Estimasi Potensi Kerugian Ekonomi Karena Stunting Dan Obesitas Pada Balita Di Indonesia

(1)

ESTIMASI POTENSI KERUGIAN EKONOMI AKIBAT

STUNTING

DAN OBESITAS PADA BALITA

DI INDONESIA

BRIGITTE SARAH RENYOET

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016


(2)

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Estimasi Potensi Kerugian Ekonomi Akibat Stunting dan Obesitas pada Balita di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi lain. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2016

Brigitte Sarah Renyoet NIM I151140051


(4)

BRIGITTE SARAH RENYOET. Estimasi potensi kerugian ekonomi karena stunting dan obesitas pada balita di Indonesia. Dibimbing oleh DRAJAT MARTIANTO dan DADANG SUKANDAR.

Negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah di dunia, tengah mengalami masalah gizi ganda atau Double Burden of Malnutrition (DBM) yaitu stunting dan obesitas. Saat ini Indonesia menduduki peringkat ke lima dunia untuk jumlah anak yang stunting dan World Health Organization menyebutkan prevalensi obesitas pada anak di negara berpenghasilan rendah dan menengah telah mengalami peningkatan dalam 10 tahun terakhir. Dampak dari stunting adalah penurunan kemampuan kognitif dan meningkatkan risiko obesitas serta Penyakit Tidak Menular (PTM). Masalah obesitas itu sendiri juga merupakan salah satu faktor yang meningkatkan tingginya risiko PTM pada saat dewasa. Menurunnya kualitas sumber daya manusia diakibatkan karena produktivitas menyebabkan kehilangan potensi ekonomi yang akan berdampak pada kerugian ekonomi individu dan wilayah.

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan estimasi besar potensi kerugian ekonomi akibat stunting dan obesitas pada balita di Indonesia. Tujuan khusus penelitian ini adalah 1) melakukan estimasi potensi ekonomi yang hilang akibat stunting pada balita, dan 2) melakukan estimasi potensi ekonomi yang hilang akibat obesitas pada balita. Penelitian ini merupakan penelitian deskritif. Data yang digunakan merupakan data sekunder dari hasil survei beberapa instansi terkait di Indonesia tahun 2013 khususnya Riskesdas, Badan Pusat Statistik, dan Kementerian Kesehatan. Penelitian dilakukan di Bogor, dilaksanakan bulan Desember 2015 sampai Maret 2016.

Data dianalisis secara deskritif dengan menggunakan perhitungan kerugian ekonomi akibat stunting dari rumus Konig 1995 dengan faktor koreksi dari Horton 1999, menghitung kerugian ekonomi akibat ketidakhadiran kerja dan biaya perawatan (rawat inap dan rawat jalan) karena obesitas menggunakan rumus dari Pitayatienanan et al. 2014 dan faktor koreksi dari Guo et al. 2002.

Hasil penelitian yang diperoleh menunjukan besar potensi kerugian ekonomi secara nasional akibat produktivitas yang rendah pada balita stunting berkisar Rp 3 057 miliar – Rp 13 758 miliar atau 0.04% - 0.16% dari total PDB Indonesia. Potensi kerugian ekonomi obesitas pada balita dihitung berdasarkan nilai kini kerugian ekonomi balita obesitas yang tetap obesitas saat dewasa sehingga hasil potensi kerugian dilihat dari rendahnya produktivitas akibat ketidakhadiran kerja yaitu berkisar Rp 260 miliar - Rp 371 miliar atau 0.003% - 0.004% dari total PDB Indonesia dan kerugian ekonomi akibat biaya rawat inap dan rawat jalan karena comorbidities dari obesitas berkisar Rp 3 492 miliar - Rp 8 588 miliar atau 0.04% - 0.10% dari total PDB Indonesia. Besar potensi ekonomi yang hilang akibat masalah gizi ganda pada balita secara nasional berkisar Rp 15 898 miliar - Rp 26 599 miliar atau 0.2% - 0.3% dari PDB Indonesia.


(5)

BRIGITTE SARAH RENYOET. Economic losses potential estimate due to stunting and obesity in toddlers in Indonesia. Supervised By DRAJAT MARTIANTO and DADANG SUKANDAR.

Low and middle income countries in the world are experiencing multiple nutritional problems or Double Burden of Malnutrition (DBM) that is stunting and obesity. Now, Indonesia at the fifth ranks in the world for the number of children whose growth wasn’t optimal (stunting in toddler) and The World Health Organization says that the prevalence of obesity in children in low and middle income countries has increased in this last 10 years.The impact of stunting is cognitive decline and increase the risk of obesity and non-communicable diseases (NCDs). The problem of obesity itself also constitute one of the factors that increase the high risk of PTM at the adult. The decline in quality of human resources resulting from productivity leads to economic loss potential that would be impact on individual’s economy and the region's economy.

This study aims to estimate the large potential economic losses resulting from stunting and obesity in children under five years in Indonesia. The specific objective of this study are; 1) to estimate potential of economic loss which is lost due to stunting in toddler, and 2) to estimate potential of economic loss which is lost due to obesity in toddler. This research is a descriptive research. Data used is secondary data from the survey of several related agencies in Indonesia in 2013. Particularly from Riskesdas, Central Statistic Institute, and Healty Ministry. The study was conducted in Bogor, implemented starting in December 2015 until March 2016.

Data was analyzed by descriptive ways using a calculation economic losses resulting from stunting of Konig formula 1995 with a correction factor of Horton 1999, calculate the economic losses due to absenteeism and the cost of care (inpatient and outpatient) because of obesity using a formula of Pitayatienanan et al. 2014 and a correction factor of Guo et al. 2002.

The results obtained that big potential of national economic loss due to the low productivity in toddlers stunting range from 3 057 - 13 758 billion rupiah or 0.04% - 0.16% of the total GDP of Indonesia. Potential estimate due to obesity in toddlers the calculation based on the present value losses potential economic toddeler obesity who has still/fixed obesity in adulthood, so that the results of the potential losses seen from the low productivity to absence from work around 260 - 371 billion rupiah or 0.003% - 0.004% of the total GDP of Indonesia and the economic losses due to the cost of inpatient and outpatient care for comorbidities of obesity range from 3 492 - 8 588 billion rupiah or 0.04% - 0.10% of the total GDP of Indonesia. Big potential of economic lost due to multiple nutritional problems in infants nationwide range from 15 898 - 26 599 billion rupiah or 0.2% - 0.3% of GDP Indonesia.

Keywords: economic, productivity, toddlers 0-59 month of age, double burden of malnutrition


(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

BRIGITTE SARAH RENYOET

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Gizi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016


(8)

(9)

Judul : Estimasi Potensi Kerugian Ekonomi Akibat Stunting dan Obesitas pada Balita di Indonesia

Nama : Brigitte Sarah Renyoet

NIM : I151140051

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Drajat Martianto, MSi Ketua

Prof Dr Ir Dadang Sukandar, MSc Anggota

Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Gizi

Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr


(10)

(11)

(12)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta ilmu pengetahuan yang tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan usulan penelitian yang berjudul

“Estimasi Potensi Kerugian Ekonomi Akibat Stunting dan Obesitas pada Balita di Indonesia” sebagai syarat untuk mendapatkan gelar magister pada Program Studi Ilmu Gizi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini dapat disusun dan ditulis dengan baik tidak terlepas dari dukungan dan bantuan banyak pihak. Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada:

1. Dr. Ir. Drajat Martianto, MSi dan Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, MSc selaku komisi pembimbing tesis yang memberikan banyak masukan, arahan, kritik, dan saran yang membangun demi penyelesian tesis ini dengan lebih baik..

2. Prof. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku Ketua Program Studi Pascasarjana Departemen Gizi Masyarakat, Dr. Ir Yayuk Farida Baliwati, dan Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS yang telah memberikan banyak saran dan masukan dalam penyempurnaan tesis ini.

3. Susan E. Horton, Ph.D yang telah banyak membantu baik dalam pemberian saran maupun referensi yang sangat membantu dalam penyelesaian tesis ini.

4. Kedua orang tua (Agustinus Renyoet dan Maryem P.A. Alamudi) yang memberikan doa dan dukungan baik secara moral maupun material, serta kedua saudara Claudia Conchita Renyoet (Kakak) dan Jaquiline Melissa Renyoet (Adik) yang telah memberikan doa, dan dukungan selama penyelesaian tesis ini.

5. Penulis menyampaikan penghargaan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, dan Badan Pusat Statistik yang telah membantu dalam penyediaan data penelitian. 6. Tidak lupa juga penulis ucapkan terima kasih kepada teman-teman S1

Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas (terkhusus sahabat saya Ritapurnamasari). Teman-teman Pascasarjana Gizi Masyarakat IPB angkatan 2014 yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan, doa, dukungan, dan semangatnya. Serta kepada pihak-pihak lain yang telah banyak memberi dorongan dan masukan dalam penelitian ini. Penulis menyadari terdapat beberapa kekeliruan, oleh sebab itu penulis berharap dapat menerima kritik dan saran sehingga nantinya dalam pelaksanaan dan pengembangan penelitian dapat menunjukkan hasil yang optimal, sesuai harapan dan dapat berguna oleh berbagai pihak.

Bogor, September 2016


(13)

(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... ii

DAFTAR LAMPIRAN ... ii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan masalah ... 3

Tujuan Umum ... 3

Tujuan Khusus ... 3

Manfaat penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Masalah Gizi Ganda ... 3

Luasan masalah gizi ganda ... 5

Penyebab masalah gizi ganda ... 6

Dampak masalah gizi ganda ... 12

Penanggulangan masalah gizi ganda ... 16

Produk domestik bruto dan produk domestik regional bruto ... 16

KERANGKA PEMIKIRAN ... 17

METODE ... 19

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ... 19

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 20

Pengolahan dan Analisis Data ... 21

Definisi Operasional ... 29

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

Prevalensi balita stunting dan obesitas menurut provinsi ... 30

Estimasi potensi kerugian ekonomi akibat masalah stunting pada balita di Indonesia ... 32

Estimasi potensi kerugian ekonomi akibat ketidakhadiran kerja karena masalah obesitas pada balita di Indonesia ... 34

Estimasi potensi kerugian ekonomi akibat biaya perawatan rumah sakit karena masalah obesitas pada balita di Indonesia ... 36

Estimasi potensi kerugian ekonomi akibat penurunan produktivitas karena masalah gizi ganda (stunting dan obesitas) pada balita di Indonesia ... 41

KELEBIHAN DAN KETERBATASAN PENELITIAN ... 43

Kelebihan ... 43

Keterbatasan ... 43

SIMPULAN DAN SARAN ... 43

Simpulan ... 43

Saran ... 44

DAFTAR PUSTAKA ... 45

LAMPIRAN ... 52


(15)

DAFTAR TABEL

1 Kategori dan ambang batas status gizi anak berdasarkan indeks ... 4

2 Grup makanan yang didefinisikan berdasarkan tingkat pengolahan ... 10

3 Variabel dan indikator penelitian ... 19

4 Jenis data yang dikumpulkan, tahun serta sumber data yang dianalisis ... 20

5 Prevalensi balita stunting dan obesitas di Indonesia tahun 2013... 31

6 Estimasi potensi kerugian ekonomi karena stunting (asumsi penurunan produktivitas 2% - 9% serta persentase terhadap PDRB ... 33

7 Estimasi potensi kerugian ekonomi akibat ketidakhadiran kerja karena obesitas di Indonesia ... 35

8 Estimasi potensi kerugian ekonomi akibat biaya rawat jalan karena obesitas di Indonesia ... 37

9 Estimasi potensi kerugian ekonomi akibat biaya rawat inap karena obesitas di Indonesia ... 38

10 Estimasi total potensi kerugian ekonomi akibat ketidakhadiran kerja dan biaya perawatan karena obesitas di Indonesia tahun 2013 ... 40

11 Estimasi potensi kerugian ekonomi karena penurunan produktivitas akibat masalah gizi ganda pada balita di Indonesia tahun 2013 ... 42

DAFTAR GAMBAR 1 Siklus masalah gizi ganda pada individu ... 8

2 The double burden of malnutrition ... 9

3 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 18

DAFTAR LAMPIRAN 1 Karakteristik balita di Indonesia tahun 2013 ... 53


(16)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Saat ini negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah di dunia tengah mengalami masalah gizi ganda atau Double Burden of Malnutrition (DBM). Menurut Usfar et al. (2013) gizi ganda adalah kekurangan dan kelebihan gizi pada negara, populasi, keluarga, serta individu yang sama. Dalam hal ini gizi kurang, menurut United Nations Standing Children’s Fund (UNICEF) 2013 dan United States Agency For International Development (USAID) 2010 dengan angka lebih dari 7.6 juta anak, Indonesia menempati peringkat ke lima di dunia untuk jumlah anak yang stunting, hal ini didukung oleh hasil olah data Riskesdas untuk prevalensi balita stunting mencapai 38.4% tahun 2013 di Indonesia.

