Karakteristik Hasil Fumigasi Amonia Dan Daya Tahan Lapisan Finishing Pelarut Air (Waterbased Lacquer) Pada Beberapa Jenis Kayu Rakyat.

ABSTRAK
LUCIA YULIANA. Karakteristik Hasil Fumigasi Amonia Dan Daya Tahan
Lapisan Finishing Pelarut Air (Waterbased Lacquer) Pada Beberapa Jenis Kayu
Rakyat. Dibimbing oleh I WAYAN DARMAWAN.
Kayu hutan rakyat memiliki peluang yang tinggi untuk dijadikan produk
bernilai tambah yang tinggi, khususnya furniture. Akan tetapi, kayu dari hutan
rakyat memiliki penampilan yang kurang menarik (warna pucat dan tidak seragam,
serta corak serat kurang menarik) sehingga perlu adanya upaya untuk meningkatkan
kualitas tampilan alaminya, salah satunya dengan metode fumigasi amonia. Metode
fumigasi ini dapat merubah warna dan penampilan kayu menjadi lebih menarik
secara alami. Fumigasi amonia dapat digunakan sebagai metode pewarnaan kayu,
selain menggunakan staining atau dyeing. Penggunaan metode fumigasi amonia
dalam proses finishing kayu juga akan membantu dalam meningkatkan efektifitas
dan efisiensi dari proses finishing. Selain itu, bahan finishing yang digunakan
sebaiknya aman bagi manusia dan memiliki kekuatan fisik lapisan film yang baik.
Salah satu jenis bahan finishing yang aman bagi lingkungan adalah bahan finishing
pelarut air (waterbased lacquer). Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui aplikabilitas pewarnaan alami kayu dengan metode fumigasi amonia
dan efektifitasnya terhadap rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus Light),
serta menguji daya tahan lapisan finishing pelarut air (waterbased lacquer) terhadap
bahan kimia rumah tangga, hot and cold test, dan cross cut test pada sembilan jenis

kayu rakyat terfumigasi dan tanpa fumigasi, delapan jenis diantaranya kayu rakyat
yang diteliti, seperti kayu akasia, jengkol, kemang, laban, lamtoro, manglid, puspa,
dan waru gunung. Satu jenis yang paling populer bagi konsumen Amerika dan
Eropa juga diujikan, yaitu kayu oak. Hasil pengujian menunjukkan bahwa metode
fumigasi amonia meningkatkan nilai estetika kayu (tampilan warna dan corak
alami) dan keawetan kayu. Selain itu, hasil pengamatan secara visual pada kondisi
permukaan kayu terhadap pelunturan bahan kimia rumah tangga dengan interval 1
jam dan 24 jam, dan hot and cold test menunjukkan bahwa bahan finishing pelarut
air memiliki daya tahan lapisan yang kuat, sehingga diklasifikasikan ke dalam kelas
10. Pada pengujian daya lekat cat (uji cross cut), contoh uji kayu jengkol
terfumigasi dan tanpa fumigasi diklasifikasikan ke dalam Grade 4B dan delapan
jenis kayu yang lainnya termasuk Grade 5B.
Kata kunci: Kayu Rakyat, Waterbased, Wood Finishing, Uji Cross Cut, Oak

ABSTRACT
LUCIA YULIANA. Characteristics of Fumigation Ammonia Result and Durability
Waterbased Finishing Lacquer Coated on Some Wood Species from Community
Forest. Supervised by I WAYAN DARMAWAN.
Wood species from community forests have a high chance to be developed of
a high value-added products, particularly furniture. However, these timber forest

have a less attractive appearance (pale colors and ununiforms, as well as less
attractive fibers). Therefore efforts to improve the quality of its natural appearance
are needed. One of the proposed method to improve the quality is ammonia
fumigation method can change the color and appearance of wood becomes more
attractive naturally. Therefore this method can be used for wood staining. The use
of fumigation method in wood finishing process will also help in improving the
effectiveness and efficiency of the finishing process. Finishing materials used
should be safe for humans also having strength and good film layers. One of which
is waterbased lacquer. This study aims to determine the applicability of natural
wood staining by ammonia fumigation method and its effectiveness against dry
wood termites (Cryptotermes cynocephalus Light). The durability of the finishing
layer of waterbased lacquer to household chemicals, hot and cold test, and cross cut
tests were also tested. Wood species studied were A. mangium, A. parviflorum, M.
kemanga, V. pubescens, L. glauca, M. glauca, S. wallichii, and H. tiliaceus. One of
most popular wood species for American and Europe consumers was also tested
(the oak wood). The test results showed that ammonia fumigation method increases
the aesthetic value of wood (color and pattern look natural) and increases durability
of wood. In addition, visual observations on the condition of the finishing lacquer
against household chemicals with intervals of 1 hour and 24 hours, and hot and cold
tests indicate that the layer of waterbased lacquer have a strong resistance layer, and

classified in class 10. Whereas the cross-cut test resistance showed that A.
parviflorum wood of fumigation and non-fumigation classified into Grade 4B and
eight other species were classified Grade 5B.
Keywords: Community Forest, Waterbased, Wood Finishing, Cross Cut Test, Oak.

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Saat ini hutan rakyat telah banyak dikelola dengan orientasi komersial
untuk memenuhi kebutuhan pasar komoditas hasil hutan. Hampir semua jenis
kayu dari hutan rakyat memiliki peluang tinggi untuk dijadikan produk bernilai
tambah yang tinggi, khususnya furniture. Kayu rakyat yang dapat dimanfaatkan
sebagai bahan baku industri sangat banyak, baik dari segi jumlah, jenis maupun
potensinya, diantaranya seperti kayu akasia, jengkol, kemang, laban, lamtoro,
manglid, puspa, dan waru gunung. Akan tetapi, kayu hutan rakyat ini memiliki
penampilan yang kurang menarik (warna pucat dan tidak seragam, serta corak
serat kurang menarik) bila dibandingkan dengan kayu yang berasal dari hutan
alam. Dengan demikian perlu adanya upaya untuk meningkatkan kualitas
penampilan alami dari jenis kayu-kayu tersebut agar dapat bersaing dan diterima

oleh konsumen, khususnya di pasaran internasional. Salah satu upaya dalam
meningkatkan kualitas penampilan kayu adalah dengan teknik fumigasi amonia
(ammonia fumigation). Metode fumigasi amonia mampu merubah warna alami
kayu menjadi gelap dan menyeragamkan tampilan warna kayu.
Fumigasi dengan menggunakan uap amonia merupakan suatu modifikasi
penampilan kayu secara alami dengan cepat, biayanya murah, dan mudah
dilterapkan. Kayu oak sering diberi perlakuan fumigasi amonia dengan perubahan
warna yang indah. Metode ini sudah diterapkan di Amerika dan Eropa, yang
cenderung menyukai warna gelap untuk furniture, sehingga dapat membuka
peluang usaha bagi industri perkayuan di Indonesia.
Pengembangan teknik fumigasi dalam proses finishing kayu juga akan
membantu dalam meningkatkan efektifitas dan efisiensi dari proses finishing,
sehingga tidak perlu menggunakan bahan sintetis dalam pewarnaan kayu, yang
saat ini kurang diminati konsumen karna dianggap berbahaya bagi kesehatan.
Oleh karena itu, dalam proses finishing sebaiknya menggunakan bahan finishing
yang aman dan memiliki daya rekat yang baik terhadap permukaan kayu agar
tidak mudah terkelupas atau tidak menimbulkan perubahan tampilan warna ketika
bereaksi dengan bahan-bahan kimia rumah tangga. Salah satu bahan finishing
yang dapat digunakan adalah waterbased lacquer, yang menggunakan air sebagai
bahan pelarutnya. Waterbased lacquer saat ini sudah beredar dipasaran untuk

memenuhi kebutuhan pengaplikasian kayu. Oleh karena itu, penelitian ini perlu
dilakukan untuk mengetahui karakteristik hasil metode fumigasi amonia sebagai
pewarnaan dasar kayu dan untuk memastikan bahwa bahan waterbased finishes
memiliki daya tahan lapisan cat yang baik serta daya rekat yang kuat terhadap
substratnya.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengetahui karakteristik hasil fumigasi
amonia dalam peningkatan kualitas kayu-kayu rakyat terutama untuk peningkatan
nilai estetika (tampilan warna dan corak alami), dan peningkatan keawetannya, (2)
Mengetahui daya tahan lapisan bahan finishing terhadap pelunturan akibat bahan-

