Ayam Mati di Dalam Lumbung: Kepingan Sejarah Kekalahan Orang Melayu Atas Tanah Adatnya

Ayam Mati di Dalam Lumbung :
1

Kepingan Sejarah Kekalahan Orang Melayu atas Tanah Adatnya *
Oleh: edy Ikhsan**
“One can not understand the working of the present forms of legal life
Unless one has studied the process to some extent in organisms
that are now defunct or moribund” (Petric Devlin)
Pengantar
Sengketa tanah “adat” (ulayat) orang Melayu di Sumatera Timur (saat ini bahagian besarnya
menjadi wilayah administratif Sumatera Utara) bisa dikatakan sebagai satu dari ratusan
bahkan ribuan sengketa tanah yang sangat panjang, dinamis dan complicated dalam sejarah
perebutan kuasa atas tanah di Indonesia. Sejak awal sekali kita melihat benih konflik mulai
terbuka tatkala konsesi-konsesi perkebunan tembakau diberikan oleh Kesultanan Deli kepada
para planters asing yang avonturir. Pelzer berkata: ”As to the agrarian rights of the local
population whose villages and fields were located within the boundaries of a concession, the
early contract made, at best, desultory provision by rulling that village land, fileds and
orchards, in particular nutmeg and papper gardens, be respected by the planters. But nothing
was said as to amount of land that must be spared.2
Jauh sebelum pernyataan Pelzer tersebut, Deli, Serdang dan kawasan-kawasan sekitarnya
telah menjadi rebutan dari berbagai kerajaan lokal dan negeri-negeri kolonial. Tarik menarik

antara Kerajaan Siak, Johor dan Aceh pada abad ke 16, 17 dan 18 3 dan kompetisi politik
ekonomi antara Belanda dan Ingggris (yang kemudian diakhiri dengan Traktat London pada
tahun 1824) di kawasan ini menunjukkan betapa berharga dan bernilainya wilayah ini di mata
orang luar. Kesuburan dan kekayaan tanah di kawasan ini digambarkan Anderson dengan
cukup detail dan menunjukkan kelak potensinya yang tinggi dalam perebutan kuasa atas
1

Ayam Mati di Dalam Lumbung adalah sebuah metafor Melayu yang berarti miskin di tempat makmur. Ini
mungkin bisa menggambarkan situasi orang Melayu di Sumatera Utara dan hak-hak atas tanahnya, yang secara
terus menerus mengalami tekanan, penyusutan , pergeseran, pengabaian, penistaan dan pada ujungnya
memiskinkan mereka. Tanah-tanah Orang Melayu Deli, Serdang dan Langkat yang yang ada diantara Sungai
Wampu di Langkat dan Sungai Ular di Serdang adalah tanah-tanah yang sangat tinggi kualitasnya untuk
tanaman perkebunan namun tak mampu memberikan kesejahteraan kepada kelompok penduduk asli ini. Tentang
Bidal, metafor, peribahasa dll. bisa dilihat Ainon Mohd, Abdullah Hasan. Pepatah, Bidal dan Perumpamaan
(Siri Kamus).Kuala Lumpur, PTS Publications & Distributors Sdn. Berhad: 2003, hal.29.
2
*Disajikan untuk Seminar Konflik Pertanahan di Sumatera Utara, DPC Ikadin Medan, 21 April 2012. Draft
awal tulisan ini telah disampaikan pada Seminar Internasional Pemikiran Tengku Luckman Sinar tentang
Kemelayuan dan Keindonesiaan. Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, Medan, 23 Pebruari 2011.
** Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Badan Penasihat BPRPI (Badan Perjuangan

Rakyat Penunggu Indonesia)
Pelzer, Karl J. Planters and Peasant: Colonial Policy and The Agrarian Struggle in East Sumatra 1863-1947,
(Verhandelingen KITLV No.84, ‘S-Gravenhage – Martinus Nijhoff, 1978)hal. 69.
3
Di tahun 1591 sebenarnya Deli sudah berada ditangan Johor, tetapi berhasil direbut oleh Aceh kembali pada
tahun 1612. Tahun 1619 Aceh kembali menyerang Deli, karena disana berada kekuatan Portugis yang
mendukung Deli. Tahun 1669, Deli pernah menyatakan diri terlepas dari Aceh (akibat melemahnya kesultanan
Aceh), disusul Batubara. Johor dengan keberaniannya berusaha merebut kembali pada tahun 1710. Sumatera
Timur tetap tidak aman oleh ulah Aceh, Johor dan Siak. Supremasi Siak secara aktif atas Deli terjadi pada tahun
1780 dengan menaklukkan Deli. Lihatlah, Said, Muhammad. Aceh Sepanjang Abad. Medan:Penerbit Waspada,
1981, hal 269. Husny, Tengku Lah. Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Penduduk Melayu Pesisisir Deli di
Sumater Timur 1612-1950. Medan:Badan Penerbit Husny, 1975. Hal. 48. Pelly, Usman dkk. Sejarah
Pertumbuhan Pemerintahan Kesultanan Langkat, Deli dan Serdang. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1986. Hal.76.

1

tanah di wilayah ini. Walaupun sayangnya laporan atau kisah naratif Anderson tersebut
memang hampir tidak menyentuh soal pengaturan-pengaturan atas tanah dan sumber daya
alam lainnya. Anderson menulis: “Tanah, yang saya saksikan merupakan tanah endapan yang

yang sangat istimewa, dan tanaman sayuran tumbuh dengan subur. Deli, Langkat dan Bulu
Cina, tanah-tanah tersebut sangat berlimpah, seperti sebuah cetakan yang berwarna hitam, di
beberapa lokasi, kedalamannya mencapai 8 sampai 10 kaki, di posisi atas berupa tanah liat
yang kental, dan di bagian bawahnya pasir dan krikil Namun semakin ke Asahan, tanahnya
tidak begitu bagus. Jika kamu berlanjut menuju wilayah pegunungan, akan dijumpai tanahtanah merah dan berpasir, bercampur dengan butir-butir granit dan biji-biji buah yang
terkelopak.”4 Tentang hasil-hasil produksi yang penting, Anderson berkata:” Hampir tidak
ada bagian yang bisa dihuni di bumi ini melampaui Sumatera Timur dalam keberagaman dan
nilai dari produksi sumber daya alamnya. Berikut ini bisa dihitung sebagai sebagai barangbarang utama dalam perdagangan eksport dari wilayah ini: emas, champor, gading, lilin, lada
(hitam dan putih), benjamin, kayu manis, gambir, rotan, sulfur (belerang), tembakau,
batubara, kayu gaharu, dye-woods, kayu ebony, beragam kayu untuk kapal, tali ijuk untuk
kabel, telur-telur ikan, sirip ikan hiu, gula, tikar, bermacam kcang-kacangan, beras, dragon’s
blood, sutera dan kuda-kuda. Disamping itu, ada banyak lagi barang-barang yang
diperuntukkan untuk kebutuhan penduduk.”5
Menurut catatan Anderson, Deli sepertinya sebuah wilayah yang penting di masa-masa lalu,
seperti yang disebutkan Marsden, mencoba melepaskan diri dari kesetiannya kepada Aceh di
tahun 1669; dan di tempat-tempat lain telah mengalami invasi dalam periode-periode yang
berbeda. Sejarah awal dari negara (kerajaan, pen) ini, seperti juga kebanyakan negara-negara
pesisir, relatif tidak begitu jelas; tidak ada data yang pasti di masa lalu, yang disimpan oleh
orang-orang di wilayah ini; dan jikapun usah-usaha dilakukan untuk menunjukkan
kemunculan dan progresnya, terlalu banyak fiksi dan tradisi takhyul bercampur aduk dalam

