Proses Adopsi Agroforestri Sengon Petani Teh (Studi Kasus di Desa Sukaresmi, Kecamatan Kadupandak, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat)

PROSES ADOPSI AGROFORESTRI SENGON PETANI TEH
(Studi Kasus di Desa Sukaresmi, Kecamatan Kadupandak,
Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat)

AGUM GUNAWAN SUPANGKAT

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Proses Adopsi
Agroforesti Sengon Petani Teh (Studi Kasus di Desa Sukaresmi, Kecamatan
Kadupandak, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat) adalah benar karya saya
dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013
Agum Gunawan Supangkat
NIM E14080080

ABSTRAK
AGUM GUNAWAN SUPANGKAT. Proses Adopsi Agroforestri Sengon Petani
Teh (Studi Kasus di Desa Sukaresmi, Kecamatan Kadupandak, Kabupaten
Cianjur, Provinsi Jawa Barat). Dibimbing oleh IIN ICHWANDI.
Adopsi agroforestri sengon di lahan perkebunan teh rakyat dapat memicu
perkembangan hutan rakyat dan perubahan komoditas teh (Camellia sinensis)
Desa Sukaresmi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui karakteristik dan sistem
pengelolaan agroforestri sengon di lahan perkebunan teh rakyat Desa Sukaresmi
serta proses petani teh dalam mengadopsinya. Data dikumpulkan melalui
wawancara, observasi dan studi pustaka. Produktivitas daun teh pada lahan
agroforestri sengon adalah 2861.25 kg/ha/tahun dan pada perkebunan teh rakyat
adalah 5133.33 kg/ha/tahun. Kondisi tersebut terjadi karena petani teh umumnya
menerapkan agroforestri sengon pada lahan perkebunan teh rakyat yang kurang

produktif. Sistem pengelolaan agroforestri sengon di lahan perkebunan teh rakyat
Desa Sukaresmi hampir mirip dengan hutan rakyat pada umumnya. Agroforestri
sengon merupakan inovasi yang terdifusi melalui saluran pasar kayu atau interaksi
antar anggota masyarakat. Keputusan petani teh mengadopsi agroforestri sengon
merupakan keputusan pilihan dan secara umum diambil atas dasar pertimbangan
ekonomi.
Kata kunci: adopsi, agroforestri sengon

ABSTRACT
AGUM GUNAWAN SUPANGKAT. Sengon Agroforestry Adoption Process by
The Tea Smallholder (Case Study in Sukaresmi Village, Kadupandak District,
Cianjur Regent, West Java Province). Supervised by IIN ICHWANDI.
Adoption of sengon agroforestry in tea crops of smallholder will influence
private forest development and changeover of tea (Camellia sinensis) commodity
in Sukaresmi Village. The research aims to know the characteristics and sengon
agroforestry management system in tea crops smallholder Sukaresmi Village and
how tea smallholder to adopt it. Data were colected from interview, observation,
dan literature. Tea leaf productivity at sengon agroforestry is 2861.25 kg/ha/year
and tea crops smallholder is 5133.33 kg/ha/year. It caused tea smallholder applied
sengon agroforestry in their low productivity tea crops. Sengon agroforestry

management system in tea crops smallholder Sukaresmi Village is similar with
common private forest. Sengon agroforestry is innovation which diffused through
the timber market channel or interactions between community members. The tea
smallholder decision adopts sengon agroforestry is optional and generally based
on economic consideration.
Keywords: adoption, sengon agroforestry

PROSES ADOPSI AGROFORESTRI SENGON PETANI TEH
(Studi Kasus di Desa Sukaresmi, Kecamatan Kadupandak,
Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat)

AGUM GUNAWAN SUPANGKAT

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Manajemen Hutan

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi: Proses Adopsi Agroforestri Sengon Petani Teh (Studi Kasus di
Desa Sukaresmi, Kecamatan Kadupandak, Kabupaten Cianjur,
Provinsi J awa Barat)
: Agum Gunawan Supangkat
Nama
: E14080080
NIM

Disetujui oleh

Dr Ir lin Ichwandi, MScFTrop
Pembimbing

Tanggal Lulus:


,

2'3 SEP 2013

Judul Skripsi : Proses Adopsi Agroforestri Sengon Petani Teh (Studi Kasus di
Desa Sukaresmi, Kecamatan Kadupandak, Kabupaten Cianjur,
Provinsi Jawa Barat)
Nama
: Agum Gunawan Supangkat
NIM
: E14080080

Disetujui oleh

Dr Ir Iin Ichwandi, MScFTrop
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Didik Suharjito, MS

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian
yang dilaksanakan sejak bulan September 2012 adalah adopsi inovasi, dengan
judul Proses Adopsi Agroforestri Sengon Petani Teh (Studi Kasus di Desa
Sukaresmi, Kecamatan Kadupandak, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat).
Terima kasih penulis ucapkan kepada ibu, bapak, serta seluruh keluarga,
atas doa dan kasih sayangnya. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan
kepada Bapak Dr. Ir. Iin Ichwandi, M.Sc.F.Trop selaku pembimbing dan keluarga
Bapak Husen yang telah membantu selama penelitian. Ungkapan terima kasih
juga disampaikan kepada Chiharu Maeda dari Ryukyu University, Annisa Noor
Baeti, Kiki Ahmad Zakiyudin, Bergas C. Baskoro, Dahlan Etlegar, dan M. Andi
Suwito selaku teman-teman satu bimbingan, rekan-rekan Fahutan 45, serta
keluarga besar Asrama Sylvasari dan Sylvapinus.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, September 2013
Agum Gunawan Supangkat

