah (Hairiah et al. 2000). Di Indonesia potensi tanah masam ini cukup tinggi. Menurut data Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat tahun 2000, luas areal tanah bereaksi masam seperti podsolik, ultisol, oxisol dan spodosol masing-masing sekitar 47.5; 18.4; 5.0; dan 56.4 juta ha atau seluruhnya sekitar 67% dari luas total tanah di Indonesia. Pengelolaan kesuburan di tanah masam diarahkan untuk menurunkan kemasaman tanah, menambah hara dan menekan tingkat kejenuhan Al. Teknologi untuk meningkatkan kesuburan tanah masam yang dapat diterapkan antara lain pemupukan berimbang, pengelolaan hara P, pengapuran serta pemberian bahan organik


(31)

8

Pengaruh Cekaman Aluminium terhadap Tanaman

Aluminium dapat mempengaruhi tanaman secara morfologis, fisiologis dan ekspresi gen tanaman. Gejala yang umum dijumpai akibat cekaman Al adalah terjadinya klorosis, defisiensi nutrisi, dan tanaman menjadi kerdil (Taiz dan Zeiger 2002). Respon morfologi nyata akibat cekaman Al adalah terjadinya penebalan pada ujung akar dan akar cabang. Respon fisiologi berupa pembentukan kompleks Al-asam organik dan peningkatan kandungan asam organik pada akar tanaman dengan cara: 1) Al mengaktivasi kerja enzim yang berperan dalam biosintesis asam organik, serta adanya asam organik yang ditransportasikan dari batang menuju akar (Matsumoto et al. 2003). Respon pada tingkat gen untuk tanaman sorgum belum diteliti, tetapi pada beberapa tanaman lain antara lain pada arabidopsis menunjukkan ekspresi spesifik gen WAK1 (cell wall-associated reseptor kinase 1) dan tipe sel yang merupakan lokasi spesifik dari protein WAK (gen WAK ini terekspresi di akar) (Kochian et al. 2005).

Pada tanaman gandum, resistensi terhadap Al bersifat multigenik. Gen-gen tersebut menGen-gendalikan pengeluaran beberapa senyawa pengkelat ion Al+3. Hasil penelitian Pelle et al. (1996) menunjukkan, gandum kultivar resisten akan mengeksudasikan P tinggi yang diduga dikendalikan oleh gen yang berbeda lokus. Kelarutan Al yang tinggi berpengaruh langsung terhadap metabolisme tanaman dan tidak langsung terhadap ketersediaan unsur hara sehingga pertumbuhan tanaman tertekan. Menurut Alam et al. (1999), secara umum pengaruh Al pada tanaman yang ditumbuhkan pada tanah masam adalah: 1) mengurangi kation bervalensi dua yang diserap oleh akar tanaman (khususnya Ca). Menurut Matsumoto (2003), hal ini terjadi karena penghambatan Al dengan cara menggantikan posisi Ca yang melekat pada Calmodulin (dinding sel), ikatan Al dengan karboksil (RCOO-) membentuk ikatan kuat sehingga sel tidak mampu membesar. 2) menghambat fungsi sel-sel pada jaringan meristem akar melalui penetrasi Al ke dalam protoplasma akar dan menghasilkan morfologi akar yang tidak normal dan dapat mengganggu proses penyerapan hara tanaman, dan 3) menurunkan adsorpsi anion (SO4-2, PO4-3, dan Cl-) karena meningkatnya daerah jerapan positif pada rizosfir dan apoplas akar.


(32)

Kesulitan dalam mempelajari Al berhubungan dengan proses-proses yang terdapat dalam tanaman disebabkan karena kompleksnya Al ( Kinroide, 1991). Al dihidrolisis dalam larutan sebagai ion trivalent Al3+ dan dominan pada kondisi pH <5, sedangkan Al(OH)2+ merupakan bentuk yang dominan dengan makin tingginya pH. Pada keadaan tanah yang bereaksi netral, Al berbentuk Al(OH)3 atau gibsit, sedangkan pada tanah alkalin dijumpai bentuk Al(OH)4-. Kation Al monomer membentuk ikatan dengan berbagai ligand asam organik dan anorganik seperti PO43-, SO42-, asam organik, protein dan lemak.

Tanah dengan pH rendah memiliki kapasitas ion H+ tinggi sehingga penyerapan unsur-unsur lainnya menjadi berkurang dan unsur Al meningkat. Meningkatnya konsentrasi Al terlarut mengakibatkan terjadinya defisiensi P, K dan hara mikro seperti Mo. Hasil penelitian Yamamoto et al. (1992) mendapatkan bahwa toksisitas Al selain mengakibatkan tanaman kekurangan hara juga mengubah struktur dan fungsi dari membran plasma dan menghalangi pembelahan sel pada ujung-ujung akar. Akhirnya, Al akan menghambat pertumbuhan akar dan menunjukkan berbagai gejala kekurangan hara akibat keracunan Al (MacDiarmid dan Gardner, 1996).

Kasus pada tanaman jagung menunjukkan bahwa cekaman Al terhadap tanaman mula-mula akan menekan pertumbuhan akar yaitu akar menjadi pendek, tebal dan rapuh. Terhambatnya pertumbuhan akar disebabkan karena Al berasosiasi dengan DNA pada inti sel dan menghentikan proses pembelahan sel meristem apikal (Pellet et al. 1995). Daerah yang paling peka terhadap keracunan Al terutama pada bagian ujung akar (tudung akar, meristem, dan zona pemanjangan) sekitar 2 mm. Ujung akar mengakumulasi Al lebih banyak (Delhaize dan Ryan 1995).

