Mutu dan Total Mikroba Karkas Ayam pada Salah Satu Pasar Tradisional dan Modern di Kabupaten Bogor

(1)

ABSTRACT

The Quality and Total Microbe of Chicken Carcass at One of Traditional and Modern Market at Kabupaten Bogor

Utami, T., T. Suryati and Z. Wulandari

Place of chicken slaughter were divided into chicken slaughter house and chicken slaughter in display kiosk. Chicken slaughter at slaughter house and display kiosk can be produce the different quality and total microbes. Good quality and low total microbe carcass depend on good handling during slaughtering, transportation, and condition in display kiosk. The objective of this study was to study the quality of chicken carcass at one of traditional market and modern at Kabupaten Bogor. The method of this study began from interview some butcher to get information about chicken carcass and take chicken carcass were analyzed at the laboratorium. Results of quality carcass showed that carcass from chicken slaughter in display kiosk got 33,3% for quality I whereas carcass from chicken slaughter house in traditional market and modern got 10% and 0%. Total microbe carcass showed that carcass from chicken slaughter in display kiosk got lower from the others result that is 6,6x104 for breast and 9,5x104 for thigh. Chicken carcass in display kiosk got the best quality and low total microbe, but this place is not recommended cause will be distribute foodborne disease and contaminated environment around traditional market. This study indicated that chicken carcass from slaughter house need good handling such as good slaughtering practices, cold chain system aplication, good handling practices, and good retailing practices.

Keywords :quality carcass, total microbe, chicken slaughter house, chicken slaughter in display kiosk.


(2)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Seiring dengan makin meningkatnya jumlah penduduk Indonesia maka makin meningkat pula kebutuhan bahan makanan, tidak terkecuali bahan makanan asal hewani terutama daging ayam. Daging ayam memberikan sumbangan yang sangat besar bagi tercukupinya kebutuhan terhadap protein hewani. Daging ayam ras pedaging merupakan salah satu jenis komoditi dengan produksi tinggi yaitu 1.270,40 ton pertahun 2011 (Basis Data Statistik Pertanian, 2011). Daging ayam adalah salah satu jenis daging yang tinggi kandungan gizinya.sehingga sangat baik bagi pertumbuhan manusia.

Daging ayam yang dijual biasanya berasal dari rumah pemotongan ayam (RPA) dan langsung dikirim ke pasar-pasar sekitar RPA. Pasar terbagi menjadi dua jenis yaitu : pasar modern dan pasar tradisional. Kedua pasar tersebut merupakan tempat penjualan berbagai jenis kebutuhan masyarakat sehari-hari. Salah satunya adalah tersedianya daging ayam sebagai sumber protein hewani bagi masyarakat. Kondisi sanitasi pada alur proses daging ayam pada masing-masing pasar merupakan satu hal yang membedakan antara kedua pasar tersebut. Penjualan daging di pasar tradisional dijual dengan keadaan terbuka (tanpa penutup) serta diletakkan bebas di meja gerainya tanpa adanya pengaturan suhu serta tidak memperdulikan aspek kebersihan produk yang dijualnya. Berbeda dengan kondisi penjualan daging di pasar modern yang dijual dalam keadaan tertutup dengan menggunakan pengemas serta dijajakan dengan memperhatikan suhu rak pemajangan karkas.

Usaha penyediaan daging ayam khususnya daging ayam segar perlu mendapat perlakuan khusus karena daging ayam segar merupakan salah satu bahan pangan yang mudah rusak karena mikroorganisme. Kondisi penjualan pada pasar tradisional tersebut dapat menyebabkan daging ayam terkontaminasi oleh bahaya-bahaya yang dapat menimbulkan penyakit. Salah satu contoh bahaya-bahaya yang terjadi adalah bahaya terhadap mikroorganisme. Invasi mikroorganisme tersebut dalam daging dapat menyebabkan produk daging menjadi tidak menarik karena adanya pembusukan yang terjadi. Jumlah mikroorganisme yang terdapat pada sampel daging ayam dinyatakan sebagaiangka lempeng total (ALT).


(3)

Permasalahan lain di pasar tradisional maupun modern adalah menurunnya mutu karkas ayam sehingga dapat mempengaruhi penilaian konsumen terhadap pembelian daging ayam secara fisik. Menurunnya mutu karkas ini dapat disebabkan oleh penanganan yang kurang tepat pada saat ayam hidup, saat pemotongan bahkan penanganan pascapemotongan yaitu saat pemasaran.

Bahaya mikroorganisme dan penurunan mutu karkas yang kemungkinan terjadi dapat diminimalisasi dengan menerapkan sistem sanitasi terhadap produk daging mulai dari proses pemotongan hingga penjualan. Tempat pemotongan, ritel pangan berupa swalayan dan pasar tradisional diharapkan mulai menerapkan cara-cara menjual dan memasarkan produk pangan secara-cara baik serta jaminan keamanan pangan lain yang berhubungan dengan produk pangan sesuai dengan amanat peraturan dan perundang-undangan yang ada. Penjaminan keamanan pangan harus dimulai sejak dari pangan diproduksi sampai pangan berada di tangan konsumen. Keamanan terhadap pangan bukan hanya menjadi tanggung jawab pelaku industri saja melainkan konsumen pun harus memperlakukan makanan agar tetap aman untuk dikonsumsi.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari mutu dan total mikroba karkas ayam pada salah satu pasar tradisional dan modern di Kabupaten Bogor.


(4)

TINJAUAN PUSTAKA Karkas Ayam Pedaging

Ayam dibagi menjadi 2 tipe yaitu ayam petelur dan ayam pedaging. Ayam petelur adalah ayam yang dimanfaatkan untuk diambil telurnya sedangkan ayam pedaging adalah ayam yang dimanfaatkan untuk diambil dagingnya. Salah satu jenis ayam yang sering digunakan sebagai ayam pedaging adalah jenis ayam broiler. Ayam broiler memiliki pertumbuhan yang relatif lebih cepat dibandingkan ayam lokal dan memiliki perdagingan yang baik. Daging ayam yang dijual untuk keperluan konsumsi biasanya dijual dalam bentuk karkas. Karkas ayam pedaging adalah bagian dari ayam pedaging hidup, setelah dipotong, dibului, dikeluarkan jeroan dan lemak abdominalnya, dipotong kepala dan leher serta kedua kakinya (Dewan Standardidasi Nasional, 1995).

Nilai Gizi Daging Ayam

Definisi daging menurut Badan Standardisasi Nasional (2009) merupakan otot skeletal dari karkas ayam yang aman, layak, dan lazim dikonsumsi oleh manusia. Makanan bergizi yang dibutuhkan manusia adalah daging. Hal ini karena mutu proteinnya tinggi serta kandungan asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Protein dagingpun lebih mudah dicerna daripada nabati. Nilai gizi serta komposisi asam amino pada daging ayam dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 1. Komposisi Gizi Daging Ayam

Komposisi Jumlah

Protein (g) Lemak (g) Kalsium (mg)

Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin B1 (mg)

Air (g) Kalori (kkal)

18,20 25,00 14,00 200,00

1,50 0,08 55,90 302,00 Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1972)


(5)

Tabel 2. Komposisi Asam Amino Daging Ayam

Asam Amino Jumlah (%)

Arginin Cistein Histidin Isoleusin

Leusin Lisin Metionin Penilalanin

Treosin Triptofan

Tirosin Valin

6,7 1,8 2,0 4,1 6,6 7,5 1,8 4,0 4,0 0,8 2,5 6,7 Sumber : Mountney (1983)

Rumah Pemotongan Ayam

Rumah pemotongan ayam (RPA) adalah kompleks bangunan dengan desain dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higiene tertentu serta digunakan sebagai tempat memotong ayam bagi konsumsi masyarakat umum. Ayam hidup yang akan dipotong harus berasal dari ayam hidup yang sehat, sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Proses pemotongan ayam menurut Dewan Standardisasi Nasional (1995) tentang karkas ayam pedaging melalui beberapa tahapan. Tahapan pertama adalah persiapan tempat yang digunakan untuk pemotongan yaitu harus menggunakan tempat yang bersih serta air yang digunakan adalah air yang berasal dari sumber berkualitas baik. Tahapan selanjutnya adalah pemotongan ayam.

Pemotongan ayam dilakukan dengan memotong arteri karotis, vena jugularis, tenggorokan, dan esophagus (Regenstein et al., 2003). Teknik pemotongan ayam dibagi menjadi 2 yaitu secara langsung dan tidak langsung. Teknik pemotongan secara langsung yaitu setelah ayam dinyatakan sehat maka ayam langsung dipotong. Teknik pemotongan secara tidak langsung yaitu dengan melakukan pemingsanan


(6)

terhadap ternak yang akan dipotong (Abubakar, 2003). Teknik pemotongan secara langsung dan tidak langsung dapat dilihat pada Gambar 1.

(a) (b) (c)

Gambar 1. Teknik Pemotongan Ayam. (a) Pemotongan secara langsung dengan dimasukkan ke dalam corong, dan (b) Pemotongan secara tidak langsung : pemingsanan dengan electrical stunning box secara manual, (c) pemingsanan dengan waterbath (FAO, 2001).

Teknik dengan penggunaan corong dimaksudkan untuk mengurangi memar, patah dan perubahan warna pada sayap yang dikarenakan berkurangnya benturan setelah ayam dipotong (Gambar a). Teknik dengan menggunakan corong ini biasanya digunakan oleh tempat pemotongan dengan skala kecil. Tipe pemotongan dengan cara kaki digantung dilakukan agar pengeluaran darah lebih cepat dan darah banyak keluar. Gambar b menunjukkan pemotongan secara tidak langsung yaitu menggunakan electrical stunning box secara manual. Pemotongan dengan menggunakan waterbath yang telah dialiri listrik dengan tegangan rendah.

Pengeluaran darah (bleeding) setelah ayam dipotong harus tuntas sehingga ayam benar-benar mati dan kemudian ayam yang telah mati tersebut dimasukkan ke dalam air panas dengan temperatur 52-60oC selama 3-5 menit. Pencabutan bulu dilakukan setelah dilakukan pencelupan ke dalam air panas dan setelah bulu tercabut seluruhnya kemudian ayam tersebut dicuci dan didinginkan dengan temperatur 0-5oC (Dewan Standardisasi Nasional, 1995).

