Karakteristik Hasil Fumigasi Amonia dan Daya Tahan Lapisan Finishing Berpelarut Air Pada Beberapa Jenis Kayu dari Hutan Rakyat

v

ABSTRAK
ELA MARLIANA. Karakteristik Hasil Fumigasi Amonia dan Daya Tahan
Lapisan Finishing Berpelarut Air Pada Beberapa Jenis Kayu dari Hutan Rakyat.
Dibimbing oleh I WAYAN DARMAWAN.
Kayu rakyat pada umumnya memiliki warna pucat, tidak awet, dan
memiliki penampilan yang kurang diminati. Cara yang dapat dilakukan untuk
mengatasi hal tersebut adalah dengan melakukan proses finishing pada kayu.
Fumigasi adalah salah satu cara untuk mengubah warna alami kayu menjadi lebih
gelap dengan menggunakan bantuan larutan amonia. Produk mebel sebelum
dipasarkan biasanya dilapisi terlebih dahulu agar penampilan produk kayu
tersebut lebih menarik dan mengurangi terjadinya kerusakan permukaan. Pelapis
yang digunakan pada penelitian ini adalah bahan pelapis dengan pelarut air
(Finishing waterbased), dimana bahan pelapis tersebut tidak mengandung racun
sehingga lebih ramah lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
perubahan warna dan daya tahan kayu rakyat setelah proses fumigasi terhadap
rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephallus Light), mengetahui daya lekat
(cross cut) bahan finishing waterbased, serta untuk mengetahui daya tahan
lapisan finishing waterbased terhadap bahan kimia rumah tangga, panas dan
dingin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, perubahan warna yang mencolok

terjadi pada kayu nangka, mahoni, jati, sawo dan rasamala, sedangkan perubahan
warna yang kurang mencolok terjadi pada kayu angsana, manii dan kaboril.
Fumigasi amonia dapat meningkatkan ketahanan kayu terhadap serangan rayap
kayu kering, dimana kehilangan berat contoh uji yang difumigasi lebih kecil
dibandingkan kehilangan berat contoh uji yang tidak difumigasi. Finishing dengan
menggunakan bahan finishing berpelarut air memiliki daya tahan yang baik
terhadap bahan kimia rumah tangga pada interval waktu satu jam dan 24 jam serta
panas dan dingin. Hasil uji cross cut menunjukkan bahwa, bahan finishing
waterbased memiliki daya lekat yang baik pada permukaan kayu.
Kata kunci: kayu rakyat, fumigasi amonia, finishing waterbased, rayap kayu
kering
ABSTRACT
ELA MARLIANA. Characteristic of Result of Ammonia Fumigation and
Finishing Waterbased Coat Durability on Several Community Wood Species.
Supervised by I WAYAN DARMAWAN.
Wood from community forest in general have a pale color, not durable,
and has a less attractive appearance. Wood finishing was one of the ways to solve
these problem. Ammonia fumigation was one method to change the natural
wood’s color. Before marketed, furniture usually coated in order to make the
better appearance and reduce the surface erosion. Waterbased wood finish used in

this study did not containe toxic and ecofriendly. The purpose of study is to
determine color change and durability of wood from community forest after the
fumigation of dry wood termites (Cryptotermes cynocephallus Light), determine
the cross cut of finishing waterbased, and to determine the durability of finishing
waterbased layer for chemical household, hot, and cold. Result of this study
showed that jackfriut wood, mahogany wood, teak wood, manilkara wood, and

vi

rasamala wood occur significant color changes while angsana wood, manii wood,
and kaboril wood didn’t occur significant color change. Ammonia fumigation can
increase the resistance of wood to dry wood termite attack, where the weight loss
of ammonia fumigated wood was smaller than weight loss sample of unfumigated
wood. Waterbased wood finished have good resistance to chemical household at
one hour and 24 hours intervals and have good resistance to heat and cold. Cross
cut result showed that waterbased wood finished have good adhesion at wood
surface.
Key words : social forest, fumigation of ammonia, finishing waterbased, dry wood
termite


1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kayu adalah komoditas terbesar ketiga yang diperdagangkan di dunia
setelah minyak dan gas (€200 milyar/tahun). Kenaikan rata-rata komoditas kayu
minimum 10%/tahun (Anonim 2010), akan tetapi kayu yang tersedia di hutan
alam semakin sedikit dan semakin mahal harganya. Untuk mengatasi hal tersebut
maka industri-industri penggergajian dan pengerjaan kayu akhirnya
memanfaatkan kayu-kayu dari hutan rakyat. Kayu rakyat pada umumnya memiliki
warna pucat, tidak awet, dan memiliki penampilan yang kurang diminati. Oleh
sebab itu perlu adanya upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas dari kayu hutan
rakyat sehingga kayu tersebut mampu bersaing di pasaran dalam negeri maupun
luar negeri. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas
kayu adalah dengan melakukan proses finishing pada kayu.
Finishing adalah suatu cara untuk memodifikasi penampilan kayu sehingga
penampilan kayu sesuai dengan yang diinginkan. Tujuan dari finishing adalah
untuk meningkatkan nilai estetika dari kayu berupa penampilan warna kayu serta
meningkatkan daya tahan dari suatu produk kayu. Pada saat ini proses finishing
lebih dikenal sebagai proses aplikasi cat. Hal tersebut dikarenakan saat ini

sebagian besar proses finishing dilakukan dan dikerjakan dengan menggunakan
cat sebagai bahan finishing. Sebenarnya finishing mempunyai cakupan yang lebih
luas. Ada banyak proses finishing untuk kayu dan mebel yang dikerjakan dengan
menggunakan bahan-bahan selain cat dan ada banyak proses-proses pekerjaan lain
yang bukan merupakan pengecatan tetapi juga merupakan proses finishing.
Fumigasi adalah salah satu cara untuk mengubah warna alami kayu menjadi
lebih gelap dengan menggunakan bantuan larutan amonia. Selain itu fumigasi juga
dapat meningkatkan ketahanan kayu dari serangan organisme perusak dan jamur.
Menurut Bavaro dan Mossman (1996) proses fumigasi menggunakan amonia
merupakan salah satu metode finishing yang bukan hanya mudah namun hampir
pasti selalu berhasil dan apabila suatu percobaan gagal maka percobaan dapat
diulang lagi. Selain itu perubahan warna pada kayu dapat bertahan selama ratusan
tahun karena pada proses ini yang mengalami perubahan adalah pigmen kayu itu
sendiri dan tidak perlu khawatir akan terjadi pengelupasan.
Seprina (2010) menyatakan fumigasi amonia dapat merubah warna alami
kayu pada beberapa jenis kayu rakyat seperti gohok, bisbul, kecapi, kelapa, durian,
nangka, puspa, waru, lamtoro, dan melinjo dengan menggunakan larutan amonia
teknis 25% sebanyak 2, 4, 6 liter dengan waktu 72 jam. Oleh karena itu
diharapkan teknik ini dapat diaplikasikan untuk kayu rakyat jenis lain seperti
rasamala, sawo, kaboril, nangka, mahoni, manii, angsana, dan jati dengan

perbedaan dari penelitian sebelumnya adalah dengan menggunakan amonia 25%
sebanyak 4 liter dengan waktu 48 jam.
Mebel atau furniture sebelum dipasarkan biasanya dilapisi terlebih dahulu
agar penampilan produk kayu tersebut lebih menarik dan mengurangi terjadinya

2

bahan tersebut menimbulkan emisi bahan kimia yang bersifat racun sehingga
tidak baik bagi kesehatan. Oleh karena itu pada penelitian ini digunakan bahan
pelapis dengan pelarut air (waterbased), dimana bahan pelapis ini tidak
mengandung racun sehingga lebih ramah lingkungan.
Tujuan
1.
2.
3.