Sasaran utama cekaman Al pada akar adalah tudung akar. Rusaknya tudung akar akan mengakibatkan berkurangnya sekresi mucilage. Keracunan Al dapat menghambat pertumbuhan tajuk dengan cara menghambat pasokan hara, air dan sitokinin dari akar karena buruknya penetrasi akar ke sub-soil atau kondisi hidrolik akar rendah (Marschner 1995). Rusaknya akar oleh Al menyebabkan terganggunya penyerapan dan transpor hara Ca, K, P, Mg dan N, serta peka terhadap kekeringan yang pada akhirnya mempengaruhi pertumbuhan dan


(33)

10 produktivitas tanaman (Polle dan Konzak 1990). Akumulasi Al akan menyebabkan kebocoran membran, disintegrasi struktur dan berkurangnya kandungan K dalam jaringan ujung akar, serta menurunkan viabilitas protoplasma. Terbentuknya ikatan polimer Al dengan membran plasma akar akibat cekaman Al akan menyebabkan kerusakan pada membran dan kebocoran K dari sel akar (Matsumoto et al. 2003).

Toksisitas Al mempengaruhi efluks unsur K dan Ca. Gangguan Al terhadap Ca pada ujung akar menyebabkan defisiensi Ca pada sel apikal akar atau mengubah homeostatis Ca. Perubahan ini akan memicu penyimpangan fungsi metabolisme dalam sel ujung akar yang selanjutnya dapat menghambat pemanjangan akar (Huang et al. 1992).

Mekanisme Toleransi Tanaman terhadap Cekaman Aluminium

Suatu tanaman yang toleran terhadap keracunan Al mempunyai kriteria antara lain: 1) pertumbuhan akar normal 2) mampu meningkatkan pH tanah di sekitar perakaran, 3) sebagian besar Al tertahan di akar dan sedikit ditranslokasikan ke bagian atas tanaman, dan 4) ion Al tidak dapat menghambat serapan dan translokasi Ca, Mg, K dan P (Kochian 1995).

Pengaruh cekaman Al+3 tidak sama pada setiap spesies, bahkan pada tanaman dalam satu spesies. Adanya perbedaan tersebut menunjukkan adanya mekanisme toleransi yang berbeda pada setiap tanaman dalam mengatasi cekaman. Mekanisme toleransi terhadap Al menurut Marschner (1995) adalah: 1) ekslusi Al di membran akar, 2) KTK dinding sel rendah, 3) alkalisasi di daerah perakaran, 4) proteksi ujung akar oleh mucilage, dan 5) efluks Al.

Mekanisme toleransi tanaman secara umum terbagi dalam dua kelompok yaitu: 1) mekanisme penolakan secara eksternal (external tolerance exclusion mechanism), dengan cara mencegah Al masuk ke dalam simplas dan bagian metabolik yang sensitif melalui immobilisasi dinding sel, permeabilitas selektif membran plasma, barier pH di rizosfir dan apoplas akar, eksudasi ligan pengkelat (eksudasi asam organik), eksudasi fosfor dan efluks Al, dan 2) mekanisme secara internal (internal tolerance mechanism), yaitu dengan pengkelatan Al oleh asam organik dalam sitosol, kompartementasi Al di vakuola, memproduksi protein


(34)

pengikat Al, enzim yang tahan Al serta peningkatan aktivitas enzim (Taylor, 1991).

1. Kelatasi Al oleh Eksudasi Asam Organik Tanaman

Salah satu penyebab terjadinya detoktisifikasi Al oleh tanaman yang toleran adalah karena adanya asam organik yang dieksudasikan sehingga Al terkelatasi oleh asam organik baik di dalam jaringan maupun di media/larutan (Delhaize dan Ryan 1995). Asam organik yang dieksudasikan oleh akar tanaman umumnya adalah asam malat, asam sitrat dan asam oksalat (Tabel 1). Jumlah dan jenis yang dieksudasikan tergantung spesies dan kultivar tanaman.

Hasil penelitian Magalhaes et al. (2004) menunjukkan bahwa asam sitrat merupakan asam organik yang dieksudasikan tanaman sorgum dalam menghadapi cekaman Al, asam malat merupakan asam organik yang paling banyak dieksresikan oleh ujung akar pada tanaman gandum yang toleran Al (Delhaize et al. 1993; Ryan et al. 1995 dan Pellet et al. 1996).

Tabel 1 Jenis-jenis asam organik yang dieksudasi tanaman dalam hubungannya dengan toleransi terhadap Al

__________________________________________________________________ Asam organik Tanaman Sumber

__________________________________________________________________ Sitrat Cassia tora Ishikawa et al. (2000) Sitrat Glycine max Silva et al .(2001), Yang et al (2000) Sitrat Nicotiana tabacum Delhaize et al. (2001) Sitrat Oryza sativa Ma et al. (2002) Sitrat Sorghum bicolor Magalhaes (2002) Sitrat Zea mays Ishikawa et al (2000) Sitrat dan Malat Avena sativa Zheng et al. (1998) Sitrat dan Malat Raphanus sativus Zheng et al. (1998) Sitrat dan Malat Triticale sp. Ma et al. (2000) Sitrat dan oxalat Zea mays Kid et al. (2001) Malat Triticum aestivum Huang et al. (1996), Ishikawa et al. (2000) Oksalat Colocasia esculenta Ma (1998)

Oksalat Fogopyrum esculentum Zheng et al. (1998) __________________________________________________________________ Sumber: Kochian et al. (2005).