2
bahan kimia rumah tangga, kondisi panas dan dingin, dan (3) Mengetahui daya
rekat bahan finishing terhadap substrat atau lapisan dibawahnya.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai sumber
informasi mengenai karateristik pewarnaan kayu rakyat dengan menerapkan
teknik fumigasi amonia sehingga menjadi salah satu alternatif bagi industri mebel
agar dapat memperoleh kualitas penampilan kayu yang baik dan dapat menjadi
tambahan informasi bagi pelaku industri mengenai penggunaan bahan finishing

pelarut air.

TINJAUAN PUSTAKA
Akasia (Acacia mangium Wild)
Kayu Akasia termasuk kedalam famili Fabaceae. Kayu akasia memiliki BJ
sebesar 0,47–0,52. Kayu akasia memiliki corak yang polos berwarna gelap dan
terang bergantian pada bidang radial, tekstur halus sampai agak kasar dan merata,
arah serat biasanya lurus, kadang terpadu. Permukaan agak mengkilap, kesan
rabanya licin dan kekerasannya berkisar dari agak keras sampai dengan keras
(Pandit dan Kurniawan 2008).
Kayu akasia yang diperoleh dari hutan tanaman diduga mempunyai sifat
yang berbeda dalam hal sifat anatomi, sifat mekanis, komposisi bahan kimia, kayu
remaja dan kayu reaksi. Beberapa pengalaman membuktikan bahwa kayu akasia
berpotensi untuk digunakan sebagai kayu gergajian, moulding, meubel dan vinir.
Papan yang diperoleh dari kayu akasia cukup memuaskan dengan permukaan
yang bersih serta lurus tanpa gigitan gigi gergaji, arah seratnya lurus pada arah
tangensial namun sedikit terjalin (interlocking) pada arah radial. Berdasarkan sifat
tersebut terlihat bahwa kayu akasia tidak cukup kuat untuk kayu struktural
konstruksi berat akan tetapi lebih baik digunakan untuk kayu konstruksi ringan
dan meubel, sehingga kayu ini sangat potensial dikembangkan sebagai industri

meubel dan pembuatan kusen.
Jengkol (Archidendron parviflorum)
Pohon jengkol merupakan tumbuhan asli Indonesia yang dapat tumbuh di
dataran rendah hingga ketinggian 1000 mdpl. Tumbuhan jengkol dibudidayakan
secara umum oleh penduduk di Jawa dan Sumatera.
Damayanti dan Mandang (2007) dalam Muhammad (2012) mengemukakan
bahwa kayu teras jengkol berwarna merah muda sedikit keputihan, dapat
dibedakan secara jelas dengan kayu gubal yang berwarna putih, kuning sampai
coklat pucat. Arah serat lurus dengan sedikit berpadu atau bergelombang dengan

2
bahan kimia rumah tangga, kondisi panas dan dingin, dan (3) Mengetahui daya
rekat bahan finishing terhadap substrat atau lapisan dibawahnya.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai sumber
informasi mengenai karateristik pewarnaan kayu rakyat dengan menerapkan
teknik fumigasi amonia sehingga menjadi salah satu alternatif bagi industri mebel
agar dapat memperoleh kualitas penampilan kayu yang baik dan dapat menjadi
tambahan informasi bagi pelaku industri mengenai penggunaan bahan finishing
pelarut air.


TINJAUAN PUSTAKA
Akasia (Acacia mangium Wild)
Kayu Akasia termasuk kedalam famili Fabaceae. Kayu akasia memiliki BJ
sebesar 0,47–0,52. Kayu akasia memiliki corak yang polos berwarna gelap dan
terang bergantian pada bidang radial, tekstur halus sampai agak kasar dan merata,
arah serat biasanya lurus, kadang terpadu. Permukaan agak mengkilap, kesan
rabanya licin dan kekerasannya berkisar dari agak keras sampai dengan keras
(Pandit dan Kurniawan 2008).
Kayu akasia yang diperoleh dari hutan tanaman diduga mempunyai sifat
yang berbeda dalam hal sifat anatomi, sifat mekanis, komposisi bahan kimia, kayu
remaja dan kayu reaksi. Beberapa pengalaman membuktikan bahwa kayu akasia
berpotensi untuk digunakan sebagai kayu gergajian, moulding, meubel dan vinir.
Papan yang diperoleh dari kayu akasia cukup memuaskan dengan permukaan
yang bersih serta lurus tanpa gigitan gigi gergaji, arah seratnya lurus pada arah
tangensial namun sedikit terjalin (interlocking) pada arah radial. Berdasarkan sifat
tersebut terlihat bahwa kayu akasia tidak cukup kuat untuk kayu struktural
konstruksi berat akan tetapi lebih baik digunakan untuk kayu konstruksi ringan
dan meubel, sehingga kayu ini sangat potensial dikembangkan sebagai industri
meubel dan pembuatan kusen.

Jengkol (Archidendron parviflorum)
Pohon jengkol merupakan tumbuhan asli Indonesia yang dapat tumbuh di
dataran rendah hingga ketinggian 1000 mdpl. Tumbuhan jengkol dibudidayakan
secara umum oleh penduduk di Jawa dan Sumatera.
Damayanti dan Mandang (2007) dalam Muhammad (2012) mengemukakan
bahwa kayu teras jengkol berwarna merah muda sedikit keputihan, dapat
dibedakan secara jelas dengan kayu gubal yang berwarna putih, kuning sampai
coklat pucat. Arah serat lurus dengan sedikit berpadu atau bergelombang dengan

3
tekstur agak kasar tapi rata dan memiliki tingkat kekerasan sangat lunak sampai
agak keras.
Kayu jengkol termasuk ke dalam kelas kuat II-III dengan kelas awet IV-V
dengan berat jenis 0,4 (0,41-0,60). Kayu jengkol dapat digunakan untuk
konstruksi ringan, papan sambung inferior, furnitur, lemari, kapal, dayung,
perabot rumah tangga, pegangan pisau, sarung senjata, kotak dan peti mati. Selain
itu dapat juga digunakan sebagai kayu bakar.
Kemang (Mangifera kemanga)
Kemang (Mangifera kemanga) adalah pohon buah sejenis mangga dengan
bau yang harum. M. kemanga termasuk kedalam famili Anacardiaceae dan juga

dikenal dengan nama lain seperti palong (Kutai). Kemang menyebar secara alami
di Sumatera, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya. Selain itu, kemang juga
banyak dibudidayakan di Jawa bagian barat, terutama Bogor. Tumbuhan ini
terutama menyebar di dataran rendah pada ketinggian 400-800 mdpl. Jenis ini
tahan terhadap penggenangan dan seringkali dijumpai tumbuh di dekat sungai.
Laban (Vitex pubescens)
Laban termasuk famili Verbenaceae dan berupa pohon yang tingginya
hingga mencapai 25 m. Pohon ini mempunyai banyak cabang yang tidak lurus
serta tidak teratur. Kayunya cukup keras, padat, seratnya lurus, warnanya
berselang-seling coklat kuning dan coklat pudar tua, dan kulit batangnya berwarna
kuning kelabu. Laban terdapat hampir di seluruh Indonesia, Jawa, Madura,
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bangka.
Manfaat dari pohon laban antara lain daunnya digunakan untuk mengobati
luka, kudis dan demam. Kulit kayunya digunakan untuk mengeringkan luka,
sekaligus mempercepat proses penyembuhannya. Akar laban dapat dijadikan
ramuan selepas bersalin, sakit badan, awet muda, antioksidan, mencairkan darah
dan dapat melegakan batuk. Daun dan kulit laban berperan sebagai obat untuk
memulihkan kesehatan setelah bersalin. Warna hijau muda diperoleh dari kain
dicelup dahulu dalam larutan tom/tarum, kain menjadi berwarna biru, setelah agak
kering kain dicelupkan kembali pada larutan kayu laban dan daun dandang gula.

Kayu laban mempunyai warna yang indah sehingga banyak dipakai untuk
pembuatan perkakas rumah tangga. Rebusan kulit V. pubescens digunakan untuk
mengobati sakit perut, dan tapal dari daun yang digunakan untuk mengobati
demam dan luka (Anonim 2007).
Lamtoro (Leucaena glauca)
Kayu lamtoro merupakan famili Leguminosae, termasuk kayu yang keras
(Heyne 1987 dalam Seprina 2010). Lamtoro cukup mudah dikeringkan dengan
hasil yang baik dan mudah dikerjakan. Kayu terasnya berwarna coklat kemerahan
atau keemasan, bertekstur sedang, cukup keras dan kuat sebagai kayu perkakas,
meubel, tiang atau penutup lantai. Kayu lamtoro tidak tahan terhadap serangan

4
rayap dan cepat membusuk apabila digunakan di luar ruangan, tetapi mudah
menyerap bahan pengawet (Anonim 2009).
Manglid (Manglietia glauca Bl.)
Manglietia glauca Bl. merupakan salah satu jenis dari famili Magnoliaceae
dan dikenal dengan nama daerah Manglid (Sunda), cemapaka bulus (Jawa),
kepelan (Bali), dan Sitibai (Minangkabau). Manglid dapat mencapai ketinggian
hingga 25-40 m dengan bebas cabang 25 m dan diameter mencapai 150 cm dan
tersebar pada ketinggian 1000-1500 mdpl. Kayu manglid mengandung komponen
kimia seperti selulosa, alpha selulosa, holoselulosa, hemiselulosa, lignin, abu dan
silika, yang tersaji pada Tabel 2.
Tabel 1 Komponen kimia kayu manglid

Komponen Kimia
Selulosa
Alpha selulosa
Holoselulosa
Hemiselulosa
Lignin
Abu
Silika

Kadar (%)
87
90
72
85
96
56
08

Sumber: Triana (2005) dalam Anonim (2010)

Kayu manglid memiliki kayu yang mengkilap, struktur padat, halus,
ringan dan kuat. Kekuatan kayunya digolongkan dalam kelas III dan kelas awet II.
Adapun keuntungan dari kayu manglid adalah mudah dikerjakan karena memiliki
BJ 0,41. Kayu ini sering digunakan sebagai bahan baku pembuatan jembatan,
perkakas rumah, dan barang-barang lainnya (Djam’an 2006).
Oak (Quercus sp.)
Kayu oak termasuk ke dalam famili Fagaceae. Di seluruh dunia terdapat
sekitar 400 jenis oak dan dibagi dalam 3 kelompok jenis yaitu red oak, oak dan
grup antara keduanya (Tucker 1980, Nixon 1997, Stephen R Shifley Dan Robert
Rogers 2002 dalam Muhtar 2008). Oak memiliki nama botani Ouercus Alba.,
famili dari fagaceae, tumbuh alami di Amerika Utara bagian Timur dari Selatan
Quebec sampai daerah Barat Minessota dan kearah Selatan Florida Utara ke
Timur sampai Texas. Penyebaran kayu secara geografis berada di daerah Amerika
bagian Utara, jenisnya antara lain white oak (Q. alba), chestnut oak (Q. prinus),
post oak (Q. stellata), overcup oak (Q. lyrata), swamp chestnut oak (Q. michauxii),
swamp white oak (Q. bicolor), bur oak (Q. macrocarpa) chinkapin oak (Q.
muechlenbergii), dan live oak (Q. virginiana).
Dari semua jenis oak, Quercus alba merupakan jenis yang utama dan yang
paling penting untuk produksi venir dan kayu gergajian. Pohon ini dapat tumbuh

5
hingga mencapai 30 meter dan diameter 90-120 cm, mampu hidup hingga
mencapai lebih dari 500 tahun, kayu gubal berwarna putih hingga cokelat muda
dengan kepekatan yang berbeda-beda. Kayu teras berwarna kuning muda
kecokelatan hingga cokelat gelap. Pori-pori kayu teras biasanya mengandung
tilosis, yang dapat mencegah masuknya bahan cair ke dalam kayu. Kayu oak
lebih berat dari pada kayu red oak. Kayu teras mempunyai ketahanan yang baik
terhadap pembusukan (USDA FPL 1974).
Variasi warna kayu jenis ini harus diperhatikan namun dapat dibedakan
dengan jelas dengan red oak yang memiliki serat terbuka dengan jari-jari yang
lebih panjang dibandingkan red oak, kadang berbulu dan memuntir. Papan
tangensial menampilkan corak menyerupai lidah api hasil dari lingkaran tumbuh,
sedangkan potongan radial memiliki pola mirip garis belang harimau dengan
tekstur kayu medium sampai kasar (Keeler 1900 dalam Muhtar 2008).
Puspa (Schima wallichii)
Kayu puspa termasuk ke dalam famili Theaceae yang tinggi pohonnya dapat
mencapai 40 meter dengan diameter sampai 250 cm dan tidak berbanir. Kulit luar
berwarna merah muda, merah tua sampai hitam, beralur dangkal dan mengelupas.
kayu teras berwarna coklat-merah atau coklat kelabu. Kayu gubal berwarna lebih
muda dan tidak mempunyai batas yang jelas dengan kayu teras. Kayu Puspa
memiliki tekstur kayu yang halus, arah seratnya lurus atau berpadu. Permukaan
kayu mengkilap, kesan rabanya licin dan struktur pori-pori hampir seluruhnya
soliter dan kadang-kadang berisi tilosis. Persentase komponen kimia kayu puspa
tersaji pada Tabel 3. Hasil penelitian Seprina (2010) memperoleh kandungan tanin
kayu lamtoro sebesar 1,88%.
Tabel 2 Komponen kimia kayu puspa

Komponen Kimia

Kadar (%)

Selulosa
Lignin
Pentosan
Abu

51,2
27,0
16,6
0,4

Silika

0,1

Sumber: Martawijaya A, Kartasujana I, Mandang YI, Kadir K, Prawira SA.(1989)

Kayu puspa cocok digunakan untuk tiang dan balok bangunan perumahan
dan jembatan tetapi kurang baik untuk dibuat papan karena mudah berubah bentuk.
Selain itu, kayu Puspa dapat dipakai untuk lantai, meubel rumah, perkapalan
(gading-gading, dek) dan bantalan (diawetkan) (Martawijaya et al 1989).
Waru Gunung (Hibiscus tiliaceus L.)
Waru termasuk dalam famili Malvaceae. Pada bagian teras berwarna kelabu
dan termasuk kayu ringan. Kayu waru dapat bertahan dalam tanah, sehingga
kayunya dapat dipakai sebagai tiang. Di Jawa, kayu waru digunakan untuk

6
pembuatan kereta dan pedati, khususnya untuk pembuatan bingkai roda, ruji-ruji
dan galah, serta untuk gagang kapak. Keawetan kayu waru terhadap serangga
akan bertambah apabila bagian kayu gubalnya dihilangkan (Heyne 1987 dalam
Seprina 2010). Seprina (2010) meneliti kandungan tanin pada beberapa jenis kayu,
salah satunya kayu waru. Hasil penelitian kandungan tanin pada kayu waru
diperoleh sebesar 5,04%.
Fumigasi Amonia
Sebenarnya telah ada metode pewarnaan cara fumigasi, seperti fumigasi
belerang untuk menggelapkan dan mengkilapkan warna rotan secara alami.
Belakangan ini aplikasi metode fumigasi, khususnya fumigasi amonia, telah mulai
dicobakan pada kayu. Keunggulan dari metode fumigasi amonia ini adalah dapat
meningkatkan tampilan warna dan corak kayu secara alami. Metode ini telah
dicobakan di Amerika dan Eropa untuk mengubah tampilan warna dan corak
alami kayu dengan hasil yang memuaskan (Kramer 1989). Fumigasi amonia
merupakan salah satu metode pewarnaan kayu secara alami untuk menggelapkan
dan memperkaya warna kayu oak. Fumigasi amonia ini tidak hanya mudah
dilakukan namun hampir selalu berhasil dan sangat aman. Fumigasi merupakan
proses dimana gas amonia bereaksi dengan kayu yang memiliki tanin alami.
Perubahan warna yang telah terjadi pada kayu diperkirakan dapat bertahan selama
ratusan tahun karena perubahan warna ini dialami oleh pigmen kayu itu sendiri
dan tidak perlu khawatir akan terjadinya pengelupasan maupun pelunturan.
Menurut Kramer (1989), fumigasi amonia bertujuan mereaksikan amonia dengan
tanin dalam kayu agar terjadi perubahan warna secara permanen. Fumigasi
amonia akan memberikan warna kayu menjadi sangat menarik dan warnanya
lebih gelap. Dalam menggunakan amonia anhidrat diperlukan kewaspadaan
karena amonia merupakan salah satu bahan kimia yang berbahaya.
Fumigasi amonia merupakan metode yang digunakan dalam proses
pembuatan furnitur, dengan warna kayu menjadi lebih gelap. Teknik ini hampir
sama dengan finishing konvensional. Keuntungan menggunakan metode fumigasi
amonia adalah amonia bekerja sendiri dalam proses fumigasi. Fumigasi membuat
warna kayu lebih seragam dan lebih natural. Karakteristik hasil fumigasi lainnya
adalah terbukanya pori-pori kayu dengan jelas seperti oak yang mengumpulkan
zat warna ke dalam pori-pori kayu, sehingga diperoleh warna yang lebih gelap
dan tampilan corak kayu yang indah.
Peran Tanin dalam Fumigasi Amonia
Kayu memiliki warna alami yang bervariasi dari hampir putih sampai
berwarna hitam. Warna kayu dapat terjadi, terutama disebabkan karena adanya zat
ekstraktif yang berpigmen pada kayu. Perbedaan warna kayu tidak hanya terjadi
antar jenis kayu yang berbeda saja, tetapi perbedaan warna kayu ini juga dapat
terjadi dalam jenis yang sama, bahkan dapat terjadi pada sebatang kayu.
Kandungan zat ekstraktif yang berpengaruh terhadap perubahan warna ini adalah
asam tanin (tannin acid).

7
Asam tanin atau yang lebih dikenal dengan tanin merupakan bahan baku
pembuatan stain (warna). Asam tanin secara alami terdapat pada kayu oak, walnut,
mahoni, dan dapat diaplikasikan pada kayu yang memiliki kadar tanin rendah
dengan cara melapisi permukaan kayu dengan tanin yang dijual di pasaran. Luza
(2009) menyatakan bahwa fumigasi menggunakan amonia yang bersifat basa pada
kayu dengan kandungan tanin tinggi mengakibatkan amonia yang bereaksi
semakin banyak dan warna yang dihasilkan semakin gelap.
Pengolahan Citra (Image Processing)
Pengolahan citra adalah proses mengamati dan menganalisa suatu objek
tanpa berhubungan langsung dengan objek yang diamati. Proses dan analisanya
melibatkan persepsi visual dengan data masukan maupun data keluaran yang
diperoleh berupa citra dari objek yang diamati. Teknik-teknik pengolahan citra
meliputi penajaman citra, penonjolan fitur tertentu dari suatu citra, kompresi citra
dan koreksi citra yang tidak fokus atau kabur. Sedangkan citra merupakan
sekumpulan titik-titik dari gambar yang berisi informasi warna dan tidak
tergantung pada waktu. Umumnya citra dibentuk dari kotak-kotak persegi empat
yang teratur sehingga jarak horizontal dan vertikal antar pixel sama pada seluruh
bagian citra. Warna citra diperoleh dari penjumlahan nilai Red, Green, dan Blue
(RGB) (Ahmad 2005 dalam Pradibta 2009).
Menurut Ahmad (2005) dalam Pradibta (2009) pengolahan warna
menggunakan model warna RGB sangat mudah dan sederhana, karena informasi
warna dalam computer sudah dikemas dalam model yang sama. Salah satu cara
yang mudah untuk menghitung nilai warna dengan menafsirkan hasilnya dalam
model warna RGB adalah dengan melakukan normalisasi terhadap ketiga
komponen tersebut. Normalisasi perlu dilakukan bila sejumlah citra ditangkap
dengan penerangan yang berbeda-beda. Hasil perhitungan tiap komponen warna
pokok yang telah dinormalisasi akan menghilangkan pengaruh penerangan,
sehingga nilai untuk setiap komponen warna dapat dibandingkan satu sama
lainnya walaupun berasal dari citra dengan kondisi penerangan yang berbeda.
Bahan Finishing Pelarut Air (Waterbased Finishes)
Bahan finishing pelarut air adalah bahan finishing yang menggunakan air
sebagai pelarut utama. Bahan finishing ini hanya sedikit mengeluarkan emisi gas
pada saat proses pengeringannya sehingga tidak akan mengotori udara lingkungan.
Proses pengeringannya akan lebih lama dari jenis bahan finishing yang lain karena
proses penguapan air yang lebih lambat daripada penguapan alkohol ataupun
thinner. Namun kualitas lapisan film yang diciptakan tidak kalah baik dengan NC
(Nitrocelullose) atau melamine.
Di pasaran ada banyak sekali waterbased finishing material yang telah
tersedia untuk memenuhi kebutuhan manusia, seperti waterbased coating,
waterbased filer, waterbased stain, dan waterbased paint atau base coat. Bahan
finishing pelarut air ini berbeda dari semua bahan pelarut finishing yang lainnya,
antara lain mampu mengurangi kandungan bahan pelarut yang dipakai, mudah
dibersihkan dengan air, dan tidak berwarna (Flexner 1994). Keuntungan lain yang

8
diperoleh dari bahan jenis ini adalah ramah lingkungan. Di samping aman bagi
para karyawan yang bekerja di ruang finishing, saat di pergunakan oleh konsumen,
penguapan bahan kimia juga lebih kecil.
Finishing Kayu (Wood Finishing)
Finishing kayu (Wood Finishing) adalah suatu proses dengan melakukan
tahapan-tahapan kegiatan pengaplikasian suatu cairan (paint) yang akan menyebar
pada suatu permukaan (surface) khususnya kayu, dan setelah mengering akan
membentuk lapisan film tipis yang padat (Solid Thin Film) yang berfungsi sebagai
perlindungan (protektif) dan peningkatan nilai keindahan kayu (dekoratif)
(Adidarma 1998). Sifat-sifat finishing pada prinsipnya dapat dipengaruhi oleh tiga
macam faktor diantaranya faktor kayu, faktor bahan pelapis yang digunakan, dan
faktor aplikasi bahan finishing yang digunakan (USDA FPL 1974).
a. Faktor kayu
Kayu merupakan bahan baku yang sering digunakan dalam industri
furniture dan material kayu memerlukan proses finishing dalam rangka
peningkatan nilai jualnya. Setiap jenis kayu memiliki sifat dan karakteristik yang
berbeda sehingga sangat berpengaruh terhadap proses finishing. Beberapa sifat
kayu yang berpengaruh dalam proses finishing adalah kembang susut kayu,
kandungan zat ekstraktif, ukuran pori, dan tekstur kayu (ATTC 1992 dalam
Nurhayati 2008).
b. Faktor bahan finishing
Menurut ATTC (1992) dalam Nurhayati (2008), cat dapat didefinisikan
sebagai material pelapis berwarna dalam bentuk cair atau serbuk, setelah
diaplikasikan akan membentuk lapisan fil yang tipis dan kering serta mempunyai
fungsi sebagai pelindung dan memperindah permukaan kayu. Dalam cat terdapat
5 komponen penyusunnya yaitu bahan pembentuk film (binder), bahan pewarna
(pigmen), bahan tambahan (extender) bahan pengisi (solvent), dan bahan
pembantu ( additive).
c. Faktor aplikasi bahan finishing
Bahan finishing dapat diaplikasikan menggunakan rubbing, rolling,
brushing, dan spraying. Metode yang lebih tepat digunakan tergantung pada
beberapa faktor, termasuk karakteristik bahan finishing, metode pengaplikasian,
atau ukuran dan bentuk objek yang akan di-finishing. Adapun keuntungan dalam
penggunaan spray gun jika dibandingkan dengan brushing dan rolling adalah
memiliki kualitas dan kapasitas produksi yang lebih baik, kemampuan untuk
melapiskan sejumlah bahan cat yang efektif menempel pada permukaan substrat
jauh lebih baik. Akan tetapi, penggunaan spray gun membutuhkan keterampilan
operator yang tinggi agar diperoleh hasil finishing yang baik (Sunaryo 1997
dalam Nurhayati 2008).

9
Keawetan Alami Kayu
Keawetan kayu adalah daya tahan kayu terhadap berbagai faktor perusak
kayu. Biasanya faktor perusak yang dimaksud adalah faktor biologis seperti jamur,
serangga (terutama rayap dan bubuk kayu kering) dan binatang laut. Sifat
keawetan ditentukan berdasarkan persentase penurunan berat kayu akibat
serangan faktor biologis. Sedangkan sifat keterawetan adalah kemampuan kayu
menyerap bahan pengawetan tertentu yang diawetkan dengan metode tertentu
(Martawijaya & Barly 2000).
Nandika et al. (1996) menyatakan keawetan kayu adalah daya tahan suatu
kayu terhadap serangan organisme perusak kayu seperti serangga dan jamur.
Keawetan secara alami ditentukan oleh jenis dan banyaknya zat ekstraktif yang
bersifat racun terhadap organisme perusak kayu yang tentu saja bervariasi
menurut jenis kayu, umur pohon, lokasi dalam batang dan lain-lain. Hal inilah
yang menyebabkan keawetan alami berbagai jenis kayu berbeda-beda. Bahkan
pada jenis kayu yang sama dan pada pohon yang sama pun keawetan kayu
berbeda.
Rayap Kayu Kering (Cryptotermes cynocephalus Light)
Biologi dan Perilaku Rayap
Rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus) termasuk famili
Kalotermitidae dan biasanya menyerang kayu-kayu kering yang digunakan
sebagai bahan bangunan, perlengkapan rumah tangga, dan lain-lain. sarangnya
terletak di dalam kayu dan tidak mempunyai hubungan dengan tanah. rayap kayu
kering dapat bekerja dalam kayu yang mempunyai kadar air 10-12% atau lebih
rendah (Tarumingkeng 1971 dalam Pradibta 2009).
Rayap kayu kering adalah jenis rayap yang sangat umum terdapat pada
daerah-daerah tropis, khususnya pada dataran rendah Jawa Barat, Sumatera,
Kalimantan dan Filipina. Penyebaran rayap kayu kering berhubungan dengan
iklim lembab. Nimfa C. cynocephalus memiliki panjang 5-6 mm dengan warna
kuning kecoklatan. Pada kasta reproduktif muda berukuran 10 mm. rayap kayu
kering merupakan perusak kayu paling banyak, terutama pada kayu yang berada
dalam keadaan kering, seperti kusen pintu, jendela, alat-alat rumah tangga dan
lain-lain. Hampir semua kayu ringan dan tidak awet diserang. Bahan-bahan lain
yang mengandung selulosa seperti kertas dan kain diserang juga (Tarumingkeng
1971 dalam Pradibta 2009).
Bentuk Kerusakan
Serangan rayap kayu kering tidak mudah terlihat dari luar karena hanya
pada bagian yang terlindung. Dari bagian luar, kayu yang diserang kelihatan
masih utuh, padahal pada bagian dalam telah berlubang-lubang atau rusak sama
sekali. Rayap mampu memperluas serangannya sampai bagian-bagian yang tinggi
dengan membuat sarang antara di dalam bangunan yang jauh dari tanah dan
memanfaatkan sumber-sumber kelembaban yang tersedia dalam bangunan
tersebut. Kondisi tersebut hanya berlaku pada rayap tanah yang hidupnya mutlak

10
tergantung dari adanya air dan tanah sebagai kebutuhan penting untuk
kehidupannya.
Rayap kayu kering sendiri memiliki cara penyerangan yang berbeda
dengan rayap tanah. Di Indonesia hanya ditemukan sedikit jenis rayap ini dimana
yang umum ditemukan adalah C. cynocephalus. Serangga ini memiliki
kemampuan hidup pada kayu-kayu kering di dalam bangunan gedung. Rayap ini
tidak membangun sarangnya di atas permukaan kayu tetapi membangun
sarangnya hanya di dalam kayu. Adanya serangan rayap seringkali diketahui
setelah kayu yang diserang menjadi keropos tanpa adanya pecahan pada
permukaannya. Serangan rayap kayu kering ini dapat dikenali dari adanya
butiran-butiran kecil, lonjong, dan agak bertakik yang berwarna coklat muda.
Serangan rayap kayu kering umumnya tidak terbatas pada kayu struktur
bangunan tetapi juga seringkali menyerang barang-barang meubel tetapi tidak
menyerang barang berlignoselulosa lainnya seperti kertas atau buku, kain, dan
sebagainya. Namun daya serang rayap ini terbatas sehingga serangan rayap ini
kurang berbahaya dibandingkan dengan serangan rayap tanah. Adapun beberapa
faktor pendorong serangan rayap pada bangunan antara lain banayaknya kayu
yang tertimbun di dalam tanah pada waktu pembangunan, adanya celah pada
pondasi tembok, sistem ventilasi kurang baik, kayu yang berhubungan langsung
dengan tanah, dan kondisi biofisik tapak bangunan itu sendiri yang
menguntungkan bagi kehidupan rayap (Nandika et. al 2003).

METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 7 bulan yaitu dari bulan April sampai
bulan Oktober 2012. Kegiatan penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bagian
Teknologi Peningkatan Mutu Kayu Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 9 jenis kayu, 8 jenis kayu
diantaranya merupakan kayu lokal Indonesia yang termasuk dalam kayu rakyat,
antara lain kayu akasia (Acacia mangium), kayu jengkol (Archidendron
pauciflorum), kayu kemang (Mangifera kemanga), kayu laban (Vitex pubescens),
kayu lamtoro (Leucaena glauca), kayu manglid (Manglietia glauca), kayu waru
(Hibiscus tiliaceus) serta jenis kayu impor yaitu kayu oak (Quercus sp.) yang
dikenal umum di Amerika dan Eropa untuk proses fumigasi amonia. Bahan yang
digunakan untuk fumigasi yaitu amonia (Ammonium hidroksida) sebanyak 4 liter
dengan konsentrasi 25%. Bahan-bahan finishing yang dipakai adalah Impra Aqua
Filler AWF-911, Impra Aqua Sanding Sealer ASS-941, dan Impra Aqua Lacquer
AL-961 Clear Gloss, serta air destilata sebagai bahan pengencer. Pengujian

10
tergantung dari adanya air dan tanah sebagai kebutuhan penting untuk
kehidupannya.
Rayap kayu kering sendiri memiliki cara penyerangan yang berbeda
dengan rayap tanah. Di Indonesia hanya ditemukan sedikit jenis rayap ini dimana
yang umum ditemukan adalah C. cynocephalus. Serangga ini memiliki
kemampuan hidup pada kayu-kayu kering di dalam bangunan gedung. Rayap ini
tidak membangun sarangnya di atas permukaan kayu tetapi membangun
sarangnya hanya di dalam kayu. Adanya serangan rayap seringkali diketahui
setelah kayu yang diserang menjadi keropos tanpa adanya pecahan pada
permukaannya. Serangan rayap kayu kering ini dapat dikenali dari adanya
butiran-butiran kecil, lonjong, dan agak bertakik yang berwarna coklat muda.
Serangan rayap kayu kering umumnya tidak terbatas pada kayu struktur
bangunan tetapi juga seringkali menyerang barang-barang meubel tetapi tidak
menyerang barang berlignoselulosa lainnya seperti kertas atau buku, kain, dan
sebagainya. Namun daya serang rayap ini terbatas sehingga serangan rayap ini
kurang berbahaya dibandingkan dengan serangan rayap tanah. Adapun beberapa
faktor pendorong serangan rayap pada bangunan antara lain banayaknya kayu
yang tertimbun di dalam tanah pada waktu pembangunan, adanya celah pada
pondasi tembok, sistem ventilasi kurang baik, kayu yang berhubungan langsung
dengan tanah, dan kondisi biofisik tapak bangunan itu sendiri yang
menguntungkan bagi kehidupan rayap (Nandika et. al 2003).

METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 7 bulan yaitu dari bulan April sampai
bulan Oktober 2012. Kegiatan penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bagian
Teknologi Peningkatan Mutu Kayu Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 9 jenis kayu, 8 jenis kayu
diantaranya merupakan kayu lokal Indonesia yang termasuk dalam kayu rakyat,
antara lain kayu akasia (Acacia mangium), kayu jengkol (Archidendron
pauciflorum), kayu kemang (Mangifera kemanga), kayu laban (Vitex pubescens),
kayu lamtoro (Leucaena glauca), kayu manglid (Manglietia glauca), kayu waru
(Hibiscus tiliaceus) serta jenis kayu impor yaitu kayu oak (Quercus sp.) yang
dikenal umum di Amerika dan Eropa untuk proses fumigasi amonia. Bahan yang
digunakan untuk fumigasi yaitu amonia (Ammonium hidroksida) sebanyak 4 liter
dengan konsentrasi 25%. Bahan-bahan finishing yang dipakai adalah Impra Aqua
Filler AWF-911, Impra Aqua Sanding Sealer ASS-941, dan Impra Aqua Lacquer
AL-961 Clear Gloss, serta air destilata sebagai bahan pengencer. Pengujian

11
keawetan kayu menggunakan rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus).
Bahan kimia rumah tangga yang dipakai dalam pengujian daya tahan lapisan
adalah madu, coklat cair, soda minuman, dan santan cair.
Alat
Alat-alat yang digunakan antara lain alat pemotong kayu dengan ukuran
yang telah disesuaikan yaitu circular saw. Dalam proses fumigasi, alat-alat yang
digunakan adalah kilang fumigasi yang berukuran 100 cm x 50 cm x 70 cm,
dilengkapi dengan bohlam (2 x 100) watt sebagai pemanas dan penerang, serta
wadah penampung larutan amonia. Dalam pengambilan gambar atau citra kayu
menggunakan kamera digital Cannon EOS 1000D, seperangkat komputer dengan
software pencitra warna RGB, program Motic Image Plus 2.0, dan aplikasi
Microsoft Office Excel 2007. Alat-alat yang digunakan dalam proses finishing
adalah kertas amplas (no. 180, 240, 400 dan 1500), spray gun dan kompresor.
Pengujian rayap kayu kering menggunakan kotak kaca berukuran 6 cm x 2,5 cm x
3 cm dan kain kasa. Pengujian daya tahan lapisan finishing menggunakan alat
bantu seperti pipet, pisau cutter, gunting, selotip, dan gelas stainless steel. Adapun
alat-alat penunjang lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah masker,
sarung tangan, kain, timbangan digital, oven, desikator, kaliper, kalkulator,
penggaris dan alat tulis.
Metode
Persiapan Contoh Uji
Kayu yang telah dibuat menjadi contoh uji berukuran 27.5 cm x 10 cm x 2
cm dan contoh uji yang berukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm, diberi kode pada setiap
jenisnya. Selanjutnya contoh uji berukuran 27.5 cm x 10 cm x 2 cmdan diberi
kode pada setiap jenisnya. Selanjutnya contoh uji tersebut dihaluskan dengan
pengampelasan bagian permukaannya supaya menjadi lebih halus dan rata.
Pengampelasan awal dilakukan dengan menggunakan amplas nomor 180.
Pengampelasan dilakukan searah serat dan juga pada bagian kayu yang seratnya
terkelupas dan terdapat debu yang menempel sehingga bagian permukaan kayu
tersebut menjadi halus dan memudahkan proses pengerjaan kayu tahap
selanjutnya.
Proses Fumigasi Kayu
Fumigasi amonia merupakan proses pertama dalam rangka pewarnaan kayu.
Masing-masing contoh uji yang telah disiapkan kemudian dimasukkan ke dalam
kilang fumigasi dengan jarak yang sama agar gas dapat bersirkulasi secara merata
ke seluruh permukaan kayu. Kilang yang digunakan untuk proses fumigasi berupa
ruangan kedap udara berukuran 100 cm x 50 cm x 70 cm dan terbuat dari bahan
aluminium berpintu kaca dengan bantuan bohlam (2 x 100) watt sebagai pemanas
dan penerang. Kemudian amonia 25% sebanyak 4 liter dimasukkan ke dalam

12
kilang fumigasi dengan menggunakan wadah penampung. Masker dan sarung
tangan digunakan untuk menghindari kontak langsung antara gas amonia dengan
mata dan saluran pernapasan.
Fumigasi amonia dilakukan selama 48 jam dengan dilakukan pengamatan
objek secara berkala setiap 4 jam sekali setelah fumigasi dimulai. Setelah
mencapai target waktu yang ditentukan, kilang fumigasi dimatikan. Selanjutnya
buka pintu ruang fumigasi secara perlahan-lahan dan biarkan beberapa saat agar
kadar gas amonia dalam ruangan turun. Angkat sampel contoh uji satu per satu
untuk dikering-udarakan agar gas amonia pada kayu tidak berbau.
Pengolahan Citra Digital
Sebelum melakukan fumigasi, contoh uji difoto dengan menggunakan
kamera digital Cannon EOS 1000D dan diproses menggunakan seperangkat
komputer dengan software pencitra warna RGB. Hasil dokumentasi merupakan
penampilan awal dan nilai RGB awal untuk setiap contoh uji yang akan
difumigasi. Setelah kayu difumigasi, kemudian dilakukan pengambilan gambar.
Selanjutnya gambar diproses kembali dengan menggunakan program Motic Image
Plus 2.0 sehingga diperoleh data nilai RGB. Nilai RGB yang telah diperoleh
kemudian dicatat dan diolah menggunakan Microsoft Office Excel 2007. Tingkat
perubahan warna contoh uji dapat diketahui melalui selisih perbedaan antara nilai
RGB sebelum dan sesudah difumigasi secara kumulatif. Pengambilan gambar
contoh uji dari setiap jenis akan diolah untuk mendapatkan nilai RGB dalam
bentuk indeks yang diperoleh dari hasil normalisasi pada setiap komponen warna.
Nilai warna hasil normalisasi ini kemudian ditafsirkan dengan melihat besarannya.
Model warna RGB dapat dinormalisasikan dengan rumus sebagai berikut:
Indeks merah (�
Indeks hijau (��
Indeks biru ���

R
R+G+B
G
�) =
R+G+B
)=

=

B
R+G+B

Efektifitas Fumigasi Amonia Terhadap Rayap Kayu Kering
Pengujian contoh uji terfumigasi dan tanpa fumigasi terhadap rayap kayu
kering mengacu pada standar SNI 01-7207-2006 (modifikasi). Contoh uji yang
berukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm sebelumnya dioven pada suhu 60C selama 24 jam
agar kadar air contoh uji seragam dan dimasukkan pada kotak kaca berukuran 6
cm x 2,5 cm x 3 cm. Kemudian diletakkan rayap pekerja kayu kering C.
cynocephalus Light. di atas contoh uji tersebut dan diusahakan supaya rayap tetap
berada di bagian atas. Selanjutnya contoh uji yang telah diberi rayap tersebut
ditutup dengan kain kasa dan disimpan ditempat yang gelap selama 12 minggu.

13
Adapun jumlah rayap yang diumpankan adalah 50 ekor untuk masing-masing
contoh uji. Setelah 12 minggu, contoh uji dibersihkan dan dioven pada 60C
selama 24 jam, kemudian ditimbang untuk mengetahui pengurangan berat yang
terjadi. Persentase pengurangan berat dihitung dengan rumus:

% PB =

W1 − W2
x 100%
W1

Dimana %PB adalah persentase pengurangan berat, W1 adalah berat
kering tanur contoh uji sebelum pengumpanan (gram), dan W2 adalah berat
kering tanur contoh uji setelah pengumpanan (gram). Daya tahan kayu terhadap
rayap diklasifikasikan dalam 5 kelas, seperti tersaji pada Tabel 4.
Tabel 3 Klasifikasi ketahanan kayu tehadap rayap kayu kering C. cynocephalus
berdasarkan penurunan berat

Kelas

Ketahanan

Penurunan Berat

I

Sangat Tahan

28,1

Sumber : Standar SNI 01-7207-2006

Proses Finishing dengan Waterbased Lacquer
Metode proses finishing yang dilakukan mengacu pada panduan petunjuk
pemakaian produk dari Propan Raya. Tahapan-tahapan dari proses finishing yang
telah dilakukan adalah sebagai berikut:
Pengisian Pori-pori atau Pendempulan
Contoh uji berukuran 27.5 cm x 10 cm x 2 cm terfumigasi dan tanpa
fumigasi kemudian dihaluskan dengan mengampelas bagian permukaan kayu
supaya menjadi halus dan rata. Pengampelasan dilakukan dengan menggunakan
ampelas nomor 180. Setelah permukaan kayu menjadi halus, maka tahapan
selanjutnya yaitu pengisian pori-pori atau pendempulan dengan menggunakan
bahan dari Impra Aqua Filler AWF-911 yang dapat menampilkan serat kayu
secara jelas. Pendempulan dilakukan dengan menggunakan kuas yang dioleskan
pada permukaan kayu searah serat agar hasilnya lebih merata dan biarkan kurang
lebih selama 24 jam (1 hari) agar mengering. Selanjutnya dilakukan
pengampelasan dengan menggunakan kertas ampelas nomor 240 untuk
menghilangkan sisa pelapisan kayu.

14
Pemberian Cat Dasar (Base Coat)
Pada tahapan base coat ini menggunakan Impra Aqua Sanding Sealer
ASS-941 sebagai cat dasar. Bahan pengencer yang digunakan adalah air destilata
sebanyak 20%. Pengaplikasian bahan menggunakan spray gun dan kompresor
bertekanan 40-50 bar, yang disemprotkan pada permukaan kayu searah dan
berlawanan serat agar hasilnya lebih merata dan biarkan 60 menit agar
mengering. Selanjutnya dilakukan pengampelasan dengan menggunakan kertas
amplas nomor 400. Pengampelasan dilakukan searah dengan serat kayu, agar
warna yang dihasilkan lebih merata dan terkesan licin serta halus. Lakukan
pelapisan Sanding Sealer kembali sebanyak 2 kali.
Pengecatan Akhir (Top Coat)
Pada tahapan ini menggunakan Impra Aqua Lacquer AL-961. Pengecatan
akhir dilakukan dengan memberikan variasi penampilan akhir yaitu clear gloss,
yang mempunyai karakteristik tidak mudah retak. Bahan pengencer yang
digunakan adalah air destilata sebanyak 60% dan alat pengaplikasian
menggunakan spray gun dan kompresor. Tunggu 60 menit agar mengering dan
lakukan pengampelasan kembali dengan kertas ampelas nomor 400. Lakukan
pelapisan kembali dengan Impra Aqua Lacquer AL-96.
Pengujian Daya Tahan Lapisan Cat
Pengujian daya tahan lapisan cat dilakukan dengan menggunakan 3
metode pengujian, yaitu uji ketahanan terhadap bahan kimia rumah tangga, daya
rekat lapisan cat (metode Cross Cut test), dan uji panas dan dingin (Hot and Cold
test).
Uji Daya Tahan Lapisan Cat Terhadap Bahan Kimia Rumah Tangga
Pengujian ketahanan terhadap bahan kimia rumah tangga mengacu pada
ASTM D 1654-92. Pengujian dilakukan dengan menggunakan bahan kimia rumah
tangga yaitu madu, coklat cair, santan, dan minuman bersoda. Sebelum dilakukan
pengujian, contoh uji dikeringudarakan terlebih dahulu selama 1 minggu. Waktu
pengeringan yang cukup lama bertujuan untuk menghindari terjadinya penguapan
dari bahan cat yang memungkinkan kecerahan dan kekerasan menjadi berubah.
Tahapan awal yang dilakukan dalam pengujian adalah pembagian contoh
uji menjadi 6 bagian (Gambar 2) dengan menggunakan spidol permanen. Empat
bagian digunakan untuk pengujian bahan kimia rumah tangga dan dua bagian
untuk pengujian air panas dan dingin. Pengujian bahan kimia rumah tangga, setiap
bagian pada masing-masing contoh uji dilebur dengan bahan kimia rumah tangga
dengan menggunakan pipet sebanyak 2 tetes, lalu didiamkan selama 5-10 menit.
Selanjutnya contoh uji dibersihkan dengan menggunakan kain lap yang bersih,
kemudian diamati perubahan fisik cat yang terjadi dengan interval pengamatan 1
jam dan 24 jam. Selanjutnya, kondisi permukaan kayu setelah dilaburkan bahan

15
kimia rumah tangga tersebut, diklasifikasikan ke dalam beberapa kelas
berdasarkan ASTM D 1654-92 (Tabel 4).

Gambar 1 Pembagian contoh uji untuk beberapa pengujian

Tabel 4 Klasifikasi kondisi cacat permukaan

Persentase Permukaan
Bercacat (%)

Kelas

Tidak bercacat

10

0–1

9

2–3

8

4–7

7

7 – 10

6

11 – 20

5

21 – 30

4

31 – 40

3

41 – 55

2

56 – 75

1

>75

0

Sumber: berdasarkan ASTM D 1654-92

Uji Daya Tahan Lapisan terhadap Panas dan Dingin (Hot and Cold test)
Jauhari (2012) menyatakan bahwa dalam pengujian ketahanan terhadap
bahan kimia rumah tangga, material pengotor (reagents) hanya menyentuh
permukaan saja. Sementara itu pada penggunaannya nanti seringkali perabot
rumah tangga mendapat kontak dengan bahan panas atau dingin. Panas dan dingin

16
ini dapat merambat melalui lapisan bahan finishing sehingga dapat mempengaruhi
ikatan antar material finishing dan kayu (mengembang atau menyusut). Oleh
karena itu perlu dilakukan pengujian ini.
Pengujian daya tahan terhadap panas (hot test) dilakukan dengan
meletakkan gelas berukuran kecil berisi air panas (mendidih) diatas permukaan
kayu yang telah di-finishing hingga air di dalam gelas menjadi dingin, sedangkan
untuk pengujian daya tahan terhadap (cold test) dilakukan dengan meletakkan
batu es ke dalam gelas. Selanjutnya gelas tersebut diletakkan diatas permukaan
kayu. Tunggu sampai seluruh es mencair. Setelah itu dilakukan pengamatan
terhadap permukaan contoh uji dan hasilnya diklasifikasikan ke dalam 11 kelas,
seperti yang ditampilkan pada Tabel 5.
Uji Daya Rekat Lapisan Cat
Pengujian dengan metode Cross Cut mengacu pada standar ASTM D
3359. Contoh uji yang telah difinishing, dibuat goresan sebanyak 10 garis secara
horizontal dan vertikal hingga mencapai substrat (permukaan kayu) dengan
menggunakan cutter dan penggaris. Jarak antar garis yang dibuat adalah 2 mm.
Selanjutnya, goresan yang berbentuk kotak-kotak tersebut ditutupi dengan plester
dan diamkan beberapa saat. Kemudian plester dicabut secara perlahan dan amati
bagian lapisan finishing yang terangkat. Bagian lapisan film yang terangkat atau
yang mengalami kerusakan kemudian diklasifikasikan ke dalam lima kelas
berdasarkan standar ASTM D 3359 (Tabel 5).
Tabel 5 Pemberian nilai (Scoring) daya ahan lapisan pada permukaan kayu

Sumber : Pelatihan Training Finishing ACIAR, Jepara

17

HASIL DAN PEMBAHASAN
Efektifitas Fumigasi Amonia

Besar Perubahan Indeks Warna

Fumigasi amonia bertujuan mereaksikan amonia dengan tanin dalam kayu
agar terjadi perubahan warna secara permanen. Fumigasi amonia akan
menhasilkan perubahan warna kayu menjadi lebih gelap. Hasil yang diperoleh
pada masing-masing kayu yang diujikan menunjukkan bahwa secara umum terjadi
perubahan warna yang tidak mencolok setelah akhir periode fumigasi. Kondisi
perubahan warna yang terjadi dapat dijelaskan secara kuantitatif melalui grafik
perubahan RGB (Red, Green and Blue). Selisih indeks warna RGB sebelum dan
setelah fumigasi disajikan pada Gambar 2.
0,15
0,10
0,05
0,00
-0,05
-0,10
-0,15

Ak

Jk

KM

Lb

Lt

Md

Ok

Pp

Wr

0,0059

0,0306

0,0359

0,0122

0,0843

0,1310

-0,010

-0,066

0,0995

I green 0,0121

-0,027

-0,009

0,0003

-0,035

-0,040

-0,018

0,0354

-0,022

I blue

-0,003

-0,026

-0,012

-0,049

-0,090

0,0289

0,0308

-0,077

I red

-0,018

Jenis Kayu
Gambar 2 Histogram selisih indeks warna RGB pada masing-masing jenis kayu

Kecenderungan kayu mengalami perubahan warna diperlihatkan dengan
terjadinya penurunan indeks warna merah. Hasil pada Gambar 2 menunjukkan
penurunan indeks warna merah hanya terjadi pada kayu oak dan kayu puspa,
dengan masing-masing nilai 0,0104 poin dan 0,0662 poin, sedangkan penurunan
nilai indeks warna hijau (I Green) terbesar menunjukkan tingkat efektifitas
perubahan warna tertinggi pada perlakuan fumigasi amonia. Hasil yang diperoleh
nampak bahwa hampir semua jenis kayu yang diuji mengalami penurunan nilai
indeks warna hijau. Penurunan tertinggi terjadi pada kayu lamtoro dan kayu
manglid dengan nilai masing-masing sebesar 0,0352 poin dan 0,0405 poin.
Peningkatan nilai indeks warna biru (I Blue) mengindikasikan warna alami kayu
yang difumigasi menjadi semakin gelap. Berdasarkan hasil yang disajikan
menunjukkan bahwa kayu oak dan kayu puspa memiliki respon perubahan yang
paling baik diantara semua kayu yang diuji, dengan peningkatan indeks warna
biru, masing-masi