Penelitian ini bertujuan untuk:
Mempelajari tingkat perubahan warna pada jenis-jenis kayu hutan rakyat
setelah difumigasi amonia.
Mempelajari daya tahan kayu hutan rakyat setelah fumigasi terhadap rayap

kayu kering (Cryptotermes cynocephalus Light).
Mempelajari daya lekat bahan finishing, daya tahan lapisan finishing dari
bahan kimia rumah tangga, dan daya tahan terhadap panas dingin.
Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan gambaran
tentang cara aplikasi teknik fumigasi amonia sebagai salah satu metode
pewarnaan alami kayu dan penggunaan bahan finishing berpelarut air pada kayu
afrika, angsana, kaboril, jati, mahoni, nangka, rasamala dan sawo untuk
diterapkan pada industri pengerjaan kayu di Indonesia.

TINJAUAN PUSTAKA
Jenis Kayu
Manii (Maesopsis emanii Engl.)
Manii (Maesopsis eminii Engl.) termasuk kedalam famili Rhamnaceae.
Kayu manii termasuk jenis kayu dengan BJ 0,38-0,48 dan termasuk kelas awet IV
dan kelas kuat III (Nurmeryteni 1995). Kayu Afrika memiliki kadar selulosa
47,19%, kadar lignin 20,45%, kadar abu 0,28-1,94%, dan kelarutan ekstraktif
dalam air panas 2,75% (Djauhari 2012). Sifat anatomi kayu afrika antara lain
panjang serat 1,5 μm dan diameter dinding serat 29,5 μm (Pandit dan Kurniawan

2008). Shahnaz (2010) menyatakan bahwa kayu afrika memiliki kandungan tanin
sebesar 4,65%.
Penggunaan kayu manii memerlukan usaha untuk meningkatkan keawetan
kayu dari serangan mikroorganisme perusak, karena keawetan alaminya relatif
rendah. Namun jenis kayu ini masih dapat digunakan sebagai komponen
bangunan dengan beban maksimal tidak melebihi kemampuan kayunya dengan
kelas kuat III, selain itu juga dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan
papan partikel, kerajinan ataupun kayu lapis, serta dapat dijadikan bahan baku
pembuatan pulp dan kertas, terutama pulp yang tidak mengalami proses
pemucatan (unbleached pulp) (Tim jurusan THH 1990).

2

bahan tersebut menimbulkan emisi bahan kimia yang bersifat racun sehingga
tidak baik bagi kesehatan. Oleh karena itu pada penelitian ini digunakan bahan
pelapis dengan pelarut air (waterbased), dimana bahan pelapis ini tidak
mengandung racun sehingga lebih ramah lingkungan.
Tujuan
1.
2.

3.

Penelitian ini bertujuan untuk:
Mempelajari tingkat perubahan warna pada jenis-jenis kayu hutan rakyat
setelah difumigasi amonia.
Mempelajari daya tahan kayu hutan rakyat setelah fumigasi terhadap rayap
kayu kering (Cryptotermes cynocephalus Light).
Mempelajari daya lekat bahan finishing, daya tahan lapisan finishing dari
bahan kimia rumah tangga, dan daya tahan terhadap panas dingin.
Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan gambaran
tentang cara aplikasi teknik fumigasi amonia sebagai salah satu metode
pewarnaan alami kayu dan penggunaan bahan finishing berpelarut air pada kayu
afrika, angsana, kaboril, jati, mahoni, nangka, rasamala dan sawo untuk
diterapkan pada industri pengerjaan kayu di Indonesia.

TINJAUAN PUSTAKA
Jenis Kayu
Manii (Maesopsis emanii Engl.)

Manii (Maesopsis eminii Engl.) termasuk kedalam famili Rhamnaceae.
Kayu manii termasuk jenis kayu dengan BJ 0,38-0,48 dan termasuk kelas awet IV
dan kelas kuat III (Nurmeryteni 1995). Kayu Afrika memiliki kadar selulosa
47,19%, kadar lignin 20,45%, kadar abu 0,28-1,94%, dan kelarutan ekstraktif
dalam air panas 2,75% (Djauhari 2012). Sifat anatomi kayu afrika antara lain
panjang serat 1,5 μm dan diameter dinding serat 29,5 μm (Pandit dan Kurniawan
2008). Shahnaz (2010) menyatakan bahwa kayu afrika memiliki kandungan tanin
sebesar 4,65%.
Penggunaan kayu manii memerlukan usaha untuk meningkatkan keawetan
kayu dari serangan mikroorganisme perusak, karena keawetan alaminya relatif
rendah. Namun jenis kayu ini masih dapat digunakan sebagai komponen
bangunan dengan beban maksimal tidak melebihi kemampuan kayunya dengan
kelas kuat III, selain itu juga dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan
papan partikel, kerajinan ataupun kayu lapis, serta dapat dijadikan bahan baku
pembuatan pulp dan kertas, terutama pulp yang tidak mengalami proses
pemucatan (unbleached pulp) (Tim jurusan THH 1990).

3

Angsana (Pterocarpus indicus W)

Angsana dengan nama latin Pterocarpus indicus W. termasuk kedalam
famili Fabaceae. Angsana termasuk pada kategori kelas awet II (I-IV) dan kelas
kuat II (I-IV) dengan berat jenis 0,65 (0,39-0,94). Daya tahan kayu angsana
terhadap rayap kayu kering ( Cryptotermes cynocephalus Light.) termasuk kelas II.
Pada umumnya kayunya agak lunak, terkadang keras atau sangat keras dengan
nilai penyusutan dalam arah radial dan tangensial secara berurutan adalah 3,0%
dan 5,9% (basah hingga kering tanur). Permukaan kayu licin dan terkadang
terdapat bagian-bagian yang kesat. Pori berbentuk bundar dan hampir seluruhnya
soliter, diameter sangat bervariasi, didalam lingkaran tumbuh 200-300 µm dan
dilar lingkaran tumbuh 50-200 µm. Kayu angsana memiliki kadar selulosa 49,1%,
lignin 23,8%, pentosan 11,0%, abu 0,9%, silika 0,3%, kelarutan dalam alkohol
benzena 2,2%, kelarutan dalam air dingin 0,4%, kelarutan dalam air panas 4,1%,
dan kelarutan dalam NaOH 1% adalah 16,2%. Angsana sangat baik untuk meubel
dan sangat cocok untuk alat-alat menggambar, juga dapat dipakai untuk tiang dan
papan pada bangunan perumahan atau jembatan serta untuk perahu (Martawijaya
et al. 1981).
Jati (Tectona grandis)
Jati termasuk kedalam famili Lamiaceae. Jati merupakan kayu yang agak
keras dan agak berat. Bagian teras berwarna kuning emas kecoklatan sampai
coklat kemerahan, mudah dibedakan dari gubal yang berwarna putih agak keabuabuan. Kayu bercorak dekoratif yang indah karena mempunyai lingkaran tumbuh

