Gambaran Faktor-Faktor Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 (Analisis Data Sekunder Riskesdas 2010)

(1)

GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR KEJADIAN STUNTING

PADA BALITA USIA 24-59 BULAN

DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2010

(ANALISIS DATA SEKUNDER RISKESDAS 2010)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Disusun oleh:

SHELLA MONICA DALIMUNTHE

108101000024

PEMINATAN GIZI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2015 M/1437 H


(2)

i

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar srata 1 di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesahatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesahatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesahatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Mei 2015


(3)

ii

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN GIZI

SKRIPSI, MEI 2015

Shella Monica Dalimunthe, NIM: 108101000024

Gambaran Faktor-Faktor Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 (Analisis Data Sekunder Riskesdas 2010)

xiii+ 111 halaman + 18 tabel + 12 grafik + 2 bagan + 2 lampiran ABSTRAK

Masalah gizi merupakan penyebab sepertiga kematian pada anak. Stunting

menjadi indikator kunci dari kekurangan gizi kronis, seperti pertumbuhan yang melambat, perkembangan otak tertinggal dan sebagai hasilnya anak-anak stunting lebih mungkin mempunyai daya tangkap yang rendah. Dari data Riskesdas 2010 beberapa provinsi dengan jumlah kejadian balita stunting tertinggi menunjukkan bahwa kejadian balita stunting banyak terdapat pada rentang usia 24-59 bulan. Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu Provinsi yang memiliki prevalensi stunting diatas prevalensi nasional.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Studi ini menggunakan data sekunder yaitu dengan menganalisis data dari penelitian Riskesdas 2010 di Provinsi NTB. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2013. Sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 388 balita berusia 24-59 bulan di Provinsi NTB. Variabel independen yang diteliti dalam penelitian ini yaitu asupan energi balita, asupan protein balita, jenis kelamin, berat lahir balita, jumlah anggota rumah tangga, pendidikan ibu, pendidikan ayah, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, wilayah tempat tinggal balita dan status ekonomi keluarga. Sedangkan variabel dependennya adalah kejadian stunting. Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner riskesdas. Data yang diperoleh kemudian dilakukan uji statistik dengan rumus chi square.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa balita yang mengalami stunting sebanyak 56.36%, sedangkan balita normal sebanyak 43.63%. Sebanyak 58.22% balita memiliki asupan energi kurang, sedangkan 41.77% lainnya memiliki asupan energi cukup. 51.70% balita memiliki asupan protein cukup dan sisanya masih memiliki asupan protein kurang. Sebanyak 51.59% balita berjenis kelamin perempuan, sisanya berjenis kelamin laki- laki. Balita lahir dengan BBLR sebanyak 8.62%, sedangka n sisanya lahir dengan berat badan normal. Sebanyak 72.06% anak berasal dari keluarga besar, sisanya berasal dari keluarga kecil. Sebagian besar ibu balita berpendidikan rendah, hanya sebanyak 33.13% yang berpendidikan tinggi. Ayah dengan pendidikan rendah sebanyak 71.51%, sisanya berpendidikan tinggi. Sebanyak 66.8% ibu balita merupakan ibu rumah tangga, sisanya berkerja. Sebanyak 97.03% ayah balita bekerja, sisa nya tidak bekerja. 41.77% balita tinggal di daerah perkotaan, sisanya di pedesaan. Hanya sebesar 17.53%


(4)

iii

Kata kunci : gizi buruk, stunting, balita Daftar bacaan : 90 (1985 - 2012)


(5)

iv

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH

SPECIALISATION NUTRITION THESIS, MAY 2015.

Shella Monica Dalimunthe, NIM: 108101000024

Overvie w Determinants of Stunting in Toddle rs age 24-59 Months in The Province of West Nusa Tenggara Year 2010 (Secondary Data Analysis of Riskesdas 2010) xiii + 111 pages + 17 tables + 12 charts + 2 sche mas + 2 attachments

ABSTRACT

Nutritional problems are the cause of all deaths in children. Stunting be a key indicator of chronic malnutrition, such as slowed growth, brain development lags behind and as a result of stunting children are more likely to have a low perception. From the data of Riskesdas 2010 several provinces with the highest incidence of st unting in toddlers showed that the incidence of stunting are happened mostly in the age range 24-59 months. West Nusa Tenggara Province (NTB) is one province that has a prevalence of stunting above the national prevalence.

This research is a quantitative study with cross sectional approach. This study used secondary data analysis from the study of Riskedas 2010 in NTB Province. The research was conducted in March 2013. The sample that was used in this research is 388 toddlers aged 24-59 months in NTB Province. The independent variables examined in this study were toddler energy intake, toddler protein intake, sex, birth weight infants, the number of household members, mother's education, father's education, mother's occupation, father's occupation, regio n of residence and family economic status. While the dependent variable was the incidence of stunting. The instrument used in this study is a questionnaire of Riskesdas 2010. The data obtained was then performed in statistical tests with chi-square formula.

The results showed that toddlers who stunted are 56.36%, while the other 43.63% are normal. A total of 58.22% of the toddlers have less energy intake, while another 41.77% having sufficient energy intake. 51.70% of toddlers have enough protein and the rest still has less protein intake. A total of 51.59% are female toddlers, while the remaining toddlers are male. Toddlers born with low birth weight are 8.62%, while the rest were born with normal weight. A total of 72.06% of the children come from large families, the rest comes from a small family. Most of the toddler's mother was poorly educated, just as much as 33.13% with high education. Fathers with low education are 71.51%, the rest is highly educated. A total of 66.8% of toddlers’ mothers are housewives, and the remaining mothers are working. A total of 97.03% toddler's father are working, the rest are unemployed. 41.77% of the toddlers living in urban areas, the


(6)

v

Keywords : malnutrition, stunting, toddler Reading lists : 90 (1985 - 2012)


(7)

vi

Judul Skripsi

GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR KEJADIAN STUNTING PADA BALITA

USIA 24-59 BULAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2010 (ANALISIS DATA SEKUNDER RISKESDAS 2010)

Telah diperiksa, disetujui, dan dipertahankan dihadapan Tim Penguji Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Disusun Oleh:

SHELLA MONICA D ALIMUNTHE NIM. 108101000024

Jakarta, April 2015 Mengetahui

Pembimbing I Pembimbing II

Raihana Nadra Alkaff, SKM, MMA Ratri Ciptaningtyas, S.Sn.Kes


(8)

vii

UNIVERSITAS ISLAM NEGRISYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Jakarta, April 2015 Mengetahui

Penguji I

Catur Rosidati, MKM

Penguji II

Narila Mutia Nasir, Ph.D

Penguji III


(9)

viii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Shella Monica Dalimunthe Tempat/Tgl Lahir : Jakarta, 10 Juni 1990 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jl. Kuningan No. 99B RT 05/RW 01 Cempaka Putih Ciputat Timur, Tangerang Selatan, 15412.

No Telp / Hp : (021) 93827650/ 085697690476 Email : shella.monica10@gmail.com

II. PENDIDIKAN

1995 – 1996 : TK Cressendo

1996 – 2002 : SD Negeri Situ Gintung 1 2002 – 2005 : SMP Negeri 178 Jakarta 2005 – 2008 : SMA Negeri 29 Jakarta

2008 – 2014 : Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Kedokteran dan Ilmu kesehatan, Program Studi Kesehatan Masyarakat


(10)

ix

Assalamu’alaikum Wr.wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat yang tak terhinggackepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Kemudian tak lupa shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, semoga kita semua mendapatkan syafa’at dan pertolongannya di yaumil qiyamah nanti.

Skripsi dengan judul “Gambaran Faktor-faktor Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 (Analisis Data Sekunder Riskesdas 2010” ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) pada program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, motivasi dan semangat dari banyak pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan ungkapan dan rasa terima kasih yang tak terhingga ini kepada:

1. Mama dan Papa tercinta yang selalu memberikan segala duk ungan, doa dan perhatian kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

2. Bapak Prof. Dr. (hc). Dr. M.K. Tadjudin, Sp. And, selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Ir. Febrianti, M.Si, selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat. 4. Ibu Catur Rosidati, SKM, MKM selaku Sekretaris Program Studi Kesehatan

Masyarakat.

5. Ibu Raihana Nadra Alkaff, SKM, MMA selaku dosen pembimbing I yang telah dengan sabar memberikan ilmu, bimbingan, pengarahan, motivasi, tuntunan dan meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan yang luar biasa kepada penulis.sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 6. Ibu Ratri Ciptaningtyas, S.Sn.Kes, MHS selaku dosen pembimbing II yang

banyak meluangkan waktunya untuk berdiskusi dengan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dan memberikan ilmu- ilmu baru, semoga Allah SWT mencatat segala amal kebaikannya sebagai ibadah.

7. Ibu DR. Ela Laelasari, SKM, M.kes selaku dosen pembimbing akademik. 8. Para dosen program studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta yang telah membimbing serta memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis.


(11)

x

9. Bapak Ahmad Gozali dan Bapak Azib selaku bagian akademik, terima kasih atas bantuannya dalam pembuatan surat-surat untuk penelitian ini.

10.Para Staf Balitbangkes Kementerian Kesehatan, terima kasih atas kepercayaannya dalam memberikan data Riskesdas 2010 sehingga penulis dapat menyusun skripsi ini.

11.Teman-teman seperjuangan–STOOPELTH 2008, kakak-kakak, serta adik-adik kelasku yang selalu memberikan motivasi dan semangat kepada penulis. 12.Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penulisan skripsi ini yang

tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih banyak.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih kurang dar i sempurna, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi kemajuan dimasa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin Wassalamu’alaikum wr. wb.

