PERTANGGUNGJAWABAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM AKIBAT KEGAGALAN KONSTRUKSI BANGUNAN YANG MERUGIKAN LINGKUNGAN SEKITAR PROYEK PEMBANGUNAN (STUDI KASUS PUTUSAN MA NO. 962 K/PDT /2009)

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM AKIBAT KEGAGALAN KONSTRUKSI BANGUNAN YANG MERUGIKAN LINGKUNGAN SEKITAR PROYEK PEMBANGUNAN

(STUDI KASUS PUTUSAN MA NO. 962 K/PDT /2009)

(Skripsi)

Oleh

RIDWAN ARDIANSYAH

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(2)

PERTANGGUNGJAWABAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM AKIBAT KEGAGALAN KONSTRUKSI BANGUNAN YANG MERUGIKAN LINGKUNGAN SEKITAR PROYEK PEMBANGUNAN

(STUDI KASUS PUTUSAN MA NO. 962 K/PDT /2009)

Oleh

Ridwan Ardiansyah 1012011258

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(3)

PERTANGGUNGJAWABAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM AKIBAT KEGAGALAN KONSTRUKSI BANGUNAN YANG MERUGIKAN LINGKUNGAN SEKITAR PROYEK PEMBANGUNAN

(STUDI KASUS PUTUSAN MA NO. 962 K/PDT /2009)

(Skripsi)

Oleh

RIDWAN ARDIANSYAH

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(4)

(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap penulis adalah Ridwan Ardiansyah, penulis dilahirkan pada tanggal 7 Maret 1991 di Kota Metro. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Sukidi dan Suparillah.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 8 Metro Utara pada 2004, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 8 Kota Metro pada tahun 2007 dan Sekolah Menengah Atas di SMA Yos Sudarso Kota Metro pada Tahun 2010.

Penulis terdaftar sebagai mahasiwa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negri (SNMPTN) pada tahun 2010. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif mengikuti kegiatan organisasi yaitu, UKM Fotografi ZOOM Universitas Lampung, Forkom UKM Universitas Lampung dan Bidang Konsultasi Bantuan Hukum (BKBH) Universitas Lampung.


(7)

MOTO

“Menjaga Setiap Perbuatan Dan Ucapan, Karena Kita Tidak Akan Tahu Dampak Negatif yang dapat Timbul Dari Kecerobohan dalam Berucap dan Bertindak”


(8)

PERSEMBAHAN

Dengan penuh rasa puji dan syukur Kehadirat Allah SWT dengan segala kerendahan hati kupersembahkan kepada :

Kedua orang tuaku tercinta Bapak Sukidi dan Ibu Suparillah yang telah membesarkanku dengan sabar dan penuh kasih sayang serta selalu mendo’akanku

agar senantiasa diberikan kemudahan dan kelancaran dalam setiap langkahku, Saudaraku tersayang Tri Hadi Hemansyah dan Indri Khusnul Khotimah yang senantiasa mendo’akanku, mendukung dan memberi semangat, tanpa kalian saya

tidak akan pernah meraih semua ini.

Serta Sumber Mata Air Ilmu, khususnya Bapak/Ibu dosen bagian hukum keperdataan dengan segenap ketulusannya untuk mencurahkan ilmu yang bermanfaat dan senantiasa memberikan motivasi, dukungan dan do’a untuk

kesuksesanku,

Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat, nikmat, barokah dan karunianya untuk kita semua sampai akhir zaman dunia dan akhirat.


(9)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Jasa konstruksi adalah industri yang terus berkembang seiring dengan pesatnya pembangunan. Saat ini, kebutuhan akan bangunan gedung yang dipergunakan untuk pemukiman, industri, fasilitas-fasilitas umum dan lain sebagainya semakin meningkat. Hal tersebut membuat perusahaan jasa konstruksi semakin berkembang seiring dengan semakin dibutuhkannya bangunan gedung. Industri jasa konstruksi merupakan salah satu kegiatan dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya yang mempunyai peranan penting dalam pencapaian berbagai sasaran guna menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional. Akan tetapi berbagai peraturan tentang jasa konstruksi yang berlaku belum berorientasi secara khusus kepada kepentingan pengembangan jasa konstruksi, yang mengakibatkan kurang berkembangnya iklim usaha yang mendukung peningkatan daya saing secara optimal. Hal ini merupakan salah satu faktor yang mendorong Pemerintah Republik Indonesia dalam mengeluarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (UU No.18 Th.1999) dan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelengaraan Jasa Konstruksi (PP No. 29 Th.2000) sebagai payung hukum terhadap kegiatan jasa konstruksi.


(10)

jasa konstruksi, pengguna jasa konstruksi dan pihak-pihak lain yang mempunyai kepentingan dalam proyek tersebut. Penyedia jasa konstruksi adalah orang perseorangan atau badan yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi. Pengguna jasa konstruksi adalah orang perseorangan atau badan sebagai pemberi tugas atau pemilik pekerjaan/proyek yang memerlukan layanan jasa konstruksi. Pihak lain yang dimaksud adalah perencana konstruksi, pelaksana konstruksi dan pengawas konstruksi

Industri jasa kontruksi merupakan industri yang sangat berisiko, karena pekerjaannya dilakukan di alam terbuka, sehingga cuaca dan kondisi alam sangat berpengaruh dalam setiap tahap pelaksanaan konstruksi. Buruknya kualitas proyek pembangunan akan mengakibatkan gedung yang telah selesai maupun yang masih dalam proses pembangunan mengalami kegagalan konstruksi dan bangunan. Kegagalan tersebut dapat berupa robohnya bangunan gedung sehingga menimpa gedung lain atau material-material bangunan yang ada di sekitar bangunan tersebut menimbulkan kerugian bagi pihak lain.

Salah satu tujuan dibuatnya UU No. 18 Th. 1999 tentang Jasa Konstruksi adalah untuk mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban. Pengguna jasa mempunyai hak untuk mendapatkan layanan konstruksi, sedangkan penyedia jasa mempunyai kewajiban untuk memberikan layanan jasa konstruksi. Jika dalam pembangunan suatu proyek mengalami kegagalan konstruksi bangunan maka pengguna jasa dan penyedia jasa bertanggung jawab atas kegagalan tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka


(11)

hubungan antara penyedia jasa konstruksi dan pengguna jasa konstruksi tidak hanya mengenai hak dan kewajiban masing-masing, melainkan juga mengenai tanggung jawab atas pekerjaan konstruksi itu sendiri.

