MANFAAT PEMBINAAN DAN VERIFIKASI KOPI DALAM UPAYA PENINGKATAN MUTU KOPI STUDI KASUS: PROGRAM VERIFIKASI BINAAN PT NESTLÉ INDONESIA DI KABUPATEN TANGGAMUS

(1)

ABSTRACT

THE BENEFIT OF EMPOWERMENT AND COFFEE VERIFICATION IN COFFEE QUALITY IMPROVEMENT EFFORT

CASE STUDY: VERIFICATION PROGRAM EMPOWERED BY PT NESTLÉ INDONESIA IN TANGGAMUS DISTRICT

By Tasya Juwita

This study aims to assess (1) the financial benefit, (2) the economic, social, and environmental benefits, and (3) farmer’s perception of the benefit of empowerment and coffee verification program in improving the coffee quality. The study was conducted in Pulau Panggung and Sumberejo Sub Districts, Tanggamus District. This study compares the benefit of verified and non-verified farm, and from each of those farm types sampled 36 farmers using simple random sampling method. Data collection was carried out in January-March 2013. The benefits of the empowerment and verification are analyzed using financial feasibility analysis, incremental B/C ratio, sensitivity analysis with possibility in decline in production by 68%, decrease in selling price by 25%, along with rise in labor cost by 16.7%. Farmer’s perception is analyzed using difference test of The Mann-Whitney Two Sample Test.

The results showed that: (1) verification program has financial benefit indicated by the incremental B/C ratio of 7.56, NPV of Rp 16,354,457.22, and IRR of 28%. If the production declines by 68%, selling price decreases by 25%, and cost rises by 16.7%, the program still provides benefit to the farm, (2) verified farmers’ perception on the benefits of economic, social, and environment is significantly higher than that of non-verified farmers, (3) perception of verified farmers on economic, social, and environment benefits is significantly higher than that of non-verified farmers.

Keywords: Financial feasibility, Perception, Verification, Empowerment, Quality, Coffee


(2)

ABSTRAK

MANFAAT PEMBINAAN DAN VERIFIKASI KOPI DALAM UPAYA PENINGKATAN MUTU KOPI

STUDI KASUS: PROGRAM VERIFIKASI BINAAN PT NESTLÉ INDONESIA DI KABUPATEN TANGGAMUS

Oleh Tasya Juwita

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji (1) manfaat finansial, (2) manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan, dan (3) persepsi petani mengenai manfaat program pembinaan dan verifikasi dalam peningkatan mutu kopi.

Penelitian dilakukan di Kecamatan Pulau Panggung dan Sumberejo, Kabupaten Tanggamus. Penelitian ini membandingkan manfaat usahatani yang terverifikasi dan non-verifikasi, maka dari masing-masing jenis usahatani tersebut diambil sampel 36 petani menggunakan metode simple random sampling. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Januari-Maret 2013. Manfaat pembinaan dan verifikasi dianalisis melalui kelayakan finansial, incremental B/C ratio, analisis sensitivitas dengan kemungkinan penurunan produksi 68%, penurunan harga jual 25%, serta kenaikan upah tenaga kerja sebesar 16,7%, dan persepsi petani yang dianalisis menggunakan uji beda The Mann-Whitney Two Sample Test.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) program verifikasi kopi bermanfaat secara finansial yang ditunjukkan oleh nilai incremental B/C ratio sebesar 7,56, NPV sebesar Rp 16.354.457,22, dan IRR sebesar 28%. Jika terjadi kenaikan biaya sebesar 16,7%, penurunan produksi sebesar 68%, dan penurunan harga jual sebesar 25% program masih memberikan manfaat terhadap usahatani, (2) persepsi petani terverifikasi atas manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan secara signifikan lebih tinggi dibandingkan petani non-verifikasi, (3) berdasarkan persepsi, petani terverifikasi secara signifikan merasakan manfaat yang lebih tinggi atas peningkatan mutu kopi.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gaya hidup pada zaman modern ini menuntun masyarakat untuk mengkonsumsi makanan dan minuman berkualitas. Salah satu contoh produk yang sangat diperhatian kualitasmya adalah kopi. Rasa dan aromanya yang khas menjadikan komoditas ini diminati oleh masyarakat dunia secara luas. Konsumen bersedia membayar lebih (premium fee) untuk mendapatkan kopi dengan rasa dan aroma yang khas, seperti kopi luwak. Rasa dan aroma kopi yang khas hanya bisa didapatkan jika kopi diproduksi dengan cara yang berkualitas.

Terkait dengan terjadinya modernisasi pertanian, termasuk di dalamnya komoditas kopi, dalam beberapa tahun terakhir ekonomi kopi mengalami

perubahan secara global. Perubahan ini dipicu oleh meluasnya sistem sertifikasi dan labelisasi produk, yang tidak hanya terjadi pada komoditas kopi, tetapi juga pada komoditas pertanian lainnya. Masyarakat dunia mulai menyadari bahwa penting untuk menetapkan standar sosial dan standar lingkungan pada setiap produk pertanian, termasuk kopi. Standar inilah yang dapat menjamin keberlanjutan kualitas lingkungan hidup serta ekonomi kopi itu sendiri.

Sebagai negara penghasil dan pengekspor kopi keempat terbesar di dunia setelah Brasil, Vietnam, dan Colombia sebagaimana tersaji dalam Tabel 1 (Tabel 32


(4)

mengenai rata-rata produksi terlampir), Indonesia memiliki potensi besar dalam meningkatkan cadangan devisa negara melalui ekspor kopi. Potensi ini akan semakin tajam apabila didukung jumlah produksi yang stabil dan kualitas yang terus ditingkatkan.

Tabel 1. Rata-rata total ekspor kopi oleh negara pengekspor terbesar selama tahun 2007-2011

No Negara Jumlah (ton) Persentase (%)

1 Brazil 2.000.000 31

2 Vietnam 1.000.000 17

3 Colombia 464.000 9

4 Indonesia 376.000 6

Sumber : Fairtrade Foundation, 2012

Potensi besar pada ekspor kopi sebagai solusi peningkatan pendapatan negara juga didasarkan pada kenaikan harga kopi secara terus menerus dan signifikan di pasar internasional pada beberapa tahun terakhir. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1. Pada gambar tersebut dapat diketahui bahwa harga kopi internasional pada empat tahun terakhir telah mengalami kenaikan signifikan. Kenaikan harga ini

mempertegas potensi kopi untuk dikembangkan agar dapat meningkatkan pendapatan negara.

Keadaan ini juga ditunjang dengan luasnya areal produksi kopi yang tersebar di beberapa tempat di Indonesia, yaitu sebesar 1.308.000 ha (Kementerian Pertanian, 2012) seperti yang dapat disimpulkan dari Tabel 2. Dari total luas perkebunan kopi Indonesia tersebut, perkebunan rakyat lah yang mendominasi. Lebih dari 90% luas areal maupun produksi total kopi Indonesia dihasilkan oleh perkebunan rakyat.


(5)

Sumber : indexmundi.com, 2012 dan BPS, 2012

Gambar 1. Harga kopi Robusta

Walaupun merupakan komoditas yang didominasi oleh peran rakyat, kopi telah mampu menjadi salah satu komoditas ekspor andalan di samping udang, teh, dan beberapa komoditas pertanian lainnya. Dalam beberapa tahun terakhir, share-nya semakin menunjukkan perbaikan terhadap ekspor sektor pertanian. Tahun 2010, share kopi pada ekspor sektor pertanian mencapai 16,24%. Meskipun terus meningkat, menurut BPS (2011) perkembangan komoditi ini lamban, antara lain dikarenakan selain diberlakukannya sistem kuota, juga banyaknya negara pesaing.

Tabel 2. Luas areal dan produksi perkebunan kopi menurut penguasaan lahan di Indonesia Tahun Luas (ha) Total Luas Produktivitas (ton/ha) Perkebunan Rakyat Perkebunan Besar Negara Perkebunan Besar Swasta Perkebu-nan Rakyat Perkebunan Besar Negara Perkebunan Besar Swasta 2007 1.423.429 23.721 28.761 1.475.911 0,458 0,575 0,365 2008 1.236.842 22.442 35.826 1.295.110 0,542 0,772 0,300 2009 1.217.506 22.794 25.935 1.266.235 0,537 0,631 0,551 2010 1.219.802 22.738 25.936 1.268.476 0,537 0,633 0,551 2011 1.254.921 23.167 29.912 1.308.000 0,541 0,626 0,506

Sumber: Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian, 2012 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

USD Tahun Harga Pasar Internasional (USD/kg) FOB Ekspor Kopi Lampung (USD/kg)


(6)

Sudah sejak lama pasar dunia menaruh minat yang tinggi pada kopi asal Indonesia karena adanya kekhasan aroma dan rasa. Di lain hal, petani kopi Indonesia, yang didominasi oleh pekebunan rakyat berskala kecil, masih sulit menjawab

permintaan tersebut akibat terbentur ketiadaan sertifikat dan label produk. Tanpa kedua hal tersebut, akan sulit bagi pasar dunia, terutama di negara-negara maju, untuk menerima suatu produk karena dianggap tidak memiliki jaminan mutu. Sebagai akibatnya, masyarakat dunia, terutama Eropa, kini banyak mengalihkan permintaannya ke negara lain yang merupakan pesaing sebagai produsen kopi.

Lampung sebagai sentra produksi kopi nasional kedua terbesar (Tabel 33 tentang kontribusi produksi kopi Lampung terlampir) seharusnya dapat memanfaatkan peluang ini. Ditambah lagi peluang dengan adanya Pelabuhan Internasional Panjang yang dapat mempermudah proses pengirimana barang ke luar negeri. Faktor ini dapat menggambarkan bahwa dari jika dari segi kualitas Lampung dapat memenuhi permintaan konsumen dunia maka Lampung akan mendapatkan tempat di hati konsumen internasional.

Areal perkebunan Kopi Robusta mendominasi tingkat produksi sektor pertanian propinsi Lampung. Dominasi tercermin dari luas perkebunan kopi yang

menempati posisi pertama seluas 163.123 ha dengan jumlah produksi 144.803 ton, disusul oleh luas lahan kelapa sawit di peringkat kedua dengan luas 157.723 ha (Tabel 34 mengenai luas areal dan jumlah produksi komoditas pertanian Lampung terlampir). Selanjutnya, komoditas yang memiliki areal terluas di propinsi Lampung adalah kelapa (128.076 ha), tebu (113.779 ha), dan karet (112.183 ha). Luasan tersebut juga cenderung stabil jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa masih banyak


(7)

rakyat yang merasakan manfaat dari melaksanakan usahatani kopi sehingga tetap bersedia memproduksi komoditas yang sama.

Bila dibandingkan data yang menunjukkan luas total perkebunan kopi Lampung tahun 2010 sebesar 163.123 ha (tabel luas areal dan jumlah produksi komoditas pertanian propinsi Lampung terlampir) dengan Tabel 3, dapat diketahui bahwa pada tahun 2010 seluruh perkebunan kopi yang ada di Provinsi Lampung dikuasai oleh perkebunan rakyat. Dalam skala nasional pun, perkebunan kopi rakyat yang ada di Lampung memiliki share yang cukup tinggi yakni 12,86% pada tahun 2010. Perkebunan rakyat dicirikan dengan pengelolaan dilakukan oleh banyak petani, produktivitas rendah, dan mutu kopi yang dihasilkan rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa urgensi untuk dapat meningkatkan mutu kopi sangat tinggi. Upaya ini sejalan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani kecil. Kopi yang merupakan tanaman tahunan, memiliki jeda waktu yang cukup panjang antara pengeluaran dan pendapatan petani. Dengan demikian, solusi untuk

meningkatkan pendapatan petani melalui efisiensi usahatani perlu ditemukan.

Tabel 3. Luas areal perkebunan kopi rakyat di Propinsi Lampung

Tahun Luas Areal (ha) Share Perkebunan Rakyat

Lampung (%) Perkebunan Rakyat

Lampung

Total Perkebunan Nasional

2006 163.837 1.263.203 12,97

2007 163.893 1.475.911 11,10

2008 162.830 1.295.110 12,57

2009 162.954 1.266.235 12,87

2010 163.123 1.268.476 12,86

Sumber: BPS, 2011

Kopi tetap menjadi komoditas unggulan di sektor Pertanian Lampung sampai tahun 2011. Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa nilai ekspor kopi (nilai Free on


(8)

Board) mengalami peningkatan sebesar 7,25% walaupun secara bobot menurun 22,35% (dari 253.739 ton menjadi 196.565 ton). Hal ini menunjukkan bahwa jika Lampung dapat meningkatkan volume produksi kopi yang sesuai dengan standar ekspor, maka kontribusi ekspor kopi terhadap pendapatan nasional akan semakin baik karena nilai ekspor kopi terus meningkat.