Jakarta, Mei 2015 Shella Monica Dalimunthe


(12)

xi

LEMBAR PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ………. ii

ABSTRACT ……….. iv

PER YATAAN PERSETUJUAN ... vi

PANITIA SIDANG ... vii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ………. viii

KATA PENGAN TAR ……….. ix

DAFTAR ISI ………. xi

DAFTAR TABEL………. xiv

DAFTAR GRAFIK ……… xv

DAFTAR BAGAN ………. xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Pertanyaan Penelitian ... 7

1.4 Tujuan Penelitian ... 8

1.4.1 Tujuan Umum ... 8

1.4.2 Tujuan Khusus ... 8

1.5 Manfaat Penelitian ... 8

1.5.1 Manfaat Teoritis ... 8

1.5.2 Manfaat Aplikatif ... 9

1.6 Ruang Lingkup ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stunting Pada Balita ... 10

2.2 Penilaian Status Gizi ...………. ... 18

2.2.1 Pengukurang Antropometri ... 18

2.2.1.1 Pengukuran Antropometri Pada Balita ……… 18

2.2.1.2 Parameter Antropometri ……….. 18

2.2.1.3 Indeks Antropometri ………... 19

2.2.2 Klasifikasi Status Gizi ………. 22

2.3 Pengukuran Asupan Makanan ... 23

2.3.1 24-hour food recall ... 23

2.3.2 Food Frequency Questionnaire (FFQ) ... 26

2.3.3 Estimated Food Record ... 28

2.3.4 Dietary History (Riwayat Konsumsi Makanan) ... 29

2.4 Pertumbuhan dan Perkembangan Balita... 30

2.4.1 Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangan ... 30

2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stunting Pada Balita ... 31


(13)

xii

2.5.2 Asupan Protein ... 33

2.5.3 Jenis kelamin ... 34

2.5.4 Berat Lahir ... 35

2.5.5 Jumlah Anggota Rumah Tangga ……… 36

2.5.6 Pendidikan Ibu ……... 38

2.5.7 Pendidikan Ayah ……… 40

2.5.8 Pekerjaan Ibu ... 41

2.5.9 Pekerjaan Ayah ……….. 42

2.5.10 Wilayah Tempat Tinggal …... 43

2.5.11 Status Ekonomi Keluarga... 45

2.6 Kerangka Teori ... 47

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASION AL, HIPOTESIS 3.1 Kerangka Konsep ... 48

3.2 Definisi Operasional ... 50

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian ... 53

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 53

4.3 Populasi dan Sampel ... 54

4.3.1 Populasi ... 54

4.3.2 Sampel ... 54

4.4 Pengumpulan Data ... 56

4.4.1 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ... 56

4.4.2 Instrument Penelitian ... 56

4.4.3 Asupan Energi dan Protein ………. 57

4.4.4 Berat Lahir ………. 58

4.4.5 Jenis Kelamin Balita ……….. 58

4.4.6 Pendidikan Ayah dan Ibu (Orang Tua) ………. 58

4.4.7 Status Bekerja Ayah dan Ibu (Orang Tua)………. 59

4.4.8 Tingkat Ekonomi Keluarga ……… 60

4.4.9 Jumlah Anggota Keluarga ……….. 60

4.4.10 Wilayah Tempat Tinggal ………. 61

4.5 Pengolahan Data ... 61

4.5.1 Pembersihan Data (Data Cleaning) ... 61

4.5.2 Transformasi Data/Recode ... 61

4.6 Analisis Data ... 62

4.6.1 Analisis Deskriptif (Univariat) ... 62

BAB V HASIL 5.1 Analisis Univariat ………... 63

5.1.1 Gambaran Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat ……… 63


(14)

xiii

Nusa Tenggara Barat ……….. 65 5.1.4 Gambaran Jenis Kelamin Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa

Tenggara Barat ……… 67

5.1.5 Gambaran Berat Lahir Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa

Tenggara Barat ……… 68

5.1.6 Gambaran Jumlah Anggota Keluarga Balita Usia 24-59 Bulan di

Provinsi Nusa Tenggara Barat ……… 70 5.1.7 Gambaran Pendidikan Ibu Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa

Tenggara Barat ……… 71

5.1.8 Gambaran Pendidikan Ayah Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa

Tenggara Barat ……… 73

5.1.9 Gambaran Pekerjaan Ibu Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa

Tenggara Barat ……… 74

5.1.10 Gambaran Pekerjaan Ayah Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa

Tenggara Barat ……… 76

5.1.11 Gambaran Wilayah Tempat Tinggal Balita Usia 24-59 Bulan di

Provinsi Nusa Tenggara Barat ……… 77 5.1.12 Gambaran Status Ekonomi Keluarga Balita Usia 24-59 Bulan di

Provinsi Nusa Tenggara Barat ……… 79 BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian ………... 81

6.2 Gambaran StuntingPada Balita ………... 82 6.3 Gambaran Asupan Energi dengan Kejadian Stunting pada Balita ………….. 84 6.4 Gambaran Asupan Protein dengan Kejadian Stunting pada Balita …………. 87 6.5 Gambaran Jenis Kelamin dengan Kejadian Stunting pada Balita ……… 89 6.6 Gambaran Berat Lahir dengan Kejadian Stunting pada Balita ……… 92 6.7 Gambaran Jumlah Anggota Rumah Tangga dengan Kejadian Stunting pada

Balita ……… 93

6.8 Gambaran Pendidikan Ibu dengan Kejadian Stunting pada Balita ………….. 95 6.9 Gambaran Pendidikan Ayah dengan Kejadian Stunting pada Balita ………… 98 6.10 Gambaran Pekerjaan Ibu dengan Kejadian Stunting pada Balita ……… 100 6.11 Gambaran Pekerjaan Ayah dengan Kejadian Stunting pada Balita…………. 102 6.12 Gambaran Wilayah Tempat Tinggal dengan Kejadian Stunting pada Balita.. 103 6.13 Gambaran Status Ekonomi Keluarga dengan Kejadian Stunting pada Balita... 105 BAB VII PEN UTUP

7.1 Simpulan ……….. 108

7.2 Saran ……… 109

DAFTAR PUSTAKA ... 112 LAMPIRAN


(15)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi Penilaian Tingkat Kekurangan Gizi Anak-anak

dibawah Usia 5 Tahun ………... 13

Tabel 2.2 Klasifikasi Status Gizi ……….. 22

Tabel 3.1 Definisi Operasional ... 50

Tabel 4.1 Daftar Variabel dan Kuisioner dalam Riskesdas 2010 ... 57

Tabel 4.2 Kode Variabel Pendidikan dalam Riskesdas 2010 …………... 58

Tabel 4.3 Kode Variabel Pekerjaan dalam Riskesdas 2010 ……… 59

Tabel 5.1 Gambaran Kejadian Stunting berdasarkan Asupan Energi pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010………. 65

Tabel 5.2 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Asupan Protein pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ……….. 67

Tabel 5.3 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Jenis Kelamin pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ... 68

Tabel 5.4 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Berat Lahir pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ….. 70

Tabel 5.5 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ………... 71

Tabel 5.6 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Pendidikan Ibu pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ……….. 73

Table 5.7 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Pendidikan Ayah pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ………... 74

Tabel 5.8 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Pekerjaan Ibu pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ... 76

Tabel 5.9 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Pekerjaan Ayah pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ………... 77

Tabel 5.10 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Wilayah Tempat Tinggal pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ………... 79

Tabel 5.11 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Status Ekonomi Keluarga pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ………... 80


(16)

xv

Grafik 5.1 Gambaran Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan di

Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ………... 63 Grafik 5.2 Gambaran Asupan Energi Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi

Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ………... 64 Grafik 5.3 Gambaran Asupan Protein Pada Balita Usia 24-59 Bulan di

Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ………... 66 Grafik 5.4 Gambaran i Jenis Kelamin Pada Balita Usia 24-59 Bulan di

Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ... 67 Grafik 5.5 Gambaran Berat Lahir Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi

Nusa Tenggara Barat Tahun 2010………... 69 Grafik 5.6 Gambaran Jumlah Anggota Keluarga Pada Balita Usia 24-59 Bulan

di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ………. 70 Grafik 5.7 Gambaran Pendidikan Ibu Pada Balita Usia 24-59 Bulan di

Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ………... 72 Grafik 5.8 Gambaran Pendidikan Ayah Pada Balita Usia 24-59 Bulan di

Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ………... 73 Grafik 5.9 Gambaran Pekerjaan Ibu Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi

Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ………... 75 Grafik 5.10 Gambaran Pekerjaan Ayah Pada Balita Usia 24-59 Bulan di

Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ………... 76 Grafik 5.11 Gambaran Wilayah Tempat Tinggal Pada Balita Usia 24-59 Bulan

di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ………... 78 Grafik 5.12 Gambaran Wilayah Status Ekonomi Keluarga Pada Balita Usia


(17)

xvi

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Kerangka Teori ……….. ... 47 Bagan 3.1 Kerangka Konsep ………... 49


(18)

1 1.1 Latar Belakang

Masalah gizi merupakan penyebab sepertiga kematian pada anak. Berinvestasi pada kesehatan anak, sama halnya dengan berinvestasi pada kemajuan suatu negara (Hunt, 2001). Masa ketika anak berada di bawah umur lima tahun (balita) merupakan masa kritis dari perkembangan dan pertumbuhan dalam siklus hidup manusia. Anak mengalami pertumbuhan fisik yang paling pesat dan masa ini juga disebut masa emas perkembangan otak. Oleh karena itu, baik buruknya status gizi balita akan berdampak langsung pada pertumbuhan dan perkembangan kognitif dan psikomotoriknya (Boggin, 1999).

Bila dibandingkan dengan pertumbuhan berdasarkan standar WHO, adanya 178 juta anak di dunia yang terlalu pendek berdasarkan usia membuat stunting menjadi indikator kunci dari kekurangan gizi kronis. Seperti pertumbuhan yang melambat, perkembangan otak tertinggal dan sebagai hasilnya anak-anak stunting lebih mungkin mempunyai daya tangkap yang rendah (WHO, 2011).

Kebanyakan kasus gangguan pertumbuhan terjadi pada masa-masa awal kehidupan manusia (Brown and Begin, 1993 dalam Semba and Bloem, 2001). Pada kenyataannya, terbukti bahwa hampir semua gangguan pertumbuhan anak di negara berkembang terjadi pada dua hingga tiga tahun pertama kehidupan (De Onis a nd blossner, 1997 dalam Semba and Bloem, 2001).

Pemberian makan yang tidak tepat mengakibatkan cukup banyak anak yang menderita kurang gizi. Femomena gagal tumbuh atau growth faltering pada anak


(19)

2

Indonesia mulai terjadi pada usia 4-6 bulan ketika bayi yang diberikan makanan tambahan dan terus memburuk hingga usia 18-24 bulan. Kekurangan gizi memberi kontribusi dua pertiga kematian balita. Dua pertiga kematian tersebut terkait praktek pemberian makanan yang tidak tepat pada bayi dan anak usia dini. (WHO/UNICEF, 2003).

Hingga saat ini, gizi kurang pada balita juga masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk Indonesia. Beberapa masalah kekurangan gizi pada balita dapat diketahui melalui beberapa indikator. Indikator tersebut diantaranya berat kurang atau underweight jika dilihat dari berat badan menurut umur (BB/U), pendek atau stunting jika dilihat dari tinggi badan menurut umur (TB/U) dan kurus atau

wasting jika dilihat dari berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Dalam hal ini, berat kurang dan kurus merupakan dampak masalah kekurangan gizi yang bersifat akut, sedangkan pendek merupakan manifestasi kekurangan gizi yang bersifat kronis (Kementrian Kesehatan, 2010).

