0.518 Generasi ketiga berdasarkan weighted sum dan elitist preserve, yaitu: random
Studi ini mengidentifikasi dan mengukur kinerja rantai pasok tepung lokal yang ada di Jawa Barat untuk mengetahui posisi saat ini untuk mendukung
substitusi tepung terigu pada industri terigu. Hasil analisis kinerja sebagai masukan untuk memperbaiki kelembagaan kemitraan rantai pasok tepung lokal.
Penelitian sebelumnya mengenai pengukuran kinerja rantai pasok antara lain dilakukan oleh Mutakin dan Hubeis 2011 yang mengukur kinerja rantai pasok
produk semen dengan pendekatan
Supply Chain Operations Reference
SCOR. Oztemel dan Tekez 2009 menggunakan indikator seperti kepuasan pelanggan,
margin keuntungan, kualitas produk, laju realisasi siklus produk, dan laju ketanggapan untuk mengukur kinerja rantai pasok. Indikator kinerja tersebut
dipengaruhi oleh beberapa komponen meliputi permintaan konsumen, penggunaan kapasitas, kualitas produk, lead time pemasok, pergantian persediaan,
harga bahan baku, dan keterlambatan. Arin et al. 2013 mengukur kinerja rantai pasok susu segar pada Pusat Koperasi Industri Susu PKIS Sekar Tanjung
Pasuruan dengan pendekatan pembobotan kinerja dengan Analytic Network Process
ANP dan rating scale. Kelembagaan merupakan salah satu aspek yang penting untuk kelancaran
rantai pasokan suatu barang atau komoditas. Pola kelembagaan diperlukan sebagai sarana untuk mengkoordinasikan semua kegiatan pada rantai pasok mulai dari
budidaya, pengolahan pada industri hulu hingga industri hilir. Pada rantai pasok tepung lokal untuk substitusi tepung terigu ini melibatkan beberapa pelaku mulai
petani, pengepul, industri pengolahan tepung lokal, industri tepung terigu, distributor hingga ke konsumen. Model kelembagaan antar pelaku rantai pasok
perlu dikembangkan untuk menjamin keberlanjutan substitusi tepung lokal terhadap tepung terigu. Model kelembagaan kemitraan petani dengan industri
pengolahan tepung lokal yang dikembangkan berupa pertanian kontrak contract farming
. Menurut Eaton dan Shepherd 2001, pertanian kontrak merupakan sebuah perjanjian antara petani dan perusahaan untuk produksi dan pemasokan
produk-produk pertanian yang diatur di dalam kesepakatan awal, seperti kesepakatan penentuan harga. Patrick et al. 2004 mendefinisikan pertanian
kontrak merupakan sebuah sistem intermediasi produksi dan pemasaran, yang membagi risiko produksi dan pemasaran di antara pihak industri agribisnis
dengan petani sehingga dapat mengurangi biaya transaksi yang tinggi.
Tahapan yang dilakukan untuk pengukuran kinerja dan perancangan kelembagaan rantai pasok meliputi: 1 mengidentifikasi dan menganalisis
mekanisme rantai pasok tepung lokal, 2 membuat peta aliran mekanisme rantai pasok serta anggota yang berperan dalam rantai pasok tepung lokal, 3 melakukan
pengukuran kinerja pada pelaksanaan manajemen rantai pasok tepung lokal, dan 4 perancangan kelembagaan antara pelaku rantai pasok.
Tinjauan Pustaka Pengukuran Kinerja Rantai Pasok
Pengukuran kinerja rantai pasok merupakan pemantauan, pengendalian, pengkomunikasian, tujuan orgnisasi ke fungsi-fungsi rantai pasok dalam rangka
perbaikan kinerja sehingg rantai pasok dapat berjalan dengan baik, efektif, dan efisien.
Pengukuran kinerja rantai pasok dilakukan antara lain bertujuan untuk: 1. Membantu pembuatan keputusan yang lebih baik
Mengetahui posisi kinerja rantai pasok saat ini akan membantu pengambil keputusan dalam rangka menyusun strategi peningkatan kinerja rantai pasok.
2. Mendukung terciptanya komunikasi yang lebih baik. Pengukuran kinerja dapat menghasilkan hubungan komunikasi yang lebih baik
bagi setiap anggota di rantai, yaitu komunikasi antar departemen perusahaan, komunikasi antara perusahaan dengan suplier, dan komunikasi antara
departemen dengan manajemen atas.
3. Menyediakan umpan balik kinerja performance feedback. Pengukuran menyediakan umpan balik kinerja untuk membantu pencegahan
atau koreksi masalah-masalah yang teridentifikasi saat proses pengukuran kinerja. Umpan balik juga memberi pengetahuan mengenai seberapa bagus
pembeli, tim, atau suplier apakah kinerjanya sesuai atau tidak.
Berdasarkan review dilakukan oleh Setiawan et al. 2011, beberapa metode yang telah digunakan untuk pengukuran kinerja rantai pasok antara lain: metode
Supply Chain Operations Reference SCOR yang dikenalkan oleh Supply Chain
Council , metode Balanced Scorecard BSC, Activity Based CostingABC,
Multi-criteria Analysis MCA, Life Cycle Analysis LCA, Data Envelopment
Analysis DEA. Pada studi ini kinerja rantai pasok tepung lokal diukur
menggunakan metode SCOR dan Analytical Hierarchy Process AHP untuk pembobotan metriks.
Supply Chain Operations References SCOR
SCOR Supply Chain Operations Reference adalah suatu model referensi proses yang dikembangkan oleh Dewan Rantai Pasok Supply chain Council sebagai
alat analisis pengukuran kinerja manajemen rantai pasok. SCOR dapat digunakan untuk mengukur kinerja rantai pasok perusahaan, meningkatkan kinerjanya, dan
mengkomunikasikan kepada pihak-pihak yang terlibat didalamnya. SCOR merupakan alat manajemen yang mencakup semua pelaku, mulai dari pemasoknya pemasok,
hingga ke konsumennya konsumen.
Metode SCOR merupakan suatu metode sistematis yang mengkombinasikan elemen-elemen seperti; teknis bisnis, patok duga, dan praktek terbaik untuk
diterapkan dalam rantai pasok. Kombinasi dari elemen-elemen tersebut diwujudkan ke dalam suatu kerangka kerja yang komprehensif sebagai referensi
untuk meningkatkan kinerja manejemen rantai pasok perusahaan tertentu Supply Chain Council
, 2011. Sebagai sebuah model referensi maka pada dasarnya model SCOR didasarkan pada tiga pilar utama, yaitu:
1. Pemodelan proses: referensi untuk memodelkan suatu proses rantai pasok agar lebih mudah diterjemahkan dan dianalisis.
2. Pengukuran kinerja: referensi untuk mengukur kinerja suatu rantai pasok perusahaan sebagai standar pengukuran.
3.
Penerapan praktek-praktek tebaik best practices: referensi untuk menentukan best practices
yang dibutuhkan oleh perusahaan.
Sub-elemen atribut kinerja dan metrik kinerja pada pengukuran kinerja dengan teknik SCOR dapat dilihat pada Tabel 30.
Penelitian sebelumnya yang menggunakan metode SCOR untuk mengukur kinerja rantai pasok antara lain oleh Mutakin dan Hubeis 2011 yang mengukur
rantai pasok komoditas semen. Setiawan et al. 2011 mengkombinasikan metode SCOR dan fuzzy AHP untuk merancang metrik pengukuran kinerja dan kemudian
menggunakan metode DEA untuk mengukur kinerja rantai pasok sayuran di dataran tinggi Jawa Barat. Sidarto 2008 menggunakan model performance of
activity
POA untuk mengukur biaya, waktu, kapasitas, produktivitas, utilitas, dan keluaran. Selain itu, Sidarto 2008 juga menggunakan model SCOR untuk
mengukur keandalan, ketanggapan, fleksibilitas, biaya dan aset-aset.
Kelembagaan
Eaton and Shepherd 2001 membagi pertanian kontrak ke dalam lima 5 tipe, yaitu:
1. Centralized model model tersentralisasi, yaitu model yang terkoordinasi secara vertikal, dimana sponsor membeli produk dari para petani dan
kemudian memprosesnya atau mengemasnya dan memasarkan produknya. Kuota produksi ditentukan sejak awal musim tanam, hal ini disertai dengan
pengendalian yang ketat terhadap mutu.
2. Nucleus estate model model inti-plasma, yaitu variasi dari model terpusat, dimana dalam model ini sponsor dari proyek juga memiliki dan mengatur
tanah perkebunan yang biasanya dekat dengan pabrik pengolahan. Umumnya sistem ini diterapkan pada tanaman perkebunan, tetapi juga bisa diterapkan
untuk peternakan sapi perahan. Contoh: perkebunan kelapa sawit di wilayah transmigrasi dan peternakan sapi perahan di Indonesia, perkebunan teh di
India, Nepal dan Srilangka.
3. Multipartite model model multipihak, yaitu biasanya melibatkan badan hukum dan perusahaan swasta yang secara bersama berpartisipasi bersama
Tabel 30 Atribut kinerja rantai pasok metode SCOR
Atribut kinerja Definisi
Metrik kinerja Reliabilitas
Kinerja rantai
pasok dalam
mengirimkan produk dengan tepat, pada tempat yang tepat, pada waktu
yang tepat, dengan jumlah yang tepat, dan terdokumentasi dengan baik.
- Pesanan terkirim
penuh - Ketepatan Pengiriman
- Kondisi barang
sempurna Responsivitas
Kecepatan rantai
pasok dalam
menyediakan produk ke konsumen. - Waktu siklus
memperoleh bahan baku
- Waktu siklus pengolahan
Agilitas Kemampuan rantai pasok dalam
merespon perubahan pasar dalam upaya
memenangkan persaingan
pasar. - Kemampuan
perubahan kapasitas
produksi - Fleksibilitas kecepatan
produksi Biaya
Biaya-biaya yang
berhubungan dengan pengoperasian rantai pasok.
- Biaya pengolahan - Biaya perawatan
Aset Kemampuan untuk secara efisien
memanfaatkan aset. - Siklus balik modal
para petani. Contoh: di Cina, dimana departemen pemerintah, komite kota, dan perusahaan-perusahaan asing bersama-sama menyepakati kontrak dengan
desa dan petani secara individual.
4. Informal model, yaitu model yang biasanya diaplikasikan terhadap wiraswasta perseorangan atau perusahaan kecil yang biasanya membuat kontrak produksi
informal yang mudah dengan para petani berdasarkan musiman terutama untuk produk sayuran dan buah-buahan tropis. Contoh supermarket seringkali
membeli produk segar dari para petani individual.
5. Intermediary model, yaitu suatu perusahaan memperolehmembeli bahan baku melalui perantara seperti kolektor, koperasi atau kelompok petani. Contoh di
Thailand, perusahaan makanan olahan membeli bahan baku dari para kolektor individual atau kelompok petani yang membuat pengaturan informal dengan
pihak petani dimana di Indonesia disebut dengan plasma.
Menurut Daryanto 2012 di Indonesia secara umum mengenal empat tipe kontrakkemitraan pertanian, yaitu:
1. Kemitraan inti plasma yaitu hubungan kemitraan antara kelompok mitra yang disebut plama dengan perusahaan mitra yang disebut inti. Perusahaan mitra
membina kelompok mitra dalam hal menyediakan lahan, penyediaan sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi,
perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha. Keunggulan dari sistem inti
plasma diantaranya adalah terciptanya saling ketergantungan dan saling memperoleh keuntungan serta terciptanya peningkatan usaha karena adanya
pembinaan dari perusahaan inti. Kelemahan dari sistem inti plasma antara lain pihak plasma masih kurang memahami hak dan kewajibannya sehingga
kesepakatan yang telah ditetapkan berjalan kurang lancar serta belum adanya kontrak kemitraan yang menjamin hak dan kewajiban komoditas plasma
sehingga terkadang pengusaha inti mempermainkan harga komoditas plasma.
2. Kemitraan sub kontrak, yaitu hubungan kemitraan antar kelompok mitra dengan perusahaan mitra dimana kelompok mitra memproduksi komponen
yang diperlukan oleh perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya. 3. Tipe dagang umum, yaitu hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan
perusahaan mitra, dimana kelompok mitra memasok kebutuhan perusahaan mitra sesuai dengan persyaratan yang ditentukan.
