Pengaruh Risiko Produksi Terhadap Keuntungan Usaha Pembenihan Ikan Lele di Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung

PENGARUH RISIKO PRODUKSI TERHADAP KEUNTUNGAN
USAHA PEMBENIHAN IKAN LELE DI KECAMATAN
PAGELARAN KABUPATEN PRINGSEWU
PROVINSI LAMPUNG

DISKA HAERANI

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Risiko
Produksi Terhadap Keuntungan Usaha Pembenihan Ikan Lele di Kecamatan
Pagelaran Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip

dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2014

Diska Haerani
H34114058

ABSTRAK
DISKA HAERANI. Pengaruh Risiko Produksi Terhadap Keuntungan Usaha
Pembenihan Ikan Lele Di Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu Provinsi
Lampung. Dibimbing oleh ANNA FARIYANTI.
Survival rate (SR) merupakan indikator dari risiko produksi pembenihan
lele. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pengaruh risiko produksi terhadap
keuntungan petani di Kecamatan Pagelaran dan mengetahui sikap yang dilakukan
oleh petani dalam menghadapi risiko produksi. Berdasarkan hasil penelitian, SR
mempengaruhi penerimaan hingga akhirnya mempengaruhi keuntungan usaha.

Semakin rendah SR maka keuntungan usaha yang diterima rendah, begitu pula
sebaliknya semakin tinggi nilai SR maka keuntungan yang diterima pun tinggi.
Pada kondisi risiko SR lele sangkuriang sebesar 56 persen sedangkan SR lele
dumbo yaitu sebesar 38 persen, SR normal yaitu 90 persen. Sehingga keuntungan
usaha pembenihan lele sangkuriang lebih besar dibandingkan lele dumbo dengan
nilai keuntungan bersih sebesar Rp3 811 487. Terdapat tiga sikap yang dilakukan
petani ketika menghadapi penurunan produksi secara drastis atau nilai SR hampir
mendekati 0 persen akibat kematian massal yaitu tetap melanjutkan usaha dengan
langsung melakukan pemijahan untuk siklus berikutnya, memilih untuk
menghentikan sementara usaha dan beralih pada komoditas lain.
Kata kunci : lele, risiko produksi, SR, keuntungan usaha, sikap petani
ABSTRACT
DISKA HAERANI. The Influence of Production Risk to Farmer Catfish Hatchery
Sales Revenue at Pagelaran Subdistrict, Pringsewu District, Lampung Province.
Supervised by ANNA FARIYANTI.
Survival Rate (SR) is an indicator of the risk of catfish hatchery
production. The research aims to analyze the influence of production risk to
farmer sales revenue at Pagelaran Subdistrict and also to knowing farmer
preference to production risk which is decreased production drastically. Based on
the research, SR can influence sales revenue because the number of fish that are

harvested determine the magnitudes of the sales revenue. If the SR is low, the the
income also low. However, if the SR is high, the the income getting high. The SR
value at risk condition is 56 percent of Sangkuriang Catfish is higher compared
with Dumbo Catfish SR that amounted to 38 percent.SR normal is 90 percent. So
the Sangkuriang sales revenue is bigger than the Dumbo which has Rp3 811 487
net income value. There are three preference do farmer when facing the
drastically decreased production or SR close to zero persen because of the mass
death, the first is continued efforts by directly doing the spawning cycle for the
next, the second is choose to temporarily stop the production and the third is
swith on other commodities.
Keywords: catfish, risk production, SR, sales revenue and farmer preference

PENGARUH RISIKO PRODUKSI TERHADAP KEUNTUNGAN USAHA
PEMBENIHAN IKAN LELE DI KECAMATAN PAGELARAN
KABUPATEN PRINGSEWU
PROVINSI LAMPUNG

DISKA HAERANI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Pengaruh Risiko Produksi Terhadap Keuntungan Usaha
Pembenihan Ikan Lele di Kecamatan Pagelaran Kabupaten
Pringsewu Provinsi Lampung
Nama
: Diska Haerani
NIM
: H34114058

Disetujui oleh


Dr Ir Anna Fariyanti, MSi
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Nunung Kusnadi, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember ini ialah analisis keuntungan
usaha yang di akomodasi risiko produksi, dengan judul Pengaruh Risiko Produksi
terhadap Keuntungan Usaha Pembenihan Ikan Lele di Kecamatan Pagelaran
Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Anna Fariyanti, MSi selaku
dosen pembimbing, kepada Tintin Sarianti, SP, MM selaku dosen evaluator,
kepada Dr. Ir. Netti Tinaprilla, MM selaku dosen penguji utama dan Dra.

Yusalina, MS selaku dosen penguji komdik yang telah banyak memberikan saran
dan masukan terhadap skripsi penulis. Penghargaan penulis sampaikan kepada
petani pembenihan lele sangkuriang dan lele dumbo di Kecamatan Pagelaran
Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung yang telah mengijinkan untuk
melaksanakan penelitian dan telah membantu selama pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga,
atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2014

Diska Haerani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah

Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Teknik Pembenihan Ikan Lele
Kajian Penelitian Risiko Produksi Ikan Lele
Kajian Penelitian Pendapatan Usaha Perikanan
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka Pemikiran Operasional
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Penentuan Responden
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Definisi Operasional
KARAKTERISTIK RESPONDEN
Karakteristik Wilayah
Gambaran Umum Demografis
Kegiatan Produksi Pembenihan Ikan Lele di Kecamatan Pagelaran

Karakteristik Petani
Sumber Risiko Produksi Pembenihan Lele di Kecamatan Pagelaran
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat Kelangsungan Hidup (Survival Rate/SR)
Penerimaan Usaha Pembenihan Ikan Lele di Kecamatan Pagelaran
Biaya Usaha Pembenihan Ikan Lele di Kecamatan Pagelaran
Pengaruh SR terhadap Keuntungan Usaha Pembenihan Ikan Lele
Sikap Petani Terhadap Risiko Produksi
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vii
viii
viii
1
1