Tabel 4. Perkembangan volume dan nilai FOB ekspor kopi Lampung Tahun Volume

Ekspor (kg)

Kontribusi terhadap Volume

Ekspor Sektor Pertanian (%)

Nilai FOB (USD)

Kontribusi terhadap FOB Sektor Pertanian

(%)

2006 266.140.684 72,5 291.644.119 51,1

2007 189.932.169 68,2 308.615.978 53,2

2008 326.085.383 72,4 615.121.378 58,0

2009 348.208.475 74,3 467.599.155 56,6

2010 253.739.947 67,3 368.240.364 45,9

2011 196.565.431 60,0 394.952.227 41,2

Sumber: BPS, 2012

Perlunya meningkatkan produksi yang sesuai dengan permintaan pasar

internasional adalah untuk menghindari ditolaknya kopi Indonesia di pasar luar negeri. Alasan lain adalah untuk mendapatkan tempat di hati konsumen

internasional. Dengan adanya loyalitas dari konsumen, maka akan timbul kesediaan untuk membayar lebih. Hal ini sesuai dengan teori ekonomi permintaan, dimana permintaan dipengaruhi oleh lima faktor, salah satunya adalah selera konsumen (T). Semakin tinggi selera konsumen terhadap suatu barang, dalam hal ini kopi, semakin tinggi pula kesediaan untuk membayar. Harga kopi di suatu negara dengan negara lain akan dapat berbeda karena adanya perbedaan selera ini. Apalagi masyarakat Eropa dan negara pecinta kopi lainnya yang sudah termasuk kategori negara maju akan bersedia membayar dengan


(9)

harga yang lebih tinggi jika kualitas kopi yang dikirimkan sesuai dengan standar yang mereka tetapkan.

Menurut Simatupang dan Purwanto (1999) dalam Andriyanti (2005), untuk memperoleh biji kopi yang berkualitas baik, diperlukan kesepakatan antara pihak-pihak yang terkait, yakni pihak-pihak produsen, pedagang perantara, eksportir maupun pabrik kopi di negara importir. Kesepakatan itu berisi dasar-dasar atau syarat-syarat untuk memperoleh biji kopi yang baik, seperti tidak tercampur dengan biji cacat dan kotoran yang akan merusak mutu kopi. Hal ini sejalan dengan tujuan untuk meningkatkan mutu kopi sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya demi mencapai efisiensi usahatani yang lebih baik.

Pada umumnya kopi yang dijual petani di Provinsi Lampung adalah kopi mutu non-grade (mutu asalan). Oleh karena itu untuk memperbaiki kualitas kopi rakyat, pemerintah dalam hal ini Dinas Perkebunan dan Kehutanan bekerjasama dengan Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) dan beberapa pihak mitra melakukan pelatihan pada petani kopi, baik yang berkaitan dengan teknik budidaya, manajemen maupun pascapanen (Agustian dkk, 2003 dalam

Andriyanti, 2005). Salah satu pihak mitra yang terlibat dalam pembinaan petani ini adalah PT Nestlé Indonesia, produsen kopi instant ‘Nescafé’. Rendahnya skala pengusahaan lahan serta cara budidaya yang masih sangat tradisional menyebabkan mutu kopi yang dihasilkan petani kopi di Kabupaten Tanggamus masih tergolong rendah. Berangkat dari permasalahan rendahnya mutu, PT Nestlé berinisiatif melakukan pembinaan melalui konsep kemitraan. Melalui


(10)

Agrucultural Service Department, Nestlé melakukan pembinaan yang berbasis sistem verifikasi 4C (Common Code for Coffee Community).

Program pembinaan (pelayanan pertanian) Nestlé dimulai sejak tahun 1995. Konsep kemitraan dan pembinaan yang dikembangkan Nestlé adalah memberikan penyuluhan-penyuluhan dan pelatihan-pelatihan melalui demo plot (laboratorium lapang) yang diorientasikan pada peningkatan mutu dan produksi kopi rakyat, dalam aspek pertama budidaya perkebunan dan penanganan pascapanen kopi, kedua, pengetahuan tentang sistem pengujian mutu kopi, dan ketiga adalah pengembangan sumberdaya manusia melalui pembentukan kelembagaan petani serta penyuluhan dan pelatihan manajemen organisasi petani. Untuk

meningkatkan semangat petani, Nestlé juga menyiapkan penghargaan yang diberikan pada acara tertentu yang berkaitan dengan materi pembinaan.

Sistem sertifikasi kopi dunia mulai merebak pada tahun 2008. Sehingga, sejak tahun 2010 Nestlé mulai melaksanakan verifikasi kepada para petani kopi yang telah mengikuti pembinaan agar memiliki sertifikat dan nilai kopi akan meningkat di pasar internasional. Verifikasi merupakan suatu sistem yang memiliki standar di bawah sertifikasi. Jika sertifikasi hanya memiliki 2 kategori penilaian, yaitu diterima atau ditolak, maka verifikasi masih memiliki kategori ketiga yaitu dapat diterima dengan persyaratan peningkatan kualitas yang terus dilakukan agar dapat lulus standar. Verifikasi dilakukan langsung oleh Asosiasi 4C yang diwakili pelaksanaannya oleh Control Union.


(11)

B. Perumusan Masalah

Verifikasi merupakan suatu proses penilaian dan pembuktian apakah petani tersebut telah melaksanakan kesepakatan-kesepakatan yang ditetapkan dalam suatu badan verifikasi. Verifikasi 4C dilakukan dengan menggunakan kriteria dimensi sosial, dimensi ekonomi, dan dimensi lingkungan. Pembinaan yang dilakukan Nestlé bertujuan untuk membantu petani agar dapat lolos verifikasi. Sejauh ini, hasil dari adanya pembinaan dan verifikasi petani menunjukkan adanya perubahan positif terhadap produktivitas dan mutu kopi yang dihasilkan petani. Namun, sejauh mana perbaikan mutu ini perlu dikaji lebih lanjut melalui persepsi petani sebagai produsen serta sebagai anggota pembinaan.

Perubahan dari adanya sistem ini berdampak positif terhadap perusahaan. Namun, falsafah utama yang diberlakukan di seluruh pabrik Nestlé di seluruh dunia adalah Nestlé tidak memproduksi sendiri bahan baku yang dibutuhkannya melainkan harus memperolehnya dari produsen setempat. Berarti bahwa, Nestlé akan tumbuh dan berkembang bersama dengan komunitas penghasil bahan baku lokal. Sehingga diharapkan pabrik-pabrik Nestlé dapat memberikan dampak yang positif bagai masyarakat sekitarnya.

Mengacu kepada falsafah tersebut, perlu adanya kajian lebih lanjut mengenai perubahan positif yang terjadi pada petani kopi yang mendapatkan binaan itu sendiri sebagai subjek dari program verifikasi 4C. Manfaat yang dikaji tersebut sesuai dengan kriteria 4C, yaitu manfaat dari segi ekonomi, sosial, dan

lingkungan, serta mutu kopi yang dihasilkan. Manfaat dari segi ekonomi dapat berupa peningkatan pendapatan dan kelayakan usahatani secara finansial.


(12)

Manfaat ini perlu dikaji secara kuantitatif agar terlihat sejauh mana perbedaan kelayakan usahatani antara petani yang melakukan verifikasi dan tidak.

Pada akhirnya, untuk melihat manfaat program secara umum dan langsung kepada subjek adalah dengan mengetahui persepsi petani terhadap manfaat verifikasi ini terhadap semua aspek 4C, yaitu manfaat terhadap lingkungan, ekonomi, sosial, dan tentu saja mutu kopi. Persepsi petani dapat ditinjau dari segi manfaat

pembinaan secara langsung terhadap kegiatan produksi dan pengaruhnya terhadap mutu, maupun persepsi petani atas perubahan-perubahan yang terjadi di

lingkungan dan masyarakat setelah verifikasi dilaksanakan. Dengan demikian diharapkan penelitian ini dapat mengkaji manfaat dari sudut pandang pihak yang menjadi subjek utama program verifikasi, yaitu petani kopi.

Berdasarkan uraian di atas, terdapat beberapa permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu :

1) Apakah program pembinaan dan verifikasi memberikan manfaat finansial bagi petani kopi?

2) Apakah menurut persepsi petani program pembinaan dan verifikasi kopi dapat memberikan manfaat sosial, lingkungan, dan ekonomi?

3) Apakah menurut persepsi petani program pembinaan dan verifikasi kopi dapat meningkatkan mutu kopi yang dihasilkan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka penelitian ini bertujuan untuk:


(13)

2) Mengkaji manfaat sosial, ekonomi, dan lingkungan menurut persepsi petani dari program pembinaan dan verifikasi kopi

3) Mengkaji persepsi petani tentang manfaat program pembinaan dan verifikasi kopi dalam meningkatkan mutu kopi

D. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi :

1) Pemerintah, para pemangku kepentingan, serta pelaku sistem pembinaan dan verifikasi produk, sebagai masukan dan bahan pertimbangan dalam penentuan dan perumusan kebijakan terkait upaya peningkatan mutu kopi melalui sistem verifikasi produk.

2) Peneliti lain, sebagai informasi dan bahan referensi dalam melakukan penelitian lain yang sejenis.


(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

A. Tinjauan Pustaka 1. Tinjauan Usahatani Kopi

Karo (2009) dalam tulisannya menjelaskan bahwa tanaman kopi merupakan kelompok tumbuhan berbentuk pohon dalam marga Coffea. Tanaman kopi tumbuh dengan optimal pada daerah-daerah yang terletak di antara 20o LU dan 20o LS. Berdasarkan data yang ada, Indonesia terletak di antara 5o LU dan 10o LS. Hal ini berarti sangat ideal dan potensial bagi pengembangan tanaman kopi.

Tanaman kopi yang dirawat dengan baik umumnya sudah dapat berproduksi sejak umur 2,5 tahun dan mulai berproduksi penuh sejak umur 4 tahun. Umur

ekonomis kopi robusta dapat mencapai 16 tahun (Tim Penulis PS, 2008). Namun demikian, yang mempengaruhi tingkat produksi tanaman adalah proses budidaya yang dilakukan seperti pemberantasan hama penyakit pemilihan bibit, dan pemupukan.

2. Penentuan Mutu Kopi

a. Pengujian Mutu Kopi dengan Sensori Tes (Cupping Test)

Salah satu indikator kualitas kopi adalah dari rasa dan aromanya. Cupping test merupakan salah satu teknik pengujian sensori untuk menguji citarasa kopi yang


(15)

umum digunakan. Cupping test digunakan oleh cupper untuk mengevaluasi aroma dan mendeskripsikan flavor kopi.

Ada beberapa tahap pengujian yang dilakukan pada cupping, yaitu:

1) Penilaian warna biji kopi setelah disangrai dan digiling (bubuk kopi) yang disebut dengan Agtron Number.

2) Penilaian fragrance/ keharuman – bau kopi sebelum diseduh – yaitu dengan mencium bubuk kopi kering.

3) Pengujian aroma dilakukan pada kopi seduhan, sehingga berbeda dengan fragrance.

4) Pengujian acidity/keasaman dilakukan dengan cara mencicip air kopi tanpa ampas secara cepat ke dalam mulut, yaitu dengan cara menyeruput secara cepat, sehingga semua syaraf lidah bekerja.

5) Penilaian flavor. Flavor merupakan persepsi keseluruhan dari karakteristik aroma, rasa dan mouthfeel di belakang lidah saat meminum air kopi

6) Penilaian body, yaitu rasa “ketebalan” atau kekentalan minuman kopi saat di mulut.

7) Penilaian after-taste, yaitu sensasi dan rasa kopi saat memasuki kerongkongan saat ditelan.

8) Cupper’s Point Balance. Balance merupakan kombinasi penilaian dari 5 kategori menjadi satu penilaian total.

b. Pengujian Mutu Kopi melalui Biji Cacat (Defect)

Secara umum, kualitas biji kopi yang diperdagangkan diklasifikasikan berdasarkan jumlah biji cacat, ukuran, dan kualitas biji. Berdasarkan sistem


(16)

klasifikasi menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 01-2907-2008) sebagai berikut:

1) Mutu 1, dengan nilai cacat maksimal 11 2) Mutu 2, dengan nilai cacat 12-25

3) Mutu 3, dengan nilai cacat 26-44 4) Mutu 4a, dengan nilai cacat 45-60 5) Mutu 4b, dengan nilai cacat 61-80 6) Mutu 5, dengan nilai cacat 81-150 7) Mutu 6, dengan nilai cacat 151-255 8) Mutu 7 (asalan), dengan nilai cacat > 255

Ada beberapa macam keadaan pada biji kopi yang dapat dikategorikan sebagai cacat, yaitu biji hitam; biji hitam sebagian; biji hitam pecah; biji gelondong; biji coklat; kulit kopi husk ukuran besar, sedang, dan kecil; kulit kopi tanduk ukuran besar, sedang, dan kecil; biji pecah; biji muda; biji berlubang satu; biji berlubang lebih dari satu; biji bertutul; ranting, tanah, atau batu berukuran besar; ranting, tanah, atau batu berukuran sedang; ranting, tanah, atau batu berukuran kecil. Jumalh biji kopi yang dijasikan sampel seberat 300 gram.

c. Pengujian Mutu Kopi dengan Kadar Air dalam Biji

Standar pengujian kopi lainnya yang paling sering diterapkan adalah dengan mengetahui kadar air dalam biji. Menurut SNI 01-2907-2008, kadar air maksimum yang diizinkan yaitu 12,5%. Di lain pihak, menurut SCAA Green Coffee Classification Method, grade I, II, dan III memiliki kisaran kadar air 9-13%.


(17)

3. Nilai Ekonomi Kopi

Selain minyak, tidak ada komoditi yang lebih sering diperdagangkan di dunia dibandingkan dengan kopi. Pada tahun 2006/2007, 5,8 juta ton kopi diekspor dengan nilai ekspor kurang lebih 12.3 miliar dolar Amerika. Sebagian besar kopi sedunia dihasilkan oleh petani rakyat di negara-negara tropis yang sedang

berkembang. Diperkirakan 20 sampai 25 juta petani rakyat dari enam puluh negara lebih mengandalkan kopi sebagai tanaman perdagangan (OXFAM International, 2008 dalam Donaghue, 2008).

Dari segi konsumsi, 80 persen kopi dikonsumsi di pasar konsumen. Kopi hanya dapat tumbuh dengan baik di negara-negara beriklim subtropis dan tropis. Kebanyakan negara-negara penghasil tersebut adalah negara berkembang. Memang ada pasar dalam negeri di negara produsen kopi, namun hanya sebagian kecil yang berkembang, Apabila dibandingkan dengan konsumsi dari penduduk negara-negara maju, pasar tersebut menjadi terasa kecil. Oleh karena itu,

perdagangan kopi merupakan hubungan antara negara-negara kurang maju dan pasar global yang penting untuk diperhitungkan.

Dalam dua puluh tahun terakhir, kepopuleran coffee bar (tempat untuk minum kopi yang dianggap bergengsi) dan keberadaan konsumen (khususnya di negara-negara maju) yang lebih tertarik mengkonsumsi kopi dengan mutu yang spesial semakin bertambah. Konsumen coffee bar tersebut membayar lebih untuk suasana dan kenikmatan coffee bar. Sebenarnya harga kopi tidak semahal itu, tetapi nilai kenikmatan dan suasana coffee bar sangat mahal. Walaupun


(18)

kopi. Biasanya di tempat-tempat semewah itu konsumen diperkenalkan dengan mutu kopi yang spesial. Akibatnya, konsumen menjadi loyal pada jenis kopi tertentu dan berani membayar dengan harga lebih tinggi.

Bagi Indonesia, kopi merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang mempunyai kontribusi nyata dalam perekonomian, yaitu sebagai penghasil devisa ekspor, sumber pendapatan petani, penghasil bahan baku industri, penciptaan lapangan kerja, dan pengembangan wilayah. Sebagai penghasil devisa ekspor, nilai ekspor kopi terus meningkat dari tahun ke tahun, terutama dalam tiga tahun terakhir. Hal ini dapat dilihat dari Gambar 1.

Dari luas areal 1,3 juta ha, sebagian besar perkebunan kopi diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat (96%) dan sisanya diusahakan dalam bentuk

perkebunan besar (Tabel 2). Posisi tersebut menunjukkan bahwa peranan petani dalam perkembangan perekonomian nasional masih cukup dominan. Volume ekspor kopi Indonesia memberikan kontribusi lebih dari separuh volume ekspor total komoditas pertanian, yaitu sebesar 60%. Sedangkan secara nilai ekspor (FOB), kontribusi dari ekspor kopi mencapai lebih dari 40% dari total nilai ekspor pertanian nasional (BPS, 2011).

4. Sistem Verifikasi 4C (Common Code for Coffee Community)

Data AEKI (2012) menyatakan bahwa jumlah ekspor kopi nasional mencapai 5 juta hingga 6 juta bags/tahun dan 70% disumbang oleh Lampung atau sekitar 250 ribu ton. Dari jumlah tersebut, 30-40% dieskpor ke Eropa yang merupakan negara-negara pengimpor yang menerapkan kebijakan verifikasi oleh 4C. Perkebunan kopi Lampung melibatkan 230 ribu kepala keluarga .


(19)

Biocert (2012) menyatakan bahwa program 4C merupakan program verifikasi kopi yang dikembangkan oleh 4C Association, yaitu sebuah asosiasi industri kopi dunia (produsen, prosesor, trader, pemerintah, LSM internasional) dimana para anggotanya didorong untuk menerapkan aspek sosial, lingkungan dan ekonomi dalam proses produksi, pengolahan dan pemasaran kopi-nya. Tujuan 4C ini untuk mendorong perbaikan yang berkelanjutan dalam produksi kopi dunia dengan mengacu pada Aturan Pelaksanaan (Code of Conduct) 4C yang bersifat sukarela.

Standar 4C mengacu pada standar - standar umum yang berlaku di sertifikasi sektor perkopian, seperti standar Rainforest Alliance, Utz Kapeh, Organik, C.A.F.E. Practices, namun skema verifikasi 4C tidak seketat skema sertifikasi standar-standar tersebut. Verifikasi ini memberikan kesempatan bagi praktik yang masih membutuhkan peningkatan disiplin lebih lanjut agar dapat memenuhi standar. Karenanya program 4C dapat menjadi langkah awal menuju sistem sertifikasi tersebut di atas.

Proses verifikasi akan menilai kesesuaian satu unit terhadap standar sekaligus memberikan saran/masukan terhadap praktek produksi agar sesuai dengan standar yang telah disepakati. Dengan kata lain verifikasi 4C memungkinkan perbaikan yang berkelanjutan dan hal ini menjadi kekhasan program 4C dibandingkan dengan program lainnya. Yang dimaksud unit dalam Asosiasi 4 C adalah produsen, prosesor, pedagang, pemerintah, LSM internasional yang terdaftar sebagai anggota.

Hasil verifikasi yang lolos namun masih memerlukan perbaikan lebih lanjut akan mendapatkan nilai kuning. Jika satu produsen mendapatkan nilai rata-rata


(20)

(kuning) dari hasil verifikasinya, maka kopi yang diproduksi dapat dipasarkan sebagai kopi 4C. Namun Asosiasi 4C tidak memberikan harga premium ataupun jaminan pasar bagi kopi 4C, melainkan memasukkan produk kopi 4C yang telah diverifikasi ke dalam daftar produsen dan mempublikasikannya di website 4C.

Calon-calon pembeli kopi 4C adalah anggota Asosiasi 4C yang berasal dari kalangan industri yang telah berkomitmen untuk membeli kopi 4C sejumlah 2,8 juta bag sebagai persyaratan menjadi angota Asosiasi 4C. Harga kopi 4C ditentukan dari hasil negosiasi langsung antara produsen dan pembelinya.

Kekhasan lain dari program 4C adalah biaya verifikasi ditanggung oleh Asosiasi 4C yang bersumber dari iuran anggota (produsen dan trader/industri). Karena biaya verifikasi tidak hanya ditanggung oleh produsen saja maka setiap produsen yang ingin mengikuti program ini harus menjadi anggota Asosiasi 4C dan

membayar biaya keanggotaan. Besarnya biaya keanggotaan ditentukan oleh Sekretariat 4C sesuai dengan jumlah kopi yang diproduksi

(http://www.biocert.or.id, 2012).

Asosiasi 4C memiliki basis di Jerman. Untuk memperlancar proses verifikasi di Indonesia, 4C Association menunjuk Lembaga Swadaya/Non-Governmental Organization (NGO) untuk melakukan verifikasi tersebut. NGO tersebut antara lain Biocert dan Control Union. Proses verifikasi yang dilakukan pada petani kopi binaan Nestlé diwakilkan oleh Control Union.

Dalam pelaksanaanya, 4C memiliki Kode Perilaku yang berlaku bagi semua unit tanpa terkecuali. Kode Perilaku merupakan instrumen inti dari Asosiasi untuk menggalakkan produksi, pemrosesan, dan perdagangan kopi hijau yang


(21)

berkelestarian. Dalam kode perilaku ini terdapat tiga dimensi, yaitu dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan.

a. Dimensi Sosial

Dalam dimensi sosial, merupakan dimensi yang menjamin persamaan kelayakan dalam bekerja dan kondisi kehidupan petani dan keluarga sebagaimana pekerja pada umumnya. Terdapat sebelas prinsip dalam dimensi ini, yaitu prinsip kebebasan berserikat, kebebasan tawar menawar, persamaan hak, hak atas masa kanak-kanak dan pendidikan, kondisi kerja, pengembangan kapasitas dan keterampilan, kondisi kehidupan dan pendidikan. Prinsip kondisi kerja meliputi adanya kontrak kerja, adanya kesesuaian jam kerja serta jam lembur dengan peraturan yang berlaku, jaminan kesehatan dan keselamatan kerja oleh pemberi kerja, kesetaraan upah antara pekerja tetap dengan pekerja musiman dan pekerja per potong. Dimensi sosial ini diutamakan bagi perkebunan besar milik swasta maupun pemerintah yang mempekerjakan tenaga kerja.

b. Dimensi Lingkungan

Secara garis besar dimensi lingkungan fokus kepada perlindungan hutan dan konservasi keanekaragaman hayati seperti air, tanah, keanekaragaman hewan dan tumbuhan, serta energi. Dimensi ini mengandung sebelas prinsip, yaitu :

1) Konservasi keanekaragaman hayati

2) Penggunaan dan penanganan bahan kimia, yang terdiri atas : a. Meminimalkan penggunaan pestisida

b. Efek berbahaya dari pestisida dan bahan kimia lain yang digunakan pada kesehatan manusia dan lingkungan diminimalkan


(22)

3) Konservasi tanah

4) Kesuburan tanah dan manajemen nutrisi, meliputi : (a) penggunaan pupuk secara tepat, dan (b) menjalankan manajemen zat organik

5) Air, meliputi (a) pelestarian sumber air, dan (b) manajemen air limbah 6) Menjalankan strategi manajemen limbah yang aman

7) Energi, yang meliputi (a) mengutamakan penggunaan sumber energi terbaharui, dan (b) pelestarian energi (efisiensi penggunaan energi).

c. Dimensi Ekonomi

Kode perilaku juga mengatur enam prinsip dalam dimensi ekonomi yang

membahas mengenai kelangsungan ekonomi sebagai basis dari kesejahteraan dan keberlanjutan. Kelangsungan ekonomi meliputi penghasilan yang layak bagi seluruh pelaku ekonomi dalam rantai kopi, kebebasan dalam akses pasar, dan keberlanjutan mata pencaharian. Prinsip yang harus dijalankan dalam dimensi ekonomi mencakup:

1) Informasi pasar yang dapat diakses secara bebas dalam unit 4C

2) Akses pasar, yaitu meningkatkan kemampuan para produsen mendapatkan akses pasar yang memadai, termasuk informasi pasar, kredit keuangan, pasokan masukan, dll

3) Pemantauan kualitas kopi. Kualitas kopi secara teratur dinilai, berdasarkan berbagai atribut pasar yang berbeda seperti kelembaban, cacat, citarasa, aroma, atau keasaman di samping atribut kelestarian. Laporan-laporan ini dibuat dan tersedia bagi petani.


(23)

Petani kopi tidak selalu memperhatikan atribut kualitas dan kelestarian dalam produk mereka pada saat penjualan. Kurangnya kesadaran produk ini

mengakibatkan harga yang lebih rendah untuk petani. Akses ke penilaian rutin atas mutu kopi inilah yang memungkinkan petani memperkirakan dengan lebih baik nilai hasil panen mereka. Dengan ini mereka bisa

bernegosiasi lebih baik bagi kopi mereka, termasuk harga yang lebih tinggi. Akses ke penilaian mutu kopi juga mendorong petani memperbaiki kualitas dan menjajaki praktik produksi yang berkelestarian.

4) Penyimpanan catatan yang digunakan untuk memantau efisiensi produksi akan membawa perbaikan bagi kinerja kebun

5) Perniagaan, yaitu tersedia mekanisme penentuan harga yang transparan untuk mencerminkan kualitas kopi dan praktik-praktik produksi yang

berkelestarian.

6) Mekanisme keterlacakan internal dijalankan. Kopi dengan kualitas dan/ atau asal-usul yang berbeda dicampur. Ini berarti menghasilkan harga keseluruhan kopi yang lebih rendah dan transparansi rantai pasoka yang lebih buruk. Keterlacakan yang lebih tinggi memungkinkan pembeli menilai kopi berdasarkan atribut asal-usul uniknya dan dengan lebih baik menghargai setiap petani yang menghasilkan kopi berkualitas tinggi.

Selain ketiga dimensi di atas,dalam kode perilaku Unit 4C terdapat sepuluh praktik yang tidak boleh dilakukan sebagai prasyarat menjadi anggota 4C, yaitu: 1) Penggunaan tenaga kerja anak.

2) Perbudakan dan kerja paksa. 3) Perdagangan manusia.


(24)

4) Larangan untuk bergabung dalam serikat pekerja atau keterwakilan oleh serikat pekerja.

5) Penggusuran paksa tanpa menyediakan kompensasi.

6) Perumahan yang tidak layak apabila dibutuhkan oleh pekerja. 7) Ketiadaan air yang layak bagi pekerja.

8) Perusakan sumber daya alam dan hutan primer. 9) Penggunaan pestisida yang dilarang.

10) Transaksi amoral dalam bisnis menurut perjanjian internasional serta hukum dan praktik nasional.

d. Sistem Penilaian 4C

Untuk mengukur perwujudan dari ke 28 prinsip dalam tiga dimensi di atas,

diberlakukan sistem penilaian “The Traffic Light System”. Sistem ini memilki tiga tingkatan penilaian yaitu hijau, merah, dan kuning. Masing-masing tingkat

penilaian mengilustrasikan perwujudan dari 28 prinsip tersebut. Merah mengindikasikan praktik di lapangan tidak boleh dilanjutkan sama sekali atau tidak lolos verifikasi. Kuning mengindikasikan bahwa praktik di lapangan masih dalam tahap, yaitu dapat lolos namun memerlukan perbaikan lebih lanjut. Hijau merefleksikan praktik yang telah sesuai dengan prinsip yang berlaku (Asosiasi 4C, 2009).

e. Verifikasi 4C pada Program Pembinaan Nestlé

Verifikasi 4C mulai menjadi tren di kalangan pasar kopi dunia sejak tahun 2008. Kemudian, Nestlé memutuskan menggunakan verifikasi ini sebagai standar pembinaan petani sejak tahun 2010. Hal ini dilakukan untuk memudahkan


(25)

penilaian terhadap kondisi perkebunan petani. Selain itu, agar petani dapat dengan mudah mengakses pasar dunia jika sudah menjadi bagian dari wadah pemasaran yang mendunia.

Asosiasi 4C memiliki basis di Jerman. Karena asosiasi ini memiliki anggota yang tersebar di banyak negara, 4C membutuhkan LSM yang dapat menjadi

kepanjangan tangan untuk proses verifikasi anggota. Di Indonesia sendiri, Bio-Cert dan Control Union merupakan lembaga sertifikasi independen (LSM) yang menjadi kepanjangan tangan 4C tersebut. Control Union menjadi lembaga yang mengurusi verifikasi anggota yang berasal dari petani binaan Nestlé.

5. Kelayakan Finansial

Untuk mengetahui Soetriono (2010) berpendapat bahwa analisis finansial adalah analisis kelayakan yang melihat dari sudut pandang petani sebagai pemilik. Pada analisis finansial, diperhatikan segi cash-flow dari suatu proyek/usahatani yaitu perbandingan antara hasil penerimaan atau penjualan kotor (gross-sales) dengan jumlah biaya-biaya (total cost) yang dinyatakan dalam nilai sekarang untuk mengetahui kriteria kelayakan atau keuntungan suatu proyek. Hasil finansial sering juga disebut “private returns”. Beberapa hal lain yang harus diperhatikan dalam analisis finansial ialah returns (pendapatan) diperhitungkan sebelum pihak-pihak yang berkepentingan dalam pembangunan proyek kehabisan modal.

Studi kelayakan perlu dilakukan untuk menganalisis bagaimana perkiraan aliran kas yang akan terjadi. Analisis ini akan mencermati kinerja keuangan usahatani yang berumur tahunan seperti kopi. Alur biaya dan penerimaan akan dilihat dari tahun pertama kopi ditanam, dimana petani baru menanamkan investasi tetapi


(26)

belum mendapatkan hasil, sampai dengan proyeksi alur keuangan saat umur ekonomis tanaman berakhir.

Pada umumnya ada beberapa metode yang biasa dipertimbangkan untuk dipakai dalam penilaian aliran kas dari suatu investasi, yaitu metode Net B/C Ratio, Gross B/C Ratio, Payback Period, Net Present Value, dan Internal Rate of Return (Kadariah, 2001). Yang termasuk dalam biaya investasi dalam perkebunan kopi adalah bibit kopi, bibit tanaman naungan, peralatan berusahatani seperti hand sprayer, cangkul, arit, terpal, dan sebagainya.

6. Analisis Incremental

Metode lain yang dapat digunakan adalah analisis incremental. Pendekatan yang umum digunakan dalam pemilihan suatu alternatif penyelesaian adalah dengan membandingkan alternatif secara berpasangan (pairwise comparison). Dengan metode ini, apabila terdapat lebih dari dua alternatif, dalam penelitian ini mengikiti program atau tidak mengikuti program, penentuan alternative terbaik dilakukan melalui proses analisis dan evaluasi secara bertahap dengan

menggunakan teknik incremental analysis (Salengke, 2011).

Analisis incremental adalah cara pengambilan keputusan di mana biaya

operasional atau pendapatan dari satu alternatif dibandingkan dengan alternatif lain. Alternatif keputusan terbaik adalah biaya operasional terkecil atau

pendapatan yang terbesar. Analisis incremental ini fleksibel, dimana data dapat dihitung dan disajikan untuk alternatif keputusan berdasarkan periode, seperti hari, minggu, bulan atau tahun.


(27)

7. Analisis Sensitivitas

Menurut Gittinger (1993), analisis sensitivitas adalah suatu kegiatan menganalisis kembali suatu proyek untuk melihat apakah yang akan terjadi pada proyek

tersebut bila suatu proyek tidak berjalan sesuai rencana. Analisis sensitivitas mencoba melihat realitas suatu proyek yang didasarkan pada kenyataan bahwa proyeksi suatu rencana proyek sangat dipengaruhi unsur-unsur ketidakpastian mengenai apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Semua proyek harus diamati melalui analisis sensitivitas.

Gittinger (1993) menyatakan bahwa dalam bidang pertanian, proyek sensitif untuk berubah, yang diakibatkan oleh empat masalah utama, yaitu :

a) Harga, terutama perubahan dalam harga hasil produksi yang disebabkan oleh turunnya harga di pasaran.

b) Keterlambatan pelaksanaan usahatani. Dalam usahatani dapat terjadi keterlambatan pelaksanaannya karena ada kesulitan-kesulitan secara teknis atau inovasi baru yang diterapkan, atau karena keterlambatan dalam

pemesanan dan penerimaan peralatan.

c) Kenaikan biaya, baik dalam biaya investasi maupun biaya operasional, yang diakibatkan oleh perhitungan-perhitungan yang terlalu rendah.

d) Kenaikan hasil, dalam hal ini kesalahan perhitungan hasil.

Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat apakah yang akan terjadi pada analisis usaha jika terdapat suatu kesalahan atau perubahan dalam dasar-dasar perhitungan biaya maupun manfaat atau penerimaan. Analisis kepekaan ini dilakukan untuk meneliti kembali suatu analisis kelayakan usaha agar dapat


(28)

melihat pengaruh yang akan terjadi akibat adanya keadaan yang berubah atau kesalahan dalam perhitungan. Hal ini terjadi karena dalam menganalisis kelayakan suatu usaha, biasanya didasarkan pada proyeksi yang mengandung banyak ketidakpastian dan perubahan yang akan terjadi di masa datang.

8. Persepsi

Persepsi adalah suatu proses yang didahului oleh penginderaan. Penginderaan adalah suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat penerimaan yaitu alat indera. Stimulus yang mengenai individu kemudian diorganisasikan, diinterpretasikan, sehingga individu menyadari tentang apa yang diinderakannya tersebut. Dengan persepsi individu dapat menyadari, dapat mengerti tentang keadaan lingkungan yang ada disekitar, dan juga tentang keadaan diri individu yang bersangkutan (Davidoff, 1981 dalam Walgito,1978).

Persepsi tidak hanya datang dari luar diri individu, tetapi juga dapat datang dari dalam individu yang bersangkutan.Apabila yang menjadi objek persepsi adalah diri individu sendiri maka disebut dengan persepsi diri, karena dalam persepsi tersebut merupakan aktivitas terintegrasi, maka seluruh apa yang ada dalam diri individu seperti perasaan, pengalaman, kemampuan, berfikir, kerangka acuan, dan aspek lainnya yang ada dalam diri individu akan ikut berperan dalam persepsi tersebut (Walgito, 1978).

9. Kajian Penelitian Terdahulu

Berdasarkan hasil penelitian Andriyanti (2005), seiring bimbingan yang dilakukan sejak tahun 1994 sampai sekarang, ada dua jenis biji kopi yang diperdagangkan petani binaan Nestlé, yaitu : (1) kopi mutu non-grade adalah kopi dengan kadar


(29)

air lebih dari dua belas persen dan defect lebih dari 150. Umumnya kopi mutu ini dihasilkan petani karena terdesak kebutuhan atau petani-petani dengan luas pengusahaan lahan kurang dari 0.75 hektar dan modal terbatas, dan (2) 86% petani menghasilkan kopi mutu Nestlé. Kopi mutu Nestlé ini terdiri atas dua jenis mutu yaitu mutu A1 (kadar air 11 persen dan defect 80) dan A2 (kadar air kurang dari 11 persen dengan defect 80-100). Kopi mutu Nestlé ini dihasilkan dari

pemanenan „petik merah kuning‟ dan penanganan pascapanen yang lebih baik dari kopi non-grade.

Hasil pengamatan terhadap struktur penerimaan dan biaya usahatani petani KUB menunjukkan nilai imbangan penerimaan terhadap biaya (R/C Ratio) sebesar 2,14. Petani Non-KUB memperoleh nilai R/C Ratio sama dengan 2,13. Nilai R/C Ratio antara petani KUB dengan petani non-KUB tidak berbeda jauh, dikarenakan adanya perbedaan harga per satuan berat masing-masing jenis pupuk.

Guna memperoleh efek dari pembinaan Nestlé, dilakukan analisis Incremental B/C Ratio. Analisis ini menggunakan data struktur biaya usahatani petani non-KUB sebagai kontrol. Hasil analisis Incremental B/C Ratio bernilai 2,14. Penerimaan total petani KUB dengan adanya pembinaan dari PT. Nestlé lebih besar dari biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk usahataninya. Berdasarkan hasil perhitungan, petani KUB memperoleh pendapatan rata-rata sebesar Rp. 2.136.580,32/ha/th. Pendapatan rata-rata petani non-KUB adalah Rp.

1.558.763,95/ha/th. Maka pendapatan petani KUB 37,07 persen lebih tinggi dibandingkan pendapatan yang diperoleh petani non-KUB. Berdasarkan nilai Incremental B/C Ratio sebesar 2,15 menunjukkan bahwa pembinaan yang


(30)

Budidarsono dan Wijaya (2004) dalam penelitiannya mengenai budidaya kopi multistrata (agroforestri) yang mendapatkan premium fee melalui label konservasi menunjukkan bahwa pola budidaya kopi multistrata jauh lebih menguntungkan dibandingkan pola monokultur. Dalam penelitian tersebut diketahui bahwa jenis budidaya kopi multistrata menghasilkan NPV positif. Sedangkan budidaya kopi monokultur menghasilkan nilai NPV negatif untuk pola pionir-tradisional. Secara finansial kemampuan memberikan IRR dari budidaya kopi multistrata berkisar antara 21.4% dan 36.5%; relatif lebih besar dari pada tingkat bunga resmi pada tahun 2000. Penelitian ini menunjukkan bahwa budidaya kopi dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkugan seperti melalui teknik multistrata ini juga dapat memberikan keuntungan lebih besar dibandingkan budidaya kopi

konvensional (monokultur).

Hasil penelitian Maimun (2009) yang bertujuan membandingkan pendapatan, nilai tambah kopi bubuk, serta saluran pemasaran antara kopi arabika organik dan non-organik menunjukkan penerimaan petani untuk kopi arabika organik adalah sebesar Rp. 30.450.000,- dihasilkan dari 2.100 kg per tahun. Sedangkan untuk kopi arabika non organik penerimaan petani sebesar Rp. 24.375.000,00 dari 1.950 kg per tahun kopi yang mereka jual. Dengan adanya peralihan dari usahatani kopi arabika non organik ke kopi arabika organik, maka di dapatkan hasil R/C rasio. R/C atas biaya tunai sebesar 6,82 persen dan R/C atas biaya total sebesar 2,98 persen untuk kopi organik. Sedangkan R/C atas biaya tunai untuk kopi non organik sebesar 6,33 persen dan R/C atas biaya total sebesar 2,51 persen.

Dari hasil analisis usahatani biaya kopi arabika organik dan non organik tidak berbeda jauh selisih biayanya. Pendapatan usahatani kopi arabika organik lebih


(31)

besar dibandingkan dengan usahatani kopi arabika non organik. Hal ini bisa disimpulkan bahwa budidaya kopi organik lebih menguntungkan.

Nilai tambah yang diperoleh oleh Industri kopi bubuk Ulee Kareng untuk kopi arabika non organik sebesar Rp. 24.432,54 dan rasio nilai tambahnya 58,17 persen. Sedangkan nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan kopi bubuk arabika organik sebesar Rp. 30.832,54 dan rasio nilai tambahnya adalah 58,72 persen. Hal ini bisa disimpulkan bahwa pengolahan kopi organik lebih

menguntungkan karena nilai tambah bubuk kopi arabika organik lebih besar dibandingkan kopi arabika non organik.

Donahague (2008) yang meneliti mengenai Peran Informasi dalam Sertifikasi Kopi Organik mendapatkan hasil bahwa keterlibatan petani kecil dalam proses sertifikasi kopi organik dapat memberikan keuntungan baik langsung maupun tak langsung. Keuntungan sosial-ekonomis langsung mencakup price premium dan mengurangi pemakaian bahan kimia, yang biasanya sangat mahal bagi produsen kecil. Pemakaian ini mahal dan bisa merugikan petani. Namun, terdapat kendala dalam pemasaran yaitu jumlah para konsumen yang tertarik untuk membeli kopi organik dengan harga yang lebih tinggi sangat terbatas, walau jumlah produsen meningkat. Oleh karena itu, price premium tersebut menurun terus menerus.

Keuntungan tak langsung yang didapatkan oleh petani kecil yang mengikuti proses sertifikasi kopi organik adalah semakin kuatnya proses kemitraan di tingkat lokal maupun internasional. Sehingga, petani memiliki lebih banyak kesempatan untuk meningkatkan nilai tambah produknya, sebab kemitraan baru ini


(32)

Biasanya petani kopi rakyat tidak mengetahui tentang pasar mereka, termasuk standard kualitas yang dikehendaki oleh konsumen produk itu. Keterlibatan produsen kecil dalam proses sertifikasi ini dapat menguntungkan karena informasi dari mitra-mitra yang lebih dulu bergabung bisa diakses oleh petani itu. Selain itu, melalui kemitraan dengan LSM lokal, petani bisa mengakses informasi dari LSM yang lain dan menjalin kemitraan dengan perdagangan yang lebih luas.

Tandisau dan Herniwati (2009) yang melakukan penelitian di Sulawesi Selatan mengungkapkan bahwa ada selisih harga yang besar antara produk pertanian organik (tersertifikasi/terverifikasi) dengan non organik. Selisih harga mencapai 30% – 100%. Dengan penerapan teknologi pertanian organik secara baik, diharapkan hasil yang diperoleh relatif sama dengan pertanian non organik. Dengan demikian pendapatan petani akan meningkat, lingkungan sehat dan aman, kondisi lahan tetap subur, mampu memberikan hasil yang tinggi secara kontinyu. Manfaat yang didapat tersebut diharapkan dapat membuat petani tergerak dan termotivasi untuk mengembangkan pertanian organik.

Masalah dan hambatan tetap terjadi dalam pengembangan pertanian organik. Beberapa di antaranya adalah :

1) Pertanian organik menekankan pemberian bahan organik (pupuk organik), sedangkan kadar hara bahan organik sangat rendah sehingga diperlukan dalam jumlah banyak untuk dapat memenuhi kebutuhan hara tanaman. 2) Pengakuan sebagai pelaku pertanian organik harus melalui proses akreditasi

dan sertifikasi. Hal ini menjadi kendala karena pembentukan lembaga akreditasi untuk produk tiap sub sektor di Indonesia mungkin belum terpenuhi.


(33)

3) Lembaga pendukung kelompok tani, penyuluh, lembaga pemasaran, serta pendukung lainnya harus dipersiapkan

4) Petani selama ini telah terbiasa dengan Revolusi Hijau dimana praktik pertanian relatif serba cepat dengan bahan-bahan kimia, mudah, kebutuhan relatif lebih sedikit. Tantangan dari keadaan ini adalah mengubah petani kembali menjadi tekun, sabar dan mau bekerja keras.

5) Diperlukan inovasi teknologi pemanfaatan bahan organik yang sederhana, cepat, mudah diaplikasikan, tidak membutuhkan waktu dan tenaga yang banyak dalam proses pembuatan dan penanganan sampai pada aplikasinya. Ini merupakan tantangan bagi peneliti.

B. Kerangka Pemikiran

Program verifikasi merupakan suatu program yang difokuskan untuk

meningkatkan mutu suatu komoditas. Program verifikasi ini menjadi suatu faktor penting dalam perdagangan internasional dimana terjadi persaingan yang dapat dikatakan tidak mengalami distorsi. Oleh sebab itu, sebagai komoditas yang sangat laku di pasar internasional, produsen kopi perlu melengkapi produknya dengan label “terverifikasi” maupun “tersertifikasi”. Hal ini menjadi penting dikarenakan tingginya permintaan pasar akan kopi bermutu dan tingginya tingkat persaingan kopi di antara negara-negara produsen.

Lampung sebagai salah satu daerah penghasil kopi terbesar di Indonesia, terutama kopi yang ditujukan untuk ekspor perlu melihat verifikasi ini sebagai suatu


(34)

memiliki nilai jual yang tinggi dan tidak kalah bersaing. Juga, untuk menghindari penolakan kopi di pasar internasional yang disebabkan oleh rendahnya mutu.

PT Nestlé Indonesia Pabrik Panjang yang merupakan industri penghasil kopi bubuk instan memiliki standar mutu yang harus dipenuhi guna menjaga kepuasan konsumen. Untuk itu, Nestlé membutuhkan bahan baku yang bermutu tinggi pula. Oleh sebab itu, perusahaan berusaha mendidik petani dengan cara berkebun yang dapat menghasilkan kopi bermutu dengan sistem kemitraan yang tidak mengikat. Sejak tahun 2008, pembinaan Nestlé ini ditujukan agar perkebunan kopi rakyat milik petani dapat memperoleh verifikasi 4C untuk menstandarisasi produknya, baik yang dijual dalam bentuk kopi instan maupun yang disalurkan dalam bentuk bahan baku.

Sebagai program yang utamanya bertujuan meningkatkan mutu produk kopi, maka mutu juga menjadi fokus dalam penelitian ini, apakah benar tercapai

peningkatan mutu kopi. Peningkatan mutu kopi ini diukur melalui sudut pandang (persepsi) petani selaku produsen kopi.

Selama 17 tahun pembinaan dan 2 tahun program verifikasi ini berjalan, jumlah petani binaan Nestlé terus bertambah. Secara kasar dapat disimpulkan bahwa petani merespon dan memiliki persepsi yang baik terhadap program verifikasi karena petani merasa menghasilkan produk yang baik dan laku dijual dengan harga yang bagus dan sesuai harga dunia tanpa dikenai potongan-potongan akibat adanya kekurangan dalam mutu.

Proses produksi yang dijalani sesuai himbauan Nestlé ini sebenarnya memerlukan biaya yang lebih tinggi dibandingkan sistem produksi kopi konvensional. Di lain


(35)

hal, petani mendapatkan premium fee sehingga harga jualnya menjadi lebih tinggi sehingga perlu dikaji ulang apakah besarnya premium fee ini sebanding atau lebih besar dibandingkan kenaikan biaya produksi. Hal ini perlu diketahui agar tidak terjadi keuntungan hanya di satu pihak, yaitu perusahaan, sedangkan petani sebagai pelaku utama justru mengalami kerugian.

Cukup rumitnya prosedur dan syarat-syarat (kode perilaku) verifikasi 4C

sebenarnya ditujukan untuk menguntungkan seluruh unit yang tergabung di dalam asosiasi tersebut, yaitu produsen, pedagang perantara, industri pengolah, dan konsumen. Namun, dari sistem pemasaran produk pertanian yang umum terjadi di usahatani rakyat di Indonesia, petani sebagai produsen justru mendapatkan keuntungan (share) terkecil, bahkan tidak jarang mengalami kerugian. Dengan demikian perlu adanya pengkajian secara kuantitatif untuk membuktikan apakah program verifikasi memberikan peningkatan hasil yang nyata terhadap kelayakan finansial usahatani kopi tersebut. Agar terlihat perbedaan kelayakan usahatani tersebut, maka penelitian ini melihat kelayakan kedua jenis usahatani, yaitu yang telah melakukan verifikasi dan belum melakukan verifikasi.

Kelayakan finansial diukur dengan beberapa metode yang biasa dipertimbangkan untuk dipakai dalam penilaian aliran kas dari suatu investasi, yaitu metode Net B/C Ratio, Gross B/C Ratio, Payback Period, Net Present Value, dan Internal Rate of Return.

Program verifikasi ini mengedepankan dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Oleh sebab itu, pengkajian juga perlu dilakukan untuk menganalisis manfaat yang dirasakan pada ketiga dimensi tersebut menurut persepsi petani. Untuk lebih


(36)

jelas, kerangka pikir analisis manfaat verifikasi kopi dalam upaya peningkatan mutu kopi dapat dilihat pada Gambar 2.

C. Hipotesis

Untuk menjawab tujuan dari penelitian ini, telah disusun hipotesis, yaitu: 1) Diduga, usahatani kopi program verifikasi memberikan manfaat secara

finansial.

2) Diduga, menurut persepsi petani program verifikasi kopi dapat memberikan manfaat sosial, ekonomi, dan lingkungan.

3) Berdasarkan persepsi petani, diduga program verifikasi kopi dapat meningkatkan mutu kopi yang dihasilkan.


(37)

Gambar 2. Kerangka pikir analisis manfaat pembinaan dan verifikasi kopi dalam upaya peningkatan mutu kopi

Mutu Kopi Usahatani Kopi Terverifikasi Petani Binaan Pembinaan Nestlé Sosial -Manfaat Sosial

menurut Persepsi

Ekonomi -Analisis Kelayakan

Finansial (NPV, IRR, Gross B/C, Net B/C, PP)

-Analisis Incremental B/C Ratio

-Analisis Sensitivitas -Manfaat Ekonomi

menurut Persepsi Manfaat Output Proses Input -SDM -Faktor Produksi -Input Penunjang Lingkungan -Manfaat Lingkungan

menurut Persepsi

Usahatani Kopi Non-Verifikasi

Produk Kopi Petani Tidak Dibina Penilaian Kinerja oleh 4C


(38)

III. METODE PENELITIAN

A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional

Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang dipergunakan untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan penelitian.

Budidaya kopi adalah kegiatan menanam dan mengelola tanaman kopi untuk menghasilkan produksi, sebagai sumber utama penerimaan usaha yang dilakukan oleh petani.

Luas kebun adalah luas lahan yang ditanami dan digarap oleh petani untuk budidaya kopi, diukur dengan satuan luas (ha).

Produksi kopi adalah jumlah produksi kopi pada satu periode produksi, yang diukur dalam kg.

Produktivitas lahan adalah total produksi seluruh tanaman kopi yang ditanam pada sebidang lahan dan dihitung disetarakan dengan produksi kopi diukur dengan kg setara kopi kering giling/ha.

Persepsi petani adalah penafsiran petani terhadap kejadian/kenyataan yang terjadi disekitarnya. Persepsi petani diukur dari beberapa sudut pandang, yaitu persepsi mengenai manfaat ekonomi, manfaat ekologi, manfaat sosial, dan manfaat atas


(39)

peningkatan mutu kopi dari pembinaan dan verifikasi kopi. Manfaat-manfaat tersebut diukur oleh beberapa indikator yang telah ditentukan.

Program pembinaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan (Nestlé) kepada petani kopi dengan memberikan penyuluhan dan pelatihan melalui demo plot (laboratorium lapang) yang diorientasikan pada peningkatan mutu dan produksi kopi rakyat. Pembinaan mencakup: 1) budidaya perkebunan dan penanganan pascapanen kopi, 2) pengetahuan tentang sistem pengujian mutu kopi, dan 3) adalah pengembangan sumberdaya manusia melalui pembentukan kelembagaan petani serta penyuluhan dan pelatihan manajemen organisasi petani.

Program verifikasi kopi adalah penilaian atas kesesuaian unit-unit dalam perkebunan kopi terhadap standar 4C sebagaimana yang berlaku dalam Kode Perilaku 4C, mencakup dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan untuk mendapatkan pengakuan sebagai petani terverifikasi.

Manfaat dimensi sosial adalah manfaat dari segi kehidupan sosial masyarakat (dimensi sosial) yang dalam penelitian ini diukur melalui kemajuan dalam beberapa indikator, yaitu: 1) kemampuan teknologi informasi petani, 2) aktivitas organisasi, 3) partisipasi petani dalam kelembagaan/organisasi, 4) kerjasama antar-petani, 5) kerjasama dengan organisasi/kelompok tani lain, 6) terstruktur-tidaknya penyuluhan, 7) peran lembaga pembina dalam upaya pengembangan petani

Manfaat dimensi ekonomi adalah manfaat adanya verifikasi yang diperoleh petani ditinjau dari dimensi ekonomi. Manfaat ini diukur melalui 2 pendekatan, yaitu


(40)

secara kuantitatif dengan analisis kelayakan usahatani secara finansial dan menurut persepsi petani.

Persepsi petani atas manfaat ekonomi dikaji berdasarkan kemajuan yang

dirasakan petani dalam beberapa indikator berikut: 1) kemudahan informasi pasar, 2) produktivitas usahatani, 3) harga jual kopi, 4) transparansi penilaian mutu kopi, 5) pembukuan usahatani, 6) kemudahan mendapatkan input, 7) kemudahan

mendapatkan permodalan, 8) keuntungan usahatani, 9) kepastian pemasaran, 10) kemudahan pemasaran.

Analisis kelayakan finansial adalah analisis kelayakan yang melihat dari

perbandingan antara hasil penerimaan atau penjualan kotor (gross-sales) dengan jumlah biaya-biaya (total cost) yang dinyatakan dalam nilai sekarang untuk mengetahui kriteria kelayakan atau keuntungan suatu proyek. Harga yang digunakan adalah harga privat. Kelayakan ini dihitung berdasarkan nilai NPV, Gross B/C Ratio, Nett B/C Ratio, Payback Period, dan Internal Rate of Return.

Manfaat finansial pembinaan dihitung menggunakan analisis incremental, yaitu analisis untuk mengetahui peningkatan kondisi finansial usahatani setelah dilakukan pembinaan dan verifikasi. Analisis incremental meliputi incremental NPV, incremental B/C ratio, incremental IRR, dan analisis sensitivitas.

Discount factor adalah suatu bilangan yang lebih kecil dari satu yang dapat dipakai untuk mengalikan atau mengurangi suatu jumlah di waktu yang akan datang sehingga dapat diketahui berapa nilainya saat ini.

Discout rate digunakan untuk mencari nilai discount factor. Penelitian ini menggunakan discount rate sebesar 10,5%.


(41)

Net Present Value (NPV) adalah suatu analisis yang digunakan untuk menghitung selisih antara present value dari penerimaan dengan present value dari biaya-biaya yang telah dikeluarkan, diukur dalam satuan rupiah (Rp).

Internal Rate of Return (IRR) adalah suatu analisis yang digunakan untuk mengetahui tingkat keuntungan atas investasi bersih dalam suatu usahatani. IRR merupakan suatu tingkat bunga (discount rate) yang dapat membuat besarnya NPV usahatani sama dengan nol (0), diukur dalam satuan persen (%).

Payback Period (PP) atau periode kembali modal adalah suatu analisis yang digunakan untuk mengetahui jangka waktu yang diperlukan untuk

mengembalikan modal investasi usahatani, diukur dalam satuan tahun (th).

Gross B/C Ratio adalah perhitungan yang menunjukkan suatu tingkat

perbandingan antara penerimaan kotor dengan biaya kotor yang diperhitungkan saat ini.

Net B/C Ratio adalah perhitungan yang menunjukkan suatu tingkat perbandingan antara jumlah present value penerimaan bersih dengan jumlah present value biaya.

Incremental NPV merupakan peningkatan nilai sekarang dari pendapatan

(manfaat) bersih usahatani kopi setelah dilakukan pembinaan dan verifikasi yang dihitung dengan satuan rupiah (Rp).

Incremental B/C Ratio merupakan perhitungan mengenai peningkatan perbandingan biaya dengan pendapatan (B/C ratio) usahatani kopi setelah dilakukan pembinaan dan verifikasi.


(42)

Incremental IRR merupakan peningkatan nilai IRR usahatani kopi setelah dilakukan pembinaan dan verifikasi yang dihitung dalam persentase (%)

Analisis sensivitas merupakan analisis yang dilakukan untuk mengetahui akibat dari perubahan parameter produksi terhadap perubahan kinerja usahatani dalam menghasilkan keuntungan. Penelitian ini menganalisis sensitivitas usahatani dengan 2 kemungkinan: 1) penurunan produksi sebesar 68%, 2) harga jual sebesar 25 %, dan 3) kenaikan upah tenaga kerja sebesar 16,7%.

Manfaat dimensi lingkungan merupakan peningkatan kondisi lingkungan menurut persepsi petani yang diukur berdasarkan adanya tidaknya kemajuan pada indikator berikut: 1) kontrol dan batasan dalam penggunaan pestisida, 2) efek bahan kimia (dalam pupuk/pestisida) bagi produk (biji kopi) dan lingkungan, 3) penggunaan alat pengaman untuk melindungi petani dari efek bahan kimia, 4) penerapan konservasi tanah, 5) kesuburan tanah, 6) jumlah biodiversitas tanah, 7) frekuensi serangan HPT, serta 8) kesinambungan sumber daya air.

Persepsi petani atas peningkatan mutu kopi adalah pandangan petani mengenai perubahan mutu kopi yang dihasilkan dengan dilakukannya program verifikasi. Persepsi ini diukur berdasarkan beberapa indikator, yaitu: 1) penanganan panen, 2) penanganan pasca-panen, 3) persentase biji kopi yang cacat (defect kopi), 4) kadar air dalam biji kopi, dan 5) citarasa kopi.

Biaya produksi adalah total biaya yang dikeluarkan karena dipakainya faktor-faktor produksi, baik yang bersifat tunai maupun diperhitungkan, dalam proses produksi kopi selama satu tahun, diukur dalam satuan rupiah (Rp).


(43)

Biaya tetap adalah biaya yang dikeluarkan dalam usahatani kopi yang besar kecilnya tidak tergantung dari besar-kecilnya output yang diperoleh, diukur dalam satuan rupiah (Rp).

Biaya variabel adalah biaya yang dikeluarkan untuk usahatani kopi yang besar-kecilnya berhubungan langsung dengan jumlah produksi dan merupakan biaya yang dipergunakan untuk memperoleh faktor produksi berupa tenaga kerja, benih, pupuk, dan pestisida, diukur dalam satuan rupiah (Rp).

Biaya diperhitungkan adalah biaya produksi yang tidak dikeluarkan secara tunai, diukur dalam satuan rupiah (Rp).

Jumlah tenaga kerja keluarga adalah jumlah tenaga kerja yang tersedia dalam keluarga yang diukur dalam jumlah hari orang kerja (HOK).

B. Lokasi Penelitian, Responden, dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Tanggamus. Lokasi dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Tanggamus merupakan salah satu daerah yang dikenal sebagai sentra produksi kopi di Lampung. Areal pertanian di kabupaten ini masih didominasi oleh kopi dan kakao. Luas areal produksi, volume produksi, serta produktivitas kopi menurut kecamatan di Kabupaten Tanggamus dapat dilihat pada Tabel 5.

Daerah binaan PT Nestlé Indonesia di Kabupaten Tanggamus meliputi Kecamatan Pulau Panggung, Ulu Belu, dan Sumberejo. Data tahun 2010 yang dikeluarkan BPS menyebutkan bahwa Kecamatan Pulau Panggung dan Sumberejo merupakan daerah binaan yang memiliki produktivitas lahan tertinggi di antara daerah binaan


(44)

lainnya. Hal ini dapat dijadikan acuan bahwa program pembinaan dan verifikasi di kedua kecamatan ini secara umum telah berjalan efektif dan menghasilkan dampak yang nyata.

Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, dipilih masing-masing satu KUB untuk mewakili tiap kecamatan. Dari masing-masing kecamatan dipilih KUB dengan jumlah anggota terbanyak. Sehingga, pada Kecamatan Sumberejo dipilih KUB Mawar dengan jumlah anggota sebanyak 193 orang.

Tabel 5. Luas lahan, produksi, dan produktivitas perkebunan kopi di Kabupaten Tanggamus tahun 2010

No .

Kecamatan Luas Areal (Ha)

Produksi (Ton)

Produktivitas (Kg/Ha)

1 Wonosobo 2.241 1.500 669

2 Semaka 979 250 255

3 Bandar Negeri Semuong 805 451 561

4 Kota Agung 320 234 731

5 Pematang Sawa 1.642 1.100 670

6 Kota Agung Barat 212 150 708

7 Kota Agung Timur 355 155 437

8 Pulau Panggung 6.099 3.800 623

9 Ulu Belu 5.411 2.800 517

10 Air Naningan 5.127 654 128

11 Talang Padang 218 125 573

12 Sumberejo 1.647 1.500 911

13 Gisting 1.198 581 485

14 Gunung Alip 1.180 109 92

15 Pugung 5.864 7.487 1.277

16 Bulok 2.247 640 285

17 Cukuh Balak 3.376 2.887 855

18 Kelumbayan 251 155 618

19 Limau 1.347 680 505

20 Kelumbayan Barat 445 250 562


(45)

Kecamatan Pulau Panggung diwakili oleh KUB Bintang Jaya sebagai KUB dengan jumlah anggota terbanyak, yaitu 361 orang. Jadi jumlah populasi secara keseluruhan untuk Kecamatan Tanggamus adalah 554 orang.

Dari jumlah populasi tersebut, ditentukan jumlah sampel dengan menggunakan rumus yang merujuk pada teori Sugiarto (2003), yaitu:

n = NZ

2S2 Nd2+ Z2S2

dimana, n = jumlah sampel N = jumlah populasi

S2 = variasi sampel (10% = 0,10) Z = tingkat kepercayaan (95% = 1,96) D = derajat penyimpangan (10% = 0,10)

Merujuk pada rumus di atas, berarti jumlah sampel untuk keseluruhan Kabupaten Tanggamus dapat dihitung sebagai berikut:

n = 554 x (1,96)

2

x 0.10 554 (0,10)2 + 1,96 2 x 0,10

= 212,82 5,54+0,38 = 35,92 ≈ 36

Kemudian dari jumlah keseluruhan sampel yang berjumlah 36 orang tersebut ditetapkan proporsi sampel tiap desa menggunakan rumus:

na = Na

Nab

x n

ab dimana, na = jumlah sampel KUB A


(46)

nab = jumlah sampel keseluruhan Na = jumlah populasi KUB A Nab = jumlah populasi keseluruhan

Setelah dihitung berdasarkan rumus di atas, maka sampel yang diambil dari Kecamatan Sumberejo berjumlah 13 orang dan sampel yang berada pada

Kecamatan Pulau Panggung berjumlah 23 orang. Responden petani pada kedua lokasi dipilih secara acak sederhana (simple random sampling) dengan

pertimbangan bahwa populasi dianggap homogen dalam hal: (1) semua petani kopi memiliki teknik budidaya yang sama, (2) semua petani bermaksud menjual produknya, dan (3) semua petani mencari keuntungan dalam menjual produknya (Bungin, 2005).

Penelitian ini mengkaji pula sampel yang berasal dari petani kopi non-verifikasi. Hasil penelitian dari sampel ini digunakan sebagai pembanding untuk mengetahui apakah petani terverifikasi mendapatkan manfaat yang lebih baik dibandingkan petani non-verifikasi, atau sebaliknya. Dengan alasan kesetaraan, maka jumlah sampel petani non-verifikasi disamakan dengan jumlah sampel petani terverifikasi di masing-masing kecamatan.

C. Jenis dan Metode Pengambilan Data

Data yang digunakan dalam penilitian ini dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer didapat melalui tiga


(47)

metode, yaitu:

(1) Wawancara, yang merupakan alat untuk mengumpulkan data atau informasi, baik yang diketahui dan dialami seseorang atau subyek yang diteliti maupun yang tersembunyi jauh di dalam subyek penelitian. Wawancara merupakan alat untuk mendapatkan informasi dengan bertanya langsung kepada responden mengenai usahatani kopi. Wawancara pada penelitian ini yaitu dengan cara memberikan instrumen berupa kuisioner kepada responden. (2) Observasi/ pengamatan langsung, dilakukan dengan tujuan untuk

mengembangkan pemahaman menyeluruh dan mendalam tentang kejadian nyata dalam lokasi penelitian.

Data sekunder diperoleh melalui metode pencatatan data yang berasal dari

lembaga/instansi yang berkaitan dengan penelitian, seperti Dinas Perkebunan dan Dinas Perdagangan Propinsi Lampung serta Kabupaten Tanggamus, Badan Pusat Statistik, dan lembaga lainnya serta laporan-laporan dan jurnal-jurnal ilmiah yang berhubungan dengan penelitian. Waktu pengambilan data adalah bulan Januari 2013-Maret 2013.

D. Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode analisis kuantitatif dan deskriptif kualitatif. Analisis kuantitatif digunakan untuk menjawab ketiga tujuan yang telah

ditentukan. Metode deskriptif kualitatif digunakan untuk menjabarkan detail pada tujuan kedua mengenai manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan menurut

persepsi petani serta menjawab tujuan ketiga tentang peningkatan mutu kopi terverifikasi menurut persepsi petani.


(48)

1. Metode Analisis Data Tujuan Pertama

Pada bagian ini akan diukur dimensi 4C yang pertama yaitu ekonomi. Pada tujuan yang pertama, manfaat ini diukur secara kuantitatif menggunakan analisis kelayakan finansial usahatani. Pengukuran dilakukan pada sampel yang berasal dari petani terverifikasi dan petani non-verifikasi untuk kemudian dibandingkan hasilnya.

a. Analisis Kelayakan Finansial Usahatani Kopi Terverifikasi dan Non-Verifikasi

1) Net Present Value (NPV)

Net Present Value (NPV) sering diterjemahkan sebagai nilai bersih saat ini. NPV dari suatu usahatani. NPV merupakan nilai sekarang (present value) dari selisih antara benefit (manfaat) dengan cost (biaya) pada discount rate tertentu atau dapat juga diartikan sebagai kelebihan manfaat dibandingkan dengan biaya. Secara umum, NPV sering dikatakan sebagai selisih antara pengeluaran dan pemasukan yang telah didiskon dengan menggunakan social opportunity cost of capital sebagai diskon faktor atau dengan kata lain merupakan arus kas yang diperkirakan pada masa yang akan datang yang didiskonkan pada saat ini. Untuk menghitung NPV diperlukan data tentang perkiraan biaya investasi, biaya operasi, dan pemeliharaan serta perkiraan manfaat/benefit dari usahatani yang direncanakan.

Keuntungan netto suatu usaha adalah pendapatan bruto dikurangi jumlah biaya. Maka NPV suatu usahatani adalah selisisih PV arus benefit dengan PV arus biaya.


(49)

Rumus yang digunakan adalah :

NPV = Bt-Ct

(1+i)t t=n t=1

Keterangan :

Bt : Manfaat dari usahatani Ct : Biaya (cost) pada tahun ke-i n : Umur ekonomis usahatani (tahun) i : Suku bunga diskonto (%)

t : Tahun ke 1,2,3 dst

Tiga kriteria investasi yaitu :

1) Bila NPV > 0, maka usahatani menguntungkan dan dapat dilaksanakan 2) Bila NPV < 0, maka usahatani rugi dan tidak layak untuk dilaksanakan 3) Bila NPV = 0, maka usahatani ini tidak untung dan tidak rugi (Break Event

Point)

Umur ekonomis yang digunakan adalah 25 tahun. Penentuan ini mengacu pada teori Kadariah (2001) dimana apabila proyek atau usahatani memiliki umur ekonomis di atas 25 tahun maka dianggap hanya sampai 25 tahun dikarenakan jika manfaat usahatani setelah tahun 25 di-discount menggunakan suku bunga diskonto di atas 10% akan menghasilkan present value yang kecil.

Suku bunga diskonto pada analisis finanasial ini menggunakan suku bunga Kredit Pengembangan Energi Nabati & Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP) Non

Kemitraan, yaitu sebesar suku bungan LPS ditambah 5% per tahun


(50)

(http://www1.lps.go.id), sehingga suku bunga yang digunakan adalah 10,5%. KPEN-RP adalah kredit investasi yang diberikan oleh Bank BRI kepada petani langsung dengan memperoleh subsidi bunga dari Pemerintah dalam rangka mendukung Program Pengembangan Bahan Baku Bahan Bakar Nabati dan Program Revitalisasi Perkebunan.

2) Internal Rate of Return (IRR)

Internal Rate of Return (IRR) merupakan suatu tingkat bunga yang menunjukkan nilai bersih sekarang (NPV) sama dengan jumlah seluruh investasi usahatani atau dengan kata lain, tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV sama dengan nol. Secara matematis IRR dapat dirumuskan sebagai :

2 1

2

1 1

1 i i

NPV NPV

NPV i

IRR

        Keterangan:

NPV1 : Net Present Value positif NPV2 : Net Present Value negatif

i1 : Suku bunga diskonto yang menghasilkan NPV1 i2 : Suku bunga diskonto yang menghasilkan NPV2

Kriteria Kelayakan:

1) Jika IRR > i, maka kegiatan usaha layak untuk dilaksanakan 2) Jika IRR < i, maka kegiatan usaha tidak layak untuk dilaksanakan 3) Jika IRR = i, maka kegiatan usaha dalam keadaan Break Event Point


(51)

3) Net B/C Ratio

Net B/C merupakan perbandingan antara jumlah Net Present Value (NPV) yang positif (sebagai pembilang) dengan jumlah NPV yang negatif (sebagai penyebut). Net B/C merupakan nilai manfaat bersih yang bisa didapatkan dari usahatani atau usaha setiap kita mengeluarkan biaya sebesar satu rupiah untuk usahatani atau usaha tersebut. Rumus yang digunakan untuk mencari Net B/C adalah:

Net B/C = net benefit (+)

t=n t=1

net benefit (-) t=n

t=1

=

Bt-Ct (1+i)t t=n t=1

Ct-Bt (1+i)t t=n t=1

Keterangan :

Bt : Penerimaan (benefit) pada tahun ke-i Ct : Biaya (cost) pada tahun ke-i

i : Suku bunga diskonto (%) t : Tahun ke 1,2,3 dst

n : Umur ekonomis usahatani (tahun)

Kriteria kelayakan :

a) Bila Net B/C > 1, maka usahatani layak untuk dilaksanakan b) Bila Net B/C < 1, maka usahatani tidak layak untuk dilaksanakan c) Bila Net B/C = 1, maka usahatani dalam keadaan Break Event Point

4) Gross B/C Ratio

Gross B/C merupakan manfaat yang diterima usahatani dari setiap satu satuan biaya yang dikeluarkan. Kriteria ini hampir sama dengan Net B/C. Perbedaannya


(52)

adalah dalam perhitungan Net B/C, biaya tiap tahun dikurangkan dari benefit tiap tahun untuk mengetahui benefit netto yg positif dan negatif. Kemudian jumlah present value positif dibandingkan dengan jumlah present value yang negatif. Gross B/C (Gross Benefit-Cost Ratio) merupakan perbandingan antara Present Value Benefit dengan Present Value Cost. Dalam perhitungan Gross B/C, pembilang adalah jumlah Present Value Benefit dan penyebut adalah jumlah Present Value Cost. Semakin besar Gross B/C, semakin besar perbandingan

antara keuntungan (benefit) dengan biaya. Artinya usahatani relatif semakin layak.

Rumus Gross B/C adalah :

Gross B/C Ratio =

Bt 1+i t t=n t=1

Ct (1+i)t t=n t=1 Keterangan :

Bt : Penerimaan (benefit) pada tahun ke-i Ct : Biaya (cost) pada tahun ke-i

i : Suku bunga diskonto (%)

n : Umur ekonomis usahatani (tahun) t : Tahun ke 1,2,3 dst

Kriteria kelayakan :

a) Bila Gross B/C > 1, maka usahatani layak untuk dilaksanakan b) Bila Gross B/C < 1, maka usahatani tidak layak untuk dilaksanakan c) Bila Gross B/C = 1, maka usahatani dalam keadaan Break Event Point


(53)

5) Payback Period

Payback Period (PP) merupakan penilaian investasi suatu usahatani yang

didasarkan pada pelunasan biaya investasi berdasarkan manfaat bersih dari suatu

usahatani. Secara matematis Payback Period dapat dirumuskan sebagai :

 

Ab Ko

PP 1 tahun

Keterangan:

Ko : Investasi awal

Ab : Manfaat bersih yang diperoleh dari setiap periode

Kriteria kelayakan:

a) Jika payback period lebih pendek dari umur ekonomis usaha, maka usahatani tersebut layak untuk dijalankan

b) Jika payback period lebih lama dari umur ekonomis usaha, maka usahatani tersebut tidak layak untuk dijalankan

b. Kelayakan Finansial Manfaat Verifikasi Kopi Menggunakan Analisis Incremental NPV, B/C Ratio, dan IRR

Analisis Incremental adalah cara pengambilan keputusan di mana biaya

operasional atau pendapatan dari satu usahatani terverifikasi dibandingkan dengan usahatani non-verifikasi. Analisis incremental biasanya dinyatakan juga sebagai biaya diferensial, biaya marjinal, atau biaya relevan.