Stunting pada balita biasanya kurang disadari karena perbedaan tinggi badan dengan anak usia normal kurang begitu terlihat. Stunting biasanya mulai terlihat ketika anak memasuki masa pubertas atau masa remaja. Ini merupakan hal yang buruk karena semakin terlambat disadari, maka semakin sulit pula untuk mengatas i stunting. (Hendricks, 2005 dalam Candra, 2011).

Berdasarkan hasil Riskesdas 2010, prevalensi balita pendek (stunting) secara nasional adalah sebesar 35,6% yang berarti terjadi penurunan dari keadaan tahun 2007 dimana prevalensi kependekan sebesar 46,8%. Prevalensi kependekan sebesar 35,6%


(20)

terdiri dari 18,4% sangat pendek dan 17,1% pendek. Bila dibandingkan dengan keadaan tahun 2007, prevalensi balita sangat pendek turun dari 18,8% pada tahun 2007 menjadi 18,5% pada tahun 2010. Sedangkan prevalensi pendek menurun dari 18,0% pada tahun 2007 menjadi 17.1% pada tahun 2010. Sebanyak 15 Provinsi memiliki prevalensi kependekan di atas angka prevalensi nasional. Urutan ke 15 Provinsi tersebut dari yang memiliki prevalensi tertinggi sampai terendah adalah: (1) Nusa Tenggara Timur, (2) Papua Barat, (3) Nusa Tenggara Barat, (4) Sumatera Utara, (5) Sumatera Barat, (6) Sumatera Selatan, (7) Gorontalo, (8) Kalimantan Barat, (9) Kalimantan Tengah, (10) Aceh, (11) Sulawesi Selatan, (12) Sulawesi Tenggara, (13) Maluku, (14 ) Lampung, (15) Sulawesi Tengah.

Berdasarkan usia balita, kejadian stunting banyak terdapat pada balita usia 24 hingga 59 bulan. Dari data Riskesdas 2010 beberapa provinsi dengan jumlah kejadian balita stunting tertinggi menunjukkan bahwa kejadian balita stunting banyak terdapat pada rentang usia tersebut. Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) juga merupakan salah satu Provinsi yang memiliki prevalensi stunting diatas prevalensi nasional. Provinsi NTB mengalami peningkatan angka stunting pada balita. Prevalensi balita sangat pendek meningkat dari 23,8% pada tahun 2007 menjadi 27,8% pada tahun 2010. Sedangkan prevalensi balita pendek pada tahun 2007 sebesar 19,9% menjadi 20,5% pada tahun 2010.

Gizi buruk kronis (stunting) tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja tetapi disebabkan oleh banyak faktor, dimana faktor- faktor tersebut saling berhubungan satu dengan lainnya, ada tiga faktor utama penyebab stunting yaitu asupan makanan yang


(21)

4

tidak seimbang (berkaitan dengan kandungan zat gizi dalam makanan yaitu karbohidrat, protein, lemak, mineral, vitamin dan air), riwayat berat badan lahir rendah (BBLR), dan riwayat penyakit.

Secara garis besar penyebab stunting dapat dikelompokkan kedalam 3 tingkatan yaitu tingkat masyarakat, rumah tangga (keluarga), dan individu. Pada tingkat masyarakat, sistem ekonomi; sistem pendidikan; sistem kesehatan dan sistem sanitasi dan air bersih menjadi faktor penyebab kejadian stunting. Pada tingkat rumah tangga (keluarga), kualitas dan kuantitas makanan yang tidak memadai; tingkat pendapatan; jumlah dan struktur anggota keluarga; pola asuh makan anak yang tidak memadai; pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai; dan sanitasi dan air bersih tidak memadai menjadi faktor penyebab stunting, dimana faktor- faktor ini terjadi akibat faktor pada tingkat masyarakat. Faktor penyebab yang terjadi di tingkat rumah tangga akan mempengaruhi keadaan individu yaitu anak berumur dibawah 5 tahun dalam hal asupan makanan menjadi tidak seimbang; berat badan lahir (BBLR); dan status kesehatan yang buruk (Unicef framework).

Buruknya status gizi balita ini merupakan konsekuensi dari interaksi berbagai faktor determinan yang berhubungan dengan akses pada pangan, kelayakan tempat tinggal dan akses pelayanan kesehatan (Semba and Bloem, 2001). Penelitian menunjukkan bahwa stunting berhubungan dengan tingkat pendidikan orangtua, berat lahir, umur balita, jenis kelamin dan lokasi tempat tinggal. Selain itu, stunting pada balita juga berhubungan dengan usia ibu, pendidikan ibu, dan tingkat pengeluaran (status sosio-ekonomi) dalam rumah tangga (Semba et al., 2008).


(22)

Sedangkan menurut kerangka pikir UNICEF 1990, disamping faktor makanan, faktor infeksi juga turut mempengaruhi. Ayaya SO (2004) dan Hautvast JL (2000) dalam Ramli (2009) menyebutkan bahwa pada penelitian sebelumnya menunjukkan

Intelligence Quotient (IQ) yang rendah, tinggi badan ibu, jenis kelamin laki- laki, tingkat pendidikan ayah dan ibu, kemiskinan, status sosioekonomi, tempat tinggal, perilaku merawat anak (pemberian makan dan ASI yang kurang memadai), keyakinan budaya, akses ke pelayanan kesehatan dan ekosistem lingkungan merupakan faktor- faktor yang berasosiasi dengan kejadian stunting pada balita.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder yaitu data balita yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang telah berhasil dikumpulkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) yang dibantu oleh sejumlah enumerator untuk setiap Kabupaten/Kota, seluruh penelitia Balitbangkes, dosen Poltekkes, Jajaran Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta Perguruan Tinggi pada bulan Juni sampai Juli 2010.

Masalah gizi merupakan masalah yang cukup serius di Indonesia. Banyak penelitian mengenai masalah kesehatan dan gizi yang telah dilakukan, salah satunya yaitu Riskesdas 2010. Namun hasil Riskesdas 2010 mengenai status gizi balita khususnya faktor- faktor yang berhubungan dengan kasus stunting pada balita belum dianalisis secara mendalam. Oleh karena itu penulis ingin memanfaatkan data sekunder Riskesdas 2010 tersebut untuk melihat gambaran Faktor-faktor kejadian Stunting di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Akan tetapi keadaan data Riskesdas yang digunakan


(23)

6

untuk melakukan penelitian ini kurang begitu baik dalam segi kelengkapan data, karena cukup banyak data yang missing.

Berdasarkan data yang terkumpul dari Riskesdas 2010, total balita yang berusia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat pada Tahun 2010 yaitu sebanyak 579 individu. Dari jumlah tersebut, untuk keperluan penelitian ini banyak data yang tidak lengkap, misalnya dalam satu individu sampel, satu dan/atau beberapa variabel yang dibutuhkan untuk penelitian ini tidak ada (missing) maka sampel tersebut tidak dapat digunakan untuk penelitian. Dari total 579 individu tersebut, setelah dilakukan proses

cleaning data menjadi 338 individu. Sehingga seluruh individu tersebut digunakan dalam penelitian ini.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis tertarik untuk meneliti gambaran faktor- faktor kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di provinsi NTB berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2010. Faktor-faktor yang diteliti yaitu: asupan energi, asupan protein, jenis kelamin, berat lahir, jumlah anggota rumah tangga, pendidikian ib u, pendidikan ayah, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, wilayah tempat tinggal dan status ekonomi keluarga.

1.2 Rumusan Masalah

Nusa Tenggara Barat (NTB) masuk dalam urutan ke 3 yang memiliki kasus

stunting pada balita diatas prevalensi nasional. Stunting mengindikasi masalah kesehatan masyarakat karena berhubungan dengan meningkatnya risiko morbiditas dan mortalitas, penurunan perkembangan fungsi motorik dan mental serta mengurangi kapasitas fisik


(24)

(ACC/SCN 2000). Prevalensi balita sangat pendek di NTB meningkat dari 23.8% pada tahun 2007 menjadi 27.8% pada tahun 2010. Sedangkan prevalensi balita pe ndek pada tahun 2007 sebesar 19.9% menjadi 20.5% pada tahun 2010.

Kejadian stunting di provinsi Nusa Tenggara Barat masih tinggi dan faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting di Nusa Tenggara Barat pun banyak. Selain itu, data konsumsi energi dan protein yang tersedia dalam Riskesdas 2010 hanya ada untuk balita berusia 24-59 bulan. Pada umumnya balita berusia 24 bulan sudah sapih ASI. Hal ini membuat konsumsi makanan balita benar-benar tergantung dari asupan energi dan protein. Maka dari itu data asupan energi dan protein menjadi sangat penting dalam penelitian ini. Oleh karena itu penulis ingin menganalisis gambaran faktor- faktor kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2010.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat?

2. Bagaimana gambaran balita stunting usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat berdasarkan asupan energi, asupan protein, jenis kelamin, berat lahir, jumlah anggota rumah tangga, pendidikan ibu, pendidikan ayah, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, wilayah tempat tinggal dan status ekonomi keluarga?


(25)

8

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Diketahuinya gambaran faktor- faktor kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Diketahuinya gambaran kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat.

2. Diketahuinya gambaran balita stunting usia 24-59 bulan berdasarkan asupan energi, asupan protein, jenis kelamin, berat lahir, jumlah anggota rumah tangga, pendidikan ibu, pendidikan ayah, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, wilayah tempat tinggal dan status ekonomi keluarga.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

1. Sebagai pengkayaan pengetahuan dan pengalaman praktis peneliti dibidang penelitian kesehatan masyarakat.

2. Sebagai bahan untuk penelitian lanjutan oleh peneliti lain dalam topik yang sama.

3. Sebagai tambahan referensi karya tulis yang berguna bagi masyarakat luas di bidang kesehatan masyarakat.


(26)

1.5.2 Manfaat Aplikatif

Manfaat aplikatif dari penelitian ini adalah sebagai bahan masukan dalam evaluasi kebijakan dan pengambilan keputusan terkait masalah gizi kurang pada balita oleh pemerintah pusat Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

1.6 Ruang Lingkup

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif mengenai gambaran faktor- faktor kejadian stunting pada balita usia 24-59 di Provinsi Nusa Tenggara Barat, yang dilakukan oleh mahasiswa Peminatan Gizi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hasil penelitian ini dimaksudkan sebagai masukan yang berguna bagi pengambilan keputusan dalam rangka pencarian solusi untuk menanggulangi kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study berdasarkan data hasil penelitian Riskesdas tahun 2010 yang pengolahan datanya dilaksanakan pada bulan Maret tahun 2013.