Mutu Daging Ayam

Karakteristik fisik daging merupakan suatu ukuran yang dapat digunakan untuk menentukan mutu daging. Apabila mutu tersebut diabaikan maka akan menyebabkan terjadinya perubahan pada produk pangan dan dapat menjadi dasar


(7)

dalam menentukan titik kritis umur simpan. Titik kritis ditentukan berdasarkan faktor utama yang sangat sensitif serta dapat menimbulkan terjadinya perubahan mutu produk selama distribusi, penyimpanan hingga siap dikonsumsi (Herawati, 2008) Tingkatan mutu karkas ayam pedaging dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Persyaratan Tingkatan Mutu Berdasarkan SNI 01-3924-2009

No Faktor Mutu Tingkatan Mutu

Mutu I Mutu II Mutu III

1 Konformasi

- Sempurna

-Ada sedikit kelainan pada bagian tulang dada atau paha

-Ada kelainan pada bagian tulang dada dan paha

2 Perdagingan

- Tebal

-Sedang -Tipis

3 Perlemakan

- Banyak

-Banyak -Sedikit

4 Keutuhan

- Utuh

-Tulang utuh, kulit sobek sedikit, tetapi tidak pada bagian dada

-Tulang ada yang pa-tah, ujung sayap ter-lepas.Ada kulityang sobek dibagian dada 5 Perubahan

Warna - Bebas dari

memar dan

atau “Freeze Burn”

-Ada memar sedikit teta-pi tidak pada bagian

da-da da-dan tida-dak “Freeze Burn”

-Ada memar sedikit tetapi tidak ada

“Freeze Burn”

6 Kebersihan

- Bebas dari bulu tunas (pin feather)

-Ada bulu tunas sedikit yang menyebar, tetapi tidak pada bagian dada

-Ada bulu tunas

Sumber : Badan Standardisasi Nasional (2009)

Mikrobiologi Daging Ayam

Awal kontaminasi pada daging berasal dari mikroorganisme yang memasuki peredaran darah pada saat penyembelihan, jika alat-alat yang digunakan untuk pengeluaran tidak steril. Pisau, sarung tangan, alat potong, alat cacah, talenan, timbangan bahkan penjualnya juga merupakan sumber mikroorganisme kontaminan


(8)

(Frazier dan Westhoff, 1988). Kontaminasi selanjutnya dapat terjadi melalui permukaan daging selama operasi persiapan daging, yaitu proses pembelahan karkas, pendinginan, pembekuan, penyegaran daging beku, pemotongan karkas atau daging, pembuatan daging proses preservasi, pengepakan, penyimpanan dan distribusi. Pencemaran mikroorganisme terhadap daging dapat terjadi sebelum pemotongan (pencemaran primer) dan setelah pemotongan (pencemaran sekunder). Pencemaran primer dapat dihindari dengan berbagai cara. Salah satunya dengan mengurangi kepadatan ternak pada suatu peternakan dan pada saat pengangkutan. Hal ini dikarenakan dapat mengakibatkan penyebaran penyakit antar ternak. Pencemaran sekunder dapat terjadi selama beberapa tahapan yaitu selama pengolahan, penjualan dan persiapan oleh konsumen (Buckle et al., 1987).

Transportasi merupakan salah satu faktor penting dalam rantai penyediaan bahan pangan asal ternak, baik transportasi dari peternakan ke tempat pemotongan maupun dari rumah pemotongan ke distributor dan industri, maupun dari distributor ke pengecer atau konsumen. Produk peternakan semisal daging merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroba patogen maupun nonpatogen, sehingga diperlukan fasilitas pendingin pada saat transportasi. Transportasi dan penyimpanan daging tanpa pendingin dapat menyebabkan mikroba berkembang biak dengan cepat sehingga jumlahnya mencapai tingkat yang berbahaya bagi kesehatan manusia (Murdiati, 2006).

Segala sesuatu yang dapat berkontak dengan daging secara langsung atau tidak langsung, dapat merupakan sumber kontaminan. Kontaminasi ini dapat diatasi atau dikurangi dengan melakukan penanganan yang higienis dengan sistem sanitasi yang sebaik-baiknya. Besarnya kontaminasi mikroorganisme pada daging akan menentukan kualitas dan masa simpan daging proses (Soeparno, 2005). Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme pada daging ada dua macam, yaitu (a). Faktor intrinsik termasuk nilai nutrisi daging, keadaan air, pH, potensi oksidasi-reduksi dan ada tidaknya substansi penghalang atau penghambat; (b). Faktor ekstrinsik, misalnya temperatur, kelembaban relatif, ada tidaknya oksigen dan bentuk atau kondisi daging (Fardiaz, 1992). Pengukuran secara tepat jumlah mikroorganis-me dalam daging ayam tersebut mikroorganis-merupakan dasar yang penting untuk dilakukan. Hal ini dilakukan agar mikroorganisme yang dapat tumbuh pada daging ayam tidak


(9)

melebihi batas maksimum cemaran mikroba. Batas maksimum cemaran mikroba daging ayam segar dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Syarat Mutu Mikrobiologis Daging Ayam

No. Jenis Cemaran Mikroba Satuan Persyaratan

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Total Mikroba (Total Plate Count)

Coliform Staphylococcus aureus Salmonella sp. Escherichia coli Campylobacter sp. CFU/g CFU/g CFU/g Per 25 g

CFU/g Per 25 g

Maksimum 1 x 106 Maksimum 1 x 102 Maksimum 1 x 102

Negatif Maksimum 1 x 101

Negatif Sumber : Badan Standardisasi Nasional (2009)

Total Mikroba. Total mikroba atau total plate count (TPC) berdasarkan SNI 01-2897-2008 merupakan suatu cara perhitungan total mikroba yang terdapat dalam suatu produk yang tumbuh pada media agar pada suhu dan waktu inkubasi yang ditetapkan. Mikroba yang tumbuh dalam media agar tersebut dihitung koloninya tanpa menggunakan mikroskop. Hasil pengujiannya dinyatakan dengan CFU (Colony Forming Unit) per ml.

Bahan pangan seperti daging ayam dapat bertindak sebagai substrat untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan spesies mikroba patogen yang dapat menyebabkan penyakit bagi manusia yang memakannya. Penyakit yang ditimbulkannya terbagi menjadi dua kelompok yaitu infeksi dan intoksikasi (keracunan). Infeksi merupakan tertelannya mikroba dan mikroba tersebut berkembang biak dalam alat pencernaan. Gejala-gejala yang timbul ditandai dengan sakit perut, pusing, muntah dan diare (Buckle et al., 1987). Sekitar 70% penyakit diare dianggap disebabkan oleh makanan yang mengandung penyakit (Winarno 2004). Kelompok kedua adalah intoksikasi (keracunan). Intoksikasi merupakan tertelannya racun yang dihasilkan terlebih dahulu oleh pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan. Data statistik di Inggris, Amerika Serikat, dan Australia menunjukkan bahwa kira-kira 70% dari wabah keracunan karena bahan pangan dihubungkan dengan konsumsi produk daging dan ayam (Buckle et al., 1987).


(10)

Coliform. Coliform merupakan bakteri gram negatif yang tidak membentuk spora. Beberapa spesies mikroorganisme ini dapat tumbuh pada temperatur tinggi (44,5oC) sedangkan spesies lainnya tumbuh pada suhu 4-5oC. Coliform biasanya terdapat pada makanan mentah dan bahan makanan lain yang berasal dari hewan dan tumbuhan. Kontaminasi bakteri ini pada tumbuhan diketahui karena terkontaminasi dari tanah (Ray and Arun, 2008). Kontaminasi Coliform dapat berasal dari kontaminasi fekal lingkungan rumah potong hewan yang berkaitan dengan pengeluaran isi usus serta pencemaran dari rumah potong hewan. Sekalipun dalam lingkungan rumah potong yang baik, kontaminasi dengan bakteri Coliform tidak dapat dihindarkan karena penggunaan air yang telah terkontaminasi. Jumlah cemaran Coliform yang tinggi dapat menyebabkan gangguan pencernaan (Setiowati dan Mardiastuti, 2009). Proses eviserasi (pengeluaran jeroan) dapat meningkatkan mikroba kontaminasi fekal. Penurunan kontaminasi tersebut dapat dilakukan dengan penerapan higiene dalam alur proses pada penanganan karkas (Yashoda et al., 2001).

Escherichia coli. Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif yang tidak membentuk spora. Bakteri ini hidup secara fakultatif anaerob dan hidup di dalam usus manusia dan hewan berdarah panas lainnya (Ray and Arun, 2008). Infeksi yang disebabkan oleh bakteri ini bersumber dari makanan dan air minum yang terkontaminasi tinja (faecal contamination).

Salmonella sp. Salmonella sp. merupakan bakteri gram negatif, motil, tidak berspora dan hidup secara fakultatif anaerob. Mikroorganisme ini bersifat mesofil dengan perumbuhan optimum pada temperatur 35-37oC (Ray and Arun, 2008). Penularan penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri ini adalah dengan termakannya mikroorganisme yang terdapat dalam makanan yang berasal dari hewan yang terinfeksi. Sampel daging ayam banyak tercemar bakteri Salmonella dari pasar tradisional. Hal ini dikarenakan kondisi pasar tradisional yang kebersihannya tidak terjaga. Hasil pengujian bakteri Salmonella pada daging ayam tahun 2011 menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 10,06% sampel dari pasar tradisional dan 3,1% sampel dari swalayan di DKI Jakarta tercemar bakteri Salmonella (Setiowati et al.,2011)


(11)

Staphylococcus aureus. Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif yang berbentuk coccus (seperti kumpulan buah anggur). Bakteri ini dapat hidup secara fakultatif anaerob serta tumbuh dengan cepat pada kondisi aerob. Suhu pertumbuhan bakteri ini adalah 7-48oC (Ray and Arun, 2008). Cara penularan penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini adalah memakan makanan yang mengandung toksin (intoksikasi). Toksin tersebut relatif stabil terhadap panas yaitu pada suhu 60oC selama 16 jam. Salah satu bakteri yang mencemari daging ayam adalah

Staphylococcus aureus. Beberapa peristiwa dari keracunan pangan yang tercemar oleh Staphylococcus aureus diakibatkan oleh higiene yang buruk dari pengelola bahan pangan. Secara ekologis, Staphylococcus aureus erat sekali hubungannya dengan menusia terutama pada bagian kulit, hidung dan tenggorokan. Dengan demikian, makanan kebanyakan tercemar melalui pengelolaan oleh manusia (Buckle

et al., 1987). Jumlah S. aureus pada kasus-kasus keracunan makanan biasanya mencapai 108 CFU/g atau lebih (Harmayani et al., 1996).

Campylobacter sp. Campylobacter sp. merupakan bakteri gram negatif, motil dan tidak membentuk spora. Bakteri ini tumbuh pada kadar oksigen rendah serta tumbuh pada temperatur 32-45oC dan optimum pada 42 oC. Bakteri ini sensitif terhadap panas, penggaraman, pH rendah dan kering. Mikroorganisme ini tahan pada suhu dingin dan beku (Ray and Arun, 2008). Penularan bakteri ini disebabkan oleh makanan yang menjadi sumber utama yaitu susu dan daging unggas mentah atau kurang matang. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Campylobacter sp dikenal dengan nama campylobacteriosis. Penyakit tersebut ditandai dengan diare yang hebat disertai demam, kurang nafsu makan, muntah, dan leukositosis. Sekitar 70% kasus

campylobacteriosis pada manusia disebabkan oleh cemaran C. jejuni pada karkas ayam (Djafaar dan Rahayu, 2007).

Salah satu persyaratan kualitas produk unggas adalah bebas mikroba pathogen seperti Salmonella sp., Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan

Campylobacter sp. Bangsa ayam adalah satu-satunya binatang terbesar yang merupakan tempat persinggahan Salmonella, dimana rata-rata setengah dari

Salmonella penyebab terjadinya gangguan pada pencernaan manusia berasal dari

ayam dan produk dari ayam (Saksono dan Isro’in, 1986). Mutu mikrobiologis pada


(12)

pangan, seperti pada daging ayam. Keamanan produk pangan dapat dikatakan aman jika produk tersebut bebas dari mikroba pathogen (Mead, 2004).