Kejadian stunting pada balita dapat menyebabkan rendahnya kecerdasan (Intelligence Quotient/IQ). Anak yang stunting mempunyai nilai rata-rata IQ 11 poin lebih rendah dari anak normal (UNICEF 1998). Ketika anak menjadi dewasa, kemampuan kognitif yang lebih rendah akan berdampak pada pendapatan yang lebih rendah, sehingga investasi negara untuk sumber daya manusia menjadi menurun. Menurut Anugraheni (2012) stunting juga meningkatkan risiko obesitas dan penyakit degeneratif. Bila keadaan overweight dan obesitas ini terus dibiarkan berlangsung lama, maka akan meningkatkan risiko kejadian penyakit degenaratif.

World Health Organization (WHO) menyebutkan prevalensi obesitas pada anak di negara berpenghasilan rendah dan menengah telah mengalami peningkatan dalam 10 tahun terakhir. Menurut WHO (2014a) pada tahun 2015 diperkirakan tingkat kegemukan pada negara-negara ini akan mencapai 11%, mendekati prevalensi di negara berpenghasilan menengah atas yang prevalensinya mencapai 12%. Penelitian Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan hasil yang sejalan dengan perkiraan Badan Kesehatan Dunia, prevalensi balita gemuk di Indonesia tahun 2013 adalah 11.9% (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 2013a). Hasil olah data Riskesdas untuk prevalensi balita obesitas mencapai 7.7% tahun 2013 di Indonesia.Terdapat beberapa provinsi yang memiliki prevalensi masalah gizi ganda yaitu prevalensi masalah stunting dan obesitas tinggi di wilayahnya, yaitu: Lampung, Papua, Bengkulu, Sumatera Selatan, Riau, Sumatera Utara, Jambi, serta Kalimantan Barat

Bank Dunia memperkirakan bahwa kerugian akibat kekurangan gizi sekitar 2.5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) negara. Kualitas makanan yang buruk dan gaya hidup yang kurang gerak menyebabkan kelebihan berat badan dan obesitas di antara sekitar 43 juta anak-anak prasekolah di bawah usia 5 tahun di Asia dan Afrika (de Onis et al. 2010), prevalensi overweight dan obesitas dari data tahun 1980 sampai 2005 menunjukan peningkatan pada anak-anak prasekolah di beberapa negara Amerika, Eropa dan Asia (Wang dan Lobstein 2006), dan 1.5 miliar pria dan wanita dewasa di seluruh dunia (Finucane et al. 2011). Menurut Aries dan Martianto (2006) secara nasional besar estimasi potensi ekonomi yang hilang akibat Kekurangan Energi Protein (KEP) sehingga balita memiliki berat badan yang lebih rendah dari yang seharusnya dengan indikator penentu BB/U (Berat badan berdasarkan umur), sehingga mempengaruhi pertumbuhan balita adalah 0.27% – 1.21% dari PDB Indonesia atau nilainya antara Rp 4 24 triliun – Rp 19 08 triliun rupiah per tahun. Menurut hasil penelitian Kusumawardhani dan Martianto (2011) didapatkan nilai slope yang negatif antara


(17)

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita dengan prevalensi gizi buruk balita. Hal tersebut memiliki arti semakin tinggi nilai PDRB per kapita di suatu wilayah maka akan semakin rendah prevalensi gizi buruk di wilayah tersebut. Hal ini dikarenakan nilai PDRB yang besar menunjukkan kemampuan sumber daya ekonomi yang besar begitu pun sebaliknya.

Menurut penelitian lain, jika dilihat dari total biaya tambahan untuk pasien dewasa terkait gizi buruk diperkirakan menjadi € 1.9 miliar pada 2011 yang sama dengan 2.1% dari total belanja kesehatan nasional Belanda dan 4.9% dari total biaya sektor perawatan kesehatan (Freijer et al. 2013). Penelitian meta-analisis dari 45 studi longitudinal di Amerika Serikat menunjukkan hubungan signifikan antara tinggi badan, sukses karier, dan gaji di lingkungan pekerjaan. Seseorang dengan tinggi badan 6 kaki atau 1.82 meter rata-rata menghasilkan gaji selama 30 tahun berkarier sekitar $166.000 lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang dengan tinggi badan 5 kaki 5 inci atau 1.55 meter (Judge dan Cable 2004). Sama halnya dengan kelebihan gizi pada balita, bila melihat keterkaitan hubungan antara kerugian produktivitas dengan obesitas, maka lebih tinggi kerugian yang diakibatkan oleh obesitas daripada pekerja yang merokok (Paula 2006). Menurut Withrow dan Alter (2011) dalam hasil review dari beberapa penelitian pada anak maupun orang dewasa obesitas di Amerika Serikat, Jepang dan Canada, menunjukan obesitas menyumbang 0.7% dan 2.8% dari total pengeluaran kesehatan. Ketika biaya yang terkait dengan overweight juga disertakan, batas atas kisaran ini meningkat menjadi 9.1% dari total pengeluaran kesehatan. Dampak ekonomi dari obesitas secara global termasuk ke dalam tiga besar masalah sosial akibat manusia itu sendiri yang menghabiskan PDB dunia sekitar $2 triliun atau 2.8%.

Biaya perawatan kesehatan akibat obesitas adalah antara 2% dan 7% dari seluruh pengeluaran kesehatan di negara maju. Belum termasuk besarnya biaya untuk mengobati penyakit yang berhubungan dengan obesitas, dengan perkiraan tambahan biaya sampai 20%. Di negara maju obesitas menjadi permasalahan kedua yang mengurangi PDB seperti di Amerika Serikat ($663 miliar pada tahun 2012 atau 4.1% dari PDB) dan Inggris ($70 miliar pada tahun 2012 atau 3% dari PDB). Bahkan di Meksiko obesitas menjadi urutan utama penyebab kerugian ekonomi (2.5% PDB) dibandingkan rokok dan akibat perang (Dobbs et al. 2014). Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki masalah gizi ganda, yang dapat memberikan risiko Penyakit Tidak Menular (PTM) sehingga akan mempengaruhi ekonomi individu, rumah tangga maupun negara. Masalah gizi ganda, selain menurunkan potensi ekonomi karena rendahnya prestasi belajar akibat penurunan nilai IQ, dan produktivitas kerja juga dapat meningkatkan biaya perawatan yang dikeluarkan untuk mengobati penyakit, kematian dini yang tidak diharapkan, serta biaya produktivitas yang hilang karena sakit.

Dari literatur yang ada, saat ini belum ada penelitian di Indonesia yang mengkaji masalah gizi ganda yang terjadi pada balita, yang menghitung besar potensi kerugian ekonomi akibat stunting saat ini dan potensi kerugian ekonomi akibat obesitas pada balita yang saat ini obesitas yang menimbulkan kerugian ekonomi saat dewasa. Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini.


(18)

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Berapa potensi kerugian ekonomi yang hilang akibat rendahnya produktivitas pada balita stunting sepanjang masa hidupnya ?

2. Berapa potensi kerugian ekonomi yang hilang akibat rendahnya produktivitas dan biaya perawatan pada balita obesitas yang saat dewasa tetap obesitas ?

Tujuan Penelitian Tujuan Umum

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan estimasi besar potensi kerugian ekonomi akibat stunting dan obesitas pada balita di Indonesia. Tujuan Khusus

1. Melakukan estimasi potensi ekonomi yang hilang akibat stunting pada balita. 2. Melakukan estimasi potensi ekonomi yang hilang akibat obesitas pada balita.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, sehingga mampu menyusun perencanaan program lebih akurat sesuai perkembangan masalah kesehatan terutama masalah gizi ganda. Selanjutnya manfaat lain dari penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan advokasi yang berbasis bukti, mampu merencanakan dan melaksanakan survei kesehatan lanjutan di wilayah masing-masing. Untuk provinsi dan pusat diharapkan mampu memetakan perubahan masalah kesehatan dan menajamkan prioritas pembangunan kesehatan antar wilayah.

TINJAUAN PUSTAKA Masalah Gizi Ganda

Untuk memahami Double Burden of Malnutrition (DBM), pertama-tama perlu dimengerti konsep malnutrition, undernutrition, dan overnutrition. Berdasarkan penjelasan WHO dalam World Health Organization Child Growth Standards Backgrounder 4 dikatakan malagizi merujuk pada kekurangan, kelebihan, atau ketidakseimbangan energi, protein, dan/atau gizi yang dikonsumsi. Bertentangan dengan penggunaan biasanya, istilah malagizi dapat termasuk undernutrition atau kekurangan gizi, maupun overnutrition atau kelebihan gizi. Kekurangan gizi biasanya mengakibatkan berkurangnya berat badan dan kelebihan gizi adalah kondisi kronis yaitu makanan yang masuk dalam tubuh melebihi jumlah energi yang dibutuhkan. DBM adalah ko-eksistensi kekurangan gizi dan kelebihan gizi makro maupun mikro di sepanjang kehidupan pada populasi, masyarakat, keluarga dan bahkan individu yang sama (Shrimpton et al. 2012). Keadaan saat ini sangat mengkhawatirkan, karena dimensi DBM di sepanjang kehidupan dan hubungan antara gizi buruk ibu hamil serta janin dengan


(19)

meningkatnya kerentanan terhadap kelebihan gizi dan berkaitan antara pola makan dengan penyakit tidak menular di kemudian hari.

Menurut Idrus dan Kunanto (1990) status gizi adalah keadaan kesehatan individu atau kelompok yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik akan energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan yang dampak fisiknya akan diukur melalui antropometri. Banyak yang berpendapat bahwa ukuran fisik, seperti bertubuh pendek, gemuk dan beberapa penyakit tertentu khususnya PTM terutama disebabkan oleh faktor genetik. Dengan ini adanya anggapan bahwa banyak yang tidak dapat dilakukan untuk memperbaiki atau mengubahnya. Namun berbagai bukti ilmiah dari penelitian-penelitian yang bersumber dari lembaga riset gizi dan kesehatan terbaik di dunia telah mengubah paradigma tersebut. Ternyata bertubuh gemuk, pendek, PTM dan indikator lain mengenai kualitas hidup, faktor penyebab terpenting adalah lingkungan hidup sejak konsepsi sampai dengan anak berusia 2 tahun yang dapat diperbaiki dan dirubah (Bappenas 2012).