4. Pola kerjasama operasional, yaitu pola kemitraan yang dijalankan oleh kelompok mitra dengan perusahaan mitra. Kelompok mitra adalah kelompok
yang menyediakan lahan, sarana dan tenaga kerja. Sedangkan perusahaan mitra menyediakan biaya, modal, manajemen dan pengadaaan sarana produksi
lainnya. Perusahaan mitra juga sebagai penjamin pasar dengan meningkatkan nilai tambah produk melalui pengolahan.
Tipe pertanian kontrak berdasarkan jenis kontrak yang dirumuskan oleh Wilson tahun 1986 dikutip dari Rustiani et al. 1997 ada tiga 3 tipe, yaitu:
1. Kontrak pemasaran Pada tipe kontrak ini perusahaan inti hanya menentukan jenis dan jumlah
produksi pertanian yang harus diserahkan. Biasanya dalam kontrak tipe ini, pihak inti tidak memperkenalkan cara atau teknik tertentu dalam proses
produksi serta tidak harus memberikan sarana penunjang produksi bagi petani. Kontrak ini lebih merupakan perjanjian untuk membeli hasil produksi petani
kelak. Pada tipe kontrak ini, petani lebih bebas bekerja sesuai dengan keinginannya, tetapi di bawah kendali perusahaan inti.
2. Kontrak produksi Pada tipe kontrak ini pihak inti terlibat dalam proses produksi berupa
menentukan jenis dan jumlah komoditas dibudidaya, juga menentukan jenis varietas dan metode produksi. Pihak inti biasanya memberikan bantuan teknis
dan menyediakan sarana produksi.
3. Integrasi vertikal Pada sistem kontrak ini, semua proses produksi berada dalam kendali
perusahaan inti yang menguasai seluruh alat produksi dan hasil produksi, kecuali tenaga kerja. Sementara itu, posisi petani setara dengan pekerja
pengawas sewaan atau bahkan hanya sebagai pekerja borongan. Contoh: PT. Salim Ivomas Pratama, Tbk. adalah perusahaan yang bergerak pada
penyulingan minyak crude palm oil CPO yang menghasil produk minyak goreng sawit dan margarin. Untuk mendukung kontinuitas pasokan bahan
baku, perusahaan melakukan integrasi secara vertikal dengan usaha perkebunan sawit dan pabrik CPO. Pada integrasi vertikal perusahaan dapat
memperoleh pasokan bahan baku yang cepat dengan harga yang stabil dan murah sehingga dengan strategi ini perusahaan dapat menekan biaya bahan
baku.
Saptana et al. 2006 memperkenalkan beberapa pola kemitraan usaha partnership pada rantai pasokan produk pertanian yang umum, antara lain1
Pola kemitraan dagang umum, pada pola ini terjadinya kontrak kerjasama biasanya terjadi pada tingkat supplier midle man dengan super market, restauran
dan hotel, juga dengan pedagang besar di tujuan-tujuan pasar; 2 Pola kemitraan kontrak pertanian antara perusahan industri dengan petani atau kelompok tani
3 Pola kemitraan rantai pasok dalam kerangka pengembangan Sub-Terminal Agribisnis STA dan pasar lelang, 5 Pola kemitraan petanikelompok tani
dengan pedagang mitra; serta 6 Pola kemitraan kelompok tani dengan perusahaan pengolahan. 7 Pola kemitraan dalam menyediakan modal. Kemitraan
petani dengan perusahaan dapat berupa perusahaan industri pengolahan, pedagang suppliervendor, perusahaan ekspor-impor atau perusahaan lainnya berperan
menyediakan kebutuhan sarana produksi petani berupa bibit berkualitas, pupuk, dan sarana produksi lainnya sesuai kesepakatan yang tepat, yaitu tepat jumlah,
tepat kualitas, tepat tempat, tepat waktu, tepat dosis, dan tepat harga yang ditetapkan dengan kesepakatan.
Pengambil Keputusan dengaan Analytical Hierarchy Process AHP
Metode AHP dikembangkan oleh dikembangkan oleh Saaty 1980 merupakan metode pengambilan keputusan multi kriteria baik kuantitatif maupun
kualitatif. AHP ditujukan untuk memodelkan persoalan-persoalan tak terstruktur dan kompleks yang meliputi bidang ekonomi, sosial, maupun manajemen sains.
Tahapan-tahapan penyelesaian permasalahan dengan menggunakan metode AHP adalah sebagai berikut:
1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan. 2. Membuat struktur hierarki yang diawali dengan tujuan utama.
Pada tahap ini ditentukan tujuan yang ingin dicapai dan elemen-elemen pada setiap hierarki. Elemen hierarki terdiri dari faktor-faktor yang
mempengaruhi pencapaian tujuan, pelaku yang mempengaruhi faktor dan elemen hierarki alternatif pemecahan masalah
3. Membuat matriks perbandingan berpasangan. Matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi
relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap tujuan atau kriteria yang setingkat di atasnya. Perbandingan dilakukan berdasarkan penilaian dari pengambil
keputusan dengan menilai tingkat kepentingan suatu elemen dibandingkan elemen lainnya. Untuk memulai proses perbandingan berpasangan dipilih
sebuah kriteria dari level paling atas hierarki misalnya K dan kemudian dari level di bawahnya diambil elemen yang akan dibandingkan misalnya
E1,E2,E3,E4,E5.
4. Mendefinisikan perbandingan berpasangan Perbandingan berpasangan didefinsikan sehingga diperoleh jumlah
penilaian seluruhnya sebanyak n x [n-12] buah dengan n adalah banyaknya elemen yang dibandingkan.
Skala perbandingan berpasangan antara 1-9 yang diperkenalkan oleh Saaty 1980 dimana mempunyai makna seperti ditunjukkan pada Tabel 31.
5. Membuat matriks pendapat gabungan Pendapat gabungan diperoleh dengan cara menggabungkan matriks
pendapat individu para pakar memakai rata-rata geometrik. Formulasi rata-rata geometrik adalah:
√∏ 7.1
dimana: g
ij
= nilai matriks pendapat gabungan perbandingan tingkat kepentingan elemen ke-i terhadap elemen ke-j
a
ij
= nilai matriks pendapat individu tentang perbandingan tingkat kepentingan elemen ke-i terhadap elemen ke-j
k = individu ke-k k= 1, 2, ..., m 6. Menghitung vektor eigen dari setiap matriks perbandingan berpasangan
Vektor eigen merupakan bobot setiap elemen untuk penentuan prioritas elemen-elemen pada tingkat hierarki terendah sampai mencapai tujuan.
Penghitungan dilakukan lewat cara menjumlahkan nilai setiap kolom dari Tabel 31 Nilai perbandingan berpasangan pada metode AHP
Nilai perbandingan berpasangan
Definisi 1
Kedua elemen sama pentingnya 3
Elemen yang satu sedikit lebih penting dari pada elemen yang lainnya,
5 Elemen yang satu lebih penting dari pada yang lainnya
7 Elemen yang satu jelas lebih penting dari pada elemen
lainnya 9
Elemen yang satu mutlak lebih penting dari pada elemen lainnya
2, 4, 6, 8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan-pertimbangan yang
berdekatan,
matriks, membagi setiap nilai dari kolom dengan total kolom yang bersangkutan untuk memperoleh normalisasi matriks, dan menjumlahkan
nilai-nilai dari setiap baris dan membaginya dengan jumlah elemen untuk mendapatkan rata-rata.
7. Memeriksa rasio konsistensi hierarki Jika tidak memenuhi dengan CR 0,10 maka penilaian harus diulang
kembali. Untuk menentukan rasio konsistensi pertama dihitung indeks konsistensi dengan formula:
7.2 Selanjutnya nilai rasio konsistensi dapat dihitung dengan rumus:
7.3 Dimana
RI= nilai random indeks nilai eigen
Nilai CI menyatakan penyimpangan dari konsistensi atau disebut juga ukuran dari inkonsistensi, RI adalah nilai indeks konsistensi random dan
merupakan nilai eigen maksimum. Nilai RI diperoleh dari tabel Oardkridge
pada Tabel 32 dengan N = jumlah elemen alternatif atau kriteria.
Fuzzy Analytical Hierarchy Processing FAHP
Pemilihan pola kemitraan dilakukan dengan menggunakan pendekatan fuzzy analytical hierarchy process
FAHP. Penggunaan fuzzy pada AHP dimaksudkan untuk mengatasi ketidaktepatan dalam mempertimbangkan
penilaian yang muncul akibat keterbatasan dan ketidakmampuan para responden pakar. Teori himpunan fuzzy pertama kali dikenalkan oleh Zadeh 1965 yang
merupakan perluasan dari pengertian himpunan klasik untuk mengatasi kesamaran pikiran manusia. Pada teori himpunan klasik, unsur-unsur keanggotaan dalam
himpunan dinilai dalam hal biner menurut kondisi bivalen-elemen baik termasuk atau tidak termasuk dalam himpunan. Sebaliknya, teori himpunan fuzzy
memungkinkan penilaian bertahap dari keanggotaan elemen dalam himpunan, digambarkan dengan bantuan sebuah fungsi keanggotaan yang dinilai dalam unit
nyata interval [0,1]. Teori himpunan fuzzy memiliki kemampuan mempresentasikan data yang samar. Fungsi keanggotaan himpunan-himpunan
fuzzy
yang mempunyai bentuk
̃
: R[0,1] dengan jelas mempunyai pengertian kuantitatif dan dapat dilihat sebagai bilangan fuzzy.
Untuk memenuhi kebutuhan pemodelan masalah fuzzy, beberapa model bilangan fuzzy yang telah digunakan oleh peneliti antara lain bilangan fuzzy
segitiga, bilangan fuzzy trapesium, dan bilangan fuzzy R-L. Pada penelitian ini menggunakan bilangan fuzzy
segitiga. Jika x, α, , , Є R, dimana R adalah himpunan bilangan real. Bilangan fuzzy
̃ didefinisikan sebagai bilangan fuzzy segitiga jika fungsi keanggotaan seperti yang diuraikan pada persamaan 7.4 dan
grafik bilangan keanggotaan fuzzy segitiga ditunjukkan pada Gambar 30. Tabel 32 Nilai indeks random RI pada tabel Oardkridge
N 1
2 3
4 5
6 7
8 9
10 11
12 RI 0.0
0.0 0.58 0.9
1.12 1.24 1.32 1.41
1.45 1.49 1.51 1.56
̃
{ 7.4
Penelitian tentang FAHP sebelumnya antara lain dilakukan oleh Kahraman et al.
2003 untuk pemilihan supplier dengan multi kriteria. Lee et al. 2012 menggunakan FAHP untuk pemilihan supplier dalam rantai pasok hijau.
Kahraman et al. 2004 mengunakan FAHP pemilihan perusahaan katering yang memenuhi kepuasan pelanggan. Chang dan Yang 2011 menggunakan FAHP
untuk menentukan kesukaan terhadap atribut produk berdasarkan pilihan konsumen. Beberapa penelitian FAHP yang telah disebutkan diatas umumnya
menggunakan bilangan fuzzy segitiga untuk penilaian perbandingan berpasangan dan penurunan bobot vektor.
Tahapan metode FAHP menurut Javanbarg et al. 2012 adalah sebagai berikut:
1. Pembuatan struktur hierarki. Pembuatan struktur hierarki sama dengan struktur AHP kovensional. Pada
tahap ini ditentukan tujuan yang ingin dicapai dan elemen-elemen pada setiap hierarki. Elemen hierarki terdiri dari faktor-faktor yang mempengaruhi
pencapaian tujuan, pelaku yang mempengaruhi faktor dan elemen hierarki alternatif pemecahan masalah. Setelah identifikasi sistem selesai maka dibuat
struktur hierarki dengan melakukan abstraksi antara komponen dan dampak- dampaknya pada sistem.
2. Pengembangan matriks perbandingan fuzzy berpasangan. Mempertimbangkan permasalahan prioritas pada suatu tingkat dengan n
elemen, dimana penilaian perbandingan berpasangan dipresentasikan dengan bilangan fuzzy segitiga yaitu
̃ . Seperti AHP konvensional,
setiap himpunan perbandingan untuk suatu level nembutuhkan nn-12 penilaian yang mana lebih lanjut digunakan untuk membangun matriks
perbandingan timbal balik fuzzy positif { ̃
} seperti berikut: ̃
[ ̃
̃ ̃
̃ ̃
̃ ]
7.5 Gambar 30 Grafik fungsi keanggotaan bilangan fuzzy segitiga
dengan ̃
= 1 jika i=j, dan ̃
= ̃ ̃ ̃ ̃ ̃ atau ̃
, ̃
, ̃
, ̃
, ̃
jika i≠ j.