yang jelas yang dapat dilihat baik pada bidang lintang, radial maupun tangensial,
sedikit buram dan berminyak. Tekstur kayu agak kasar sampai kasar dan tidak rata.
Arah serat lurus, bergelombang sampai agak berpadu. Berat jenis kayu rata-rata
0,67 (0,62-0,75) dengan kelas awet I-II dan kelas kuat II (Mandang dan Pandit
2002). Martawijaya et al. (1981) menyebutkan kayu jati memiliki kelas awet II
berdasarkan hasil percobaan laboratoris terhadap rayap kayu kering dan percobaan
kubur terhadap rayap tanah dan jamur. Kayu jati memiliki pori soliter atau hampir
seluruhnya soliter dalam susunan tata lingkar dengan diameter 20-40 µm. Kayu
jati memiliki kadar selulosa 47,5%, lignin 29,9%, pentosan 14,4%, abu 1,4%,
silika 0,4%, kelarutan dalam alkohol benzena 4,6%, kelarutan dalam air dingin
1,2%, kelarutan dalam air panas 11,1%, dan kelarutan dalam NaOH 1% adalah
11,8%. Shahnaz (2010) menyatakan kayu jati mengandung kadar tanin sebanyak
4,06%.
Kaboril / Marasi (Hymenaea courbaril L)
Kaboril termasuk kedalam famili Caesalpiniaceae. Kayu ini mempunyai ciri
umum yaitu kayu teras berwarna coklat kemerahan dipisahkan secara jelas dengan
kayu gubal yang berwarna kuning agak kemerahan. Corak bergaris-garis gelap,
tekstur kasar, arah serat berpadu dan kekerasan sangat keras. Ciri anatomi kayu ini
adalah lingkaran tumbuh jelas, ditandai oleh adanya parenkim pita konsentris
yang berjarak teratur. Pembuluh baur, sebagian besar soliter, beberapa berganda
radial 2-4 sel, ukuran sedang, diameter 186 ± 6 μm frekuensi 3 ± 1 per mm2,

4

panjang pembuluh 356 ± 22 μm, dan bidang perforasi sederhana. Noktah antar
pembuluh berhalaman, bentuk bundar sampai lonjong bersusun berseling sampai
berpasangan, ukuran 8,8 ± 0,8 μm (Krisdianto 2012). Menurut Seng (1990) Kayu
kaboril memiliki berat jenis rata-rata 0,73 dan termasuk kelas awet III dan kelas
kuat II.
Mahoni (Swietenia sp.)
Mahoni termasuk kedalam famili Meliaceae, meliputi dua jenis yaitu
Swietenia macrophylla King (Mahoni daun besar) dan Swietenia mahagoni Jacq.
(Mahoni daun kecil). Permukaan kayu agak licin arah serat berpadu dan kadangkadang bergelombang. Pori soliter dan bergabung 2-3 arah radial, diameter 100200 µm. Penyusutan sampai kering udara untuk mahoni daun besar 0,9% (R) dan
1,3% (T), sedangkan sampai kering tanur 3,3% (R) dan 5,7% (T). Kayu mahoni
memiliki kadar selulosa 46,8%, lignin 26,9%, pentosan 16,4%, abu 0,6%, silika
0,1%, kelarutan dalam alkohol benzena 2,4%, kelarutan dalam air dingin 0,4%,
kelarutan dalam air panas 4,5%, dan kelarutan dalam NaOH 1% adalah 18,9%
(Martawijaya et al. 1981). Kayu mahoni memiliki kadar tanin sebesar 6,5%
(Prayitno et al. 2003). Berat jenis mahoni daun besar adalah 0,61 (0,53-0,67)
dengan kelas kuat II-III sedangkan mahoni daun kecil memiliki berat jenis 0,64
(0,56-0,72) dengan kelas kuat II-III. Kayu mahoni secara umum termasuk kelas
awet III. Daya tahan kayu mahoni daun kecil terhadap rayap kayu kering termasuk
kelas III (Martawijaya et al. 1981).
Nangka (Artocarpus heterophyllus)
Nangka (Artocarpus heterophyllus) termasuk kedalam famili Moraceae.
Jenis ini banyak digunakan sebagai bahan bangunan dan bahan baku mebel. Kayu
ini memiliki serat agak kasar dan berwarna kuning sirun mengkilat. Warna kuning
tersebut disebabkan oleh adanya kandungan morin. Kandungan morin pada kayu
nangka dapat digunakan sebagai pewarna kuning pada makanan (Murwetianto
2003). Kayu nangka mempunyai berat jenis rata-rata sebesar 0,61 dengan kelas
awet II-III dan kelas kuat II-III (Seng 1990). Seprina (2010) menyatakan bahwa
kayu nangka memiliki kandungan tanin sebesar 11,10%.
Rasamala (Altingia excelsa N)
Rasamala termasuk ke dalam famili Hamamelidaceae. Kayu ini memiliki
tekstur yang halus, arah serat lurus tetapi seringkali terpilin agak berpadu dan
kadang-kadang berombak. Jika diraba maka akan terasa bahwa permukaan kayu
licin atau agak licin. Rasamala memiliki pori hampir seluruhnya soliter, diameter
75-90 µm. Kadar selulosa 46,1%, lignin 30,0%, pentosan 10,7%, abu 1,4% dan
silika 0,7%, kelarutan dalam alkohol benzena 1,5%, kelarutan dalam air dingin
2,4%, kelarutan dalam air panas 2,8%, dan kelarutan dalam NaOH 1% adalah
14,4%. Berat jenis 0,81 (0,61 – 0,9) dan termasuk kedalam kelas kuat II.
Keawetan kayu rasamala dimasukkan kedalam kelas II-III, tetapi percobaan kubur
keawetannya kelas I. Daya tahan terhadap rayap kayu kering termasuk kelas

5

sedang dan terhadap jamur pelapuk kayu termasuk kelas III-IV (Martawijaya et al.
1989).
Sawo (Manilkara kauki Dubard)
Sawo termasuk kedalam famili Sapotaceae. Kayu terasnya berwarna
merah kecoklat-coklatan, sedang kayu gubalnya berwarna lebih muda dan dapat
dibedakan dengan jelas dari kayu terasmya. Kayu ini termasuk kedalam kelas
awet I dan kelas kuat I dengan berat jenis 1,03 (0,97-1,06). Kayunya keras tetapi
mudah dikerjakan dengan nilai penyusutan dari keadaan basah sampai kering
tanur 3,6% (radial) dan 6,2% (tangensial). Kayu sawo baik digunakan untuk
mebel dan dapat dipakai untuk penggilingan karena tidak mudah pecah dan
seratnya tidak mudah lepas, tahan gesekan serta tahan aus (Martawijaya dan
Kartasujana 1977). Menurut Anisah (2001), kayu sawo memiliki kadar ekstraktif
sebesar 3,28% dan tergolong kedalam kayu yang mengandung zat ekstraktif
sedang.
Fumigasi
Fumigasi amonia (fuming) merupakan metode tradisional untuk
menggelapkan dan memperkaya warna kayu White Oak. Pada awalnya metode ini
ditemukan dengan tidak sengaja dari hasil pengamatan terhadap perubahan warna
yang terjadi pada balok penyusun kandang kuda yang terbuat dari kayu White Oak,
kayu tersebut menjadi berwarna lebih gelap diduga karena berinteraksi dengan
amonia yang berasal dari urin kuda. Proses fuming menggunakan amonia
dikembangkan oleh Gustav Stickley (Rose 1997). Menurut Kramer (1989)
fumigasi amonia adalah mereaksikan amonia dengan tanin dalam kayu agar
terjadi perubahan warna kayu secara permanen.
Dresdner (2005) menyatakan amonia yang digunakan dalam proses
fumigasi ini umumnya berkonsentrasi 26-30%. Waktu fumigasi mempengaruhi
warna yang dihasilkan, semakin lama kayu tersebut difumigasi makin gelap warna
yang akan diperoleh. Waktu yang umumnya digunakan untuk fumigasi adalah 1272 jam. Suhu dalam ruang fumigasi tidak hanya membantu mempercepat proses
fumigasi namun juga mempengaruhi warna yang dihasilkan. Semakin panas suhu
(> 80-82 oC) dalam ruang fumigasi maka warna yang dihasilkan akan semakin
gelap. Proses fuming sebenarnya bukan merupakan pekerjaan yang sulit, namun
membutuhkan ketelitian dan kehati-hatian. Bahan harus diletakkan ke dalam suatu
ruangan kedap udara dengan amonia cair (ammonium hidroksida), pada
konsentrasi 26% yang sudah diletakkan di dalamnya. Waktu yang dibutuhkan
untuk mengubah warna kayu Oak sangat tergantung pada tingkat kepekatan
kompartemen, secara teori 48 jam merupakan waktu yang cukup. Apabila proses
fuming tidak cukup praktis akibat bahan terlalu besar untuk ukuran kompartemen,
dapat digunakan cara lain yaitu dengan menempelkan amonia kuat langsung ke
permukaan bahan dengan bantuan kuas atau spon dengan syarat bahan tersebut
belum mengalami perlakuan staining dan perlakuan lainnya yang mempunyai efek
menutupi pori kayu karena akan menghalangi reaksi yang diinginkan.