Masalah gizi banyak kita jumpai pada balita, menurut Depkes RI (2009) balita adalah kelompok anak yang berumur 0-5 tahun. Ketika memasuki lingkaran usia yang merupakan tahun-tahun terpenting pertama dari kehidupan yang nantinya akan menjadi dasar atau fondasi bagi keberlangsungan hidup kedepannya, ketika dewasa yang memerlukan sumber daya manusia berkualitas baik secara fisik, psikis, maupun kecerdasan kognitif, semua ini berawal dari balita yang sehat. Menurut Riskesdas (2013) status gizi anak balita diukur berdasarkan umur (U), berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Untuk menilai status gizi anak balita, maka angka berat badan dan tinggi badan balita dikonversikan ke dalam nilai terstandar (Z-score) yang dalam Riskesdas 2013 menggunakan baku antropometri anak balita WHO 2005 atau Kementerian Kesehatan 2010 dari standar antropometri penilaian status gizi anak, dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 1 Kategori dan ambang batas status gizi anak berdasarkan indeks

Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-Score) Berat Badan menurut Umur

(BB/U)

Anak Umur 0-60 Bulan

Gizi Buruk <-3

Gizi Kurang -3 – <-2

Gizi Baik -2 – 2

Gizi Lebih >2

Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) Anak Umur 0-60 Bulan

Sangat Pendek <-3

Pendek -3 – <-2

Normal -2 – 2

Tinggi >2

Berat Badan menurut Panjang Badan (BB/PB) atau Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) Anak Umur 0-60 Bulan

Sangat Kurus <-3

Kurus -3 – <-2

Normal -2 – 2

Gemuk >2

Sumber : Kementerian Kesehatan RI (2010) dalam Riskesdas (2013)

Menurut Indonesia Health Sector Review 2012 pada laporan Landscape Analysis Country Assessment (LACA) ketika hambatan pertumbuhan tinggi badan di usia dini diikuti dengan cepat oleh pertumbuhan berat badan, meningkatnya risiko untuk obesitas dan PTM yang terkait dengan pola makan, seperti penyakit


(20)

kardiovaskular dan diabetes tipe 2 di masa depan. PTM merupakan penyebab sebagian besar kematian di seluruh dunia, serta angka yang sangat tinggi di negara berpenghasilan rendah hingga menengah, hampir 80% dari semua kematian akibat PTM ini terjadi (Shrimpton et al. 2012).

Menurut Manary dan Solomons (2009) stunting merupakan kondisi tubuh yang pendek dan sangat pendek yang melampaui defisit -2 di bawah median panjang atau tinggi badan. Stunting merupakan gagalnya pertumbuhan linear untuk mencapai potensi genetik yang disebabkan oleh pola makan yang buruk dan penyakit. Stunting berhubungan dengan buruknya perkembangan saat masih anak-anak dan mengakibatkan berkurangnya pengetahuan serta prestasi sekolah dibandingkan dengan anak-anak normal. Stunting juga mengakibatkan gangguan fungsi kognitif, terganggunya proses metabolisme, dan penurunan produktivitas

yang terjadi (Branca dan D’Acapito 2005). Stunting adalah masalah gizi utama yang menimbulkan dampak pada kehidupan ekonomi dan sosial dalam dan diantara masyarakat. Stunting akan mempengaruhi kinerja pekerjaan fisik dan fungsi mental dan terganggunya intelektual (Mann dan Truswell 2002).

Menurut WHO (2011) obesitas merupakan penumpukan lemak yang berlebih dari kondisi yang diperlukan ataupun abnormal yang akhirnya dapat mengganggu kesehatan. Seseorang akan dikatakan mengalami obesitas jika terjadi pertambahan atau pembesaran sel lemak tubuh mereka. Adiwinanto (2008) menyebutkan bahwa angka kejadian obesitas meningkat dengan pesat sebagai akibat dari pola hidup yang tidak aktif. Energi dari aktivitas fisik sehari-hari yang berkurang digunakan seiring dengan globalisasi dan akibat dari kemajuan teknologi. Aktivitas fisik yang minimal pada waktu luang seperti bermain video games dan menonton televisi pada anak-anak akan meningkatkan angka kejadian obesitas. Masalah obesitas ini dianggap sebagai faktor lain yang dapat meningkatkan prevalensi penyakit jantung koroner aterosklerotik, hipertensi, dan intoleransi glukosa, pada pasien-pasien yang obesitas (AHA 2011). Overweight dan obesitas dikaitkan dengan masalah kesehatan sekarang yang menjadi isu global yang kritis (Cecchini et al. 2010).

Luasan Masalah Gizi Ganda

Menurut Lin (2008) perkiraan Food and Agricultural Organization (FAO) menunjukkan bahwa 14% dari populasi dunia atau 864 juta orang pada tahun 2002-2004 mengalami kekurangan gizi dan tidak memiliki cukup makanan untuk memenuhi kebutuhan energi dasar sehari-hari. Asia memiliki jumlah tertinggi orang yang kekurangan gizi, dengan 163 juta di Asia Timur dan 300 juta di Asia Selatan. Sementara obesitas dan penyakit tidak menular berhubungan dengan asupan makanan yang terus meningkat di wilayah tersebut. Beban ganda malagizi juga dipengaruhi oleh kemiskinan, yang merupakan masalah serius di Asia. Memerangi masalah gizi ganda di antara orang miskin membutuhkan pendekatan komprehensif termasuk layanan kesehatan publik yang memadai, dan akses ke pendidikan dan pekerjaan, selain intervensi gizi.

Hasil tinjauan Indonesia Health Sector Review 2012 pada laporan Landscape Analysis Country Assessment (LACA) sebesar 25% dari populasi dunia mengalami kelebihan berat badan, 17% anak-anak pra-sekolah kekurangan berat badan dan 28.5% mengalami stunting, dan 40% wanita usia subur menderita anemia (Shrimpton et al. 2012). Menurut data Riskesdas tahun 2010 dari 23 juta


(21)

balita di Indonesia, 7.6 juta (35.6%) tergolong pendek. Pada usia balita, kejadian anak pendek berhubungan dengan masalah berat badan saat lahir di mana <2500g atau Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Analisis Riskesdas tahun 2010, prevalensi anak pendek pada balita adalah sebesar 42.8% dari ibu yang berusia menikah pertama usia 15-19 tahun dan 34.5% dari ibu berusia menikah pertama usia 24-29 tahun (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 2010).

Sementara itu obesitas juga merupakan salah satu faktor utama yang memicu munculnya berbagai penyakit tidak menular termasuk peningkatan kadar kolesterol, hipertensi, stroke, dan diabetes mellitus (Sihadi dan Djaiman 2006). Sekitar 3.4 juta dari orang dewasa yang meninggal setiap tahun akibat dari kegemukan atau obesitas. Selain itu, 23% dari beban penyakit jantung iskemik, 44% dari beban diabetes, serta antara 7% dan 41% dari beban kanker tertentu disebabkan kegemukan dan obesitas (WHO 2014b). Saat ini, obesitas sudah dialami oleh anak-anak di bawah usia 5 tahun. Pada tahun 2012, diperkirakan 44 juta (6.7%) dari anak-anak di bawah usia 5 tahun yang kelebihan berat badan atau obesitas di seluruh dunia. Berdasarkan angka terbaru ini, prevalensi global anak kelebihan berat badan dan obesitas telah berkembang dari sekitar 5% pada tahun 1990 menjadi 7% pada tahun 2012 (WHO 2014c). Lebih dari 2.1 miliar orang (±30% dari total populasi dunia) mengalami kelebihan berat badan atau obesitas (Dobbs et al. 2014). Secara global proporsi laki-laki yang kelebihan berat badan meningkat dari 28.8% (28.4% - 29.3%) pada tahun 1980, menjadi 36.9% (36.3% - 37.4%) pada tahun 2013, dan proporsi perempuan yang kelebihan berat badan meningkat dari 29.8% (29.3% - 30.2%) ke 38.0% (37.5% - 38.5%).

Survei Kehidupan Rumah Tangga Indonesia atau Indonesia Family Life Survey (IFLS) selama periode lima belas tahun yang mewakili 85% populasi, menunjukkan bahwa terjadi penurunan proporsi yang signifikan pada laki-laki dan perempuan kurus, namun proporsi laki-laki dan perempuan gemuk (berat badan lebih) naik hampir dua kali lipat. Hasil ini menunjukkan penurunan dari angka orang kurus serta jumlah orang gemuk yang meningkat di kalangan dewasa Indonesia, sama seperti yang terjadi di Indonesia pada anak-anak disana. Jumlah anak yang lebih muda (<5 tahun) yang gemuk lebih besar dari pada jumlah anak yang lebih tua (6-12 tahun) yang gemuk, dilain pihak dalam 2 dekade terakhir, jumlah anak pra-sekolah dengan berat badan kurang menurun sebanyak 2 kali lipat bila dibandingkan dengan jumlah mereka yang mengalami stunting. Indonesia merupakan salah satu negara yang juga mengalami masalah gizi ganda, serta kekurangan gizi pada ibu hamil dan defisiensi gizi mikro juga berkontribusi pada situasi malagizi di Indonesia (Shrimpton et al. 2012).

Penyebab Masalah Gizi Ganda

Menurut Soekirman (2000) pertambahan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap keadaan kurang gizi yang terjadi dalam waktu singkat. Pengaruh dari defisiensi zat gizi pada tinggi badan akan kelihatan dalam waktu yang relatif lama sehingga kejadian stunting merupakan indikator kekurangan gizi kronik menggambarkan riwayat dai kurang gizi anak dalam jangka waktu lama serta dapat memberikan gambaran dari terganggunya kondisi sosial ekonomi yang secara keseluruhan di masa lampau. Stunting dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tinggi badan ibu, berat badan (wasting / kurus), zinc inadequacy, lingkungan, penyakit infeksi, tidak asi eksklusif dan kualitas serta kuantitas dari


(22)

MP-ASI, diare, kebersihan, dan hasil dari kelahiran seperti lahir dengan kondisi prematur, Small for Gestational (SGA), dan Intrauterine Growth Restriction (IUGR). SGA menunjukan ukuran bayi pada saat lahir yaitu bayi yang lahir dengan berat badan di bawah persentil 10% atau < 2 menurut usia kehamilan, sedangkan IUGR adalah kegagalan janin untuk bertumbuh sesuai dengan usia kehamilannya. Bayi yang lahir dengan SGA belum tentu mengalami IUGR, dan begitu pila sebaliknya. Selain itu faktor yang mendasari adalah status sosial ekonomi, pendidikan ibu, umur anak, dan pekerjaan.

Kejadian stunting muncul sebagai akibat dari kondisi yang telah lama berlangsung seperti kemiskinan, perilaku pola asuh yang kurang tepat, sering mengalami penyakit secara berulang yang disebabkan oleh hygiene dan sanitasi yang kurang baik (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 2007). Obesitas merupakan masalah eksklusif dari orang kaya. Hal ini selamanya tidak dapat dikatakan berlaku selalu seperti itu. Meskipun meningkatnya obesitas seiring dengan pendapatan yang meningkat, volume terbesar dari obesitas justru terkonsentrasi pada segmen perekonomian bawah, serta meningkatnya kondisi lingkungan perkotaan yang menyebabkan obesitas.