5
8
8
9
9
9
11
12
13
13
22
23
23
24
24
24
28
29
29
29

29
33
37
42
42
45
47
54
58
61
61
62
62

DAFTAR TABEL

1
2
3
4

5
6
7
8
9
10
11
12

13

14

15

16

17

18
19

Perkembangan Produksi Perikanan Budidaya Tahun 2007 – 2011(Ton)
Sembilan daerah penghasil perikanan budidaya terbesar di Indonesia
tahun 2008-2011 (Ton)
Jumlah benih ikan yang ditebar di kolam pada provinsi di Pulau
Sumatera tahun 2008-2010 (ekor)
Produksi Ikan Konsumsi di Kabupaten Pringsewu Tahun 2009-2012
(Ton)
Produksi Lele pada Kecamatan di Kabupaten Pringsewu Tahun 20092012 (Ton)
Beberapa Keunggulan Lele Sangkuriang dibandingkan Lele Dumbo
Karakteristik petani berdasarkan usia di Kecamatan Pagelaran Tahun
2013
Karakteristik petani berdasarkan tingkat pendidikan di Kecamatan
Pagelaran Tahun 2013
Karakteristik petani berdasarkan pengalaman usaha di Kecamatan
Pagelaran Tahun 2013
Karakteristik petani berdasarkan status usaha di Kecamatan Pagelaran
Tahun 2013
Karakteristik petani berdasarkan asal induk lele di Kecamatan
Pagelaran Tahun 2013
Tingkat kelangsungan hidup (SR) benih lele sangkuriang di Kecamatan
Pagelaran dalam satu siklus produksi pada bulan November-Desember
2013
Tingkat kelangsungan hidup (SR) benih lele dumbo di Kecamatan
Pagelaran dalam satu siklus produksi pada bulan November-Desember
2013
Penerimaan usaha benih lele sangkuriang dan lele dumbo di Kecamatan
Pagelaran (luas kolam 90 m2) dalam satu siklus produksi bulan
November-Desember 2013
Rincian biaya usaha pembenihan lele sangkuriang di Kecamatan
Pagelaran (luas kolam 90 m2 ) dalam satu siklus produksi bulan
November-Desember 2013
Rincian biaya usaha pembenihan lele dumbo di Kecamatan Pagelaran
(luas kolam 90 m2) dalam satu siklus produksi bulan NovemberDesember 2013
Keuntungan usaha pembenihan lele sangkuriang dan lele dumbo di
Kecamatan Pagelaran (luas kolam 90 m2) dalam satu siklus produksi
bulan November-Desember 2013
Sikap petani pembenihan lele sangkuriang terhadap risiko produksi
Sikap petani pembenihan lele dumbo terhadap risiko produksi

2
2
3
4
5
6
33
34
35
36
37

43

45

46

48

49

55
58
59

DAFTAR GAMBAR

1
2
3
4
5
6
7

8
9
10
11
12
13

SR benih lele sangkuriang dan lele dumbo di Kecamatan Pagelaran
periode produksi bulan Oktober-November 2013
Perilaku Individu Risk Averse dalam Menghadapi Risiko
Perilaku Individu Risk Neutral dalam Menghadapi Risiko
Perilaku Individu Risk Prefferer dalam Menghadapi Risiko
Hubungan Biaya Tetap Rata-rata-Biaya Variabel Rata-rata dan Biaya
Total Rata-rata
Hubungan Kurva Biaya Tetap, Biaya Variabel dan Biaya Total dengan
Kurva Penerimaan
Kerangka Pemikiran Operasional Pengaruh Risiko Produksi terhadap
Pendapatan Usaha pembenihan Ikan Lele di Kecamatan Pagelaran
Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung
Induk lele jantan dan betina matang gonad
Bak terpal pemeliharaan benih lele
Baskom, saringan sortir dan gelas takar
Benih lele mati akibat penyakit bintik putih
Benih lele mati akibat penyakit bercak merah
Benih lele mati akibat kualitas air yang buruk

7
17
17
18
20
21

23
31
32
33
38
39
41

DAFTAR LAMPIRAN

1

Rincian biaya penyusutan rata-rata usaha pembenihan lele sangkuriang
dan Lele dumbo
2 Perhitungan nilai Survival Rate (SR) benih lele sangkuriang dan lele
dumbo (Luas Kolam 90m2) dalam Satu Siklus Produksi di Kecamatan
Pagelaran
3 Penerimaan usaha pembenihan lele sangkuriang dan lele dumbo (Luas
Kolam 90m2) dalam Satu Siklus Produksi di Kecamatan Pagelaran
4 Pendapatan Usaha Pembenihan Lele Sangkuriang dan Lele Dumbo
(Luas Kolam 90m2) dalam Satu Siklus Produksi di Kecamatan
Pagelaran

64

65
66

67

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki potensi perikanan yang cukup besar, baik sumber daya
perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Pemanfaatan potensi perikanan
tangkap sudah mencapai titik yang tidak dapat diekspansi lagi karena mendekati
optimal. Potensi perikanan budidaya masih sangat besar dan pemanfaatannya belum
mencapai 50 persen. Potensi perikanan budidaya yang sangat besar tersebut merupakan
peluang untuk menghasilkan komoditas berkualitas dan bersaing di pasar internasional
dan menjadikan Indonesia sebagai ladang investasi bagi para investor maupun calon
investor untuk mengembangkan usahanya. Terlebih lagi, saat ini usaha perikanan
budidaya mampu memberikan keuntungan yang cukup besar dan waktu pengembalian
investasi yang relatif cepat. Investasi di bidang perikanan budidaya terus didorong
untuk membangun dan mengembangkan industri perikanan budidaya secara terpadu di
Indonesia1. 1
Pada tahun 2012 produksi perikanan budidaya dunia telah mencapai 66 juta ton,
melebihi produksi daging sapi yang hanya 63 juta ton. Pencapaian tersebut berdampak
positif bagi sub sektor perikanan budidaya. Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP) telah menempatkan sub sektor perikanan budidaya sebagai primadona
pembangunan perikanan nasional. Hal ini tidak terlepas dari besarnya potensi
perikanan budidaya yang belum digali dan dimanfaatkan secara optimal. Disisi lain
akuakultur indonesia saat ini juga membutuhkan sentuhan industrialisasi dalam
berbagai aspek. Industrialisasi yang dimaksud meliputi dukungan kebijakan,
infrastruktur, permodalan, teknologi dari hulu sampai hilir.
Kebijakan strategis KKP yang memfokuskan pada percepatan industrialisasi
perikanan telah dicanangkan dengan tujuan meningkatkan produksi beberapa
komoditas unggulan perikanan budidaya (akuakultur) dan sekaligus meningkatkan
nilai tambah produk-produk tersebut. Program kebijakan KKP ini juga sejalan dengan
permintaan pasar internasional yang mulai melakukan pengetatan kualitas produk
akuakultur. Tantangan ini kemudian diterjemahkan oleh KKP dalam bentuk konsep
Blue Economy yang mengusung keseimbangan antara produksi dan keberlangsungan
sistem produksi akuakultur itu sendiri.
Blue Economy merupakan suatu alternatif solusi untuk mengatasi masalah
kelautan, ekonomi dan lingkungan. Blue Economy lebih menekankan pada zero waste
dan pengurangan emisi karbon pada pengolahan hasil laut. Program industrialisasi
perikanan budidaya berbasis Blue Economy akan lebih mengoptimalkan sistem
produksi yang terintegrasi dari hulu ke hilir, sehingga usaha perikanan budidaya akan
semakin menarik dan menguntungkan. Persepsi bahwa usaha perikanan budidaya
dianggap usaha yang high risk sudah dapat dideteksi dan diantisipasi dengan adanya
kemajuan ilmu pengetahuan, peningkatan teknologi dan upaya mitigasi dini, sehingga
menjadikan usaha perikanan budidaya sebagai usaha yang dapat diperhitungkan2. 2
1

http://www.djpb.kkp.go.id/berita.Indonesia Surga Investasi Perikanan Budidaya [Diakses 29
Agustus 2013]
2
http://www.kkp.go.id.Inovasi teknologi Akuakultur Berbasis Ekonomi Biru [Diakses 29
Agustus 2013]