Dalam PP No. 29 Th. 2000 tentang Penyelengaraan Jasa Konstruksi, kegagalan konstruksi dikaitkan dengan tidak terpenuhinya kualitas dan spesifikasi teknik yang seharusnya pada tahap proses konstruksi berlangsung. Kegagalan bangunan dikaitkan dengan tidak berfungsinya bangunan baik sebagian maupun secara keseluruhan setelah masa pemeliharaan selesai. Gagalnya suatu konstruksi bangunan dapat terjadi akibat kesalahan pada penyedia jasa konstruksi ataupun dari pengguna jasa konstruksi. Oleh karenanya kegagalan konstruksi bangunan yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain merupakan tanggungjawab dari pihak-pihak yang terkait dalam suatu proyek pembangunan.

Pembangunan suatu gedung harus sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati oleh pengguna jasa konstruksi dan penyedia jasa konstruksi. Namun dalam pelaksanaanya pembangunan gedung dapat mengalami kegagalan konstruksi dan bangunan, sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak lain yang tidak terikat dalam proyek, kerugian tersebut dapat dikarenakan adanya perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum tidak hanya suatu perbuatan yang melanggar hukum tertulis, tetapi juga melanggar hukum tidak tertulis seperti perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain, perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan dan perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik. Unsur-unsur perbuatan melawan hukum


(12)

yang tercantum dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt) adalah adanya perbuatan yang melawan hukum, adanya kesalahan dan adanya kerugian bagi korbannya. Setiap perbuatan yang membawa kerugian pada orang lain mewajibkan orang yang karena kesalahannya mengganti kerugian tersebut. Seseorang tidak hanya bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan karena kesalahannya sendiri, tapi juga bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh orang-orang yang ada di bawah tanggungannya atau barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.

Kegagalan konstruksi bangunan yang merugikan pihak lain, mengakibatkan pihak yang terlibat dalam proyek pembangunan gedung dapat digugat dengan dasar perbuatan melawan hukum. Gugatan tersebut dapat berisikan tuntutan ganti kerugian atau pemulihan kondisi gedung yang rusak. Contoh perkaranya adalah antara sodara Joe Allen dan sodara Datton. Keduanya adalah warga penjaringan Jakarta Utara. Bahwa Joe Allen tinggal di Jl . D Blok A Rt /Rw.011/12 No. 32 yang berbatasan langsung dengan rumah Datton. Joe Allen telah melakukan pembangunan atas rumahnya hingga tiga setengah lantai padahal izin mendirikan bangunan hanya dua lantai, sehingga pondasi amblas yang mengakibatkan rumah Datton yang ada di sebelahnya turut rusak dan tidak layak huni. Berdasarkan hal tersebut Datton menggugat Joe Allen atas dasar perbuataan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang kemudian dikabulkan. Merasa tidak puas dengan keputusan pengadilan, Joe Allen melakukan upaya hukum Banding dan Kasasi namun Mahkamah Agung tidak mengabulkan permohonan kasasinya dan tetap menyatakan sodara Joe Allen telah melakukan perbuatan melawan hukum, seperti yang tertulis dalam Putusan MA No. 962 K/Pdt /2009.


(13)

Berdasarkan Putusan MA No. 962 K/Pdt /2009 tersebut, MA telah menetapkan bahwa perbuatan Joe Allen selaku tergugat (pengguna jasa konstruksi) sebagai perbuatan melawan hukum oleh karena itu perlu diketahui apa yang menjadi alasan MA dalam menentukan perbuatan Joe Allen adalah perbuatan melawan hukum. Hal inilah yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian yang bersifat deskripsi analisis terhadap Putusan MA No. 962 K/Pdt /2009 yang dituangkan dalam bentuk sekripsi dengan judul: “Pertanggungjawaban Perbuatan Melawan Hukum Akibat Kegagalan Konstruksi Bangunan yang Merugikan Lingkungan Sekitar Proyek Pembangunan (Studi Kasus Putusan MA No. 962 K/Pdt /2009)”

B.Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang, dalam penelitian terhadap Putusan MA No. 962 K/Pdt/2009 ini ada beberapa permasalahan yang akan dibahas dan dicari penyelesaiannya secara ilmiah. Beberapa permasalahan tersebut sebagai brikut: a. Siapakah pihak-pihak yang terlibat dalam Putusan MA No. 962/K/Pdt/2009? b. Apa yang menjadi alasan Hakim Mahkamah Agung dalam menentukan

perkara yang ada dalam Putusan MA No. 962 K/Pdt/2009 adalah perkara perbuatan melawan hukum?


(14)

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup keilmuan dalam penelitian ini adalah hukum keperdataan dan hukum jasa konstruksi sedangkan ruang lingkup subtansinya adalah perbuatan melawan hukum akibat kegagalan konstruksi bangunan, yang meliputi pihak-pihak yang bertanggungjawab, unsur-usur perbuatan melawan hukum dan pertanggungjawaban akibat kegagalan konstruksi bangunan ditinju dari isi Putusan MA No.692/ K/Pdt/2009.

D.Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian terhadap Putusan MA No. 962 K/Pdt/2009 ini adalah untuk dapat mendeskripsikan, memahami dan menganalisis, sebagai berikut :

a. Pihak-pihak yang terlibat dalam Putusan MA No. 962/K/Pdt/2009?

b. Alasan Hakim Mahkamah Agung dalam menentukan perkara yang ada dalam Putusan MA No. 962 K/Pdt/2009 adalah perkara perbuatan melawan hukum c. Mengetahui dan Memahami akibat hukum dari Putusan MA No. 962

K/Pdt/2009.

E. Kegunaan Penelitian


(15)

1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menunjang pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum keperdataan lebih khususnya dalam perbuatan melawan hukum dan hukum jasa konstruksi. Serta memberi gambaran mengenai pertangung jawaban perbuatan melawan hukum dan ganti kerugian yang timbul akibat kegagalan konstruksi bangunan.

2. Kegunaan Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi kepada pembaca mengenai pihak yang bertanggungjawab atas kegagalan konstruksi bangunan. b. Memberi gambaran kepada pembaca mengenai unsur-unsur perbuatan

melawan hukum yang timbul akibat kegagalan konstruksi bangunan.