Penelitian di Cebu, Filiphina, menemukan faktor-faktor yang dapat menyebabkan stunting pada anak-anak yang juga dapat mengganggu perkembangan kecerdasan anak, antara lain BBLR, tidak cukupnya pemberian ASI dan makanan pendamping ASI (sampai usia 2 tahun) dan pengganti ASI (setelah usia 2 tahun), serta frekuensi mengalami diare dan infeksi pernafasan. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan karena dampak terburuk kekurangan gizi yang dialami pada saat kehamilan maupun sampai anak berusia 2 tahun yang merupakan periode "Window of Opportunity", akan mengakibatkan kerusakan pada perkembangan otak yang bersifat permanen. Dampak terburuk kerusakan yaitu kerusakan pada pertumbuhan otak, kemampuan belajar, kecerdasan, kreativitas, serta produktivitas anak (Syarief et al. 2007).

Menurut Barker (2007) periode 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) sangat penting sehingga dikenal sebagai periode emas, dan periode sensitif. Para pakar telah mengkaji mendalam selama 1-2 dekade terahir mengenai mekanisme terjadinya hubungan tersebut. Diketahui bahwa semua masalah dari anak pendek, gemuk, PTM bermula ketika proses tumbuh kembang janin dalam kandungan sampai anak usia 2 tahun. Proses yang terjadi selama periode ini lancar dan tidak ada gangguan, maka anak akan bertumbuh dan berkembang dengan normal sampai nanti dewasa, sesuai dengan faktor keturunan atau gen yang telah terprogram dalam sel. Sebaliknya jika proses tidak normal karena berbagai gangguan diantaranya karena kekurangan zat gizi, sehingga proses pertumbuhan dan perkembangan akan terganggu. Mengakibatkan terjadinya ketidaknormalan, dalam bentuk tubuh pendek, meskipun gen didalam sel menunjukkan potensi untuk tumbuh dengan kondisi normal (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 2012).

Pertumbuhan dan perkembangan mengalami peningkatan yang pesat pada usia dini, yaitu dari 0 sampai 5 tahun. Masa ini sering juga disebut sebagai fase

”Golden Age”. Golden age merupakan masa yang sangat penting dalam memperhatikan tumbuh kembang anak secara cermat agar sedini mungkin dapat terdeteksi apabila terjadi kelainan. Periode emas dapat diwujudkan apabila pada masa ini bayi dan anak memperoleh asupan gizi yang tepat untuk pertumbuhan


(23)

dan perkembangan yang optimal. Sebaliknya apabila bayi dan anak pada masa ini tidak memperoleh makanan sesuai kebutuhan gizinya, maka periode emas akan berubah menjadi periode kritis yang akan mengganggu tumbuh kembang bayi dan anak, pada saat ini maupun masa selanjutnya (Nutrisiani 2010).

Gambar di bawah menunjukan siklus dari terjadinya masalah gizi ganda. Siklus di bawah dapat menjelaskan masalah gizi ganda yang terjadi pada individu yang sama. Prevalensi masalah gizi ganda di Indonesia yang cukup tinggi dan memiliki risiko penyakit serta kematian adalah kekurangan gizi yang mengakibatkan gangguan pertumbuhan sehingga anak menjadi pendek (stunting) dan kelebihan gizi yang mengakibatkan peningkatan lemak tubuh atau penimbunan jaringan lemak berlebih sehingga anak menjadi obesitas yang terjadi pada negara, populasi, keluarga, dan individu yang sama maupun berbeda.

Gambar 1 Siklus masalah gizi ganda pada individu (Jafri et al. 2012) Berikut dapat dijelaskan dari gambar siklus masalah gizi ganda di atas yaitu remaja putri atau wanita yang dalam kondisi sedang hamil dan mengalami kekurangan gizi, maka dapat mengakibatkan pertumbuhan janin tidak memadai. Bayi akan lahir dengan kondisi yang tidak memadai, sehingga sering anak dengan kasus ini akan lahir dengan kondisi BBLR. Bayi yang lahir dengan kondisi ini, memiliki risiko kematian yang lebih tinggi dari penyakit kronis. Namun jika anak terus hidup, pertumbuhannya tidak memadai atau tidak sesuai dengan kondisi pertumbuhan dan perkembangan normal. Bayi akan tumbuh menjadi anak yang pendek (stunting), jika kondisi lingkungan dari anak pendek ini telah lebih baik terutama dalam memperoleh asupan makanan terutama tinggi konsumsi makanan olahan namun memiliki aktivitas fisik yang kurang maka akan terjadi kenaikan berat badan dengan cepat.

Berat badan yang naik dengan cepat dan kondisi pertumbuhan anak yang terhambat, menyebabkan anak akan tumbuh menjadi remaja pendek dengan kondisi berat badan lebih. Anak-anak mengalami peningkatan Indeks Massa Tubuh (IMT) secara cepat pada fase tahun pertama kehidupan, kemudian menurun

Dewasa

Tinggi risiko kelebihan berat badan dan berkembangnya penyakit kronis

Kekurangan Gizi

Remaja Putri Kehamilan di usia muda Tingginya konsumsi makanan olahan Aktivitas fisik/ Kurang Aktivitas

fisik Remaja Stunting pada remaja

Tingginya konsumsi makanan olahan Aktivitas fisik/ Kurang Aktivitas fisik Anak-Anak

Stunting pada anak

Risiko kematian yang lebih tinggi dari penyakit kronis

Kenaikan berat cepat Pertumbuhan yang tidak memadai Bayi

Berat lahir yang tidak memadai

Pertumbuhan janin yang tidak memadai


(24)

hingga puncaknya pada usia 6-7 tahun. Fase dimana anak memiliki lean body mass paling tinggi dan IMT paling rendah disebut masa adiposity rebound. Selajutnya anak akan mengalami peningkatan simpanan lemak (rebound) dan peningkatan IMT hingga masa pubertas (Cachera et al. 2006). Remaja pendek dan kelebihan berat badan jika terus dibiarkan berlanjut dengan aktivitas yang kurang dan mengkonsumsi makanan olahan terus menerus, akan tumbuh menjadi dewasa yang obesitas. Dewasa obesitas memiliki risiko tinggi untuk berkembangnya penyakit kronis, sehingga akan menjadi Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas rendah.

Menurut Black et al. (2013) anak-anak yang terhambat pertumbuhannya akan mengalami kenaikan berat badan yang cepat setelah usia 2 tahun, serta memiliki peningkatan risiko menjadi kelebihan berat badan atau obesitas di kemudian hari. Berat badan seperti ini juga dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi dari penyakit jantung koroner, stroke, hipertensi dan diabetes tipe 2. Sehingga jika anak mengonsumsi makanan olahan (makanan cepat saji) secara terus menerus dan tidak diimbangi dengan aktivitas fisik atau aktivitas fisiknya kurang maka anak akan lebih cepat mengalami kenaikan berat badan (overweight) bahkan obesitas. Jika situasi ini tidak segera di tangani, maka akan semakin rumit dan susah dalam memutuskan rantai siklus masalah gizi ganda ini.

Gambar 2 The double burden of malnutrition (Grieve 2007)

Gambar 2 di atas ini menunjukan masalah gizi ganda yang terjadi akibat kekurangan gizi (stunting, wasting, underweight dan defisiensi zat gizi mikro) co-exists dengan overweight dan obesitas dalam suatu negara, populasi, keluarga, atau individu yang sama seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada gambar 1 di atas. Menurut Indonesia Health Sector Review meskipun penyebab DBM bersifat kompleks, tinjauan dalam menganalisis DBM di Indonesia dapat dilakukan dengan menggunakan peta sistem obesitas yang dikembangkan oleh Proyek Foresight di Inggris, yang mengelompokan lebih dari 100 variabel ke dalam empat bidang tematis yaitu (Shrimpton et al. 2012) :

1. Lingkungan Kesehatan dan Biologis

Indonesia sedang mengalami transisi demografis. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yaitu Usia Harapan Hidup telah meningkat dan Indonesia memberikan prioritas terhadap layanan kesehatan primer, makin banyak masyarakat memiliki akses terhadap layanan kesehatan primer, maka pengeluaran untuk kesehatan juga meningkat, dan serangkaian kebijakan kesehatan di tahun


(25)

80-an dan 90-an telah berdampak pada distribusi fasilitas kesehatan yang lebih baik di seluruh Indonesia. Populasi yang semakin menua selanjutnya mempengaruhi transisi epidemiologi, dan struktur usia yang telah berubah akan memberikan kontribusi pada pergeseran beban penyakit dari penyakit menular ke penyakit tidak menular. Saat ini, PTM menjadi penyebab utama disabilitas dan kematian (60%) di Indonesia. Penyakit kardiovaskular adalah penyebab utama kematian yaitu sekitar 30% dari semua kematian akibat PTM, diikuti kanker, penyakit paru obstruktif kronik, dan diabetes. Meskipun akses pada layanan primer meningkat, pada umumnya sistem kesehatan tidak semuanya siap untuk menerapkan berbagai intervensi gizi, antara lain karena petugas kesehatan belum memiliki persepsi bahwa stunting dan obesitas atau kegemukan adalah suatu masalah.

2. Lingkungan Ekonomi dan Pangan

Peningkatan kekayaan negara diikuti dengan penurunan kemiskinan. Ketersediaan beras umumnya stabil sementara energi yang berasal dari daging serta ikan telah meningkat dua kali lipat, energi dari susu meningkat tiga kali lipat, dan dari gandum meningkat hingga enam kali lipat. Secara bersamaan, peningkatan perdagangan pangan global telah menyebabkan meningkatnya impor makanan olahan ke negara yang berpenghasilan rendah hingga menengah, yang terutama didistribusikan melalui jaringan supermarket serta perusahaan makanan cepat saji multinasional yang terus berkembang. Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa pola konsumsi pangan pada awal kehidupan akan mempengaruhi sisa hidup seseorang. Praktek pemberian makan pada bayi dan anak di Indonesia masih jauh dari memadai dan berkontribusi pada kekurangan gizi di awal kehidupan serta meningkatkan risiko kelebihan gizi di kemudian hari. Tabel 2 Grup makanan yang didefinisikan berdasarkan tingkat pengolahan

Grup Makanan Definisi

Grup 1

Makanan yang belum diolah atau makanan olahan minimal, seperti buah-buahan dan sayuran

Grup 2

Olahan kuliner atau bahan industri makanan, seperti minyak sayur, mentega, tepung, dan pasta mentah

Grup 3

Makanan dengan tingkat pengolahan tinggi, dikenal sebagai “makanan mudah” yang memerlukan sedikit persiapan, yang paling cocok untuk mengemil

Kebiasaan yang merugikan tersebut mencakup menurunnya pemberian ASI eksklusif dan pemberian makanan pendamping yang terlalu dini. Meskipun pemerintah telah berupaya untuk mendorong pemberian ASI eksklusif, upaya pemberian ASI terus menurun. Hanya 15% bayi mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan seperti yang dilaporkan pada tahun 2010 atau setengah dari 32% yang dilaporkan pada tahun 2007 dan jauh lebih sedikit dari 40% yang dilaporkan pada tahun 2002. Pola konsumsi pangan selama hidup lebih sulit untuk dievaluasi, tetapi data yang ada menunjukkan peningkatan asupan pangan, terutama daging, ikan, telur, dan makanan olahan. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan tidak hanya meningkat secara kuantitatif, tapi bahannya juga lebih mahal seperti daging dan makanan yang dikonsumsi di luar rumah. Konsumsi sayuran dan buah-buahan tetap stabil dan rendah.