6

Amonia
Amonia (NH3) merupakan senyawa nitrogen. Amonia terdapat dalam 2
bentuk yaitu amonia bebas atau tidak terionisasi (NH3) dan dalam bentuk ion
amonia (NH4+). Amonia (NH3) dan garam-garamnya bersifat mudah larut dalam
air. Ion amonium adalah bentuk transisi dari amonia. Amonia banyak digunakan
dalam proses produksi urea, industri bahan kimia (asam nitrat, amonium fosfat,
amonium nitrat, dan amonium sulfat), serta industri bubur kertas dan kertas
(Effendi 2003).
Amonia pada umumnya bersifat basa, namun dapat pula bertindak sebagai
asam yang lemah. Amonia memiliki titik didih -33,34 oC dan titik leleh -77,73 oC,
oleh karena itu cairan amonia harus disimpan dalam suhu yang sangat rendah atau
dalam tekanan yang sangat tinggi. Amonia memiliki berat molekul 17,03, tekanan
uap 400 mmHg (-45,4 oC), kelarutan dalam air 89.9 g/100 ml pada 0 °C, berat
jenis 0,682 (-33,4 oC), berat jenis uap 0,6. Amonia memiliki sifat fisik antara lain
berwujud gas yang tidak berwarna, berbau khas, bersifat iritan dan mudah larut air
(Anonim 2012).
Berdasarkan beberapa hasil penelitian, diperoleh hasil bahwa fumigasi
amonia dapat merubah penampilan warna alami kayu dan dapat berfungsi ganda
sebagai pengawetan kayu. Seprina (2010) dan Shanaz (2010) menyatakan bahwa
persentase kehilangan berat sampel kayu terfumigasi setelah diumpankan pada
rayap kayu kering selama 12 minggu menunjukkan bahwa kayu hasil fumigasi
memiliki daya tahan yang lebih baik terhadap serangan rayap kayu kering yang
diindikasikan oleh penurunan berat contoh uji kayu hasil fumigasi lebih kecil
dibandingkan dengan kayu tanpa difumigasi (kontrol).
Tanin
Tsoumis (1992) menjelaskan bahwa zat ekstraktif terdiri dari bermacammacam zat yang berbeda dalam struktur komposisi kimianya seperti gum, lemak,
damar, gula, pati, minyak, alkaloid dan tanin. Istilah zat ekstraktif ini didasarkan
atas dapat/tidaknya diekstraksikan dari dalam kayu dengan menggunakan pelarut
netral atau pelarut organik. Menurut Sjostrom (1995) tanin adalah suatu senyawa
polifenol dan dari struktur kimianya dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu
tanin terhidrolisis (hidrolizable tannin) dan tanin terkondensasi (condensed
tannin). Tanin terhidrolisis adalah kelompok senyawa-senyawa yang bila
dihidrolisis menghasilkan asam-asam gulat dan elegat dan gula-gula sebagai
produk-produk utama. Tanin-tanin tipe ini tidak terlalu lazim dalam kayu. Tanin
terkondensasi merupakan polimer-polimer flavonoid. Tanin dapat dijumpai pada
hampir semua jenis tumbuhan hijau di seluruh dunia baik tumbuhan tingkat tinggi
maupun tingkat rendah dengan kadar dan kualitas yang berbeda-beda.
Pengolahan Citra
Pengolahan citra merupakan kegiatan memperbaiki kualitas citra agar
mudah diinterpretasi oleh manusia/mesin (komputer). Inputannya adalah citra dan
keluarannya juga citra tapi dengan kualitas lebih baik daripada citra masukan.
Misalnya citra warnanya kurang tajam, kabur (blurring), mengandung noise
(misal bintik-bintik putih), dll sehingga perlu ada pemrosesan untuk memperbaiki

7

citra karena citra tersebut menjadi sulit diinterpretasikan karena informasi yang
disampaikan menjadi berkurang (Hestiningsih 2012).
Menurut Ahmad (2005) dalam Maragia (2007) citra merupakan
sekumpulan titik-titik dari gambar yang berisi informasi warna dan tidak
tergantung pada waktu. Umumnya citra dibentuk dari kotak-kotak persegi empat
yang teratur sehingga jarak horizontal dan vertikal antar pixel sama pada seluruh
bagian citra. Warna citra didapat melalui penjumlahan nilai Red, Green, Blue
(RGB). Pengolahan citra adalah proses untuk mengamati dan menganalisa suatu
objek tanpa berhubungan langsung dengan objek yang diamati.
Perangkat pengolahan citra terdiri dari perangkat keras (hardware) dan
perangkat lunak (software). Model warna telah banyak dikembangkan oleh para
ahli, seperti model RGB (Red, Green, Blue), model CMY (K) (Cyan, Magenta,
Yellow), YcbCr (luminase serta dua komponen kromasi Cb dan Cr), dan HSI (Hue,
Saturation, Intensity). Model warna RGB merupakan model warna pokok aditif,
yaitu warna dibentuk dengan mengkombinasikan energi cahaya dari ketiga warna
pokok dalam berbagai perbandingan. Model warna RGB dapat juga dinyatakan
dalam bentuk indeks warna RGB dengan rumus sebagai berikut:
Indeks warna Merah (IRed)
=
Indeks warna Hijau (IGreen)

=

Indeks warna Biru (IBlue)

=

Rayap Kayu kering (Cryptotermes cynocephallus Light)
Rayap kayu kering merupakan jenis rayap yang masih mampu hidup
dalam kayu berkadar air relatif rendah sekitar 5-6% (Batubara 2006). Rayap kayu
kering mempunyai kepala berwarna coklat gelap kemerah-merahan dengan antena
11 segmen. Segmen kedua lebih panjang dari segmen lainnya. Panjang kepala
dengan mandibel 0,87-0,92 mm. Panjang mandibel 0,50-0,57 mm. Panjang
labrum 0,10-1,11 mm dan lebarnya 0,16-0,17 mm (Nandika et al. 2003). Rayap
ini termasuk famili Kalotermitidae dan biasa menyerang kayu-kayu yang kering,
kayu yang tidak lapuk termasuk kayu struktur bangunan, perabot rumah tangga,
dan tempat penyimpanan kayu. Kalotermitidae diwakili oleh Neotermes tectonae
(hama pohon jati) dan Cryptotermes spp.
Koloni rayap kayu kering berkembang sangat lambat dan maksimum
anggota koloni berjumlah sangat sedikit. Jumlah anggota koloni yang berumur 4
tahunan kurang dari 1000 ekor, sedangkan koloni yang sudah tua berumur 10-15
tahun anggotanya kira-kira berjumlah 3000 ekor. Untuk hidupnya tidak
memerlukan tempat yang lembab dan tidak pernah masuk ke dalam tanah. Cara
penyerangan rayap kayu kering tidak mudah dideteksi sebab hidupnya terisolir di
dalam kayu yang berfungsi sebagai sarangnya. Tanda serangan rayap ini adalah
terdapatnya butiran-butiran kecil halus, kecoklatan dengan ujung yang bulat di
sekitar kayu yang terserang. Sering terlihat secara kasat mata bahwa kayu terlihat
masih utuh dan mulus, namun apabila ditekan/diketuk permukaannya maka kayu
akan pecah sebab telah keropos di dalamnya. Adanya serangan dapat dikenali dari
struktur kayu yang menjadi tidak rata dan meninggalkan kotoran berbentuk
butiran-butiran kecil (Yusuf & Utomo 2006).