(27)

10 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stunting Pada Balita

Status gizi merupakan keadaan yang disebabkan oleh keseimbangan antara jumlah asupan zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis seperti pertumbuhan fisik, perkembangan, aktifitas dan pemeliharaan kesehatan (Jahari, 2004). Status gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan sumberdaya manusia dan kualitas hidup. Untuk itu, program perbaikan gizi bertujuan untuk meningkatkan mutu gizi konsumsi pangan, agar terjadi perbaikan status gizi masyarakat (Muchtadi, 2002). Sedangkan menurut Almatsier (2003) status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan gizi.

Kekurangan gizi terutama pada balita dapat menyebabkan meningkatnya risiko kematian, terganggunya pertumbuhan fisik dan perkembangan mental serta kecerdasan. Dampak kekurangan gizi bersifat permanen yang tidak dapat diperbaiki walaupun pada usia berikutnya kebutuhan gizinya terpenuhi. Kondisi kesehatan dan status gizi pada saat lahir dan balita sangat menentukan kondisi kesehatan pada masa usia sekolah dan remaja (Depkes, 2007).

Masa balita merupakan proses pertumbuhan yang pesat dimana memerlukan perhatian dan kasih sayang dari orang tua dan lingkungannya. Disamping itu balita membutuhkan zat gizi yang seimbang agar status gizinya baik, serta proses pertumbuhan tidak terhambat, karena balita merupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi (Santoso & Lies, 2004). Masa balita dinyatakan sebagai masa


(28)

kritis dalam rangka mendapatkan sumberdaya manusia yang berkualitas, terlebih pada periode 2 tahun pertama merupakan masa emas untuk pertumbuhan dan perkembangan otak yang optimal, oleh karena itu pada masa ini perlu perhatian yang serius (Azwar, 2004).

Stunting merupakan keadaan tubuh yang pendek dan sangat pendek sehingga mlampaui defisit -2 SD dibawah median panjang atau tinggi badan (Manary & Solomons, 2009). Stunting dapat didiagnosis melalui indeks antropometrik tinggi badan menurut umur yang mencerminkan pertumbuhan linier yang dicapai pada pra dan pasca persalinan dengan indikasi kekurangan gizi jangka panjang, akibat dari gizi yang tidak memadai dan atau kesehatan. Stunting merupakan pertumbuhan linear yang gagal untuk mencapai potensi genetik sebagai akibat dari pola makan yang buruk dan penyakit (ACC/SCN, 2000).

Stunting didefinisikan sebagai indikator status gizi TB/U sama dengan atau kurang dari minus dua standar deviasi (-2 SD) di bawah rata-rata dari standar (WHO, 2006a). Ini adalah indikator kesehatan anak yang kekurangan gizi kronis yang memberikan gambaran gizi pada masa lalu dan yang dipengaruhi lingkungan dan keadaan sosial ekonomi. Di seluruh dunia, 178 juta anak berusia kurang dari lima tahun (balita) menderita stunting dengan mayoritas di Asia Tengah Selatan dan sub-Sahara Afrika. Stunting merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di negara berpendapatan rendah dan menengah karena hubungannya dengan peningkatan risiko kematian selama masa kanak. Selain menyebabkan kematian pada masa kanak-kanak, stunting juga mempengaruhi fisik dan fungsional dari tubuh (The Lancet, 2008).


(29)

12

Stunting dan serve stunting (selanjutnya hanya disebut sebagai “stunting ”)

pada balita merupakan salah satu masalah besar yang mengancam pengembangan sumber daya manusia. Pada tahun 1995, diperkirakan angka stunting pada balita telah mencapai lebih dari 208 juta dan 206 juta diantaranya berada di negara berkembang. Lebih dari dua per tiga (72%) balita stunting berada di Asia. Pada saat ini, angka global

stunting pada balita adalah 178 juta (World Vision, 2009). Di Indonesia, tren data

stunting pada anak usia pra-sekolah cenderung tidak mengalami perubahan. Prevalensi ini bahkan mengalami kenaikan sejak tahun 1990 (Atmarita, 2005)

Pada tahun 2003, 27,5% anak balita di Indonesia menderita kurus sedang dan berat, atau hanya 10 poin persentase lebih rendah dari pada tahun 1989, dan hampir setengahnya stunting . Anak yang menderita berat lahir rendah dan stunting pada gilirannya tumbuh menjadi remaja dan orang dewasa kurang gizi, dengan demikian mengabadikan siklus kekurangan gizi (Atmarita, 2005).

Tahun 2005, untuk semua negara-negara berkembang, yang diperkirakan 32% (178 juta) anak-anak usia kurang dari 5 tahun memiliki skor TB/U dengan nilai Z Score kurang -2 (WHO, 2006c; De Onis, M. et al. 2006). Prevalensi tertinggi dalam subkawasan PBB adalah Afrika timur dan menengah masingmasing 50% dan 42%, dengan jumlah terbanyak anak-anak dipengaruhi oleh stunting, 74 juta, tinggal di Asia Tengah Selatan.

Prevalensi stunting di Asia tahun 2007 adalah 30.6 % (UNSCN, 2008). Di negara berkembang 11,6 juta kematian anak di bawah usia lima tahun, diperkirakan 6,3


(30)

juta (54%) dari kematian anak-anak dikaitkan dengan gizi buruk, yang sebagian besar disebabkan oleh kekurangan gizi (WHO, 1997).

Tabel 2.1

Klasifikasi Penilaian Tingkat Kekurangan Gizi Anak-anak dibawah Usia 5 Tahun

No. Indikator Prevalensi Kekurangan Gizi

Rendah Sedang tinggi Sangat Tinggi

1 Stunting < 20 20 - 29 30 – 39 > 40 2 Underweight < 10 10 - 19 20 – 29 > 30 3 Wasting < 5 5 - 9 10 – 14 > 15

Sumber: WHO (1997)

Stunting merupakan hasil dari kekurangan gizi kronis, yang menghambat pertumbuhan linier. Biasanya, pertumbuhan goyah dimulai pada sekitar usia enam bulan, sebagai transisi makanan anak yang sering tidak memadai dalam jumlah dan kualitas, dan peningkatan paparan dari lingkungan yang meningkatkan terkena penyakit. Terganggunya pertumbuhan bayi dan anak-anak karena kurang memadainya asupan makanan dan terjadinya penyakit infeksi berulang, yang mengak ibatkan berkurangnya nafsu makan dan meningkatkan kebutuhan metabolik (Caufield et al, 2006).

Pertumbuhan panjang secara proporsional lebih lambat daripada berat badan. Kekurangan tinggi badan cenderung terjadi lebih lambat dan pemulihan akan lebih lambat, sedangkan kekurangan berat badan bisa cepat kembali dipulihkan. Oleh karena


(31)

14

itu, kekurangan berat badan adalah sebagai proses akut dan stunting adalah proses kronis yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama (Waterlow, 1992).

Stunting didiagnosis melalui pemeriksaan antropometrik. Stunting

menggambarkan keadaan gizi kurang yang sudah berjalan lama dan memerlukan waktu bagi anak untuk berkembang serta pulih kembali. Sejumlah besar penelitian memperlihatkan keterkaitan antara stunting dengan berat badan kurang yang sedang atau berat, perkembangan motorik dan mental yang buruk dalam usia kanak-kanak dini, serta prestasi kognitif dan prestasi sekolah yang buruk dalam usia kanak-kanak lanjut (ACC/SCN, 2000).

Ada beberapa alasan mengapa stunting terjadi pada balita. Pada masa balita kebutuhan gizi lebih besar, dalam kaitannya dengan berat badan, dibandingkan masa remaja atau dewasa. Kebutuhan gizi yang tinggi untuk pertumbuhan yang pesat, termasuk pertumbuhan pada masa remaja. Dengan demikian, kesempatan untuk terjadi pertumbuhan yang gagal lebih besar pada balita, karena pertumbuhan lebih banyak terjadi (Martorell et al, 1994). Gangguan pertumbuhan linier, atau stunting , terjadi terutama dalam 2 sampai 3 tahun pertama kehidupan dan merupakan cerminan dari efek interaksi antara kurangnya asupan energi dan asupan gizi serta infeksi.

Stunting pada anak-anak dikaitkan dengan kemiskinan yang pada akhirnya terjadi tinggi dan berat badan yang kurang pada saat dewasa, mengurangi kebugaran otot dan kemungkinan juga pada saat kehamilan yang meningkatkan kejadian berat lahir rendah. Bukti menunjukkan bahwa anak-anak stunting juga lebih cenderung memiliki pendidikan rendah, tetapi tidak jelas apakah ini langsung karena faktor gizi atau


(32)

pengaruh lingkungan. Stunting pada masa kecil mungkin memiliki dampak besar pada produktivitas saat dewasa, meskipun ini adalah statistik yang sulit ditentukan (Poskitt, 2003).

Berat badan kurang yang sedang dan anak-anak yang bertubuh pendek juga memperlihatkan perilaku yang berubah. Pada anak-anak kecil, perilaku ini meliputi kerewelan serta frekuensi menangis yang meningkat, tingkat aktifitas yang lebih rendah, berkomunikasi lebih jarang, ekspresi yang tidak begitu gembira serta cenderung untuk berada didekat ibu serta menjadi lebih apatis (Henningham & McGregor, 2005).

Saat ini stunting pada anak merupakan salah satu indikator terbaik untuk menilai kualitas modal manusia di masa mendatang. Kerusakan yang diderita pada awal ke idupan, yang terkait dengan proses stunting , menyebabkan kerusakan permanen. Keberhasilan tindakan yang berkelanjutan untuk mengentaskan kemiskinan dapat diukur dengan kapasitas mereka untuk mengurangi prevalensi stunting pada anak-anak kurang dari lima tahun. Berat lahir berkontribusi mengurangi pertumbuhan anak dalam dua tahun pertama kehidupan, akan mengakibatkan stunting dalam dua tahun, yang akhirnya tergambar pada tinggi badan saat dewasa. Peningkatan fungsi kognitif dan perkembangan intelektual terkait dengan peningkatan berat lahir dan pengurangan dala m

stunting . Efek negatif berat lahir rendah pada pengembangan intelektual ditekankan pada kelompok sosial ekonomi rendah, dan dapat diatasi dengan perbaikan lingkungan (UNSCN, 2008).