penceritaanya, sehingga sulit memisahkan (mana yang benar dan tidak, pen) dan mencapai
kesimpulan yang memuaskan. Orang-orang Melayu dalam versi Anderson adalah orangorang yang suka bertakhyul; dan banyak dari mereka menempatkan kepercayaan secara
implisit di dalam tradisi-tradisi yang absurd dan takhyul.6
Tembakau, Kebutuhan Tanah dan Pengabaian Rakyat
Paruh ketiga abad ke 19, Deli, Serdang dan kawasan sekitarnya diperkenalkan dengan sesuatu
yang sangat baru dalam kehidupan sosial ekonomi penduduknya. Kedatangan planters asing
dalam pertanian tembakau yang ekspansif merubah total mental masyarakat, terutama para
pemimpinnya7. Pelzer menyebutkan, selama Sultan Deli memberikan konsesi-konsesi hanya
di dalam batas-batas wilayahnya sendiri, segala sesuatunya tampaknya berjalan dengan
lancar; tetapi ketika menjelang tahun 1871 ia mulai menyewakan tanah yang terletak di
distrik-distrik Batak Karo, di luar wilayahnya sendiri, kepala-kepala Suku Batak Karo, yang
dianggapnya sebagai bawahanannya, menentang dengan perasaan benci dan marah. Daripada
mengumumkan perang kepada Sultan, kepala-kepala suku ini menyerang sumber penghasilan
4

Anderson, Jhon. Mission to the East Coast of Sumatra Under the Direction of the Government of Prince of
Wales Island. William Blackwood, Edinburgh: And T.Cadell, Strand. (London: Blackwood, 1826), hal. 97.
5
Anderson, Ibid. hal .204.
6

Anderson, Ibid. Hal.271-272
7
De Ridder menyebutkan satu bentuk masyarakat dengan mental yang baru hasil percampuran (pengaruh
mempengaruhi) antara masyarakat adat dan masyarakat eropah yang modern, yang dia sebut dengan “de
koloniale wissel werking”. Lebih jauh lihatlah De Ridder.J. De Invloed van de Westersche Cultures op de
Autochtone Bevolking ter Oostkust van Sumatra. Wageningen: H.Veenman&Zonen. 1935, hal.9.

2

baru Sultan itu dengan membakari bangsal-bangsal pengeringan tembakau perkebunan,
terutama ketika sedang penuh berisi tembakau.8
Konsesi-konsesi tersebut dalam catatan Mahadi bukan merupakan masalah pada awalnya,
karena hak-hak rakyat cukup dikodifikasikan di dalam-akta-akta yang ada (sejak contoh akta
1892). Hanya pelaksanannya disana sini mengalami kemacetan. Seterusnya segi-segi
negatipnya selalu baru dihadapi setelah menjelma, seperti batas kebun hampir sampai
ketangga rumah rakyat, perlakuan-perlakuan pihak kebun yang tidak senonoh terhadap para
buruh, tindakan yang yang kejam dan sebagainya.9 Satu contoh pengakuan hak tanah
penduduk dalam akta 1877 antara lain berbunyi: “apabila dalam perbatasan tanah terdapat
pohon buah-buahan, kepunyaan penduduk terdahulu (behoorende aan vroegere bewoners),
pihak perkebunan wajib membayar harga pohon-pohon itu secara patut. Kalau terdapat

perselisihan paham, diputuskan oleh Sultan setelah, jika dikehendaki oleh Sultan, berunding
dengan Gewestelijk of Plaatselijk Bestuur.” 10
Menurut Said, akte konsesi tidak jelas ada ditekankan bahwa tanah-tanah yang sudah menjadi
kampung atau perladangan tidak turut menjadi tanah konsesi. Akta konsesi sebagai itu hanya
terdapat kemudian, itupun dalam prakteknya tidak diperlindungi oleh raja jika ada tuntutan.
Lebih lanjut Said mengutip Schade: “Menjadi pertanyaan benar-benar apakah para pengusaha
perkebunan yang terdahulu senantiasa mengindahkan hak-hak penduduk atas tanah dan
tanaman-tanaman mereka, bilamana tanah sedemikian dipilih untuk dijadikan perkebunan,
dan memanglah harus diketahui bahwa walaupun penduduk secara tidak langsung turut
mendapat keuntungan dari perkebunan-perkebunan eropah itu, namun kadang-kadang mereka
langsung menderita kerugian karenanya.11
Said secara terus terang menunjuk Konsesi sebagai faktor yang mempercepat meletusnya
perang Sunggal (1872-1859). Tentang ini, Sinar menulis: “karena rakyat Sunggal melihat
disekeliling mereka, di Deli dan Langkat, tanah-tanah rakyat yang subur diberikan untuk
konsesi perkebunan tembakau kepada maskapai-maskapai asing, sedangkan keuntungannya
tidak untuk rakyat disitu, mulailah rakyat Sunggal berjaga-jaga dan menentang cara-cara
seperti itu. Kejadian meledak ketika di tahun 1870, Sultan Mahmud Deli berani menyerahkan
tanah subur kepada maskapai Belanda “De Rotterdam”, tanah mana terletak di dalam wilayah
Sunggal.12
8


Penyelidikan-penyelidikan setelah kejadian itu menunjukkan fakta bahwa datuk-datuk (kepala suku) Batak
Karo tidak diajak berunding oleh Sultan mengenai konsesi-konsesi tanah di dalam wilayah mereka, datuk-datuk
ini menentang dan menuduh bahwa Sultan Deli dengan pemberian konsesi-konsesi ini telah melanggar hukum
adat yang sudah ada sebelum Belanda dan pengusaha-pengusaha ondeneming datang. Sebaliknya, karena tahu
sedang didukung oleh kekuatan Belanda dan karena rakus akan pembayaran yang lebih banyak dari pengusaha
onderneming, serta merasa jauh lebih unggul daripada kepala-kepala suku Batak Karo, maka sultan
mengabaikan adat itu. Pelzer.Ibid. hal.70.
9
Mahadi, Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-Hak Suku Melayu atas Tanah di Sumatera Timur (1800-1975),
(Bandung: Penerbit Alumni,1976), Hal.42. Tentang kekerasan yang dialami buruh atau kuli di perkebunanperkebunan di Sumatera Timur bisa dilihat dalam beberapa karya antara lain, Jan Breman, Koelies,Planters en
Koloniale Pollitiek, Het Arbeidsregime op de grootlandbouwondernemingen aan Sumatra’s Oostkust in het
begin van de twintigtste eeuw (Leiden: KITLV Uitgeverij, 1992), T.Keizerina Devi, Poenale Sanctie, Studi
tentang Globalisasi Ekonomi dan Perubahan Hukum di Sumatera Timur (1870-1950), (Medan: Program Pasca
Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2004) dan Budi Agustono, Violence on North Sumatra Plantations, dalam
Colombijn and Linblad (eds), Roots of Violence in Indonesia, (Leiden:KITLVPress, 2002)
10
Mahadi, op.cit. hal.52.
11
WHM.Schadee, Geschiedenis der Sumatra’s Oostkust, 1 dan II, hal.188 dalam H.Mohammad Said, Suatu

Zaman Gelap di Deli: Koeli Kontrak Tempo Doeloe, Dengan Derita dan Kemarahannya, (Medan: Percetakan
Waspada, 1977), hal. 35.