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1


Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2


Agroforestri

2

Hutan Rakyat

2

Perkebunan Teh di Kabupaten Cianjur

3

Proses Adopsi Inovasi

4

Penelitian Terdahulu

5


METODE

5

Lokasi dan Waktu Penelitian

5

Bahan dan Alat

6

Definisi Operasional

6

Metode Pengumpulan Data

7


Metode Pengolahan dan Analisis Data

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

7

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

7

Karakteristik Responden

9

Karakteristik Pola Usaha Tani Lahan Kering

10

Sejarah Agroforestri Sengon

13

Sistem Pengelolaan Agroforestri Sengon

15

Proses Adopsi Agroforestri Sengon Petani Teh

17

SIMPULAN DAN SARAN

21

Simpulan

21

Saran

22

DAFTAR PUSTAKA

22

LAMPIRAN

24

DAFTAR TABEL
1 Beberapa bentuk agroforestri berdasarkan aspek tinjauan tertentu

2

2 Luas lahan dan produksi teh di Kabupaten Cianjur tahun 2012

3

3 Ciri-ciri setiap kategori adopter

5

4 Metode pengumpulan data

7

5 Tata guna lahan Desa Sukaresmi

8

6 Pekerjaan penduduk Desa Sukaresmi

8

7 Karakteristik responden

9

8 Pola usaha tani lahan kering di Desa Sukaresmi

10

9 Pilihan pola usaha tani lahan kering

12

10 Rata-rata pendapatan dan pengeluaran tiap pola usaha tani lahan kering

13

11 Luas lahan pola usaha tani lahan kering seluruh responden tahun 2012

17

12 Dasar pertimbangan mengadopsi agroforestri sengon

18

13 Karakteristik setiap kategori adopter agroforestri sengon

21

DAFTAR GAMBAR
1 Kategori adopter

4

2 Sketsa lokasi penelitian

6

3 Perkebunan teh rakyat (P1), agroforestri sengon (P2), agroforestri
sengon tanpa teh (P3), dan monokultur sengon (P4)

11

4 Pabrik pengolahan teh hijau (a), saw mill (b)

14

5 Pemetikan teh menggunakan arit

16

6 Laju adopsi dan akumulasi adopter agroforestri sengon

17

DAFTAR LAMPIRAN
1 Jenis tanaman di setiap pola usaha tani lahan kering responden

23

2 Rata-rata pendapatan (Rp/tahun) tiap sumber pendapatan

24

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan memiliki banyak manfaat baik secara ekologi, ekonomi, maupun
sosial. Hanya saja deforestasi yang terjadi cenderung menurunkan manfaat
tersebut. Tingkat deforestasi di seluruh Indonesia pada periode 2006-2009
menurut Kementrian Kehutanan (2010) telah mencapai 832 126.9 ha/tahun.
Dengan demikian, areal berhutan Indonesia hanya 98.56 ha (52.4%) dari total
daratan ± 187 670 600 ha. Oleh karena itu, upaya-upaya reforestasi mulai banyak
dilakukan oleh pemerintah maupun pihak-pihak lainnya. Program pemerintah
seperti GN-RHL (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan), GRLK
(Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis), dan KBR (Kebun Bibit Rakyat) diharapkan
dapat menurunkan tingkat deforestasi. Oleh karena program-program tersebut
lebih berorientasi kepada reforestasi di lahan milik maka pemerintah perlu
memerhatikan kemampuan individu sasaran dalam mengadopsi program tersebut
sehingga upaya-upaya yang dilakukan dapat berhasil.
Hardjanto (2000) mengemukakan bahwa hutan rakyat berfungsi sebagai
pelindung tata air lahan-lahan masyarakat, sumber penghasil kayu dan non kayu,
serta sumber pendapatan rumah tangga. Kabupaten Cianjur merupakan salah satu
kabupaten di Jawa Barat yang saat ini tengah banyak berkembang hutan rakyat.
Akan tetapi perkembangannya ternyata terjadi pada lahan perkebunan teh rakyat.
Kondisi tersebut memerlukan perhatian dari para pengambil kebijakan sehingga
perkembangan hutan rakyat tidak menurunkan atau menghilangkan salah satu
komoditas unggulan daerah.
Desa Sukaresmi yang terletak di Kecamatan Kadupandak merupakan salah
satu contoh desa di Kabupaten Cianjur yang sebagian besar penduduknya secara
turun-temurun berkebun teh (Camellia sinensis). Namun beberapa tahun terakhir,
petani teh mulai banyak menanam sengon (Paraserianthes moluccana) di lahan
tersebut.
Kejadian di atas menunjukkan bahwa petani teh Desa Sukaresmi saat ini
sedang melewati serangkaian tahap dalam proses adopsi inovasi. Proses adopsi
inovasi atau menurut Rogers (2003) merupakan proses keputusan inovasi terdiri
atas beberapa tahap yaitu pengetahuan, kepercayaan, keputusan, penerapan, dan
penegasan. Adopsi inovasi dalam hal ini adalah agroforestri sengon oleh petani
teh di satu sisi dapat memicu perkembangan hutan rakyat di lahan perkebunan teh
rakyat sehingga lahan tersebut dapat berpotensi sebagai penyedia hasil hutan kayu,
namun di sisi lain hal tersebut juga dapat memicu perubahan komoditas. Oleh
karena itu, penelitian mengenai proses adopsi agroforestri sengon petani teh di
Desa Sukaresmi perlu dilakukan.

Perumusan Masalah
Perumusan masalah penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana karakteristik dan sistem pengelolaan agroforestri sengon di lahan
perkebunan teh rakyat Desa Sukaresmi?
2. Bagaimana proses adopsi agroforestri sengon petani teh Desa Sukaresmi?

2
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui karakteristik dan sistem pengelolaan agroforestri sengon di lahan
perkebunan teh rakyat Desa Sukaresmi.
2. Mengetahui proses adopsi agroforestri sengon petani teh Desa Sukaresmi.

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini sebagai berikut:
1. Memberi informasi mengenai karakteristik dan sistem pengelolaan agroforestri
sengon di lahan perkebunan teh rakyat Desa Sukaresmi serta proses petani teh
dalam mengadopsinya.
2. Memberi saran dan dasar pertimbangan kepada pengambil kebijakan dalam
pengembangan usaha hutan rakyat yang berada di lahan perkebunan teh rakyat.

TINJAUAN PUSTAKA
Agroforestri
Sardjono et al. (2003) menyatakan bahwa agroforestri merupakan bentuk
pemanfaatan lahan terpadu (kehutanan, pertanian, dan peternakan) yang ada di
berbagai tempat di belahan bumi. Tabel 1 menunjukkan beberapa tipe agroforestri
jika ditinjau dari beberapa aspek tertentu.
Tabel 1 Beberapa bentuk agroforestri berdasarkan aspek tinjauan tertentu
No.
1.
2.

3.

Aspek tinjauan
Masa
perkembangannya
Komponen
penyusunnya

Pola
pengkombinasian
komponen

Klasifikasi agroforestri
Agroforestri tradisional dan modern
Agrisilvikultur (kombinasi tanaman pertanian dengan kehutanan),
silvopastura (kombinasi peternakan dengan kehutanan), dan
agrosilvopastura (kombinasi komponen pertanian, peternakan, dan
kehutanan)
a. Dimensi waktu (agroforestri sementara dan agroforestri
permanen)
b. Tata ruang (sistem jalur berselang, tanaman lorong, sistem
kebun hutan tradisional, sistem box dan lain-lain)

Sumber : Sardjono et al (2003)

Hutan Rakyat
Hardjanto (2000) menyatakan bahwa hutan rakyat merupakan hutan yang
dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan oleh kepemilikan lahan. Hutan rakyat di
Jawa umumnya memiliki luasan yang sempit sehingga kurang sesuai dengan
definisi hutan (minimal harus 0.25 ha). Karakteristik pengusahaan hutan rakyat di
Jawa meliputi:

3
1. Dilakukan oleh petani, tengkulak, dan industri.
2. Petani belum melakukan usaha hutan rakyat menurut prinsip usaha dan prinsip
kelestarian yang baik.
3. Bentuk hutan rakyat sebagian besar merupakan budidaya campuran yang
diusahakan dengan cara-cara sederhana.
4. Pendapatan hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan
sampingan dan bersifat insidental dengan kisaran ≤ 10% dari pendapatan total.
Perkebunan Teh di Kabupaten Cianjur
Perkebunan pada Undang-Undang Republik Indonesia No.18 Tahun 2004
didefinisikan sebagai segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada
tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan
memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, pemodalan serta manajemen untuk mewujudkan
kesejahteraan bagi pelakunya dan masyarakat. Tanaman tertentu adalah tanaman
semusim dan/atau tanaman tahunan yang karena jenis dan tujuan pengelolaannya
ditetapkan sebagai tanaman perkebunan (Pemerintah Republik Indonesia 2004).
Teh di Indonesia menurut Nazaruddin dan Paimin (1993) umumnya ditanam
di tanah andosol (pH 5-6) dengan ketinggian 700-1200 mdpl, bertemperatur 1425 °C, dengan curah hujan rata-rata 2500-3500 mm/tahun. Kegiatan pengelolaan
perkebunan teh terdiri atas pengembangbiakan, penyiapan lahan dan penanaman,
penanaman pohon pelindung, pemupukan, pemangkasan, pengendalian gulma,
peremajaan, dan pemetikan. Pohon pelindung yang digunakan umumnya adalah
tanaman legum. Semakin tinggi tempat maka kerapatan pohon pelindung semakin
renggang. Kerapatan rata-rata pohon pelindung adalah 125 pohon/ha.
Produk teh Indonesia terdiri atas teh hitam dan teh hijau. Pembeda kedua teh
tersebut terletak pada cara pengolahan dan mesin yang digunakan (Bambang et al.
1994).
Tabel 2 Luas lahan dan produksi teh di Kabupaten Cianjur tahun 2012
No.