Sanitasi

Sanitasi merupakan bagian penting dalam proses pengolahan pangan yang harus dilaksanakan dengan baik. Sanitasi dapat didefinisikan sebagai usaha pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan rantaiperpindahan penyakit tersebut. Secara luas, ilmu sanitasi merupakan penerapan dari prinsip-prinsip yang akan membantu memperbaiki, mempertahankan, atau mengendalikan kesehatan yang baik pada manusia (Purnawijayanti, 2001). Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang pangan pasal 6 menyatakan setiap orang yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan wajib ; 1) memenuhi persyaratan sanitasi, keamanan dan atau keselamatan manusia, 2) menyelenggarakan program pemantauan sanitasi secara berkala, dan 3) menyelenggarakan pengawasan atas pemenuhan persyaratan sanitasi. Beberapa komponen yang harus diperhatikan dalam melaksanakan sanitasi lingkungan, yaitu delapan kunci kondisi sanitasi menurut Food and Drug Administration (FDA) USA

(1995). Delapan kunci sanitasi tersebut antara lain : a) Keamanan air

b) Kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan c) Pencegahan kontaminasi silang

d) Kebersihan karyawan (fasilitas sanitasi)

e) Perlindungan bahan pangan dari bahan cemaran (adulteran) f) Pelabelan, penggunaan bahan toksin dan penyimpanan yang tepat g) Kesehatan karyawan

h) Pengendalian hama (Pest Control)

Penerapan sanitasi diharapkan menjadi jaminan bahwa daging menjadi aman dan layak untuk dikonsumsi. Jaminan keamanan pangan asal ternak dari kandang hingga ke piring konsumen merupakan tanggung jawab semua pihak yang terkait dalam rantai pangan, mulai dari peternak hingga konsumen yang mempersiapkan

makanan di meja, termasuk pemerintah yang mempunyai wewenang dalam penetapan perundang-undangan (Murdiati, 2006).


(13)

METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan mulai tanggal 31 Oktober sampai 25 November 2011. Lokasi yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah 2 pasar yang terletak di Kabupaten Bogor yaitu pasar tradisional Cibinong dan pasar modern yang berupa pasar swalayan, serta Laboratorium Terpadu Teknologi Hasil Peternakan.

Materi Bahan

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah karkas utuh serta bagian dada dan paha karkas ayam pedaging, akuades, Plate Count Agar (PCA),

Nutrient Agar (NA) dan Buffered Pepton Water (BPW) 0,1 %. Alat

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah form kuisioner, alat tulis, labu erlenmeyer, cawan petri, tabung reaksi, gunting, pinset, plastik steril, pembakar bunsen, timbangan, magnetic stirrer, pengocok tabung (vortex), inkubator, penangas air, autoklaf, lemari steril (clean bench), lemari pendingin (refrigerator), freezer, aluminium foil, penggaris, penghitung manual dan kapas.

Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling yaitu tidak semua populasi mendapatkan peluang yang sama untuk diambil menjadi anggota sampel. Penentuan sampel dilakukan dengan mempertimbangkan kriteria-kriteria tertentu sesuai dengan tujuan penelitian. Kriteria tersebut meliputi tempat pemotongan karkas ayam yang bervariasi yaitu karkas yang dijual dari hasil pemotongan RPA dan dipotong sendiri di tempat penjualan, serta meliputi keadaan sanitasi yakni antara pasar tradisional dan swalayan.

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan jumlah sampel karkas ayam yang diambil pada pasar swalayan sebanyak satu buah karkas sedangkan pada pasar tradisional banyaknya karkas yang diambil dihitung berdasarkan jumlah populasi pedagang ayam. Besarnya populasi pedagang ayam menurut petugas pasar tradisional yang menjadi target lokasi penelitian adalah sekitar lebih dari 50 pedagang yang terdapat pada salah satu pasar tradisional (yaitu sebanyak ± 45


(14)

pedagang yang menjual karkas dengan hasil pemotongan RPA dan 5 pedagang yang memotong karkas di tempat penjualan) sehingga besarnya sampel yang dapat digunakan agar mewakili dari semua populasi yang ada dihitung dengan menggunakan rumus Slovin dalam Umar (2005) adalah sebagai berikut:

n = N 1 + Ne2 Keterangan :

n = ukuran sampel N = ukuran populasi

e = persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir atau diinginkan.

Besarnya populasi sebesar 50 pedagang di pasar dan e ditetapkan sebesar 10%, maka besarnya sampel karkas ayam yang digunakan pada penelitian ini adalah sebesar :

ntotal = 50 = 33,3 33 karkas ayam pada pasar tradisional 1 + (50 x 0,12)

Proporsi pembagian sampel untuk karkas yang dipotong di tempat penjualan dan RPA masing-masing adalah :

nRPA = 45 x 33 = 29,7 30 karkas

50

ntempat penjualan = 5 x 33 = 3,3 3 karkas

50

Prosedur 1. Penentuan Lokasi Pasar

Lokasi pengambilan sampel terdiri atas dua jenis pasar yaitu pasar tradisional dan pasar modern yang diwakili oleh pasar swalayan. Kriteria pasar tradisional yang dipilih adalah sebagai berikut : pasar resmi, terdapat banyak pedagang ayam, ramai pembeli, keadaan sanitasi, dan tempat pemotongan yang bervariasi (melakukan pemotongan ayam ditempat penjualan dan RPA). Berdasarkan kriteria tersebut maka dipilih 2 jenis pasar di Kabupaten Bogor yaitu pasar tradisional Cibinong serta salah satu swalayan di daerah tersebut sebagai tempat untuk mengambil sampel.


(15)

Penelitian pendahuluan dilakukan terhadap pasar tradisional yaitu dengan melihat kondisi pasar serta melakukan wawancara terhadap beberapa pedagang ayam di pasar tradisional tersebut terkait alur proses ayam hidup hingga penjualan karkas ayam serta mempelajari kondisi sanitasi tempat penjualan ayam tersebut. Wawancara tersebut dilakukan berdasarkan panduan kuisioner yang ada pada Lampiran 1. Hasil dari penelitian pendahuluan ini adalah ditentukannya beberapa pedagang dari pasar tradisional yang akan menjadi target penelitian untuk diambil sampel dagingnya. 3. Pengambilan Sampel Karkas Ayam

Pengambilan sampel dilakukan pada pasar dan pedagang yang telah memenuhi kriteria yaitu keadaan sanitasi dan tempat pemotongan karkas ayam yang berbeda sesuai dengan kuisioner yang disediakan. Pengambilan sampel untuk pengujian mutu karkas menggunakan karkas ayam utuh sedangkan untuk pengujian total mikroba menggunakan karkas setengah bagian utuh kemudian dipotong menjadi bagian dada dan paha di laboratorium.

Pengambilan masing-masing sampel diambil pada hari yang berbeda. Waktu pengambilan sampel pada beberapa pedagang di pasar tradisional dilakukan antara pukul 06.30-07.00 WIB. Sampel kemudian dibawa ke laboratorium dengan menggunakan kotak berpendingin untuk kemudian dianalisis. Perjalanan dari pasar tradisional Cibinong sampai laboratorium membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam sehingga sampel telah siap dianalisis pukul 08.30-09.00 WIB. Pemilihan pembelian sampel karkas ayam pada setiap pedagang di pasar tradisional dan swalayan tidak berdasarkan kriteria tertentu tetapi peneliti mengambilnya secara acak di beberapa pedagang yang telah menjadi target penelitian.

4. Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah total mikroba dan mutu karkas ayam berdasarkan perbedaan tempat pemotongan antar pedagang di pasar tradisional serta berdasarkan perbedaan keadaan sanitasi antara pasar tradisional dengan pasar swalayan.

5. Pelaksanaan Penelitian Laboratorium

Penelitian laboratorium dilakukan untuk menganalisis mutu karkas serta kualitas mikrobiologis daging ayam.


(16)

Penilaian Mutu Karkas Ayam. Sampel yang digunakan sebanyak 34 karkas yaitu 33 berasal dari pasar tradisional (30 pedagang yang menjual karkas dengan dipotong di RPA dan 3 pedagang yang memotong karkas di tempat penjualan) dan satu karkas dari pasar swalayan. Sampel tersebut kemudian langsung dianalisis mutunya. Penilaian mutu karkas dilakukan berdasarkan Badan Standardisasi Nasional (2009) yang terdapat pada Tabel 3. Penilaian mutu tersebut terkait konformasi tubuh, perdagingan, perlemakan, keutuhan, perubahan warna, serta kebersihan karkas. Pengujian Jumlah Bakteri (Badan Standardisasi Nasional, 2008). Karkas ayam yang digunakan yaitu 20% dari jumlah perhitungan sampel karkas dengan menggunakan rumus Slovin sehingga didapatkan 7 karkas dari pasar tradisional (6 pedagang yang menjual karkas dengan dipotong di RPA dan 1 pedagang yang memotong karkas di tempat penjualan dan 1 karkas dari pasar swalayan. Karkas yang digunakan berupa karkas setengah bagian utuh kemudian dipotong pada bagian dada dan paha di laboratorium untuk pengujian jumlah bakteri. Daging dada dan paha ayam ditimbang sebanyak 25 g kemudian tambahkan 225 ml larutan BPW 0,1 % steril ke dalam kantong steril yang berisi sampel daging ayam. Dihomogenkan secara manual dengan menggunakan tangan selama 1-2 menit sehingga dihasilkan sampel dengan pengenceran 10-1. Larutan sampel pada pengenceran 10-1 diambil secara aseptis sebanyak 1 ml dengan pipet, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml larutan pengencer steril sehingga dihasilkan pengenceran 10-2. Pengenceran10-3, 10-4, 10-5 dibuat dengan cara yang sama seperti cara pada pengenceran 10-2. Tiga pengenceran terakhir yang dipilih, dipipet secara aseptis sebanyak 1 ml sampel untuk dimasukkan ke dalam cawan petri steril secara duplo dan ditambahkan media agar PCA (Plate Count Agar) steril sebanyak 15-20 ml yang sudah didinginkan hingga temperatur 45oC ± 1oC pada masing-masing cawan yang sudah berisi suspensi. Supaya larutan sampel dan media PCA tercampur seluruhnya, pemutaran cawan dilakukan ke depan dan ke belakang atau membentuk angka delapan dan diamkan sampai menjadi padat. Inkubasi pada temperatur 34 oC - 36 oC selama 24 jam dengan meletakkan cawan dalam posisi terbalik.

Perhitungan Jumlah Koloni. Perhitungan jumlah koloni pada setiap seri pengenceran kecuali cawan petri yang berisi koloni menyebar (spreader colonies). Pilih cawan yang mempunyai jumlah koloni 25-250.


(17)

1. Cawan dengan jumlah koloni kurang dari 25

(-) Bila cawan duplo dari pengenceran terendah menghasilkan koloni kurang dari 25. Jumlah dihitung yang ada pada cawan dari setiap pengenceran.

(-) Rataan jumlah koloni per cawan dan dikalikan dengan faktor pengencerannya untuk menentukan nilaitotal mikroba.

(-) Nilai total mikroba diberi dengan tanda bintang untuk menandai bahwa perhitungannya diluar 25-250 koloni per cawan.

2. Cawan dengan jumlah koloni lebih dari 250

(-) Bila jumlah koloni per cawan lebih dari 250, koloni-koloni pada cawan dihitung untuk memberikan gambaran penyebaran koloni secara representatif

(-) Perhitungan total mikroba diberi dengan tanda bintang untuk menandai bahwa perhitungannya diluar 25-250 koloni per cawan.

3. Koloni yang menyebar (Spreaders) Spreaders biasanya dibagi dalam 3 bentuk :

a) Rantai koloni tidak terpisah secara jelas disebabkan oleh disintegrasi rumpun bakteri

b) Terbentuknya lapisan air antara agar dan dasar cawan c) Terbentuknya lapisan air pada sisi atau permukaan agar.

(i)Bila cawan yang disiapkan untuk sampel lebih banyak ditumbuhi oleh

spreader seperti (a) dan total area yang melebihi 25% dan 50% pertumbuhannya dilaporkan sebagai cawan spreaderer.

(ii)Rataan jumlah koloni dari setiap pengenceran, kemudian jumlahnya ditetapkan sebagai total mikroba

(iii) Selain tiga bentuk spreader, dapat dihitung sebagai satu pertumbuhan koloni

(iv) Spreader tipe a) bila hanya terdapat satu rantai, hitung sebagai koloni tunggal. Bila ada satu atau lebih rantai yang terlihat dari sumber lain, hitung tiap sumber sebagai satu koloni, termasuk untuk tipe b) dan c) juga dihitung sebagai koloni.