(26)

Selain kuantitas, penelitian lebih lanjut perlu untuk lebih memahami kualitas dari pola makan. Peningkatan konsumsi makanan “Grup 3“ (Tabel 2) dibandingkan dengan konsumsi makanan yang tingkat pengolahannnya lebih rendah secara lebih proporsional dan seimbang kemungkinan besar menjadi salah satu sumbangsih masalah obesitas di Indonesia dan di seluruh dunia. Makanan grup 3 yang padat energi dan penuh dengan biji-bijian, gula dan lemak refinasi, telah dikenal sebagai pilihan termurah bagi konsumenns. Contohnya mi instan di Indonesia. Menurut Riskesdas 2013 proporsi rerata nasional perilaku konsumsi kurang sayur dan atau buah 93.5%, tidak tampak perubahan dibandingkan tahun

2007. Perilaku konsumsi makanan berisiko pada penduduk umur ≥10 tahun paling

banyak konsumsi bumbu penyedap (77.3%), diikuti makanan dan minuman manis (53.1%), dan makanan berlemak (40.7%). Satu dari 10 penduduk mengonsumsi mi instan ≥1 kali per hari.

3. Lingkungan Fisik atau Bangunan

Penilaian terhadap lingkungan fisik di Indonesia memperlihatkan gambaran lingkungan urban yang tidak nyaman untuk aktivitas fisik seperti berjalan kaki. Akses makanan sehat yang terbatas di lingkungan urban menyebabkan mereka yang pergi ke atau pulang dari sekolah serta dari tempat bekerja memiliki pilihan yang terbatas selain makanan siap saji di luar rumah. Karena saat ini kesadaran masyarakat terhadap masalah DBM masih rendah, sekolah belum bisa menjadi tempat bagi pencegahan kegemukan pada anak. Walaupun tempat anak membeli makanan tidak jelas, kemungkinan sekitar 35% berasal dari pedagang kaki lima. Perencanaan tata kota dan pemerintah daerah berperan penting untuk memberikan lebih banyak pilihan untuk aktivitas fisik karena sebagian besar dari penduduk tidak cukup berolahraga untuk membantu mencegah penyakit kardiovaskular. Data Riskesdas tahun 2007 menunjukkan anak usia sekolah merupakan salah satu kelompok usia yang paling tidak aktif. Sedangkan menurut Riskesdas 2013 proporsi aktivitas fisik yang tergolong kurang aktif secara umum adalah 26.1%.

4. Lingkungan Sosial Budaya

Meskipun telah masuk kebudayaan dari negara lain atau media modern, Indonesia tetap terus mempertahankan sebagian besar kebudayaannya. Kebiasaan tradisional ini telah mempengaruhi kekurangan gizi pada ibu hamil dan anak usia dini, dan norma-norma sosial mendorong banyak perempuan untuk menikah pada saat mereka masih anak-anak, yakni 25% wanita usia subur menikah sebelum berusia 18 tahun, bahkan 10% sebelum berusia 16 tahun, yang dengan demikian berkontribusi terhadap tingginya angka kelahiran, terutama di pulau-pulau terluar. Pada saat yang sama, anak-anak menonton televisi sekitar 4 jam perhari, sedangkan iklan makanan olahan mendominasi media, dengan iklan-iklan yang ditargetkan kepada anak-anak. Mayoritas orang tua melaporkan bahwa apa yang mereka beli dipengaruhi oleh pilihan anak-anaknya dibandingkan oleh pengaruh iklan. Hal ini menunjukkan perlunya mengurangi pengaruh dari luar, seperti yang telah dilakukan oleh beberapa negara lain.

Di Indonesia, bahkan mereka yang tidak terlihat “gemuk” memiliki

sejumlah besar lemak didalam tubuh sebanyak 2 kali dari jumlah lemak tubuh

orang kaukasia (ras kaukasia atau biasa disebut “berkulit putih”) yang memiliki


(27)

pertumbuhan pada 1.000 hari pertama kehidupan yang diikuti pertumbuhan pesat selama masa kanak-kanak, yang didorong oleh gaya hidup perkotaan. Selain itu, bagi masyarakat di Indonesia, risiko kesehatan yang berterkaitan dengan kelebihan lemak tubuh berawal dari IMT yang lebih rendah dibandingkan dengan negara lain di Asia, dan tentunya lebih rendah daripada standar internasional. Kelebihan lemak tubuh yang tidak selalu terlihat secara fisik, mengakibatkan masalah ini dianggap remeh di kalangan masyarakat yang bergaya hidup perkotaan (urban).

Dampak Masalah Gizi Ganda

Dampak DBM sangatlah serius dan manifestasinya dapat dilihat di sepanjang kehidupan seseorang. Pada umumnya, dengan melakukan perbaikan dan pembangunan dengan menyediakan ketersediaan air bersih dan sanitasi yang lebih baik, serta peningkatan cakupan imunisasi, banyak anak-anak yang menderita kekurangan gizi berpeluang untuk bertahan hidup pada 2 tahun pertama kehidupannya. Namun, bagi mereka yang bertahan hidup di periode kritis ini, kerusakan yang diakibatkan oleh gizi buruk di fase awal akan berdampak seumur hidup. Dampak lain yang diberikan dari permasalahan gizi ini adalah terhambatnya pembangunan pada suatu wilayah, terutama sebuah negara.

Keberhasilan pembangunan dilihat dari beberapa poin penting, diantaranya adalah pendapatan per kapita, kesejahteraan yang dilihat dari indeks kualitas hidup, pertumbuhan dan struktur ekonomi, serta Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Jika beberapa hal di atas telah terpenuhi maka suatu negara dapat dikatakan berhasil dalam pembangunan. Masalah gizi ganda mempengaruhi terhambatnya pertumbuhan ekonomi yang mengakibatkan berkurangnya pendapatan per kapita negara dan rendahnya produktivitas. Masalah gizi ini memperlambat pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan melalui kerugian tiga urutan langsung dalam produktivitas dari status fisik yang buruk; tidak langsung kerugian dari fungsi kognitif yang buruk dan defisit di sekolah; dan kerugian karena peningkatan biaya perawatan kesehatan. Kerugian produktivitas individu diperkirakan lebih dari 10% dari pendapatan seumur hidup (World Bank 2006).

Menurut Mendez dan Adair (1999) anak yang pendek mempunyai skor test kognitif yang lebih rendah jika dibandingkan dengan anak yang memiliki tinggi badan normal. Penelitian yang dilakukan oleh Hizni et al. (2009) juga menemukan bahwa kejadian stunting pada anak usia di bawah lima tahun mempunyai hubungan nyata dengan perkembangan bahasanya. Penelitian lainnya oleh Hall et al. (2001) membuktikan bahwa kejadian stunting berhubungan dengan pencapaian nilai pada tes matematika dan bahasa di Vietnam. Anak-anak yang stunted memiliki nilai tes yang lebih rendah daripada anak-anak yang normal. Permasalahan gizi ganda ini juga mempengaruhi produktivitas kerja yang merupakan kemampuan dalam berproduksi dibandingkan dengan input yang digunakan. Seseorang dikatakan produktif apabila mampu menghasilkan barang dan jasa sesuai dengan yang diharapkan dalam jangka waktu yang singkat atau tepat. Salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja adalah gizi dan kesehatan.

Bank Dunia memperkirakan 1.4% produktivitas ekonomi hilang akibat stunting. Jadi diperkirakan orang dewasa yang stunting memiliki penghasilan 20% lebih rendah dibanding orang yang tidak stunting. Stunting dapat menurunkan


(28)

Gross Domestic Product (GDP) suatu negara hingga 3%. Thomas dan Strauss (1998 dalam Hoddinot 2013) menemukan bahwa di Brazil, peningkatan tinggi badan 1% meningkatkan pendapatan seseorang hingga 2.4%. Kebanyakan pekerjaan dengan pendapatan yang cukup tinggi mensyaratkan tinggi badan yang tinggi. Di Indonesia dapat kita lihat bahwa untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu seperti pegawai bank, jaksa, hakim dan polisi, disyaratkan harus memiliki tinggi badan di atas rata-rata. Selain itu stunting pada masa anak-anak juga merupakan faktor risiko kematian dari berbagai penyebab dan terjadinya peningkatan penyakit, perkembangan motorik rendah, kemampuan berbahasa, dan ketidakseimbangan sosial. Sehingga balita yang mengalami stunting merupakan faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan SDM yang berkualitas di masa depan. Stunting berakibat fatal kepada tingkat produktivitas pada masa dewasa. Studi longitudinal baru-baru ini pada anak-anak di Brazil, Guatemala, India, Philippines dan Afrika Selatan terkait dengan reduction in schooling, ketika anak yang mengalami stunting pada usia 2 tahun menyelesaikan sekolahnya hampir kurang dari 1 tahun lebih lama dari pada anak normal (Martorell et al. 2010; Adair et al. 2013).

Penelitian lainnya yang sama menurut Martorell (2007) membuktikan bahwa kemampuan membaca anak yang pendek lebih rendah dibandingkan anak normal, dan pada saat mereka dewasa produktivitas anak pendek lebih rendah dibandingkan anak yang normal. Ancaman rendahnya produktivitas dan kualitas sumber daya manusia Indonesia masa mendatang akibat stunting tidak bisa diabaikan guna mencegah beberapa kemungkinan kerugian ekonomi akibat rendahnya SDM di masa depan. Balita stunting memiliki potensi kehilangan ekonomi saat dewasa. Menurut Grantham et al. (2007) sebuah review di Lancet menyimpulkan bahwa anak-anak stunting mengalami hambatan dalam pencapaian dikelas gabungan dan mengalami penurunan kemampuan atau kinerja di sekolah, serta setiap tahun memprediksi penurunan upah masa depan akan sebesar 8.3%. Sebagai pembanding perhitungan di Kamboja tentang kerugian ekonomi akibat permasalahan gizi (KEP, praktek non ASI, gizi saat kehamilan dan defisiensi zat gizi mikro) sebesar $400 juta atau mengurangi GDP sebesar 2.5% setiap tahunnya. Permasalahan stunting memiliki kerugian ekonomi sebesar $128 juta atau 31% yang merupakan kerugian tertinggi dibandingkan keseluruhan permasalahan gizi lainnya (Bagriansky et al. 2014). Balita stunting memiliki potensi kehilangan ekonomi saat dewasa. Menurut Grantham et al. (2007) sebuah review di Lancet menyimpulkan bahwa anak-anak stunting mengalami hambatan dalam pencapaiannya dikelas gabungan dan mengalami penurunan kemampuan atau kinerja di sekolah, serta setiap tahun memprediksi penurunan upah masa depan akan sebesar 8.3%.

Penelitian lain oleh Schultz (2002) di Ghana dengan menggunakan data nasional dengan usia sampel 20-54 tahun yang menunjukan perubahan pendapatan atau gaji setiap kenaikan 1 cm tinggi badan pada pria sebesar 8-10%. Peningkatan tinggi badan sebesar 1 cm pada pria dapat mengarah ke peningkatan gaji atau pendapatan, beberapa penelitian lain seperti Kortt dan Leigh (2009) di Australia yaitu gaji mengarah menuju 0.3% peningkatan; Persico et al. (2004) di USA NLSY mengarah ke 2.2% peningkatan pendapatan; Behrman dan Rosenzweig (2001) di USA peningkatan 1 inch pada wanita mengarah ke 3.5-5.5% gaji atau pendapatan sedangkan pada pria sebanyak 1.4% sampai 2.2%.