3

Dalam bahasa yang hampir sama Schadee melanjutkan: “De uitgifte van gronden voor
landbouwondernemingen in Deli had groot vordeel gebracht aan de Sultan van dit rijk door
de stijging der opbrengsten van monopolies en belastingen, doch de bevolking zag zich
daardoor in de beschikking over den grond beperkt. Het is zeer de vraag of de eerste planters
wel altijd nauwkeurig rekening hielden met de rechten van der bevolking op gronden en
gewassen, wanneer deze gelegen waren in het terrein, dat zij voor ontginning hadden
uitgekozen en het moet wel worden aangenomen, dat de bevolking, hoewel indirect ook eenig
voordeel trekkende van de Europeesche ondernemingen, somtijds daarvan eenige directe
nadeelen ondervond. Zoo onstond onder de bevolking een zekere tegenzin ten aanzien van de
voortgaande uitbreiding der ondernemingen.” 13 (Pemberian tanah-tanah untuk perusahaan
perkebunan di Deli telah membawa keuntungan kepada Sultan kerajaan ini melalui kenaikan
hasil dari monopoli-monopoli dan pajak-pajak, namun bagi penduduk melihat hal ini sebagai
sebuah pembatasan atas tanah-tanah (mereka). Sesungguhnya ada pertanyaan di sini apakah
para pekebun awal dengan cermat memperhitungkan hak-hak atas tanah dan tanamantanaman yang dimiliki penduduk, yang terletak di kawasan konsesi, yang telah mereka
tentukan untuk penanaman dan harus diterima, bahwa penduduk juga mendapatkan

keuntungan tidak langsung dari perkebunan-perkebunan orang-orang Eropah, namun kadangkadang mengalami kerugian karena itu. Demikianlah dikalangan penduduk timbul
ketidaksenangan terkait perluasan perkebunan-perkebunan ini.
Lawan! Bakar!: Ini Tanah Punya Siapa?
Batak Oorlog dengan nama lainnya Perang Sunggal menjadi satu bentuk resistensi yang
sangat jelas terhadap keputusan-keputusan sepihak Sultan Deli dan hal ini berimplikasi luas
pada masa itu. Sinar menuliskannya sebagai berikut: “Karena rakyat Sungal melihat
disekeliling mereka, di Deli dan daerah Langkat, tanah-tanah rakyat yang subur diberikan
untuk konsesi perkebunan tembakau kepada maskapai-maskapai asing, sedang
keuntungannya tidak untuk rakyat disitu. Mulailah Sunggal mulai berjaga-jaga dan
menentang cara-cara yang tidak bersahabat tersebut. Kejadian meledak ketika di tahun 1870
Sultan Mahmud Deli berani menyerahkan tanah subur kepada maskapai Belanda “De
Rotterdam”, tanah mana terletak di dalam wilayah Sunggal. 14 Selanjutnya dari Pihak
pemerintah Belanda mencari-cari juga apa sebenarnya latar belakang perlawanan rakyat ini.
Resident Rier melaporkan kepada Governour Generaal (GG) dengan surat tanggal 9-8-1872
No.2001/1 bahwa ada pendapat dari bekas kontrolir Deli bernama De Haan yang mengatakan
bahwa mungkin sebab-sebab perlawanan itu karena ketidakpuasan dari datuk-datuk/Suku dan
Penghulu-penghulu Karo di wilayah-wilayah urung karena tuan-tuan kebon Belanda
bersimaharajalela di Deli dan bersama mereka dimasukkan pula orang-orang Cina sehingga
penduduk asli jadi terdesak kehidupannya. Sudah diketahui Belanda bahwa memang pernah
ada rapat rahasia antara keempat datuk15 dengan raja-raja urung di Deli yang berlangsung di

Sunggal bahkan inti usul mereka secara terang-terangan sudah disampaikan kepada Sultan
Deli yaitu: a. Apakah wilayah urung akan diobah karena adanya pemberian tanah-tanah
secara besar-besaran oleh Sultan Deli kepada pengusaha-pengusaha perkebunan eropah? 2.
Apakah dengan itu, kekuasan hukum para kepala-kepala urung akan juga berkurang,
misalnya kepada orang-orang Cina?16 3. Apakah kepala-kepala urung dan penghulu12

Said, Ibid. Untuk uraian panjang tentang Perang Sunggal, bisa dibaca tulisan T.Luckman Sinar SH, Perang
Sunggal (1872-1895), (Medan: Percetakan Perwira, 1987).
13
Schadee, loc.cit.
14
Tengku Luckman. Sinar. Perang Sunggal (1872-1895).Medan: Percetakan Perwira: 1987, hal.10.
15
16

Tentang kedatangan, tantangan dan bagaimana imigran Cina hidup di Deli dan sekitarnya, lihatlah
Bruin.A.G. Mededeling No.I. De Chinezeen ter Oostkust van Sumatra. Leiden: E.J.Brill, 1918. Juga, Bool. H.J.

4


penghulunya berhak atas andil atas sewa tanah yang diberikan oleh Sultan kepada pengusahapengusaha perkebunan eropah itu.17
Ketegangan-ketegangan antara penduduk dengan para penguasaha onderneming terkait hakhak tanah adat mereka ternyata menjurus kepada sengketa fisik. Gouw Giok Siong
mengutarakan:”dapat disimpulkan bahwa ketika Sultan Mahmud (Sultan Deli pada saat itu)
memberikan konsesi-konsesi kepada para ondernemer baik kepada Nienhuijs maupun kepada
lain-lain yang kemudian menjadi Deli Maatschappij, yaitu daerah Mabar hingga Deli Tua,
tanpa memperhatikan hak-hak rakyat telah menimbulkan kesulitan-kesulitan. Begitu hak-hak
adat tanah rakyat digencet, begitu timbul chaos dengan terjadinya pembakaran-pembakaran
bangsal-bangsal tembakau dan perusakan tahunan. Baru sesudah diakui hak mereka dan hal
itu kemudian disesuaikan dengan adanya konsesi. Banyak hak-hak rakyat itu ditambahkan
pada akte konsesi dilakukan dengan pasal supletoir tentang hak-hak dari pada rakyat tersebut.
Proses tembakau Bremen juga berhasil karena diakui bahwa hukum adat masih berlaku di
atas areal tembakau Deli.18
Gugatan-gugatan atas hak-hak yang dimiliki pemegang konsesi dalam kaitannya dengan hakhak masyarakat lokal yang telah ada sebelumnya terus terjadi dalam tahun-tahun sesudahnya,
dan ini bisa dilihat dari perubahan model akte konsesi dari tahun 1877 sampai dengan tahun
1892. Sampai tahun 1933 sajapun perdebatan tentang itu masih berlangsung. Buffart secara
tajam menuliskan: “Walaupun telah ada penyerahan tanah dengan cara-cara konsesi, di atas
mana ada hak-hak penduduk asli, tidaklah benar bahwa pemegang konsesi memiliki hak
penguasaan tunggal (mutlak) atas tanah tersebut. Konsesi pertanian mengandung juga
pengaturan tentang tanah-tanah penduduk dan oleh karena itu konsesionaris mesti
memperhitungkan tentang hak-hak penduduk atas tanah tersebut. Perjumpaan yang sama dari
dua pemagang hak atas sebuah alas tanah yang sama akan menimbulkan persoalan besar,
terutama karena hak-hak penduduk bersandar dalam hukum tak tertulis, hukum kebiasaan
atau seperti umum saat ini mengenalnya sebagai apa yang disebut dengan hukum adat. Hakhak penduduk yang mana, seluas apa, tentulah akan menjadi satu hal yang menjadi sumber
persengketaan.”19
Uraian-uraian di atas secara tersirat hendak meneguhkan bahwa sejak awalnya (sebelum
kedatangan para planters dan onderneming), orang Melayu di Sumatera Utara telah memiliki
hak tanah mereka, baik secara individu maupun komunal. Catatan Anderson pada awal abad
ke 19 menyebutkan: “hutan-hutan banyak sekali ditumbuhi tumbuhan akar-akaran dan daundaunan yang juga digunakan sebagai sayuran. Orang-orang kampung melakukan cocok
tanam perladangan di hutan-hutan yang dibuka sementara, tidak jauh dari tepi-tepi sungai. Di
tempat-tempat tertentu, saya terpaksa berjalan kaki, karena perahu bergerak terlalu lambat, ia
mengikuti jalan-jalan kecil yang membentang menyusuri sungai. Ia sering menemukan orang
laki-laki sibuk menebangi kayu hutan untuk membuka ladang.20
De Chineese Immigratie naar Deli. Pertumbuhan yang sangat pesat dari para imigran ini terlihat di halaman 1
dan 91-nya. Dari sejumlah 37.608 jiwa per April 1915 menjadi 132.000 jiwa per tanggal 5 April 1916 .
17
Ibid. Hal. 24. De Ridder, J. Menambahkan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan Batak Oorlog meletus.
Pertama adalah adanya kesulitan yang besar dari pemegang konsesi dan Sultan Deli untuk menentukan posisi
hukum para penduduk Batak yang datang dan tinggal dalam dan di luar batas-batas areal konsesi (yang dalam
hukum adat mereka sebelumnya bukan merupakan suatu masalah) dan yang kedua adalah para pemimpin Batak
di kawasan itu tidak mendapatkan bagian dari pembayaran pihak perkebunan kepada Sultan Deli) pada tahuntahun pertama konsesi perkebunan dibuka.
18
Gouw Giok Siong, Perkara Tembakau Indonesia di Bremen, (Jakarta:Penerbit Pesat NV, 1958), hal.10.
19
JFA.M. Buffart, .Dr. “Rechten van de Bevolking op in Landbouw Concessie Uitgegeven Gronden.” Overdruk
uit “Indische Gids”, Juli – Aflevering 1933. Uitgave Vereeniging Indie Nederland. Hal.3
20
Anderson, op.cit. hal.4.