Stunting pada masa kanak-kanak menyebabkan penurunan yang signifikan dari ukuran tubuh dewasa, sebagai ditunjukkan oleh tindak lanjut dari bayi Guatemala yang


(33)

16

dua dekade sebelumnya, telah terdaftar dalam program suplementasi. Salah satu satu konsekuensi utama dari ukuran tubuh dewasa dari masa kanak-kanak yang stunting

yaitu berkurangnya kapasitas kerja, yang pada akhirnya memiliki dampak pada produktivitas ekonomi (WHO, 1997).

Pola pertumbuhan ini ditandai dengan berkembangnya bayi, dan dilanjutkan dengan pertumbuhan selama remaja. Asupan makanan yang tidak memadai dalam 2 tahun pertama bertanggung jawab pada terjadinya stunting . Kurangnya proses menyusui, menyapih dan praktik pemberian makanan, infeksi dan diare juga berkontribusi (Eastwood, 2003).

Meskipun ada sedikit tindak lanjut penelitian sejak masa anak-anak hingga usia dewasa, bukti substansial menunjukkan ada hubungan antara stunting dengan kemampuan kognitif yang lambat atau kinerja sekolah pada anak-anak dari negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Sebuah analisis data longitudinal dari Filipina, Jamaika, Peru, dan Indonesia, bersama dengan data baru dari Brasil dan Afrika Selatan, menunjukkan bahwa stunting antara usia 12-36 bulan usia diperkirakan mengalami kinerja kognitif yang lebih rendah dan atau nilai yang dicapai di sekolah rendah dalam masa anak-anak (Grantham-McGregor et al, 2007).

Di Cebu, Filipina stunting pada usia 2 tahun dikaitkan dengan tertundanya masuk sekolah, sering terjadi pengulangan kelas dan tingginya angka putus sekolah, tingkat kelulusan menurun di sekolah dasar dan menengah, dan kemampuan di sekolah yang lebih rendah (Daniels & Adair, 2004).


(34)

Kegagalan pertumbuhan pada saat awal kehidupan akan menyebabkan tinggi badan pada saat dewasa kurang kecuali ada kompensasi pertumbuhan (catch-up growth) di masa anak-anak (Martorell et al., 1994). Hanya sebagian kecil dari kegagalan pertumbuhan yang dapat dikompensasi, di Senegal, ketinggian pada saat dewasa hanya sekitar 2 cm lebih pendek daripada standar meskipun stunting terjadi pada anak-anak (Coly, A. N, et al 2006).

Tinggi badan dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan selama periode pertumbuhan. Kegagalan pertumbuhan linier sebagian besar disebabkan pada periode intrauterine dan beberapa tahun pertama kehidupan dan disebabkan oleh asupan yang tidak memadai dan sering terjadi infeksi (Shrimpton et al, 2001). Tinggi badan ibu yang pendek dan gizi ibu yang buruk berhubungan dengan peningkatan risiko kegagalan pertumbuhan intrauterin (Black et al, 2008). Studi dari negara-negara berpendapatan rendah dan menengah dilaporkan bahwa tinggi badan pada saat dewasa secara positif terkait dengan panjang badan pada saat lahir. Peningkatan sebesar 1 cm panjang badan pada saat lahir dikaitkan dengan peningkatan 0,7 -1 cm tinggi badan pada saat dewasa (Gigante et al, 2009).

Hasil penelitian dari Bosch, Baqui & Ginneken (2008) mengatakan bahwa resiko menjadi stunting pada saat remaja bagi anak-anak moderately stunting adalah 1,64 kali beresiko daripada anak-anak yang tidak stunting sedangkan resiko menjadi

stunting pada masa remaja bagi anak-anak severely stunting adalah 7,40 kali beresiko daripada anak-anak yang tidak stunting .


(35)

18

2.2 Penilaian Status Gizi

2.2.1 Pengukuran Antropometri

Antropometri berasal dari kata antrophos dan metros. Antrophos memiliki arti tubuh, sedangkan metros adalah ukuran. Secara umum antropometri adalah ukuran tubuh manusia. Antropometri dalam pengertian adalah suatu sistem pengukuran ukuran dan susunan tubuh dan bagian khusus tubuh (Potter & Perry, 2006). Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhub ungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan gizi. Antropometri secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh.

2.2.1.1 Pengukuran Antropometri Pada Balita

Indikator ukuran antropometri digunakan sebagai kriteria utama untuk menilai kecukupan asupan gizi dan pertumbuhan bayi dan ba lita.

2.2.1.2 Parameter Antropometri

Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi antara beberapa parameter disebut Indeks Antropometri. Di Indonesia ukuran baku dalam negeri belum ada, maka untuk ukuran berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) digunakan baku HARVARD yang disesuaikan untuk Indonesia (100% baku Indonesia = 50 persentil baku


(36)

Harvard) dan untuk lingkar lengan atas (LILA) digunakan baku WOLANSKI.

2.2.1.3Indeks Antropometri

Indeks Antropometri untuk Balita (anak usia 2-10 tahun):

1. Berat Badan Menurut Umur (BB/U)

Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahanperubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan jumlah makanan yang dikonsumsi. Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan abnormal, terdapat 2 kemungkinan perkembangan berat badan yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat dari keadaan normal (Supariasa, 2002).

Indikator BB/U memberikan indikasi masalah gizi secara UMUM. Indikator ini tidak memberikan indikasi tentang masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun akut karena berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan. Dengan kata lain, berat badan yang rendah dapat disebabkan karena anaknya


(37)

20

pendek (kronis) atau karena diare atau penyakit infeksi lain (akut) (Kemenkes RI, 2010).

2. Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)

Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama (Supariasa, 2002).

Indikator TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama, misalnya: kemiskinan, perilaku hidup sehat dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek (Kemenkes RI, 2010)

3. Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB)

Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan berat badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk


(38)

menilai status gizi saat ini (Supariasa, 2002). Dari berbagai jenis indeks tersebut, untuk menginterpretasikan dibutuhkan ambang batas, penentuan ambang batas diperlukan kesepakatan para ahli gizi. Ambang batas dapat disajikan kedalam 3 cara yaitu persen terhadap median, persentil, dan standar deviasi unit.

Indikator BB/TB dan IMT/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama (singkat), misalnya: terjadi wabah penyakit dan kekurangan makan (kelaparan) yang mengakibatkan anak menjadi kurus. Disamping untuk identifikasi masalah kekurusan dan indikator BB/TB dan IMT/U dapat juga memberikan indikasi kegemukan. Masalah kekurusan dan kegemukan pada usia dini dapat berakibat pada rentannya terhadap berbagai penyakit degeneratif pada usia dewasa (Teori Barker) (Kemenkes RI, 2010).

4. Lingkar Lengan Atas Menurut Umur (LLA/U)

Menurut data baku WHO-NCHS indeks BB/U, TB/U dan BB/TB disajikan dalan dua versi yakni persentil (persentile) dan skor simpang baku (standar deviation score = Z). Menurut Waterlow, et al, gizi anak-anak dinegara- negara yang populasinya relative baik (well-nourished), sebaiknya digunakan “presentil”,


(39)

22

sedangkan dinegara untuk anak-anak yang populasinya relative kurang (under nourished) lebih baik menggunakan skor simpang baku (SSB) sebagai persen terhadap median baku rujukan (Djumadias Abunaim,1990).

Pengukuran Skor Simpang Baku (Z-score) dapat diperoleh dengan mengurangi Nilai Induvidual Subjek (NIS) dengan Nilai Median Baku Rujukan (NMBR) pada umur yang bersangkutan, hasilnya dibagi dengan Nilai Simpang Baku Rujukan (NSBR). Atau dengan menggunakan rumus :

2.2.2 Klasifikasi Status Gizi

Klasifikasi Status Gizi dijelaskan dalam tabel berikut ini:

Tabel 2.2 Klasifikasi Status Gizi

INDEKS STATUS GIZI Z Score

Berat Badan menurut Umur (BB/U)

Gizi Buruk < -3 SD

Gizi Kurang ≥ -3 SD sampai dengan < -2 SD Gizi Baik ≥ -2 SD sampai dengan ≤ -2 SD Gizi Lebih > 2 SD

Tinggi Badan menurut Umur Sangat Pendek < -3 SD

Z-score = (NIS-NMBR) / NSBR


(40)

(TB/U) Pendek ≥ -3 SD sampai dengan < -2 SD Normal ≥ -2 SD

Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB)

Sangat Kurus < -3 SD

Kurus ≥ -3 SD sampai dengan < -2 SD Normal ≥ -2 SD sampai dengan ≤ -2 SD Gemuk > 2 SD

Gabungan Indikator BB/U dan TB/U

Pendek-Kurus TB/U < -2 SD dan BB/TB < -2 SD Pendek-Normal TB/U < -2 SD dan BB/TB antara -2

SD hingga 2 SD

Pendek-Gemuk TB/U < -2 SD dan BB/TB > 2 SD TB Normal-Kurus TB/U ≥ -2 SD dan BB/TB < -2 SD

Sumber: Kementrian Kesehatan, 2010.

2.3 Pengukuran Asupan Makan

2.3.1 24-hour food recall

Prinsip metode recall 24 jam dilakukan dengan mencatata jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Dalam metode ini, respoden, ibu atau pengasuh (bila anak masih kecil) disuruh menceritakan semua yang dimakan dan diminum selama 24 jam yang lalu (kemarin). Biasanya dimulai sejak ia bangun pagi kemarin sampai dia istirahat tidur malam harinya, atau dapat juga dimulai


(41)

24

dari waktu saat dilakukan wawancara mundur kebelakang sampai 24 jam penuh (Supariasa, 2001).

Pada metode ini subjek atau responden diwawancarai oleh petugas yang sebelumnya sudah dilatih untuk melakukan wawancara food recall. Hasil wawancara ini dapat menggambarkan konsumsi makanan yang sebenarnya oleh subjek tersebut (Gibson, 2005).