Perkebunan

1.
2.

Rakyat
Besar swasta
Negara

3.
Total

Luas lahan

Produksi

Produktivitas
(ton/ha)

(ha)

(%)

(ton)

(%)

14 240
6 593
2 788

60.29
27.91
11.80

6 304
9 065
4 051

32.46
46.68
20.86

0.44
1.37

23 621

100.00

19 420

100.00

0.82

1.45

Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat (2012)

Kabupaten Cianjur merupakan salah satu sentra produksi teh Jawa Barat.
Perkebunan teh di Cianjur terdiri atas perkebunan teh rakyat, perkebunan besar
swasta, dan perkebunan negara (Tabel 2). Luas areal perkebunan teh di Cianjur
sampai tahun 2012 adalah 23 621 ha dengan total produksi sebanyak 19 420 ton.
Perkebunan teh rakyat memiliki luasan lahan paling luas daripada perkebunan teh
lainnya namun produktivitasnya paling rendah daripada perkebunan teh lainnya.
Berbeda dengan perkebunan teh rakyat, perkebunan negara justru memiliki
produktivitas yang paling besar.

4
Proses Adopsi Inovasi
Roger (2003) menyatakan bahwa inovasi merupakan gagasan, tindakan atau
barang yang dianggap baru oleh seseorang dan hal ini bersifat sangat relatif.
Proses keputusan inovasi adalah proses mental seseorang sejak dia mengetahui
inovasi sampai memutuskan untuk mengadopsi atau menolak dan menegaskan
keputusannya. Proses tersebut terdiri atas lima tahap yaitu:
1. Pengetahuan (knowledge), ketika individu sadar terhadap suatu inovasi dan
paham terhadap fungsinya. Tahap ini memiliki ciri-ciri (1) mengingat
informasi, (2) membandingkan pesan yang disampaikan, (3) mengetahui
kelebihan-kelebihan pesan yang disampaikan.
2. Kepercayaan (persuasion), ketika individu membentuk sikap baik atau tidak
baik terhadap inovasi. Tahap ini memiliki ciri-ciri (1) menyukai inovasi yang
disampaikan, (2) mendiskusikan inovasi tersebut dengan anggota masyarakat
lainnya, (3) menerima inovasi, (4) membentuk persepsi yang positif terhadap
inovasi, (5) mendukung inovasi tersebut menjadi kebiasaan dalam sistem sosial.
3. Keputusan (decision), ketika individu terlibat dalam aktivitas yang mengarah
pada pilihan untuk menerima atau menolak inovasi. Tahap ini memiliki ciri-ciri
(1) bermaksud untuk mencari informasi tambahan mengenai inovasi, (2)
bermaksud untuk mencoba inovasi.
4. Penerapan (implementation), ketika individu menggunakan inovasi. Tahp ini
memiliki ciri-ciri (1) menambah informasi tambahan mengenai inovasi, (2)
menggunakan inovasi pada kesehariannya, (3) melanjutkan menggunakan
inovasi.
5. Penegasan (confirmation), ketika individu mencari informasi untuk
menguatkan keputusan yang diambilnya. Akan tetapi, keputusan akan berubah
jika individu tersebut memperoleh informasi yang bertentangan dengan
informasi awal. Tahap ini memiliki ciri-ciri (1) mengakui keuntungan
menggunakan inovasi, (2) mengintegrasikan inovasi sebagai salah satu rutinitas,
(3) mempromosikan inovasi kepada anggota masyarakat lainnya.

Sumber: Rogers (2003)

Gambar 1 Kategori adopter
Rogers (2003) menyatakan bahwa laju adopsi inovasi dipengaruhi oleh
atribut inovasi (relative adventage, compatibility, complexity, trialability, dan

5
observability), jenis keputusan inovasi, sifat saluran komunikasi yang digunakan
untuk menyebarkan inovasi, sifat sistem sosial, dan tingkat upaya penyuluh untuk
menyebarkan inovasi. Oleh karena setiap anggota sistem sosial memiliki laju
adopsi inovasi yang tidak sama, maka adopter dapat dikategorikan menjadi
innovators, early adopters, early majority, late majority, dan laggards (Gambar 1).
Kelima adopter tersebut memiliki ciri-ciri seperti pada Tabel 3.
Tabel 3 Ciri-ciri setiap kategori adopter
No.
1.

Kategori adopter
Innovators (perintis)

2.

Early adopters
(pengadopsi awal)
Early majority
(mayoritas awal)

3.

4.
5.

Late majority
(mayoritas lambat)
Laggards
(kelompok lamban)

Ciri-ciri
Petualang, gegabah, menyukai tantangan, berani mengambil
resiko, dan kosmopolit.
Peduli, lokalit, dan pemuka pendapat di lingkungan sosialnya.
Berhati-hati atau penuh pertimbangan dan sering berinteraksi
dengan sesamanya tetapi interaksi dengan pemuka pendapat
jarang dilakukan.
Ragu-ragu dan adopsinya mungkin berdasarkan karena
kebutuhan ekonomi atau karena meningkatnya tekanan sosial.
Tradisional, bukan pemuka pendapat, terlihat lebih lokalit
daripada kategori adopter lainnya, jaringan sosial mereka hampir
terisolasi, dan sumber daya ekonomi terbatas.

Sumber: Rogers (2003)

Penelitian Terdahulu
Agroforestri sengon yang dilakukan pada perkebunan teh rakyat ternyata
terdapat juga di Desa Legokhuni, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Purwakarta,
Provinsi Jawa Barat. Putri (2011) menyatakan bahwa hutan rakyat pada
perkebunan teh di desa tersebut telah dilakukan secara turun-temurun. Beberapa
jenis pohon yang ditumpangsarikan dengan tanaman teh antara lain sengon, mindi
(Melia azadarach) dan mahoni (Swetenia spp.).
Hutan rakyat dengan sistem agroforestri tersebut menurut Putri (2011)
ternyata mampu memberikan kontribusi terhadap perekonomian rumah tangga
pada Strata I (luas < 0.420 ha) sebesar 17.90%, Strata II (luas 0.420-0.902 ha)
sebesar 30.90% dan Strata III (luas > 0.902 ha) sebesar 43.03%. Tahapan
pengelolaan hutan rakyat dengan sistem tersebut terdiri atas pengadaan benih,
persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran.

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sukaresmi, Kecamatan Kadupandak,
Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat (Gambar 2). Pengambilan data dilakukan
pada tanggal 2-15 September 2012.

6

Gambar 2 Sketsa lokasi penelitian

Bahan dan Alat Penelitian
Penelitian dilakukan terhadap 30 responden (petani teh rakyat yang diambil
secara purposive sampling dari populasi yang belum diketahui) dan key person
(perangkat desa, pemilik pabrik teh, tengkulak kayu, dan tokoh masyarakat
lainnya). Alat yang digunakan meliputi kuesioner, daftar pertanyaan, alat tulis,
kalkulator, kamera digital, dan perangkat komputer yang dilengkapi dengan
software MS Office 2007.

Definisi Operasional
1.

2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Beberapa istilah yang perlu diberikan definisi pada penelitian ini antara lain:
Agroforestri sengon merupakan inovasi hutan rakyat yang salah satu jenis
tanaman utamanya adalah sengon yang ditanam secara agroforestri pada
lahan perkebunan teh rakyat.
Perkebunan teh rakyat adalah usaha perkebunan teh yang dilakukan oleh
petani pada tanah milik atau sewa.
Petani teh adalah petani yang salah satu sumber usahanya berasal dari teh
rakyat.
Usia dikategorikan menjadi produktif (15-65 tahun) dan tidak produktif (> 65
tahun).
Luas lahan dikategorikan menjadi sempit (≤ 0.50 ha), cukup luas (0.51-1.00
ha), dan luas (> 1.00 ha).
Kerapatan pohon sengon dan bukan sengon (pohon/ha) serta produktivitas
daun teh (kg/ha/tahun) dihitung melalui wawancara.
Kontribusi pendapatan adalah persentase rasio pendapatan usaha tertentu
terhadap pendapatan total rumah tangga.
Adopter dikategorikan menjadi innovators, early adopters, early majority,
late majority, dan laggards berdasarkan perhitungan rata-rata (mean) dan
standar deviasi waktu adopsi inovasi serta tinjauan sejarah, wawancara, dan
observasi.

7
Metode Pengumpulan Data
Jenis data pada penelitian ini terdiri atas data primer (hasil wawancara dan
observasi) dan data sekunder (pustaka yang terkait dengan penelitian). Tabel 4
menunjukkan metode pengumpulan data tersebut. Wawancara dilakukan secara
terstruktur menggunakan kuesioner kepada responden dan menggunakan daftar
pertanyaan kepada key person serta dilakukan juga wawancara tidak struktur
terhadap keduanya dengan mengembangkan pertanyaan-pertanyaan yang terkait
dengan penelitian.
Tabel 4 Metode pengumpulan data
No.
1.
2.
3.
4.
5.

Data yang diperlukan
Kondisi umum lokasi
penelitian
Karaktristik responden
Karakteristik agroforestri
sengon
Sejarah agroforestri sengon
Proses adopsi agroforestri
sengon petani teh

Sumber data
Instansi pemerintah dan
lokasi penelitian
Responden
Responden, key person,
dan lokasi penelitian
Key person dan
responden
Key person dan
responden

Metode pengumpulan data
Studi pustaka, wawancara,
dan observasi
Wawancara
Wawancara dan observasi
Wawancara
Wawancara

Metode Pengolahan dan Analisis Data
1.

Rumus-rumus yang digunakan dalam pengolahan data antara lain:
Pendapatan total rumah tangga (Rp/tahun) = ∑ Sumber pendapatan

2.

Kontribusi pendapatan usaha tertentu (%) =

3.

Kerapatan pohon (pohon/ha) =

Pendapatan usaha tertentu

Pendapatan total rumah tangga

Jumlah pohon
Luas lahan agroforestri sengon

× 100%

Tahapan analisis data yang dilakukan meliputi pengecekan kelengkapan
data, pemilihan data, reduksi data, pembuatan kode, dan tabulasi. Analisis data
dilakukan secara deskriptif dalam bentuk narasi, tabel, dan gambar.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Desa Sukaresmi menurut DEPDAGRI (2011a) secara administratif terletak
di Kecamatan Kadupandak, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Desa ini
terdiri atas lima dusun yaitu Ciroyom, Balekambang, Gintungsari, Batuiyuh, dan
Parabon. Setiap dusun terdiri atas satu RW dan lima RT. Desa Sukaresmi terletak
pada ketinggian 745 mdpl dengan bentuk topografi berbukit. Suhu rata-rata harian
mencapai 25 °C, curah 150 mm hujan/bulan, dan jumlah bulan hujan 10 bulan.
BALITBANG Pertanian (2012) menyatakan bahwa Desa Sukaresmi
beriklim pertanian B (curah hujan > 2000 mm/tahun dan jumlah bulan basah 6-9

8
bulan). Jenis tanah di Kecamatan Kadupandak menurut BAPPEDA Kab. Cianjur
(2012) terdiri atas tanah regosol, grumosol, mediteran, latosol, dan podsolik.
Tabel 5 Tata guna lahan Desa Sukaresmi
No.
1.
2.
3.
4.
5.

Tata guna lahan
Permukiman
Persawahan
Perkebunan (teh dan kebun talun)
Hutan negara (Perum Perhutani)
Prasarana umum

Luas lahan (ha)
300.00
380.00
480.00
600.00
228.77

Total

Persentase (%)
15.08
19.11
24.14
30.17
11.50

1988.77

100.00

Sumber: DEPDAGRI (2011a)

Penggunaan lahan untuk perkebunan teh rakyat dan kebun talun merupakan
penggunaan lahan milik terluas di Desa Sukaresmi (Tabel 5). Namun dari
keseluruhan lahan, perkebunan teh rakyat dan kebun talun hanya 24.24%
sedangkan yang paling luas adalah lahan negara yang diperuntukkan untuk Perum
Perhutani Unit III Jawa Barat. Luas penggunaan lahan untuk agroforestri sengon
adalah < 24.14% sebab tidak semua lahan perkebunan teh rakyat dan kebun talun
kini menjadi agroforestri sengon. Hasil wawancara menunjukkan bahwa
perkebunan teh rakyat lebih dominan daripada kebun talun. Selain itu, diperoleh
juga keterangan bahwa saat ini sekitar 50 ha lahan milik telah dijual kepada
orang-orang dari luar desa.
Aksesibilitas Desa Sukaresmi menggunakan kendaraan umum masih sulit.
Kendaraan umum yang dapat digunakan dari Terminal Pasir Hayam, Kabupaten
Cianjur adalah mini bus.
Jalan desa sebagian besar masih menggunakan pengerasan batu sedangkan
jalan aspal hanya berada di sekitar balai desa dan jalan yang berada di kawasan
Perum Perhutani. Sarana transportasi masyarakat umumnya menggunakan ojeg
dan transportasi angkutan barang menggunakan mobil pick up atau truk.
Tabel 6 Pekerjaan penduduk Desa Sukaresmi
No.

Jenis Pekerjaan

1.

Petani

1607

37.11

2.
3.

Wirausaha
Pegawai
Tidak punya pekerjaan tetap
Belum bekerja

285
452
275
1712

6.58
10.44
6.35
39.53

4331

100.00

4.
5.
Total

Jumlah (orang)

Persentase (%)

Sumber: DEPDAGRI (2011b)

Sumber energi yang digunakan penduduk untuk memasak adalah kayu
bakar dan gas LPG. Sumber energi listrik penduduk berasal dari PLN. Sarana
kebersihan penduduk berupa MCK bersama dan posyandu. Desa Sukaresmi
mempunyai tiga SDN, satu SMPN, dan dua Madrasah Aliah Swasta. Sarana
ibadah berupa mushala berjumlah 60 buah dan masjid 10 buah yang tersebar di
lima dusun (DEPDAGRI 2011b).

9
Penduduk Desa Sukaresmi merupakan suku Sunda dan semuanya beragama
Islam. Penduduk Desa Sukaresmi sampai tahun 2011 berjumlah 4331 orang yang
mayoritas pendudukya memiliki tingkat pendidikan SD. Tabel 6 menunjukkan
bahwa secara umum penduduk Desa Sukaresmi bekerja sebagai petani.

Karakteristik Responden
Hasil wawancara dari ke-30 responden yang diambil secara purposive
sampling memiliki karakteristik seperti yang ditunjukkan pada Tabel 7.
Agroforestri sengon cenderung diadopsi lebih banyak oleh responden yang
berusia produktif daripada responden yang berusia tidak produktif. Hal tersebut
menjelaskan bahwa responden berusia produktif mempunyai keyakinan bahwa
hasil inovasi mungkin sempat bisa dirasakan manfaatnya. Walaupun demikian,
agroforestri sengon tetap diadopsi oleh responden yang berusia tidak produktif.
Hal tersebut terjadi karena sengon merupakan tanaman cepat tumbuh dan bisa
dipanen setelah berumur empat tahun sehingga masih memungkinkan untuk
diadopsi oleh responden tersebut.
Tabel 7 Karakteristik responden
No.

Karakteristik

Kategori

1.