Jaganathan et al. 2007 memberikan fungsi keanggotaan untuk setiap atribut kepentingan dengan model representasi bilangan fuzzy segitiga,
sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 33.
3. Memeriksa konsistensi penilaian pengambil keputusan Langkah ini memeriksa konsistensi dan mengekstra prioritas dari
matriks perbandingan berpasangan. Pada matriks perbandingan berpasangan. Menurut Buckley 1985
matriks berbandingan berpasangan fuzzy ̃
adalah konsisten jika ̃
̃ ̃
, dimana i, j, k = 1, 2, . . . , n, dan adalah perkalian fuzzy, dan
menotasikan persamaan fuzzy. Jika matriks perbandingan berpasangan dinyatakan konsisten maka prioritas fuzzy
̃ dapat
dihitung dengan metode AHP konvensional. Vektor prioritas w
1
, w
2
, . . . , w
n T
dapat diperoleh dari mariks perbandingan dengan mengaplikasikan metode penentuan prioritas.
Memeriksa konsistensi dapat menggunakan consistency ratio CR untuk perkiraan secara langsung konsistensi dari perbandingan berpasangan.
CR dihitung dengan membagikan CI dengan nilai tabel dari Random Consistency Index
RI. Selanjutnya nilai rasio konsistensi dapat dihitung menggunakan persamaan 7.2 dan 7.3.
4. Agregasi prioritas dan perangkingan alternatif. Langkah akhir mengagregasi prioritas lokal yang ditentukan pada level
berbeda hieraki keputusan ke bentuk prioritas global gabungan untuk alternatif-alternatif berdasarkan metode jumlah terbobot weighted sum. Jika
ada alternatif i dan kriteria j, kemudian prioritas global akhir dari alternatif i diberikan sebagai:
∑ 7.6
Dimana w
j
adalah bobot kriteria j dan a
ij
adalah evaluasi alternatif A
i
terhadap kriteria j. Semakin tinggi nilai A
i
, alternatif semakin lebih baik.
Interpretative Structural Modelling ISM
Interpretative structural modelling merupakan suatu proses yang
mentransformasikan sistem yang tidak jelas dan tidak terstruktur ke bentuk sistem yang sistematis dan komprehensif untuk mencapai tujuan yang diharapkan Sage
1977. Sistem yang sedang ditelaah penjenjangan strukturnya dibagi menjadi elemen-elemen dimana setiap elemen selanjutnya diuraikan menjadi sejumlah
sub-elemen sampai memadai. Teknik ISM memberikan basis analisis dimana Tabel 33 Penilaian fuzzy AHP dengan model TFN
AHP Konvensional
Fungsi Keanggotaan fuzzy
Atribut A elemen baris, B elemen kolom
1 ̃ 1-δ, 1, 1+ δ
A Sama Penting dengan B 3
̃ 3-δ, 3, 3+ δ A Sedikit lebih penting dari B
5 ̃ 5-δ, 5, 5+ δ
A Lebih penting dari B 7
̃ 7-δ, 7, 7+ δ A Sangat jelas lebih penting dari B
9 ̃ 9-δ, 9, 9+ δ
A Mutlak lebih penting dari B
informasi yang dihasilkan sangat berguna dalam formulasi kebijakan serta perencanaan strategis.
Menurut Saxena et al. 1992, program dapat dibagi menjadi sembilan elemen yaitu:
1. Sektor masyarakat yang terpengaruh 2. Kebutuhan dari program
3. Kendala utama 4. Perubahan yang dimungkinkan
5. Tujuan dari program 6. Tolok ukur untuk menilai setiap tujuan
7. Aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan 8. Ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap aktivitas
9. Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program
Langkah-langkah identifikasi hubungan antar sub-elemen dalam suatu sistem yang kompleks dengan metode ISM berdasarkan Saxena et al. 1992
seperti ditunjukkan pada Gambar 31 atau diuraikan sebagai berikut: 1. Identifikasi elemen-elemen sistem.
Elemen-elemen sistem dan sub-elemennya sistem diidentifikasi dan didaftar. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui penelitian, brainstorming atau lainnya.
2. Penetapan hubungan kontekstual antar elemen. Hubungan kontekstual antar elemen atau sub-elemen ditetapkan sesuai dengan
tujuan dari pemodelan. 3. Pembentukan Structural Self Interaction Matrix SSIM.
Matriks ini merupakan hasil persepsi pakar responden terhadap hubungan kontekstual antar elemen atau antar sub-elemen. Empat macam simbol untuk
menyajikan tipe hubungan yang ada adalah: - Simbol V untuk menyatakan adanya hubungan kontekstual yang telah
ditetapkan di atas antara elemen Ei terhadap elemen Ej, tetapi tidak sebaliknya.
- Simbol A untuk menyatakan adanya hubungan kontekstual yang telah ditetapkan di atas antara elemen Ej terhadap elemen Ei, tetapi tidak
sebaliknya. - Simbol X untuk menyatakan adanya hubungan kontekstual yang telah
ditetapkan di atas secara timbal balik antara elemen Ei dengan elemen Ej. - Simbol O untuk menyatakan tidak adanya hubungan kontekstual yang
telah ditetapkan diatas antara elemen Ei dan elemen Ej. 4. Pembentukan Reachability Matrix RM
Matriks ini adalah matriks biner hasil konversi dari SSIM dengan aturan konversi SSIM menjadi RM adalah:
a. Jika simbol dalam SSIM adalah V maka nilai Eij = 1 dan nilai Eji = 0
dalam RM b. Jika simbol dalam SSIM adalah A maka nilai Eij = 0 dan nilai Eji = 1
dalam RM c. Jika simbol dalam SSIM adalah X maka nilai Eij = 1 dan nilai Eji = 1
dalam RM
d. Jika simbol dalam SSIM adalah O maka nilai Eij = 0 dan nila Eji = 0 dalam RM
Matriks RM awal perlu dimodifikasi untuk menunjukkan direct dan indirect reachability
, yaitu kondisi dimana jika Eij = 1 dan Ejk = 1 maka Eik = 1. Eij adalah kondisi hubungan kontekstual antara elemen Ei terhadap elemen Ej.
Dari matriks RM yang telah dimodifikasi didapat nilai Driver Power DP dan nilai dependence D. Berdasarkan nilai DP dan D, elemen-elemen dapat
diklasifikasikan kedalam 4 sektor, yaitu: a. Sektor autonomous yaitu sektor dengan nilai DP rendah dan nilai D rendah.
Elemen-elemen yang masuk dalam sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem atau memiliki hubungan sedikit.
b. Sektor dependent yaitu sektor dengan nilai DP rendah dan nilai D tinggi. Elemen yang masuk dalam sektor ini elemen yang tidak bebas dalam
sistem dan sangat tergantung pada elemen lain. c. Sektor linkage yaitu sektor dengan nilai DP tinggi dan nilai D tinggi.
Elemen yang masuk dalam sektor ini harius dikaji secara hati-hati karena perubahan pada elemen tersebut akan berdampak pada elemen lainnya dan
yang pada akhirnya akan kembali berdampak pula pada elemen tersebut. Gambar 31 Diagram Teknik ISM Saxena et al. 1992
d. Sektor independent yaitu sektor dengan nilai DP tinggi dan nilai D rendah. Elemen yang masuk dalam sektor ini dapat dianggap sebagai elemen bebas.
Setiap perubahan dalam elemen ini akan berimbas pada elemen lainnya sehingga elemen-elemen dalam sektor ini juga harus dikaji secara hati-hati.
5. Pembuatan level partitioning. Elemen-eleman diklasifikasikan kedalam level yang berbeda dari struktur ISM
yang akan dibentuk. Untuk tujuan ini dua perangkat diasosiasikan dengan setiap elemen dalam sistem, yaitu reachability set Ri yang merupakan set
elemen-elemen yang dapat dicapai oleh elemen Ei, dan antecedent set Ai yang merupakan set elemen-elemen dimana elemen Ei dapat dicapai.
6. Pembentukan canonical matrix. Elemen-elemen dengan level yang sama dikelompokkan untuk digunakan
sebagai persiapan digraph. 7. Digraph.
Digraph adalah sebuah grafik dari elemen-elemen yang saling berhubungan
secara langsung, dan level hierarki. 8.
Interpretive Structural Model. ISM dibangkitkan dengan memindahkan seluruh jumlah elemen dengan
deskripsi elemen aktual.
Integrasi Teknik ISM dan Pengambilan keputusan Kriteria Jamak
Penggabungan teknik ISM dan pengambilan keputusan kriteria jamak PKKJ telah banyak dilakukan pada penelitian sebelumnya untuk menyelesaikan
berbagai permasalahan. Penggabungan teknik ISM dengan PKKJ lainnya dimaksudkan untuk mengakomodir berbagai masukan dan kemudian masukan
dari metode tersebut disintesis untuk pengambilan keputusan yang diinginkan. Saptono et al. 2010 menggunakan teknik ISM dan AHP untuk mendesain
lembaga pembiayaan pertanian nasional. Mereka menggunakan teknik ISM untuk mendapatkan elemen kunci dan keterkaitan antara elemen kelembagaan,
kemudian AHP digunakan untuk menentukan alternatif model kelembagaan pembiayaan yang tepat. Jaya et al. 2011 mengintegrasikan teknik ISM dan fuzzy
multi-expert multi-criteria decision making
ME-MCDM untuk mengidentifikasi posisi pemangku kepentingan dan alternatif kegiatan untuk perbaikan mutu kopi
Gayo. Teknik ISM digunakan untuk menganalisis pemangku kepentingan yang berperan dan fuzzy ME-MCDM digunakan untuk menentukan strategi untuk
perbaikan putu kopi Gayo.
Hasil ISM dapat juga digunakan sebagai input teknik PKKJ lainnya atau sebaiknya. Saleeshya et al. 2012 mengintegrasikan ISM dan AHP untuk
mengukur agilitas rantai pasok industri tekstil di India. AHP digunakan untuk merangking faktor yang berkontribusi terhadap agilitas rantai pasok industri
tekstil dan teknik ISM digunakan untuk menganalisis keterkaitan antar sub- elemen untuk setiap faktor tersebut. Thakkar 2007 menggunakan teknik ISM
dan analytical network process ANP untuk mengembangkan balanced scorecard
dimana hasil ISM digunakan sebagai input ANP. Beikkhakhian et al. 2015 menggunakan teknik ISM, AHP, dan TOPSIS untuk memilih pemasok
yang tangkas. ISM digunakan untuk mengevaluasi kriteria pemasok tangkas dan selanjut memilih supplier dengan teknik AHP dan TOPSIS.
Metode
Pengukuran kinerja rantai pasok tepung lokal dimaksudkan untuk mengetahui posisi rantai pasok sekarang sebagai masukan untuk mengembangkan
kelembagaan pelaku rantai pasok tepung lokal dan pelaku industri tepung terigu. Pengukuran kinerja rantai pasok tepung lokal dilakukan pada wilayah Jawa Barat
khususnya Kabupaten Bogor. Model kelembagaan rantai pasok yang dikembangkan pada penelitian ini adalah pola kemitraan antara petani dan industri
pengolahan tepung lokal serta kemitraan antara industri pengolahan dan industri tepung terigu. Pola kelembagaan antara petani dan industri tepung lokal berupa
pertanian kontrak. Kelembagaan antara industri lokal dan industri tepung terigu berupa hubungan kemitraan antara pemasok bahan baku dan industri perusahaan.
Kelembagaan dalam rantai pasok tepung terigu dengan substitusi tepung lokal ini bertujuan untuk menjamin keberlanjutan substitusi tepung terigu pada industri
terigu.
Tahapan-tahapan yang digunakan pengukuran kinerja rantai pasok dan merancang model kelembagaan ini adalah:
1. Mengidentifikasi dan menganalisis mekanisme rantai pasok tepung lokal. 2. Membuat peta aliran mekanisme rantai pasok serta anggota yang berperan
dalam rantai pasok tepung lokal. 3. Melakukan pengukuran kinerja pada pelaksanaan manajemen rantai pasok
tepung lokal dengan metode SCOR dan mengintegrasikan dengan AHP untuk pembobotan elemen-elemen kinerja terkait.