Meskipun demikian, sekali wawancara saja tidak cukup untuk menggambarkan konsumsi makanan subjek. Oleh karena itu, pada metode food recall diperlukan beberapa kali wawancara pada hari yang berbeda untuk dapat mengetahui objektivitas konsumsi makanan subjek (Gibson, 2005). Hari yang dipilih untuk melakukan food recall juga seharusnya tidak berurutan, jika hal tersebut memingkinkan. Pada memperkirakan konsumsi individu dalam jangka panjang, misalnya tahunan, food recall juga sebaiknya dilakukan beberapa kali pada musim yang berbeda (Bearon et al. 1979; Basiotis et al., 2002 dalam Gibson, 2005). Jika tidak memungkinkan untuk mengulang food recall,

setidaknya harus dilakukan pengulangan pada 5-15% subsampel untuk memberikan gambaran konsumsi populasi yang valid (Gibson, 2005). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa minimal 2 kali recall 24 jam tanpa berturut-turut, dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang intake harian individu (Sanjur, 1997 dalam Supariasa, 2001).


(42)

Food recall dilakukan dengan cara meminta subjek untuk menyebutkan makanan dan minuman apa saja yang telah dikonsumsi selama 24 jam sebelum dilakukan wawancara. Dalam hal ini, subjek diminta untuk menggambarkan informasi secara detail mengenai kuantitas, cara memasak, bahkan memperkirakan makanan dan minuman yang dikonsumsi, jika memungkinkan (Gibson and Ferguson, 1999 dalam Gibson, 2005).

Hal penting yang perlu diketahui bahwa dengan recall 24 jam data yang diperoleh cenderung bersifat kualitatif. Oleh karena itu, untuk mendapatkan data kuantitatif, maka jumlah konsumsi makanan indivdu ditanyakan secara teliti dengan menngunakan alat Ukuran Rumah Tangga (URT) seperti sendok, gelas, piring, dan lain- lain atau ukuran lainnya yang biasa dipergunakan sehari- hari (Supariasa, 2001). Akan tetapi, akan lebih baik lagi jika petugas menggunakan food models untuk mengkur kuantitas konsumsi subjek (Gibson and Ferguson, 1999 dalam Gibson, 2005).

Terdapat keuntungan dan kerugian dalam penggunaan metode ini. keuntungan recall 24 hour diantaranya adalah beban responden ringan, biaya murah, mudah, cepat dalam pelaksaaan dan cocok digunakan untuk responden yang buta huruf, dapat memberikan gambaran nyata yang benar-benar dikonsumsi ndividu sehingga dapat dihitung intake zat gizi sehari (Supariasa, 2001).


(43)

26

Kerugiannya, metode ini sangat bergantung pada ingatan responden, sehingga hasil selanjutnya akan kurang baik jika digunakan untuk responden dari kalangan orang lanjut usia dan anak-anak. Selain itu, adanya kesalahan responden dalam memperkirakan porsi makanan juga sering terjadi, tetapi hal ini dapat diminimalisasikan dengan menggunakan food model untuk membantu responden (Gibson, 1993). Disamping itu kekurangan lain dari metode recall 24 jam adalah tidak dapat menggambarkan asupan makanan sehari-hari jika hanya dilakukan recall satu hari, adanya the flat slope syndrome yaitu kecenderungan bagi responden yang kurus untuk melaporkan konsumsinya lebih banyak (over estimate) dan responden yang gemuk cenderung lapornkan konsumsinya lebih sedikit (under estimate) (Supariasa, 2001).

2.3.2 Food Fre quency Questionnaire (FFQ)

Metode FFQ pada awalnya digunakan untuk memperoleh informasi deskriptif secara kualitatif mengenai pola konsumsi makanan. Dengan adaya pengembangan bentuk kuesioner untuk memperkirakan porsi makanan, metode ini telah menjadi semi-kualitatif (Gibson, 2005). Metode ini dilakukan dengan menilai frekuensi makanan atau kelompok makanan tertentu yang dikonsumsi selama periode waktu yang spesifik, misalnya harian, mingguan, bulanan atau tahunan (Gibson, 1993).


(44)

Penilaian dengan metode FFQ dilakukan dengan me nggunakan kuesioner. Kuesioner terdiri atas 2 komponen yaitu daftar makanan dan satu set jawaban kategori frekuensi konsumsi makanan. Daftar makanan berisi daftar makanan tertentu atau daftar kelompok makanan, atau makanan yang dikonsumsi khusus pada waktu-waktu tertentu (Anderson, 1986 dalam Gibson, 1993).

Keuntungan metode ini adalah tingkat respon yang tinggi dan beban responden rendah, cepat, relatif tidak mahal dan dapat menilai kebiasaan konsumsi makanan. Selain itu, metode ini juga dapat dilakukan oleh hasil yang terstandarisasi (howarth, 1990 dalam Gibson, 1993). Dengan metode ini responden juga dapat melakukannya sendiri tanpa bantuan dari petugas, petugas yang bertugas tidak membutuhkan latihan khusus. Metode ini juga dapat membantu untuk menjelaskan hubungan antara penyakit dan kebiasaan makan (Supariasa, 2001).

Disamping kelebihan-kelebihan diatas, terdapat juga beberapa kekurangan yaitu metode ini tidak dapat untuk menghitung intake zat gizi sehari, sulit untuk emengembangkan kuesioner pengumpula n data. Selain itu metode ini juga cukup menjemukan bagi pewawancara. Responden juga harus jujur dan mempunyai motivasi yang tinggi, serta perlu membuat percobaan pendahuluan untuk menentukan jenis bahan makanan yang akan masuk dalam daftar kuesioner (Supariasa, 2001).


(45)

28

2.3.3 Estimated Food Record

Pada metode ini, responden diminta untuk mencatat semua jenis makanan dan minuman, termasuk snack yang dikonsumsi dengan mengunakan ukuran rumah tangga, selama periode yang telah ditentukan. Informasi detil mengenai makanan dan minuman yang dikonsumi (termasuk nama merek), serta metode persiapan dan pengolahan makanan juga harus dicatata. Jika memungkinkan, pencatatan mengenai bahan mentah yang digunakan untuk pembuatan makanan, serta hasil akhirnya (ketika sudah matang) juga dilakukan (Dufour et al, 1999 dalam Gibson, 2005).

Perkiraan ukuran atau porsi makanan dapat dilakukan oleh responden dengan menggunakan ukuran rumah tangga (misalnya, satu cangkir, satu sendok makan, satu mangkok dan sebagainya). Jumlah hari dalam pelaksaan food record bervariasi, tergantung dari tujuan studi yang dilakukan.

Langkah- langkah pelaksanaan food record yaitu: (1) Responden mencatat makanan yang dikonsumsi dalam URT atau gram (nama masakan, cara persiapan dan pemasakan dalam makanan), (2) Petugas memperkirakan/estimasi URT ke dalam ukuran berat (gram) untuk bahan makanan yang dikonsumsi tadi, (3) Menganalisis bahan makanan kedalam zat gizi dengan DKBM, (4) Membandingkannya dengan AKG (Supariasa, 2001).


(46)

2.3.4 Dietary History (Riwayat Konsumsi Makanan)

Metode ini bersifat kualitatif karena memberikan gambaran pola konsumsi berdasarkan pengamatan dalam waktu yang cukup lama, bisa 1 minggu, 1 bulan atau 1 tahun (Supariasa, 2001). Tujuan metode dietary history atau riwayat konsumsi makanan adalah untuk mendapatkan informasi retrospektif atas makanan yang biasa dikonsumsi oleh seseorang dalam periode waktu yang bervariasi. Periode waktu yang dimaksud dapat mencakup bulan sebelumnya, 6 bulan sebelumnya atau terkadang bahkan tahun sebelumnya (Challmer et al, 1985 dalam Gibson, 1993). Riwayat konsumsi makanan biasanya dilaksanakan dalam durasi waktu kurang lebih 1,5-2 jam (Gibson, 1993).

Metode ini terdiri dari tiga komponen, yaitu (1) Wawancara (termasuk recall 24 hour), yang mengumpulkan data tentang apa saja yang dimakan responden selama 24 jam terakhir dan mendapatkan gambaran umum pola asupan makanan, (2) Penggunaan dari sejumlah bahan makanan dengan memberikan daftar (check list) yang sudah disiapkan, untuk mengklarifikasi jenis dan jumlah makanan pada recall 24 hour, (3) Pencatatan konsumsi selama 2-3 hari sebagai cek ulang (Burke, 1947 dalam Supariasa, 2001).

Terdapat keuntungan dan kerugian dalam menggunakan metode ini. keuntungan metode ini adalah dapat diperolehnya gambaran atau informasi konsumsi makanan sehari-hari dengan beban respoden yang


(47)

30

relatif lebih rendah daripada metode food record. Sedangkan kerugian dari metode ini yaitu, metode ini sangat bergantung pada ingatan responden dan kemampuan responden dalam mengingat porsi makana n dengan benar, sehingga merode ini kurang cocok dipakai untuk usia dibawah 14 tahun (Cameron and Van Staveren, 1988 dalam Gibson, 1993).

2.4 Pertumbuhan dan Perkembangan Balita

2.4.1 Pengertian Pe rtumbuhan dan Pe rkembangan

Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan perubahan dalam besar, jumlah, ukuran dan fungsi tingkat sel, organ maupun individu, yang diukur dengan ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang dan keseimbangan metabolic (retensi kalsium dan nitrogen tubuh). Menurut Jelliffe D.B (1989) dalam Supariasa (2001) pertumbuhan adalah peningkatan secara bertahap dari tubuh, organ dan jaringan dari masa konsepsi sampai remaja.

Perkembangan (development) adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan sebagai hasil proses pematangan. Ada pula yang mendefenisikan bahwa perkembangan adalah penampilan kemampuan (skill) yang diakibatkan oleh kematangan sistem saraf pusat, khususnya di otak. Mengukur perkembangan tidak dapat dengan menggunakan antropometri, tetapi pada anak yang sehat perkembangan searah (parallel) dengan pertumbuhannya.


(48)

Perkembangan meyangkur adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing- masing dapat memenuhi fungsi didalamnya termasuk pula perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dangan lingkungannya.

Pertumbuhan yang optimal sangat dipengaruhi oleh potensi biologisnya. Tingkat pencapaian fungsi bologis seseorang merupakan hasil interaksi berbagai faktor yang saling berkaitan yaitu: faktor genetic, lingkungan “bio -fisiko-psikososial”, dan perilaku. prose situ sangat kompleks dan unik, dan hasil akhirnya berbeda-beda dan memberikan ciri pada setiap anak.