5

Ridder, mencontohkan satu kondisi komunalisme di kalangan penduduk di kawasan Pantai
Timur Sumatera dengan mengutip satu laporan di wilayah Panei. “Op bladzijde 572 e.v. van
een bericht “over het landschap Panei”21 blijkt, dat het grondgebied communaal was. Slechts
bij het kiezen van een stuk grond om een ladang aan te leggen, dient de kamponghoofd te
raadplegen. De diensten, welke de bevolking moet verrichten zijn: a. Wachtdiensten in de
kampong; b. Hulp in nood, b.v wanneer eene kampong wordt bedreigd door vijandelijke
banden; c. Het bouwen van een huis voor den Vorst en het leveren van de bouwmaterialen
daarvoor; d. Het bewerken en beplanten van ladangs voor den Vorst en ook voor de andere
hoofden; e. Het vergezellen van zijn Vorst op zijne reizen. (di halaman 572 dari sebuah berita
tentang wilayah Panei, kelihatan bahwa lahan tanah bersifat komunal. Hanya, jika seseorang
memilih sebidang tanah untuk dijadikan ladang, dia mesti meminta izin kepada kepala
kampung. Kewajiban/Tugas yang setiap penduduk (dewasa) harus laksanakan adalah: a.
Menjaga kampung; b.Pembangunan sebuah rumah untuk Raja dan pengadaan bahan-bahan
bangunan untuk itu; c. Mengerjakan dan menanami tanaman di ladang untuk kepentingan
Raja dan kepala-kepala (pimpinan kampung) lainnya; e. Mengiringi Raja jika bepergian) 22
Kelihatannya ada perbedaan-perbedaan yang tegas tentang corak penguasaan tanah
dikalangan orang-orang Batak di dataran tinggi dan orang-orang Melayu di pesisir (dataran
rendah). Ridder mengungkapkannya dengan kalimat: In de Bataksche Landschappen behoort
de grond aan de heerschenden stam die zich het eerst in het land heeft gevestigd, dan wel dit
van de oorspronkelijke bezitters heeft veroverd, gerepresenteerd door de stam, tevens
landschapshoofden. In de praktijk is de beschikking over den grond echter bij de
dorpshoofden, als vertegenwoordigers van het stamhoofd. .. In het Maleische gedeelte kende
men alleen het recht verkregen door feitelijke inbezitname of door de wil van de radja. (Di
wilayah-wilayah Batak, tanah berada pada suku yang pertama sekali mendiami, pemilikpemilik terdahulu yang telah ditaklukkan, diwakili oleh Suku (penakluk, pen), dan juga
kepala-kepala kampung. Di dalam prakteknya, penguasaan atas tanah berada pada kepalakepala kampung, yang menjadi wakil kepala suku. Di wilayah orang-orang Melayu, orang
hanya mengenal hak-hak yang (tanah) yang diperoleh melalui kepemilikan faktual atau atas
kemauan (persetujuan) Raja.23
Namun begitu, Mahadi berpendirian: “hak-hak adat orang Melayu atas tanah baik sebelum
maupun setelah konsesi memang ada. Apabila sebelum konsesi ruang lingkup dan isi hak-hak
itu bersifat samar-samar, maka di dalam akta-akta konsesi hak-hak itu mendapat kodifikasi,
memperoleh rumusan, mendapat pengukuhan dan pengakuan.” Jadi seandainya ada Raja
memandang semua tanah adalah kepunyaannya, namun di dalam kenyataan, rakyat bebas
membuka hutan, boleh berladang secara berpindah-pindah, dimungkinkan membuka dan
memelihara kebun seluas kesanggupan, boleh kerja sendiri dengan bantuan anggota keluarga,
boleh dengan memakai tenaga upahan, dibenarkan mengambil kayu di hutan untuk
bermacam-macam keperluan, diizinkan mengambil hasil hutan tidak saja untuk keperluan
sehari-hari tetapi untuk diperniagakan kemudian setelah hubungan manusia dengan tanah
yang didudukinya sudah semakin kompleks sehingga terbuka pula kesempatan untuk
memperoleh suatu surat keterangan tentang hubungan yang sudah kontinu dan stabil itu,
21

Dirujuk dari sebuah artikel dengan judul: “Mededelingen betreffende het Landschap Panei en het
Radjahgebied”. Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde van Ned-Indie, 7e. Volgreeks, Deel II, 1904. Lebih
jauh lihatlah de Ridder, op.cit. hal.14
22
Ridder (walau tidak terlalu setuju) mencoba mengikuti pandangan Schumpeter tentang dualisme corak
masyarakat, yakni: Statische en Dynamische maatschappij. Dan masyarakat Sumatera Timur masa itu adalah
mewakili kelompok statis dengan memakai sebutan “adatrechtelijk traditionalisme”. Ridder, ibid. hal.16-17.
23
Ridder. Ibid. hal. 23-24.