Umur

2.

Pendidikan

3.

Pekerjaan utama

4.

Luas lahan

Produktif (15-65 tahun)
Tidak produktif (> 65 tahun)
SD
SMP
SMA
Perguruan tinggi
Petani
Wirausaha
Pegawai
Sempit (< 0.50 ha)
Cukup luas (0.50–1.00 ha)
Luas (> 1.00 ha)

Responden (%)
93.33
6.67
63.33
13.33
20.00
3.33
53.33
26.67
20.00
16.67
40.00
43.33

Pendidikan responden ternyata tidak memiliki kecenderungan tertentu
terhadap adopsi agroforestri sengon (Tabel 7). Hal tersebut terjadi karena secara
umum penduduk Desa Sukaresmi berpendidikan SD dan penduduk yang
berpendidikan tinggi cenderung bekerja di kota-kota besar. Selain itu, hal tersebut
menunjukkan bahwa agroforestri sengon mudah untuk diadopsi oleh petani teh
yang berpendidikan rendah.
Responden yang pekerjaan utamanya sebagai petani cenderung lebih banyak
mengadopsi agroforestri sengon daripada responden yang pekerjaan utamanya
sebagai pedagang atau pegawai (Tabel 7). Kondisi tersebut menjelaskan bahwa
agroforestri sengon mudah diadopsi oleh responden yang memiliki keterampilan
dalam bertani. Selain itu, responden yang pekerjaan utamanya sebagai pedagang
atau pegawai berani mengadopsi agroforestri sengon terjadi karena pendapatan
mereka tidak hanya tergantung dari sumber daya lahan.

10
Semakin luas lahan yang dimiliki, maka responden cenderung lebih berani
mengadopsi agroforestri sengon (Tabel 7). Hal tersebut terjadi karena secara
umum lahan responden tidak mengumpul pada satu hamparan sehingga mereka
masih memiliki kesempatan untuk melakukan pengelolaan yang berbeda pada
lahan lainnya. Walaupun demikian, responden yang memiliki lahan sempit tetap
mengadopsi agroforestri sengon. Hal tersebut terjadi karena menurut Hardjanto
(2000) hutan rakyat di Jawa memang memiliki luasan yang sempit sehingga
mendorong pemiliknya untuk mengoptimalkan lahan.

Karakteristik Pola Usaha Tani Lahan Kering
Pola usaha tani lahan kering di Desa Sukaresmi berdasarkan hasil observasi
dan wawancara terdiri atas perkebunan teh rakyat (P1), agroforestri sengon (P2),
agroforestri sengon tanpa teh (P3), dan monokultur sengon (P4). Perbedaan
keempat pola usaha tani tersebut dapat dilihat pada Tabel 8 dan Gambar 3.
Tabel 8 Pola usaha tani lahan kering di Desa Sukaresmi

1.

Sejarah lahan

P1
Perkebunan
teh rakyat

2.

Komposisi jenis
tanaman

Homogen
teh

3.

Rata-rata kerapatan
sengon (pohon/ha)
Rata-rata kerapatan
pohon bukan
sengon (pohon/ha)
Rata-rata
produktivitas daun
teh (kg/ha/tahun)
Struktur
pendapatan

0

Pola usaha tani lahan kering
P2
P3
Perkebunan
Talun,
teh rakyat
pekarangan, dan
bekas bangunan
Heterogen,
Heterogen,
terdiri atas 37
terdiri atas 15
jenis tanaman
jenis
809.85
149.17

0

164.73

347.71

0

5133.33

2861.25

0

0

Pendek

Pendek,
menengah,
dan panjang

Menengah dan
panjang

Panjang

No. Tinjauan

4.

5.

6.

P4
Talun atau
bekas
bangunan
Homogen
sengon
1500.00

Sejarah lahan dan komposisi jenis tanaman adalah indikator utama yang
membedakan keempat pola usaha tani lahan kering Desa Sukaresmi. P1
merupakan lahan yang sejak dahulu adalah perkebunan teh rakyat dan sampai
tahun 2012 masih tetap dipertahankan untuk perkebunan teh rakyat. P2 dibangun
pada lahan yang semula perkebunan teh rakyat (P1) sedangkan P3 atau P4
umumnya pada lahan yang semula merupakan talun, pekarangan, atau bekas
bangunan.
Komposisi jenis tanaman P2 lebih beragam daripada P3 dan P4. Tanaman
utama P2 adalah teh dan sengon sedangkan tanaman lainnya cenderung masih
sedikit digunakan oleh responden (Lampiran 1). Sebelum P2 digunakan petani teh,
ada sebagian dari mereka yang perkebunan tehnya menggunakan berbagai macam
pohon pelindung seperti buah-buahan, kayu afrika (Maesopsis eminii), puspa

11
(Schima walichii), rasamala (Altingia excelsa), dan sengon hanya saja kerapatan
pohon tersebut sekitar 1-100 pohon/ha dan tidak ada jenis pohon pelindung yang
lebih diutamakan. Oleh karena itu, sangat wajar jika P2 juga memiliki jenis
tanaman yang beragam dan P1 yang ditemukan saat ini hanya berupa hamparan
teh secara monokultur sebab saat itu sebagian besar petani teh mengkhususkan
lahannya untuk berkebun teh saja.

Gambar 3 Perkebunan teh rakyat (P1), agroforestri sengon (P2), agroforestri
sengon tanpa teh (P3), dan monokultur sengon (P4)
Rata-rata kerapatan sengon dan bukan sengon P2 lebih besar daripada P3.
Hal tersebut menunjukkan bahwa petani teh cenderung mengutamakan jenis
sengon daripada jenis pohon lainnya. Rata-rata kerapatan sengon dan bukan
sengon yang rendah pada P3 terjadi karena petani teh cenderung mengutamakan
pertanian tanaman semusim seperti cabai (Capcisum sp.) dan kapulaga (Amomum
compactum). Selain itu, rata-rata kerapatan sengon pada P3 justru lebih kecil
daripada rata-rata kerapatan bukan sengon. Hal tersebut terjadi karena tanaman
bukan sengon umumnya ditanam lebih dahulu sehingga penanaman sengon perlu
memerhatikan tutupan lahan yang cenderung diutamakan untuk pertanian tanaman
semusim.
Rata-rata produktivitas daun teh pada P2 lebih rendah daripada P1 (Tabel 8).
Hal ini terjadi karena jumlah tanaman teh pada P2 mengalami penurunan akibat
banyak yang mati terserang jamur akar. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa P2
cenderung diterapkan pada lahan perkebunan teh rakyat yang kurang produktif.
Responden memiliki persepsi bahwa produktivitas teh yang rendah terjadi akibat
tanaman teh terlalu tua (sekitar 27 tahun), teh yang ditanam berasal dari stek, dan
jumlah tanaman yang berkurang akibat terserang jamur akar. Walaupun demikian,
ada kemungkinan bahwa agroforestri sengon berpengaruh terhadap produktivitas

12
daun teh sebab secara umum rata-rata tanaman pelindung pada perkebunan teh
menurut Nazaruddin dan Paimin (1993) hanya 125 pohon/ha.
Struktur pendapatan P2 lebih beragam daripada P1, P3, atau P4 sebab P2
memiliki jenis tanaman yang beragam terutama keberadaan teh yang memberikan
pendapatan jangka pendek (setiap 14 hari sekali). Oleh karena itu, semakin
beragam jenis tanaman yang digunakan maka semakin beragam juga struktur
pendapatan dari lahan yang digunakan untuk tanaman tersebut.
Hasil observasi dan wawancara menyatakan bahwa seluruh responden
menanam sengon di perkebunan tehnya. Responden yang memiliki perkebunan
teh dan kebun talun cenderung menanam sengon pada kedua lahan tersebut dan
bahkan ada dari mereka yang telah berani untuk mengkhususkan lahan kebun
talun untuk ditanam sengon secara monokultur (Tabel 9). Hal tersebut terjadi
karena responden memiliki lokasi lahan tidak terkumpul dalam satu hamparan
sehingga mereka mengkhususkan salah satu lahan tertentu untuk ditanami sengon.
Tabel 9 Pilihan pola usaha tani lahan kering
No.