2
Sub sektor perikanan budidaya terdiri dari budidaya air tawar, air laut dan air
payau. Budidaya air tawar mengalami perkembangan produksi yang cenderung
meningkat dibandingkan budidaya air laut maupun air payau. Hal ini disebabkan
kemudahan dalam melakukan usaha dalam budidaya ikan air tawar. Dalam
perkembangannya budidaya air tawar terdiri dari budidaya kolam, karamba, jaring
apung dan sawah. Budidaya air tawar yang memiliki perkembangan paling pesat
berasal dari budidaya kolam. Perkembangan budidaya kolam sangat pesat karena
budidaya kolam adalah model budidaya air tawar pertama sebelum munculnya
budidaya di perairan umum seperti karamba dan jaring apung. Pesatnya perkembangan
budidaya kolam juga dapat dilihat dari Rumah Tangga Perikanan Budidaya (RTP)
baru. Setiap tahunnya selalu ada RTP baru yang mengusahakan budidaya air tawar.
Perkembangan produksi perikanan budidaya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Perkembangan Produksi Perikanan Budidaya Tahun 2007 – 2011(Ton)
Jenis Budidaya

2007

2008

2 009

Budidaya Laut
1 509 528 1 966 002 2 820 083
Budidaya Air Payau
933 832
959 509
907 123
Budidaya Air Tawar
750 203
929 688
981 358
- Kolam
410 373
479 167
554 067
- Karamba
63 929
75 769
101 771
- JaringApung
190 893
263 169
238 606
- Sawah
85 009
111 584
86 913
Jumlah
3 193 563 3 855 200 4 708 565
Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), 2012

2 010
3 514 702
1 416 038
1 347 183
819 809
121 271
309 499
96 605
6 277 923

2 011

Kenaikan
(%)
4 605 827
32.34
1 602 748
16.64
1 720 387
23.62
1 127 127
29.46
131 383
20.08
375 430
19.89
86 448
2.45
7 928 962
25.62

Banyak jenis ikan air tawar yang telah dapat dibudidayakan, baik pembenihan
maupun pembesarannya. Ikan budidaya air tawar memiliki banyak jenis, namun ada
lima jenis ikan air tawar yang cukup berkembang. Kelima jenis ikan tersebut adalah
ikan mas, nila, lele, patin dan gurame yang budidayanya berkembang sangat pesat
setiap tahunnya. Permintaan akan ikan konsumsi tersebut terus meningkat sehingga
produksi budidayanya juga berkembang dan mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Perkembangan produksi perikanan budidaya menyebar ke seluruh pulau di Indonesia.
Daerah penghasil budidaya perikanan budidaya terbesar di Indonesia dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2 Sembilan daerah penghasil perikanan budidaya terbesar di Indonesia tahun
2008-2011 (Ton)
Provinsi
2008
Sumatera Utara
18 542
Sumatera Barat
38 403
Riau
21 084
Sumatera Selatan
60 308
Lampung
23 919
Jawa Barat
147 941
Jawa Tengah
44 191
D.I. Yogyakarta
14 100
Jawa Timur
37 704
Sumber : KKP, 2012 (Diolah)

2009
12 227
46 955
29 846
68 207
21 988
158 871
55 031
17 010
42 690

2010
29 512
57 655
29 448
100 160
32 378
244 768
66 964
38 772
65 870

2011
41 182
85 933
37 974
140 733
50 453
295 714
94 565
43 795
114 964

3
Berdasarkan Tabel 2, daerah penghasil perikanan budidaya terbesar adalah
provinsi Jawa Barat. Sentra perikanan di Jawa Barat berada di daerah Sukabumi yang
merupakan pusat Broodstock Centre Induk Ikan Air Tawar milik pemerintah. Sentra
perikanan selain pulau Jawa yaitu Pulau Sumatera. Pulau Sumatera merupakan salah
satu pulau yang memiliki produksi perikanan air tawar yang tinggi. Salah satu provinsi
di Pulau Sumatera yang memiliki produksi perikanan yang cukup tinggi dan potensial
adalah Provinsi Lampung dengan produksi pada tahun 2011 sebesar 50 453 ton.
Produksi perikanan air tawar yang tinggi di dukung oleh ketersediaan benih sebagai
input utamanya. Adapun jumlah benih ikan yang ditebar di kolam pada provinsi di
Pulau Sumatera tahun 2008-2010 dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Jumlah benih ikan yang ditebar di kolam pada provinsi di Pulau Sumatera
tahun 2008-2010 (ekor)
Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Kepulauan Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bangka Belitung
Bengkulu
Lampung
Jumlah

2008

2009

2010

78 690
321 927
608 697
499 733
44 809
7 836
84 105
286 373
8 336 383

92 618
323 027
4 031 758
1 730 091
1 145
53 879
18 948
85 325
264 526
184 277 358

152 556
4 041 822
853
83 951
10 719
334
362 074
63 981 359

Sumber : KKP, 2011
Tabel 3 menunjukkan bahwa jumlah benih Provinsi Lampung mengalami
peningkatan yang signifikan setiap tahunnya dibandingkan provinsi lainnya, tetapi
secara kuantitas jumlah benih yang ditebar di Sumatera Barat lebih besar. Peningkatan
jumlah benih secara signifikan menandakan bahwa permintaan terhadap benih
mengalami peningkatan juga. Benih sebagai input bagi usaha pendederan maupun
pembesaran.
Provinsi Lampung memiliki potensi dalam pengembangan perikanan budidaya
karena didukung ketersediaan lahan yang luas dan belum dimanfaatkan secara optimal.
Lahan potensial tersebut dapat dimanfaatkan dalam bidang perikanan. Provinsi
Lampung mengalami perkembangan yang signifikan dalam perikanan budidaya.
Provinsi Lampung terdiri dari 15 kabupaten. Daerah sentra perikanan budidaya air
tawar Provinsi Lampung terdapat di Kabupaten Pringsewu, Kabupaten Lampung
Timur dan Kota Metro. Ketiga kabupaten tersebut memiliki potensi dalam
pengembangan perikanan budidaya. Salah satu kabupaten di Provinsi Lampung yang
memiliki produksi perikanan budidaya air tawar terbesar yaitu Kabupaten Pringsewu.
Komoditas perikanan utama di kabupaten ini yaitu ikan lele, mas, patin, gurame dan
nila. Data produksi ikan konsumsi tersebut di Kabupaten Pringsewu dapat dilihat pada
Tabel 4.

4
Tabel 4 Produksi Ikan Konsumsi di Kabupaten Pringsewu Tahun 2009-2012 (Ton)
2009
2010
2011
Jenis Ikan
1 879.61
2 038.44
2 150.40
Lele
1 683.36
1 683.36
1 756.66
Mas
217.60
49.15
80.3
Patin
299.90
416.40
434.50
Gurame
114.35
172.35
193.35
Nila
Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Pringsewu, 2013