(v) Penggabungan perhitungan koloni dan perhitungan spreader untuk menghitung total mikroba.


(18)

4. Cawan tanpa koloni

Bila cawan petri dari semua pengenceran tidak menghasilkan koloni, laporkan total mikroba sebagai kurang dari satu kali pengenceran terendah yang digunakan. Total mikroba diberi dengan tanda bintang untuk menandai bahwa perhitungannya diluar 25-250 koloni

5. Cawan duplo, cawan yang satu menghasilkan 25-250 koloni dan cawan yang lain lebih dari 250 koloni. Kedua cawan dihitung dalam perhitungan total mikroba.

6. Cawan duplo, satu cawan dari setiap pengenceran menghasilkan 25-250 koloni dan cawan yang lain kurang dari 25 koloni atau menghasilkan lebih dari 250 koloni, keempat cawan dihitung dalam perhitungan total mikroba.

7. Cawan duplo, dua cawan dari satu pengenceran menghasilkan 25-250 koloni, keempat cawan termasuk cawan yang kurang dari 25 atau lebih dari 250 koloni dihitung dalam perhitungan total mikroba.

8. Analisis Statistik

Data hasil total mikroba pada pasar tradisional yang melakukan pemotongan di RPA didapat dari rataan total mikroba pada 6 pedagang yang menjadi taget penelitian RPA di pasar tradisional dan dibandingkan dengan hasil dari pasar tradisional yang melakukan pemotongan di tempat penjualan dan juga pada pasar swalayan.

x RPA1 + x RPA2 + x RPA3 + x RPA4 + x RPA5 + x RPA6 6

Keterangan :

X = rataan total mikroba dari 6 sampel

x = total mikroba pada pasar tradisional yang melakukan pemotongan di RPA

9. Penentuan data

(-) Membulatkan angka menjadi 2 angka yang sesuai, bila angka ketiga 6 atau diatasnya, maka angka ketiga menjadi 0 (nol) dan angka kedua naik 1 angka. X RPA =


(19)

(-) Bila angka ketiga 4 atau dibawahnya, maka angka ketiga menjadi 0 (nol) dan angka kedua tetap

(-) Bila angka ketiga 5, maka angka tersebut dapat dibulatkan menjadi 0 (nol) dan angka kedua adalah genap

(-) Bila angka ketiga 5, maka angka tersebut dapat dibulatan menjadi 0 (nol) dan angka kedua adalah ganjil maka angka kedua naik 1 angka.


(20)

HASIL DAN PEMBAHASAN Kategori Asal Pemotongan dan Pedagang

Penelitian dilakukan berdasarkan asal pemotongan karkas ayam pada beberapa pedagang di pasar tradisional dan satu pasar swalayan. Asal pemotongan karkas ayam terdiri atas pemotongan yang dilakukan di rumah pemotongan ayam (RPA) dan pemotongan langsung di tempat penjualan. Pendistribusian pemotongan ayam di RPA terbagi menjadi dua kategori yaitu pedagang di pasar tradisional dan swalayan. RPA yang digunakan oleh pasar tradisional merupakan RPA tradisional sedangkan pasar swalayan biasanya menggunakan jasa RPA modern.

Banyaknya pedagang yang menjadi target penelitian adalah 7 pedagang di pasar tradisional dan 1 sampel diambil dari pasar swalayan. Tujuh pedagang di pasar tradisional dibagi menjadi 6 pedagang pasar tradisional dengan pemotongan ayam asal RPA dan 1 pedagang dengan pemotongan ayam di tempat penjualan. Wawancara pada awal penelitian dilakukan kepada 7 pedagang di pasar tradisional. Pedagang yang diwawancarai adalah pedagang yang diambil sampel karkasnya untuk diteliti.

Keadaan Umum Tempat Pemotongan dan Penjualan Ayam

Tempat pemotongan ayam pada penelitian ini dibagi menjadi dua jenis yaitu pemotongan ayam di RPA dan tempat pemotongan ayam di tempat penjualan. RPA yang digunakan pedagang pasar tradisional yaitu RPA yang masih tradisional. Kondisi RPA yang belum memperhatikan sanitasi dapat mengakibatkan tingginya total mikroba karkas yang dihasilkan (Gambar 2). Seluruh RPA yang digunakan oleh pedagang yang menjadi target penelitian berada di sekitar Kabupaten Bogor. Beberapa RPA terletak di daerah pemukiman penduduk yang mungkin akan menyebabkan gangguan pada lingkungan sekitar. Limbah cair seperti air cucian dan darah serta limbah padat seperti bulu dibiarkan begitu saja dan tidak dilakukan pembersihan seluruhnya setelah proses pemotongan ayam selesai dilakukan. Selain dekat pemukiman penduduk, RPA lainnya dibangun bersebelahan dengan kandang sapi. RPA tradisional


(21)

Gambar 2. Kondisi Rumah Pemotongan Ayam Tradisional.

RPA yang digunakan oleh pasar modern merupakan RPA modern. Kondisi RPA modern ini berbeda dengan RPA tradisional yaitu dengan terdapatnya pemisahan antara ruang bersih dan ruang kotor. Pemotongan ayam dilakukan dengan cara digantung sehingga dapat keluar dengan sempurna. Penanganan selanjutnya seperti pengeluaran jeroan juga dilakukan dengan cara digantung dan diletakkan di tempat sesuai dengan jenisnya. Penggunaan masker kepala, masker mulut, apron, dan sepatu boat dilakukan sehingga sanitasi dapat terjaga.

(a) (b)

Gambar 3. Penanganan Karkas Pascapemotongan di RPA Modern. Sumber : Radar Bogor (2011) dan Antara News (2011)

Tempat pemotongan ayam yang dilakukan di tempat penjualan ayam terletak di bagian belakang pasar Cibinong yaitu berada di pinggir sungai. Limbah cair seperti air cucian dan darah ayam langsung dialirkan ke sungai. Limbah padat seperti bulu biasanya ada pengepul yang mengambilnya. Kios tempat penjualan ayam merupakan bangunan permanen, dinding berwarna terang dan terbuat dari keramik


(22)

sehingga mudah dibersihkan namun lantai tidak rata dan terlihat berlubang sehingga menyulitkan dalam pembersihan

Gambar 4. Kondisi Tempat Pemotongan di Tempat Penjualan Karkas Ayam.

Tempat penjualan ayam yang menjadi target penelitian dibagi menjadi tiga tempat yaitu pedagang karkas ayam di pasar tradisional yang melakukan pemotongan ayam di RPA (Gambar a), pedagang karkas ayam di pasar tradisional yang melakukan pemotongan langsung di tempat penjualan (Gambar b) dan swalayan (Gambar c). Gambar (a) memperlihatkan bahwa pedagang di pasar tradisional yang melakukan pemotongan ayam di RPA merupakan jenis pedagang dengan tipe toko los. Tipe los adalah tempat penjualan yang tidak memiliki atap dan berdekatan dengan pedagang lain dan jenis komoditi yang berbeda. Gambar (b) merupakan pedagang yang melakukan pemotongan langsung di tempat penjualaan dengan tipe toko kios. Tipe kios merupakan tempat penjualan yang permanen dan tidak bergabung dengan pedagang lain. Gambar (c) merupakan kondisi tempat penjualan di swalayan. Rak tempat pemajangan karkas merupakan rak berpendingin. Pengemasan yang dilakukan pada karkas yang dipajang di swalayan dilakukan agar mengurangi terjadinya kerusakan dan kontaminasi terhadap karkas.

(a) (b) (c)


(23)

Kondisi Pedagang dan Penanganan Karkas Berdasarkan Hasil Wawancara di Pasar Tradisional

Hasil wawancara yang dilakukan pada 7 pedagang pasar tradisional yaitu 6 pedagang ayam yang melakukan pemotongan di RPA dapat dilihat pada Tabel 5. Waktu dimulainya penjualan karkas pedagang ayam yang melakukan pemotongan di RPA yaitu pada pukul 04.30 sedangkan 1 pedagang yang melakukan pemotongan di tempat penjualan berjualan mulai pukul 05.00-17.00. Jenjang pendidikan pedagang ayam dengan pemotongan RPA pada tingkat pendidikan SMP sebanyak 3 pedagang sedangkan tingkat SD dan SMA sebanyak 2 dan 1 pedagang sedangkan 1 pedagang yang melakukan pemotongan di tempat penjualan memiliki jenjang pendidikan SMP. Pemilik usaha yang melakukan pemotongan di tempat penjualan memiliki jenjang pendidikan perguruan tinggi. Hal ini kemungkinan yang menyebabkan terdapatnya pelatihan pada karyawan melakukan pemotongan di tempat penjualan. Pelatihan yang diberikan terkait dengan sedikit pengetahuan tentang penanganan dan sanitasi pada penjualan ayam. Satu pedagang yang melakukan pemotongan di RPA mendapatkan pelatihan tentang cara pemotongan karkas saja. Pedagang yang tidak mendapatkan pelatihan mengaku hanya berbekal pengalaman saja dalam menangani karkas.

Pemotongan ayam di RPA dilakukan pada jam 02.00 sedangkan pemotongan karkas di tempat penjualan dilakukan sesaat sebelum konsumen membeli karkas ayam. Pengambilan sampel daging untuk dianalisis di laboratorium dilakukan pada pukul 07.00. Lamanya umur daging sejak pemotongan sampai diambil untuk dianalisis disebut juga postmortem. Lamanya postmortem pada sampel yang diambil dari hasil pemotongan RPA adalah 5 jam dan sudah bukan merupakan karkas segar. Karkas segar menurut Standar Nasional Indonesia (2009) adalah karkas yang diperoleh tidak lebih dari 4 jam setelah pemotongan dan tidak mengalami perlakuan lebih lanjut.

Penggunaan peralatan sanitasi seperti masker, penutup kepala dan sarung tangan serta pengendalian terhadap hama tidak menjadi perhatian para pedagang. hanya 1 pedagang yakni pedagang yang melakukan pemotongan di RPA yang menggunakan celemek. Lantai tempat berjualan para pedagang tidak semua kedap air. Terdapat 3 pedagang yang tidak memiliki lantai kedap air sehingga tidak mudah untuk dilakukan pembersihan. Peralatan yang digunakan oleh pedagang seharusnya


(24)

tidak berkarat, namun terdapat 4 pedagang yang melakukan pemotongan di RPA dan 1 pedagang yang melakukan pemotongan di tempat penjualan yang peralatannya terdapat karat yaitu pada timbangan. Hal ini dapat memicu terjadinya kontaminasi secara fisik yaitu karat dapat menempel pada karkas ayam saat penimbangan.

Pedagang yang melakukan pemotongan di RPA membersihkan peralatan dan perlengkapan pada saat awal dan akhir penjualan sedangkan pedagang yang melakukan pemotongan di tempat penjualan melakukan pembersihan setiap selesai pemotongan dan diakhir penjualan melakukan pembersihan dengan menggunakan detergen. Limbah seperti darah dan bulu hasil pemotongan ayam yang dilakukan di tempat penjualan diambil oleh pengepul namun jika tidak diambil pengepul maka dibuang. Menurut seluruh pedagang yang menjadi target penelitian, frekuensi pemeriksaan yang dilakukan dari dinas terkait seperti dinas peternakan tidaklah menentu. Keterangan lainnya mengandung arti bahwa sebanyak 1 dari 7 pedagang diperiksa oleh dinas peternakan langsung ke RPA miliknya sendiri.