6

surat itu mula-mula bernama surat kampung, kemudian surat Datuk dan seterusnya geran
(sertifikat), dengan alasan itulah kemudian Mahadi memberanikan diri untuk menduga bahwa
sejenis hak ulayat ada pada suku Melayu di Sumatera Timur dengan persekutuan hukumnya
ditingkatkan ke taraf Swapraja setelah Raja-Raja memperoleh kedudukan yang kuat.
Terkait pernyataan Mahadi soal bahwa akhirnya ada semacam pengukuhan dan pengakuan
atas tanah-tanah penduduk dalam akte-akte konsesi, oleh Buffart ditafsirkan lain, yang
membuat kita kembali mempertanyakan apakah pengakomodasian itu benar-benar didasarkan
pada pemahaman yang benar tentang hak-hak asli penduduk tersebut. Buffart secara kritis
mempertanyakan apakah sebenarnya bukan sesuatu yang terbalik meletakkan (atau mungkin
lebih tepat melekatkan) hak-hak penduduk atas tanah dalam akte-akte konsesi hanya sebagai
asesoris saja yang kesemuanya disandarkan atas perjanjian atau permufakatan antara
pemerintahan swapraja (kesultanan) dan para konsesionaris (pemegang hak konsesi).
Padahal, menurut beliau, hak penduduk atas tanahlah yang sebenarnya harus menjadi pilar
penting dalam penyusunan hak-hak apa saja yang dimiliki oleh pihak-pihak di dalam
perjanjian konsesi tersebut.
Dengan sedikit sinis ia mengatakan: “Orang lupa bahwa konsesi hanyalah sebuah perjanjian
antara dua pihak, pemerintahan swapraja dan pemegang konsesi. Penduduk dalam hal ini
bukan pihak-pihak (dalam perjanjian). Dan juga konsesi bukanlah pula, seperti hukum
Eropah menyebutnya, sebuah perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, yakni para
penduduk. Konsesi hanya mempengaruhi hak-hak dan kewajiban-kewajiban kedua belah
pihak yang ada dalam kontrak. Penduduk memang disebutkan di dalam kontrak tersebut , tapi
hanya bila menyentuh hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pihak-pihak yang ada dalam
kontrak atas hak-hak penduduk. Hak-hak penduduk oleh karena itu hanya dituliskan secara
insidentil dalam aturan-aturan konsesi dan oleh karena itu mungkin bisa dihilangkan juga
dari akte konsesi tersebut.”24
Tentang siapa yang lebih berhak atas tanah komunal, Mahadi berkata: “kalau woeste grond
diartikan sebagai tanah hutan, yaitu tanah yang tiada seseorang tertentu mengakui sebagai
haknya, maka kita dapat bertitik tolak dengan sebuah dalil bahwa bahwa Sultan/Raja juga
tidak merupakan pemilik tanah tersebut (susunan aslinya sebenarnya adalah: Sultan/Raja
tidak mengakui tanah adalah miliknya)”.25 Walaupun di awalnya Mahadi sedikit ragu dalam
menunjukkan pihak yang paling tepat dianggap sebagai pemilik atas woeste grond tersebut,
namun dari elaborasi data yang dia deskripsikan kemudian beliau sampai pada kesimpulan,
dengan meminjam perkataan seorang sarjana Belanda, Lekkerkerker, de regeling van de
beschikking over gebruiksrechten op grond toekomst aan gemeenshappen (pengaturan dan
kekuasaan terhadap tanah terletak ditangan persekutuan hukum).26 Hak Raja tidak ada.
Kalaupun Raja itu menganggap dirinya (zich beschouwen) sebagai pemilik tanah, maka
anggapan itu harus kita tinjau dalam rangka sejarah naiknya seseorang itu sampai menduduki
kursi tahta kerajaan, yaitu melalui peperangan/pertempuran/perkelahian.
Penafsiran yang dipakai oleh Pemerintah Hindia Belanda tentang woeste grond secara jelas
menunjukkan cara pandang “Barat” atas tanah. Dengan woeste grond diartikan sebagai tanahtanah yang tidak dibudidayakan atau tidak digarap oleh penduduk pribumi dan juga bukan
milik bersama atau tidak termasuk ke dalam kekuasaan pimpinan/kepala kampung (gronden,
24

Buffart, op.cit. hal. 6.
Mahadi, Ibid. Hal.87
26
Lekkerkerker, J.G.W. Concessie en Erfpachten ten behoeve van Landbouwondernemingen in de
Buitengewesten van Nederlands Indie. Groningen-Den Haag, JB.Wolters, 1928. Hal.112
25

7

niet door de inlanders ontgonnen, noch als gemeene weide of uit eenigen anderen hoofde tot
de dorpen behoorende).27 Adakah tanah-tanah yang tidak digunakan dalam cara pandang
pribumi dan oleh karena itu tidak ada yang memilikinya atau memegang kekuasaan atasnya?
Pelzer menunjukkan bahwa di mata orang Melayu dan Batak tidak ada tanah yang sama
sekali tak terpakai, karena semua tanah berguna sebagai tanah perburuan dan juga dipakai
untuk tempat penimbunan hasil-hasil hutan seperti bahan bangunan, kayu api, damar, bahan
pangan, bahan-bahan mentah untuk pembuatan alat-alat, dan banyak lagi produk-produk
lainnya. Dan di atas semua itu, semua tanah adalah potensial bagi perladangan huma.
Pendeknya, semua tanah dalam cara apapun mendukung kehidupan seluruh penghuninya.28
Woeste grond inilah sebenarnya yang menjadi objek tanah dalam konsesi. Tanah hutan, tanah
liar, tanah tak terpakai, tanah kosong, tanah tak dibudidayakan atau apapun namanya adalah
jenis tanah yang dikonsesikan oleh Sultan-Sultan di Sumatera Timur kepada pengusaha
onderneming yang boleh jadi adalah tanah-tanah yang berada dalam wilayah kampung dan
susunan-susunan organisasi komunal di bawahnya. Inilah tanah yang disebutkan oleh
Kleintjes sebagai het recht, hetwelk tot inhoud heeft de bevoegheid van een inlandsche
gemeenschap – hetzij een territoriale als een dorp of dorpenbond, hetzij een genealogische
als een stam om aan zichzelf en haar leden het recht toe te kennen binnen een zekeren
gebiedskring den woestgebleven grond naar goedvinden in gebruik te nemen en aan anderen
it recht toe te kennen, alleen met haar toestemming tegen betaling van retributie of een
huldegift.29 (Tanah yang kewenangannya ada pada komunitas pribumi, yang bersfat teritorial
sebagai sebuah kampung atau kesatuan kampung, yang bersifat genealogis sebagai sebuah
suku yang memberikan hak kepada anggota komunitas kampung untuk menggunakan tanah
yang kosong dan juga buat orang luar dengan persetujuan dan pembayaran retribusi atau
pemberian yang bersifat penghormatan).
Uraian Kleintjes di atas bersesuaian dengan deskripsi Bool untuk persoalan yang sama. Bool
mengatakan: “vroeger dan had iedere kampong zijn eigene gronden, in cultuur gabrachte en
woest, waarvan de grenzen nauwkeurig bekend waren. Die kampongs met hunne gronden
vormden een zelfstandig deel van het rijk. De Datoes confereerden met de kamponghoofden.
De Kampongbewoners hadden een collectief bezit op de gronden.” ( Dahulu, setiap kampung
memiliki tanahnya masaing-masing, baik tanah-tanah yang diusahakan maupun tanah-tanah
liar (hutan), yang batas-batasnya diketahui dengan cermat. Kampung-kampung tersebut
beserta tanah-tanahnya membentuk sebuah wilayah otonom dari kerajaan. Para Datuk
bermusyawarah dengan kepala-kepala kampung. Penduduk kampung memiliki hak milik
kolektif atas tanah).30
Darus dengan mengutip HJ.Bool mengatakan:”Adanya kerajaan-kerajaan di sepanjang pantai
Sumatera Timur itu tidak merubah keinsyafan rakyat terhadap hukum adat tanah tersebut.
Bahwa kedudukan raja hanyalah sebagai pemangku adat yang mengurus, mengatur dan
mengawasi kelancaran dan tertibnya pelaksanaan hukum adat tanah dan bukan pemilik tanah.
Bahwa hak pertuanan itu adalah hak rakyat.”31
Adat Rechtsbundel mencatat dalam versi yang sama soal ini: “De vorst, die de concessie gaf,
was zelf in zijn rechten beperkt door de gebruiksrechten, welke de bevolking ontleent aan de
27