(29)

Melihat dari beberapa penelitian di atas, dapat dilihat dan dibayangkan bahwa walaupun hanya dengan peningkatan 1 cm atau inch saja dapat meningkatkan pendapatan, sehingga dewasa yang mengalami stunting tentunya akan kesulitan memperoleh pekerjaan dengan gaji atau pendapatan yang lebih baik atau tinggi dikarenakan keterbatasannnya dan keterbatasan lapangan pekerjaa yang ada.

Anak obesitas mengalami gangguan pernapasan dan komplikasi ortopedik (tulang). Risiko balita gemuk menimbulkan banyak penyakit, antara lain: gangguan penyakit hati (pengerutan jaringan hati, bahkan kanker hati); penyumbatan atau gangguan saluran pernapasan ketika tidur, dengan gejala mengompol sampai mengorok; usia yang lebih pendek daripada generasi orang tuanya. Kemungkinan berbagai risiko penyakit yang lebih mudah menyerang anak-anak yang kegemukan; pembuluh darah dan penyakit jantung, seperti pembesaran jantung atau peningkatan tekanan darah; gangguan metabolisme glukosa, misalnya intoleransi glukosa yang merupakan keadaan kadar glukosa lebih tinggi dari batas atau keadaan normal tetapi tidak mencapai kriteria diagnosis diabetes mellitus; gangguan kedudukan tulang, berupa kaki pengkor atau tergelincirnya bagian sambungan tulang paha (risiko lebih tinggi pada anak laki-laki); serta gangguan kulit, khususnya di daerah lipatan akibat sering bergesekan (Kementerian Kesehatan RI 2015).

Dampak ekonomi obesitas secara global termasuk ke dalam tiga besar masalah sosial akibat manusia itu sendiri yang menghabiskan PDB dunia sekitar $2 triliun atau 2.8%. Obesitas juga mempengaruhi perekonomian karena berkurangnya produktivitas. Di Inggris mencapai $5 juta yang hilang akibat penurunan produktivitas kerja (Dobbs et al. 2014). Penelitian Gates et al. (2008) dikatakan bahwa adanya tambahan biaya sebesar $506 per tahun karena produktivitas yang hilang per pekerja akibat obesitas. Di Kanada pada tahun 2006 tambahan biaya kesehatan akibat kelebihan berat badan dan obesitas diperkirakan mencapai $6 miliar dan terdapat tambahan pula sebesar $5 miliar dari kehilangan produktivitas (Blouin 2014). Obesitas pada anak menyebabkan beberapa penyakit kronis meliputi gangguan metabolisme glukosa, resistensi insulin, diabetes tipe 2 pada remaja, dyslipideinia, hipertensi, steatosis hepatic, gangguan gastrointestinal, dan obstruksi pernafasan saat tidur. Khususnya, obesitas pada remaja di kawasan Asia-Pasifik berhubungan dengan diabetes tipe 2 pada usia yang lebih muda (Mahoney et al. 1996). Banyak studi yang menunjukkan adanya kecenderungan anak obesitas untuk tetap obesitas ketika mereka dewasa (Guo et al. 1994), yang dapat berakibat pada kenaikan risiko penyakit dan gangguan yang berhubungan dengan obesitas pada masa kehidupan berikutnya.

Menurut penelitian Gao dan Smyth (2010) di 12 kota di China dengan menggunakan data perkotaan, hasilnya menunjukan peningkatan tinggi badan sebanyak 1 cm untuk pria dapat meningkatkan pendapatan sebesar 4.5% serta sama halnya dengan wanita, pendapatan meningkat sebesar 7.3%. Wang et al. (2010) memperkirakan bahwa pengurangan kejadian kelebihan berat badan dan obesitas pada remaja 16-17 tahun sebesar 1% dapat mengurangi sekitar 52.821 orang dewasa obesitas di masa depan. Dengan demikian biaya kesehatan setelah usia 40 tahun akan berkurang sebesar $586 juta.

Obesitas meningkatkan risiko kematian untuk semua penyebab kematian. Orang dengan berat badan 40% lebih berat dari berat badan rata-rata populasi memiliki risiko kematian 2 kali lebih besar dibandingkan orang dengan berat


(30)

badan rata-rata (Lew dan Garfinkel 1979). Meningkatnya mortalitas diantara penderita obesitas merupakan akibat dari beberapa penyakit yang membahayakan kehidupan seperti penyakit jantung, diabetes tipe 2, penyakit kandung kemih, kanker gastrointestinal dan kanker yang sensitif terhadap perubahan hormon. Orang obesitas juga mempunyai risiko yang lebih besar untuk menderita beberapa masalah kesehatan seperti arthritis, back pain, infertilitas, dan fungsi psychososial yang menurun (WHO 2000). Konsekuensi dari kegemukan yaitu kesehatan, sosial, dan ekonomi. Beban ekonomi obesitas dari biaya kesehatan juga sangat tinggi. Di Amerika setiap tahun diperkirakan biaya pengobatan akibat obesitas pada orang dewasa mencapai rata-rata $2.741 (mengacu pada dollar Amerika tahun 2005). Sementara secara nasional biaya kesehatan akibat penyakit terkait obesitas pada orang dewasa mencapai $209.7 miliar per tahun (Cawley dan Meyerhoefer 2012). Di Australia pada tahun 2005 biaya langsung (direct cost) akibat beban kelebihan berat badan dan obesitas mencapai $21 miliar per tahun (Colagiuri 2010).

Penanggulangan Masalah Gizi Ganda

Gizi adalah komponen penting dari program pemerintah. Total anggaran untuk gizi masyarakat adalah Rp 244 milyar (sekitar US$ 26 juta) dari pemerintah pusat dan tambahan Rp 148 milyar tersedia dari pendanaan khusus termasuk pinjaman. Sekitar 60% dari pendanaan ini dipertahankan di tingkat Pusat dan sisanya disediakan bagi propinsi sebagai anggaran desentralisasi berdasarkan jumlah penduduk dan prevalensi bobot kurang (Pangaribuan 2010). Menurut Indonesia Health Sector Review (2012) berbagai aksi untuk memperkuat respons terhadap masalah gizi telah ada dalam gerakan Scaling Up Nutrition (SUN) yang diikuti Indonesia sejak bulan September 2012 (Shrimpton et al. 2012). SUN yang fokusnya pada kekurangan gizi ibu hamil dan anak, perlu mengadopsi masalah DBM seiring dengan usaha negara untuk meningkatkan respons terhadap masalah DBM, khususnya karena upaya untuk mengatasi masalah kekurangan gizi pada ibu hamil dan anak usia dini merupakan langkah pertama yang diperlukan untuk mencegah DBM di tahapan kehidupan selanjutnya. Menurut Indonesia Health Sector Review ada beberapa aksi kebijakan yang perlu untuk di pertimbangkan, didiskusikan secara mendalam, serta segera ditindak lanjuti dan diuji cobakan di Indonesia untuk menangani masalah gizi ganda (Shrimpton et al. 2012) :

1. Kebijakan dan Rencana Gizi

Memastikan dari awal bahwa program gizi di Indonesia berorientasi menangani DBM, menyadari bahwa prioritas pertama untuk melakukannya adalah dengan menangani masalah stunting melalui peningkatan gizi ibu hamil dan anak usia dini; memastikan bahwa rencana untuk dewan/forum gizi nasional tingkat tinggi pada akhirnya mencakup rencana untuk menangani DBM, dengan mengembangkan inisiatif yang ada saat ini melalui SUN; dan memastikan bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RANPG) mempertimbangkan DBM dengan memadai.

2. Gizi Ibu Hamil, Bayi dan Balita

Memperkuat mekanisme yang sudah ada dan memastikan dilaksanakannya Peraturan Pemasaran Susu Pengganti ASI, sehingga bayi tidak lagi diberi susu pengganti ASI oleh pekerja kesehatan, terutama pada saat kelahiran; memperkuat upaya untuk memperbaiki pola makan anak melalui fortifikasi di rumah,


(31)

fortifikasi makanan pendamping, serta sumber makanan hewani sesuai kebutuhan; dan memperkuat semua upaya untuk mengendalikan defisiensi mikronutrien ganda yang terus dialami khususnya pada ibu dan balita melalui fortifikasi, serta pemberian suplemen. Sanitasi dan pemberian obat cacing selama kehamilan sesuai rekomendasi WHO untuk membantu mengendalikan anemia pada ibu hamil.

3. Keamanan Pangan dan Gizi

Memperkuat aspek kebijakan pertanian dalam rangka mempromosikan produksi sayuran dan buah-buahan melalui petani lokal berskala kecil, tidak hanya untuk meningkatkan kualitas ketersediaan pangan tetapi juga untuk meningkatkan pendapatan di kalangan miskin pedesaan, sehingga baik keamanan pangan maupun keamanan gizi terjamin; dan memperkuat semua program kesejahteraan sosial bagi ibu dan balita dengan memastikan program bantuan tunai bersyarat termasuk keterkaitannya dengan promosi tanaman panen bernilai gizi tinggi seperti buah-buahan dan sayuran yang bisa atau seharusnya disediakan oleh petani lokal berskala kecil melalui pasar petani lokal.

4. Pendidikan Gizi dan Gaya Hidup Sehat

Sebagai prioritas pertama untuk mengatasi masalah “ stunting-obesitas-PTM”, adalah pengembangan pendidikan gizi yang luas dan efektif di seluruh Indonesia untuk mahasiswa, akademisi, pejabat pemerintah, politisi, industri makanan, dan masyarakat umum; memperkenalkan peraturan nasional untuk mengurangi dampak pemasaran makanan yang mengandung kadar tinggi lemak jenuh, asam lemak-trans, gula bebas, atau garam pada anak-anak, dalam fungsi rekomendasi kebijakan resolusi World Health Assembly (WHA); mengiklankan makanan apapun untuk anak-anak melalui media apapun harus dilarang dan pelanggarannya diberikan hukuman; dan mengambil tindakan untuk menjamin bahwa inisiatif perencanaan perkotaan masa depan yang menunjang olahraga dengan membuat lebih banyak jalur sepeda, trotoar, daerah pejalan kaki dan taman.

5. Penelitian

Mengembangkan model untuk memperkirakan dampak ekonomi dan fiskal DBM di sepanjang kehidupan; menjajaki potensi dan kemungkinan untuk memberlakukan pajak atas komoditas pangan impor yang menerima subsidi dari negara asalnya, serta pajak atas makanan cepat saji tertentu, misalnya minuman yang mengandung kadar gula tinggi; memeriksa kandungan lemak pada pola pangan yang dikonsumsi secara nasional termasuk kualitas lemak, serta jumlah dan sumber lemak trans yang dikonsumsi; dan melakukan survei gizi tingkat nasional untuk memastikan status zat mikronutrien, terutama untuk anemia defisiensi besi, dan kekurangan yodium, vitamin A dan seng.