4. Perancangan kelembagaan antara pelaku rantai pasok. Tahapan-tahapan perancangan kelembagaan rantai pasok dengan tahapan
meliputi: a. Mengumpulkan informasi tentang model kelembagaan yang sudah ada
dilakukan pengamatan lapangan, wawancara pakar dan studi tentang model kelembagaan yang sudah ada melalui benchmarking.
b. Mengumpulkan informasi tentang pelaku atau stakeholder yang terlibat, dilakukan dengan pengamatan lapangan dan wawancara pakar.
c. Mengidentifikasi elemen-elemen untuk keperluan kuisioner Interpretative Structural Modeling
ISM. Identifikasi dilakukan melalui pendapat pakar dan studi pustaka. Pakar yang diperlukan adalah mewakili pemerintahan
Kementerian Pertanian, peneliti, akademisi dan pelaku rantai pasok. d. Mempersiapkan kuisioner ISM dan melakukan wawancara pada pakar
untuk mendapatkan informasi elemen kunci kelembagaan. e. Pengolahan data ISM dilakukan untuk menentukan struktur sistem
kelembagaan dengan mendefinisikan elemen sistem dan menentukan hubungan antara elemen sehingga membentuk suatu sistem kelembagaan.
ISM juga digunakan untuk mendapatkan elemen kunci sukses suatu kelembagaan.
f. Alternatif model kelembagaan ditentukan dengan melakukan kajian-kajian terhadap pola kelembagaan yang sudah ada kemudian dipilih yang terbaik
dengan menggunakan metode FAHP. g. Rekomendasi model kelembagaan pelaku bisnis industri tepung terigu
dengan pelaku bisnis tepung lokal dilakukan dengan wawancara mendalam dan studi pustaka.
Pengukuran Kinerja Rantai Pasok Tepung Lokal
Pada studi ini, pengukuran kinerja rantai pasok dilakukan pada industri tepung lokal di Jawa Barat dalam rangka mendukung substitusi tepung terigu.
Industri tepung lokal yang dianalisis meliputi tepung tapioka dan tepung mocaf. Hasil optimasi tujuan jamak pada kondisi deterministik maupun tidak pasti pada
bab 5 dan 6 menunjukkan bahwa tepung tapioka yang memberikan hasil yang optimal. Namun aplikasi pada industri tepung terigu memungkinkan tepung mocaf
digunakan untuk substistusi atau campuran tepung tapioka dan mocaf. Sebelum mocaf diaplikasikan untuk menggantikan tepung terigu terlebih dahulu diukur
kinerja rantai pasok.
Kinerja rantai pasok tepung lokal perlu diukur secara tepat sesuai dengan karakteristik aktivitas di dalamnya melalui observasi lapangan. Perancangan
metrik pengukuran kinerja diperlukan sebelum melakukan pengukuran kinerja agar hasil yang diperoleh mencerminkan kondisi perusahaan saat ini. Perancangan
model pengukuran kinerja rantai pasok ini berdasarkan model SCOR Supply Chain Operation Reference
yang dikembangkan oleh SCC Supply Chain Council
, 2012. Elemen-elemen pengukuran kinerja yang dinilai meliputi proses bisnis, parameter kinerja, atribut dan metrik pengukuran kinerja rantai pasok yang
dimodelkan ke bentuk hierarki keputusan AHP seperti ditunjukkan pada Gambar 32.
Struktur Jaringan Rantai Pasok Tepung Tapioka
Secara umum struktur rantai pasok tepung tapioka di Jawa Barat digambarkan seperti Gambar 6 pada Bab 4. Pelaku rantai pasok tepung tapioka
pada bagian hulu adalah petani sebagai pemasok bahan baku. Pelaku tapioka kasar memperoleh ubi kayu dapat langsung dari petani atau melalui pengepul. Tapioka
kasar yang dihasilkan oleh pabrik tapioka kasar dikirim ke pabrik tapioka halus untuk dilakukan penepungan. Tapioka halus yang dihasilkan selanjutnya
didistribusikan ke pabrik pemakai langsung tapioka dan distributor. Struktur Jaringan Rantai Pasok Tepung Mocaf
Secara umum struktur jaringan rantai pasok tepung mocaf dapat dilihat pada Gambar 7 pada Bab 4. Petani dapat sebagai pemasok bahan baku ubi kayu basah
atau pemasok bahan baku berbentuk chip yang sudah difermentasi. Bahan baku dari petani selanjutnya diolah menjadi tepung mocaf pada industri pengolahan
mocaf dan selanjutnya didistribusikan ke UKM atau industri makanan berbasis mocaf.
Pembobotan Metrik Kinerja Rantai Pasok dengan AHP
Pembobotan metrik kinerja rantai pasok tepung lokal dilakukan dengan menggunakan metode AHP yang terdiri dari level tujuan, proses bisnis, parameter
kinerja, atribut kinerja, dan metrik kinerja. Pembobotan dengan AHP dilakukan berdasarkan pendapat pakar yang terdiri dari akademisi, praktisi, dan peneliti
dilihat yang daftar selengkapnya ditunjukkan pada Lampiran 3.
Pengolahan data pembobotan metrik kinerja rantai pasok tepung lokal dilakukan dengan bantuan software Expert Choice dengan hasil agregat pendapat
para pakar dapat dilihat pada Lampiran 14. Perhitungan bobot setiap level hierarki AHP dapat dilihat pada Lampiran 15 dan dirangkum seperti pada pada Gambar 32.
Proses bisnis yang paling penting pada rantai pasok tepung lokal adalah pengiriman produk dengan waktu, jumlah dan kualitas tepat dengan bobot 0.325.
Mengurangi risiko rantai pasok merupakan parameter kinerja rantai pasok yang paling penting dengan bobot 0.452. Apabila risiko-risiko yang mungkin terjadi
dapat dikurangi atau dicegah maka dapat mendukung proses bisnis berjalan dengan baik. Berdasarkan pendapat para pakar bahwa atribut kinerja rantai pasok
tepung lokal yang terpenting adaah responsivitas dengan bobot 0.297. Responsivitas merupakan kecepatan rantai pasok dalam menyediakan produk bagi
konsumen. Waktu atau kecepatan pemenuhan pesanan merupakan metrik kinerja yang paling penting dengan bobot 0.210. Bobot metrik kinerja yang tertinggi
memerupakan prioritas dalam rantai pasok untuk diperbaiki dan ditingkatkan kinerjanya. Sedangkan bobot metrik kinerja yang sangat kecil bukan prioritas
dalam rantai pasok.
Pelaku usaha tepung tapioka kasar di Jawa Barat umumnya merupakan industri skala kecil yang menghasilkan tapioka kasar dibawah 1 tonhari dimana
dengan jumlah tersebut tidak dapat memenuhi permintaan dari pabrik tapioka halus. Hal ini menyebabkan pelaku tapioka halus di Jawa Barat banyak membeli
tapioka kasar dari Lampung.
Pengukuran kinerja rantai pasok pada agroindustri tepung lokal diperoleh dari data aktual pihak terkait dan hasil pembobotan metrik pengukuran kinerja
yang dijelaskan pada sub-bab sebelumnya. Kategori pengukuran kinerja dilakukan pada anggota rantai pasok tepung lokal yang terkait meliputi tepung mocaf dan
Gambar 32 Hierarki pembobotan kinerja rantai pasok tepung lokal
tepung tapioka. Nilai aktual metrik kinerja tersebut dibentuk dalam presentase terhadap target kemudian diintegrasikan dengan hasil pembobotan metrik
pengukuran kinerja rantai pasok. Integrasi ini dimulai dari level metrik pengukuran kinerja hingga proses bisnis sehingga menghasilkan hasil kinerja
rantai pasok tepung lokal secara keseluruhan. Hasil pengukuran kinerja rantai pasok ini dikategorikan berdasarkan enam kriteria standar kinerja menurut
Monczka et al. 2011 yang dapat dilihat pada Tabel 34.
Hasil Pengukuran Kinerja Rantai Pasok Tepung Tapioka Komposisi pencampuran dengan tepung tapioka 5.66
Pengukuran kinerja rantai pasok tepung lokal untuk mendukung substitusi tepung terigu dilakukan berdasarkan hasil optimasi rantai pasok yaitu untuk
campuran tepung tapioka sebanyak 5.66. Bila kapasitas 1 pabrik tepung terigu sebesar 2000 MThari gandum dan menghasilkan 1500 MThari terigu maka
diperlukan campuran tapioka sebesar 90 MThari atau atau 2700 MTbulan atau 8100 MTperiode. Jumlah tapioka yang diperlukan tersebut selanjutnya dianalisis
untuk mengetahui posisi kinerja rantai pasok sekarang dalam rangka mendukung substitusi tepung terigu.
Pengukuran Kinerja Petani
Pelaku rantai pasok tepung tapioka dimulai dari petani sebagai pemasok bahan baku. Data produksi ubi kayu di Jawa Barat dalam enam tahun terakhir
dapat dilihat pada Tabel 35.
Rendemen pati ubi kayu berkisar antara 20-30 sedangkan rendemen pengrajin tepung tapioka kasar di Jawa Barat rata-rata sebesar 20. Dalam rangka
memenuhi permintaan tapioka sebesar 2700 ton per bulan untuk substitusi tepung Tabel 35 Data produksi ubi kayu di Jawa Barat dalam 6 tahun terakhir
Tahun Luas area
panen ha Produktivitas
tonha Produksi ton
Produksi tonbulan
2010 105 021
19.181 2 014 402
167 866.83 2011
103 244 19.941
2 058 785 171 565.42
2012 100 161
21.277 2 131 123
177 593.58 2013
95 504 22.392
2 138 532 178 211.00
2014 93 919
23.957 2 250 024
187 502.00 2015
83 930 24.07
2 020 214 168 351.17
Sumber: BPS 2016 Tabel 34
Standar kinerja rantai pasok
Nilai Kinerja Kriteria
95-100 Sangat Baik
90-94 Baik
80-89 Sedang
70-79 Kurang
60-69 Sangat Kurang
60 Buruk
Sumber: Monczka et al. 2011
terigu maka diperlukan bahan baku ubi kayu sebanyak 13 500 tonbulan. Tabel 35 menunjukkan bahwa produksi ubi kayu per bulan di Jawa Barat dapat memenuhi
permintaan 100 usaha tepung tapioka bahkan dapat memenuhi jika permintaan mengalami peningkatan.
Patok duga untuk pengukuran kinerja petani ubi kayu di Jawa Barat adalah petani di Lampung yang merupakan penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia
dengan produksi 8 038 963 ton, luas lahan 301 684 ha, dan produktivitas 26.65 tonha pada tahun 2015 BPS 2016.
Hasil perhitungan kinerja petani ubi kayu di Jawa Barat pada Tabel 36 menunjukkan bahwa secara keseluruhan kinerja petani ubi kayu termasuk kategori
baik dengan nilai kinerja 89.95. Kinerja yang baik berarti petani dapat mendukung keberlanjutan pelaku rantai pasok hilir seperti industri tepung tapioka,
mocaf, dll.
Ada empat metrik kinerja yang sesuai dengan patok duga yaitu pemenuhan pesanan responsivitas, siklus pemenuhan pesanan, fleksibilitas rantai pasokan
atas, dan penyesuaian rantai pasokan atas. Metrik kinerja siklus pemenuhan
pesanan memiliki kinerja tertinggi yaitu 21.0, kemudian diikuti kinerja pemenuhan pesanan dan penyesuaian rantai pasokan atas dengan kinerja masing-
masing 17.70 dan 15.10. Hal ini berarti petani ubi kayu Jawa Barat dapat memenuhi semua permintaan ubi kayu pada industri tapioka baik pada kondisi
normal maupun bila terjadi lonjakan permintaan. Metrik kinerja petani ubi kayu terendah adalah pengiriman pada waktu yang ditentukan dan penyesuaian atas
yaitu masing-masing sebesar 5.87 dan 6.70.
Tabel 36 Hasil perhitungan kinerja petani ubi kayu di Jawa Barat
Atribut kinerja Metrik Kinerja
Bobot AHP
Petani Patok
duga Perbandingan
Nilai Kinerja
Reliabilitas Pemenuhan
pesanan 0.177
100 100
100.00 17.70
Kinerja Pengiriman pada waktu yang
ditentukan 0.062
90 95
94.74 5.87
Kondisi sempurna 0.077
90 95
94.74 7.29
Responsivitas Siklus Pemenuhan
Pesanan hari 0.21
3 3
100.00 21.00
Agilitas Fleksibilitas rantai
pasokan atas bulan
0.151 10
10 100.00
15.10 Penyesuaian rantai
pasok atas 0.067
100 100
100.00 6.70
Penyesuaian rantai pasok Bawah
0.089 -
- -
- Biaya
Biaya total rantai pasok Rp. juta
0.076 5,912
5,512 93.24
7.09 Aset
Siklus Balik Modal bulan
0.092 10
10 100.00
9.20 Total kinerja rantai pasok
89.95
Tabel 37 Hasil perhitungan kinerja pelaku tapioka kasar untuk komposisi 5.66 di Jawa Barat
Atribut kinerja Metrik Kinerja
Bobot AHP
Tapioka kasar
Patok duga
Perbandingan Nilai
Kinerja Reliabilitas
Pemenuhan pesanan
0.177 57.37
95 60.39
10.69 Kinerja Pengiriman
pada waktu yang ditentukan
0.062 57.69
86 67.31
4.17 Kondisi sempurna
0.077 90
95 94.74
7.29 Responsivitas
Siklus Pemenuhan Pesanan hari
0.21 52
30 57.36
12.05 Agilitas
Fleksibilitas rantai pasokan atas hari
0.151 62
36 58.06
8.76 Penyesuaian rantai
pasok atas 0.067
20 30
66.67 4.47
Penyesuaian rantai pasok Bawah
0.089 0.00
Biaya Biaya total rantai
pasok Rp. juta 0.076
2,307 2,246
97.34 7.40
Aset Siklus Balik Modal
hari 0.092
52 35
67.31 6.19
Total kinerja rantai pasok 61.02
Pengukuran Kinerja Usaha Tapioka Kasar
Sentra usaha tapioka kasar di Jawa Barat berada di kabupaten Bogor, Garut, Ciamis, Tasikmalaya, dan Sumedang. Umumnya usaha tepung tapioka kasar di
Jawa Barat merupakan industri skala kecil dan menengah yang memiliki kapasitas produksi sekitar 1-5 ton bahan baku per hari. Data produksi tapioka kasar di Jawa
Barat rata-rata 51.63 tonhari atau setara dengan 1549 ton per bulan seperti dilihat pada Lampiran 19.
Hasil perhitungan kinerja usaha tapioka kasar di Jawa Barat ditunjukkan pada Tabel 37 yaitu sebesar 61.02 yang berarti sangat kurang. Rendahnya
kinerja pelaku tapioka kasar tersebut menyebabkan tidak dapat memenuhi permintaan pelaku usaha tapioka halus dan selanjutnya dapat menggangu rantai
pasok hilir. Kinerja pelaku tapioka kasar yang sangat kurang disebabkan beberapa faktor antara lain karena kapasitas produksi kecil dan sering mengalami kesulitan
memperoleh bahan baku yang menyebabkan terganggunya kontinuitas produksi. Hal ini karena pelaku tapioka kasar memperoleh bahan baku langsung dari petani
atau melalui pengepul dengan kemitraan pola dagang umum sehingga tidak dapat memberi jaminan pasokan secara kontinu.
Metrik kinerja yang paling sesuai dengan patok duga adalah biaya rantai pasok. Hal ini karena komponen biaya digunakan sama dan yang membedakan
bila patok duga tapioka kasar dari Lampung memiliki biaya bahan baku lebih murah dibandingkan di Jawa Barat. Metrik kinerja paling tidak sesuai dengan
patok duga adalah siklus pemenuhan pesanan yaitu sebesar 57.36. Beberapa sampel usaha taipoka kasar di Kabupaten Bogor yang diwawancarai bahwa
mereka kesulitan memperoleh bahan baku sehingga bahan baku harus didatangkan dari luar Bogor sehingga biaya bahan baku menjadi lebih mahal. Kesulitan bahan
baku menyebabkan produksi tapioka kasar tidak lancar dan bahkan tidak memenuhi kapasitas normal.
Kinerja Pelaku Tapioka Halus di Jawa Barat
Bahan baku tapioka halus diperoleh dari tapioka kasar yang ada di Jawa Barat dan Lampung. Tapioka kasar yang dihasilkan memiliki ukuran kurang dari
80 mesh dan selanjutnya pada pabrik tapioka halus digiling dan diayak hingga ukuran menjadi minimal 80 mesh. Data yang diperoleh bahwa jumlah tapioka
kasar yang tersedia di Jawa Barat sekitar 1549 ton per bulan dimana tidak memenuhi kebutuhan tapioka sebesar 2700 ton per bulan untuk substitusi terigu.
Produksi tapioka halus di Jawa Barat per bulan rata-rata sebesar 3082.08 ton data Lampiran 20. Jumlah tersebut sudah memenuhi permintaan untuk substitusi
tepung terigu sebesar 2700 ton per bulan. Kebutuhan tapioka kasar yang tidak terpenuhi oleh pelaku di Jawa Barat dipenuhi dari Lampung. Hasil pengukuran
kinerja pelaku tapioka halus di Jawa Barat selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 38.
Patok duga yang digunakan pada pengukuran kinerja pelaku tapioka halus adalah adalah industri tapioka di Lampung Timur dengan kapasitas produksi per
bulan sebesar 8000 ton dan memiliki kebun sendiri sehingga dapat mengurangi biaya bahan baku yang mana merupakan komponen biaya terbesar lebih dari
70 dari total biaya rantai pasok. Selain itu, industri tepung tapioka tersebut juga memperoleh bahan baku dari petani setempat melalui program kemitraan inti
plasma sehingga pasokan bahan baku terjamin.
Hasil pengukuran kinerja pelaku tapioka halus di Jawa Barat pada Tabel 39 adalah sebesar 69.97 yang berarti kurang. Metrik kinerja penyesuaian rantai pasok
atas melebihi dari patok duga. Hal karena kapasitas produksi yang mereka gunakan selama ini di bawah kondisi normal sehingga bila terjadi lonjakan
permintaan mereka dapat memanfaatkan kapasitas produksi penuh. Metrik kinerja Tabel 38 Kinerja pelaku tapioka halus di Jawa Barat
Atribut kinerja Metrik Kinerja
Bobot AHP
Tapioka Halus
Bench- mark
Perbandingan Nilai
Kinerja Reliabilitas
Pemenuhan pesanan
0.177 100
100 100.00
17.70 Kinerja Pengiriman
pada waktu yang ditentukan
0.062 100
100 100.00
6.20 Kondisi sempurna
0.077 100
100 100.00
7.70 Responsivitas
Siklus pemenuhan pesanan hari
0.21 24
10 41.67
8.75 Agilitas
Fleksibilitas rantai pasokan atas hari
0.151 29
13 44.83
6.77 Penyesuaian rantai
pasok atas 0.067
25 18.87
132.49 8.88
Penyesuaian rantai pasok Bawah
0.089 0.00
00 0.00
Biaya Biaya total rantai
pasok Rp. juta 0.076
28 828 18 090
62.75 4.77
Aset Siklus Balik Modal
hari 0.092
30 30
100.00 9.20
Total kinerja rantai pasok
69.97
Tabel 39 Kinerja pelaku tapioka halus untuk komposisi 5 di Jawa Barat
Atribut kinerja Metrik Kinerja
Bobot AHP
Petani Patok
duga Perbandi-
ngan Nilai
Kinerja Reliabilitas
Pemenuhan pesanan 0.177
100 100
100.00 17.70
Kinerja Pengiriman pada waktu yang
ditentukan 0.062
100 100
100.00 6.20
Kondisi sempurna 0.077
100 100
100.00 7.70
Responsivitas Siklus pemenuhan
pesanan hari 0.21
23 10
43.48 9.13
Agilitas Fleksibilitas rantai
pasokan atas hari 0.151
28 12
42.86 6.47
Penyesuaian rantai pasok atas
0.067 25
18.87 132.49
8.88 Penyesuaian rantai
pasok Bawah 0.089
0.00 00
0.00 Biaya
Biaya total rantai pasok Rp. juta
0.076 25 340
15 879
62.66 4.76
Aset Siklus Balik Modal
hari 0.092
30 30
100.00 9.20
Total kinerja rantai pasok 70.04
pemenuhan pesanan, kinerja pengiriman, kondisi sempuna, dan siklus pengembalian modal sudah sesuai dengan patok duga. Hal ini karena produksi
tapioka halus di Jawa Barat sudah dapat mencukupi kebutuhan substitusi tepung terigu. Siklus pemenuhan pesanan dan fleksibilitas rantai pasokan atas masih jauh
dari sesuai. Hal ini karena kapasitas pelaku tepung tapioka halus masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan patok duga dan bahan baku tapioka kasar diperoleh
dari Lampung sehingga diperlukan waktu yang lebih lama untuk memenuhi pesanan.
Hasil Pengukuran Kinerja Rantai Pasok Tepung Lokal Skenario: komposisi pencampuran tapioka 5 dan mocaf 0.66
Berdasarkan optimasi tujuan jamak pada kondisi tidak pasti bahwa campuran substitusi tepung lokal yang optimal adalah 5.66 tepung tapioka.
Namun untuk aplikasi, mocaf dapat digunakan untuk mensubstitusi tepung terigu bila industri tepung mocaf sudah tersedia secara kontinu dan dapat memenuhi
permintaan 5.66 substitusi tepung terigu.
Untuk mengetahui posisi rantai pasok mocaf sekarang dalam rangka mensubstitusi tepung terigu maka perlu dilakukan pengukuran kinerja rantai pasok
mocaf. Bila diasumsikan penggunaan tepung tapioka 5 dan mocaf 0.66 atau setara 2370 tonbulan tapioka dan 330 tonbulan mocaf. Hasil pengukuran kinerja
pelaku petani sama dengan yang ditunjukkan pada Tabel 36 dan kinerja pelaku tapioka kasar ditunjukkan pada Tabel 37. Perhitungan kinerja rantai pasok untuk
komposisi campuran tepung tapioka 5 dan mocaf 0.66 dapat dilihat masing- masing pada Tabel 39 dan 40.
Hasil pengukuran kinerja pelaku tepung tapioka halus untuk campuran substitusi 5 adalah 70.04 yang berarti kurang. Nilai kinerja ini hampir sama
dengan kinerja tepung tapioka halus pada komposisi 5.66 untuk substitusi tepung terigu. Reliabilitas dan siklus balik modal sudah sesuai dengan patok duga,
sedangkan siklus pemenuhan pesanan, fleksibilitas rantai pasok atas, dan biaya rantai pasok masih jauh dari patok duga. Untuk perbaikan kinerja rantai pasok
maka metrik kinerja yang masih jauh dari patok duga yang perlu diperhatikan dan diperbaiki.
Hasil pengukuran kinerja pelaku tepung mocaf di Jawa Barat pada Tabel 40 adalah sebesar 44.95 yang berarti termasuk kategori buruk. Metrik kinerja
penyesuaian rantai pasok sudah sesuai dengan patok duga. Namun metrik kinerja pemenuhan pesanan dan kinerja pengiriman pada waktu yang ditentukan masih
jauh dari patok duga yaitu masing-masing sebesar 9.95. Rendahnya kinerja pengiriman pada waktu yang ditentukan karena pelaku tepung mocaf di Jawa
Barat belum bisa memenuhi permintaan mocaf sebesar 330 tonbulan. Reliabilitas pelaku mocaf yang rendah tersebut menyebabkan rendahnya kinerja rantai pasok
keseluruhan. Hal ini karena reliabilitas merupakan prioritas atribut kinerja penting kedua yang harus dipenuhi setelah responsivitas Reliabilitas yang rendah dari
pelaku tepung mocaf akan menghambat program substitusi tepung terigu dengan tepung lokal.
Hasil pengukuran kinerja rantai pasok tepung tapioka dan mocaf di Jawa Barat dapat dilihat pelaku petani dan tapioka halus memiliki kinerja yang baik.