Lekkerkerker, J.G.W. Op.cit. Hal. 71.
Pelzer, K. Op.cit. Hal.96.
29
Kleintjes. Staatsinstellingen van Nederlandsch- Indie. Amsterdam, 1924 Hal.294.
30
Bool, H.J. De Landbouwconcessie in de Residentie Sumatra oostkust van Sumatra. Tanpa tahun, Hal.53.
31
Ibid. Hal.2.
28

8

volksinstellingen, die de vorst bij zijn optreden bezworen heeft te eerbiedigen.” (bahkan Raja,
yang memberikan konsesi, hak-haknya dibatasi oleh hak-hak untuk menggunakan/hak pakai
yang diserahkan rakyat kepadanya, dan oleh karena itu raja dengan tindakan-tindakannya
telah berjanji untuk respek (dengan rasa hormat) kepada rakyat). Di kampung orang-orang
Batak, hak pakai atas tanah itu oleh suku-suku lain dengan kompensasi bahwa mereka
dikenakan wajib untuk menjaga kampung dan sebagi penduduk yang tinggal di ladangladang. Kepala rumah tangga, janda dengan anak-anaknya, kadang-kadang duda dengan
anak-anaknya juga memiliki hak untuk menggunakan lahan/hak pakai. Untuk orang-orang
“kecil (biasa)”, mereka hanya mempunyai hak pakai di kampung dimana mereka tinggal.
Sama sekali tidak ada bedanya, apakah kampung iti dipimpin oleh orang Batak atau orang
Melayu..32
Model akte 1877 yang memberikan kekuasaan kepada Sultan Siak dan Orang-Orang
besarnya untuk menyerahkan sebidang tanah hutan kepada pekebun asing menandai awal
terpenjaranya hak tanah komunal orang Melayu di Pesisisir Timur Sumatra secara lebih
formal. Senyatanya sejak konsesi-konsesi awal yang berusia 10 sampai 14 tahun, tanah-tanah
itu sudah disewakan melalui kontrak-kontrak konsesi yang berbeda dari satu wilayah ke
wilayah lain dan dari satu pengusaha ke pengusaha lain. Model akte 1877 menandai campur
tangan pemerintah Hindia Belanda yang lebih jauh untuk “menata” dan sekaligus intervensi
atas kontrak-kontrak perdata yang selama ini dibuat antara sultan dan para pengusaha
onderneming.
Kembali ke posisi hak tanah penduduk dalam konsesi-konsesi yang dibuat oleh Sultan
(terutama kesultanan Deli) dan pengusaha asing, setelah bertahun-tahun berjalan barulah
kementrian dalam negeri Belanda dan juga pemerintahan kolonial di Batavia menyadari
bahwa konsesi-konsesi awal, yang dirundingkan antara raja-raja kecil itu dengan pengusahapengusaha onderneming tanpa peran serta dari seorang wasit yang mewakili kepentingankepentingan ekonomi dan hukum pihak kawula (rakyat), adalah sangat tidak adil terhadap
rakyat kecil. Serangkaian contoh kontrak disusun, tetapi para pengusaha onderneming itu
keberatan dan keras terhadap gagasan untuk memperbaiki konsesi-konsesi awal. 33 Di dorong
oleh kekecewaan mereka, tidak jarang para petani itu membakari bangsal-bangsal
pengeringan yang penuh daun tembakau panenan.
Agrarische Wet dan Kontrol atas Tanah Adat
Di tingkat kebijakan yang lebih luas, tantangan terhadap eksistensi hak tanah adat (hak ulayat
adat) sebenarnya mulai jelas kelihatan tatkala Agrarisch Wet 1870 dengan pernyataan domein
dalam pasal 1 Agrarische Besluit (Staatsblad No.118 tahun 1870) diberlakukan. Pasal 1-nya
menyatakan: “ dengan perkecualian atas tanah-tanah yang dicakup dalam paragraf 5 dan 6
dari pasal 51 dari Indisch Staatsinrichting van Nederland Indie, semua tanah yang tidak
memiliki hak yang dapat dibuktikan maka ia menjadi milik negara. Aturan ini bagaimanapun
juga mendapat tantangan hebat dari para ahli hukum adat seperti, Ter Haar, Van Vollenhoven
dan Logemann. Menurut mereka, aturan tersebut berisi maksud para perancang undangundang untuk tidak mengecualikan tanah apapun juga. Semua tanah hutan bila perlu sampai
puncak-puncak gunung, jika masyarakat mempunyai hak yang nyata maupun secara diamdiam diakui, tanah itu bukan tanah negara.34
32

Adat rechtbundels, VII. 55-56
Pelzer, op.cit hal. 137.
34
Lebih jauh lihat Herman Slaats, Erman Rajagukguk dkk, Masalah Tanah di Inonesia dari Masa ke Masa,
(Jakarta: Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi, 2007), hal.12
33

9

Lebih lanjut Van Vollenhoven menjelasakan bahwa untuk daerah luar pulau Jawa dan
Madura (antara lain Sumatera dan Minahasa) semua tanah yang tidak dibudidayakan
(termasuk kedalamnya tanah hutan) ditetapkan sebagai domein negara. Itu berarti di atas
tanah domein, penguasaan atas tanah sepenuhnya ada di tangan pemerintah kolonial. Namun
demikian, menurut Van Vollenhoven, akan jauh lebih baik apabila hak-hak masyarakat
bumiputera tidak diganggu-gugat. Ia juga menyatakan bahwa kewenangan pemerintah
kolonial maupun kewenangan kepala adat sebaiknya dipertimbangkan tatkala memutuskan
pemberian konsesi perkebunan, kepada misalnya orang Eropa dan Tionghua. Sehingga untuk
perkebunan dengan skala besar, pengajuan permohonan untuk mendapatkan persetujuan dari
pemerintah berdasarkan suatu peraturan umum seharusnya dipersyaratkan. Kenyataannya
masyarakat lokal tidak pernah dilibatkan dalam proses pemberian izin demikian, hak ulayat
mereka dikesampingkan begitu saja, dan tampaknya pemerintah kolonial tidak mau berbagi
klaim eksklusif mereka atas seluruh tanah yang ada.35
Pasal 9 dari Stb 1870 No 118 tersebut secara tegas menentukan tanah-tanah yang tidak bisa
dikenakan erfpacht, yakni: a. Tanah-tanah yang diatasnya ada hak orang lain (Gronden
waarop anderen regt hebben), kecuali mereka tidak ingin menggunakan haknya tersebut; b.
Tanah-tanah yang diaggap mempunyai hubungan magisch/suci (gewijde) oleh penduduk
pribumi; c. Tanah-tanah yang diperuntukkan untuk pasar-pasar atau peruntukan buat orang
banyak/umum (openbare markten of openbare dienst bestemd); d. Kebun-kebun kopi
permerintah; e. Tanah-tanah pohon Jati dan tanaman/kayu hutan lainnya; f. Tanah-tanah yang
terletak di dalam wilayah Gubernur Jenderal, yang ditetapkan untuk ditanami tanaman
pemerintah; f. Tanah-tanah yang disediakan untuk pengembangan tanaman kopi.36
Hanya tanah negara bebas yang dianggap sebagai domein negara, kedalamnya tercakup hak
keperdataan negara atas tanah. Sedangkan tanah negara tidak bebas adalah tanah di atas mana
masih melekat hak-hak adat maupun yang di atasnya dibebani hak milik mutlak berdasarkan
KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek). Pertanyaan yang muncul di sini ialah hak-hak masyarakat
manakah yang dianggap berada di bawah yurisdiksi domein negara, dan mana yang tidak?
Pertanyaan ini tidak juga bisa dijawab, lebih disebabkan atas perbedaan konsepsional
(ketidakjelasan) tentang apa yang oleh pihak pemerintah kolonial dianggap sebagai vrij en
onvrij landsdomein itu berbeda dengan apa yang ditafsir atau dimaknai oleh penduduk
peribumi dan pimpinan-pimpinan adatnya.
Sesudah 1870, utamanya setelah Domeinnota dikeluarkan pada tahun 1916, Doktrin Domein
dalam arti luas telah diterima secara umum.37 Konsekuensi dari itu ialah bahwa tidak banyak
hak-hak masyarakat hukum adat yang diakui sekaligus mendapat jaminan hukum. Dengan
kata lain, rentang kendali kekuasaan negara dengan melalui prinsip domein menjadi sangat
luas.38 Dengan tafsir yang lebih luas, maka biasanya Deklarasi Domein biasanya dibaca
35