Produk Domestik Bruto dan Produk Domestik Regional Bruto

Menurut Badan Pusat Statistik (2013) Produk Domestik Bruto (PDB) pada tingkat nasional serta Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada tingkat regional (provinsi) menggambarkan kemampuan suatu wilayah untuk menciptakan output atau nilai tambah pada suatu waktu tertentu. PDB dan PDRB dihitung atas dasar harga berlaku serta atas dasar harga konstan. PDRB merupakan gambaran dari pendapatan rata-rata disetiap daerah atau wilayah, sedangkan PDRB per kapita merupakan gambaran dan rata-rata pendapatan yang


(32)

diterima oleh setiap penduduk selama satu tahun di suatu wilayah atau daerah. Data statistik ini merupakan salah satu indilator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kemakmuran suatu wilayah atau daerah.

Penghitungan PDRB atas dasar harga berlaku dilakukan dengan dua metode, salah satunya adalah metode langsung. Pada metode langsung dikenal dengan tiga macam penghitungan, yaitu pendekatan produksi, pendekatan pengeluaran, dan pendekatan pendapatan. Sehingga pada penelitian ini menggunakan PDRB atas dasar harga berlaku. Selain itu menggunakan harga berlaku karena menggambarkan nilai barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada tahun berjalan, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menunjukan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar. PDRB atas dasar harga berlaku digunakan untuk mengetahui kemampuan sumber daya ekonomi, pergeseran, dan struktur ekonomi suatu daerah. Nilai PDRB yang besar menunjukan kemampuan sumber daya ekonomi yang besar begitu pun sebaliknya. PDRB atas dasar harga berlaku tanpa migas, digunakan dalam penelitian ini karena rata-rata provinsi yang ada di Indonesia hasil lapangan usahanya berasal dari lapangan usaha tanpa migas, sehingga nantinya sulit untuk dihitung atau dibandingkan antar wilayah atau provinsi.

KERANGKA PEMIKIRAN

Permasalahan gizi karena kekurangan dan kelebihan gizi meningkat, sehingga berkembang menjadi masalah gizi ganda. Karena itu dilakukan estimasi kerugian ekonomi akibat masalah kekurangan dan kelebihan gizi, sehingga dapat segera mengambil langkah-langkah yang cepat dan tepat sasaran. Masalah ini menyangkut kepentingan masyarakat luas maka biaya dapat dikelompokan dengan berbagai cara, salah satunya adalah tangible-intangible (Musgrave RA dan Musgrave PB 1989; Mangkoesoebroto 1998). Tangible cost adalah semua biaya yang dapat dinilai dengan uang, contohnya biaya perawatan, biaya sumber daya, pendapatan atau upah yang hilang, dan lainnya. Intangible cost adalah biaya yang tidak mudah untuk dinilai atau dikonversi dengan uang, contohnya biaya mengganti rasa sakit, kecemasan, kelelahan, dan penderitaan pasien dari penyakit atau perawatan yang diberikan. Penelitian ini menggunakan tangible cost, karena penelitian ini menghitung estimasi potensi kerugian ekonomi karena rendah produktivitas yang rendah akibat stunting dan obesitas yang nanti produktivitasnya akan akan di nilai atau di ukur dengan biaya (uang).

Masalah gizi ganda (stunting dan obesitas) pada penelitian ini adalah masalah yang terjadi pada suatu wilayah (public health problem). Stunting berdampak pada penurunan kognitif, sehingga mengakibatkan rendahnya pendidikan yang nantinya akan menghambat pertumbuhan ekonomi individu, keluarga, serta negara. Selain itu stunting juga dapat meningkatkan risiko kegemukan dan obesitas yang nantinya akan menyebabkan tingginya risiko PTM dan kematian dini. Obesitas itu sendiri memiliki dampak yang sama dengan stunting yaitu menyebabkan penurunan produktivitas (di sekolah maupun ketika bekerja), meningkatkan risiko PTM, kematian dini, dan SDM yang tidak berkualitas. Oleh karena itu jika kedua masalah ini terjadi pada waktu yang


(33)

bersamaan di suatu wilayah, tentu akan menjadi masalah besar yang dapat menghambat perekonomian, sehingga pembangunan suatu wilayah menjadi terhambat. Berikut ini adalah kerangka penelitianya:

Keterangan: = Variabel Independent

= Variabel Dependent = Variabel yang diteliti = Variabel yang tidak diteliti

Melakukan estimasi kerugian ekonomi akibat masalah gizi ganda membutuhkan beberapa data pendukung untuk membantu dalam meneliti variabel independent (masalah gizi ganda yaitu kekurangan gizi (stunting) dan kelebihan

MASALAH GIZI

Stunting

Gambar 3 Kerangka pemikiran penelitian estimasi potensi kerugian ekonomi akibat stunting dan obesitas pada balita di Indonesia

Obesitas

Kehilangan Potensi Ekonomi

KERUGIAN EKONOMI WILAYAH

Kognitif

Status Infeksi

Risiko

Overweight/ Obesitas

Produktivitas Rendah

Pendapatan Rendah

High Costs for treatmeant

and funeral

Tinggi Ketidakhadiran

Kerja

Tinggi Biaya Perawatan Risiko

PTM

Risiko Kematian dini

Physical disability

and Sexual problem

Risiko Kematian dini Risiko

PTM

High Costs Funeral


(34)

gizi (obesitas) pada balita) yang memberi pengaruh terhadap variabel dependent (produktivitas dan biaya perawatan). Beberapa data ini didapatkan dari berbagai instansi yang ada di Indonesia dan beberapa jurnal penelitian yang serupa baik nasional maupun internasional. Berikut dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 3 Variabel dan indikator penelitian

No. Variabel Independent

Variabel Dependent

Indikator Sumber

1. Stunting Produktivitas Upah/gaji BPS 2013

Suku bunga/ discount rate

Aries dan Martianto (2006); Kusumawardhani dan Martianto (2011) Usia produktif BPS 2014a Prevalensi stunting Balitbangkes (Riskesdas 2013b, 2013c) Jumlah kelahiran Kementerian Kesehatan 2013

Faktor koreksi Horton (1999) 2. Ketidakhadiran

kerja dan Biaya perawatan PTM

karena obesitas

Produktivitas Upah/gaji harian (245 hari kerja)

BPS 2013 Rata-rata hari

dia tidak bekerja (rawat inap dan rawat jalan) Balitbangkes (Riskesdas 2013a) Tingkat partisipasi kerja BPS 2014b Jumlah balita obesitas 2013 Balitbangkes (Riskesdas 2013a) Biaya rawat inap dan rawat jalan Balitbangkes (Riskesdas 2013a) Relative risk (RR) comorbidities

Pitayatienanan et al. (2014)

Faktor koreksi Guo et al. (2002) 3. Prevalensi

stunting dan obesitas Potensi kerugian ekonomi di berbagai provinsi di Indonesia Prevalensi stunting dan obesitas

Hasil olah data mikro peneliti (sumber data dari Balitbangkes

(Riskesdas 2013b, 2013c)

METODE

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskritif adalah suatu penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk memberikan gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara objektif. Desain penelitian ini digunakan untuk memecahkan atau menjawab permasalahan yang sedang


(35)

dihadapi pada situasi sekarang. Penelitian dilakukan dengan mengolah data dari berbagai instansi terkait yang seluruhnya berupa data sekunder. Kegiatan penelitian dilaksanakan di Bogor, Jawa Barat dan dilaksanakan mulai bulan Desember 2015 sampai Maret 2016.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data-data sekunder yang berasal dari sumber hasil survei dari beberapa instansi pemerintah yang ada di Indonesia. Data-data ini diharapkan dapat membantu dalam penelitian ini, melihat bahwa pada penelitian ini sangat bergantung pada ketersediaan dan kelengkapan data yang ada. Untuk jenis dan cara pengumpulan data penelitian data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :

Tabel 4 Jenis data yang dikumpulkan, tahun, serta sumber data yang dianalisis

No. Variabel Jenis Data Sumber

1. Karakteristik Balita di Indonesia

Umur, jenis kelamin, data status gizi atau Z-score balita, jumlah dan prevalensi balita (0-59bulan) obesitas dan stunting

Riskesdas 2013 (Balitbangkes)

2. Karakteristik Penduduk Balita menurut Provinsi

Jumlah penduduk balita, jumlah kelahiran, jenis kelamin, dan kelompok umur

BPS RI dan Kemenkes

(2013) 3. Upah/gaji tenaga kerja Data upah/gaji/pendapatan bersih

pekerja menurut provinsi dan lapangan pekerjaan utama

BPS RI (2013) Asumsi penelitian yang digunakan

Penelitian ini menggunakan beberapa asumsi. Asumsi-asumsi ini digunakan oleh peneliti agar hasil perhitungan dan analisis dari penelitian ini dapat diterima secara umum. Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini:

1. Menurut Horton (1999) seseorang yang stunting akan mengalami penurunan produktivitas sebesar 2% - 9%, sehingga 2% dan 9% digunakan sebagai faktor koreksi dalam perhitungan dengan menggunakan rumus Konig (1995) pada balita stunting.

2. Gaji/upah yang diterima pada semua sektor lapangan usaha sama.

3. Gaji/upah yang digunakan pada balita stunting (secara umum antara laki-laki dan perempuan) sedangkan pada balita obesitas berdasarkan jenis kelamin (berbeda antara laki-laki dan perempuan) dari BPS tahun 2013.

4. Hasil potensi kerugian ekonomi akibat stunting tidak termasuk biaya perawatan akibat penyakit infeksi.

5. Discount rate atau suku bunga yang digunakan 5%.

6. Usia produktif tang digunakan pada penelitian yaitu usia 15-64 tahun. 7. Jumlah balita stunting yang digunakan usia 0 – 59 bulan.

8. Potensi kerugian ekonomi akibat stunting pada balita di 32 provinsi dan akibat obesitas di 33 provinsi di Indonesia tahun 2013.

9. Tidak adanya perbaikan gizi pada balita stunting.

10. Data balita stunting dan obesitas berdiri sendiri (balita stunting - tidak gemuk, balita obesitas - tidak stunting).


(1)

52


(2)

No. Provinsi Jumlah balita (0-59 bulan) Jumlah balita obesitas (3-5 tahun)* Jumlah balita obesitas* (3-5 tahun) yg telah dikoreksi Prevalensi balita obesitas (3-5 tahun) Jumlah penduduk balita Jumlah penduduk balita obesitas yg telah

dikoreksi Jumlah kelahiran tahun 2013 Tingkat partisipasi kerja tahun 2013 (%)

Rata-rata hari tdk bekerja (rawat

inap & Jalan)

L P L P L P L P L P

1. Aceh 3 400 110 13 15 0.11 0.14 286 100 274 600 32 745 37 495 7 090 63.8 5 7

2. Sumatera Utara 5 624 281 32 38 0.11 0.14 801 900 772 200 92 318 105 360 7 921 71.7 2 3 3. Sumatera Barat 2 669 85 10 10 0.12 0.13 279 100 268 100 34 280 31 131 8 193 66.6 2 3

4. Riau 2 282 97 12 11 0.13 0.12 356 900 341 100 45 330 39 772 9 533 66.6 4 4

5. Jambi 1 516 87 11 12 0.14 0.12 164 000 158 400 20 170 21 375 12 384 65.9 2 3

6. Sumatera Selatan 2 469 152 17 21 0.15 0.07 410 300 392 600 47 104 54 809 41 148 69.2 2 6

7. Bengkulu 1 134 79 11 9 0.11 0.14 92 500 88 300 12 751 10 339 4 156 70.8 2 3

8. Lampung 1 881 177 20 25 0.09 0.15 409 700 391 100 45 437 56 146 15 547 67.6 2 4

9. Kep. Bangka Belitung 964 31 4 4 0.12 0.13 65 100 62 300 7 623 7 938 1 141 68.2 7 9

10. Kepulauan Riau 1 090 31 3 5 0.11 0.13 109 900 105 400 10 494 16 796 364 68.1 3 3

11. DKI Jakarta 924 54 6 8 0.12 0.13 473 600 455 300 51 394 65 513 2 549 68.3 2 3

12. Jawa Barat 5 443 189 21 25 0.13 0.12 2 225 400 2 118 700 247 149 283 726 65 136 63.5 4 3 13. Jawa Tengah 5 032 179 21 24 0.12 0.12 1 431 000 1 353 700 165 564 182 712 104 476 70.7 5 5