Tabel 5. Rekapitulasi Hasil Wawancara di Pasar Tradisional

Jenis Informasi RPA Langsung di Tempat

Pemotongan

1 2 3

Waktu penjualan karkas 04.30-selesai 05.00-17.00 Pendidikan terakhir

kar-yawan

SD (2); SMP (3); SMA (1) SMP (1) Pelatihan khusus terhadap

karyawan

Ya (1); Tidak (5) Ya (1)

Waktu pemotongan ayam 02.00 Sesaat sebelum

konsu-men membeli Lantai yang digunakan

terbuat dari bahan yang kedap air dan mudah dibersihkan

Ya (3); Tidak (3) Ya (1)

Peralatan yang digunakan berkarat

Ya (4); Tidak (2) Ya (1)

Terdapat tempat sampah Ya (6) Ya (1)

Penggunaan sarung ta-ngan, masker, penutup kepala dan celemek oleh karyawan


(25)

Tabel 5. Rekapitulasi Hasil Wawancara di Pasar Tradisional (Lanjutan)

1 2 3

Terdapat pengendalian hama

Tidak (6) Tidak (1)

Waktu pembersihan per-alatan dan perlengkapan

Awal dan akhir proses penjualan

Setelah pemotongan ayam dengan air saja serta menggunakan de-tergen pada awal dan akhir penjualan

Penggunaan bahan kimia Tidak (6) Ya (1)

Penanganan limbah hasil kegiatan penjualan

Tidak terdapat limbah darah karena di tempat penjualan tidak melaku-kan pemotongan ayam hidup namun jika ada sampah seperti sisa bulu jarum maka dimasukkan ke dalam karung sampah

Limbah seperti darah dan bulu diambil oleh pengepul jika tidak di-ambil pengepul maka dibuang

Pemeriksaan terhadap karkas dari dinas terkait

Ya (6) Ya (1)

Frekuensi pemeriksaan dari dinas terkait

Setiap Bulan (2); Jarang (3); Keterangan Lainnya (1)

Jarang (1)

Mutu Karkas Ayam

Penilaian mutu karkas ayam terdiri dari enam kriteria, yaitu konformasi, keutuhan, perdagingan, perlemakan, kebersihan dan perubahan warna pada karkas ayam. Hasil penelitian mutu karkas ayam terhadap 34 sampel yang diambil dari 7 pedagang di pasar tradisional dan satu pasar swalayan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 . Hasil Tingkatan Mutu Karkas Berdasarkan SNI 01-3924-2009

No Sumber Sampel* Mutu

Karkas Keterangan

1 2 3 4

1. RPA 1a 3 -Adanya sobekan di bagian sendi antara paha dan dada, memar biru di banyak bagian, terdapat bulu tunas (pin feather) pada bagian dada serta perlemakan dan perdagingan bagus 2. RPA 1b 3 -Terdapat bulu tunas (pin feather) pada bagian


(26)

Tabel 6. Hasil Tingkatan Mutu Karkas Berdasarkan SNI 01-3924-2009 (Lanjutan)

1 2 3 4

3. RPA 1c 3 -Terdapat bulu tunas (pin feather) pada bagian dada serta adanya memar pada sayap serta perlemakan dan perdagingan bagus

4. RPA 1d 3 -Adanya sobekan pada bagian dada, terdapat bulu tunas (pin feather) pada bagian dada serta perlemakan dan perdagingan bagus 5. RPA 1e 2 -Adanya sobekan pada paha, memar pada

sayap, terdapat bulu tunas (pin feather) pada sayap, perlemakan dan perdagingan bagus 6. RPA 2a 1 -Tidak terdapat bulu tunas (pin feather) serta

perlemakan dan perdagingan bagus

7. RPA 2b 2 -Perlemakan sedang

8. RPA 2c 2 -Adanya sobekan pada bagian paha, terdapat bulu pada bagian sayap dan ekor serta perda-gingan dan perlemakan dengan ukuran sedang 9. RPA 2d 2 -Terdapat bulu tunas (pin feather) pada bagian

sayap dan ekor

10. RPA 2e 2 -Adanya sobekan pada bagian dada dan paha serta terdapat bulu tunas (pin feather) pada bagian sayap dan ekor

11. RPA 3a 2 -Bebas memar dan bulu jarum serta perda-gingan dan perlemakan dengan ukuran sedang 12. RPA 3b 3 -Adanya bulu jarum pada bagian dada. paha dan ekor, serta perdagingan dan perlemakan dengan ukuran sedang

13. RPA 3c 3 -Adanya sobek bagian dada, adanya bulu jarum pada bagian dada, paha dan ekor serta perdagingan dan perlemakan ukuran sedang 14. RPA 3d 2 -Terdapat bulu tunas (pin feather) pada bagian

sayap serta adanya memar pada bagian sayap 15. RPA 3e 3 -Adanya sobek pada bagian paha sertaadanya

bulu jarum pada bagian dada. paha dan ekor serta perdagingan dan perlemakan dengan ukuran sedang

16. RPA 4a 3 -Adanya sobekan pada bagian paha,memar pada bagian paha serta kondisi perdagingan tipis dan perlemakan sedikit


(27)

Tabel 6. Hasil Tingkatan Mutu Karkas Berdasarkan SNI 01-3924-2009 (Lanjutan)

1 2 3 4

17. RPA 4b 2 -Adanya sobekan bagian paha terdapat bulu pada bagian sayap dan ekor serta perdagingan

dan perlemakan sedang 18. RPA 4c 2 -Adanya sobekan bagian paha, terdapat bulu

tunas(pin feather) pada bagian paha dan sayap 19. RPA 4d 3 -Adanya sobekan pada bagian paha serta

adanya bulu jarum pada bagian dada. paha dan ekor serta perdagingan dan perlemakan dengan ukuran sedang

20. RPA 4e 3 -Adanya sobekan pada bagian dada serta terdapat bulu pada bagian sayap dan ekor serta perdagingan dan perlemakan dengan ukuran sedang

21. RPA 5a 2 -Adanya sobekan pada bagian paha serta terdapat bulu tunas (pin feather) pada bagian sayap dan ekor

22. RPA 5b 1 -Bersih

23. RPA 5c 2 -Terdapat bulu tunas (pin feather) pada bagian sayap dan ekor

24. RPA 5d 3 -Adanya sobekan pada bagian dada, terdapat bulu pada bagian sayap dan ekor serta perda-gingan dan perlemakan dengan ukuran sedang 25. RPA 5e 2 -Adanya sobekan pada bagian paha, terdapat bulu tunas (pin feather) pada bagian sayap dan ekor serta memar pada sayap

26. RPA 6a 1 -Bersih

27. RPA 6b 2 -Adanya sobekan pada bagian paha serta terdapat bulu tunas (pin feather) pada bagian sayap dan ekor

28. RPA 6c 3 -Adanya sobekan pada bagian dada dan paha serta terdapat bulu tunas (pin feather) pada bagian sayap dan ekor

29. RPA 6d 2 -Adanya sobekan pada bagian paha

30. RPA 6e 2 -Adanya sobekan pada bagian paha, terdapat bulu tunas (pin feather) pada bagian sayap dan ekor dan memar pada bagian sayap


(28)

Tabel 6. Hasil Tingkatan Mutu Karkas Berdasarkan SNI 01-3924-2009 (Lanjutan)

1 2 3 4

31. Potong di tempat 1 2 -Terdapat sedikit bulu tunas (pin feather) pada bagian sayap dan ekor

32. Potong di tempat 2 2 -Terdapat bulu pada punggung dan ekor serta perdagingan dan perlemakan dengan ukuran sedang

33. Potong di tempat 3 1 -Bersih dan masih segar karena baru dipotong 34. Swalayan 2 -Tulang dan daging pada paha berwarna

kemerahan (darkened bones)

* Kode 1 sampai 6 adalah kode pedagang sedangkan kode a sampai e adalah 5 sampel diambil di setiap pedagang

Konformasi. Konformasi yaitu ada tidaknya kelainan bentuk karkas dari tulang terutama pada bagian dada dan paha. Menurut Rasyaf (1995), konformasi yang baik adalah bulat memanjang dan dipenuhi oleh perdagingan tebal, perlemakan menyebar merata , tidak ada tulang yang patah serta tidak banyak sobekan pada kulit maupun daging. Konformasi pada semua karkas yang diteliti adalah normal yaitu tidak adanya kelainan pada bagian dada dan paha.

Keutuhan. Keutuhan yang baik adalah tidak adanya tulang yang patah atau hilang, persendian yang lepas, kulit atau daging yang sobek maupun hilang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada tulang yang patah dan persendian yang hilang pada penilaian mutu di salah satu pasar tradisional dan swalayan ini namun terdapat sobekan pada bagian dada dan paha. Sobekan yang terjadi hanya terdapat pada karkas yang dijual oleh pedagang pasar tradisional yang melakukan pemotongan di RPA. Sebanyak 19 dari 30 karkas ditemukan adanya sobekan pada bagian dada, paha maupun pada keduanya. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (2009) sobekan pada bagian dada menyebabkan mutu karkas menjadi mutu III sedangkan sobekan pada bagian paha hanya menyebabkan karkas menjadi mutu II (Tabel 3).

Kapasitas pemotongan yang banyak bila dibandingkan dengan pemotongan langsung ditempat penjualan menjadikan karyawan pada RPA harus lebih cepat saat bekerja. Hal ini dapat menimbulkan terdapatnya sobekan pada karkas dan banyaknya bulu tunas yang masih tertinggal di permukaan kulit. Mesin pencabut bulu dapat menyebabkan kerusakan kulit dan menyebabkan tulang menjadi patah. Mesin ini


(29)

tidak sepenuhnya dapat membersihkan bulu pada karkas dan bulu tunas hanya dapat dibersihkan dengan cara manual menggunakan tangan (Sams, 2001).

Perdagingan. Perdagingan karkas dapat dilihat pada dada, paha, dan punggung. Daging sebagian besar tersusun atas otot, selain itu juga terdapat jaringan ikat, epitel, syaraf, pembuluh darah, lemak (Soeparno, 2005).

(a) Tebal (b) Sedang (c) Tipis Gambar 6. Kondisi Perdagingan pada Karkas Utuh (Atas) dan Karkas Setelah

Pemotongan Menjadi Dua Bagian (Bawah).

Perlemakan. Penyebaran jumlah lemak terdapat di pangkal leher (pectoral) dan rongga perut (abdominal). Deposit lemak ayam broiler umumnya disimpan dalam bentuk lemak rongga tubuh dibawah kulit. Lemak rongga tubuh terdiri atas lemak abdominal, lemak rongga dada, dan lemak pada alat pencernaan (Leeson dan Summers, 2002).


(30)

Kebersihan Karkas. Kebersihan karkas yaitu ada tidaknya bulu tunas (pin feather) pada karkas. Kebersihan karkas merupakan salah satu parameter yang paling banyak diabaikan oleh para pedagang maupun tempat pemotongan ayam. Adanya bulu tunas (pin feather) pada bagian karkas dapat menurunkan penilaian mutu karkas secara fisik. Diantaranya ada pada bagian sayap, paha, punggung, ekor dan bahkan pada bagian dada. Sedikitnya hanya 5 sampel dari 30 sampel karkas yang berasal dari pemotongan RPA yang bersih dari bulu tunas (pin feather). Karkas hasil pembelian di pasar swalayan tidak terlihat adanya bulu tunas (pin feather). Pihak swalayan lebih memperhatikan hal tersebut dikarenakan dapat mengurangi tingkat pembelian sehingga dapat mengurangi kepercayaan konsumen terhadap produk yang dijual di swalayan tersebut.