8

Finishing
Menurut Darmawan et al. (2011) finishing adalah suatu proses melapisi
permukaan suatu produk kayu dengan bahan pelapis tertentu untuk tujuan
perlindungan dan peningkatan nilai keindahannya. Finishing merupakan salah
satu bagian penting dalam proses pengerjaan kayu. Aspek keindahan yang
diperoleh dari hasil desain yang baik, bahan yang baik dan pekerja yang terampil
dapat ditingkatkan lagi melalui kegiatan finishing.
Agar diperoleh hasil finishing yang maksimal, perlu diperhatikan tahapan
aplikasi bahan finishing. Tahapan pelapisan bahan finishing menurut Darmawan et
al. (2011) adalah sebagai berikut:
a. Persiapan Permukaan atau Pengamplasan
Pengamplasan bertujuan untuk meratakan permukaan kayu dan
mendapatkan permukaan yang halus, sehingga kayu siap menerima pelapisan
berikutnya. Pada tahap pengamplasan dilakukan pembersihan cacat serat berbulu,
debu, resin atau getah kayu, goresan pensil dan cacat rakit.
b. Persiapan Kuas
Ada berbagai jenis, ukuran, dan kualitas kuas. Kuas yang bermutu baik
dibentuk dari bulu-bulu kasar panjang yang meruncing dari pangkal ke ujung.
Bagian dalam kuas dilengkapi dengan ganjal yang terbuat dari kayu, besi, atau
plastik yang berfungsi menahan cat agar tetap diujung kuas. Besarnya ganjal
disesuaikan dengan ukuran kuas dan tebalnya bulu-bulu kuas. Bila menggunakan
kuas, celupkan kuas kedalam bahan cat hanya 1/3 sampai1/2 dari panjang bulubulu kuas, kemudian tarik cepat keleher kaleng dan digerakan untuk mengurangi
kelebihan cat pada bagian kuas. Pemilihan ukuran dan jenis kuas disesuaikan
dengan jenis pekerjaan yang dilakukan.
c. Pengisian Permukaan atau Pendempulan (Filling)
Pendempulan bertujuan untuk mendapatkan permukaan bidang kayu yang
halus dan seragam, dan khususnya diaplikasikan pada kayu dengan serat terbuka,
kayu yang memiliki cacat tergores, serta celah-celah sambungan. Tanpa
penambahan filler bahan-bahan seperti vernish dan cat akan meresap kedalam
kayu, sehingga mengakibatkan pemborosan vernish dan cat. Pelaburan bahan
pengisi dapat dilakukan dengan menggunakan kuas dengan bulu-bulu ujung yang
kaku. Pelaburan dilakukan satu arah dengan mengikuti arah serat kayu.
d. Pewarnaan Dasar (Staining)
Pewarnaan dasar digunakan untuk mencerahkan atau mengubah warna
alami dari substrat (kayu atau rotan), namun tidak mengubah penampilan alami
dari substrat. Pewarnaan dasar dapat diencerkan atau saling dicampurkan untuk
memperoleh warna yang dikehendaki. Bahan pewarna dapat diklasifikasikan ke
dalam tiga kelompok, yaitu larut air, minyak dan aseton. Pewarna pelarut aseton
akan lebih cepat mengering setelah diaplikasikan. Bahan pewarna ini tidak
mengembangkan serat-serat kayu. Bahan pewarna minyak menggunakan pelarut
dari jenis benzolene, naphtha, turpentine. Pewarna jenis ini memiliki penetrasi
yang baik, mudah dipergunakan, dan tidak mengembangkan serat-serat kayu.
Bahan pewarna larut air tersedia dalam berbagai pilihan warna dan dibuat dengan
mencampur bubuk-bubuk kering dengan air. Bahan ini dapat mengembangkan
atau mengangkat serat kayu, dan butuh waktu kurang lebih 12 jam untuk
mengering. Pewarnaan tidak selalu diperlukan atau dibutuhkan dalam finishing

9

kayu. Banyak kayu yang menunjukkan penampilan alami yang menarik justru bila
difinishing dengan bahan finishing transparan.
e. Penutupan Permukaan (Sealing)
Bahan penyekat (sealer) diberikan dengan tujuan sebagai pemisah antara
pewarna dasar (stain) dengan cat akhir (top coat), untuk mencegah migrasi bahan
lapisan cat akhir (top coat) kedalam substrat (kayu) atau dari substrat kelapisan
cat akhir. Selain itu sealer juga dapat membantu memudahkan pengamplasan,
mempercepat pengeringan, dan menjaga kestabilan kayu (menurunkan
higroskopis kayu). Sealer yang baik adalah yang mempunyai daya tutup
permukaan yang baik dan agak lambat kering. Sealer yang mengandung filler
disebut sebagai sanding sealer.
f. Pengecatan Akhir (Top Coating)
Merupakan tahap pelapisan akhir yang dilakukan dalam proses finishing
yang membentuk lapisan tipis yang melindungi dan memberikan kesan keindahan
terhadap permukaan yang dilapisi. Bahan-bahan untuk top coat bisa berupa
varnish, lacquer atau cat. Varnish merupakan kelompok cat akhir yang
memberikan lapisan transparan yang bersih. Bahan penyusunnya terdiri dari kopal,
getah dan pelarut minyak dicampur terpentin. Jenis-jenisnya antara lain oil
Varnish, Spirit Varnish dan Japan Varnish. Lacquer dapat berfungsi sebagai
sealaer dan top coat. Laquer sebagai top coat diformulasi untuk aspek
penampilan, ketahanan, dan kehalusan permukaan. Jenis laquer adalah acidcatalysed, polyurethanes, polyester. Cat merupakan bahan pelapis yang
mengandung pigmen baik dalam bentuk cairan maupun bubuk, yang bila
dipergunakan akan membentuk lapisan tipis yang melindungi serta memberi kesan
keindahan terhadap permukaan yang dilapisi. Ada lima bahan penting yang
menyusun cat, yaitu binder/resin, pigmen, ekstender, pelarut (solvent), dan aditif.
Proses finishing yang biasa dilakukan yaitu dengan menggunakan bahan
finishing cair seperti Oil, Politur, Nitrocellulose, Polyurethane, Melamine, dan
Waterbased Lacquer. Kekurangan dalam penggunaan bahan-bahan finishing
tersebut adalah bahan finishing mengandung emisi formaldehyde terutama pada
penggunaan Melamine dan Polyurethane. Tingginya kandungan formaldehyde
dapat menyebabkan iritasi pada mata dan tenggorokan, kanker, dan jika terpapar
dalam jumlah banyak dapat mengakibatkan kematian (Anonim 2008).
Pada saat ini banyak dikembangkan bahan-bahan finishing berbahan dasar
air yang lebih ramah lingkungan karena kandungan bahan kimia organik yang
mudah menguap lebih rendah. Bahan ini biasanya langsung berasal dari alam dan
tidak melalui industri yang melibatkan bahan kimia berbahaya (Anonim 2012).
Keuntungan penggunaan waterbased material diantaranya adalah :
1. Waterbased merupakan material yang relatif aman.
Bahaya kebakaran merupakan salah satu resiko yang paling besar pada suatu
finishing room. Semua solvent dan material finishing yang menggunakan solvent
merupakan bahan yang mudah terbakar, karena itu suatu finishing room harus
dilengkapi dengan perlengkapan keamanan yang cukup. Waterbased finshing
material yang menggunakan air sebagai solvent utama tentu saja merupakan
material finishing yang mempunyai resiko terbakar yang kecil sehingga lebih
aman dibandingkan base material.
2. Waterbased material merupakan bahan yang lebih ramah lingkungan