Pilihan

1.
2.
3.
4.
5.
6.
Total

P2
P2 dan P1
P2 dan P3
P2 dan P4
P2, P3, dan P1
P2, P3, dan P4

Responden
23
2
2
1
1
1
30

Persentase (%)
76.67
6.67
6.67
3.33
3.33
3.33
100.00

Sumber-sumber pendapatan responden terdiri atas pendapatan dari usaha
tani lahan kering (P1, P2, P3, dan/atau P4), pertanian, hasil dagang, gaji atau
upah, dan lainnya (Lampiran 2). Rata-rata kontribusi suatu sumber pendapatan
dipengaruhi oleh banyaknya sumber pendapatan yang dimiliki oleh masingmasing responden. Oleh karena itu, pilihan pola usaha tani lahan kering pada
Tabel 9 tentu berpengaruh terhadap hal tersebut. Lampiran 2 menjelaskan bahwa
teh pada responden yang hanya memilih P2 sebagai usaha tani lahan keringnya
ternyata mampu memberikan rata-rata pendapatan sebesar Rp 4 541 782.61/tahun
dengan rata-rata kontribusi pendapatan sebesar 15.23%. Rata-rata kontribusi
pendapatan tersebut ternyata merupakan rata-rata kontribusi pendapatan teh yang
terbesar dari seluruh pilihan pola usaha tani lahan kering. Kondisi tersebut terjadi
karena responden yang banyak melakukan pilihan pola usaha tani lahan kering
memiliki salah satu sumber usaha yang lebih memberikan rata-rata pendapatan
lebih besar.
Teh pada P2 juga memiliki rata-rata pendapatan yang lebih rendah daripada
P1 (Tabel 10). Hal tersebut terjadi karena produktivitas daun teh pada P2 lebih
rendah daripada P1 (Tabel 8). Kayu pada P2 memiliki rata-rata pendapatan lebih
rendah daripada P3. Hal tersebut terjadi karena pemanenan pohon pada P2
merupakan jenis sengon yang harganya sekitar Rp 400 000/m3 sedangkan pada P3
yang dipanen lebih banyak jenis bukan sengon dengan harga sekitar Rp 500
000/m3. Keuntungan P3 ternyata merupakan yang paling besar dari seluruh pola
usaha tani lahan kering sedangkan P4 masih belum memberikan keuntungan
sebab sampai tahun 2012 masih belum dilakukan pemanenan.

13
Tabel 10 Rata-rata pendapatan dan pengeluaran tiap pola usaha tani lahan kering
No.

Komponen

1.

Pendapatan
a. Teh
b. Kayu
c. Bukan kayu

P1

Total pendapatan (a)
2.
Pengeluaran (biaya
pengelolaan)
a. Pengadaan benih
atau bibit
b. Penyiapan lahan dan
penanaman
c. Pemeliharaan
d. Pemanenan
Total pengeluaran (b)
Keuntungan (a-b)

Rata-rata (Rp/ha/tahun)
P2
P3

P4

8 983 333.33
0.00

4 931 306.73
422 723.50

0.00
1 933 829.37

0.00
0.00

0.00
8 983 333.33

2 407 029.81
7 761 060.04

7 820 833.33
9 754 662.70

0.00
0.00

65 384.62

301 798.29

586 076.39

418 750.00

4 362.54
1 409 722.22
2 053 333.33
3 532 802.71
5 450 530.63

486 435.47
784 078.62
1 156 224.77
2 728 537.16
5 032 522.88

427 430.56
151 041.67
2 502 916.67
3 667 465.28
6 087 197.42

297 812.50
400 000.00
0.00
1 116 562.50
-1 116 562.50

Rata-rata biaya pengelolaan P2 lebih murah daripada P1 (Tabel 10) karena
petani teh kurang melakukan pengelolaan secara intensif terutama pada kegiatan
pemeliharaan. Hal serupa juga dijumpai pada P4, biaya pengelolaan rata-ratanya
justru paling murah daripada P1, P2, atau P3 sebab pengelolaanya kurang intensif.
Berbeda dengan P2 atau P4, rata-rata biaya pengelolaan P3 justru lebih mahal
daripada keduanya. Kondisi tersebut terjadi karena pengelolaan tanaman semusim
perlu diperbaharui lagi setiap musim tanam. Selain itu, pengelolaan tanaman
semusim seperti cabai (Capcisum sp.) umumnya dilakukan dalam skala besar
sehingga membutuhkan banyak tenaga kerja.

Sejarah Agroforestri Sengon
Masyarakat Desa Sukaresmi diduga telah mengenal budidaya teh sekitar
tahun 1920 yang bertepatan dengan disewanya lahan hutan untuk perkebunan teh
oleh Tuan Odo (berkebangsaan Belanda) dan H. Mahmud (berkebangsaan
Jerman). Luas perkebunan teh dari kedua pengusaha tersebut berturut-turut adalah
24 ha dan 54 ha. Perkebunan teh rakyat mulai berkembang ketika H. Harja diberi
hadiah berupa biji-biji teh varietas Assam oleh pengusaha di Perkebunan Pasir
Nangka. Teh dari perkebunan rakyat dijual kepada tuan Odo yang dijual lagi ke
Perkebunan Pasir Nangka untuk diolah menjadi teh hitam atau kepada H. Harja
untuk diolah menjadi teh hijau.
Teknologi pengolahan teh hijau sebelum tahun 1960-an masih sederhana
misalnya untuk melayukan dan mengeringkan daun teh hanya menggunakan
wajan dan untuk menggulungnya masih menggunakan kaki. Produk teh hijau saat
itu hanya dipasarkan di sekitar Cianjur sedangkan teh hitam Perkebunan Pasir
Nangka diekspor ke Amsterdam.
Sekitar tahun 1960-an Desa Sukaresmi telah memiliki 14 orang pemilik
pabrik teh hijau yang tersebar di tiga dusun yaitu:

14
1. Dusun Ciroyom
: H. Harja, Lili, Eeng, Ateng, dan Uay.
2. Dusun Balekambang
: Diat, Badri, Parman, dan Haris.
3. Dusun Gintungsari
: Aripin, Ijib, Aca, Saep, dan Encep Kuswara.
Pabrik pengolahan teh milik H. Harja, Lili, Bapak Eeng, dan Aripin dapat
memproduksi 400 kg/hari sedangkan beberapa orang lainnya hanya 10 kg/hari.
Pada tahun tersebut, alat pelayuan telah menggunakan drum yang dibuat seperti
mesin rotary panner.
Tahun 1973-1986 petani teh di desa ini memperoleh beberapa program
pemerintah. Program tersebut terdiri atas PMU (Proyek Manajemen Unit) tahun
1973, pelatihan pengelolaan perkebunan teh di BPTK Gambung tahun 1975,
PRPTE (Proyek Rehabilitasi Peremajaan Tanaman Ekspor) tahun 1981, dan PIR
(Perkebunan Inti Rakyat) tahun 1986.
Program-program tersebut memang bermanfaat untuk perbaikan perkebunan
teh rakyat. Akan tetapi, pada pelaksanaan PIR terdapat beberapa kejadian yang
memicu rusaknya pasar teh rakyat. Kejadian tersebut terdiri atas:
2. Petani teh dihimbau untuk menjual tehnya hanya kepada PT Tehnusamba
Indah sebagai perusahaan pelaksana program PIR.
3. Pemilik pabrik pengolahan teh hijau mendapat kesulitan dalam memperoleh
bahan baku dan perpanjangan izin operasional sehingga banyak pabrik tersebut
yang gulung tikar.
4. Sekitar tahun 1992, negara tujuan ekspor PT Tehnusamba Indah (Irak dan
Kuwait) berperang sehingga pemasaran produk perusahaan ini terhambat.
Pasca kejadian tersebut, sebagian petani teh rakyat berurbanisasi sehingga
perkebunan tehnya kurang dipelihara. Kejadian ini mengakibatkan pohon kayu
afrika banyak tumbuh di lahan tersebut dan tanaman tehnya banyak mengalami
kematian karena terserang jamur akar.
Tahun 1999 petani teh memperoleh program KUT (Kredit Usaha Tani).
Dana program tersebut umumnya digunakan petani teh untuk menanam cabai di
perkebunan tehnya. Beberapa tahun setelah itu tepatnya tahun 2003, desa ini
mendapat program GN-RHL berupa bantuan 10000 bibit dari jenis durian (Durio
zibethinus), petai (Parkia speciosa), jati (Tectona grandis), dan mahoni (Swietenia
macrophylla). Bibit-bibit tersebut ditanam di lahan perkebunan teh rakyat maupun
di pekarangan.