Kinerja petani yang baik memiliki reliabilitas dan responsivitas yang bagus untuk mendukung kebelanjutan rantai pasok tepung lokal dan selanjutnya dapat
mendukung substitusi tepung terigu. Kinerja rantai pasok pelaku tapioka kasar dan mocaf dikategorikan sangat kurang karena merupakan industri yang
berkapasitas kecil. Selain itu, pelaku tepung tapioka kasar dan mocaf kesulitan untuk mendapatkan bahan baku walaupun berdasarkan data produksi ubi kayu
Jawa Barat sudah dapat memenuhi kebutuhan untuk produksi tapioka dan mocaf. Tabel 40 Kinerja pelaku tepung mocaf untuk komposisi 0.66 di Jawa Barat
Atribut kinerja Metrik Kinerja
Bobot AHP
Mocaf Patok
duga Perbandi-
ngan Nilai
Kinerja Reliabilitas
Pemenuhan pesanan 0.177
9.45 95.00 9.95
1.76 Kinerja Pengiriman
pada waktu yang ditentukan
0.062 9.45 95.00
9.95 0.62
Kondisi sempurna 0.077
90.00 95.00 94.74
7.29 Responsivitas
Siklus pemenuhan pesanan hari
0.21 30
10 33.33
7.00 Agilitas
Fleksibilitas rantai pasokan atas hari
0.151 36
12 33.33
5.03 Penyesuaian rantai
pasok atas 0.067
20 20
100.00 6.70
Penyesuaian rantai pasok Bawah
0.089 0.00
0.00 0.00
Biaya Biaya total rantai pasok
Rp. juta 0.076
75 72.5
96.67 7.35
Aset Siklus Balik Modal
hari 0.092
30 30
100.00 9.20
Total kinerja rantai pasok 44.95
Perancangan Kelembagaan
Hasil penilaian kinerja rantai pasok tepung tapioka dan mocaf dapat dilihat bahwa pelaku tapioka kasar dan mocaf masing-masing memiliki kinerja yang
sangat kurang dan buruk sehingga berdampak pada kesinambungan substitusi tepung terigu. Kinerja pelaku tapioka halus lebih tinggi dibanding tapioka kasar
karena pasokan bahan baku diperoleh selain dari Jawa Barat, juga dari Lampung. Hal ini menyebabkan peningkatan reliabilitas sehingga dapat memenuhi
permintaan tepung lokal untuk substitusi terigu. Namun dari segi biaya rantai pasok tapioka halus di Jawa Barat masih jauh dari patok duga di Lampung
sehingga harga tapioka yang diproduksi di Jawa Barat lebih mahal. Harga tapioka yang mahal dapat menyebabkan pelaku tepung terigu keberatan melakukan
substitusi.
Rendahnya kinerja pelaku tapioka kasar dan mocaf karena berhubungan langsung dengan petani sebagai pemasok bahan baku. Oleh karena tidak adanya
keterikatan antara petani ubi kayu dan pelaku tepung lokal menyebabkan tidak adanya jaminan pasokan bahan baku. Hal ini yang menyebabkan pelaku tepung
lokal sering mengalami gangguan produksi, bahkan untuk pelaku tepung mocaf sudah banyak yang tutup.
Untuk mengatasi hal tersebut selanjutnya perlu dirancang pola kelembagaan kemitraan antara pelaku rantai pasok tepung lokal untuk mendukung substitusi
tepung terigu. Perancangan kelembagaan pada studi ini meliputi: 1 patok duga dengan pola kemitraan yang sudah ada dan sukses, 2 menentukan elemen-elemen
kunci sukses dengan teknik ISM, dan 3 menentukan pola kemitraan yang tepat dengan teknik FAHP.
Kelembagaan yang dirancang adalah kemitraan antara petani ubi kayu dan pelaku tepung lokal serta kemitraan antara pelaku tepung lokal dengan pelaku
industri tepung terigu. Kemitraan antara petani ubi kayu dengan pelaku tepung lokal berupa kontrak pertanian yang tepat, sedangkan kemitraan tepung lokal
berdasarkan hubungan pemasok bahan baku dengan produsen.
Benchmarking Kemitraan Kontrak Pertanian
Untuk mendapatkan banyak masukan model kelembagaan kemitraan antara pelaku rantai pasok maka dikumpulkan beberapa informasi mengenai pola
kelembagaan kemitraan pertanian kontrak yang sudah berjalan di Indonesia. Benchmarking
pola kelembagaan dilakukan berdasarkan studi pustaka dan dan hasil penelitian sebelumnya. Informasi yang diperoleh dari benchmarking ini
berupa pola kemitraan yang dilakukan, kesepakatan harga, model pendanaan, aturan main, dan kesepakatan-kesepakatan lain yang dilakukan antara kedua belah
pihak.
Kemitraan Petani Ubi Kayu di Lampung Tengah
Kemitraan petani ubi kayu di Lampung Tengah dikutip dari Sulistyo 2004. PT. Great Giant Pineapple PT. GGP berada di Kecamatan Terbanggi
Besar, Kab. Lampung Tengah, Propinsi Lampung. PT. GGP merupakan perusahaan yang bergerak di beberapa bidang, yaitu perkebunan nenas,
perkebunan ubi kayu, industri pengalengan nenas, industri tapioka, peternakan sapi, industri jus mengkudu, industri nata de coco, dan jus buah. PT GGP
memiliki lahan perkebunan nenas seluas ± 25600 ha, dan perkebunan ubi kayu di Gunung Katun seluas ±1600 ha.
Divisi tapioka PT. GGP memiliki kapasitas produksi sebesar 300 000 ton bahan baku per bulan dimana mengandalkan seluruh bahan baku ubi kayu dari
petani sekitar perusahaan baik dari peserta kemitraan maupun di luar kemitraan. Untuk menjamin ketersediaan pasokan bahan baku ubi kayu pihak perusahaan
melakukan kemitraan dengan pihak petani dengan sistem inti plasma PIR dengan perjanjian tertulis dengan lengkap dan jelas. Kemitraan PIR dipusatkan
pada kelompok usaha bersama agribisnis KUBA yang berada pada Desa Banda Sakti, Bandar Agung, dan Gunung Agung. Sampai tahun 2003 PT. GGP telah
membina delapan KUBA dan 1745 petani dengan luas lahan ubi kayu mencapai 4832.75 ha.
Dalam menjalankan kemitraan dengan petani, PT. GGP membuat departemen khusus pada organisasi perusahaan untuk menjembatani kemitraan
dengan petani yaitu departemen pengembangan kemasyarakatan society development departement
. Pihak perusahaan juga menjalin kerjasama dengan lembaga keuangan untuk memperoleh sumber dana di samping dengan pendanaan
sendiri. Kewajiban dan hak pihak plasma petani dan inti perusahaan tertuang
dalam kotrak perjanjian, antara lain berisikan: 1. Hak dan kewajiban inti
- Pihak inti wajib menampung semua hasil panen ubi kayu dari plasma
- Pihak inti melakukan pembinaan, penyuluhan, dan bimbingan teknis kepada
pihak plasma. -
Pihak inti memberikan bantuan sarana produksi seperti pupuk, traktor untuk mengolah lahan petani.
- Pihak inti dan plasma bersama menentukan jadwal waktu tanam.
- Pihak inti dan plasma bersama menentukan jadwal waktu panen yang
berkaitaan dengan umur tanaman dan jumlah kebutuhan pabrik. -
Pihak inti menyediakan jasa angkutan hasil panen ubi kayu. -
Pihak inti memberi bantuan pinjaman modal budidaya dan perawatan tanaman.
- Pihak inti memberi bantuan teknis administrasi pembukuan dan laporan
keuangan KUBA. 2. Hak dan kewajiban plasma
- Menjual seluruh hasil panen ke perusahaan - Memanfaatkan pinjaman modal untuk kegiatan budidaya dan perawatan
tanaman ubi kayu. - Membeli kebutuhan pupuk, bibit dari perusahan.
- Melakukan pemanenan sesuai dengan jadwal yang telah dsepakati - Wajib mengembalikan semua pinjaman
3. Kesepakatan harga hasil panen ubi kayu berdasarkan harga pasar.
Kemitraan PT. Galih Estetika dengan Petani Ubi Jalar
Pola kemitraan PT. Galih Estetika PT. GE dengan petani ubi jalar ini dikutip dari Prastiwi 2010. PT GE merupakan perusahaan perseroan di
Kabupaten Kuningan yang bergerak di bidang industri pengolahan ubi jalar
dengan berbagai produk antara lain tepung ubi jalar, stick ubi jalar kenken, keripik chips, tepung pakan ternak, dan sirup ubi jalar. Kemitraan PT. GE
dengan petani ubi jalar Jepang di Kabupaten Kuningan berlangsung sejak tahun 1997. Seiring perkembangan perusahaan, mulai tahun 2006 PT. GE membuka
jalur kemitraan untuk ubi jalar Kuningan. Kemitraan yang berlangsung antara PT. GE dengan petani berbentuk pola Kerjasama Operasional Agribisnis KOA.
Sebagai perusahaan mitra PT. GE memberikan akses pinjaman berupa uang dan bibit kepada petani mitra. Petani ubi jalar yang bermitra dengan PT. GE
menggunakan sumberdaya lahan dan tenaga kerja yang mereka miliki untuk memproduksi bahan baku ubi jalar segar yang dibutuhkan oleh perusahaan.
Sistem pembayaran hasil dilakukan dengan cara jual beli biasa sesuai kesepakatan yang tertuang dalam kontrak kemitraan.
Kontrak kemitraan PT. GE dan petani mitra dapat bersifat kontrak harga dan kontrak hasil. Pilihan jenis kontrak disesuaikan dengan fasilitas bantuan yang
diterima petani dari PT. GE. Petani mitra yang memanfaatkan fasilitas pinjaman berupa uang bantuan biaya garap akan dikenai kontrak harga. Di sisi lain petani
yang tidak menggunakan fasilitas pinjaman berupa uang dapat memilih salah satu dari dua jenis kontrak sesuai keinginan.
Kontrak harga memungkinkan petani mitra memiliki kepastian harga jual ubi jalar segar yang telah ditentukan sejak awal tahapan kemitraan. Kesepakatan
penentuan harga yang terjadi kemudian dituangkan dalam kontrak kemitraan. Selain itu, pada sistem kontrak harga pengontrolan tanaman yang lebih intensif
dilakukan secara periodik oleh PT. GE kepada petani mitra.
Pada kontrak hasil mengikat petani untuk menyerahkan hasil panen ubi jalarnya ke PT. GE. Ketetapan mengenai harga jual ubi jalar yang diterima petani
akan mengikuti harga pasar yang berlaku saat panen. Kontrak hasil pada umumnya dapat memberikan petani harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan
kontrak harga walaupun sama-sama menggunakan harga pasar.
Kemitraan PT. Garudafood dengan Petani Kacang Tanah
Pola kemitraan PT. Garudafood dengan petani kacang tanah ini dikutip dari Aryani 2009. PT. Garudafood berada di Kabupaten Pati, Jawa Tengah
merupakan perusahaan bergerak di bidang industri makanan ringan seperti biskuit, makanan olahan kacang tanah. Untuk menjamin pasokan bahan baku utama
kacang tanah yang berkualitas tinggi dan tersedia sesuai kapasitas produksi pabrik, tahun 1996 didirikan PT Bumi Mekar Tani, yang bergerak di bidang
perkebunan kacang tanah. Selain memiliki kebun kacang tanah sendiri, untuk memenuhi kebutuhan bahan baku, perusahaan juga menjalin kerja sama dengan
para petani kacang tanah, khususnya di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Tujuan kemitraan Garudafood dengan petani kacang tanah adalah untuk menjamin
pasokan bahan baku kacang tanah ke perusahaan dan menciptakan pasar dan kepastian harga kacang tanah.
PT. Garudafood membagi mitra menjadi 3 golongan, yaitu mitra pemerintah daerah, mitra pelaku agribisnis, dan mitra community development
program . Mitra pemerintah daerah mengutamakan pada program peningkatan
produksi kacang tanah. Kelompok yang tergabung dalam mitra pelaku agribisnis adalah petani atau kelompok tani dan pengusaha agribisnis kacang tanah, yang
mengutamakan kualitas kacang tanah dan pendapatan usahatani. Mitra community
development program CDP menitikberatkan kegiatannya pada pemberdayaan
masyarakat yang merupakan petani kacang tanah. PT Garudafood menetapkan beberapa syarat dalam kemitraan yaitu adanya
kelembagaan atau sebuah organisasi yang bergerak di bidang pertanian, dapat berupa kelompok tani, koperasi tani, lembaga swadaya masyarakat, dan pesantren.
Syarat lain untuk menjadi mitra adalah memiliki petani dan lahan binaan untuk melakukan budidaya kacang tanah, memiliki modal sendiri untuk melakukan
budidaya, karena PT Garudafood tidak memberikan modal untuk budidaya.
Dalam melaksanakan kemitraan, PT Garudafood menggunakan model kontrak beli, dimana pihak mitra dan PT Garudafood terikat dalam surat
perjanjian kerjasama yang disepakati kedua belah pihak. Surat perjanjian kerjasama ini berisi bahwa bimbingan budidaya kacang tanah dan penjamin pasar
menjadi tanggung jawab PT Garudafood. Petani mitra berkewajiban melakukan budidaya sesuai dengan bimbingan yang telah diberikan oleh PT Garudafood,
serta berkewajiban mengirimkan seluruh hasil panennya ke pabrik PT Garudafood dengan harga yang sudah disepakati di surat perjanjian kerjasama. Dilihat dari
pelaksanaan kemitraan tersebut maka pola kemitraan yang dilakukan antara PT Garudafood dengan petani mitra adalah model kontrak beli.
Kemitraan diawali dengan membuat surat perjanjian kerjasama dengan petani mitra dalam periode satu tahun, yang dapat diperpanjang sesuai dengan
kesepakatan bersama. Dalam kontrak perjanjian terkandung aspek-aspek perjanjian berupa identitas kedua belah pihak yang bermitra, periode tanam, harga
pembelian, luas areal petani kacang tanah, cara pembayaran, standar mutu, sanksi dan lain-lain.
Elemen Kunci Keberhasilan
Uraian dari pola kemitraan perusahaan dengan petani sebelumnya kemudian dirangkum untuk mendapatkan elemenfaktor kunci. Perbandingan elemen kunci
dari kemitraanpertanian kontrak yang telah diuraikan sebelumnya dirangkum pada Tabel 41.
Analisis perbandingan kemitraan pertanian pada berbagai komoditas dan mitra industri pengolahan yang ada di Indonesia maka selanjutnya dilakukan
inisialisasi dan identifikasi elemen kunci keberhasilan kelembagaan kemitraan pertanian kontrak yang akan diusulkan.
Faktor-faktor yang terindentifikasi tersebut kemudian diminta pendapat para pakar untuk melakukan filtrasi sekaligus melakukan pilihan atas elemen-elemen
kunci keberhasilan. Rangkuman pendapat para pakar terhadap elemen kunci keberhasilan key success factor dapat dilihat pada Tabel 42.
Strukturisasi Elemen Kelembagaan
Berdasarkan pengukuran kinerja rantai pasok tepung lokal dapat dilihat bahwa pelaku yang berhubungan langsung dengan petani memiliki kinerja yang
sangat kurang seperti pelaku tapioka kasar dan mocaf. Hal ini karena kemitraan antara petani dan tepung lokal berbentuk pola dagang umum sehingga tidak ada
keterikatan antara kedua pelaku tersebut. Kinerja rantai pasok yang rendah tersebut dapat menghambat substitusi tepung terigu dengan tepung lokal. Oleh
karena itu perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kinerja rantai pasok tepung lokal.
Tepung mocaf berdasarkan hasil penelitian sangat cocok menggantikan tepung terigu karena karakteristik yang mirip. Bahkan untuk produk tertentu
seperti brownies dapat menggantikan tepung terigu hingga 100. Namun di lapangan industri mocaf di Indonesia kurang berkembang sehingga beberapa
industri mocaf sudah tidak beroperasi lagi. Hasil wawancara dan pengamatan lapangan, ada beberapa hal yang menyebabkan industri tepung mocaf tidak
berkembang atau tidak bertahan antara lain: kurangnya pasokan bahan baku karena bersaing dengan industri berbasis ubi kayu lainnya, harga mocaf kurang
menguntungkan bagi pelaku usaha, kesulitan memasarkan tepung mocaf baik ke industri maupun ke masyarakat serta belum ada aturan dari pemerintah untuk
kebijakan untuk menggunakan bahan lokal untuk industri makanan.
Kontinuitas pasokan merupakan hal penting untuk keberlanjutan rantai pasok agroindustri sehingga perlu dibangun kelembagaan yang kuat untuk
mendukung keberlanjutan agroindustri. Model kelembagaan yang dibangun berupa pola kemitraan antara pelaku rantai pasok tepung lokal dengan petani
berupa kontrak pertanian dan kemitraan antara pelaku tepug lokal dan pelaku Tabel 41 Ringkasan perbandingan faktorelemen kunci keberhasilan
kemitraanpertanian kontrak yang ada di Indonesia
Elemenfaktor kunci
Kemitraan Petani ubi kayu
Kemitraan Petani kayu dan mocaf
Kemitraan Petani Ubi Jalar
Kemitraan Petani Kacang Tanah
Jenis komoditas
Ubi kayu Ubi kayu
Ubi Jalar Kacang Tanah
Industri mitra Industri tepung
tapioka Industri
tepung mocaf
PT. GE olahan ubi jalar
PT. Garudafood makanan ringan
Kebijakan harga
Harga yang berlaku
Kesepakatan awal Kesepakatan awal Kesepakatan awal Sistem
pembiayaan Biaya dari
perusahaan dan lembaga
keuangan Dari petani
Pola pertanian kontrak
Inti-plasma Inti plasma
Pola kerjasama
operasional dengan
kontrak harga dan hasil
Kontrak beli
Keterlibatan pihak ketiga
Lembaga keuangan
Lembaga keuangan
- Pemerintah
daerah dan mitra CDP
Kewajiban petani
- Memasok hasil panen ubi kayu
ke perusahaan - Mengembalikan
pinjaman modal - Menggunakan
bibit varietas yang disarankan
perusahaan - Memasok chip
- Membuat chip sesuai dengan
arahan perusahaan inti
- Menggunakan enzim
yang disediakan
perusahaan inti Memproduksi
bahan baku ubi jalar segar yang
dibutuhkan perusahaan
- Melakukan budidaya sesuai
dengan bimbingan
perusahaan
- Menjual seluruh hasil panennya
ke pabrik Kewajiban
perusahaan mitra
- Membeli ubi kayu petani
- Memberi bimbingan
teknis - Membeli chip
petani - Menyediakan
enzim - Membeli
ubi jalar petani
- Memberi bimbingan
teknis budidaya ubi jalar
- Membeli hasil panen petani
- Memberi bimbingan
teknis
industri terigu. Model kelembagaan yang dikembangkan harus mampu mendukung substitusi tepung terigu.
Untuk merancang model kelembagaan yang tepat perlu diidentifikasi struktur elemen sistem yang dianalisis dengan metode Interpretative Structure
Modelling ISM. Teknik ISM digunakan untuk merancang model struktur
kelembagaan serta untuk menganalisis interaksi yang kompleks dari suatu sistem melalui pola yang dirancang dengan metode grafis dan formulasi kalimat
Eriyatno, 1996. ISM mengunakan masukan dari pendapat pakar untuk menghasilkan elemen-elemen pembentuk sistem permasalahan yang diteliti.
Proses strukturisasi kelembagaan kemitraan dilakukan berdasarkan hasil konsultasi terhadap beberapa pakar dari beberapa pihak yang terlibat dalam
pengembangan rantai pasok. Struktur kelembagaan kemitraan rantai pasok yang dikaji meliputi: 1 tujuan kelembagaan, 2 kendala utama yang dihadapi, 3
pelaku yang terlibat, 4 penilaian kinerja kelembagaan kemitraan, 5 perubahan yang dimungkinkan, 6 kebutuhanprasyarat program, 7 elemen tolak ukur
dalam pengelolaan kelembagaan.
Tabel 42 Elemen kunci pertanian kontrak petani ubi kayu dengan industri pengolahan tepung lokal
Elemen kunci Sub-elemen
Kebijakan harga 1. Tergantung pada pasar
2. Kesepakatan harga diawal Faktor-faktor yang
mempengaruhi 1. Jaminan pasokan bagi perusahaan pengolahan
2. Jaminan kualitas bahan baku 3. Jaminan harga
4. Jaminan pasar 5. Kebijakan pemerintah
Pola pertanian kontrak 1. Inti plasma
2. Kontrak produksi 3. Kerjasama operasional agrobisnis
Hal mendasar yang harus dimiliki dalam
kemitraan 1. Saling membutuhkan antar pelaku
2. Saling menguatkan Kewajiban petani
1. Membudidayakan varitas komoditas yang disepakati 2. Melakukan teknik budidaya disarankan mitra
3. Menangani hasil panen sesuai dengan yang disarankan mitra
4. Menjual hasil panen ke mitra industri. 5. Membayar kredit, bila ada
Kewajiban mitra industri
1. Memberi bantuan bibit, saprodi, dan bimbingan teknis 2. Membeli hasil panen petani sesuai dengan harga yang
disepakati atau harga pasar. 3. Memberi akses pinjaman modal
Hak petani Mendapat kredit saprodi dan bimbingan teknik budidaya,
hingga penanganan pasca panen Hak mitra industri
Mendapat pasokan bahan baku sesuai dengan kuantitas dan kualitas yang disepakati
Cakupan wilayah Wilayah mencakup semua elemen pelaku rantai pasok
Model pembiayaan 1.
Pembiayaan dari perusahaan mitra 2.
Pembiayaan dari lembaga keuangan
Tujuh elemen kelembagaan tersebut, kemudian dijabarkan menjadi sejumlah sub-elemen untuk setiap elemen berdasarkan pendapat para pakar. Selanjutnya
dilakukan penilaian hubungan kontekstual antar sub-elemen pada setiap elemen dalam sistem yang hasilnya dirangkum dalam bentuk Structural Self Interaction
Matrix
SSIM. Kemudian dibuat tabel Reachability Matrix RM dengan mengganti empat simbol V, A, X, O yang digunakan untuk mewakili tipe
hubungan yang ada antara dua elemen dari sistem menjadi bilangan 1 dan 0.
1 Analisis Elemen Tujuan kelembagaan
Identifikasi elemen tujuan kelembagaan ini, menghasilkan delapan 8 sub- elemen, yaitu: 1 peningkatan penggunaan tepung lokal pada industri makanan,
2 terjaminnya pasokan bahan baku, 3 terjaminnya pasar tepung lokal, 4 terjaminnya kualitas bahan baku, 5 harga tepung lokal yang bersaing, 6
pengurangan impor gandum, 7 peningkatan produktivitas lahan, 8 peningkatan pemanfaatan tepung lokal sebagai pengganti tepung terigu.
Penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar sub-elemen tujuan kelembagaan dilakukan dengan pendekatan V, A, X, dan O. Hasil analisis
menggunakan metode ISM terhadap 8 sub-elemen tujuan kelembagaan dengan hubungan kontekstual antar tujuan yang satu mempengaruhi tujuan yang lain,
diperoleh Structural Self Interaction Matrix SSIM. Hasil agregat penilaian para pakar, diperoleh SSIM untuk elemen tujuan seperti yang ditunjukkan pada Tabel
43.
Hasil SSIM yang diperoleh kemudian dikonversikan menjadi Reachability Matrix
RM dengan aturan, yaitu jika simbol dalam SSIM adalah V maka nilai Eij adalah 1 dan nilai Eji adalah 0 dalam RM. Jika simbol dalam SSIM adalah A
maka nilai Eij adalah 0 dan nilai Eji adalah 1. Jika simbol dalam SSIM adalah X maka nilai Eij dan Eji adalah 1. Sedangkan jika simbol dalam SSIM adalah O
maka nilai Eij dan nila Eji adalah 0 dalam RM. Tabel 44 menunjukkan Reachability Matrix
untuk elemen tujuan. Tabel 43 Structural Self Interaction Matrix SSIM untuk elemen tujuan
kelembagaan
No. 1
2 3
4 5
6 7
8 1
A O
A A
O V
A 2
O O
V O
A V
3 V
X A
V O
4 O
O O
O 5
O O
V 6
O V
7 O
8
Tabel 44 Reachability Matrix untuk elemen tujuan
No. 1
2 3
4 5
6 7
8 1
1 1
2 1
1 1
1 3
1 1
1 1
4 1
1 5
1 1
1 1
6 1
1 1
7 1
1 8
1 1
Setelah tersusun matriks RM, selanjutnya dilakukan revisi untuk memperoleh direct dan indirect reachability, yaitu kondisi dimana jika Eij = 1 dan
Ejk = 1 maka Eik = 1. Eij adalah kondisi hubungan kontekstual antara elemen Ei terhadap elemen Ej. Dari matriks RM yang telah direvisi didapat nilai Driver
Power
DP dan nilai dependence D yang ditunjukkan pada revisi RM Tabel 45. Hasil revisi RM menghasilkan posisi kuadran sub-elemen pelaku pada
matriks driver power-dependence seperti terlihat pada Gambar 33 dan struktur
hierarki elemen pelaku terlibat dalam kelembagaan seperti terlihat pada Gambar 34.
Analisis matriks driver power-dependence dan struktur hierarki antar sub- elemen tujuan kelembagaan menunjukkan bahwa tujuan pengurangan impor
gandum merupakan tujuan yang paling berpengaruh dibandingkan tujuan yang lain dalam kelembagaan ini. Apabila tujuan pengurangan impor gandum dapat
terwujud maka akan mendorong tujuan-tujuan lain tercapai. Tabel 45 Revisi Reachability Matrix untuk elemen tujuan
No. 1
2 3
4 5
6 7
8 DP
1 1
1 1
1 1
1 1
7 2
1 1
1 1
1 1
1 7
3 1
1 1
1 1
1 1
7 4
1 1
1 1
1 1
1 7
5 1
1 1
1 1
1 1
7 6
1 1
1 1
1 1
1 1
8 7
1 1
1 1
1 1
1 7
8 1
1 1
1 1
1 1
7 D
8 8
8 8
8 1
8 8
Keterangan: No.