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi kepada pembaca yang ingin mengetahui pertanggungjawaban dan ganti kerugian yang timbul akibat perbuatan melawan hukum akibat kegagalan konstruksi bangunan yang merugikan lingkungan sekitar proyek.

d. Sebagai salah satu syarat dalam menempuh ujian sarjana di Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Jasa Konstruksi

1. Pengertian Jasa Konstruksi

Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dijelaskan, Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultasi, perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi. Jasa konstruksi mempunyai peranan yang penting dan strategis mengingat jasa konstruksi menghasilkan produk akhir berupa bangunan atau bentuk fisik lainnya, baik yang berupa prasarana maupun sarana yang berfungsi mendukung pertumbuhan dan perkembangan diberbagai bidang. Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi membagi jenis usaha konstruksi menjadi 3 bagian yaitu:

a. Perencanaan Konstruksi

Usaha Perencanaan Konstruksi adalah pemberian layanan jasa perencanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian-bagian dari kegiatan mulai dari studi pengembangan sampai dengan penyusunan dokumen kontrak kerja konstruksi, yang dapat terdiri dari :


(17)

1. Survei.

2. Studi kelayakan proyek, industri dan produksi. 3. Perencanaan teknik, operasi dan pemeliharaan. 4. Penelitian.

Usaha ini dilaksanakan oleh perencana konstruksi yaitu Konsultan dan Designer yang wajib memiliki sertifikat keahlian.

b. Pelaksanaan Konstruksi

Usaha Pelaksanaan Konstruksi adalah pemberian layanan jasa pelaksanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian-bagian dari kegiatan mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasil pekerjaan konstruksi. Usaha ini dilaksanakan oleh pelaksana konstruksi (kontraktor) yang wajib memiliki sertifikat keterampilan dan keahlian kerja.

c. Pengawasan Konstruksi

Usaha Pengawasan Konstruksi adalah pemberian layanan jasa pengawasan baik keseluruhan maupun sebagian pekerjaan pelaksanaan konstruksi mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasil konstruksi, yang dapat terdiri dari Pengawasan pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan Pengawasan keyakinan mutu dan ketepatan waktu dalam proses pekerjaan dan hasil pekerjaan konstruksi.

Ketiga jenis usaha konstruksi di atas dapat berbentuk orang perseorangan atau badan usaha, akan tetapi jika pekerjaan konstruksi yang akan dikerjakan berisiko


(18)

besar/berteknologi tinggi/ yang berbiaya besar maka pekerjaan tersebut hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas atau badan usaha asing yang dipersamakan. Adapun Perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi yang berbentuk badan usaha harus memenuhi ketentuan tentang perizinan usaha di bidang jasa konstruksi, memiliki sertifikat, klasifikasi dan kualifikasi perusahaan jasa konstruksi.

2. Pihak-pihak dalam Pengadaan Barang dan Jasa

Pengadaan barang dan jasa melibatkan dua belah pihak, yaitu pihak pembeli atau pengguna dan pihak penjual atau penyedia barang dan jasa. Pembeli atau pengguna barang dan jasa adalah pihak yang membutuhkan barang dan jasa. Dalam pelaksanaan pengadaan, pihak pengguna adalah pihak yang meminta atau memberi tugas kepada pihak penyedia untuk memasok atau untuk membuat barang atau melaksanakan pekerjaan tertentu. Pengguna barang dan jasa dapat merupakan suatu lembaga/organisasi dan dapat pula orang perorangan.1

Untuk membantu pengguna dalam melaksanakan pengadaan, dapat dibetuk panitia pengadaan. Lingkup panitia pelaksanaan pengadaan adalah seluruh proses pengadaan, mulai dari penyusunan dokumen pengadaan penyeleksi dan memilih para penyedia barang dan jasa, meminta penawaran dan mengevaluasi penawaran, mengusulkan calon penyedia barang dan jasa untuk pengguna dalam menyiapkan dokumen kontrak, atau sebagain dari tugas tersebut.

1

Budihardjo Hardjowidoyo dan Hayie Muhammad, Prinsip-prinsip Dasar Pengadaan Barang dan Jasa. Indonesia Procumrement Watch, Jakarta, 2006, Hlm. 12.


(19)

Penyedia barang dan jasa adalah pihak yang melaksanakan pemasokan atau mewujudkan barang atau melaksanakan pekerjaan atau melaksanakan layanan jasa berdasarkan permintaan atau perintah resmi atau kontrak pekerjaan dari pihak pengguna. Penyedia barang dan usaha dapat merupakan badan usaha, atau orang perorangan. Penyedia yang bergerak dibidang pemasokan disebut pemasok atau leveransir, bidang jasa pemborongan disebut pemborong atau kontraktor, dan bidang jasa konsultasi disebut konsultan.2

Jika pengguna barang dan jasa telah memilih penyedia jasa pemborongan, maka antara penyedia jasa pemborongan dan penguna jasa pemborongan akan melakukan suatu perjanjian yang disebut perjanjian pemborongan. Menurut Pasal 1601 b KUHPdt perjanjian pemborongan adalah perjanjian dengan mana pihak satu, (pemborong) mengikatkan diri utuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, (yang memborongkan), dengan menerima suatu harga dan ditentukan.

Terdapat dua pihak yang terkait dalam perjanjian pemborongan, yaitu pihak yang memborongkan atau prisipal dan pihak pemborong atau kontraktor. Bentuk perjanjian pemborongan dapat dibuat dalam bentuk lisan, namun pada azasnya perjanjian pemborongan dibuat dalam bentuk tertulis, karena selain berguna bagi kepentingan pembuktian juga dengan pengertian bahwa perjanjian pemborongan bangunan tergolong dalam perjanjian yang mengandung resiko bahaya menyangkut keselamatan umum dan tertib pembangunan. Sehingga lazimnya perjanjian pemborongan dibuat dalam bentuk perjanjian standar, yaitu

2Ibid.


(20)

mendasarkan pada berlakunya peraturan standar yang menyangkut segi yuridis dan segi teknisnya yang ditunjuk dalam rumusan kontrak. Jadi pada pelaksan perjanjian selain mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam KUHPdt juga memakai ketentuan-ketentuan dalam peraturan standarnya.3

B. Tinjauan Umum Kegagalan Konstruksi dan Bangunan

Undang-undang Nomor 18 tahun 1999 tentang jasa konstruksi hanya dijelaskan mengenai pengertian kegagalan bangunan dan tidak menjelasan secara khusus mengenai kegagalan konstruksi. Namun dalam Peraturan Pemerintah Nomor. 29 tahun 2009 dijelaskan secara khusus mengenai pengertian kegagalan konstruksi dan kegagalan bangunan.

Kegagalan bangunan dalam Pasal 1 ayat 6 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi adalah keadaan bangunan yang setelah diserah-terimakan oleh penyedia jasa kepada pengguna jasa menjadi tidak berfungsi baik sebagian atau secara keseluruhan dan/atau tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak kerja konstruksi atau pemanfaatannya yang menyimpang sebagai akibat kesalahan penyedia dan/atau pengguna jasa.