14. D.I. Yogyakarta 656 21 3 1 0.14 0.12 137 800 131 400 20 408 9 198 6 083 69.1 4 3

15. Jawa Timur 6 217 214 27 25 0.10 0.13 1 527 700 1 462 600 194 032 173 120 75 581 66.8 5 6

16. Banten 1 751 64 8 7 0.11 0.13 616 700 589 500 79 496 68 990 3 249 72 2 3

17. Bali 1 392 57 6 8 0.10 0.16 170 100 161 500 19 069 22 043 13 580 72.2 4 6

18. Nusa Tenggara Barat 1 906 41 4 5 0.11 0.14 259 500 249 100 26 963 30 682 13 673 69.5 2 3 19. Nusa Tenggara Timur 3 801 66 6 9 0.12 0.14 313 100 304 200 30 219 43 049 8 168 72.4 3 6 20. Kalimantan Barat 1 733 89 11 11 0.14 0.10 251 600 240 500 31 210 30 022 14 019 70.6 4 5 21. Kalimantan Tengah 1 728 68 7 9 0.10 0.12 124 800 119 700 13 031 14 980 2 990 70.9 6 7 22. Kalimantan Selatan 1 914 51 7 6 0.10 0.14 208 000 199 400 28 957 24 554 2 551 67.8 2 4 23. Kalimantan Timur 2 058 79 9 10 0.11 0.15 209 000 198 400 23 757 25 365 18 613 64.7 3 3

24. Sulawesi Utara 1 428 41 4 5 0.09 0.15 106 800 101 800 11 566 13 507 6 157 65.3 3 3

25. Sulawesi Tengah 1 783 25 3 3 0.13 0.12 150 200 143 600 17 123 19 759 803 66.1 2 3

26. Sulawesi Selatan 3 609 65 7 10 0.16 0.08 425 200 408 500 44 090 59 704 39 107 64.7 2 2 27. Sulawesi Tenggara 1 953 67 6 11 0.10 0.15 150 700 143 800 14 485 22 815 9 439 65.8 2 2

28. Gorontalo 839 16 2 2 0.11 0.14 55 500 53 000 5 203 7 784 3 702 65.6 3 3

29. Sulawesi Barat 791 30 5 2 0.10 0.16 72 000 68 900 11 208 5 374 24 594 69.6 3 6

30. Maluku 1 882 38 5 5 0.11 0.13 100 100 95 200 11 854 12 977 2 225 65.2 3 3

31. Maluku Utara 1 564 31 4 3 0.11 0.14 69 500 66 200 9 820 6 876 20 659 66.1 2 2

32. Papua Barat 1 445 32 3 5 0.12 0.12 47 500 45 300 4 438 6 979 - 67.3 3 7

33. Papua 2 394 115 12 17 0.12 0.14 166 800 161 700 17 681 24 466 939 79.1 3 4

Indonesia 75 272 2762 321 365 0.12 0.13 12 268 100 11 726 100 1 425 800 1 550 376 500 517 68.1 3 5

Ket:*Jumlah data sampel balita; (JK) Jenis kelamin; (L)laki-laki; (P)Perempuan Sumber: Data sekunder (olah) 2013


(3)

2

No. Provinsi

PDRB atas dasar harga berlaku tanpa migas

(miliar rupiah)*

PDRB atas dasar harga berlaku tanpa migas

(miliar rupiah)**

Upah/gaji/pendapatan bersih pekerja menurut provinsi dan lapangan pekerjaan utama tahun

2013

Biaya Rawat Jalan Biaya Rawat Inap

L P per hari (245 hari kerja)/ribu rupiah

per sebulan/ juta rupiah

per tahun/

juta rupiah L P L P

1. Aceh 89 109 81 000 81 700 81 183 1 657 489 19 889 868 897 323 461 607 29 860 780 29 860 780

2. Sumatera Utara 401 383 82 000 68 600 138 032 1 591 010 19 092 120 448 394 505 435 55 345 230 55 345 230 3. Sumatera Barat 127 100 88 800 76 300 124 388 1 649 756 19 797 072 698 972 644 457 30 096 950 30 096 950

4. Riau 340 631 99 700 81 300 79 287 1 936 578 23 238 936 800 534 616 343 29 000 000 29 000 000

5. Jambi 73 846 84 100 69 800 89 186 1 717 264 20 607 168 486 356 623 250 42 108 601 42 108 601

6. Sumatera Selatan 180 430 82 400 70 800 91 698 1 578 080 18 936 960 504 950 638 939 35 294 400 35 294 400 7. Bengkulu 27 388 88 500 73 000 84 111 1 617 665 19 411 980 466 650 284 786 31 732 210 31 732 210 8. Lampung 162 491 67 600 61 100 61 614 1 262 714 15 152 568 580 052 575 384 41 574 060 41 574 060 9. Kep. Bangka Belitung 38 226 92 700 71 800 80 804 1 820 879 21 850 548 605 438 442 596 37 400 000 37 400 000 10. Kepulauan Riau 94 240 139 000 108 500 83 861 2 537 407 30 448 884 1 000 073 552 698 34 800 600 34 800 600 11. DKI Jakarta 1 250 459 137 900 110 000 79 233 2 980 110 35 761 320 452 663 781 451 53 293 765 53 293 765 12. Jawa Barat 1 029 503 86 100 69 300 124 281 1 631 884 19 582 608 770 097 585 519 41 260 001 41 260 001 13. Jawa Tengah 561 952 68 500 53 400 145 965 1 211 177 14 534 124 604 158 769 938 39 877 984 53 234 884 14. D.I. Yogyakarta 63 690 81 300 65 500 77 294 1 532 728 18 392 736 519 884 663 747 44 586 700 49 266 700 15. Jawa Timur 1 132 191 71 900 57 100 79 929 1 320 660 15 847 920 201 560 542 163 26 061 525 26 061 525 16. Banten 244 548 111 300 88 900 94 853 2 392 917 28 715 004 839 337 388 950 24 490 480 24 490 480

17. Bali 94 556 90 200 72 100 77 927 1 712 158 20 545 896 450 758 650 984 58 262 100 58 262 100

18. Nusa Tenggara Barat 56 278 78 500 63 900 98 723 1 257 962 15 095 544 525 618 687 330 39 881 900 39 881 900 19. Nusa Tenggara Timur 40 465 81 200 74 500 100 201 1 507 759 18 093 108 653 948 728 700 29 493 200 29 493 200 20. Kalimantan Barat 84 956 87 300 71 700 59 323 1 688 597 20 263 164 534 611 868 923 19 490 600 19 490 600 21. Kalimantan Tengah 63 515 99 700 83 600 64 685 2 015 598 24 187 176 402 536 443 346 28 878 100 28 878 100 22. Kalimantan Selatan 82 649 100 200 73 200 75 072 2 045 776 24 549 312 822 639 613 914 35 360 400 35 360 400 23. Kalimantan Timur 283 532 134 900 96 800 117 204 2 747 777 32 973 324 804 054 420 221 16 537 770 16 537 770 24. Sulawesi Utara 53 337 90 800 95 800 97 558 1 873 462 22 481 544 261 377 472 152 37 465 530 37 465 530 25. Sulawesi Tengah 57 734 85 800 72 100 75 750 1 618 782 19 425 384 436 317 1 172 505 30 107 700 30 107 700 26. Sulawesi Selatan 184 497 91 200 72 600 90 383 1 665 799 19 989 588 896 921 860 597 43 735 907 43 735 907 27. Sulawesi Tenggara 40 773 96 000 79 000 69 470 1 845 322 22 143 864 502 554 968 985 67 297 900 67 297 900 28. Gorontalo 11 752 76 000 72 100 61 847 1 546 561 18 558 732 630 566 709 350 43 614 400 60 514 600 29. Sulawesi Barat 16 184 82 600 63 800 81 590 1 418 350 17 020 200 383 415 385 950 7 789 390 9 978 100 30. Maluku 13 215 103 000 90 500 73 849 1 991 809 23 901 708 745 290 610 647 26 217 710 26 217 710 31. Maluku Utara 7 725 98 200 93 200 82 707 1 872 170 22 466 040 363 932 680 507 47 645 000 47 645 000 32. Papua Barat 22 545 121 800 106 400 91 761 2 539 595 30 475 140 512 556 601 643 21 097 400 21 097 400 33. Papua 93 137 144 100 111 000 134 585 2 818 145 33 817 740 982 455 932 220 41 841 020 45 167 600

Indonesia (PDB)/(GDP) triliun rupiah 8 416 040 89 300 70 300 83 206 1 698 789 20 385 468 566 591 659 238 37 389 768 41 604 856

Ket: (JK) Jenis kelamin; (L)laki-laki; (P)Perempuan; *untuk perhitungan stunting; **untuk perhitungan obesitas Sumber: Data sekunder (olah) 2013

Lampiran 2 Data PDB/PDRB, upah/gaji, dan biaya perawatan tahun 2013


(4)

(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Abepura (Jayapura

Papua) pada tanggal 13

Maret 1990 dari bapak Drs. Agustinus Renyoet, M.Si dan mama Maryam P.

A.Alamudi. Penulis adalah putri kedua dari tiga bersaudara. Awal pendidikan

penulis dimulai dari Taman kanak-kanak di Abepura tahun 1995

1996,

kemudian melanjutkan sekolah dasar di SD YPPK Gembala Baik Abepura tahun

1996

2002. Tahun 2002

2005 penulis menduduki pendidikan di bangku SMP

YPPK Santo Paulus Abepura dan tahun 2005

2008 duduk di bangku SMA

Negeri 1 Jayapura. Tahun 2009

2013 penulis melanjutkan pendidikan S1 di

Program Studi Ilmu Gizi, Universitas Hasanuddin Makassar. Penulis dinyatakan

sebagai lulusan terbaik dengan predikat cum laude Fakultas Kesehatan

Masyarakat (FKM) tahun 2013.

Pada tahun 2014 telah bergabung dengan

nutrition and dietition in

Indonesia. Penulis aktif dilapangan dalam mengikuti berbagai kegiatan survei dan

penyuluhan gizi, diantaranya pada tahun 2014 mendapat piagam dan sertifikat

sebagai anggota dalam penelitian Studi Diet Total dari Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan, Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi

Klinik. Tahun 2015 sebagai fasilitator Pendidikan Sarapan Sehat Nasional dari

AIPGI/Pergizi Pangan Indonesia. Tahun 2014 penulis diberikan kesempatan

untuk melanjutkan pendidikan di Program Studi Ilmu Gizi, Sekolah Pascasarjana,

Institut Pertanian Bogor. Selain penelitian ini, penulis juga telah melakukan

penelitian kuantitatif dengan menggunakan data primer dan sekunder berupa

skripsi dengan judul Hubungan Pola Asuh dengan Kejadian

Stunting

Anak Usia

6-23 Bulan di Wilayah Pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar.