Penelitian lainnya di Jepang yang dilakukan pada tahun 1980, menemukan bahwa jamur shitake ternyata sangat manjur untuk mengobati penyakit hepatitis B. Jamur
berwarna cokelat ini terbukti mampu memproduksi zat antibodi. Penemuan ini telah diuji coba pada 40 orang penderita hepatitis B kronis. Mereka mengkonsumsi 60 gram
jamur shitake segar setiap hari selama empat bulan. Hasilnya, hampir semua penderita hepatitis B mengalami pengurangan gejala dan 15 virus hepatitis B dapat di
nonaktifkan. Dan menurut penelitian juga, jamur shitake pertama sekali ditanam di daerah
pegunungan dan sampai sekarang pun masih dilanjutkan dan dikembangkan. Daerah yang cocok untuk ditumbuhi jamur ini mempunyai iklim yang hangat dan lembab,
mempunyai empat musim . Rata-rata curah hujannya berkisar 1200 mm, suhu rata- rata 17
C, dan selama 300 hari daerah tersebut harus terbebas dari hujan salju setiap tahunnya. Dan pepohonan yang tumbuh di daerah tersebut haruslah pohon berjenis
daun lebar dan sebagian kecil tumbuhan berdaun jarum cemara,paku. Perkembangan dan penanaman jamur ini juga memerlukan waktu lama dan beliku-
liku dan tumbuh pada pokok –pokok kayu tertentu saja.
2.2 Pengembangan Jamur Shitake di Jepang
Jepang merupakan produsen jamur shitake terbesar, walaupun menurut sejarah jamur ini pertama kali ditemukan di Cina. Perkembangan jamur shitake di Jepang sangat
banyak dan meningkat pesat sejak tahun 1975. Pada tahun 1983, Jepang dapat memproduksi sebanyak 158.855 ribu ton yang dihasilkan oleh 167.000 petani.
Penanaman jamur shitake di Jepang merupakan salah satu cabang penting dari pertanian. Pada tahun 1983-1984, hasil jamur shitake di Jepang sebanyak 175 ribu ton
Universitas Sumatera Utara
dari sekitar 53 jamur shitake kering. Pada tahun tersebut pula Jepang megekspor ribuan ton jamur shitake kering yang merupakan seperempat hasil produksi dari jamur
shitake. Produksi jamur shitake di Jepang merupakan setengah produksi jamur shitake dunia.
Jika dulu orang Jepang harus rela pergi ke daerah pegunungan untuk mencari jamur shitake. Kini berkat kecanggihan teknologi, jamur ini mudah dinikmati. Untuk
tumbuh, jamur ini tak harus menunggu musim hujan. Jamur Shitake menduduki peringkat pertama yang dikonsusmsi orang Jepang. Orang luar Jepang pun sudah
mengakrabinya. Sehingga peluang pasar untuk jamur shitake ini cukup tinggi. Jamur Shitake diolah dalam keadaan segar atau kering yang lebih dulu direndam air sebelum
dipakai. Jamur ini bisa disantap dalam berbagai jenis hidangan. Yang paling populer adalah nobi hot pot, dikukus atau dibuat tempura. Dari segi khasiat, jamur shitake
Lentinula edodes telah diakui Jepang, dan Amerika sebagai anti kanker.
Dan jamur shitake segar atau dalam bentuk kering sering digunakan dalam berbagai masakan di banyak negara. Jamur Shitake segar biasanya dimakan sebelum payung
bagian bawah berubah warna. Batang jamur ini agak keras dan umumnya tidak digunakan dalam masakan. Sebagian orang lebih menyukai jamur shitake kering
dibandingkan jamur shitake segar karena yang kering mempunyai aroma yang lebih harum keras. Jamur yang kering diproses dengan cara menjemur di bawah sinar
matahari dan perlu direndam di dalam air sebelum dimasak. Kaldu dasar masakan Jepang yang disebut dashi didapat dari merendam jamur shitake kering di dalam air.
Di Jepang, jamur shitake merupakan isi sup miso, digoreng sebagai tempura, campuran chawanmushi, udon dan berbagai jenis masakan lain. Shitake juga digoreng
hingga garing dan dijual sebagai keripik shitake.
Universitas Sumatera Utara
Ukuran pertaniannya di Jepang ditentukan oleh jumlah pokok balok kayu yang ditanami jamur shitake. Pada tahun 1983, sejumlah 160.000 petani jamur shitake,
yang mempunyai tidak kurang dari 600 rak pokok kayu dan mempunyai 600-3.000 rak pokok kayu. Dan hanya sedikit petani yang mempunyai 30.000 rak balok, untuk
memproduksi jamur tersebut. Karena kebutuhan dan permintaan yang meningkat di negara-negara luar, sehingga
banyak negara-negara luar tersebut mengimpor jamur shitake. Contohnya adalah Hongkong yang mengimpornya dari Jepang. Jepang memasok jamur ini juga ke
negara-negara lain seperti, Malaysia dan Singapura. Pada tahun 1989, produksi jamur shitake di Jepang menurun karena bahan baku kayu
yang diperlukan berkurang dan hutan lindung harus tetap dilestarikan. Para petani membudidayakan jamur shitake masih dengan cara tradisional, yaitu menggunakan
balok-balok kayu sehingga membutuhkan waktu cukup lama untuk memproduksinya yaitu sekitar 1-2 tahun. Sebagian lagi para petani menggunakan teknologi modern,
yaitu dengan media tanam polybag dari plastic atau dikembangkan di green house. Cara budidaya modern ini bisa menghasilkan jamur shitake dengan waktu yang lebih
pendek, tetapi memerlukan upah pekerja yang mahal. Maka dari itu, produksi jamur shitake di Jepang terus merosot dan kebutuhan atau permintaan masyarakat Jepang
terhadap jamur shitake semakin meningkat. Dengan demikian maka Jepang mengimpor jamur shitake dari Indonesia, dikarenakan kebutuhan terhadap jamur
shitake semakin meningkat. Banyaknya pengusaha di Jepang menanamkan modal di luar negeri untuk
membudidayakan jamur shitake dan banyaknya bermunculan restoran-restoran model Jepang dimana-mana menyebabkan pula kebutuhan jamur shitake ini makin
Universitas Sumatera Utara
meningkat. Akhirnya, Jepang yang semula sebagai pengekspor jamur shitake sekarang menjadi pengimpor jamur shitake.
Universitas Sumatera Utara
BAB III TATA CARA PELAKSANAAN BUDIDAYA DAN MANFAAT