Gambar 8. Bulu Tunas (Pin Feather)

Perubahan Warna. Penyimpangan warna karena terdapat memar, pendarahan,

freeze burn dan atau perubahan warna lainnya yang disebabkan oleh mikroorganisme atau zat-zat kontaminan (Gambar 9). Adanya memar pada karkas dikarenakan oleh penanganan ayam hidup saat dipelihara di kandang maupun pada saat pemotongan. Ensminger (1998) menambahkan bahwa penyebab memar antara lain adalah terlalu padatnya penempatan ayam, perlakuan kasar saat pengangkutan atau pemotongan, iritasi dan cysts pada dada, faktor genetik, penyumbatan pembuluh darah, freeze burn, darkened bone dan black melanin. Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa sampel yang diambil dari pasar swalayan terlihat adanya darkened bones yaitu pada tulang dan daging di bagian paha.


(31)

Gambar 9. Memar pada Karkas

Persyaratan tingkatan mutu berdasarkan Standar Nasional Indonesia (2009) dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu mutu I, mutu II, dan mutu III. Tabel 7 menunjukkan bahwa karkas dengan pemotongan di tempat penjualan menghasilkan persentase mutu karkas terbaik (mutu I) sebanyak 33,3% dan mutu II sebanyak 66,7% serta tidak terdapatnya karkas dengan mutu III. Hal ini dikarenakan pada pemotongan di tempat penjualan masih menggunakan teknik pemotongan dan pencabutan bulu dengan menggunakan tangan (manual) sehingga dapat mengurangi kemungkinan adanya bulu tunas dan memar pada karkas ayam. Menurut Abubakar (2003), teknik pencabutan bulu menggunakan tangan dapat mengurangi terjadinya benturan pada karkas ayam. Metode ini memang kurang efisien karena membutuhkan waktu yang lama dibandingkan dengan pencabutan bulu dengan mesin namun dengan persentase karkas mutu I yang tinggi diharapkan harga jualnya lebih baik.

Tabel 7. Persentase Rataan Hasil Tingkatan Mutu Karkas Ayam

Sumber Sampel Mutu I Mutu II Mutu III

---%---

Pedagang dengan pemotongan di RPA 10 50 40

Pedagang dengan pemotongan di tempat penjualan 33,3 66,7 0

Swalayan 0 100 0

Tingkatan mutu karkas yang diambil dari pasar tradisional hasil pemotongan RPA sebanyak 10% mendapat mutu I bahkan terdapat 30% karkas yang mendapat mutu III. Sebanyak 15 dari 30 sampel karkas ayam (50%) mendapatkan hasil mutu terbanyak yaitu mutu II. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh proses


(32)

pencabutan bulu yang menggunakan mesin pencabut bulu. Hal ini memicu adanya memar dan bulu tunas pada karkas.

Mutu akhir pada satu karkas yang diambil dari pasar swalayan menghasilkan nilai mutu II karena adanya tulang dan daging pada paha berwarna kemerahan (darkened bones). Darkened bones biasanya ditemukan pada karkas ayam karena proses penyimpanan beku. Hal ini dikarenakan keluarnya darah dari sumsum tulang melalui area rongga pada tulang selama pembekuan dan thawing (Snyder dan Orr, 1964).

Total Mikroba

Total mikroba atau angka lempeng total bakteri (ALTB) berdasarkan Standar Nasional Indonesia (2008) merupakan suatu cara perhitungan total mikroba yang terdapat dalam suatu produk yang tumbuh pada media agar pada suhu dan waktu inkubasi yang ditetapkan. Total mikroba yang didapat dari hasil penelitian terhadap karkas ayam yang diambil dari salah satu pasar tradisional dan swalayan di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 8 dibawah ini.

Tabel 8. Total Mikroba Karkas Ayam Bagian Dada dan Paha (dalam satuan cfu/g)

Sumber Sampel (n) Bagian Potongan

Dada Paha

Pedagang dengan pemotongan di tempat penjualan (1)

6,6 x 104 9,5 x 104 Pedagang pasar tradisional hasil

pemotongan di RPA (6)

8,5 x 107 ± 10,96 3,8 x 108± 9,33

Swalayan (1) 5,7 x 105 1,8 x 105

Total mikroba karkas ayam yang dijual pedagang pasar tradisional hasil pemotongan RPA terlihat paling tinggi dibandingkan dengan karkas yang dipotong langsung di tempat penjualan dan karkas yang dibeli dari pasar swalayan yaitu sebesar 8,5 x 107 cfu/g pada bagian dada dan 3,8 x 108 cfu/gpada bagian paha. Hasil ini melebihi standar batas maksimal yang diijinkan di Indonesia (SNI 01-3924-2009) yaitu total mikroba sebesar 1 x 106 cfu/g. Total mikroba pada penelitian ini lebih tinggi dari rataan total mikroba pada daging ayam segar yang diperoleh Bintoro et al


(33)

Salah satu penyebab tingginya total mikroba pada karkas ayam hasil pemotongan RPA adalah RPA tradisional yang digunakan belum memenuhi standar persyaratan bangunan yang baik. Salah satu persyaratannya adalah tidak adanya ruang pemisah antara daerah bersih dan kotor. Hal ini dapat menyebabkan adanya kontaminasi silang terhadap karkas yang dihasilkan. Gambar 2 menunjukkan bahwa kurangnya penerapan sanitasi pada RPA tradisional yang digunakan oleh pedagang pasar tradisional. Adanya limbah dari pemotongan ayam seperti terdapat genangan air kotor bekas cucian dan genangan darah pada RPA. Hal ini memicu tingginya total mikroba karkas yang dihasilkan.

Total mikroba terendah didapatkan dari hasil pemotongan yang langsung dilakukan di tempat penjualan kemungkinan karena lamanya postmortem karkas ayam yang dipotong di tempat penjualan lebih pendek jika dibandingkan karkas hasil pemotongan RPA di pasar tradisional dan swalayan. Lamanya umur daging sejak pemotongan sampai diambil untuk dianalisis disebut juga postmortem. Pendeknya waktu postmortem akan menyebabkan mikroba yang berkembang lebih sedikit. Karkas hasil pemotongan ayam langsung di tempat penjualan dapat disebut karkas segar karena pemotongan dilakukan sesaat sebelum konsumen membeli karkas sehingga waktu antara pemotongan sampai konsumen membeli < 4 jam. Wawancara terhadap pedagang tentang lamanya postmortem dapat dilihat pada Tabel 5 yaitu pada jam pemotongan ayam. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa karkas yang diambil pada pedagang yang melakukan pemotongan di tempat penjualan dapat dikatakan sebagai karkas segar. Karkas segar menurut Standar Nasional Indonesia (2009) adalah karkas yang diperoleh tidak lebih dari 4 jam setelah pemotongan dan tidak mengalami perlakuan lebih lanjut. Hal ini berbeda dengan hasil total mikroba pada sampel dari pasar tradisional hasil pemotongan RPA yang bukan merupakan karkas segar yaitu > 4 jam. Lamanya postmortem karkas ayam menyebabkan pertumbuhan mikroba terus meningkat. Hasil penelitian Yuanisa (2005) didapatkan hasil total mikroba permukaan karkas ayam sebesar 4,4 x 105 koloni/gram pada saat setelah pemotongan, meningkat menjadi 1,4x106 koloni/gram pada 3 jam

postmortem, 6,9x106 pada 6 jam postmortem dan 1,6x107 pada 9 jam postmortem. Laju generasi total mikroba tersebut meningkat sebesar 0,5; 0,4; dan 0,5 log koloni pada jam ke 3, 6, dan 9 postmortem. Sampel yang diambil dari pasar swalayan


(34)

merupakan sampel karkas segar dingin. Karkas segar dingin menurut Standar Nasional Indonesia (2009) adalah karkas segar yang didinginkan setelah proses pemotongan sehingga temperatur bagian dalam daging antara 0°C-4°C.

Kondisi masing-masing tempat penjualan juga merupakan faktor yang menyebabkan perbedaan total mikroba. Kondisi pertama yaitu pedagang di pasar tradisional yang melakukan pemotongan karkas di RPA. Banyak penumpukkan karkas di meja penjualan. Proses pemotongan bagian menjadi lebih kecil dan penimbangan dilakukan dimeja yang sama dengan kondisi yang sangat berdekatan dengan tumpukan karkas. Semua ini dapat memicu adanya kontaminasi silang antara karkas, timbangan, pisau dan talenan. Menurut Frazier dan Westhoff (1988), pisau, gergaji, sarung tangan, alat potong, alat cacah, talenan, timbangan bahkan penjualnya juga merupakan sumber mikroorganisme kontaminan.

Kondisi kedua yaitu kondisi tempat penjualan karkas dengan pemotongan langsung di tempat penjualan. Karkas yang dipajang hanya sedikit (± 5-10 karkas). Timbangan dan talenan diletakkan agak berjauhan dengan karkas walaupun tetap dalam satu meja yang sama. Tahapan proses pemotongan ayam di tempat penjualan maupun di RPA tidak ada perbedaan. Proses dimulai dengan melakukan penyembelihan yaitu memotong arteri karotis, vena jugularis, tenggorokan dan esophagus. Penanganan selanjutnya adalah pengeluaran darah, pencelupan ke dalam air panas (scalding) dengan suhu berkisar ± 55-60oC, pencabutan bulu, pengeluaran jeroan dan pencucian karkas sebelum akhirnya dipajang di meja penjualan.

Gambar 10. Kondisi Meja Penjualan pada Karkas di Pasar Tradisional yang Berasal dari Pemotongan RPA (Kiri) dan Pemotongan Langsung di Tempat Penjualan (Kanan)


(35)

Kondisi tempat penjualan serta pemotongan pada pedagang dengan pemotongan langsung ditempat penjualan kurang mendapat perhatian dari pedagang (Gambar 4). Lantai yang digunakan adalah kedap air namun banyak terdapat lubang pada lantai tersebut sehingga menyulitkan dalam pembersihan. Penempatan penyimpanan jeroan diletakkan di bawah meja penjualan sehingga memungkinkan terjadinya kontaminasi dengan kotoran yang berasal dari lantai, air kotor bekas cucian karkas serta sepatu boat yang digunakan pedagang. hal lain yang harus diperhatikan adalah limbah yang dihasilkan pada proses pemotongan ayam. Tidak terdapatnya saluran pembuangan limbah yang baik menjadikan para pedagang membuang limbah hasil pemotongan ayam tersebut ke sungai yaitu limbah cair yang berupa air bekas cucian karkas dan darah.

Kondisi tempat penjualan ketiga adalah pasar swalayan. Total mikroba pada karkas yang berasal dari pasar swalayan masih dibawah ambang batas dari yang di tetapkan oleh Indonesia yaitu 5,7 x 105 cfu/g pada potongan dada dan 1,8 x 105 cfu/g pada potongan paha. Faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya total mikroba tersebut diantaranya adalah faktor pengemasan dan rantai dingin. Faktor pengemasan pada karkas yang dijual merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk meminimalkan bahaya kontaminasi yang terjadi jika karkas dibiarkan terbuka. Penggunaan bahan pengemas pada karkas merupakan salah satu strategi yang dilakukan agar karkas aman dari bahaya kontaminasi dan memberi jaminan kepada konsumen terhadap keamanan produk yang dijualnya. Pengemas yang digunakan adalah plastik wrap dan dialasi oleh styrofoam. Pengemasan yang baik dapat mencegah penularan bahan pangan oleh organisme-organisme yang berbahaya bagi kesehatan. Pengemasan digunakan untuk membatasi antara bahan pangan dengan keadaan lingkungan diluar bahan pangan sehingga dapat menunda proses kerusakan dalam jangka waktu yang diinginkan (Buckle et al., 1987).