10

Proses pengeringan bahan finishing yang mengunakan solvent pasti akan
mengeluarkan gas hasil dari penguapan solventnya baik pada saat aplikasi
maupun saat pengeringan. Waterbased finishing tentu saja akan lebih sedikit
mengeluarkan solvent yang menguap ke udara lingkungan karena tidak banyak
mengandung solvent. Dengan demikian bahan ini akan menghasilkan lebih sedikit
pollutant ke lingkungannya.

METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai bulan Oktober 2012.
Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium Peningkatan Mutu Kayu
Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu dari hutan rakyat
yang berasal dari jawa barat antara lain kayu manii (Maesopsis emanii), kayu
angsana (Pterocarpus indicus W), kayu jati (Tectona grandis), kayu kaboril
(Hymenaea courbaril L), kayu mahoni (Swietenia macrophylla King), kayu
nangka (Artocarpus heterophyllus), kayu rasamala (Altingia excelsa N), kayu
sawo (Manilkara kauki), larutan amonia, air, bahan finishing berpelarut air antara
lain Impra Aqua Wood Filler AWF-911, Impra Aqua Sanding Sealer ASS-941,
dan Impra Aqua Lacquer AL-961 Clear gloss, bahan kimia rumah tangga (kecap,
cuka, saos, dan minyak sayur), es batu, air panas serta rayap kayu kering
(Criptotermes cynocephalus Light).
Alat
Alat yang digunakan adalah Circular saw table, kaliper, timbangan
elektrik, oven, wadah plastik, ruang fumigasi berukuran 93.7 cm x 50.5 cm x 70
cm dengan bohlam (2 x 100) watt sebagai pemanas dan penerang, seperangkat
komputer dengan software pencitra warna RGB dengan aplikasi Adobe Photoshop
CS2 dan aplikasi Microsoft Office 2007, kamera (alat dokumentasi), alat tulis,
kalkulator, penggaris, cutter, kain bersih, kertas ampelas nomor 180, 240 dan 400,
kuas, spray gun, gelas aluminium, gelas kaca berukuran 6 cm x 3 cm x 4 cm, kain
kasa, dan aluminium foil.

10

Proses pengeringan bahan finishing yang mengunakan solvent pasti akan
mengeluarkan gas hasil dari penguapan solventnya baik pada saat aplikasi
maupun saat pengeringan. Waterbased finishing tentu saja akan lebih sedikit
mengeluarkan solvent yang menguap ke udara lingkungan karena tidak banyak
mengandung solvent. Dengan demikian bahan ini akan menghasilkan lebih sedikit
pollutant ke lingkungannya.

METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai bulan Oktober 2012.
Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium Peningkatan Mutu Kayu
Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu dari hutan rakyat
yang berasal dari jawa barat antara lain kayu manii (Maesopsis emanii), kayu
angsana (Pterocarpus indicus W), kayu jati (Tectona grandis), kayu kaboril
(Hymenaea courbaril L), kayu mahoni (Swietenia macrophylla King), kayu
nangka (Artocarpus heterophyllus), kayu rasamala (Altingia excelsa N), kayu
sawo (Manilkara kauki), larutan amonia, air, bahan finishing berpelarut air antara
lain Impra Aqua Wood Filler AWF-911, Impra Aqua Sanding Sealer ASS-941,
dan Impra Aqua Lacquer AL-961 Clear gloss, bahan kimia rumah tangga (kecap,
cuka, saos, dan minyak sayur), es batu, air panas serta rayap kayu kering
(Criptotermes cynocephalus Light).
Alat
Alat yang digunakan adalah Circular saw table, kaliper, timbangan
elektrik, oven, wadah plastik, ruang fumigasi berukuran 93.7 cm x 50.5 cm x 70
cm dengan bohlam (2 x 100) watt sebagai pemanas dan penerang, seperangkat
komputer dengan software pencitra warna RGB dengan aplikasi Adobe Photoshop
CS2 dan aplikasi Microsoft Office 2007, kamera (alat dokumentasi), alat tulis,
kalkulator, penggaris, cutter, kain bersih, kertas ampelas nomor 180, 240 dan 400,
kuas, spray gun, gelas aluminium, gelas kaca berukuran 6 cm x 3 cm x 4 cm, kain
kasa, dan aluminium foil.

11

Metode Penelitian
Proses Fumigasi
Proses fumigasi dilakukan dengan menggunakan larutan amonia
(Ammonium hidroksida 25%) volume 4 liter. Kayu direaksikan dengan amonia di
dalam suatu ruangan tertutup selama 48 jam. Tahap-tahap proses fumigasi yang
dilaksanakan yaitu, persiapan contoh uji, contoh uji kayu yang difumigasi
berukuran 30 cm x 10 cm x 2 cm dan 2 cm x 2 cm x 2 cm ditata dalam ruang
fumigasi dengan penataan bercelah. Larutan amonia sebanyak 4 liter dituangkan
ke dalam wadah plastik, dalam menuangkan amonia diperlukan kehati-hatian dan
sebaiknya menggunakan alat pelindung diri seperti masker, sarung tangan, dan
kaca mata. Wadah plastik tersebut kemudian diletakkan di dasar ruang fumigasi.
Pintu kaca dari ruang fumigasi ditutup rapat untuk menghindari terjadinya
kebocoran dari larutan amonia. Lampu bohlam 100 watt dinyalakan untuk
penerang dan pemanas ruang fumigasi agar amonia dapat menguap dengan baik
(Gambar 1). Setelah 48 jam, penutup ruang fumigasi dibuka menggunakan alat
pelindung diri agar efek dari amonia yang tersisa dapat dihindari. Amonia dalam
wadah plastik dinetralkan dengan cara mencampurkannya dengan air dan contoh
uji dikeluarkan dari ruang fumigasi.

Susunan
contoh
uji
Wadah
berisi
amonia

Gambar 1 Posisi amonia dan kayu di dalam kilang fumigasi
Pengolahan Citra Gambar
Sebelum dan setelah difumigasi, contoh uji diambil gambarnya dengan
menggunakan kamera Cannon EOS 1000D 10 Mega pixel dan Optik Mikroskop
untuk mengetahui perubahan warna yang terjadi. Gambar kayu sebelum dan
setelah difumigasi yang diambil dengan Optik Mikroskop diolah dengan
menggunakan Motic Image Plus 2.0 untuk mengetahui nilai RGB. Pengukuran
nilai RGB dilakukan pada tiga titik pada koordinat yang sama antara sebelum dan
setelah fumigasi. Nilai RGB tersebut kemudian dicatat dan diolah dengan
menggunakan Microsoft Office Excel 2007 untuk mengetahui selisih nilai RGB
antara sebelum dan setelah fumigasi, sehingga dapat diperoleh tingkat perubahan
warna yang terjadi.