Kegagalan bangunan menurut Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi adalah keadaan bangunan yang tidak berfungsi, baik keseluruhan maupun sebagian dari segi teknis, manfaat, keselamatan dan kesehatan kerja dan atau keselamatan umum sebagai akibat kesalahan Penyedia dan/atau Pengguna setelah penyerahan akhir pekerjaan

3

Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Hukum bangunan Perjanjian Pemborongan Gedung, Liberty, Yogyakarta, 1982, Hlm. 55.


(21)

konstruksi. Kegagalan konstruksi adalah keadaan hasil pekerjaan konstruksi yang tidak sesuai dengan spesifikasi pekerjaan sebagaimana disepakati dalam kontrak kerja konstruksi baik sebagian maupun keseluruhan sebagai akibat dari kesalahan dari pengguna jasa atau penyedia jasa.

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan, kegagalan konstruksi dan bangunan adalah dua pengertian yang berbeda. kegagalan bangunan dikaitkan dengan kondisi bangunan yang tidak dapat digunakan baik sebagian atau sepenuhnya setelah adanya serahterima dari penyedia kepada pengguna jasa konstruksi. Kegagalan konstruksi dikaitkan dengan tidak terpenuhinya standar pelaksanaan pekerjan konstruksi yang telah disepakati, sehingga bangunan mengalami kegagalan dalam proses pembanguanya.

C. Kerugian Akibat Kegagalan Konstruksi Bangunan

Hubungan hukum (rechtsbetrekkingen) adalah hubungan antara dua subyek hukum atau lebih mengenai hak dan kewajiban di satu pihak berhadapan dengan hak dan kewajiban dipihak yang lain 4. Hukum mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain, antara orang dengan masyarakat, antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Jadi hubungan hukum terdiri atas ikatan-ikatan antara individu dengan individu dan antara individu dengan masyarakat dan seterusnya. Hubungan hukum dapat terjadi diantara sesama subyek hukum dan antara subyek hukum dengan barang. Sedangkan hubungan antara subyek hukum dengan barang, berupa hak apa yang dikuasai oleh subyek

4


(22)

hukum itu atas barang tersebut, baik barang berwujud dan barang bergerak atau tidak bergerak.5

Hubungan hukum memerlukan syarat-syarat antara lain:

a. Ada dasar hukumnya, yaitu peraturan hukum yang mengatur hubungan itu. b. Ada Peristiwa hukum, yaitu terjadi peristiwa hukumnya.

c. Hubungan sederajat dan hubungan beda derajat

d. Hubungan timbal balik dan timpang bukan sepihak. Timbal balik jika para pihak sama-sama mempunyai hak dan kewajiban, timpang bukan sepihak jika yang satu hanya hanya punya hak saja sedang yang lain punya kewajiban saja.6

Hubungan hukum dalam industri jasa konstruksi pada umumnya timbul akibat adanya perjanjian pemborongan antara pengguna dan penyedia jasa konstruksi. Jika dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan salah satu pihak melakukan wanprestasi terhadap isi perjanjian, maka pihak yang melanggar bertanggungjawab atas kerugian yang timbul. Namun jika Kegagalan konstruksi bangunan menimbulkan kerugian bagi pihak yang tidak terikat dalam proyek pembangunan, maka pengguna jasa konstruksi (pemilik rumah) bertanggungjawab atas ganti kerugiantersebut. Pertanggungjawaban yang timbul merupakan pertanggungjawaban berdasarkan perbuatan melawan hukum, sebagaimana

ketentuan dalam Pasal 1369 yang berbunyi ” Pemilik sebuah gedung bertanggung

jawab atas kerugian yang disebabkan oleh ambruknya gedung itu seluruhnya atau

5

Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Prenada Media, Yogyakarta, 2008, Hlm. 254

6Op.Cit


(23)

sebagian, jika itu terjadi karena kelalaian dalam pemeliharaan atau karena kekurangan dalam pembangunan ataupun dalam penataannya.

D. Tinjauan Umum Perbuatan Melawan Hukum

1. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum

KUHPdt Pasal 1365 yang dimaksud perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukam oleh seseorang yang karena salahnya merugikan orang lain.

Perbuatan melawan hukum dalam perkembangannya mempunyai dua pengertian yaitu perbuatan melawan hukum dalam arti sempit dan perbuatan melawan hukum dalam arti luas. Pengertian melawan hukum pada awalnya mengandung pengertian yang sempit sebagai pengaruh dari ajaran legisme. Pengertian yang dianut adalah perbuatan melawan hukum merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kewajiban hukum menurut undang-undang. Dengan kata lain bahwa perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sama dengan perbuatan melawan undang-undang (onwetmatigedaad)7. Unsur dari perbuatan melawan hukum hanyalah melanggar ketentuan undang-undang dan adanya unsur kesengajaan. Perbuatan melawan hukum dalam arti luas bukan hanya mengenai adanya suatu pelanggaran terhadap perundang-undangan tertulis semata-mata, tetapi juga mencakup atas setiap pelanggaran terhadap kesusilaan atau kepantasan dalam pergaulan hidup masyarakat. Sejak tahun 1919 di negeri Belanda dan di

7


(24)

Indonesia, perbuatan melawan hukum telah diartikan secara luas, yang mencakup salah satu dari perbuatan-perbuatan berikut:

a. Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain.

b. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri. c. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan.

d. Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik.8

2. Unsur – Unsur Perbuatan Melawan Hukum

Sesuai dengan ketentuan 1365 KUHPerdata, maka suatu perbuatan melawan hukum haruslah mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

a. Adanya suatu perbuatan.

b. Perbuatan tersebut melawan hukum. c. Adanya kesalahan dari pihak pelaku. d. Adanya kerugian bagi korban.

e. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.9

Berikut ini penjelasan dari masing-masing unsur tersebut adalah sebagai berikut:10 a. Adanya suatu perbuatan.

Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh perbuatan si pelakunya. Umumnya diterima anggapan bahwa dengan perbuatan di sini dimaksudkan, baik berbuat sesuatu (secara aktif) maupun tidak berbuat sesuatu (dalam arti

8

Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, PT.Citra Aditiya Bakti, Bandung, 2010, Hlm. 6.

9

Ibid., Hlm. 10.

10


(25)

pasif), misalnya tidak berbuat sesuatu padahal ia berkewajiban untuk membantunya, kewajiban mana timbul dari hukum yang berlaku (karena ada juga kewajiban yang timbul dari kontrak). Karena itu terhadap perbuatan melawan hukum tidak ada unsur persetujuan atau kata sepakat dan tidak ada

juga unsur “causa yang diperbolehkan” sebagai mana yang terdapat dalam

kontrak.

b. Perbuatan tersebut melawan hukum.

Perbuatan yang dilakukan tersebut haruslah melawan hukum. Sejak tahun 1919, unsur melawan hukum itu diartikan dalam arti yang seluas-luasnya, yakni meliputi hal-hal sebagai beriku:

1. Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku. 2. Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum, atau;

3. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau; 4. Perbuatan yang betentangan dengan kesusilaan (goedezeden) atau;

5. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain.

c. Adanya kesalahan dari pihak pelaku.

Karena Pasal 1365 KUHPdt mensyaratkan adanya unsur kesalahan (schuld) dalam suatu perbuatan melawan hukum maka perlu diketahui bagaimana cakupan dari unsur kesalahan tersebut. Suatu tindakan dianggap oleh hukum mengandung unsur kesalahan sehingga dapat dimintakan tanggung jawabnya secara hukum jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:


(26)

1. Ada unsur kesengajaan, atau; 2. Ada unsur kelalaian.

3. Tidak ada alasan pembenar atau pemaaf seperti keadaan overmahct. d. Adanya kerugian bagi korban.

Adanya kerugian (schade) bagi korban juga merupakan syarat agar gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUHPdt dapat dipergunakan. Berbeda dengan kerugian karena wanprestasi yang hanya mengenal kerugian materiil maka kerugian karena melawan hukum di samping kerugian materiil, yurisprudensi juga mengakui konsep kerugian immateriil, yang juga akan dinilai dengan uang.

e. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.

Hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dan kerugian yang ditumbulkan juga merupakan syarat dari suatu perbuatan melawan hukum. Untuk hubungan sebab akibat ada 2 (dua) macam teori, yaitu hubungan faktual dan teori penyebab kira-kira. Hubungan sebab akibat secara faktual ar(causation in fact) hanya merupakan masalah “fakta” atau apa yang secara faktual telah terjadi. Setiap penyebab yang menyebabkan timbulnya kerugian dapat merupakan penyebab secara faktual asalkan kerugian (hasilnya) tidak akan pernah terdapat tanpa penyebabnya.

4. Akibat Hukum Perbuatan Melawan Hukum

Setiap perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain, mengakibatkan orang yang karena kesalahannya tersebut bertanggungjawab atas kerugian yang


(27)

timbul. Tanggung jawab perbuatan melawan hukum hadir untuk melindungi hak-hak seseorang. Hukum dalam perbuatan melawan hukum menggariskan hak dan kewajiban seseorang yang karena kesalahannya telah merugikan orang lain. Pasal 1365 hingga 1380 KUHPdt mengatur tidak hanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku, tetapi juga yang dilakukan oleh orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum yang diakibatkan oleh orang lain yang berada di bawah tanggungannya atau barang-barang yang menjadi tanggungjawabnya dikenal dengan tanggung gugat atau vicarious liability.

Perbuatan melawan hukum di Indonesia secara normatif selalu merujuk pada ketentuan Pasal 1365 KUHPdt. Rumusan norma dalam pasal ini unik, tidak seperti ketentuan-ketentuan pasal lainnya.Perumusan norma Pasal 1365 KUHPdt lebih merupakan struktur norma dari pada substansi ketentuan hukum yang sudah lengkap. Oleh karenanya substansi ketentuan Pasal 1365 KUHPdt senantiasa memerlukan materialisasi di luar KUHPdt 11. Berkaitan dengan perbuatan melawan hukum yang terjadi dalam bidang jasa konstruksi, materialisasi di luar KUHPdt yang digunakan adalah Undang-undang No.18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

11


(28)

Adanya kerugian akibat perbuatan melawan hukum mengakibatkan korbannya berhak meminta ganti kerugian kepada pelaku dengan melakukan tuntutan. Ada beberapa tuntutan yang dapat diajukan karena perbuatan melawan hukum, yaitu:12

a. Ganti rugi dalam bentuk uang atas kerugian yang ditimbulkan.

b. Ganti rugi dalam bentuk natural atau dikembalikan dalam keadaan semula. c. Pernyataan, bahwa perbuatan yang dilakukan adalah melawan hukum. d. Melarang dilakukannya perbuatan tertentu.

e. Meniadakan sesuatu yang diadakan secara melawan hukum.

f. Pengumuman dari pada keputusan atau dari suatu yang telah diperbaiki.

Ganti rugi dalam perbuatan melawan hukum adalah mengembalikan penderita pada posisi semula sebelum perbuatan melawan hukum dilakukan. Atas dasar itulah Hoge Raad dalam putusannya tanggal 24 Mei 1918 telah mempertimbangkan bahwa pengembalian dalam keadaan semula merupakan pembayaran ganti kerugian yang paling tepat. Pembayaran ganti kerugian tidak selalu harus berwujud uang. Pembayaran ganti kerugian sejumlah uang hanya merupakan nilai yang equivalent saja terhadap pengembalian penderita pada keadaan semula (restitutio in integrum)13. Namun dalam perkembangan perbuatan melawan hukum, pembayaran ganti kerugian tidak hanya pengembalian dalam bentuk semula tetapi juga pengantian kerugian dalam bentuk-bemtuk lain.

Mengenai bentuk ganti kerugian, yang dapat dibebankan kepada pelaku dan atau orang-orang yang ada di bawah pengawasannya, antara lain sebagai berikut;

12

Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982, Hlm. 102.

13


(29)

a. Ganti rugi aktual

Ganti rugi yang aktual adalah ganti rugi terhadap kerugian yang telah di alami secara nyata. Ganti rugi aktual dapat diterima terhadap kerugian-kerugian finansial, penderitaan fisik dan penderitaan mental.

b. Ganti rugi yang berhubungan dengan tekanan mental

Gantirugi yang berhubungan dengan tekanan mental adalah ganti rugi berupa uang yang diberikan akibat suatu perbuatan melawan hukum akibat adanya tekanan mental. Dalam prkteknya ganti rugi smacam ini sering disebut dengan ganti rugi “inmaterial”. Pemberian sejumlah uang dalam ganti rugi ini merupakan kebijaksanaan dari hakim, dengan syarat jumlah ganti rugi yang diminta harus wajar.

c. Ganti rugi untuk kerugian yang akan datang

Ganti rugi terhadap kerugian yang akan datang mestilah terhadap kerugin yang akan datang dapat dibayangkan wajar dan secara nyata akan terjadi. d. Ganti rugi penghukuman

Karna sifatnya penghukuman, maka gnti rugi penghukuman hanya dapat ibebanka terhadap perbuatan melawan hukum yang menganung unsur kesalahan yang berat, seperti kesalahan berupa kesengajaan atau kelalaian berat. Ganti rugi ini tidak dapat diterapkan pada kelalaian biasa dan kelalaian ringan.14

Khusus bagi perbuatan melawan hukum yang terjadi akibat kegagalan konstruksi bangunan, umumnya putusan pengadilan yang ada mewajibkan pihak yang

14

Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, PT. Citra Aditia Bakti, Bandung, 2010, Hlm.142.


(30)

menimbulkan kerugian bagi pihak lain, mengganti kerugian yang timbul dalam bentuk pemulihan bangunan gedung yang rusak atau ganti kerugian berupa uang.

5. Kerangka Pikir

Guna memperjelas dari pembahasan ini, maka penulis membuat kerangka pikir sebagai berikut:

PENGGUNA JASA KONSTRUKSI

PENYEDIA JASA KONSTRUKSI

KEGAGALAN KONSTRUKSI BANGUNAN

PERBUATAN MELAWAN

HUKUM

PIHAK-PIHAK YANG YANG TERLIBAT

AKIBAT HUKUM BAGAIMANA MA

MENENTUKAN SUATU PERKARA

ADALAH PERBUATAN


(31)

Keterangan:

Untuk mempermudah dan memperjelas pembahasan dari permasalahan mengenai pertanggungjawaban perbuatan melawan mukum akibat kegagalan konstruksi bangunan, maka diuraikan secara singkat sebagai berikut :

Pengguna jasa konstruksi melakukan perjanjian pemborongan dengan penyedia jasa konstruksi untuk pembangunan suatu gedung. Namun dalam pelaksanaan pembangunan, gedung tersebut dibangun melebihi kapasitas yang telah diizinkan Dinas Trantib dan Linmas, sehingga mengakibatkan gedung mengalami kemiringan dan mengakibatkan gedung yang berada di sebelahnya turut rusak. Kerugian yang ditimbulkan akibat rusaknya gedung, menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi pemiliknya. Hal tersebut mengakibatkan pemilik gedung menggugat pengguna jasa konstruksi ke pengadilan. Setelah pengadilan memeriksa perkara yang ada, kemudian dengan putusan MA No. 962 K/Pdt /2009 pengadilan menetapkan bahwa perkara yang ada adalah perkara perbuatan melawan hukum akibat kegagalan konstruksi bangunan.


(32)

III. METODE PENELITIAN

A.Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif, penelitianhukum normatif disebut juga penelitian hukum teoritis atau dogmatis karena tidak mengkaji pelaksanaan atau implementasi hukum.1 Penelitian ini dilakukan dengan cara mengkaji dan mendeskripsikan bahan-bahan pustaka, perundang-undangan dan isi putusan Mahkamah Agung MA No. 962 K/Pdt /2009 yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas, dalam hal ini adalah berkaitan dengan pihak-pihak, unsur-unsur dan pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum akibat kegagalan konstruksi bangunan yang merugikan lingkungan sekitar proyek.

B.Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum bersifat deskriptif. Penelitian hukum deskriptif bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu dan pada saat tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Penelitian ini

12

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditia Bakti, Bandung, 2004, Hlm. 52


(33)

diharapkan mampu memberi informasi secara jelas dan rinci mengenai pihak-pihak yang bertanggungjawab, unsur-unsur dan pertanggunjawaban perbuatan melawan hukum akibat kegagalan konstruksi bangunan yang merugikan lingkungan sekitar proyek pembangunan. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini akan menggambarkan pihak yang bertaggungjawab, bagaimana cara menentukan unsur-unsur perbuatan melawan hukum dan bentuk pertanggungjawaban dari perbuatan melawan hukum akibat kegagalan konstruksi bangunan dilihat dari Putusan MA No. 962 K/Pdt/2009.

C.Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesain masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan, sehingga mencapai tujuan penelitian yang diinginkan. Penelitian ini termasuk dalam pendekatan hukum normatif yang menggunakan data sekunder berasal dari buku-buku pebuatan melawan hukum serta buku-buku tentang hukum jasa konstruksi. Selain menggunakan data dari buku-buku, penelitian ini juga menghimpun data dari putusan Mahkamah Agung yang berisikan tentang pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum akibat kegagalan konstruksi bangunan, dengan langkah-langkah sebagai brikut:

1. Mengidentifikasi sumber hukum menjadi dasar rumusan masalah

2. Mengidentifikasi sumber-sumber bacaan yang menjadi acuan untuk melakukan penulisan penelitian hukum ini

3. Mengidentifikasi pokok bahasan dan subpokok bahasan yang bersumber dari rumusan masalah


(34)

4. Mengkaji secara analisis data yang bersumber dari bahan hukum sekunder guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini.

D. Data dan Sumber Data

Data merupakan hal pokok dalam suatu penelitian, makin banyak data yang terkumpul maka akan berpengaruh pada kualitas penelitian itu sendiri. Dalam penelitian normatif data sekunder adalah data yang paling diperlukan. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa:

1. Data Sekunder

Data sekunder memiliki ciri-ciri umum dapat diperoleh tanpa terikat, dibatasi, oleh waktu dan tempat.2 Data sekunder diperoleh dengan mempelajari isi putusan yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas, mempelajari peraturan perundang-undangan, dan buku-buku hukum. Kegiatan pengumpulan data dilakukan melalui tahapan-tahapan berikut:

a. Menginvertarisasi data yang relevan dengan rumusan masalah dengan cara membaca, mempelajari, mengutip/mencatat, dan memahami maknanya;

b. Mengkaji data yang sudah terkumpul dengan cara menelaah literatur-literatur dan bahan kepustakaan lainnya agar mempermudah pembahasan penelitian ini serta untuk menentukan relevansinya dengan kebutuhan dan rumusan masalah.

13

Soerjono Suekamto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinauan Singkat),Jakarta, PT. Grafindo Praseda, Hlm. 35


(35)

c. Analisis data dari KUHPdt, Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang jasa konstruksi, Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelengaraan Jasa Konstruksi dan Putusan MA No. 962 K/Pdt/2009. 2. Bahan Hukum Primer

Bahan- bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat seperti peraturan perundang-undangan, isi dari putusan dan peraturan lain yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini.

3. Bahan Hukum Sekunder

Bahan-bahan yang berhubungan dengan bahan bacaan dari bahan hukum primer berupa perundang-undangan dan dokumen lainnya.

4. Bahan Hukum Tersier

Merupakan bahan-bahan penunjang lain yang ada keterkaitan dengan pokok pokok rumusan permasalahan, memberikan kejelasan terhadap apa isi informasi, dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, bukan apa yang ada dalam kajian bahan hukum, namun dapat dijadikan bahan analisa terhadap penerapan kebijakan hukum dilapangan, seperti hasil penelitian , buletin, majalah, artikel-artikel di internet dan bahan-bahan lainnya yang sifatnya seperti karya ilmiah berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini.