2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stunting pada Balita 2.5.1 Asupan Energi

Pemilihan dan konsumsi makanan yang baik akan berpengaruh pada terpenuhinya kebutuhan gizi sehari- hari untuk menjalankan dan menjaga fungsi normal tubuh. Sebaliknya, jika makanan yang dipilih dan dikonsumsi tidak sesuai (baik kualitas maupun kuantitasnya), maka tubuh akan kekurangan zat- zat gizi esensial tertentu (Almatsier, 2001).

Secara garis besar, fungsi makanan bagi tubuh terbagi menjadi tiga fungsi,yaitu member energi (zat pembakar), pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh (zat pembangun), dan mengatur proses tubuh (zat pengatur). Sebagai sumber energi, karbohidrat, protein dan lemak menghasilkan energi yang diperlukan tubuh untuk melakukan aktivitas. Ketiga zat gizi ini terdapat dalam


(49)

32

jumlah yang paling banyak dalam bahan pangan yang kita konsumsi sehari- hari. Sebagai zat pengatur, makanan diperlukan tubuh untuk membentuk sel-sel baru, memelihara dan mengganti sel-sel yang rusak. Zat pembangi tersebut adalah protein, mineral dan air. Selain sebagai zat pembangun, protein, mineral dan air juga berfungsi sebagai zat pengatur. Dalam hal ini, protein mengatur keseimbangan air dalam sel. Protein juga membentuk antibody untuk menjaga daya tahan tubuh dari infeksi dan bahan-bahan asing yang masuk kedalam tubuh (Almatsier, 2001).

Langkah awal dalam mengevaluasi kegagalan pertumbuhan yang terjadi pada anak adalah dengan mengevaluasi kecukupan energi dan nutrisi yang ada pada makanan yang dikonsumsi. Asupan makanan akan berpengaruh terhadap status gizi. Status gizi akan optimal jika tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang diperlukan, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik dan otak serta perkembangan psikomotorik secara optimal (Almatsier, 2001).

Anjuran jumlah asupan energi dalam setiap tahapan umur tidaklah sama, sehingga asupan yang diperlukan balita usia dua dan empat tahun akan berbeda. Kebutuhan energi bagi anak ditentukan oleh ukuran dan komposisi tubuh, aktivitas fisik, dan tingkat pertumbuhan. Angka kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG) energi untuk balita usia 24-47 bulan adalah 1000 kkal/hari, sedangkan AKG balita usia 48-59 bulan adalah 1550 kkal/hari (WNPG VIII, 2004). Adapun batasan minimal asupan energi per hari adalah 70% dari AKG (Kementerian Kesehatan, 2010).


(50)

2.5.2 Asupan Protein

Protein berfungsi sebagai penyedia energi, tetapi juga memiliki fungsi esensial lainnya untuk menjamin pertumbuhan normal (Pipes, 1985). Sebagai sumber energi, protein menyediakan 4 kkal energi per 1 gram protein, sama dengan karbohidrat. Protein terdiri atas asam amino esensial dan non-esensial, yang memiliki fungsi berbeda-beda. Protein mengatur kerja enzim dalam tubuh, sehingga protein juga berfungsi sebagai zat pengatur. Asam amino ese nsial merupakan asam amino yang tidak dapat dihasilkan sendiri oleh tubuh sehingga harus diperoleh dari makanan (luar tubuh). Asam amino non-sesensial adalah asam amino yang dapat di produksi sendiri oleh tubuh. Meskipun demikian, produksi asam amino non-esensial bergantung pada ketersediaan asam amino esensial dalam tubuh (Almatsier, 2001).

Protein merupakan bagian kedua terbesar setelah air. Kira-kira sperlima komposisi tubuh terdiri atas protein dan separuhnya tersebar di otot, sperlima di tulang dan tulang rawan, sepersepuluh di kulit dan sisanya terdapat di jaringa lain dan cairan tubuh. Protein berperan sebagai prekusor sebagian besar koenzim, hormone, asam nukleat dan molekul- molekul yag esesial bagi kehidupan. Protein juga berperan sebagai pemelihara netralitas tubuh (sebagai buffer), pembentuk antibody, mengangkut zat- zat gizi, serta pembentuk ikatan- ikatan esensial tubuh, misalnya hormone. Oleh karena itu, protein memiliki fungsi yang khas dan tidak dapat digantikan oleh zat lain (Almatsier, 2001).


(51)

34

Anjuran jumlah asupan protein tidak sama untuk tiap tahapan umur. Angka kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG) protein balita us ia 48-59 bulan adalah 39 gram/hari (WNPG VIII, 2004). Adapun batasan minimal asupan protei perhari adalah 80% dari AKG (Kementeria n Kesehatan, 2010). Jika asupan protein tidak mencukupi, maka perumbuhan linear balita akan terhambat meskipun kebutuhan energinya tercukupi (Pipes, 1985).

2.5.3 Jenis Kelamin

Jenis kelamin menentukan besarnya kebutuhan gizi bagi seseorang sehingga terdapat keterkaitan antara status gizi dan jenis kelamin (Apriadji, 1986). Perbedaan besarnya kebutuhan gizi tersebut dipengaruhi karena adanya perbedaan komposisi tubuh antara laki- laki dan perempuan. Perempuan memiliki lebih banyak jaringan lemak dan jaringan otot lebih sedikit daripada laki- laki. Secara metabolic, otot lebih aktif jika dibandingkan dengan lemak, sehingga secara proporsional otot akan memerlukan energi lebih tinggi daipada lemak. Dengan demikian, laki- laki dan perempuan dengan tinggi badan, berat badan dan umur yang sama memiliki komposisis tubuh yang berbeda, sehingga kebutuhan energi dan gizinya juga akan berbeda (Almatsier, 2001).

Faktor budaya juga dapat mempengaruhi status gizi pada anak laki- laki dan perempuan. Pada beberapa kelompok masyarakat, perempuan dan anak perempuan mendapat prioritas yang lebih rendah dibandingkan laki- laki dan anak laki- laki dalam pengaturan konsumsi pangan. Hal tersebut mengakibatkan


(52)

perempuan dan anak perempuan merupakan anggota keluarga yang rentan terhadap pembagian pangan yang tidak merata. Bahkan, pada beberapa kasus, mereka memperoleh pangan yang disisakan setelah angota keluarga prima makan (Soehardjo, 1989).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa presentase gizi kurang pada balita perempuan lebih tinggi (17,9%) dibandingkan dengan balita laki- laki (13.8%) (Suyadi, 2009). Penelitian lain menunjukkan bahwa presentasi kejadian stunting

pada balita laki- laki lebih besar daripada kejadian stunting pada perempuan. Hal ini boleh jadi disebabkan karena balita laki- laki pada umumnya lebih aktif daripada balita perempuan. Balita laki- laki pada umumnya lebih aktif bermain di luar rumah, seperti berlarian, sehingga mereka lebih mudah bersentuhan dengan lingkungan yang kotor dan menghabiskan energi yang lebih banyak, sementara asupan energinya terbatas (Martianto DKK, 2008).

2.5.4 Berat Lahir

Berat lahir dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu rendah dan normal. Disebut dengan berat lahir rendah (BBLR) jika berat lahirnya < 2500 gram (Kementrian Kesehatan, 2010). Dampak BBLR akan berlangsung antar generasi. Seorang anak yang mengalami BBLR kelak juga akan mengalami deficit pertumbuhan (ukuran antropometri yang kurang) di masa dewasanya. Bagi perempuan yang lahir BBLR, besar risikonya bahwa kelak ia juga akan menjadi ibu yang stunted sehingga berisiko melahirkan bayi yang BBLR seperti dirinya


(53)

36

pula. Bayi yang dilahirkan BBLR tersebut akan kembali menjadi perempuan dewasa yang juga stunted, dan begitu seterusnya (Semba dan Bloem, 2001).

Di Negara maju, tinggi badan balita sangat dipengaruhi oleh berat lahir. Mereka yang memiliki berat lahir rendah tumbuh menjadi anak-anak yang lebih pendek (Binkin NJ, 1988 dalam Huy ND, 2009). Besarnya perbedaan ini adalah sama pada Negara maju dan berkembang, dengan mereka yang lahir dengan berat lahir rendah (BBLR) menjdi lebih pendek sekitar 5 cm ketika berusia 17 hingga 19 tahun (Moartorell R, 1998 dalam Huy ND, 2009).

2.5.5 Jumlah Anggota R umah Tangga

Anggota keluarga adalah semua orang yang biasanya bertempat tinggal di suatu keluarga, baik berada di rumah pada saat pencacahan maupun sementara tidak ada. Anggota keluarga yang telah bepergian 6 bulan atau lebih, dan anggota keluarga yang bepergian kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan pindah atau akan meninggalkan rumah 6 bulan atau lebih, tidak dianggap anggota keluarga. Orang yang telah tinggal di suatu keluarga 6 bulan atau lebih, atau yang telah tinggal di suatu keluarga kurang dari 6 bulan tetapi berniat menetap di keluarga tersebut, dianggap sebagai anggota keluarga (BPS, 2004).

Berdasarkan kategori BKKBN (1998), keluarga dengan anggota kurang dari 4 orang termasuk kategori keluarga kecil, yang kemudian dikenal sebagai Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS). Keluarga dengan anggota lebih dari 4 orang dikategorikan sebagai keluarga besar. Kesejahteraan anak yang


(54)

tinggal pada keluarga kecil relatif akan lebih terjamin dibandingkan keluarga besar, sebaliknya semakin banyak jumlah anggota keluarga pemenuhan kebutuhan keluarga cenderung lebih sulit, termasuk dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga (Hastuti 1989).

Banyaknya anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan. Suhardjo (2003) mengatakan bahwa ada hubungan sangat nyata antara besar keluarga dan kurang gizi pada masing- masing keluarga. Jumlah anggota keluarga yang semakin besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya pendapatan akan menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan akan semakin tidak merata. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga besar, mungkin hanya cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut. Keadaan yang demikian tidak cukup untuk mencegah timbulnya gangguan gizi pada keluarga besar.

Anak yang terlalu banyak selain menyulitkan dalam mengurusnya juga kurang bisa menciptakan suasana tenang didalam rumah. Lingkungan keluarga yang selalu ribut akan mempengaruhi ketenangan jiwa, dan ini secara langsung akan menurunkan nafsu makan anggota keluarga lain yang terlalu peka terhadap suasana yang kurang mengenakan, dan jika pendapatan keluarga hanya pas-pasan sedangkan jumlah anggota keluarga banyak maka pemerataan dan kecukupan makanan didalam keluarga kurang terjamin, maka keluarga ini bisa disebut keluarga rawan, karena kebutuhan gizinya hampir tidak pernah tercukupi dengan demikian penyakitpun terus mengintai (Apriadji, 1996).