Gambar 4 Pabrik pengolahan teh hijau (a), saw mill (b)
Tahun 2005 merupakan awal munculnya agroforestri sengon sebab Bapak
Husen mulai menanam sengon di perkebunan tehnya. Selain itu, pada tahun

15
tersebut Bapak Apep Sudrajad (Kepala Desa Sukaresmi) mulai mengusahakan
sawmill di Dusun Gintungsari. Pabrik pengolahan teh hijau milik Bapak Sukarna
(putra dari Bapak Eeng) juga melakukan kerjasama dengan pengusaha teh
Kabupaten Batang Jawa Tengah sehingga teknologi pengolahannya lebih modern
(Gambar 4a).
Sampai tahun 2012, perkebunan teh rakyat Desa Sukaresmi telah banyak
memperoleh program pemerintah yang berbasis kehutanan maupun perkebunan.
Program tersebut adalah GRLK tahun 2009; bantuan bibit teh tahun 2010; KBR,
AMHRK (Areal Model Hutan Rakyat Pola Kemitraan), bantuan konservasi,
bantuan bibit teh, pembuatan los (tempat penampungan pucuk teh) tahun 2011;
serta bantuan bibit teh tahun 2012. Bentuk bantuan program kehutanan adalah
bibit sengon, domba, dan pendanaan. Selain itu, pada tahun 2012 jumlah sawmill
di Desa Sukaresmi juga bertambah satu lagi yaitu milik Bapak Dadang di Dusun
Gintungsari (Gambar 4b).

Sistem Pengelolaan Agroforestri Sengon
Teh yang digunakan dalam agroforestri sengon telah ditanam oleh petani teh
sejak 1985. Bibit teh yang digunakan berasal dari stek. Sampai saat ini, petani teh
hanya melakukan penyulaman sedangkan replanting teh sudah tidak dilakukan.
Bibit sulaman yang digunakan oleh petani teh berasal dari program pemerintah.
Sengon yang ditanam petani teh sebagian besar berasal dari benih yang
dibeli dari toko pertanian Pasar Sukanagara (sekitar 16 km dari Desa Sukaresmi)
dan sebagian yang lain diperoleh dari program pemerintah atau membeli bibit
pada tengkulak. Petani teh umumnya menyemaikan sengon di pekarangan selama
dua bulan sebelum musim hujan.
Petani teh menyiapkan lahan menjelang musim penghujan dan kegiatan
penanamanya dilakukan awal musim penghujan. Petani teh cenderung menanam
sengon pada bekas teh yang mati sehingga pola penyebaran sengon secara
horizontal terlihat tidak teratur.
Pemeliharaan agroforestri sengon yang dilakukan petani teh terdiri atas
penyiangan; pemupukan; pemangkasan; serta pengendalian hama dan penyakit.
Petani teh yang mempunyai palawija cenderung memelihara lebih intensif
daripada petani teh yang hanya mengandalkan hasil panen teh atau kayu.
Petani teh menyiangi tanaman dengan cara mekanis atau kimiawi. Kegiatan
penyiangan umumnya dilakukan setiap sebulan sekali. Petani teh biasanya
melakukan pemupukkan sebanyak satu sampai tiga kali dalam setahun. Pupuk
yang digunakan petani teh biasanya terdiri atas pupuk kandang, NPK, dan urea.
Pemangkasan cenderung tidak dilakukan oleh petani teh sebab kegiatan tersebut
umumnya dilakukan oleh pencari pakan ternak domba atau kambing.
Teh umumnya dikupas (dipangkas) setiap dua tahun sekali. Pemangkasan
yang digunakan petani teh terdiri atas tiga jenis yaitu pemangkasan kepris, bagi
dahan, dan dempul. Pemangkasan berpengaruh terhadap pemetikan selanjutnya.
Teh akan dipetik setelah 40 hari jika dipangkas kepris, akan dipetik setelah dua
bulan setelah dipangkas bagi dahan, dan akan dipetik setelah empat bulan setelah
dipangkas dempul.

16
Hama dan penyakit yang menyerang sengon terdiri atas boktor (Xystrocera
festiva) dan jamur karat puru (Uromycladium tepperianum). Petani teh melakukan
pengendalian hama dan penyakit tersebut dengan cara mekanik. Hama boktor
dikendalikan dengan cara menyeset kulit batang atau ditebang sedangkan karat
puru dikendalikan dengan cara membuang gall (bagian batang atau cabang sengon
yang bengkak).
Petani teh biasanya memanen pohon secara tebang butuh yang dikerjakan
oleh tengkulak. Pemanenan tersebut dilakukan dengan dua cara yaitu berdasarkan
tebang pilih atau borongan. Sengon yang ditebang umumnya telah berumur empat
tahun dengan diameter > 15 cm atau terserang hama dan penyakit. Kondisi ini
menjelaskan bahwa dalam pengelolaan agroforestri sengon ada kesamaan fungsi
antara tebang butuh dengan penjarangan yaitu menebang pohon yang terserang
hama dan penyakit.
Pemetikan teh dilakukan dengan bantuan buruh tani dan biasanya dipetik
pada pagi hari. Istilah pemetikan saat ini memang dirasa kurang tepat sebab
pemetikan teh sudah tidak lagi ditaruk (dipetik) tetapi menggunakan arit (Gambar
5). Hal tersebut dilakukan karena tidak ada perbedaan harga antara teh yang
ditaruk dengan teh yang diarit.

Gambar 5 Pemetikan teh menggunakan arit
Harga kayu ditentukan berdasarkan taksiran volume yang dilakukan oleh
tengkulak sebab petani teh umumnya tidak mengetahui cara menghitung volume
pohon berdiri dan perkiraan volume yang akan dihasilkan jika diolah menjadi
balok, kusen, kaso, papan, atau reng. Selain itu, harga kayu juga dipengaruhi oleh
jenis pohon, kerusakan pohon, serta kesulitan penyaradan dan pengangkutan.
Petani teh dapat memasarkan sengon melalui dua saluran yaitu menjual
kepada tengkulak atau menjual kepada saw mill. Penjualan sengon kepada
tengkulak biasanya dilakukan petani teh karena jumlah yang ditebang sedikit dan
jarak angkut ke saw mill jauh sedangkan menjual langsung kepada saw mill jika
petani teh memiliki sumber daya modal untuk melakukan kegiatan pemanenan
secara pribadi.
Pemasaran teh juga dilakukan melalui tengkulak. Desa Sukaresmi hanya
memiliki satu pabrik teh hijau. Kapasitas pengolahan pabrik tersebut adalah 8000
kg daun teh/hari dan mampu menghasilkan 1600 kg teh hijau/hari. Pabrik tersebut
saat ini mengalami kesulitan bahan baku sehingga untuk memenuhinya pabrik

17
tersebut membeli teh dari Ciliwung-Bogor. Teh hijau pabrik tersebut masih belum
dikemas. Perusahaan Teh Dandang-Jawa Tengah merupakan mitra dari pabrik
pengolahan teh hijau Bapak Sukarna.