2012
2 894.33
1 706.50
228.77
471.13
211.35

Kelima jenis ikan air tawar tersebut yang memiliki produksi terbesar di
Kabupaten Pringsewu adalah ikan lele. Setiap tahunnya ikan lele cenderung mengalami
kenaikan produksi yang signifikan melebihi ikan konsumsi lainnya. Tingginya
produksi ikan lele di Kabupaten Pringsewu menandakan bahwa konsumsi ikan lele
yang tinggi berbanding lurus dengan kebutuhan benihnya, karena ikan lele ukuran
konsumsi berasal dari usaha pembesaran lele. Input pembesaran lele adalah dari
pembenihan lele. Semakin tinggi produksi ikan lele maka kebutuhan benih lele
semakin meningkat pula. Disamping itu, semakin berkembangnya bisnis warung tenda
pecel lele menjadikan permintaan terhadap ikan lele konsumsi semakin meningkat.
Dengan demikian pembenihan lele memiliki prospektif usaha yang tinggi.
Peluang usaha yang baik dalam usaha pembenihan lele didukung oleh
kelebihan ikan lele dari nilai gizinya. Ikan lele memiliki kandungan protein yang cukup
tinggi yaitu 17 persen dan memiliki berbagai macam asam lemak esensial hingga 9
persen. Manfaat yg terkandung dalam 100 gram daging lele cukup untuk memenuhi
kebutuhan gizi tubuh anak dalam masa perkembangan. Oleh karena itu lele kian
digemari dan permintaannya terus meningkat dari tahun ke tahun (Mahyuddin, 2012).
Ikan lele merupakan ikan konsumsi air tawar yang paling populer dan memiliki
prospektif usaha yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan kemudahan dalam
membudidayakannya, permintaan yang selalu meningkat dapat dilihat pada hasil
produksinya yang mengalami peningkatan yang signifikan setiap tahun. Ikan lele
merupakan salah satu jenis ikan yang laju pertumbuhannya relatif cepat dan mudah
dalam pemeliharaannya, karena teknologi budidayanya cenderung mudah untuk
dikuasai, serta dapat dibudidayakan pada lahan dan sumber air yang terbatas dengan
kepadatan yang tinggi. Meskipun demikian, dalam pemeliharaannya kan lele termasuk
ikan yang rakus, sehingga dalam pemberian pakan harus diperhatikan porsi pakannya
agar tidak berlebihan ataupun kekurangan.
Kemudahan dalam membudidayakan ikan lele menjadikan banyak petani yang
mengusahakan pembenihan ikan lele di Kabupaten Pringsewu. Oleh karena itu banyak
petani dari masing-masing kecamatan di Kabupaten Pringsewu yang menjadi
pembenih lele, sehingga produksinya pun meningkat. Produksi ikan lele pada masingmasing kecamatan di Kabupaten Pringsewu pada tahun 2009 hingga 2012 dapat dilihat
pada Tabel 5.
Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa Kecamatan Pagelaran memiliki produksi
ikan lele tertinggi dibandingkan kecamatan lainnya di Kabupaten Pringsewu.
Tingginya produksi lele karena permintaan terhadap lele tinggi juga. Hal tersebut
dikarenakan banyak berdiri usaha warung tenda di Kecamatan Pagelaran, disamping
itu lele ukuran konsumsi diolah bagian dagingnya menjadi abon lele, bagian duri lele

5
dijadikan makanan ringan khas daerah Kecamatan Pagelaran seperti tusuk gigi,
kerupuk dan klanting.
Berdasarkan data produksi lele di Kecamatan Pagelaran pada tahun 2012
sebanyak 1 717.44 ton atau 1 717 440 kg, bila dikonversikan size panen lele konsumsi
yaitu size 8 – 10 (dalam 1 kg lele konsumsi terdiri dari 8–10 ekor), maka jumlah benih
yang dibutuhkan yaitu 13 739 520 hingga 17 174 400 ekor benih. Tingginya kebutuhan
benih tersebut menjadikan banyak petani di Kecamatan Pagelaran mengusahakan
pembenihan lele, sehingga Kecamatan Pagelaran menjadi sentra pembenihan lele di
Kabupaten Pringsewu.
Tabel 5 Produksi Lele pada Kecamatan di Kabupaten Pringsewu Tahun 2009-2012
(Ton)
Kecamatan
2009
2010
2011
Pagelaran
1 267.20
1 294.04
1 332.40
Pringsewu
122.40
122.40
122.40
Sukoharjo
63.00
63.00
63.00
Pardasuka
83.60
83.60
83.60
Gadingrejo
118.80
118.80
118.80
Adiluwih
11.90
11.90
11.90
Ambarawa
116.80
189.60
240.70
Banyumas
95.91
155.12
177.60
Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Pringsewu, 2013

2012
1 717.44
194.18
144.00
93.14
253.00
48.00
261.00
183.57

Kecamatan Pagelaran merupakan sentra pembenihan lele, meskipun demikian
usaha pembenihan lele memiliki risiko tertinggi pada proses produksinya. Hal tersebut
dikarenakan usaha pembenihan lele memiliki sifat yang sangat tergantung pada kondisi
alam yang tidak dapat dikendalikan. Oleh karena itu, terdapat risiko produksi pada
usaha pembenihan lele. Risiko produksi dapat dilihat dari tingkat kelangsungan
hidupnya / survival rate (SR).
Ukuran panen benih lele yang diteliti yaitu 3-5 cm, ukuran tersebut dipilih
karena benih berada pada fase fase kritis yaitu daya tahan tubuh lele masih lemah,
sehingga rentan terkena penyakit dan risiko kematiannya menjadi lebih tinggi
dibandingkan usaha pembesaran. Oleh karena itu, usaha pembenihan lele memiliki
risiko yang lebih besar daripada usaha pembesarannya. Terjadinya fluktuasi hasil
produksi yang dilihat dari tingkat kelangsungan hidup benih, tentu akan mempengaruhi
output produksi yang dihasilkan karena output dari usaha pembenihan lele adalah
benih lele yang dihitung dalam satuan ekor yang dikalikan dengan harga satuannya.
Oleh karena itu, diperlukan analisis mengenai pengaruh risiko produksi yang dilihat
dari SR terhadap keuntungan usaha pembenihan lele.
Perumusan Masalah
Kecamatan Pagelaran merupakan daerah sentra produksi lele terbesar di
Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung. Sebagian besar petani budidaya di
Kecamatan Pagelaran membenihkan ikan lele dibandingkan ikan air tawar lainnya.
Umumnya para petani tergabung dalam suatu kelompok tani maupun unit pembenihan