Tanaman jagung yang toleran Al mengeksudasikan asam sitrat lebih banyak dibanding yang peka (Ma et al. 1997). Tanaman kedelai yang toleran


(35)

12 (Yelow Biloxi) mengeksudasikan asam oksalat dan asam sitrat lebih tinggi dibanding kedelai peka (Lumut) (Sopandie, 2006).

Gambar 2 menunjukkan mekanisme pengikatan Al oleh asam organik dengan membentuk kompleks sehingga Al tidak toksik dalam sel tanaman yang toleran terhadap Al, dan aktivasi ion channel pengikat Al serta perbandingannya dengan mekanisme pada tanaman respon toksisitas Al (peka). Tanaman toleran Al akan membentuk ikatan kompleks Al-COOH (Carboxylate-Al) sehingga Al menjadi tidak aktif. Ikatan kompleks ini akan ditranslokasikan ke vakuola menembus membran tonoplas dan akan terjadi detoksifikasi Al. Tanaman peka tidak membentuk kompleks Al-COOH sehingga Al tetap aktif dan dapat menghambat pembelahan sel serta penghambatan aktivitas ion channel yang dapat mempengaruhi transportasi dalam sel tanaman.

Sumber : Kochian et al. (2004).


(36)

2. Akumulasi Al pada Ujung Akar/ Hambatan Transpor Al ke Tajuk

Tanaman toleran Al akan melakukan akumulasi Al pada ujung-ujung akar sebagai upaya hambatan terhadap transpor dan akumulasi Al pada bagian tajuk. Gambar 6 dibawah ini menunjukkan hasil uji pewarnaan hematoxylin terhadap jagung cultivar cateto columbia dan Mo17 (Pineros et al. 2002).

Sumber: Pineros et al. (2002).

Gambar 3. Pola-pola akumulasi Al di dalam akar jagung toleran Al Cateto-Colombia 96/71(kiri) dan cv.Mo17 (kanan) hasil uji pewanaan Hematoxylin (A) B. Penampang memanjang akar daerah apikal (tanda panah menunjukkan lapisan sel bagian luar tudung akar yang mengakumulasi Al. C. Distribusi akumulasi Al pada ujung akar cv

Cateto-Colombia. D. Penampang melintang akar hasil uji pewarnaan (tanda panah menunjukkan penetrasi pewarnaan ke dalam lapisan sel akar bagian dalam tanaman yang mengakumulasi Al

3. Kemampuan Menaikkan pH Rizosfir

Peningkatan pH rizosfir pada larutan/media merupakan salah satu indikator toleransi tanaman terhadap cekaman Al. Peningkatan pH rizosfir akan


(37)

14 meningkatkan ketersediaan unsur hara seperti P dan menurunkan ketersediaan Zn, Cu, Fe, Mn dan Al (Haynes 1990). Genotipe toleran tanaman jagung, gandum, barley dan padi yang ditumbuhkan pada larutan hara meningkatkan pH larutan dan menurunkan kelarutan dan toksisitas Al, sedangkan genotipe yang peka tidak mempunyai pengaruh terhadap pH dan konsentrasi kelarutan Al nya tetap tinggi (Gupta 1997).

Tanaman Arabidopsis thaliana yang diinkubasi dengan 300 μM AlCl3 selama 12 jam menunjukkan bahwa, genotipe toleran mampu menaikkan pH larutan dari 4.3 – 4.4 menjadi 4.53, sedangkan genotipe peka hanya mampu menaikkan pH sampai 4,39. Kenaikan pH rizosfir sebesar 0.1 unit pada kondisi cekaman Al menyebabkan kenaikan laju pertumbuhan akar dua kali lipat pada genotipe toleran dibandingkan genotipe peka (Degenhardt et al. 1998). Hasil penelitian Delhaize et al. (1995), pada tanaman kedelai menunjukkan bahwa genotipe toleran memiliki kemampuan dua kali lipat dalam meningkatkan pH rizosfir dibandingkan genotipe peka.

4. Eksudasi Fosfor Organik

Ujung akar tanaman jagung disamping dapat mengeksudasi asam organik, juga mampu mengeksudasikan fosfor organik. Eksudasi P dari akar tanaman merupakan proses alami hara P dan bagian dari keseimbangan hara P dalam tanaman (Pelle et al. 1996). Eksudasi fosfor organik oleh akar tanaman merupakan mekanisme sekunder yang membuat kemampuan tanaman toleran terhadap Al. Detoksifikasi Al oleh fosfor karena terbentuknya kompleks Al-P (Delhaize et al. 1993; Pelle et al. 1995 dan 1996). Ketika suplai P terbatas, secara absolut eksudasi P berkurang, tetapi secara relatif meningkat dan menjadi komponen utama dalam penyerapan hara P. Jika tanaman disuplai P dengan baik, maka akan meningkatkan eksudasi P dibandingkan dengan tanaman dalam kondisi cekaman P. Jumlah fosfor organik yang dieksudasi pada tanaman jagung maupun pada gandum yang toleran nyata lebih banyak dibanding tanaman yang peka (Pelle et al. 1995 dan 1996).


(38)

Interaksi Fosfor dengan Aluminium

Tanaman menyerap P dalam bentuk ion H2PO4- atau HPO4-2. Bentuk dominan yang diserap pada pH rendah adalah H2PO4-, pH sekitar netral (pH 6-7) kedua bentuk tersebut dapat diserap, sedangkan pada tanah alkalis, bentuk hara P dominan yang diserap adalah HPO4-2 (Marschner 1995).

Kelarutan Al+3 sangat tinggi di lahan masam menyebabkan P tidak larut dan kurang tersedia bagi tanaman (hanya sebagian kecil saja seperti bentuk H2PO4- yang tersedia bagi tanaman). Al tidak hanya menghambat ketersediaan P, tetapi juga menghambat transpor dan penggunaan P (Rao et al. 1999). Ion Al bermuatan positif dapat berasosiasi dengan gugus fosfor dari ATP atau fosfolipid pada membran sehingga mempengaruhi efektivitas transportasi proton. Hal ini akan mengakibatkan penyerapan hara yang dikatalis pompa proton menurun (Matsumoto et al. 1992). Al secara langsung berinteraksi dan memiliki kapasitas fiksasi yang tinggi terhadap unsur P, baik dalam larutan tanah maupun jaringan tanaman membentuk kompleks Al-P yang tidak larut sehingga tidak tersedia bagi tanaman (Marscner 1995). Reaksi sederhana pengendapan P oleh Al adalah sebagai berikut:

Al+3 + H2PO4- (larut) + 2H2O.2H2 → Al(OH)2H2PO4 (tidak larut)

Keracunan Al dapat diasosiasikan dengan gejala defisiensi P, sebaliknya P efektif sebagai agen detoksifikasi Al. Interaksi Al-P dalam tanaman adalah: 1) pengendapan Al-P dan 2) mengganggu metabolisme P (Baligar et al. 1997). Kemiripan gejala toksisitas Al dengan defisiensi P antara lain nekrosis pada ujung daun, penghambatan pertumbuhan, daun berwarna hijau tua, dan kadang-kadang daun atau batang berwarna ungu. Defisiensi P disebabkan karena menurunnya penyerapan dan transpor P oleh pengendapan Al-P pada akar tanaman, dan gangguan Al dalam metabolisme P yang sudah terdapat pada pucuk tanaman (Matsumoto et al. 1992).

Hasil penelitian Syafruddin (2002) menunjukkan, genotipe jagung yang toleran Al jika ditumbuhkan pada larutan hara dengan konsentrasi Al rendah (2.5 ppm) dikombinasikan dengan konsentrasi P rendah (6 ppm) menunjukkan pertumbuhan akar baik yang disebabkan oleh meningkatnya kadar P. Hal ini


(39)

16 ditunjukkan oleh genotipe AMATL-HS-C2-S0 (toleran) yang mempunyai Panjang Akar Relatif (PAR) lebih tinggi pada konsentrasi 2.5 ppm Al disertai 6 ppm P dibandingkan tanpa Al pada konsentrasi P sama atau pada konsentrasi 2.5 pm Al dengan 11.5 ppm P. Pemanjangan akar kemungkinan dimaksudkan untuk mencegah tanaman kekurangan P di akar. Bertambahnya panjang akar, menyebabkan bertambahnya luas permukaan akar, sehingga kontak akar dengan larutan untuk mengambil hara P akan lebih tinggi. Sebaliknya, tanaman peka Al akan memperlihatkan penurunan pertumbuhan akar, bobot kering tanaman serta kadar dan serapan hara P. Pengaruh buruk ini dapat ditekan dengan meningkatkan konsentrasi P di larutan/media.

Rasio P akar/tajuk meningkat secara nyata dengan penambahan Al larutan pada tanaman yang toleran dibandingkan genotipe peka. Peningkatan rasio kadar P akar/tajuk ini diduga untuk mencegah berkurangnya kadar P di akar oleh adanya Al, karena P di akar sangat penting dalam eksudasi P ke larutan (Swasti 2004).

Fungsi dan Gejala Defisiensi Fosfor

Fosfor termasuk hara makro dibutuhkan tanaman dalam jumlah banyak seperti halnya N, K, Ca, Mg dan S. Dalam tanaman P dijumpai dengan kadar 0.1-0.4% (Tisdale et al., 1985). Menurut Marschner (1995), fungsi P pada tanaman dapat digolongkan dalam tiga bagian. Fungsi pertama adalah sebagai penyusun makro molekul. Dua makro molekul yang utama dan terpenting yang melibatkan P adalah asam nukleat (DNA dan RNA) dan fosfolipid biomembran. Asam nukleat adalah senyawa yang berperan dalam pewarisan sifat dan perkembangan tanaman. Pada biomembran P membentuk ikatan atau jembatan antara digliserida dan molekul lainnya seperti asam amino, amina atau alkohol, membentuk fosforidilkolin (lesitin) yang menjaga integritas membran. Fungsi kedua P adalah sebagai unsur pembentuk senyawa penyimpan dan perpindahan energi. Dua senyawa kaya energi yang paling umum adalah ATP dan ADP. Energi dalam ATP/ADP terletak pada ikatan pirofosfor yang pemecahannya akan melepaskan energi, yang dikenal dengan proses fosforilasi. ATP merupakan sumber energi untuk hampir semua proses biologi yang membutuhkan energi. Unsur P juga diperlukan dalam proses fotosintesis yakni pada fotofosforilasi dan pembentukan


(40)

ribulosa 1.5-bifosfor. Fungsi ketiga P adalah regulator reaksi biokimia melalui fosforilasi yang dapat mengaktivasi atau inaktivasi protein yang dianggap sebagai faktor kunci dalam transduksi sinyal.

Secara agronomis unsur P diketahui berperan dalam percepatan pematangan biji, kekuatan batang sereal, serta mutu buah, hijauan dan biji-bijian. Benih yang dihasilkan dari tanaman yang cukup P akan memiliki daya kecambah dan vigour yang tinggi karena kandungan senyawa phytin meningkat (Mengel dan Kirby 1982).

Tanaman menyerap P dari larutan tanah terutama dalam bentuk orthofosfor primer dan sekunder (H2PO4- dan HPO42-) dan sedikit dalam bentuk senyawa organik (Tisdale et al., 1985). Orthofosfor sekunder lebih dominan pada pH di atas 7.22, namun tanaman menyerap P lebih lambat dibanding orthofosfor primer. Bagian tanaman yang aktif menyerap P adalah jaringan muda dekat ujung akar. Konsentrasi P yang relatif tinggi menumpuk di ujung akar diikuti oleh akumulasi rendah pada bagian pemanjangan.

Penyerapan P oleh tanaman dari tanah adalah penyerapan aktif karena melawan gradien konsentrasi (Clarkson dan Grignon 1991). Kadar P larutan tanah di luar sel akar umumnya 1µM atau kurang, sedangkan kadar dalam sitoplasma adalah 103 sampai 104 lebih tinggi. Setelah diserap, fosfor dapat tetap sebagai P inorganik atau teresterifikasi (melalui gugus hidroksil) dengan rantai karbon sebagai ester P sederhana (gula P) atau terikat dengan P lainnya dengan ikatan pirofosfor kaya energi (ATP, ADP) atau diester.

Berbeda dengan unsur hara N dan K, P bergerak menuju akar melalui difusi yang berjalan lambat. Pergerakan secara difusi merupakan mekanisme pergerakan P menuju akar yang paling penting. Difusi P sangat dipengaruhi oleh kadar air tanah, kapasitas penyangga P tanah, temperatur dan bentuk lintasan difusi (Tisdale et al., 1985). Mobilitas P yang rendah pada tanah menyebabkan karakter morfologi akar seperti panjang akar dan luas permukaan ditemukan sangat mempengaruhi serapan P pada beberapa spesies tanaman. Dalam penelitian dengan beberapa kultivar padi ditemukan bahwa toleransi terhadap P rendah seluruhnya tergantung variasi genetik dalam serapan P, yang sangat tergantung pada ukuran akar (Wissuwa dan Ae 2001).


(41)

18 Gejala khas kekahatan sering sukar terlihat, tidak seperti gejala kekahatan unsur lainnya seperti K dan Mg. Kekerdilan dan pengurangan jumlah anakan pada tanaman monokotil atau cabang pada dikotil, daun pendek dan tegak, serta penundaan pembungaan adalah gejala yang umum pada kebanyakan tanaman (Rao dan Terry 1999). Penurunan luas dan jumlah daun juga merupakan gejala kekahatan P akibat tertekannya perkembangan sel epidermis daun. Tanaman yang kekahatan P juga sering memperlihatkan daun sempit berwarna hijau gelap, hal ini terjadi karena pertambahan luas daun lebih tertekan dibandingkan pembentukan kloroplas dan klorofil.

Pemberian pupuk fosfor adalah salah satu usaha untuk mengatasi kekahatan P. Namun, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi pemupukan fosfor pada tanaman sangat rendah, hanya 15-20% dari P yang diberikan dapat diserap tanaman (Baharsyah 1990). Rendahnya efisiensi pemupukan P ini menurut Tisdale et al., (1985) disebabkan terjadinya transformasi (fiksasi dan presipitasi) P yang diberikan dengan ion-ion besi, alumunium, kalsium, magnesium dan mangan menjadi bentuk yang sukar larut dalam air.

Mekanisme Toleransi Tanaman terhadap Defisiensi Fosfor

Toleransi terhadap cekaman hara rendah adalah kemampuan tanaman untuk mempertahankan hasil pada kondisi hara terbatas. Sifat toleran ini tidak dapat dipisahkan dengan efisiensi seperti terlihat pada mekanisme yang mendasarinya (Rao et al. 1999). Toleransi lebih menggambarkan dinamika atau respon tanaman terhadap perubahan lingkungan dan menggambarkan kemampuan adaptasi tanaman (Wissuwa dan Ae 2001).

Secara umum adaptasi tanaman terhadap defisiensi P dicapai melalui mekanisme peningkatan penyerapan dan peningkatan efisiensi penggunaan (Rao

et al., 1999). Peningkatan penyerapan dicapai melalui perbedaan morfologi (pertumbuhan dan distribusi, diameter, rambut akar), dan fisiologi akar (sistem penyerapan dan mobilisasi P pada rizosfir), sedangkan efisiensi penggunaan dicapai melalui partisi (mobilisasi) P dalam tanaman dan efisiensi penggunaan pada level selular.


(42)

Menurut Peng dan Ismail (2004), mekanisme adaptasi tanaman terhadap P rendah dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu: (1) mekanisme internal yang berkaitan dengan efisiensi penggunaan P oleh jaringan, dan (2) mekanisme eksternal yang memungkinkan efisiensi serapan P yang lebih tinggi oleh akar. Mekanisme Internal dicapai melalui kemampuan tanaman untuk: (a) memanfaatkan P dengan efisien, dan (b) memobilisasi P dari jaringan yang tidak aktif lagi bermetabolisme. Menurut Kochian et al. (2004), ketersediaan P tanah yang rendah akibat mudahnya P terfiksasi oleh bahan organik menyebabkan mekanisme eksternal menjadi lebih penting karena tanaman mengembangkan berbagai mekanisme untuk membuat P menjadi tersedia dan untuk meningkatkan kemampuan menyerap P.

Mekanisme eksternal meliputi: (a) kemampuan tanaman untuk membentuk perakaran yang lebih panjang, (b) kemampuan meningkatkan luas serapan dengan pertumbuhan rambut-rambut akar, (c) kemampuan melarutkan P tidak tersedia melalui perubahan pH atau sekresi senyawa pengkelat, (d) kemampuan menggunakan P organik melalui sekresi fosfatase, dan (e) kemampuan dalam bersimbiosis dengan mikorhiza. Menurut Kochian et al. (2004), salah satu mekanisme eksternal penting dalam meningkatkan kemampuan menyerap P adalah dengan peningkatan kinetika serapan P. Perubahan fisiologi akar juga merupakan mekanisme toleransi tanaman terhadap terbatasnya suplai P yang terutama disebabkan oleh perubahan kinetika serapan. Kinetika serapan P menunjukkan adanya high affinity transporter yang lebih aktif pada konsentrasi P rendah dibanding low affinity transporter. Hasil penelitian Syarief (2005) juga menunjukkan afinitas karier akar yang tinggi terhadap P yang ditunjukkan oleh konstanta Michaelis-Menten (Km) yang rendah yang merupakan salah satu mekanisme toleransi terhadap P rendah pada tanaman padi. Gordon-Weeks et al. (2003) melaporkan peningkatan ekspresi gen-gen dari kelompok Pht 1 yang menyandikan proton-Pi cotransporter pada akar tanaman kentang yang ditumbuhkan pada keadaan kahat P. Penyerapan P melalui transporter dimediasi oleh H+-Pi cotransport yang mendapat energi dari H+-ATPase. Mekanisme adaptasi tanaman terhadap kekahatan P yang meliputi respon morfologi, fisiologi, biokimia dan molekuler disajikan pada Tabel 2.


(43)

20 Eksudasi asam organik (malat, sitrat dan oksalat) adalah mekanisme lain tanaman untuk meningkatkan P dari tanah. Asam organik dapat meningkatkan ketersediaan P melalui mekanisme pelarutan senyawa P sukar larut (Al-P, Fe-P) dengan penurunan pH atau desorbsi P dari tapak jerapan dengan pertukaran anion (Crowley dan Rengel 2000). Anion dari asam organik dapat membentuk kompleks dengan Al atau Fe sehingga dapat melepaskan ion fosfor atau mencegah ion fosfor bereaksi dengan ion Al atau Fe.

Tabel 2. Respon tanaman terhadap defisiensi P

Tingkatan respon Respon Tanaman tanaman

__________________________________________________________________ Morfologis Peningkatan nisbah akar- tajuk, perubahan morfologi dan

arsitektur akar, peningkatan jumlah dan panjang rambut akar, akumulasi pigmen antosianin, dan pembentukan akar proteoid

Fisiologis peningkatan serapan P, penurunan efluks Pi, peningkatan efisiensi penggunaan P, mobilisasi Pi dari vakuola ke sitoplasma, translokasi antar jaringan, sekresi asam organik, proton, sekresi fosfatase dan Rnase, perubahan

metabolisme karbon, fotosintesis dan fiksasi nitrogen Enzimatis aktivasi enzim-enzim, peningkatan produksi fosfatase,

Rnase dan asam organik, serta perubahan dalam fosforilasi protein

Molekuler aktivasi gen-gen yang mengendalikan sintesa Rnase, fosfatase, fosfor transporter, Ca-ATPase, beta-glukosidase dan PEPCase.

__________________________________________________________________ Sumber: Roghothama (1999) dalam Sopandie (2006)

Kompartementasi P intraselular dapat mempengaruhi efisiensi penggunaan P. Penelitian Mimura et al. (1996) menunjukkan terjadi pergerakan P dari vakuola ke sitoplasma pada kondisi kahat P yang memungkinkan kadar P dalam sitoplasma dapat dipertahankan agar proses fisiologis tetap berjalan normal. Penelitian Swasti (2004) juga menunjukkan bahwa proporsi fraksi P anorganik yang lebih rendah pada perlakuan P rendah dibanding perlakuan P tinggi pada tanaman padi mengindikasikan adanya transfer P (anorganik) dari vakuola dan digunakan untuk sintesis bahan organik.


(44)

Beberapa tanaman yang dapat toleran pada kondisi P rendah menunjukkan aktivitas PFP (Phyrophosphat-dependent phospho fruktokinase) yang tinggi. Enzim ini mengkatalisis reaksi yang memotong reaksi ATP-dependent fruktokinase (PFK). Modifikasi ini dapat mendaur ulang Pi dan menghemat penggunaan ATP (Murley et al. 1998).