Ibid Hal.71, Termorshuizen-Arts, Op.cit. Hal.52.
Penyebutan tanah-tanah yang tidak bisa disewakan ini kemudian diperkuat lagi dengan Stb.1872 No.116,
wijziging van het Koninklijk besluit, opgenomen in Indisch Staatsblad 1870 No.118.
37
Pada tahun 1916 Domeinnota (Memorandum Domein)diterbitkan. Domeinnota tersebut dibuat oleh seorang
birokrat dari kementrian G.J.Nolst Trenite dan diterbitkan sebagai apendiks pada Agrarisch Reglement voor de
Residentie Sumatra’s Westkust met toelichting. Batavia:landsdrukkerij 1916. Domeinnota sejak itu dianggap
mewakili pandangan pemerintah mengenai cara seharusnya Doktrin Domein ditafsirkan dan diberlakukan.
38
Lihat Termorshuizen-Arts, Marjanne. Rakyat Indonesia dan tanahnya: Perkembangan Doktrin Domein di
masa kolonial dan Pengaruhnya dalam Hukum Agraria Indonesia, dalam Safitri, Myrna A dan Tristan
Moeliono. Hukum Agraria dan Masyarakat Indonesia. Jakarta, HuMa, Van Vollen Hoven Institute dan KITLVJakarta. 2010, hal,39.
36

10

sedemikian rupa (cq pasal 520 KUHPerdata) bahwa tanah-tanah yang tidak dikelola dan tidak
ada pemiliknya akan dianggap kepunyaan (milik) negara. Ini jelas berbeda dari tafsir awalnya
yang hanya memberi kewenangan negara hanya pada vrije landsdomein. Dengan kata lain,
bahwa dengan tafsir seperti ini, negara juga merengsek masuk ke wilayah/lahan yang selama
ini telah diclaim sebagai tanah komunal adat dan yang sejenisnya (onvrije landsdomein),
sepanjang tidak bisa dibuktikan oleh pihak yang mengakuinya.39
Tuntutan Tanah Jaluran: Menjadi Pengemis di Tanah Tumpah Darahnya
Satu dari beberapa tanah komunal adat yang dikenal di kalangan orang Melayu Deli dan
sekitarnya serta menimbulkan polemik yang cukup panjang di kalangan pemegang konsesi
dan pemerintahan Hindia Belanda adalah tanah jaluran. Ini merupakan tanah bekas tanaman
tembakau yang diserahkan kepada opgezetenen (rakyat penunggu) untuk ditanami padi dan
atau jagung dalam satu periode waktu tertentu (sekali dalam setahun, satu musim panen).
Kata opgezetenen ini menimbulkan bermacam tafsir. Perkebunan menyatakan yang berhak
memperoleh tanah jaluran hanya orang-orang yang pada saat pemberian konsesi sudah
mempunyai rumah dalam persil konsesi. Namun pernyataan ini dipandang terlalu sempit.
Malah dalam akta konsesi 1884, pengertian opgezetenen berubah menjadi “semua kepala
keluarga baik yang telah tinggal di tanah yang bersangkutan maupun sesudah penyerahan
tanah, kedua golongan itu yang menurut adat digolongkan kepada yang berhak atas tanah.40
Tentang tanah jaluran, Ardiwilaga mengatakan: “bahwa rakyat disamping hak atas tanah
selingan, juga harus mempunyai kemungkinan untuk menanam padi di kebun yang baru
dituai. Dalam pasal 11 model akte 1884, pengusaha wajib menyerahkan tanah tersebut untuk
ditanam padi atau jagung dalam satu musim. Luasnya maksimum satu setengah bahu untuk
tiap penduduk yang harus membayar retribusi dan menjual hasilnya pada pemegang konsesi.
Dalam model akte 1892 (pasal 9), kata-kata satu musim dirubah dengan satu panen. Luas
tanah jaluran ditetapkan separuhnya, sedang syarat wajib menjual padi dan jagung kepada
pemegang konsesi dihapuskan. Dalam syarat umum tentang landbouwconcessie di wilayah
swapraja, dalam hal ini kekuasaan dipegang oleh Gubernement (1902) dimuat ketentuanketentuan yang isinya sama seperti model akte 1982, hanya pasal 9 menegaskan bahwa bila
luasnya tanah jaluran itu adalah kurang dari 1 Ha untuk tiap keluarga, maka membagikannya
kepada rakyat penunggu yang berkepentingan akan dilakukan oleh Residen.41

39

Pasal 520 BW di Hindia Belanda , menurut Termorshuizen-Arts, sebenarnya harus dibaca sebagai penegasan
bahwa tanah-tanah yang tidak dikelola dan tidak ada pemiliknya, akan dianggap kepunyaan (milik) negara.
Pemberlakukan pasal 520 BW di atas berimplikasi bahwa adalah negara yang harus membuktikan bahwa suatu
bidang tanah memang tidak dikelola dan tidak dimiliki seseorang. Hanya dalam hal itulah negara boleh
mengklaim dirinya sebagai pemilik. Namun dalam kenyatannya, Deklarasi Domein versi Hindia Belanda
membalikkan beban pembuktian: Bukan negara yang harus membuktikan, tetapi orang yang mengklaim hak
atas tanah yang harus membuktikan dirinya sebagai pemilik atau penguasa tanah yang sah. Ibid. Hal.40.
40
Burhan Aziddin, Masalah Tanah Jaluran dan Areal Penanaman Tembakau di PTP IX (Medan:Skripsi FH
USU, 1981), hal.37. Tiga studi penting tentang tanah jaluran dalam periode awal abad 20 bisa dilihat dalam
Bool.H.J. “Landbouwconcessies in de Residentie Oostkust van Sumatra.”, Jansen, Gerard. “Granrechten in Deli.
Uitgave vanSumatra-Instituut. 1925 dan Buffart. Op.cit.(1933). Masing-masing daerah swapraja memeiliki
aturannya tersendiri tentang siapa yang dimaksud dengan Rakyat Penunggu. Peraturan Rakyat Penunggu (Ra’jat
Penoenggoe Regeling) tahun 1924 yang berlaku di Kesultanan Serdang, sekurangnya ada 9 golongan yang
dikategorikan sebagai “de rechthebbenden op djaloeran” (pemegang hak jaluran) . Lihatlah lebih jauh, de
Ridder. Op.cit. Hal.46. Mahadi, op.cit hal.149-151. Perret, Daniel. Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan
Melayu di Sumatera Timur laut. Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia, 2010. Hal. 206-207, mengikut Bool,
H.J. menyebutkan 10 golongan.
41
Ardiwilaga, Roestandi. Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta:Penerbit Masa Baru, 1962), hal.370.