Rantai dingin pada alur proses daging pada swalayan dimulai dari pengiriman (transportasi) hingga pemajangan karkas di rak etalase. Produk peternakan seperti daging merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroba patogen maupun nonpatogen, sehingga diperlukan fasilitas pendingin pada saat transportasi. Penerapan sistem rantai dingin bertujuan agar dapat menghambat kecepatan tumbuhnya bakteri penyebab kerusakan karkas. Menurut Soeparno (2005),


(36)

temperatur di bawah 5oC dapat menghambat pertumbuhan bakteri perusak atau pembusuk dan mencegah hampir semua mikroorganisme patogen. Daging ayam segar yang disimpan dalam refrigerator (suhu dingin) selama 1 sampai 3 hari akan mengurangi aktivitas bakteri mesofil. Hasil penelitian Pestariati et al (2003) pada karkas dengan penyimpanan refrigerator pada hari pertama sebesar 2,6x105 koloni/gram, kemudian meningkat menjadi 2,7x105 koloni/gram pada hari kedua dan menjadi 2,8x105 koloni/gram pada hari ketiga. Penyimpanan daging pada suhu refrigerator tersebut menaikkan total mikroba sebesar 0,03; 0,02; 0,01 log koloni pada penyimpanan hari pertama, kedua dan ketiga.

Sanitasi

Sanitasi merupakan suatu kondisi yang dilakukan untuk menciptakan segala sesuatu yang higienis dan kondisi yang menyehatkan. Memperbaiki sanitasi terutama lingkungan, merupakan salah satu solusi terbaik dalam mengantisipasi cemaran mikroba (Gustiani, 2009). Tempat penjualan karkas harus selalu dikondisikan bersih dan terjaga kehigienisannya. Industri pengolahan dan penjualan panganpun harus membiasakan diri untuk menyadari kebutuhan akan produk pangan yang aman dari mikroorganisme dan harus mendorong karyawannya mengikuti penataran-penataran pelaksanaan higienis yang baik (Buckle et al., 1987). Karyawan yang menangani karkas pada pasar tradisional seperti yang dapat dilihat pada Tabel 5 yakni tidak mendapatkan pelatihan khusus dalam penanganan karkas. Beberapa pedagang yang mendapat pelatihan hanya terkait cara pemotongan karkas menjadi potongan kecil saja tanpa pelatihan terhadap sanitasi dan pedagang lainnya hanya berbekal pengalaman. Hal ini sangat berbeda dengan karyawan yang menangani karkas pada pasar swalayan. Mereka diberikan pelatihan khusus guna menjamin karkas yang dijual aman dan layak untuk dikonsumsi oleh manusia.

Pengendalian terhadap adanya hama kurang diperdulikan oleh para pedagang. Hama yang biasa terdapat pada pasar tradisional adalah tikus dan lalat. Tikus dan lalat menyukai tempat-tempat pembuangan sampah sehingga seringkali membawa organisme-organisme penyebab penyakit. Binatang pengerat ini diketahui sebagai tempat berlabuhnya Salmonella sehingga makanan menjadi tidak sehat untuk dikonsumsi. Hama lalat membawa jasad renik yang menyebabkan penyakit di bagian mulutnya, daerah pencernaanya, di paha, di rambut serta di kakinya. Lalat memakan


(37)

kotoran manusia, bangkai binatang, dan sisa-sisa makanan manusia sehingga

kehadirannya dapat merusak sanitasi makanan (Saksono dan Isro’in, 1986). Tidak

ada perlakuan bahkan pencegahan yang dilakukan untuk mengendalikan hama di tempat penjualan mereka. Mereka tidak mempermasalahkan hal tersebut selama hama tidak mengganggu dan merugikan terhadap karkas ayam yang dijual.

Penanganan karkas yang baik diharapkan akan menghasilkan karkas dengan nilai mutu baik dan jumlah bakteri dibawah ambang batas yang ditetapkan oleh SNI. Mayoritas pedagang hanya memanfaatkan pengalaman yang mereka miliki tentang cara memotong karkas dan penanganan lain terhadap karkas namun pengetahuan tentang sanitasi kurang mendapat perhatian. Tabel 5 memperlihatkan bahwa penggunaan peralatan sanitasi seperti masker, penutup kepala dan sarung tangan serta pengendalian terhadap hama tidak menjadi perhatian para pedagang. Penerapan sanitasi sangat diperlukan pada produk peternakan yang mudah mengalami kerusakan agar karkas menjadi aman untuk dikonsumsi serta mencegah terjadinya kontaminasi yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Bahri (2008) menambahkan bahwa ancaman kontaminasi pada daging dan produk peternakan lainnya dikarenakan lingkungan yang kurang higienis dan sanitasi yang kurang baik, serta tidak terlindunginya produk pangan tersebut dengan pembungkus apapun sehingga dapat mengganggu dan membahayakan kesehatan manusia. Hal ini diperburuk dengan perilaku konsumen yang memegang karkas saat akan membeli sehingga konsumenpun dapat menjadi sumber kontaminasi terhadap daging yang dijual di pasar tradisional.

Penerapan seluruh aspek sanitasi belum dilakukan sepenuhnya di pasar tradisional. Diantara kurangnya penerapan sanitasi di pasar tradisional adalah tidak adanya pencegahan kontaminasi silang, pengendalian hama, kebersihan permukaan yang kontak langsung dengan karkas serta karyawan yang menangani karkas itu sendiri. Kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan kurang mendapat perhatian dari para pedagang. Meja penjualan yang langsung kontak dengan karkas ayam terbuat dari bahan keramik sehingga mudah dibersihkan serta tahan karat namun frekuensi pembersihan hanya dilakukan pada saat akan memulai dan berakhirnya penjualan. Sanitaiserpun tidak digunakan oleh pedagang


(38)

pasar tradisional. Hal ini dapat memicu timbulnya kontaminasi silang antara bahan pangan dengan peralatan yang digunakan.

Pembahasan Umum

Tingkatan mutu I karkas pada pemotongan ayam yang dilakukan di tempat penjualan menghasilkan persentase tertinggi. Hal ini terjadi karena tempat pemotongan ini melakukan pencabutan bulu manual dengan menggunakan tangan sehingga kemungkinan akan terjadinya memar dan patah akibat benturan dapat dihindarkan. Penggunaan mesin seperti yang dilakukan oleh RPA merupakan salah satu faktor yang menyebabkan penurunan mutu karkas hasil pemotongan RPA. Penurunan mutu tersebut dapat diminimalkan dengan penerapan good slaughtering practices, manajemen RPA yang baik, cold chain system, manajemen distribusi, dan penerapan ritel yang baik sehingga mutu akhir karkas dapat dipertahankan sejak dari RPA sampai ke tangan konsumen.

Pengujian total mikroba pada pedagang yang melakukan pemotongan di tempat penjualan menghasilkan total mikroba terendah pada bagian dada dan paha. Hal ini terjadi karena lamanya pendeknya waktu postmortem karkas. Pedagang yang menjual karkas ayam ini memotong ayam sesaat sebelum konsumen membeli karkas sehingga pertumbuhan mikroba tidak sebesar karkas dengan waktu postmortem lebih panjang. Rendahnya total mikroba yaitu masih dibawah ambang batas yang ditentukan Indonesia (SNI 01-3924-2009) pada pasar swalayan dikarenakan penerapan sanitasi, pengemasan dan rantai dingin pada alur prosesnya.

Rendahnya total mikroba pada pedagang yang melakukan pemotongan ditempat penjualan tidak diimbangi dengan kondisi sanitasi tempat penjualan serta kurangnya kesadaran terhadap penanganan limbah yang dihasilkan dan kemungkinan penyebaran penyakit dari hewan ke manusia (zoonosis). Pencemaran lingkungan hidup menurut Undang-Undang no. 23 tahun 2007 tentang pengelolaan lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Dampak buruk terhadap lingkungan harus sudah diperhatikan para pelaku industri agar kegiatannya tersebut tidak merugikan makluk hidup di sekitar. Limbah cair berupa darah dan air bekas


(39)

cucian karkas serta limbah padat berupa bulu ayam dapat mengganggu lingkungan sekitar pasar jika tidak ada pengolahan yang baik pada limbah sebelum limbah tersebut dibuang. Air cucian kotor dan darah harus mengalami penyaringan terlebih dahulu sebelum dibuang ke aliran sungai yang berada dibelakang tempat pemotongan sekaligus penjualan tersebut agar tidak mencemari ekosistem sungai. Selain pencemaran lingkungan, tempat pemotongan ditempat penjualan di pasar tradisional dapat menyebabkan terjadinya penyebaran penyakit yakni penularan penyakit dari ayam hidup ke manusia (zoonosis).

Pencegahan terhadap dampak negatif yang ditimbulkan tersebut seharusnya dapat diantisipasi oleh dinas terkait. Pembangunan RPA yang sesuai dengan standar yang ditetapkan pemerintah merupakan salah satu solusi untuk mengurangi dampak negatif yang terjadi. Peranan penerapan sanitasi serta penanganan pascapemotongan yang baik diharapkan dapat diterapkan pada seluruh RPA baik yang mendistribusi-kan karkas ayam ke pasar tradisional maupun swalayan. Hal ini ditandai dengan tidak adanya lagi RPA yang tidak memisahkan antara ruang bersih dan kotor serta rantai dingin pada penanganan pascapemotongan. Transportasi dan penyimpanan daging tanpa pendingin dapat menyebabkan mikroba berkembang biak dengan cepat sehingga jumlahnya mencapai tingkat yang berbahaya bagi kesehatan manusia (Murdiati, 2006).

Penanganan yang baik tersebut akan menghasilkan kualitas karkas hasil pemotongan RPA yang baik pula. Karkas yang dibeli dari pedagang yang melakukan pemotongan di RPA dapat terjamin kualitasnya khususnya dari segi mikrobiologis-nya. Jika pemotongan dapat ditertibkan hanya terbatas di RPA yang baik, maka tidak perlu ada lagi ayam hidup yang masuk pasar. Bagaimanapun keberadaan ayam hidup di dalam pasar kemungkinan akan menyebabkan terjadinya penyebaran penyakit zoonosis seperti penyebaran virus flu burung.


(40)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Meskipun pemotongan ayam di tempat penjualan menghasilkan mutu fisik dan mikrobiologis terbaik, tetapi dapat menimbulkan resiko penyebaran penyakit zoonosis serta pencemaran limbah di pasar. Sebagai solusi, peningkatan mutu dan penghambatan pertumbuhan mikroba pada karkas yang dipotong di RPA harus dilakukan melalui manajemen RPA yang baik, sistem rantai dingin dan manajemen karkas yang baik di tempat penjualan.

Saran

Pembuatan kebijakan dari pemerintah setempat diharapkan akan semakin membuat para pelaku kegiatan pemotongan dan penjualan menerapkan sanitasi pada setiap alur proses kegiatannya agar konsep aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) dapat diterapkan.


(41)

MUTU DAN TOTAL MIKROBA KARKAS AYAM PADA

SALAH SATU PASAR TRADISIONAL DAN

MODERN DI KABUPATEN

BOGOR

SKRIPSI TRI UTAMI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012


(42)

MUTU DAN TOTAL MIKROBA KARKAS AYAM PADA

SALAH SATU PASAR TRADISIONAL DAN

MODERN DI KABUPATEN

BOGOR

SKRIPSI TRI UTAMI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN


(43)

RINGKASAN

Tri Utami. D14070026. 2011. Mutu dan Total Mikroba Karkas Ayam pada Salah Satu Pasar Tradisional dan Modern di Kabupaten Bogor. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan.Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Tuti Suryati, S.Pt.,M.Si. Pembimbing Kedua : Zakiah Wulandari, S.TP.,M.Si.