(55)

38

Rumah tangga yang mempunyai anggota keluarga besar berisiko mengalami kelaparan 4 kali lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga yang anggotanya kecil. Selain itu berisiko juga mengalami kurang gizi sebanyak 5 kali lebih besar dari keluarga yang mempunyai anggota keluarga kecil (Berg, 1986 dalam Suyadi, 2009).

Balita yang mengalami stunting lebih banyak terdapat pada keluarga yang jumlah anaknya ≥ 3 orang, jika dibandingkan dengan keluarga yang jumlah anaknya < 3 orang. Meskipun demikian, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jumlah anak dengan kejadian stunting pada balita (Neldawati, 2006).

2.5.6 Pendidikan Ibu

Menurut Depdiknas (2001), pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

Tingkat pendidikan orang tua sangat mempengaruhi pertumbuhan anak balita. tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi pangan melalui cara pemilihan bahan pangan (Hidayat, 1989 dalam Suyadi, 2009). Orang yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi akan cenderung memilih bahan makanan yang lebih baik dalam kualitas maupun kuantitas. Semakin tinggi pe ndidikan orang tua maka semakin baik juga status gizi anaknya (Soekirman, 1985 dalam Suyadi, 2009).


(56)

Orang yang mempunyai pendidikan tinggi akan memberikan respon yang lebih rasional dibandingkan mereka yang berpendidikan rendah atau mereka yang tdak bependidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin mudah seseorang dalam menerima serta mengambangkan pengetahuan dan teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan keluarganya (Hapsari, 2001 dalam Suyadi, 2009).

Wanita atau ibu dengan pendidikan reandah atau tidak berpendidikan biasanya memiliki lebih banyak anak daripada mereka yang berpendidikan tinggi. Mereka yang berpendidikan rendah pada umumnya sulit untuk memahami dampak negatif dari mempunyai banyak anak (Baliwati, Khomsan, dan Dwiriani, 2004 dalam Hidayah 2010).

Rendahnya pengetahuan dan pendidikan orangtua khususnya ibu, merupakan faktor penyebab penting terjadinya KEP. Hal ini karena danya kaitan antara peran ibu dalam mengurus rumah tangga khususnya anak-anaknya. Tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu sangat mempengaruhi tingkat kemampuan ibu dalam mengelola sumber daya kelurga, untuk mendapatkan kecukupan bahan makanan yang dibutuhkan serta sejauh mana sarana pelayanan kesehatan gigi dan sanitasi lingkungan yang tersedia, dimanfatkan dengan sebaik-baiknya untuk kesehatan keluarga (Depekes, 1997). Selain itu rendahnya pendidikan ibu dapat menyebabkan rendahnya pemahaman ibu terhadap apa yang dibutuhkan demi perkembangan optimal anak.


(1)

--- status | status stunting ekonomi | stunting normal Total ---+--- rendah | 60.19 39.81 100 | 167 111 278 |

tinggi | 38.34 61.66 100 | 23 37 60 |

Total | 56.36 43.64 100 | 190 148 338 --- Key: row percentages

number of observations Pearson:

Uncorrected chi2(1) = 9.4927

Design-based F(1, 60) = 11.6513 P = 0.0012

OUTPUT OR

. svy:logit stat_stunting energi2, or (running logit on estimation sample) Survey: Logistic regression

Number of strata = 1 Number of obs = 338 Number of PSUs = 61 Population size = 271153 Design df = 60 F( 1, 60) = 0.18 Prob > F = 0.6723 --- | Linearized

stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] ---+--- energi2 | .9018032 .2193071 -0.43 0.672 .5544348 1.466807 _cons | .8083223 .1152807 -1.49 0.141 .6077015 1.075174 --- . svy:logit stat_stunting protein2,or


(2)

Survey: Logistic regression

Number of strata = 1 Number of obs = 338 Number of PSUs = 61 Population size = 271153 Design df = 60 F( 1, 60) = 1.92 Prob > F = 0.1715 --- | Linearized

stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] ---+--- protein2 | 1.354006 .2965137 1.38 0.172 .8737355 2.098269 _cons | .6610184 .0992085 -2.76 0.008 .4895901 .8924718 --- . svy:logit stat_stunting jk,or

(running logit on estimation sample) Survey: Logistic regression

Number of strata = 1 Number of obs = 338 Number of PSUs = 61 Population size = 271153 Design df = 60 F( 1, 60) = 0.01 Prob > F = 0.9243 --- | Linearized

stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] ---+--- jk | 1.022577 .2391366 0.10 0.924 .6405311 1.632494 _cons | .7659666 .1309547 -1.56 0.124 .5441117 1.07828 --- . svy:logit stat_stunting bb_lahir,or

(running logit on estimation sample) Survey: Logistic regression

Number of strata = 1 Number of obs = 338 Number of PSUs = 61 Population size = 271153 Design df = 60 F( 1, 60) = 0.36


(3)

Prob > F = 0.5484 --- | Linearized

stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] ---+--- bb_lahir | .811584 .2807356 -0.60 0.548 .4062884 1.621184 _cons | .9368735 .2957396 -0.21 0.837 .4982597 1.761596 --- . svy:logit stat_stunting jml_kel,or

(running logit on estimation sample) Survey: Logistic regression

Number of strata = 1 Number of obs = 338 Number of PSUs = 61 Population size = 271153 Design df = 60 F( 1, 60) = 3.20 Prob > F = 0.0787 --- | Linearized

stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] ---+--- jml_kel | .6296032 .1628711 -1.79 0.079 .3752662 1.056317 _cons | .8781287 .123809 -0.92 0.360 .6623324 1.164234 --- . svy: logit stat_stunting pend_ibu,or

(running logit on estimation sample) Survey: Logistic regression

Number of strata = 1 Number of obs = 338 Number of PSUs = 61 Population size = 271153 Design df = 60 F( 1, 60) = 4.50 Prob > F = 0.0381 --- | Linearized

stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] ---+--- pend_ibu | 1.686711 .4158943 2.12 0.038 1.030006 2.762114


(4)

_cons | .64919 .0832395 -3.37 0.001 .5023244 .838995 --- . svy: logit stat_stunting pend_ayah,or

(running logit on estimation sample) Survey: Logistic regression

Number of strata = 1 Number of obs = 338 Number of PSUs = 61 Population size = 271153 Design df = 60 F( 1, 60) = 1.72 Prob > F = 0.1946 --- | Linearized

stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] ---+--- pend_ayah | 1.394525 .3535305 1.31 0.195 .8398366 2.31557 _cons | .7034961 .0838071 -2.95 0.004 .5543344 .8927948 --- . svy: logit stat_stunting kerja_ibu,or

(running logit on estimation sample) Survey: Logistic regression

Number of strata = 1 Number of obs = 338 Number of PSUs = 61 Population size = 271153 Design df = 60 F( 1, 60) = 1.03 Prob > F = 0.3151 --- | Linearized

stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] ---+--- kerja_ibu | 1.278668 .3102547 1.01 0.315 .7869968 2.077508 _cons | .6563185 .1505518 -1.84 0.071 .4148019 1.038457 --- . svy: logit stat_stunting kerja_ayah,or

(running logit on estimation sample) Survey: Logistic regression


(5)

Number of strata = 1 Number of obs = 338 Number of PSUs = 61 Population size = 271153 Design df = 60 F( 1, 60) = 0.18 Prob > F = 0.6714 --- | Linearized

stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] ---+--- kerja_ayah | .7819456 .4511339 -0.43 0.671 .2465927 2.47955 _cons | .9829546 .5732299 -0.03 0.977 .3061419 3.156052 --- . svy: logit stat_stunting tmpt_tinggal, or

(running logit on estimation sample) Survey: Logistic regression

Number of strata = 1 Number of obs = 338 Number of PSUs = 61 Population size = 271153 Design df = 60 F( 1, 60) = 1.02 Prob > F = 0.3170 --- | Linearized

stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] ---+--- tmpt_tinggal | 1.288836 .3240765 1.01 0.317 .7793983 2.131258 _cons | .6992126 .0986564 -2.54 0.014 .5272738 .927219 --- . svy: logit stat_stunting stat_eko,or

(running logit on estimation sample) Survey: Logistic regression

Number of strata = 1 Number of obs = 338 Number of PSUs = 61 Population size = 271153 Design df = 60 F( 1, 60) = 11.23 Prob > F = 0.0014


(6)

--- | Linearized

stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] ---+--- stat_eko | 2.432261 .64514 3.35 0.001 1.430832 4.134581 _cons | .6613297 .0805403 -3.40 0.001 .5183473 .843753 ---


Dokumen yang terkait

Determinan Asupan Energi dan Protein pada Balita di Wilayah Indonesia Timur dan Barat Tahun 2010 (Analisis Data Sekunder Riskesdas 2010)

0 10 147

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Anemia pada Balita Usia 12-59 Bulan di Indonesia (Analisis data Riskesdas 2013)

0 30 139

Pendidikan Ibu dan faktor lainnya sebagai determinan kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di Provinsi Sumatera Utara (Analisis Data Riskesdas 2013)

0 0 16

Pendidikan Ibu dan faktor lainnya sebagai determinan kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di Provinsi Sumatera Utara (Analisis Data Riskesdas 2013)

0 0 2

Pendidikan Ibu dan faktor lainnya sebagai determinan kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di Provinsi Sumatera Utara (Analisis Data Riskesdas 2013)

0 1 6

Pendidikan Ibu dan faktor lainnya sebagai determinan kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di Provinsi Sumatera Utara (Analisis Data Riskesdas 2013)

0 0 34

Pendidikan Ibu dan faktor lainnya sebagai determinan kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di Provinsi Sumatera Utara (Analisis Data Riskesdas 2013) Chapter III VI

0 0 58

Pendidikan Ibu dan faktor lainnya sebagai determinan kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di Provinsi Sumatera Utara (Analisis Data Riskesdas 2013)

1 2 10

Pendidikan Ibu dan faktor lainnya sebagai determinan kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di Provinsi Sumatera Utara (Analisis Data Riskesdas 2013)

0 1 52

KEJADIAN CACAT PADA ANAK USIA 24 - 59 BULAN DAN FAKTOR- FAKTOR YANG BERKAITAN, RISKESDAS 2010 Factors Associated with Defects in Children Aged 24-59 Months, Basic Health Survey 2010

0 0 12