6
sendiri. Sebagai daerah sentra produksi lele, para petani di Kecamatan Pagelaran
mengupayakan penggunaan benih lele yang berkualitas baik dan mempertahankan
ketersediaan benih yang berkesinambungan. Tentunya hal tersebut di dukung oleh
Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Pringsewu, Lampung yaitu dalam hal
pengadaan benih yang berasal dari induk yang berkualitas dan dilakukan pelatihan
terhadap petani pembenihan lele. Terdapat dua jenis ikan lele di Kecamatan Pagelaran
yaitu lele dumbo dan lele sangkuriang.
Ikan lele dumbo mulai dikenal masyarakat setelah lele dumbo masuk ke
Indonesia pada tahun 1985 yang memiliki kelebihan dapat dibudidayakan pada lahan
dan sumber air yang terbatas dengan padat tebar yang tinggi, modal usaha yang relatif
rendah karena dapat menggunakan sumber daya yang relatif mudah didapatkan dan
teknologi yang mudah dikuasai masyarakat, sehingga menjadikan budidaya lele dumbo
berkembang pesat (DKP, 2005).
Namun demikian perkembangan budidaya ikan lele yang pesat tanpa didukung
pengelolaan induk yang baik menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lele.
Pengelolaan induk ikan merupakan salah satu faktor penentu yang penting dalam usaha
budidaya ikan. Induk yang baik akan menghasilkan benih yang berkualitas baik pula.
Penurunan kualitas induk dapat disebabkan adanya perkawinan sekerabat (inbreeding)
dan seleksi induk yang salah atas penggunaan induk yang berkualitas rendah.
Penurunan kualitas ini dapat diamati dari karakter umum matang gonad, derajat
penetasan telur, pertumbuhan harian, daya tahan terhadap penyakit dan nilai FCR
(Feeding Conversation Rate). Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar
(BBPBAT) Sukabumi telah berhasil melakukan rekayasa genetik untuk menghasilkan
lele strain baru yang diberi nama lele Sangkuriang. Hal tersebut dilakukan sebagai
upaya perbaikan mutu ikan lele. BBPBAT Sukabumi merupakan Broodstock Centre
atau penghasil induk yang telah terakreditasi sebagai Broodstock Centre Induk Ikan
Air Tawar milik pemerintah dengan tugas dan fungsinya sebagai penghasil induk
berkualitas (DKP, 2005).
Tabel 6 Beberapa Keunggulan Lele Sangkuriang dibandingkan Lele Dumbo
Karakteristik
Lele Sangkuriang Lele Dumbo
Kematangan gonad pertama (bulan)
8–9
4–5
Fekunditas telur (butir/kg induk betina)
40 000 – 60 000 20 000 – 30 000
Derajat penetasan telur (%)
> 90
> 80
Kelangsungan hidup / SR larva (%)
90 – 95
90 – 95
Pertumbuhan harian bobot benih umur 26-40 hari (%)
13.96
12.18
Panjang standar rata-rata benih umur 26 hari (cm)
3–5
2–3
Panjang standar rata-rata benih umur 40 hari (cm)
5–8
3–5
Kelangsungan hidup/ SR benih umur 26 -40 hari (%)
>90
>90
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung, 2005

Budidaya lele sangkuriang (Clarias sp) sudah berkembang sejak tahun 2004,
setelah dirilis oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, dengan Nomor Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor 26/Men/2004 tanggal 21 Juli 2004. Hasil perekayasaan
ikan lele sangkuriang memiliki karakteristik reproduksi dan pertumbuhan yang lebih
baik dibandingkan dengan lele dumbo. Lele sangkuriang memiliki fekunditas dan
pertumbuhan yang lebih tinggi serta tingkat konversi pakan yang lebih rendah

7
dibandingkan lele dumbo (DKP, 2005). Keunggulan lele sangkuriang dibandingkan
lele dumbo dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 menunjukkan bahwa lele sangkuriang lebih unggul dibandingkan lele
dumbo dalam hal jumlah telur yang dihasilkan (fekunditas) dan derajat penetasan telur
atau daya tetas telur yaitu 90 persen, melebihi daya tetas lele dumbo yang hanya
mencapai 80 persen. Tingginya jumlah telur yang dihasilkan dan daya tetas telur lele
sangkuriang dibandingkan lele dumbo, akan mempengaruhi jumlah benih yang
dihasilkan pada usaha pembenihan lele sangkuriang dan lele dumbo. Meskipun SR
normal benih dapat mencapai > 90 persen.
Selain keunggulan pada jumlah telur dan daya tetas telur, lele sangkuriang
memiliki keunggulan lain yang lebih baik dibandingkan lele dumbo diantaranya
memiliki toleransi yang baik terhadap penyakit dan pertumbuhan yang merata,
sehingga berpengaruh terhadap jumlah benih yang dihasilkan. SR yang dihasilkan pada
usaha pembenihan lele sangkuriang dan lele dumbo akan mempengaruhi keuntungan
usaha, karena SR merupakan output benih yang jumlah akhirnya akan dikalikan
dengan harga benih per satuan. Nilai SR benih lele sangkuriang dan lele dumbo dari
masing-masing 10 petani pada satu periode produksi bulan Oktober-November 2013
dapat dilihat pada Gambar 1.
100
90
80
Persentase

70
60
50
40
30
20

SR Lele Sangkuriang
SR Lele Dumbo
SR Kondisi Normal

10
0

Gambar 1 SR benih lele sangkuriang dan lele dumbo di Kecamatan Pagelaran
periode produksi bulan Oktober-November 2013
Gambar 1 menunjukkan nilai SR benih lele sangkuriang dan lele dumbo di
Kecamatan Pagelaran dari 20 petani pada tahun 2013. Berdasarkan Gambar 1 dapat
dilihat adanya risiko produksi yang ditunjukkan dengan fluktuasi nilai SR dari
beberapa petani dalam satu siklus. Disamping itu SR aktual tersebut berbeda dengan
SR benih lele pada kondisi normal yaitu pada SR 90 persen (DKP, 2005). Nilai SR
tertinggi sebesar 91 persen sedangkan terendah sebesar 17 persen. Adanya risiko
produksi pada kegiatan usaha pembenihan lele didukung oleh hasil penelitian Farman
(2013) bahwa risiko produksi diindikasikan dengan ketidaksesuaian SR pada kondisi

8
standar dengan kondisi aktual, serta fluktuasi nilai SR setiap bulan akibat terjadinya
tingkat kematian ikan.
Terjadinya fluktuasi hasil produksi yang dilihat dari tingkat kelangsungan
hidup akibat adanya kematian ikan merupakan indikasi risiko produksi. Perbedaan
tingkat kelangsungan hidup tentu akan mempengaruhi output produksi yang dihasilkan.
Output dari usaha pembenihan ikan lele di Kecamatan Pagelaran adalah benih lele
ukuran 2-3 cm, 3-5 cm dan 4-6 cm. Output panen benih lele yang diteliti yaitu ukuran
3-5 cm dengan harga jual yang digunakan yaitu ukuran gelas dan harga jual benih lele
sangkuriang yaitu Rp15 200/gelas, sedangkan untuk harga jual benih lele dumbo yaitu
Rp15 000/gelas. Satu gelas berisi 300 ekor benih. harga jual per gelas bila dikonversi
dalam satuan ekor maka harga benih lele sangkuriang yaitu Rp51/ekor dan harga benih
lele dumbo yaitu Rp50/ekor.
Ukuran benih 3-5 cm dipilih dengan pertimbangan bahwa benih masih dalam
fase kritis karena daya tahan tubuh lele masih lemah. Sehingga rentan terkena penyakit
dan risiko kematiannya menjadi lebih tinggi dibandingkan usaha pembesaran.
Sehingga usaha pembenihan lele memiliki risiko yang lebih besar daripada usaha
pembesarannya. Output dari usaha pembenihan lele adalah benih lele yang dihitung
dalam satuan ekor yang dikalikan dengan harga satuannya dan menetukan jumlah
penerimaan. Oleh karena itu, diperlukan analisis mengenai pengaruh risiko produksi
yang dilihat dari SR terhadap penerimaan usaha. Selain itu perlu diketahui sikap yang
dilakukan petani pembenihan lele dalam menghadapi risiko produksi yang dilihat dari
nilai SR atau jumlah ikan yang hidup. Berdasarkan uraian tersebut maka permasalahan
yang dapat dirumuskan penulis adalah :
1. Bagaimana pengaruh risiko produksi dilihat dari SR benih lele terhadap
keuntungan usaha pembenihan ikan lele sangkuriang dan ikan lele dumbo di
Kecamatan Pagelaran ?
2. Bagaimana sikap petani dalam menghadapi risiko produksi benih lele?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini
adalah:
1. Menganalisis pengaruh risiko produksi dilihat dari SR benih lele terhadap
keuntungan usaha pembenihan ikan lele sangkuriang dan ikan lele dumbo di
Kecamatan Pagelaran.
2. Mengidentifikasi sikap yang dilakukan petani pembenihan lele dalam menghadapi
risiko produksi benih lele.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak yaitu:
1. Bagi petani sebagai tambahan informasi dan masukan pengambilan keputusan
dalam mengelola usaha pembenihan ikan lele.
2. Bagi penulis sebagai sarana untuk mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh
selama perkuliahan.
3. Bagi pembaca sebagai informasi dan wawasan serta rujukan untuk penelitian
selanjutnya.