(54)

1) Incremental NPV

Incremental NPV adalah peningkatan NPV usahatani kopi setelah dilaksanakan program pembinaan dan verifikasi kopi. Peningkatan tersebut diketahui dengan mencari selisih NPV usahatani non-verifikasi dengan usahatani terverifikasi. Secara matematis, incremental NPV dapat dicari menggunakan rumus sebagai berikut:

Incremental NPV = B1-B2 -(C1-C2)

(1+i)t t=n

t=1

= ∆B - ∆C

(1+i)t t=n

t=1

Dimana:

B1 : Penerimaan (benefit) pada tahun ke-i pada usahatani terverifikasi B2 : Penerimaan (benefit) pada tahun ke-i pada usahatani non-verifikasi C1 : Biaya (cost) pada tahun ke-i pada usahatani terverifikasi

C2 : Biaya (cost) pada tahun ke-i pada usahatani non-verifikasi i : Suku bunga diskonto (%)

n : Umur ekonomis usahatani (tahun) t : Tahun ke 1,2,3 dst

Pengambilan keputusan:

a) Program berdampak positif jika Incremental NPV > 0 b) Program berdampak negatif jika Incremental NPV < 0

2) Incremental B/C Ratio

Incremental B/C ratio adalah peningkatan B/C ratio dengan adanya program pembinaan dan verifikasi yang dapat diketahui dengan menghitung selisih B/C


(55)

ratio petani non-verifikasi dengan petani terverifikasi. Incremental B/C ratio dapat dihitung menggunakan rumus:

Incremental B/C Ratio =

B1-B2

(1+i)t t=n

t=1

C1- C2 (1+i)t t=n

t=1

∆B (1+i)t t=n t=1

∆C (1+i)t t=n t=1 Keterangan:

△B : Selisih penerimaan (benefit) usahatani terverifikasi dengan usahatani non-verifikasi pada tahun ke-i

△C : Selisih biaya (cost) usahatani terverifikasi dengan usahatani non-verifikasi pada tahun ke-i

i : Suku bunga diskonto (%)

n : Umur ekonomis usahatani (tahun) t : Tahun ke 1,2,3 dst

Pengambilan keputusan:

a) Program berdampak positif jika Incremental B/C Ratio > 1 b) Program berdampak negatif jika Incremental B/C Ratio < 1

3) Incremental IRR

Peningkatan IRR setelah dilakukan program pembinaan dan verifikasi dapat dihitung menggunakan anallisis incremental IRR. Peningkatan tersebut dihitung


(56)

melalui selisih IRR usahatani non-verifikasi dengan usahatani terverifikasi. Rumus untuk mencari incremental IRR adalah:

Incremental IRR = i1 +

[

∆NPV1

∆NPV1- ∆NPV2

]

(i2 - i1)

Keterangan:

∆NPV 1 : Selisih Net Present Value positif ∆NPV 2 : Selisih Net Present Value negatif

i1 : Suku bunga diskonto yang menghasilkan ∆NPV1 i2 : Suku bunga diskonto yang menghasilkan ∆NPV2

Pengambilan keputusan:

a) Program berdampak positif jika Incremental IRR > 0 b) Program berdampak negatif jika Incremental IRR < 0

a. Analisis Sensitivitas

Menurut Gittinger (1993), analisis sensitivitas digunakan untuk melihat proyek sesuai realitas bahwa proyeksi suatu rencana proyek sangat dipengaruhi unsur-unsur ketidakpastian mengenai apa yang akan terjadi di masa yang akan datang.

Dalam pelaksanaan suatu usahatani, besarnya NPV, Gross B/C, Net B/C, IRR dan PP dipengaruhi oleh besarnya penerimaan dan biaya. Perubahan ini dapat terjadi karena adanya perubahan tertentu, seperti kenaikan harga bahan baku dan

penurunan harga jual produk. Dalam penelitian ini, analisis sensitivitas dilakukan pada arus penerimaan dan pengeluaran. Perubahan-perubahan yang dikaji pada analisis sensitivitas adalah :


(57)

a) Perubahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penurunan produksi sebesar 68% yang didapatkan dari data AEKI bahwa pada tahun 2011 terjadi penurunan produksi kopi terbesar dikarenakan cuaca ekstrim yang

menyebabkan gagal panen (http://tribunnews.com)

b)Penurunan harga jual kopi sebesar 25% menjadi Rp 12.000. Data tersebut didapatkan dengan melihat harga jual kopi terendah di tingkat petani dalam 5 tahun terakhir menurut data Nestlé (berdasarkan pasar kopi LIFFE London), yaitu pada tahun 2010.

c) Peningkatan biaya produksi sebesar 16,7% yang disebabkan oleh kenaikan upah selama 5 tahun terakhir di daerah penelitian.

Analisis sensitivitas dilakukan dengan memperhitungkan salah satu kemungkinan di atas yang mungkin terjadi. Tingkat kenaikan biaya suatu produksi yang akan menyebabkan nilai NPV, Gross B/C, Net B/C, IRR dan PP tidak lagi

menguntungkan, maka pada titik itulah usahatani tersebut tidak layak. Selain itu, perlu juga dihitung setiap penurunan harga jual suatu produk jadi yang

menyebabkan nilai NPV, Gross B/C, Net B/C, IRR dan PP menjadi tidak meyakinkan, dan itulah batas kelayakan usahatani. Laju kepekaan dihitung melalui rumus :

X1 – X0

X x 100% Laju kepekaan =

Y1– Y0 x 100 % Y dimana:

1


(1)

135

VI. PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan yang didapatkan dari hasil penelitian ini adalah:

1) Pembinaan dan verifikasi memberikan manfaat financial kepada petani. Analisis kelayakan financial petani terverifikasi lebih tinggi dibandingkan petani non-verifikasi. Hasil analisis incremental B/C ratio juga

menunjukkan bahwa pelaksaan program pembinaan dan verifikasi dapat memberikan tambahan pendapatan bagi petani.

2) Menurut persepsi petani, program pembinaan dan verifikasi dapat

memberikan manfaat dalam dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Hal ini dapat dilihat bahwa setelah dilakukan uji beda antara persepsi petani terverifikasi dan non-verifikasi diketahui bahwa terdapat perbedaan persepsi dimana persepsi petani terverifikasi terhadap manfaat ketiga dimensi tersebut lebih tinggi.

3) Menurut persepsi petani, program pembinaan dan verifikasi dapat memberikan manfaat terhadap peningkatan mutu kopi yang dihasilkan. Manfaat tersebut terlihat dengan dilakukannya uji beda yang menunjukkan perbedaan antara persepsi petani terverifikasi dan non-verifikasi dimana lebih tinggi persepsi petani terverifikasi.


(2)

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang didapatkan, maka saran yang dapat diberikan adalah:

1) Instansi terkait hendaknya dapat meneruskan dan memperluas jangkauan pembinaan dan verifikasi kepada petani kopi lainnya agar manfaat

program tersebut dapat dirasakan secara luas. Merangkum beberapa saran yang diberikan petani untuk perusahaan bahwa: pelatihan diberikan lebih intensif, dilakukan pengulangan atas materi yang telah diberikan agar pemahaman bertambah, pengumuman harga beli Nestlé mingguan di tempel di ketua kelompok masing-masing agar informasi merata, diadakan system kredit usaha tani yang dibayar dengan hasil panen seperti

kemitraan pada komoditas tembakau, penambahan jumlah kelompok tani yang dibina atau diverifikasi, serta pembinaan dilakukan bukan hanya bagi petani yang memiliki kelompok tani. Petani Sumberejo meminta bantuan pengukuhan dan bimbingan untuk memperkuat cita rasa“segar” yang merupakan cita rasa khas kopi Sumberejo yang telah diuji di Puslit Koka agar menjadi kopi spesialti yang dikenal luas.

2) Pemerintah hendaknya dapat melakukan program serupa pada instansi pemerintah yang menangani perkebunan, mengingat bahwa Nestlé sebagai pelaksana program adalah sector swasta. Petani juga membutuhkan adanya harga dasar, terutama saat terjadi cuaca ekstrim, agar tidak merugikan petani serta bantuan oven untuk menghadapi cuaca ekstrim. Pembinaan yang dilakukan oleh Disbun menurut perlu lebih diintensifkan serta lebih


(3)

137

responsive terhadap masalah yang dihadapi petani, serta petani mengharapkan adanya kredit usaha tani dan bantuan dari pemerintah karena menurut petani selama ini tidak ada bantuan bagi perkebunan kopi dari pemerintah.

3) Bagi peneliti lain, diharapkan dapat melanjutkan penelitian mengenai tingkat kesejahteraan petani yang mengikuti program verifikasi sehingga dapat diketahui apakah program verifikasi memberikan manfaat jangka pendek. Selain itu, jika ingin melakukan penelitian sejenis maka

diharapkan dapat menganalisis manfaat program verifikasi yang dilakukan oleh entitas (perusahaan/eksportir) lain agar dapat diketahui kelebihan seperti apa yang diambil dan diterapkan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Andriyanti, Reny. 2005. Jejak Nestlé di Kampung Kopi. Tesis. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (Tidak Dipublikasikan).

Anonim. 2012. Apa Itu Sertifikasi Organik. http://www.biocert.or.id (diakses tanggal 15 April 2012).

Anonim. 2013. Pengolahan Kopi. http://web.ipb.ac.id (diakses tanggal 15 Juli 2013).

Anonim. 2012. Ekspor Kopi dari Lampung Turun 68 Persen. http://tribunnews.com (diakses 1 Juni 2013).

Anonim. 2009. The 4C Code of Conduct. http://4c-coffeeassociation.org (diakses 25 Oktober 2012).

Anonim. 2012. KPEN-RP. http://bri.co.id (diakses tanggal 14 Januari 2013). Badan Pusat Statistik. 2011. Laporan Tahunan 2011. BPS Propinsi Lampung.

Bandar Lampung.

Badan Pusat Statistik. 2012. Lampung Dalam Angka. BPS. Bandar Lampung. Budidarsono, Suseno dan Wijaya, Kusuma. 2004. Praktek Konservasi Dalam

Budidaya Kopi Robusta dan Keuntungan Petani. World Agroforestry Centre - ICRAF SE Asia, PO Box 161, Bogor 16001. Bogor.

Balai Informasi Pertanian Propinsi Irian jaya. 1991. Budidaya Kopi. BIP. Irian Jaya.

Bungin, Burhan. 2005. Metodologi Penelitian Kuantatif. Prenada Media. Jakarta. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2012. Perbaikan Mutu Kopi Indonesia.

http://ditjenbun.deptan.co.id (diakses tanggal 8 November 2012). Direktorat Jenderal Perkebunan. 2012. Laporan Tahunan 2012. Kementerian


(5)

Donaghue, Mariefe. 2008. Peran Informasi dalam Proses Sertifikasi Kopi Organik. Makalah disajikan dalam Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies, Universitas Muhammadiyah, Malang, Juni 2008. Ernawati, Rr, dkk. 2008. Teknologi Budidaya Kopi Poliklonal. Balai Pengkajian

Teknologi Pertanian Lampung. Bandar Lampung.

Fairtrade Foundation. 2012. Fairtrade and Coffee-Commodity Briefing May 2012. http:// fairtrade.org.uk (diakses 1 Desember 2012).

Gabungan Eksportir Kopi Indonesia. 2012. Standar Mutu. http://gaeki.or.id (diakses pada 29 Desember 2012).

Gittinger, J.P. 1993. Analisa Proyek-Proyek Pertanian. UI Press. Jakarta. Hlm 3-46.

Index Mundi. 2012. Coffee, Robusta Monthly Price. http://www.indexmundi.com (diakses 1 November 2012).

Kadariah. 2001. Evaluasi Proyek; Analisa Ekonomi. Edisi ke-2. Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI.

Karo, Hosanna Sri Arta Br. 2009. Analisis Usahatani Kopi di Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo. Skripsi. Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan.

Kuntjoro, Mudjarat. 2007. Metode kuantitatif: Teori dan Aplikasi untuk Bisnis Ekonomi. Unit penerbit dan percetakan STIM YKPN. Yogyakarta. Kustiari, Reni. 2002. Perkembangan Pasar Kopi Dunia dan Implikasinya bagi

Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi , 25 (1): 43-55.

Maimun. 2009. Analisis Pendapatan Usahatani dan Nilai Tambah Saluran Pemasaran Kopi Arabika Organik dan Non Organik (Studi Kasus Pengolahan Bubuk Kopi Ulee Kareng di Banda Aceh). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Puspitasari, Listya. 2009. Persepsi Petani terhadap Performansi Kerja Penyuluh Pertanian Lapang dalam Pengembangan Agribisnis Kedelai di Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan. Mediagro, 5 (1): 44-51.

Rachman, Benny dan Sudaryanto, Tahlim. 2001. Kemampuan Daya Saing Padi di Indonesia Jurnal Sosio-Ekonomika. Universitas Lampung. Lampung. Simamora, Bilson. 2004. Panduan Riset Perilaku Konsumen. Gramedia Pustaka


(6)

Ekonomi. Surya Pena Gemilang. Malang.

Sudaryanto, T dan Simatupang, P. 1993. Arah Pengembangan Agribisnis: Suatu Catatan Kerangka Analisis dalam Prosiding Perspektif Pengembangan Agribisnis di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, IPB. http://www.ipard.com/art_perkebun (diakses 12 April 2012).

Sugiarto. 2003. Teknik sampling. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Tim Penulis PS. 2008. Agribisnis Tanaman Perkebunan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Tandisau, Peter dan Herniwati. 2009. Prospek Pengembangan Pertanian Organik di Sulawesi Selatan. Makalah disajikan pada Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. Walgito, Bimo. 1978. Psikologi Social (Suatu Pengantar). Andioffset.