Remobilisasi P dalam tumbuhan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan P juga merupakan salah satu mekanisme yang penting. Fosfor yang terdapat pada organ atau jaringan yang kurang atau tidak aktif akan dimobilisasikan ke organ atau jaringan aktif sehingga P yang telah diserap tumbuhan dapat digunakan kembali dalam proses fisiologi.

Menurut Caradus (1990), kadar P rendah pada organ yang dipanen dapat dianggap meningkatkan efisiensi agronomis penggunaan P. Penurunan laju kematian daun juga dapat meningkatkan efisiensi penggunaan P karena dengan cara ini P dapat digunakan lebih lama.

Hara yang diserap dan ditranslokasikan ke tajuk juga menentukan efisisiensi penggunaan P. Penyerapan hara yang tinggi belum tentu memecahkan masalah defisiensi P, tergantung penyerapan yang tinggi tersebut disertai juga dengan translokasi ke tajuk atau tidak. Arabidopsis thaliana tipe liar misalnya, penyerapan yang tinggi tidak disertai oleh translokasi yang tinggi. Hanya 35% dari P yang diserap ditranslokasikan ke tajuk, dibandingkan dengan tipe mutannya yang mencapai 90%. Menurut Poirer et al. (1991), penyerapan dan translokasi ke tajuk diatur oleh mekanisme terpisah yang dikendalikan secara genetik.

Respon tanaman terhadap cekaman P berlangsung secara bertahap. Hammond, Brodley dan White (2004) mengelompokkan gen-gen yang berperan dalam adaptasi terhadap cekaman P menjadi kelompok gen-gen yang merespon paling awal dan umumnya tidak spesifik terhadap kahat P (early genes) dan gen-gen yang menyandikan perubahan morfologi, fisiologi dan biokimia (late genes) yang aktif ketika terjadi cekaman P dalam waktu lama. Secara hipotesis dapat digambarkan urutan gen-gen yang berubah ekspresinya saat terinduksi kahat P (Gambar 4).


(1)

138

Rao, I M, Terry N. 1999. Leaf Phosphate Status, Photosynthesis and Carbon Partitioning in Sugar Beet. I. Change in Growth, Gas Exchange, and Calvin Cycle Enzyme. Plant physiol. 90: 814-819.

Reddy, B V S, William D. D. .2007. Sweet Sorghum for Bioethanol. Makalah pada workshop “Peluang dan Tantangan Sorgum Manis sebagai Bahan Baku Bioethaol”. Dirjen Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta. 8 hal Rengel Z. 1997. Physiological Mechanisms Underlying Differential Nutrient

Efficiency of Crop Genotype. Mineral Nutrition of Crops. Fundamental Mechanism and Implications. Food Product Press, New York. 227-266. Rengel Z. 2000. Genetic Control of Root Exudation. Plant and Soil.

245(1): 59-70

Salisbury, F B, C W Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Edisi keempat.

Terjemahan Diah R Lukman dan Sumaryono. ITB, Bandung. 343 hal

Schaffert, R E, E M Sorgo, V M C Alves, S N Parentoni, K G Ragothama. 2000. Genetic Control of Phosphorus Uptake and Utilization Efficiency in Maize and sorghum under marginal soil conditions. Purdue University.

http//www.isu.edu (diakses: 14 Maret 2009).

Schchtman, D P, Reid R J, Ayling S M. 1998. Phosphorous Uptake by Plant: from Soil to Cell. Plant Physiol. 116:447-452

Sitompul, S M, B Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 412hal

Sivaguru M, Paliwal K. 1993. Differential Al Tolerance in Some Tropical Rice Cultivars. Growth Performance. J of Plant Nutr. 16:1705-1716

Sopandie, D, Jusuf M, Aisah S. 2000. Toleransi terhadap Aluminium pada Akar Kedelai. Deteksi Visual Penetrasi Aluminium dengan Metode Pewarnaan Hematoksilin. Comm.Ag. 6(1):25:32

Sopandie, D. 2006. Perspektif Fisiologi dalam Pengembangan Tanaman Pangan di Lahan Marjinal. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Fisiologi Tanaman. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, 16 September 2006.

Stoskopf, N.C, D.T Tomes, B.R Christie. 1993. Plan Breeding Theory and Practice. Clavis Software Inc. Guelph, Ontario Canada. 531pp


(2)

Sungkono. 2010. Seleksi Galur Mutan Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) untuk Produktivitas Biji dan Bioetanol Tinggi di Tanah Masam melalui Pendekatan Participatory Plant Breding. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Steenis V C G. 1975. Flora Voor de Schgen in Indonesia. Edisi VI.

Terjemahan Sorjowinoto M..PT. Pradnya Paramitha, Jakarta.

Swasti E. 2004. Fisiologi dan Pewarisan Sifat Efisiensi Fosfor pada Padi Gogo dalam Keadaan Tercekam Aluminium. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.

Syafruddin. 2002. Fisiologi hara fosfor pada tanaman jagung (Zea mays L.) dalam kondisi cekaman aluminium. Tesis. Program Pascasarjana, IPB, Bogor.

Syarif A.A. 2005. Adaptasi dan Ketoleranan Genotipe Padi Terhadap Defisiensi fosfor di Tanah Sawah. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.

Taiz, L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology. Third Edition. Sinauer Associates, Publishing Company, Inc. Sunderland, Massachusetts. 690 p

Taylor, G.J. 1991. Current Views of The Aluminium Stress Response. The Physiological Basis of Tolerance. Curr. Trop. Plant Biochem Physiol. 10:57-93.