Proses Adopsi Agroforestri Sengon Petani Teh
Agroforestri sengon yang diterapkan responden merupakan indikator bahwa
mereka telah mengadopsi inovasi tersebut. Sampai tahun 2012, dari total luas
lahan seluruh responden yaitu 37.23 ha mayoritas lahan mereka berubah menjadi
agroforestri sengon yaitu 79.26% dan sebagian lainnya tetap mempertahankan P1
atau mengadopsi P3 dan P4 (Tabel 11).
Tabel 11 Luas lahan pola usaha tani lahan kering seluruh responden tahun 2012
No.
1.
2.
3.
4.

Pola usaha tani
P1
P2
P3
P4
Total

Luas lahan (ha)
2.00
29.51
3.52
2.20
37.23

Persentase (%)
5.37
79.26
9.45
5.91
100.00

Agroforestri sengon diadopsi pertama kali oleh responden pada tahun 2005.
Sumber informasi tersebut diperoleh responden saat melihat agroforestri sengon di
PTPN VIII Pasir Nangka sekitar tahun 1985. Akan tetapi, sistem pengelolaan
agroforestri yang digunakan oleh responden tersebut sama dengan pengelolaan
hutan rakyat pada umumnya terutama dalam hal pemanenan (tebang butuh). Hal
tersebut terjadi karena dia berprofesi sebagai tengkulak kayu dan sering
melakukan kontak dengan petani hutan rakyat di desa lain atau tengkulak kayu
lainnya.
Tahap pengetahuan responden lainnya diperoleh dari petani teh yang lebih
awal mengadopsi sebab mereka tidak mengetahui agroforestri sengon di PTPN
VIII Pasir Nangka. Oleh karena itu, responden pertama berperan penting dalam
penyebaran informasi inovasi sebab selain profesinya sebagai tengkulak kayu,
agroforestri sengon yang digunakannya juga mudah dilihat oleh petani teh lain.
Tahap kepercayaan dapat diamati pada perilaku petani teh saat berdiskusi
dengan tengkulak kayu atau petani teh yang mengadopsi lebih awal. Informasi
yang diterima biasanya adalah sengon merupakan tanaman cepat tumbuh, dapat
berguna sebagai pupuk hijau, dan menguntungkan. Oleh karena itu, wajar jika
mereka mudah terbujuk sebab dengan kondisi pasar teh yang sedang terpuruk
penggunaan agroforestri sengon seolah hadir untuk menjawab permasalahan yang
mereka hadapi.
Pesan inovasi yang diperoleh responden pada tahap pengetahuan dan tahap
kepercayaan mendorong mereka untuk melakukan aktivitas tambahan yang
mengarah pada keputusan untuk menerima atau menolak inovasi. Aktivitas
mereka pada tahap tersebut meliputi pencarian informasi mengenai sumber bibit
dan cara pengelolaan agroforestri sengon.
Key person menyatakan bahwa kondisi utama yang menyebabkan petani teh
memutuskan untuk mengadopsi agroforestri sengon disebabkan oleh harga teh

18
yang murah yaitu berkisar antara Rp 1700-1750/kg. Hasil wawancara kepada
responden menunjukkan bahwa keputusan mereka mengadopsi agroforestri
sengon dilakukan atas dasar pertimbangan tertentu (Tabel 12).
Mayoritas responden mengadopsi agroforestri sengon karena dasar
pertimbangan inovasi tersebut dapat memberi ruang untuk mengkombinasikan
pendapatan. Selain itu, pengelolaan perkebunan teh rakyat mahal, harga daun teh
murah, bibit teh sulit diperoleh, dan tenaga kerja perkebunan teh rakyat yang
berkurang merupakan dasar pertimbangan serupa yang mendorong responden
untuk mengadopsi agroforestri sengon. dasar pertimbangan tersebut menjelaskan
bahwa penyebab mereka mengadopsi inovasi tersebut karena pengelolaan
perkebunan teh rakyat dianggap kurang sesuai dengan kondisi saat ini. Selain itu,
keberadaan saw mill menunjukkan bahwa saat ini pasar kayu di Desa Sukaresmi
sudah ada atau dengan kata lain ada permintaan kayu dari konsumen.
Tabel 12 Dasar pertimbangan mengadopsi agroforestri sengon
No. Dasar pertimbangan
1. Pengelolaan perkebunan teh rakyat mahal
2. Harga daun teh murah
3. Bibit teh sulit diperoleh
4. Tenaga kerja perkebunan teh rakyat berkurang
5. Melindungi teh
6. Kebutuhan perbaikan rumah
7. Lahan sempit
8. Mengkombinasikan pendapatan
9. Ikut-ikutan
Total

Responden (%)
13.33
13.33
3.33
3.33
6.67
3.33
3.33
50.00
3.33
100.00

Dasar pertimbangan karena kebutuhan perbaikan rumah lebih menunjukkan
bahwa responden memerlukan kayu untuk pemenuhan kebutuhan papan. Hal
tersebut terjadi karena kondisi rumah-rumah di Desa Sukaresmi masih imah
panggung (lantai kayu dan didingnya berupa anyaman bambu) yang biasanya
diperbaiki setiap sepuluh tahun sekali.
Dasar pertimbangan karena melindungi teh lebih mengarah pada dasar
pertimbangan fungsi ekologi. Nazaruddin dan Paimin (1993) menyatakan bahwa
pohon pelindung dapat berfungsi seba

Dokumen yang terkait

Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi Pertanian Terpadu Usahatani Padi Organik(Studi Kasus : Desa Lubuk Bayas, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai )

9 95 91

Orientasi Nilai Kerja Pemuda pada Keluarga Petani Perkebunan : Studi Kasus pada Masyarakat Perkebunan Teh Rakyat di Desa Sukajembar, Kecamatan Sukanagara, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat

0 18 364

Persepsi perilaku masyarakat dalam pengelolaan ekosistem SUB Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikundul kasus di Desa Sukaresmi, Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat

1 9 82

Jaringan Komunikasi Petani Dalam Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian (Kasus Adopsi Inovasi Traktor Tangan Di Desa Neglasari, Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat

1 12 192

Strategi Pengembangan Usahaternak Sapi Perah di Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat

0 5 96

Kontribusi pengelolaan agroforestri terhadap pendapatan rumah tangga petani (Studi Kasus: Desa Bangunjaya, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

0 3 110

Analisis Risiko Pemasaran Tanaman Hias Pot di PT Bina Usaha Flora, Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat

2 38 203

Kontribusi Pengelolaan Agroforestri Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani (Studi Kasus Di Desa Sukaluyu, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

0 4 36

KARAKTERISTIK MORFOMETRI SEBAGIAN DAS CIJAMPANG SEBAGAI RESPON VARIASI LITOLOGI DI KECAMATAN KADUPANDAK, KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT.

0 0 2

ANALISIS HASIL PENJUALAN BERSIH PUCUK TEH RAKYAT DI KECAMATAN SUKANAGARA KABUPATEN CIANJUR PROVINSI JAWA BARAT (Kasus Pengelolaan Agribisnis Teh Rakyat)

0 0 19