Produk peternakan seperti daging ayam merupakan sumber protein hewani dengan mutu protein yang tinggi dan kandungan asam amino esensial yang lengkap. Sumber protein hewani tersebut dapat menjadi rusak seperti menurunnya mutu serta tingginya kandungan mikroba jika tidak mendapatkan penanganan yang benar. Penanganan tersebut dimulai sejak pemotongan, transportasi serta pada saat penjualan. Alur proses penanganan tersebut dilakukan pada pedagang yang melakukan pemotongan ayam di rumah pemotongan ayam (RPA). Berbeda dengan pemotongan RPA, pedagang yang melakukan pemotongan langsung di tempat penjualan hanya memperhatikan saat pemotongan dan penjualan karkas ayam. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari mutu dan total mikroba karkas ayam pada salah satu pasar tradisional dan modern yang berupa pasar swalayan di Kabupaten Bogor.

Penelitian ini menggunakan sampel karkas ayam yang berasal dari pedagang pasar tradisional dengan pemotongan di tempat penjualan, pedagang pasar tradisional dengan pemotongan di RPA dan swalayan. Peubah yang diamati adalah mutu dan total mikroba pada karkas ayam dari ketiga jenis sampel yang menjadi target penelitian. Data yang diperolah disajikan secara deskriptif.

Hasil pengklasifikasian mutu kasrkas berdasarkan kriteria SNI 01-3924-2009 menunjukkan bahwa karkas yang diambil dari pedagang pasar tradisional yang melakukan pemotongan di tempat penjualan memiliki tingkatan mutu terbaik yaitu mutu I sebanyak 33,3%, mutu II sebanyak 66,7%, dan mutu III sebanyak 0% untuk sampel. Cemaran mikroba berdasarkan SNI 01-2897-2008 menunjukkan bahwa total mikroba terendah juga didapat dari sampel yang diambil dari pedagang pasar tradisional yang melakukan pemotongan di tempat penjualan yaitu sebanyak 6,6 x 104 cfu/g pada bagian dada dan 9,5 x 104 cfu/g pada bagian paha. Namun demikian, pemotongan ayam di tempat penjualan dapat menimbulkan resiko penyebaran penyakit zoonosis serta pencemaran limbah di pasar. Sebagai kesimpulan, peningkatan mutu dan penghambatan pertumbuhan mikroba pada karkas harus dilakukan melalui manajemen RPA yang baik, sistem rantai dingin dan manajemen karkas yang baik di tempat penjualan.

Kata-kata kunci : mutu karkas, total mikroba, pemotongan RPA, pemotongan langsung di tempat penjualan.


(44)

ABSTRACT

The Quality and Total Microbe of Chicken Carcass at One of Traditional and Modern Market at Kabupaten Bogor

Utami, T., T. Suryati and Z. Wulandari

Place of chicken slaughter were divided into chicken slaughter house and chicken slaughter in display kiosk. Chicken slaughter at slaughter house and display kiosk can be produce the different quality and total microbes. Good quality and low total microbe carcass depend on good handling during slaughtering, transportation, and condition in display kiosk. The objective of this study was to study the quality of chicken carcass at one of traditional market and modern at Kabupaten Bogor. The method of this study began from interview some butcher to get information about chicken carcass and take chicken carcass were analyzed at the laboratorium. Results of quality carcass showed that carcass from chicken slaughter in display kiosk got 33,3% for quality I whereas carcass from chicken slaughter house in traditional market and modern got 10% and 0%. Total microbe carcass showed that carcass from chicken slaughter in display kiosk got lower from the others result that is 6,6x104 for breast and 9,5x104 for thigh. Chicken carcass in display kiosk got the best quality and low total microbe, but this place is not recommended cause will be distribute foodborne disease and contaminated environment around traditional market. This study indicated that chicken carcass from slaughter house need good handling such as good slaughtering practices, cold chain system aplication, good handling practices, and good retailing practices.

Keywords :quality carcass, total microbe, chicken slaughter house, chicken slaughter in display kiosk.


(1)

(2)

Lampiran 1. Kuisioner Nama Responden :

Jenis Toko : Kios / Los

Alamat :

Tanggal Wawancara :

A. Gambaran Tentang Tempat Penjualan Karkas Ayam 1. Sejak kapan mulai menjual karkas ayam di Pasar ini?

... 2. Siapa nama pemilik tempat penjualan karkas ayam ini?

... 3. Berapa jumlah karyawan yang terdapat pada tempat penjualan ayam ini?

... 4. Apa pendidikan terakhir pemilik serta karyawan tempat penjualan karkas ayam

ini?

... 5. Apakah karyawan yang memotong serta menangani karkas ayam diberikan

pelatihan khusus?

... 6. Apakah pemilik tempat penjualan ayam memiliki pengalaman dalam berbisnis

dalam penjualan ayam?

... 7. Jam berapa dimulai dan diakhirkannya penjualan ayam dilakukan di tempat ini?

... B. Pemotongan Ayam

1. Apakah pemotongan ayam dilakukan di Rumah Pemotongan Ayam (RPA)? ... 2. Jika no.1 ya, RPA mana yang digunakan untuk memotong ayam tersebut?

... 3. Jika no. 1 tidak, mengapa tidak melakukan pemotongan ayam dengan

menggunakan jasa RPA?

... 4. Keuntungan apa saja yang diperoleh dengan melakukan pemotongan ayam

sendiri di tempat penjualan ayam?

... 5. Perlakuan apa yang diberikan kepada ayam hidup sebelum dilakukan

pemotongan?

... 6. Bagaimana alur proses dari pemotongan ayam sampai dijual oleh konsumen? ... ... ... ... ...


(3)

C. Kondisi Sanitasi Tempat Penjualan Karkas Ayam 1. Dari mana sumber air yang digunakan pada tempat ini?

... 2. Apakah lantai yang digunakan tempat penjualan ayam terbuat dari bahan yang

kedap air dan mudah dibersihkan?

... 3. Apakah permukaan dinding tempat penjualan ayam halus, rata dan mudah

dibersihkan?

... 4. Apakah peralatan yang digunakan tidak berkarat dan mudah dibersihkan?

... 5. Apakah terdapat tempat sampah pada tempat penjualan ayam ini?

... 6. Apakah karyawan yang menangani produk daging menggunakan sarung tangan,

masker dan penutup kepala?

... 7. Kapan pembersihan peralatan serta perlengkapan dilakukan?

... 8. Adakah bahan kimia yang digunakan pada tempat penjualan ayam ini?

... 9. Jika no.9 ada, dimana tempat menyimpan bahan kimia tersebut agar tidak terjadi

kontaminasi silang terhadap karkas ayam yang dijual?

... 10.Apakah terdapat hama pada tempat penjualan ayam ini?

... 11.Jika no.10 ada, bagaimana cara pengendalian terhadap hama tersebut agar tidak

merusak dan mengkontaminasi karkas ayam yang dijual?

... 12.Bagaimana cara menangani limbah hasil pembuangan pada tempat penjualan

ayam ini?

... D. Pemeriksaan

1. Apakah terdapat pemeriksaan fisik, kimia dan mikrobiologi dari dinas terkait terhadap karkas ayam yang dijual?

... 2. Jika no 1 ada, seberapa seringkah frekuensi pemeriksaan dari dinas terkait?

... 3. Adakah perhatian khusus yang diperoleh dari pemerintah setempat terkait letak

pasar ini yang berdekatan dengan kantor Pemerintah Daerah?

... 4. Apakah terdapat sosialisasi dari dinas peternakan terhadap pengetahuan

pedagang terkait daging ayam yang tidak layak jual?

... E. Permasalahan Penjualan


(4)

... 2. Pernahkan mendapat komplain dari konsumen?

... 3. Jika pernah, masalah apa dan bagaimana mengatasinya?

... 4. Adakah masalah lain yang dihadapi pada saat menjual karkas ayam ini?


(5)

Lampiran 2. Produksi Hasil Peternakan

Hasil Pencarian Berdasarkan Komoditi

Sub Sektor : Peternakan

Indikator : Produksi

Level : Nasional

Status Angka : Status Saat Ini

Tahun : 2010-2011

Komoditi Satuan 2010 2011

Daging Ayam Buras

000 Ton

267.6 [4] 283.1

Daging Ayam Ras Pedaging

000 Ton

1,214.30 [4] 1,270.40 Daging Ayam Ras Petelur

000 Ton

57.7 [4] 60.1

Daging Babi

000 Ton

212 [4] 204.6

Daging Domba

000 Ton

44.9 [4] 44.9

Daging Itik

000 Ton

26 [4] 29.2

Daging Kambing

000 Ton

68.8 [4] 70.7

Daging Kerbau

000 Ton

35.9 [4] 37.5

Daging Kuda

000 Ton

2 [4] 1.8

Daging Sapi

000 Ton

436.5 [4] 465.8

Susu

000 Ton

909.5 [4] 925.8

Telur

000 Ton

1,366.20 [4] 1,432.20 Telur Ayam Buras

000 Ton

175.5 [4] 179.6

Telur Ayam Petelur

000 Ton

945.6 [4] 986.8

Telur Itik

000 Ton

245 [4] 265.8

www.deptan.go.id

Status angka : [4] Angka Sementara

Selainnya adalah Angka Tetap Sumber Data : Departemen Pertanian


(6)

RINGKASAN

Tri Utami. D14070026. 2011. Mutu dan Total Mikroba Karkas Ayam pada Salah Satu Pasar Tradisional dan Modern di Kabupaten Bogor. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan.Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Tuti Suryati, S.Pt.,M.Si. Pembimbing Kedua : Zakiah Wulandari, S.TP.,M.Si.

Produk peternakan seperti daging ayam merupakan sumber protein hewani dengan mutu protein yang tinggi dan kandungan asam amino esensial yang lengkap. Sumber protein hewani tersebut dapat menjadi rusak seperti menurunnya mutu serta tingginya kandungan mikroba jika tidak mendapatkan penanganan yang benar. Penanganan tersebut dimulai sejak pemotongan, transportasi serta pada saat penjualan. Alur proses penanganan tersebut dilakukan pada pedagang yang melakukan pemotongan ayam di rumah pemotongan ayam (RPA). Berbeda dengan pemotongan RPA, pedagang yang melakukan pemotongan langsung di tempat penjualan hanya memperhatikan saat pemotongan dan penjualan karkas ayam. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari mutu dan total mikroba karkas ayam pada salah satu pasar tradisional dan modern yang berupa pasar swalayan di Kabupaten Bogor.

Penelitian ini menggunakan sampel karkas ayam yang berasal dari pedagang pasar tradisional dengan pemotongan di tempat penjualan, pedagang pasar tradisional dengan pemotongan di RPA dan swalayan. Peubah yang diamati adalah mutu dan total mikroba pada karkas ayam dari ketiga jenis sampel yang menjadi target penelitian. Data yang diperolah disajikan secara deskriptif.

Hasil pengklasifikasian mutu kasrkas berdasarkan kriteria SNI 01-3924-2009 menunjukkan bahwa karkas yang diambil dari pedagang pasar tradisional yang melakukan pemotongan di tempat penjualan memiliki tingkatan mutu terbaik yaitu mutu I sebanyak 33,3%, mutu II sebanyak 66,7%, dan mutu III sebanyak 0% untuk sampel. Cemaran mikroba berdasarkan SNI 01-2897-2008 menunjukkan bahwa total mikroba terendah juga didapat dari sampel yang diambil dari pedagang pasar tradisional yang melakukan pemotongan di tempat penjualan yaitu sebanyak 6,6 x 104 cfu/g pada bagian dada dan 9,5 x 104 cfu/g pada bagian paha. Namun demikian, pemotongan ayam di tempat penjualan dapat menimbulkan resiko penyebaran penyakit zoonosis serta pencemaran limbah di pasar. Sebagai kesimpulan, peningkatan mutu dan penghambatan pertumbuhan mikroba pada karkas harus dilakukan melalui manajemen RPA yang baik, sistem rantai dingin dan manajemen karkas yang baik di tempat penjualan.

Kata-kata kunci : mutu karkas, total mikroba, pemotongan RPA, pemotongan langsung di tempat penjualan.