Trikoesoemaningtyas. 2002. Fisiologi dan Pewarisan Sifat Efisiensi Kalium dalam Keadaan Tercekam Aluminium pada Padi Gogo. Disertasi. Program Pascasarjan Institut Pertanian Bogor

Tisdale, S L, Nelson, W I, Beaton J D. 1985. Soil Fertility and Fertilizers.

Macmillan Publishing. New York.

Van, D H, J, Setijono, S., Syekhfani, M.S., Flach, E.N., Hairiah, K., Ismunandar, S., Sitompul, S.M., ,Van N, M. 1992. Can Low Eksternal Input Cropping System in Acid Upland Soil in The Humid Tropics be Sustainable? Backgrounds of the Unibraw/IB Nitrogen Management Project in Bunga Mayang. Agrivita 15:1-10

Vitorello, V A, Capaldi, F R, Stefanuto V A. 2005. Recent Advances in Aluminum Toxicity and Resistance in Higher Plants. Braz J Plant Physiol

17:129-143

Wasaki, J., Takuya Y., Takuro S. Mitsuru O. 2003. Secreted Acid Phosphatase is Expressed in Cluster Roots of Lupin in Response to Phosphorus Deficiency.


(3)

140

Wissuwa M, Ae N. 2001. Further Characterization of Two QTLs that Increase Phosphorus Uptake of Rice (Oryza sativa L). Under Phosphorus Deficiency. Plant and Soil, 237: 275-286

Yamamoto YT, K Ono, K Mametsuka, M Kasai, H Matsumoto. 1992. Growth Inhibition by Aluminum is Alleviated by Phospathe Starvation in Cultured Tobacco Cell. in Plant Cell Walls as Biopolymers with Physiological Functions. Yamada Science Foundation, Osaka. pp 404-406

Yudiarto, M. A. 2006. Pemanfaatan Sorgum sebagai Bahan Baku Bioetanol. Balai Besar Teknologi Pati (B2TP), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lampung.


(4)

(5)

142

Lampiran 1. Denah penelitian toleransi terhadap Al dan defisiensi P di tanah masam Jasinga

M5GT1 M4GP1 M6GT2

M5GP1 M4GP2 M6GP2

M5GT2 M4GT1 M6GT1

M5GP2 M4GT2 M6GP1

M4GT2 M6GT1 M5GT1

M4GP1 M6GP1 M5GT2

M4GT1 M6GP2 M5GP1

M4GP2 M6GT2 M5GP2

M6GP2 M5GT2 M4GP1

M6GP1 M5GT1 M4GT2

M6GT2 M5GP2 M4GT1

M6GT1 M5GP1 M4GP2

M2GT1 M3GT2 M1GP2

M2GP1 M3GP2 M1GP1

M2GP2 M3GP1 M1GT1

M2GT2 M3GT1 M1GT2

M3GT1 M1GT2 M2GP1

M3GT2 M1GP1 M2GP2

M3GP2 M1GT1 M2GT2

M3GP1 M1GP2 M2GT1

M1GP1 M2GP1 M3GT2

M1GP2 M2GT1 M3GP1

M1GT2 M2GT2 M3GT1

M1GT1 M2GP2 M3GP2

I II III

Keterangan :

I, II, dan III : Ulangan

M1 : Al tinggi - tanpa P M2 : Al tinggi - P kurang M3 : Al tinggi - P cukup M4 : Al rendah - tanpa P M5 : Al rendah - Pkurang M6 : Al rendah - P cukup

GT1 : Numbu

GT2 : ZH-30-29-07

GP1 : B-69


(6)

Lampiran 2. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah (Pusat Penelitian Tanah, 1983) ________________________________________________________________ Sifat Tanah Sangat Rendah Sedang Tinggi Sangat

Rendah Tinggi

__________________________________________________________________ C-Organik (%) <1,0 1,0-2,0 2,01-3,00 3,01-5,00 >5,0 Nitrogen (%) <0,10 0,1-0,2 0,21-0,50 0,51-0,75 >0,75

C/N <5 5-10 11-15 16-25 >25

P2O5 HCl (mg/100 g) <10 10-20 21-40 41-60 >60

P2O5 Bray 1 (ppm) <10 10-15 16-25 26-35 >35

P2O5 Olsen (ppm) <10 10-25 26-45 46-60 >60

K2O HCl 25% (mg/100 g)<1 10-20 21-40 41-60 >60

KTK (me/100 g) <5 5-16 17-25 26-40 >40 __________________________________________________________________

Susunan Kation

__________________________________________________________________ Ca (me/100 g) <2 2-5 6-10 11-20 >20 Mg (me/100 g) <0,1 0,1-0,3 0,4-0,7 0,8-1,0 >1,0 K (me/100 g) <0,1 0,1-0,3 0,4-0,5 0,6-1,0 >1,0 Na (me/100 g) <0,1 0,1-0,3 0,4-0,7 0,8-1,0 >1,0 Kejenuhan Al (%) <5 5-21 22-30 31-60 >60 Kejenuhan Basa (%) <20 20-40 41-60 61-80 >80 __________________________________________________________________

Reaksi Tanah

__________________________________________________________________ Sangat Masam Agak Netral Agak Alkali Masam Masam Alkali

__________________________________________________________________ pH H2O <4,5 4,5-5,5 5,6-6,5 6,6-7,5 7,6-8,5 >8,5