9
Ruang Lingkup Penelitian

1.

2.
3.
4.
5.

6.

7.

Ruang lingkup dalam penelitian ini yaitu :
Kajian masalah yang diteliti adalah menganalisis pengaruh risiko produksi dilihat
dari SR benih lele terhadap keuntungan usaha pembenihan lele di Kecamatan
Pagelaran dan mengidentifikasi sikap petani dalam menghadapi risiko produksi
terhadap keberlanjutan usahanya.
Indikasi risiko produksi hanya dilihat dari nilai SR benih lele.
Fluktuasi produksi didasarkan pada data cross section (antarpetani) bukan time
series (antarwaktu).
Jumlah kematian benih akibat masing-masing sumber risiko produksi dianalis
secara keseluruhan.
Penelitian ini menggunakan data produksi periode terakhir yaitu bulan November
dan Desember 2013. Jumlah responden sebanyak 20 orang terdiri dari 10 petani
lele sangkuriang dan 10 petani lele dumbo yang merupakan rekomendasi dari
Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung.
Kegiatan pembenihan lele terdiri dari pemeliharaan induk, pemijahan induk,
penetasan telur, pemeliharaan larva dan pemeliharaan benih. Dalam setiap tahapan
pembenihan tersebut tidak terlepas dari risiko. Risiko produksi yang dianalisis
dalam penelitian ini yaitu pada proses pemeliharaan benih lele ukuran 3-5 cm
dalam satu siklus produksi. Satu siklus produksi lele sangkuriang 30 hari dan lele
dumbo 40 hari.
Analisis sikap petani dalam menghadapi risiko produksi berdasarkan persepsi dari
sudut petani melalui wawancara.

TINJAUAN PUSTAKA
Teknik Pembenihan Ikan Lele
Dalam budidaya ikan lele terdapat tiga kegiatan yaitu pembenihan, pendederan
dan pembesaran. Kegiatan pembenihan lele terdiri dari pemeliharaan induk, pemijahan
induk, penetasan telur, pemeliharaan larva dan pemeliharaan benih. Adapun kegiatan
pembenihan lele sebagai berikut (DKP, 2005) :
a.Pemeliharaan Induk
Induk lele terdiri dari induk jantan dan induk betina. Induk jantan memiliki ciri
perut yang relatif ramping atau langsing, alat kelaminnya yang menonjol yaitu genital
papilla yang runcing. Sedangkan induk betina memilki ciri perut yang buncit dan terasa
lembek bila diraba, alat kelamin pada betina tidak menonjol yaitu berbentuk bulat.
Dalam pemeliharaannya, induk jantan dan betina sebaiknya dipelihara dalam kolam
yang terpisah dengan kepadatan 5 ekor/m2. Kolam pemeliharaan dapat berupa kolam
tanah dan kolam semen dengan ketinggian air 75–100 cm. Pakan yang diberikan dapat
berupa pakan buatan yaitu pelet dengan kandungan protein > 25 persen. Jumlah pakan
yang diberikan sebanyak 2-3 persen dari biomassanya dengan frekuensi pemberian
pakan 2-3 kali sehari.

10
Induk lele yang siap memijah memiliki ciri yaitu umur induk betina minimal
satu tahun, berat 0.70–1.0 kg, panjang standar 25–30 cm dan sudah matang gonad yang
ditandai dengan perut yang membesar dan terasa lembek bila ditekan. Sedangkan
induk jantan yang siap memijah memiliki ciri umur minimal satu tahun, berat 0.5–0.75
kg, panjang standar 30-35 cm dan sudah matang gonad yang ditandai dengan warna
alat kelamin yang berwarna kemerahan.
b. Pemijahan Induk
Pemijahan lele dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu pemijahan alami (natural
spawning), pemijahan semi alami (induced spawning) dan pemijahan buatan.
1. Pemijahan alami
Pemijahan alami dilakukan dengan cara memasukkan induk jantan dan
betina dalam satu bak/wadah agar memijah secara alami, dan diberikan
kakaban/ijuk untuk tempat menempel telur hasil pemijahan. Perbandingan
jumlah atau berat induk jantan dan betina yaitu 1 : 1. Bila induk betina atau
induk jantan lebih berat dibandingkan pasangannya, dapat digunakan
perbandingan jumlah 1 : 2.
2. Pemijahan semi alami
Pemijahan semi alami dilakukan dengan cara merangsang induk betina
dengan penyuntikan hormon perangsang (misalnya ovaprim, ovatide, LHRH)
dengan dosis 0.2 ml/kg induk atau menggunakan ekstrak hipofisa. Kemudian
induk dipijahkan secara alami yaitu dimasukkan kembali induk betina dan
induk jantan dalam satu wadah/bak. Perbandingan jumlah atau berat induk
jantan dan betina yaitu 1 : 1. Bila induk betina atau induk jantan lebih berat
dibandingkan pasangannya, dapat digunakan perbandingan jumlah 1 : 2.
3. Pemijahan buatan
Pemijahan buatan menggunakan induk betina dan induk jantan dengan
perbandingan 3 : 0.7 yaitu telur dari 3 kg induk betina dapat dibuahi dengan
sperma dari induk jantan dengan berat 0.7 kg. Induk betina dirangsang terlebih
dahulu dengan penyuntikan hormon perangsang (misalnya ovaprim, ovatide,
LHRH) dengan dosis 0.2 ml/kg induk atau menggunakan ekstrak hipofisa.
c. Penetasan Telur
Umumnya pemijahan dilakukan pada malam hari, sehingga pada pagi hari akan
terlihat telur yang menempel pada kakaban/ijuk yang telah disediakan di dalam wadah
pemijahan dan sebagian akan terlihat berserakan di dasar wadah pemijahan. Telur akan
menetas 1-2 hari kemudian. Telur yang baik berwarna kuning cerah (Susanto, 2011).
d. Pemeliharaan Larva dan Benih
Telur yang menetas akan menjadi larva. Pada fase larva yang baru menetas
belum membutuhkan pakan dari luar karena masih memiliki kuning telur (yolksac)
dalam tubuhnya. Yolksac akan habis selama kurang lebih 3 hari. Sehingga pada hari
keempat, benih sudah diberi pakan alami berupa zooplankton atau rotifera yang sesuai
dengan lebar mulutnya karena alat pencernaannya masih lemah dalam tubuhnya.
Setelah berumur 6 hari, benih sudah bisa diberi pakan kutu air yang disaring. Hingga
hari keempat belas, barulah benih lele bisa diberikan kutu air yang tidak disaring.
Selain itu, benih bisa diberikan pakan lain misalnya jentik nyamuk dan cacing sutera.
Dengan perawatan yang intensif, dapat diperoleh benih ukuran 3-5 cm dalam waktu
satu bulan. Selama masa pemeliharaan benih, penggantian air dilakukan dua kali
seminggu dengan pergantian air separuhnya (Susanto, 2011).

11
Kajian Penelitian Risiko Produksi Ikan Lele
Penelitian terdahulu yang menganalisis risiko produksi pada usaha pembenihan
lele yaitu Dewiaji (2011), Farman (2013) dan Fektoria (2013). Pada penelitian Dewiaji
(2011) mengenai risiko produksi pembesaran ikan lele dumbo masalah penelitian yang
dikaji adalah adalah jumlah produksi yang dihasilkan belum mampu memenuhi jumlah
permintaan yang ada. Hal ini dikarenakan adanya kejadian-kejadian merugikan yang
merupakan sumber risiko dalam proses budidayanya. Risiko yang muncul dalam
budidaya pembesaran ikan lele yaitu fluktuasi jumlah produksi yang dihasilkan,
perubahan cuaca, dan serangan hama, penyakit yang mengakibatkan ikan lele
mengalami kematian ataupun terjangkiti penyakit sehingga dapat menurunkan kualitas
dan jumlah yang diproduksi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Farman (2013) sumber risiko produksi
yang terdapat pada pembenihan ikan lele sangkuriang pada saung lele di kampung jumbo
Sukaraja Kabupaten Bogor adalah hama, penyakit, kualitas air dan kanibalisme. Hama
yang menyerang adalah ucrit dan kini-kini. Penyakit yang menyerang benih ikan lele di
Saung Lele cenderung diakibatkan oleh bakteri dan jamur. Penyakit yang disebabkan
oleh bakteri adalah Motile Aeromonas Septicemea (MAS) atau yang lebih dikenal
dengan nama penyakit bercak merah. Sedangkan kualitas air karena pH air yang asam
dan perubahan suhu air lebih dari 50C secara drastis. Selain itu kanibalisme terjadi
karena keragaman ukuran dan kualitas benih yang buruk. Sehingga keempat sumber
risiko tersebut berdampak pada kematian benih lele.
Pada penelitian Fektoria (2013) terdapat empat sumber risiko produksi yang
terjadi pada pembenihan ikan lele sangkuriang pada UPR Bina Tular desa gadog
kabupaten Bogor. Sumber risiko produksi tersebut adalah tingginya tingkat
kanibalisme, serangan hama, penyakit dan pengaruh musim kawin liar atau pemijahan
sendiri. Hal yang membedakan penelitian Fektoria (2013) dengan penelitian lainnya
yaitu terletak pada sumber risiko dan pengaruh musim kawin liar atau pemijahan
sendiri. Terjadinya kawin liar atau pemijahan sendiri yaitu telur yang ada dalam tubuh
induk betina menetas sendiri tanpa adanya penyemprotan sperma dari induk jantan.
Sehingga telur yang dihasilkan menjadi gagal menetas. Alat analisis yang digunakan
oleh Dewiaji (2011), Farman (2013) dan Fektoria (2013) dalam mengukur risiko
memiliki kesamaan yaitu untuk pemetaan risiko menggunakan metode nilai standar (zscore) dan metode pengukuran dampak risiko menggunakan pendekatan Value at Risk
(VaR).
Dari hasil penelitian Dewiaji (2011), Farman (2013) dan Fektoria (2013)
diperoleh sumber-sumber yang menjadi risiko dalam pembenihan ikan lele yaitu
perubahan cuaca, serangan hama, penyakit, kualitas pakan, kualitas air, kanibalisme
dan kawin liar atau pemijahan sendiri. Hal tersebut menjadi beberapa sumber risiko
pada pembenihan ikan lele pada penelitian ini. Topik penelitian Farman (2013) dan
Fektoria (2013) sama yaitu pembenihan ikan lele sangkuriang. Meskipun memiliki
kesamaan topik, namun output benih yang diteliti berbeda. Farman (2013) meneliti
benih lele berukuran 2-3 cm, sedangkan Fektoria (2013) meneliti benih lele berukuran
5-6 cm. Berbeda halnya dengan Dewiaji (2011) yang meneliti pembesaran ikan lele
dumbo dengan produk akhir yaitu ikan lele konsumsi.

12
Kajian Penelitian Pendapatan Usaha Perikanan
Penelitian terdahulu yang menganalisis pendapatan usahatani adalah Brajamusti
(2008) yaitu mengenai Analisis Pendapatan Usaha Pembenihan Larva Ikan Bawal Air
Tawar (Studi Kasus pada Ben’s Fish Farm, Desa Cigola, Kecamatan Cibungbulang,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat); Zelvina (2009) mengenai Analisis Pendapatan Usaha
Pembenihan dan Pemasaran Benih Ikan Patin di Desa Tegal Waru Kecamatan Ciampea
Kabupaten Bogor; Guntur (2011) mengenai Analisis Usahatani Ikan Lele Bapukan
(Clarias gariepinus) di Kecamatan Losarang Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa
Barat dan Novandina (2013) mengenai Analisis Pendapatan Usaha Pembenihan dan
Pendederan Ikan Nila GMT. Kajian terhadap penelitian terdahulu yang sesuai dengan
topik yang dipih diperlukan oleh penulis sebagai gambaran dalam melakukan
penelitian.
Brajamusti (2008) bertujuan untuk menganalisis keragaaan usaha pembenihan
larva ikan bawal air tawar, menghitung tingkat pendapatan usaha pembenihan larva
ikan bawal air tawar dengan menggunakan analisis imbangan penerimaan dan biaya
(R/C ratio) dan menganalisis efisiensi dari usaha dan sensitivitas pembenihan larva
ikan bawal air tawar jika terjadi perubahan-perubahan dalam produksi, seperti
kenaikan harga-harga input produksi dan penurunan harga jual. Analisa yang dilakukan
selama 2 tahun yaitu tahun 2006 dan tahun 2007 dengan menggunakan alat analisis
sensitivitas dengan tujuan untuk membandingkan antara hasil analisa tersebut. Hasil
yang diperoleh bahwa perubahan harga output pada harga jual larva ikan bawal yang
turun menjadi Rp5 mengakibatkan nilai pendapatan turun dari Rp431 097 400. menjadi
Rp146 775 000 dimana terjadi penurunan pendapatan sebesar Rp284 342 400. Untuk
nilai R/C ratio terjadi penurunan juga dari nilai awal 2.28 menjadi 1.43. Meskipun
terjadi penurunan nilai R/C namun kondisi tersebut masih menguntungkan karena nilai
R/C >1. Sedangkan ketika harga jual naik menjadi Rp 12 nilai pendapatan dan R/C
rasio nya pun meningkat menjadi Rp825 340 600 dan 3.44.
Penelitian Zelvina (2009) menggunakan alat analisis yang sama dengan
Brajamusti (2008) yaitu menggunakan analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C
ratio). Akan tetapi berbeda dalam jumlah responden yang digunakan yaitu sebanyak 25
orang petani, sedangkan Brajamusti melakukan studi kasus pada satu petani saja. Hasil
penelitian Zelvina (2009) bahwa kegiatan usaha pembenihan ikan patin efisien untuk
dilakukan. Hal tersebut dilihat dari nilai R/C rasio yang diperoleh yaitu atas biaya tunai
sebesar 1.62 per siklus, yang artinya bahwa setiap Rp 1 biaya tunai yang dikeluarkan
untuk usaha maka akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 1.62. Sedangkan nilai R/C
rasio atas biaya total sebesar 1.26 per siklus, yang artinya setiap Rp1 biaya tunai yang
dikeluarkan untuk usaha maka akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 1.26. Nilai
R/C rasio 1.62 dan 1.26 menunjukkan bahwa kegiatan usaha pembenihan ikan patin
selain efisien juga menguntungkan, karena nilai R/C >1.
Dalam analisis usahatani ikan lele bapukan yang dilakukan oleh Guntur (2011)
mengkaji tentang pendapatan petani sebelum dan sesudah program Filleting. Analisis
yang digunakan menggunakan R/C rasio. Hasil yang diperoleh dari pendapatan atas
biaya tunai pada usahatani ikan lele Bapukan sebelum program Filleting adalah negatif
Rp1 337 000 artinya pendapatan petani tanpa memperhitungkan biaya yang
diperhitungkan merugi sebesar Rp1 337 000 per hektar per musim tanam. Sedangkan
dilihat dari perbandingan antara penerimaan dan biaya (R/C rasio) atas biaya tunai
yaitu sebesar 0.88 dan biaya total sebesar 0.77. Dapat disimpulkan bahwa usahatani