12

Uji Ketahanan Terhadap Serangan Rayap
Uji ketahanan terhadap rayap dilakukan dengan menggunakan rayap kayu
kering (Cryptotermes cynocephalus Light). Pengujian dilakukan dengan
menggunakan contoh uji ukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm sebanyak 32 contoh uji (8
jenis kayu) dengan 2 kali pengulangan. Pengujian dilakukan pada kotak kaca
berukuran 6 cm x 3 cm x 3 cm. Contoh uji dioven pada suhu ± 600C selama 24
jam, kemudian contoh uji ditimbang untuk mengetahui berat awal contoh uji (W1).
Contoh uji dimasukkan kedalam wadah kaca dan dimasukkan rayap kayu kering
(Cryptotermes cynocephalus Light) sebanyak 50 ekor. Wadah kaca ditutup
dengan menggunakan kain kasa dan disimpan ditempat gelap selama 12 minggu,
setelah 12 minggu contoh uji dikeluarkan dari kotak kaca dan dibersihkan. Contoh
uji dioven pada suhu ± 600C selama 24 jam, kemudian ditimbang untuk
mendapatkan berat akhir (W2).
Penilaian tingkat keawetan kayu terhadap rayap kayu kering dapat dilihat
dari penurunan berat contoh uji selama pengujian. Berdasarkan nilai kehilangan
berat yang diperoleh maka ketahanan kayu yang telah difumigasi terhadap rayap
kayu kering dapat diklasifikasikan berdasarkan SNI 01. 7207-2006 (Tabel 1).
Persentase pengurangan berat dihitung dengan rumus :
W

KB %

W

W

x

Keterangan :
%KB = persentase kehilangan berat
W1
= berat sebelum pengumpanan (g)
W2
= berat setelah pengumpanan (g)

%

Tabel 1 Klasifikasi ketahanan terhadap rayap kayu kering
Kelas

Ketahanan

Penurunan Berat (%)

I

Sangat tahan

< 2,0

II

Tahan

2,0 – 4,4

III

Sedang

4,4 – 8,2

IV

Tidak tahan

8,2 – 28,1

V

Sangat tidak tahan

>28,1

Sumber : SNI 01. 7207-2006

13

Proses Finishing
a. Persiapan Permukaan Contoh Uji Kayu
Sebelum permukaan kayu contoh uji dilapisi bahan finishing, permukaan
kayu diamplas terlebih dahulu dengan menggunakan kertas amplas nomor 180.
Pengamplasan dilakukan secara manual dengan arah pengamplasan searah dengan
serat kayu. Pengamplasan bertujuan untuk meratakan dan menghaluskan
permukaan kayu.
b. Pemberian Filler
Filler berfungsi untuk menutupi pori-pori dan serat kayu sehingga dapat
mereduksi penggunaan bahan finishing seperti sealer dan top coat. Filler yang
digunakan pada penelitian ini adalah Impra Aqua Wood Filler AWF-911 yang
menggunakan pelarut air. Setelah filler dicampur dengan air, filler diaplikasikan
dengan menggunakan kuas ke seluruh permukaan kayu secara merata, kemudian
contoh didiamkan selama satu hari agar filler dapat menutupi pori secara
maksimal. Setelah satu hari, contoh uji diamplas dengan menggunakan amplas
nomor 240 hingga permukaan kayu rata dan permukaan kayu terlihat kembali.
c. Pemberian Sealer
Sealer berfungsi untuk penghalang antara stain dan top coat atau filler
dengan top coat sehingga top coat tidak masuk ke dalam kayu. Sanding sealer
juga berfungsi untuk menutupi pori-pori kayu agar tidak terlihat lagi dan
merangsang corak dekoratif kayu. Sealer yang digunakan adalah Impra Aqua
Wood Sanding Sealer ASS-941. Sealer tersebut dicampur dengan air sebanyak
10% sesuai dengan standar yang dianjurkan, kemudian diaplikasikan dengan
menggunakan spray gun ke permukaan kayu, hal tersebut dilakukan sebanyak dua
kali. Setelah permukaan kayu kering kemudian permukaan kayu diamplas dengan
menggunakan amplas nomor 400.
d. Pengecatan Akhir (Top Coat)
Cat akhir yang digunakan adalah Impra Aqua Wood Lacquer AL-961 clear
gloss, cat tersebut dicampurkan dengan air sebanyak 30% sesuai dengan standar
yang di ajukan perusahaan. Pengecetan dilakukan dengan menggunakan spray
gun sebanyak dua kali agar mendapatkan hasil yang maksimal.
Uji Daya Lekat Bahan Finishing (Uji Cross Cut)
Uji cross cut bertujuan untuk mengetahui daya lekat cat atau bahan
finishing terhadap substrat (kayu, besi, dll) atau dengan lapisan bawahnya.
Alat untuk mengetahui kekuatan atau daya lekat cat adalah Cross Cut Test (ASTM
D3359-02). Lapisan film cat digores dengan pisau cross cut sebanyak sepuluh
garis secara horizontal dan vertikal hingga mencapai substart (permukaan kayu),
jarak antara garis yang dibuat adalah 2 mm. Setelah dibersihkan dari sisa goresan
cross cut, kotak hasil cross cut diberi plaster dan ditekan dengan ibu jari untuk
memberi daya rekat yang rata dan sama. Setelah rata, plaster dicabut dengan
kecepatan konstan dan hasil dibaca berapa kotak kecil yang tercabut dari lapisan
film cat. Nilai hasil cross cut dapat diklasifikasikan berdasarkan Tabel 2.

14

Tabel 2 Klasifikasi daya lekat berdasarkan ASTM D 3359-02

Sumber : ASTM D 3359-02

Uji Ketahan Bahan Finishing Terhadap Panas Dingin
Uji ketahanan terhadap panas dilakukan dengan cara meletakkan gelas
berisi air panas di atas permukaan contoh uji dan didiamkan sampai air panas
dalam gelas tersebut menjadi dingin, selanjutnya uji ketahanan terhadap dingin
dilakukan dengan cara meletakkan gelas berisi es batu di atas permukaan contoh
uji dan didiamkan sampai es tersebut mencair. Setelah itu permukaan contoh uji
dibersihkan dan dilakukan pengamatan terhadap permukaan contoh uji kemudian
hasilnya diklasifikasikan ke dalam Tabel 3.