(36)

E.Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah kegiatan merapikan data dari hasil pengumpulan data sehingga siap untuk dipakai analisis. 3Data yang dikumpulkan diperoleh dengan menggunakan metode pengumpulan data:

a. Studi Pustaka, dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, menelaah dan mengutip peraturan perundang-undangan, buku-buku dan literatur yang berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum kegagalan konstruksi bangunan yang akan dibahas.

b. Studi dokumen adalah pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang tidak dipublikasikan secara umum, tetapi dapat diketahui oleh pihak tertentu. Pengkajian dan analisis informasi tertulis mengenai hukum yang tidak dipublikasikan secara umum berupa dokumen yang berkaitan dengan pokok bahasan penelitian ini terkait isi Putusan MA No. 962 K/Pdt /2009 yang berisikan pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum akibat kegagalan konstruksi bangunan.

F. Metode Pengolahan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka meliputi sumber hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku literatur ilmu hukum dan analisis normatif terhadap isi putusan Mahkamah Agung yang ada. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka yang meliputi putusan Mahkamah Agung, perundang-undangan dan buku-buku literatur ilmu hukum

14


(37)

yang ada. Data yang telah terkumpul, diolah melalui cara pengolahan data dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

1. Identifikasi

Identifikasi data adalah mencari dan menetapkan data yang berhubungan dengan proses penelitian, isi Putusan Mahkamah Agung No. 962 K/Pdt /2009 yang berisikan tentang pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum akibat kegagalan konstruksi bangunan. Serta mengidentifikasi segala literatur yang berhubungan dengan penelitian ini.

2. Editing

Editing merupakan proses meneliti kembali data yang diperoleh dari berbagai kepustakaan yang ada, menelaah isi putusan MA No. 962 K/Pdt /2009. Hal tersebut sangat perlu untuk mengetahui apakah data yang telah dimiliki sudah cukup dan dapat dilakukan untuk proses selanjutnya. Dari data yang diperoleh kemudian disesuaikan dengan permasalahan yang ada dalam penulisan ini, editing dilakukan pada data yang sudah terkumpul serta diseleksi terlebih dahulu dan diambil data yang diperlukan.

3. Penyusunan Data

Sistematisasi data yaitu penyusunan data secara teratur sehingga dalam data tersebut dapat dianalisa menurut susunan yang benar dan tepat. Sehingga tidak ada data yang dibutuhkan terlewatkan dan terbuang begitu saja.


(38)

4. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan yaitu langkah selanjutnya setelah data tersusun secara sistematis, kemudian dilanjutkan dengan penarikan suatu kesimpulan yang bersifat umum dari data yang bersifat khusus.

G.Analisis Data

Bahan hukum (data) hasil pengolahan serta isi Putusan Mahkamah Agung tersebut dideskripsikan secara kualitatif kemudian dilakukan pembahasan dengan cara menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, logis dan efektif sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisis guna menjawab permasalahan yang ada dalam perumusan masalah kemudian ditarik kesimpulan.


(39)

V. PENUTUP

Kesimpulan

Dari bahasan-bahasan yang telah diuraikan sebelumnya, penulis memberikan kesimpulan, antara lain :

1. Terjadinya perbuatan melawan hukum akibat kegagalan konstruksi bangunan yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain, tidak mengakibatkan semua pihak-pihak dalam proyek pembangunan bertanggungjawab atas kerugian yang timbul. Hanya Pihak tertentu yang bertanggungjawab atas ganti kerugian yang diderita korbanya. Sebagaimana dalam putusan MA No.269/K/Pdt/2009 pihak yang bertanggungjawab atas ganti kerugian hanyalah pengguna jasa konstruksi (pemilik bangunan), sedangkan pihak penyedia jasa konstruksi atau pemborong hanya bertanggungjawab atas pekerjaanya, berdasarkan isi perjanjian yang telah dibuat sebelumnya.

2. Majelis hakim dalam menentukan perkara perbuatan melawan hukum telah memperhatikan ketentuan Pasal 1365 KUHPdt, terhadap perkara yang ada majelis hakim menyatakan bahwa unsur-unsur perbuatan melawan hukum telah terpenuhi. Unsur-unsur tersebut yaitu adanya suatu perbuatan, perbuatan tersebut melawan hukum, adanya kesalahan dari pihak pelaku, adanya


(40)

kerugian bagi korban dan adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.

3. Akibat hukum dari putusan MA No. 269/K/Pdt/2009 mengakibatkan pihak-pihak yang berperkara terikat pada putusan tersebut, shingga pihak-pihak-pihak-pihak yang berperkara harus melakukan hak dan kewajibanya sebagaimana ditentukan dalam putusan. Pihak yang dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum diwajibkan memberikan ganti kerugian yang diderita oleh korbanya, sedangkan pihak yang dirugikan berhak atas ganti kerugian.


(41)

DAFTAR PUSTAKA Sumber Buku :

Agustina, Rosa dkk, 2012, Hukum Perikatan (Law of Obligations), Team PL, Denpasar.

Bambang Waluyo, 2008, Penelitian Hukum dalam Prakteek, Sinar Grafika, Jakarta.

Djojodirdjo, Moegni, 1982, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta.

Djumadi, 1995, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, Raja Grafindo Persada, Jakarta

Djumialdji, 1995, Perjanjian Pemborongan, Rineka Cipta, Jakarta.

Fuady, Munir., 2010, Perbuatan Melawan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Hardjowiyono, Budhiharjo dan Hayie Muhammad, 2006, Prinsip-prinsip Dasar Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, Indonesia Procurement Watch, Jakarta

Marzuki, Mahmud, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Prenada Media, Yogyakarta. Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung.

Sunggono, Bambang, 1997, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta.

Sofwan, Sri Soedewi Masjchun, 1982, Hukum bangunan Perjanjian Pemborongan Gedung, Liberty, Yogyakarta.


(42)

Sumber Undang-Undang :

Undang-undang Republik Indonesia No. 18 Tahun. 1999 Tentang Jasa Konstruksi Peraturan Pemerintah Nomor. 29 Tahun. 2000 tentang Pnyelenggaraan

Konstruksi


(1)

yang ada. Data yang telah terkumpul, diolah melalui cara pengolahan data dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

1. Identifikasi

Identifikasi data adalah mencari dan menetapkan data yang berhubungan dengan proses penelitian, isi Putusan Mahkamah Agung No. 962 K/Pdt /2009 yang berisikan tentang pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum akibat kegagalan konstruksi bangunan. Serta mengidentifikasi segala literatur yang berhubungan dengan penelitian ini.

2. Editing

Editing merupakan proses meneliti kembali data yang diperoleh dari berbagai kepustakaan yang ada, menelaah isi putusan MA No. 962 K/Pdt /2009. Hal tersebut sangat perlu untuk mengetahui apakah data yang telah dimiliki sudah cukup dan dapat dilakukan untuk proses selanjutnya. Dari data yang diperoleh kemudian disesuaikan dengan permasalahan yang ada dalam penulisan ini, editing dilakukan pada data yang sudah terkumpul serta diseleksi terlebih dahulu dan diambil data yang diperlukan.

3. Penyusunan Data

Sistematisasi data yaitu penyusunan data secara teratur sehingga dalam data tersebut dapat dianalisa menurut susunan yang benar dan tepat. Sehingga tidak ada data yang dibutuhkan terlewatkan dan terbuang begitu saja.


(2)

Penarikan kesimpulan yaitu langkah selanjutnya setelah data tersusun secara sistematis, kemudian dilanjutkan dengan penarikan suatu kesimpulan yang bersifat umum dari data yang bersifat khusus.

G.Analisis Data

Bahan hukum (data) hasil pengolahan serta isi Putusan Mahkamah Agung tersebut dideskripsikan secara kualitatif kemudian dilakukan pembahasan dengan cara menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, logis dan efektif sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisis guna menjawab permasalahan yang ada dalam perumusan masalah kemudian ditarik kesimpulan.


(3)

V. PENUTUP

Kesimpulan

Dari bahasan-bahasan yang telah diuraikan sebelumnya, penulis memberikan kesimpulan, antara lain :

1. Terjadinya perbuatan melawan hukum akibat kegagalan konstruksi bangunan yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain, tidak mengakibatkan semua pihak-pihak dalam proyek pembangunan bertanggungjawab atas kerugian yang timbul. Hanya Pihak tertentu yang bertanggungjawab atas ganti kerugian yang diderita korbanya. Sebagaimana dalam putusan MA No.269/K/Pdt/2009 pihak yang bertanggungjawab atas ganti kerugian hanyalah pengguna jasa konstruksi (pemilik bangunan), sedangkan pihak penyedia jasa konstruksi atau pemborong hanya bertanggungjawab atas pekerjaanya, berdasarkan isi perjanjian yang telah dibuat sebelumnya.

2. Majelis hakim dalam menentukan perkara perbuatan melawan hukum telah memperhatikan ketentuan Pasal 1365 KUHPdt, terhadap perkara yang ada majelis hakim menyatakan bahwa unsur-unsur perbuatan melawan hukum telah terpenuhi. Unsur-unsur tersebut yaitu adanya suatu perbuatan, perbuatan tersebut melawan hukum, adanya kesalahan dari pihak pelaku, adanya


(4)

kerugian.

3. Akibat hukum dari putusan MA No. 269/K/Pdt/2009 mengakibatkan pihak-pihak yang berperkara terikat pada putusan tersebut, shingga pihak-pihak-pihak-pihak yang berperkara harus melakukan hak dan kewajibanya sebagaimana ditentukan dalam putusan. Pihak yang dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum diwajibkan memberikan ganti kerugian yang diderita oleh korbanya, sedangkan pihak yang dirugikan berhak atas ganti kerugian.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku :

Agustina, Rosa dkk, 2012, Hukum Perikatan (Law of Obligations), Team PL, Denpasar.

Bambang Waluyo, 2008, Penelitian Hukum dalam Prakteek, Sinar Grafika, Jakarta.

Djojodirdjo, Moegni, 1982, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta.

Djumadi, 1995, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, Raja Grafindo Persada, Jakarta

Djumialdji, 1995, Perjanjian Pemborongan, Rineka Cipta, Jakarta.

Fuady, Munir., 2010, Perbuatan Melawan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Hardjowiyono, Budhiharjo dan Hayie Muhammad, 2006, Prinsip-prinsip Dasar Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, Indonesia Procurement Watch, Jakarta

Marzuki, Mahmud, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Prenada Media, Yogyakarta. Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung.

Sunggono, Bambang, 1997, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta.

Sofwan, Sri Soedewi Masjchun, 1982, Hukum bangunan Perjanjian Pemborongan Gedung, Liberty, Yogyakarta.


(6)

Undang-undang Republik Indonesia No. 18 Tahun. 1999 Tentang Jasa Konstruksi Peraturan Pemerintah Nomor. 29 Tahun. 2000 tentang Pnyelenggaraan

Konstruksi


Dokumen yang terkait

Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel Meteran Milik PT. PLN (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No.694 K/Pdt/2008)

3 70 97

PERTANGGUNGJAWABAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM AKIBAT KEGAGALAN KONSTRUKSI BANGUNAN YANG MERUGIKAN LINGKUNGAN SEKITAR PROYEK PEMBANGUNAN (STUDI KASUS PUTUSAN MA NO. 962 K/PDT /2009)

6 28 48

SENGKETA TANAH AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Sukoharjo Sengketa Tanah Akibat Perbuatan Melawan Hukum (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Sukoharjo No. 32/Pdt.G/2007/Pn.Skh).

0 3 15

Sengketa Tanah Akibat Perbuatan Melawan Hukum (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Sukoharjo Sengketa Tanah Akibat Perbuatan Melawan Hukum (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Sukoharjo No. 32/Pdt.G/2007/Pn.Skh).

0 3 10

TINJAUAN YURIDIS SENGETA TANAH AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM Tinjauan yuridis sengketa tanah akibat Perbuatan melawan hukum (studi putusan no.91/pdt.g/2009/pn.ska).

0 3 18

Pembatalan Akta Wasiat Sebagai Akibat Perbuatan Melawan Hukum Yang Dilakukan Notaris (Studi Putusan MA No 3124 K PDT 2013 Antara Penggugat DM VS Notaris LSN)

0 5 14

Pembatalan Akta Wasiat Sebagai Akibat Perbuatan Melawan Hukum Yang Dilakukan Notaris (Studi Putusan MA No 3124 K PDT 2013 Antara Penggugat DM VS Notaris LSN)

0 0 2

Pembatalan Akta Wasiat Sebagai Akibat Perbuatan Melawan Hukum Yang Dilakukan Notaris (Studi Putusan MA No 3124 K PDT 2013 Antara Penggugat DM VS Notaris LSN)

2 9 30

Pembatalan Akta Wasiat Sebagai Akibat Perbuatan Melawan Hukum Yang Dilakukan Notaris (Studi Putusan MA No 3124 K PDT 2013 Antara Penggugat DM VS Notaris LSN)

0 0 37

BAB II PERBUATAN MELAWAN HUKUM A. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum - Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel Meteran Milik PT. PLN (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No.694 K/Pdt/2008)

0 0 20