13
ikan lele Bapukan tidak menguntungkan petani sebelum program Filleting dan
menguntungkan setelah melakukan program Filleting.
Analisis pendapatan usaha pembenihan dan pendederan ikan nila GMT
Novandina (2013) memiliki segmentasi usaha yang berbeda yaitu ada 5 jenis.
Meskipun segmentasi usaha berbeda namun perhitungan dilakukan dalam satu siklus
produksi yaitu 90 hari. Hal yang membedakan setiap segmen usaha adalah output
panen mulai dari ukuran larva, ukuran 2-3 cm, ukuran 3-5 cm dan ukuran 5-8 cm. Alat
analisis yang digunakan yaitu R/C rasio. Hasil penelitian menunjukkan penerimaan
usaha terbesar adalah kelompok E yaitu usaha pendederan dengan output benih ukuran
2-3 cm. Besarnya penerimaan kelompok E dikarenakan usaha pendederan benih nila
memiliki waktu pemeliharaan yang pendek dan tidak menggunakan induk, sehingga
biaya yang dikeluarkan lebih rendah. R/C atas biaya total tertinggi adalah kelompok C
yaitu pada segmen pembenihan dengan output benih ukuran 2-3 cm.
Penelitian yang dilakukan memiliki kesamaan dengan Brajamusti (2008),
Zelvina (2009), Guntur (2011) dan Novandina (2013) dalam hal ini analisis yang
digunakan untuk menghitung pendapatan petani. Akan tetapi berbeda dalam hal
komoditas yaitu ikan lele dumbo dan ikan lele sangkuriang dan lokasi penelitian yaitu
di Lampung. disamping itu, terdapat kebaruan penelitian yaitu untuk mengetahui
pengaruh risiko produksi dilihat dari SR benih lele terhadap pendapatan petani lele
dumbo dan lele sangkuriang. Dan untuk mengetahui sikap yang dilakukan petani
pembenihan lele dalam menghadapi risiko produksi yang dilihat dari nilai SR atau
jumlah ikan yang hidup.

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka pemikiran teoritis berisi teori dan konsep yang berkaitan dengan
penelitian yaitu teori produksi, konsep risiko, hubungan risiko dan return, perilaku
individu dalam menghadapi risiko, konsep penerimaan, konsep biaya dan konsep
keuntungan usaha.
Teori Produksi
Putong (2010) menyatakan bahwa produksi atau memproduksi adalah suatu
usaha atau kegiatan untuk menambah kegunaan (nilai guna) suatu barang. Kegunaan
suatu barang akan bertambah bila memberikan manfaat baru atau lebih dari bentuk
semula. Untuk memproduksi dibutuhkan faktor-faktor produksi yaitu alat atau sarana
untuk melakukan proses produksi. Faktor produksi yang dimaksud dalam ilmu
ekonomi adalah manusia (tenaga kerja = TK), modal (uang atau alat seperti mesin =
M), sumber daya alam (tanah = T) dan skill (teknologi = T). Fungsi produksi adalah
hubungan teknis antara faktor produksi (input) dengan hasil produksi (output). Secara
matematis hubungan teknis itu dapat ditulis sebagai berikut :
Output = f ( TK, M, T, S)
Hubungan teknis yang dimaksud adalah bahwa produksi hanya bisa dilakukan
dengan menggunakan faktor produksi. Bila faktor produksi tidak ada maka tidak ada
juga produksi. Debertin (1986) mengemukakan bahwa fungsi produksi menunjukkan

14
jumlah maksimum output yang bisa dicapai dengan mengkombinasikan berbagai
jumlah input. Menurut Daniel (2002) fungsi produksi yaitu suatu fungsi yang
menunjukkan hubungan antara hasil fisik (output) dengan faktor-faktor produksi
(input). Dalam usaha pertanian, produksi diperoleh melalui suatu proses yang cukup
panjang dan penuh risiko. Panjangnya waktu yang dibutuhkan tidak sama tergantung
pada jenis komoditas yang diusahakan.
Konsep Risiko
Risiko berhubungan dengan suatu kejadian yang memiliki kemungkinan untuk
terjadi dan tidak terjadi. Adanya perbedaan atau ketidaksesuaian antara hasil yang
diharapkan dengan kejadian aktual merupakan suatu risiko. Dalam Robison dan Barry
(1987) Frank Knight menyatakan bahwa ketidakpastian menunjukkan peluang suatu
kejadian yang tidak dapat diketahui oleh pelaku bisnis sebagai pembuat keputusan.
Peluang kejadian yang tidak diketahui secara kuantitatif atau sulit diukur oleh pelaku
bisnis dapat dikarenakan beberapa hal, diantaranya tidak ada informasi atau data
pendukung baik berdasarkan data historis atau pengalaman pelaku bisnis selama
mengelola kegiatan usaha dalam menghadapi suatu kejadian. Selama peluang suatu
kejadian tidak dapat diukur oleh pelaku bisnis maka kejadian tersebut termasuk dalam
kategori ketidakpastian.
Elton dan Gruber (1995) menyatakan bahwa risiko merupakan sebuah kejadian
atau peristiwa yang dapat merugikan perusahaan, hasil yang diperkirakan oleh
perusahaan tidak sesuai dengan pencapaian perusahaan. Risiko ditentukan oleh besar
atau kecilnya penyimpangan antara hasil yang diperkirakan dengan hasil yang dicapai
oleh perusahaan. Semakin besar penyimpangan antara hasil yang diperkirakan dengan
hasil yang dicapai oleh perusahaan, maka risiko yang dihadapi perusahaan semakin
besar. Sebaliknya jika pe