11

Sekurang-kurangnya, dalam kacamata pemegang konsesi, ada 3 kesulitan utama dalam
pengaturan tanah jaluran ini: Pertama, Areal tanah jaluran itu terbatas, sehingga tanaman
yang bisa ditanami oleh penduduk menjadi lebih kecil; selain itu akibat krisi, areal tembakautembakau yang ditanami diperkecil. Kedua, Dari pihak pemerintah diusulkan untuk membagi
dua kelompok pemegang hak jaluran, yakni mereka-mereka dan keturunan-keturunan orang
yang pada saat penyerahan konsesi telah terlebih dahulu ada/tinggal di kawasan konsesi dan
yang kedua, kelompok yang setelah penyerahan konsesi, berdasarkan aturan-aturan dari
rakyat penunggu dianggap sebagai orang-orang yang memiliki hak atas tanah jaluran.
Kesulitan datang, jika orang-orang pada kelompok kedua ini ingin merubah pembagian yang
sudah diputuskan sebelumnya, yang jelas-jelas itu tidak bisa dilakukan. di dalam pembagian
itu ; Ketiga, Jauh sebelumnya, pemegang konsesi telah mempunyai pendirian akan
memberikan jaluran kepada pemegang hak jaluran saja, seperti tertera dalam kontrak konsesi;
sebab dengan dihapuskannya poenale sanctie dan menurunnya upah kuli, jaluran menjadi
pengikat untuk mempertahankan tenaga kerja pribumi (Meer dan vroeger stellen zich de
concessionarissen op het standpunt, slechts aan djaloerans ter beschikking van de
rechthebbenden af te staan, wat contractueel is bedongen; omdat met afschaffing der poenale
sanctie en de sterk verminderde koeliloonen, de djaloerans een voornaam bindmiddel vormen
voor het behoud der inlandsche werkkrachten).42
Konsesi pertama di tahun 1864 yang diberikan kepada Nienhuijs misalnya, belum diatur
secara lengkap syarat-syarat mengenai hak rakyat. Hanya yang diatur jangka waktu
pemberian konsesi dan luas tanah yang diberikan. Pada tahun 1877 barulah untuk pemberian
konsesi ditentukan dalam model kontrak (Gouvernements Besluits 27 Januari 1877 No.4
Beijblad No.3381), pun di dalam model kontrak itu belum diadakan syarat-syarat yang
sempurna baik bagi rakyat setempat, maupun bagi pemegang konsesi. Hak rakyat setempat
hanya di ataur dalam satu ketentuan yang secara ringkas yang menyatakan manakala dalam
perusahaan tanan konsesi kedapatan kampung-kampung atau tanah-tanah yang masih dipakai
oleh rakyat, maka pemegang konsesi tidak boleh menguasai tanah itu.
Pemberian konsesi pada pengusaha-pengusaha Belanda atas tanah yang menjadi hak dari
masyarakat hukum (kampung) setempat membawa akibat bagi hak masyarakat hukum itu
atas tanah, baik untuk mereba (ontgeningrecht) maupun untuk mengambil hasil-hasil hutan,
berladang dan sebagainya. Oleh karena itu model Kontrak 1877 juga tidak dipandang
sempurna dan karena itu diadakan peninjauan dan penambahan terhadap syarat-syarat yang
sebenarnya di dalam akte konsesi. Demikianlah pada tahun 1878 model kontrak yang kedua
untuk perjanjian konsesi itu, dimana pertama kalinya terdapat suatu ketentuan tentang
kewajiban pemegang konsesi menyediakan tanah-tanah kebun kepada penduduk. Pasal 6
konsesi tersebut berbunyi: “jika dalam batas-batas tanah yang dimaksud dalam pasal 1
perjanjian ini terdapat rakyat, maka tanah-tanah yang mereka pergunakan , sendiri untuk
pertanian, ditambah dengan tanah yang cocok yang diperlukan untuk pengganti sampai luas
sejumlah empat bahu (1 bahu setara dengan 0.7 ha) untuk tiap-tiap rakyat harus tetap dapat
mereka pergunakan dengan bebas.”43
Semua kontrak konsesi perkebunan yg disebutkan di atas berisi ketentuan-ketentuan, bahwa
setiap keluarga yang bertempat tinggal dalam daerah konsesi akan diserahkan empat hektar,
atau pada konsesi-konsesi kemudiannya empat bahu (2,8 hektar), atas dasar pindah tempat
untuk mereka kerjakan. Dalam prakteknya perkebunan tembakau cenderung mengabaikan
42

De Ridder, Op.cit. hal.47.
Soewanda, Usra. Masalah Tanah Jaluran sebagai Ujud Hukum Adat Tanah Melayu Sumatera Timur, skripsi
Institut Ilmu Pemerintahan, (Jakarta:1974). Hal.43-44.
43

12

ketentuan ini, memanfaatkan semua tanah dari konsesi itu untuk mereka tanami. Begitu
berharganya tembakau Deli yang luar biasa mutunya untuk membungkus cerutu ini, sehingga
kaum planters begitu borosnya memanfaatkan tanah, yakin bahwa setiap tumpak tanah hanya
boleh ditanami tembakau satu kali dalam delapan atau sembilan tahun. Sistim menggilirkan
pemanfaatan tanah ini memungkinkan perkebunan untuk menyerahkan tanah sedang
“menganggur” sesudah panen tembakaunya untuk dipakai penduduk selama satu tahun
dimana mereka bisa berladang. Setelah satu tahun tanah ini kembali dikosongkan sampai
enam atau tujuh tahun untuk kemudian dipersiapkan kembali bagi penanaman tembakau.
Tanah perkebunan yang boleh dipakai penduduk untuk satu tahun itu dinamakan tanah
jaluran. Setiap keluarga penduduk mendapatkan 0.6 hektar tanah jaluran untuk satu tahun
pemakaian, tanah “yang gemuk dengan pupuk, cermat dipersiapkan dan umumnya sangat
subur. Luas yang sedemikian itu dapat menghasilkan panen sebanyak 600 gantang (1920 kg)
beras dengan tenaga kerja yang sedikit44.
Kesempatan mendapatkan pemakaian tanah jaluran yang subur itu mengurangi selera petanipetani Melayu untuk mendapatkan tanah empat hektar yang ditentukan semula, karena
memerlukan pencangkulan dan pengolahan yang lebih banyak makan tenaga sedangkan
hasilnya biasanya sedikit. Petani Melayu yang mendapatkan jatah tanah jaluran itu dapat
mengerjakan tanamannya sendiri, atau menyewakannya kepada orang Cina atau Jawa. Pada
era-era sebelum tahun 1920, hanya tanah jaluran yang banyak diminta, dan setiap tuntutan
planter yang cenderung akan ditolak segera diimbangi dengan jatah tanah jaluran yang lebih
luas untuk melunakkan sikap terutama kepala-kepala suku dan ulama yang berpengaruh.
Dalam perjanjian konsesi kemudiannya, penyediaan tanah jaluran dicantumkan sebagai
kewajiban pihak perkebunan.
Tentang Tanah Jaluran ini, Pelzer menyebutkan para pengusaha onderneming tidak segan
menggunakan kedudukan mereka yang istimewa, umpamanya untuk meyakinkan PejabatPejabat Departemen dalam Negeri setempat bahwa orang Batak karo dan Melayu yang
“malas” itu akan menelantarkan tanah-tanah yang sangat produktif, atau menyebabkan
ketidaksubu