15

Tabel 3 Klasifikasi kondisi cacat permukaan berdasarkan ASTM D 1654-92
(2000)
Presentase Permukaan
Bercacat (%)
Tidak bercacat

Kelas
10

0-1

9

2-3

8

4-7

7

7-10

6

11-20

5

21-30

4

31-40

3

41-55

2

56-57

1

>57

0

Sumber : ASTM D 1654-92 (2000)

Uji Ketahanan Bahan Finishing Terhadap Bahan Kimia Rumah Tangga
Uji ketahanan terhadap bahan kimia rumah tangga dilakukan dengan
menggunakan bahan kimia rumah tangga seperti kecap, saos, cuka, dan minyak
sayur. Sebelum dilakukan pengujian contoh uji dikeringkan terlebih dahulu.
Waktu pengeringan yang cukup lama dilakukan dengan tujuan untuk menghindari
terjadinya penguapan dari bahan finishing sehingga dapat menyebabkan
perubahan kecerahan dan kekerasan bahan finishing. Tahapan pengujian yang
dilakukan yaitu permukaan contoh uji dibagi menjadi beberapa bagian, kemudian
setiap bagian dilebur dengan bahan kimia rumah tangga dengan menggunakan
pipet sebanyak dua tetes, kemudian didiamkan selama 5-10 menit. Contoh uji
dibersihkan dengan menggunakan kain lap bersih, kemudian diamati perubahan
fisik yang terjadi pada permukaan contoh uji setelah 1 jam dan 24 jam. Perubahan
fisik yang terjadi pada permukaan contoh uji diklasifikasikan berdasarkan Tabel 3.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Jenis Kayu Terhadap Perubahan Warna Setelah Fumigasi
Perubahan warna menjadi lebih gelap terjadi pada delapan jenis kayu
rakyat setelah difumigasi dengan menggunakan amonia 25% sebanyak 4 liter dan
waktu fumigasi 48 jam. Secara visual perubahan warna yang mencolok terjadi
pada kayu nangka, mahoni, jati, sawo dan rasamala, sedangkan perubahan warna
yang kurang mencolok terjadi pada kayu angsana, manii dan kaboril. Perubahan

15

Tabel 3 Klasifikasi kondisi cacat permukaan berdasarkan ASTM D 1654-92
(2000)
Presentase Permukaan
Bercacat (%)
Tidak bercacat

Kelas
10

0-1

9

2-3

8

4-7

7

7-10

6

11-20

5

21-30

4

31-40

3

41-55

2

56-57

1

>57

0

Sumber : ASTM D 1654-92 (2000)

Uji Ketahanan Bahan Finishing Terhadap Bahan Kimia Rumah Tangga
Uji ketahanan terhadap bahan kimia rumah tangga dilakukan dengan
menggunakan bahan kimia rumah tangga seperti kecap, saos, cuka, dan minyak
sayur. Sebelum dilakukan pengujian contoh uji dikeringkan terlebih dahulu.
Waktu pengeringan yang cukup lama dilakukan dengan tujuan untuk menghindari
terjadinya penguapan dari bahan finishing sehingga dapat menyebabkan
perubahan kecerahan dan kekerasan bahan finishing. Tahapan pengujian yang
dilakukan yaitu permukaan contoh uji dibagi menjadi beberapa bagian, kemudian
setiap bagian dilebur dengan bahan kimia rumah tangga dengan menggunakan
pipet sebanyak dua tetes, kemudian didiamkan selama 5-10 menit. Contoh uji
dibersihkan dengan menggunakan kain lap bersih, kemudian diamati perubahan
fisik yang terjadi pada permukaan contoh uji setelah 1 jam dan 24 jam. Perubahan
fisik yang terjadi pada permukaan contoh uji diklasifikasikan berdasarkan Tabel 3.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Jenis Kayu Terhadap Perubahan Warna Setelah Fumigasi
Perubahan warna menjadi lebih gelap terjadi pada delapan jenis kayu
rakyat setelah difumigasi dengan menggunakan amonia 25% sebanyak 4 liter dan
waktu fumigasi 48 jam. Secara visual perubahan warna yang mencolok terjadi
pada kayu nangka, mahoni, jati, sawo dan rasamala, sedangkan perubahan warna
yang kurang mencolok terjadi pada kayu angsana, manii dan kaboril. Perubahan

16

warna hasil fumigasi disajikan pada Gambar 2. Hasil pada Gambar 2 juga
memperlihakan bahwa bagian gubal pada kayu manii dan kayu kaboril memiliki
warna yang lebih cerah dari bagian terasnya. Setelah mengalami proses fumigasi
warna bagian gubal tetap lebih cerah dibandingkan terasnya. Perubahan warna
pada bagian gubal tidak terlalu mencolok dari warna awalnya. Hal ini disebabkan
kandungan ekstraktif pada kayu gubal lebih sedikit sehingga amonia yang
bereaksi dengan ekstraktif (tanin) tidak memberikan pengaruh yang nyata pada
perubahan warna bagian gubal.

Manii

Sebelum

Setelah

Kaboril

Sebelum

Setelah

Rasamala

Sebelum

Setelah

Angsana

Sebelum

Setelah

Mahoni

Sebelum

Setelah

Jati

Sebelum

Setelah

Nangka

Sebelum

Setelah

Sawo

Sebelum

Setelah

Gambar 2 Perubahan warna kayu hasil fumigasi pada beberapa jenis kayu dengan
waktu fumigasi 48 jam dan volume amonia 4 liter.

17

Perubahan warna pada kayu yang difumigasi amonia diukur secara
kuantitatif dengan menghitung nilai perubahan indeks warna RGB (Red, Green,
Blue) pada kayu sebelum dan setelah mengalami fumigasi. Pengukuran tersebut
diharapkan dapat menggambarkan perubahan warna yang sebenarnya terjadi pada
kayu. Hasil perubahan indeks warna RGB disajikan pada Gambar 3.

0.15
0.12

INDEKS RGB (%)

0.1

0.08
0.06

0.06
0.04

0.04

0.05

0.03

0.02
0

0
0
‐0.01
‐0.02
‐0.03 ‐0.03

‐0.05

‐0.01
‐0.03
‐0.04
‐0.04

‐0.03

‐0.01
‐0.02 ‐0.02

‐0.06
SAWO

RASAMALA

GREEN                 BLUE

MAHONI

KABORIL

JATI

ANGSANA

MANII
RED

NANGKA

‐0.08

‐0.1

Gambar 3 Diagram selisih indeks warna RGB pada delapan jenis kayu yang
difumigasi amonia dalam waktu 48 jam.
Hasil pada Gambar 3 memperlihatkan bahwa penurunan indeks warna
merah terbesar terjadi pada kayu nangka yaitu sebesar 0,08 sedangkan penurunan
indeks warna merah yang paling kecil adalah pada kayu jati dan mahoni yaitu
sebesar 0,01. Selain itu, terjadi peningkatan indeks warna merah pada kayu
kaboril, angsana dan manii. Penurunan indeks warna hijau yang paling besar
adalah pada kayu manii yaitu sebesar 0,06 sedangkan penurunan indeks warna
hijau yang paling kecil adalah pada kayu sawo yaitu sebesar 0,01. Indeks warna
biru mengalami peningkatan yang cukup besar pada kayu nangka yaitu sebesar
0,12 dan terjadi penurunan indeks warna biru pada kayu angsana dan kaboril yaitu
sebesar 0,03.
Muhtar (2008) menyatakan bahwa kecenderungan perubahan warna kayu
menjadi gelap diindikasikan dengan penurunan indeks warna merah dan hijau
diikuti dengan peningkatan nilai indeks warna biru. Dengan melihat besarnya
penurunan indeks warna merah dan hijau disertai dengan peningkatan indeks
warna biru maka secara kuantitatif warna hasil fumigasi pada jenis jati, mahoni,
nangka, rasamala dan sawo lebih gelap dibandingkan dengan jenis kayu manii,
angsana, dan kaboril.
Salah satu faktor yang mempengaruhi dalam perubahan warna kayu pada
proses fumigasi adalah kandungan tanin dalam kayu. Fumigasi menggunakan
amonia yang bersifat basa pada kayu dengan kandungan tanin tinggi
mengakibatkan amonia yang bereaksi pun akan semakin banyak dan warna yang
dihasilkan semakin gelap. Ikatan antara tanin dengan amonia belum diketahui

18

secara pasti, akan tetapi diduga amonia (NH3) akan berikatan dengan gugus –OH
dalam tanin sehingga terbentuk suatu pigme