Sub-elemen 1 Peningkatan penggunaan tepung lokal pada industri makanan
2 Terjaminnya pasokan bahan baku 3 Terjaminnya pasar tepung lokal
4 Terjaminnya kualitas bahan baku 5 Harga tepung lokal yang bersaing
6 Pengurangan impor gandum 7 Peningkatan produktivitas lahan
8 Peningkatan pemanfaatan tepung lokal pada pabrik terigu
Gambar 33 Matriks driver power-dependence sub-elemen tujuan kelembagaan
Sub-elemen tujuan kelembagaan yang berada pada kuadran III pada matriks driver power-dependence
Gambar 33 adalah tujuan 1 peningkatan penggunaan tepung lokal pada industri makanan, 2 terjaminnya pasokan bahan baku, 3
terjaminnya pasar tepung lokal, 4 terjaminnya kualitas bahan baku, 5 harga tepung lokal yang bersaing, 7 peningkatan produktivitas lahan, dan 8
peningkatan pemanfaatan tepung lokal sebagai pengganti tepung terigu dimana tujuan tersebut memiliki daya dorong kuat dan tingkat ketergantungan yang kuat
juga atau disebut juga pengait linkage. Tercapainya sub-elemen tujuan pada kuadaran III dipengaruhi oleh sub-elemen tujuan lainnya. Begitu juga apabila sub-
elemen tujuan pada kuadran III tercapai maka akan mendorong tercapainya tujuan lainnya.
2 Analisis elemen kendala-kendala yang dihadapi kelembagaan
Identifikasi elemen kendala-kendala pada kelembagaan ini, menghasilkan sembilan 9 sub-elemen, yaitu: 1 kontinuitas bahan baku tidak stabil, 2
terbatasnya modal petani, 3 kualitas dan kuantitas bibit yang terbatas, 4 produktivitas lahan rendah, 5 produk industri makanan umumnya berbasis tepung
terigu, 6 penentuan musim tanam harus tepat, dan 7 pendapatan petani yang dukungan pemerintah untuk substitusi tepung terigu.
Hasil agregat penilaian para pakar terhadap sub-elemen kendala dalam bentuk SSIM dapat dilihat pada Lampiran 16. Kemudian hasil SSIM diubah
menjadi reachability matrix RM dan selanjutnya dilakukan revisi untuk memperoleh nilai driver power DP dan nilai dependence D seperti ditunjukkan
pada Lampiran 17. Hasil revisi RM menghasilkan posisi kuadran sub-elemen kendala pada matriks driver power-dependence seperti terlihat pada Gambar 35a
dan struktur hierarki elemen kendala terlibat dalam kelembagaan seperti terlihat pada Gambar 35b.
Analisis matriks driver power-dependence dan struktur hierarki antar sub- elemen kendala kelembagaan menunjukan bahwa kendala terbatasnya modal
petani dan kurangnya dukungan pemerintah untuk mensubstitusi tepung terigu merupakan kendala utama sebagai elelemen kunci yang paling berpengaruh
dibandingkan kendala yang lain dalam kelembagaan ini. Apabila kendala ini dapat diatasi maka akan mendorong teratasinya kendala-kendala yang lain.
Sub-elemen kendala kelembagaan yang berada pada kuadran I pada matriks driver power-dependence
Gambar 32a adalah kendala 4 produktivitas lahan rendah, 5 produk industri makanan umumnya berbasis tepung terigu, dan 6
penentuan musim tanam harus tepat, dimana kendala tersebut memiliki daya dorong lemah dan tingkat ketergantungan yang lemah juga.
Sub-elemen kendala yang berada pada kuadran II pada matriks driver power-dependence
adalah kendala 1 kontinuitas bahan baku tidak stabil, 7 pendapatan petani yang rendah, dan 8 kurangnya minat petani menanam ubi
Gambar 34 Struktur hierarki antar sub-elemen tujuan kelembagaan
kayu. Sub-elemen kendala tersebut memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap kendala lain, tetapi daya dorong yang lemah.
3 Analisis elemen pelaku yang terlibat
Identifikasi ini pada kelembagaan menghasilkan delapan 8 sub-elemen, yaitu: 1 petani, 2 pengepul, 3 industri tepung lokal, 4 industri tepung terigu, 5
koperasi, 6 pedagang, 7 lembaga keuangan, 8 pemerintah.
Penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar sub-elemen pelaku yang terlibat dalam kelembagaan kemitraan rantai pasok dalam bentuk SSIM
dapat dilihat pada Lampiran 16. Hasil SSIM diubah menjadi Reachability Matrix RM dan kemudian dilakukan revisi untuk memperoleh nilai driver power DP
dan dependence D yang masing-masing ditunjukkan pada Lampiran 17.
Hasil revisi RM menghasilkan posisi kuadran sub-elemen pelaku pada matriks driver power- dependence seperti terlihat pada Gambar 36a dan struktur
hierarki elemen pelaku terlibat dalam kelembagaan seperti terlihat pada Gambar 36b.
Analisis matriks driver power-dependence dan struktur hierarki antar sub- elemen pelaku menunjukkan bahwa pelaku petani dan pemerintah merupakan
pelaku yang paling berpengaruh dibandingkan pelaku yang lain dalam kelembagaan kemitraan. Pelaku pemerintah dan petani memiliki daya dorong
yang kuat dan tingkat ketergantung lemah. Apabila kedua pelaku dapat berperan dan ditangani dengan baik maka akan mendorong pelaku-pelaku yang lain
melakukan perannya dalam kegiatan kelembagaan yang lebih baik juga.
Sub-elemen pelaku yang berada pada kuadran I pada matriks driver power-dependence
Gambar 36a adalah pelaku pengepul 2, pedagang 6, a
b
Keterangan: 1
Kontinuitas bahan baku tidak stabil 2
Terbatasnya modal petani 3
Kualitas dan kuantitas bibit yang terbatas 4
Produktivitas lahan rendah 5
Produk industri makanan umumnya berbasis tepung terigu 6
Penentuan musim tanam harus tepat 7
Pendapatan petani yang rendah 8
Kurangnya minat petani menanam ubi kayu 9
Kurangnya dukungan pemerintah untuk substitusi tepung terigu
Gambar 35 Hasil pengolahan ISM, a Matriks driver power- dependence sub- elemen kendala dan b Struktur hierarki antar sub-elemen kendala
koperasi 4, dan lembaga keuangan 7, dimana pelaku tersebut memiliki daya dorong lemah dan tingkat ketergantungan yang lemah juga.
Sub-elemen pelaku yang berada pada kuadran II pada matriks driver power- dependence
adalah pelaku industri tepung lokal dan industri tepung terigu. Sub-elemen pelaku industri tepung lokal dan industri tepung terigu ini memiliki
ketergantungan yang tinggi terhadap pelaku lain, tetapi daya dorong yang lemah. Ketergantungan pelaku industri ini, terutama dari segi pasokan baku yang
bersumber dari petani atau pengepul dan juga tergantung dengan pelaku-pelaku lain pada rantai pasok.
4 Analisis elemen kebutuhan kelembagaan
Identifikasi elemen kebutuhan yang terlibat pada kelembagaan ini, menghasilkan sebelas 11 sub-elemen, yaitu: 1 adanya jaminan kepastian pasar,
2 harga bahan baku dan produk yang layak, 3 jaminan pasokan bahan baku, 4 jaminan kualitas bahan baku, 5 jaminan ketersediaan bibit secara kontinu, 6
penyediaan sarana transportasi yang layak, 7 penyediaan infrastruktur yang layak, 8 sumberdaya manusia yang berkualitas, 9 peningkatan pendapatan petani, 10
peningkatan pendapatan industri pengolahan, 11 penyediaan bantuan kredit.
Penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar sub-elemen kebutuhan kelembagaan dalam bentuk SSIM dapat dilihat pada Lampiran 16. Matriks RM
dan revisi RM untuk elemen kebutuhan kelembagaan dapat dilihat pada Lampiran 17. Hasil revisi RM menghasilkan posisi kuadran sub-elemen kebutuhan pada
a b
Keterangan: No. Sub-elemen
1 Petani 2 Pengepul
3 Industri tepung lokal 4 Koperasi
5 Industri tepung terigu 6 Pedagang
7 Lembaga keuangan 8 Pemerintah
Gambar 36 Hasil pengolahan ISM, a Matriks driver power- dependence sub- elemen pelaku, dan b Struktur hierarki antar sub-elemen pelaku
matriks driver power-dependence seperti terlihat pada Gambar 37a dan struktur
hierarki elemen kebutuhan terlibat dalam kelembagaan seperti terlihat pada Gambar 37b.
Analisis matriks driver power-dependence dan struktur hierarki antar sub- elemen kebutuhan kelembagaan menunjukkan bahwa kebutuhan adanya jaminan
pasar, sumber daya manusia yang berkualitas, dan penyediaan bantuan kredit merupakan kebutuhan yang paling berpengaruh dibandingkan kebutuhan yang
lain dalam kelembagaan. Apabila ketiga kebutuhan tersebut terpenuhi maka akan mendorong kebutuhan-kebutuhan yang lain terpenuhi juga.
Sub-elemen kebutuhan yang berada pada kuadran I pada matriks driver power-dependence
pada Gambar 37 adalah 2 harga bahan baku dan produk yang layak, 3 jaminan pasokan bahan baku, 4 jaminan kualitas bahan baku, 5
jaminan ketersediaan bibit secara kontinu, 6 penyediaan sarana transportasi yang layak, 7 penyediaan infrastruktur yang layak, dimana kebutuhan ini memiki daya
dorong lemah dan tingkat ketergantungan yang lemah juga.
Sub-elemen kebutuhan yang berada pada kuadran II pada matriks driver power-dependence
adalah kebutuhan 9 peningkatan pendapatan petani, 10 peningkatan pendapatan industri pengolahan. Sub-elemen kebutuhan peningkatan
pendapatan petani, 10 peningkatan pendapatan industri pengolahan ini memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap kebutuhan lain, tetapi daya dorong yang
lemah. Ketergantungan sub-elemen kebutuhan ini yang tinggi maka untuk memenuhinya tergantung pada terpenuhinya sub-elemen kebutuhan lainnya.
Gambar 37 Hasil pengolahan ISM, a Matriks driver power- dependence sub- elemen kebutuhan, dan b Struktur hierarki antar sub-elemen
kebutuhan
5 Analisis Elemen Tolak Ukur dalam Pengelolaan Kelembagaan
Identifikasi elemen tolak ukur dalam pengelolaan kelembagaan ini menghasilkan tujuh 7 sub-elemen, yaitu: 1 meningkatnya produksi tepung
lokal, 2 lancarnya pasokan bahan baku ke industri, 3 meningkatnya jumlah pelaku usaha makanan berbasis tepung lokal, 4 meningkatnya aplikasi substitusi
tepung terigu dengan tepung lokal pada industri, 5 berkurangnya impor gandum Indonesia, 6 terbentuknya peraturan pemerintah tentang substitusi tepung terigu
dengan tepung lokal, dan 7 harga tepung lokal dapat bersaing dari pada tepung terigu.
Hasil agregat penilaian para pakar disusun dalam bentuk SSIM Lampiran 16 dan selanjutnya disusun RM dan revisi RM seperti yang ditunjukkan pada
Lampiran 17. Hasil revisi RM menghasilkan posisi kuadran sub-elemen tolak ukur pada matriks driver power-dependence seperti terlihat pada Gambar 38a
dan struktur hierarki elemen kebutuhan terlibat dalam kelembagaan seperti terlihat
pada Gambar 38b. Analisis matriks driver power-dependence dan struktur hierarki antar sub-
elemen tolak ukur kelembagaan adalah 1 meningkatnya produksi tepung lokal, 2 lancarnya pasokan bahan baku ke industri, 6 terbentuknya peraturan pemerintah
tentang substitusi terigu dengan tepung lokal, dan 7 harga tepung lokal bersaing dengan tepung terigu yang paling berpengaruh dibandingkan tolak ukur yang lain
dalam model kelembagaan. Apabila ketiga tolak ukur kelembagaan tersebut dapat tercapai maka akan mendorong tolak ukur lain tercapai.
Sub-elemen tolak ukur yang berada pada kuadran II pada matriks driver power-dependence
adalah tolak ukur 3 meningkatnya jumlah pelaku usaha makanan berbasis tepung lokal, 4 meningkatnya aplikasi substitusi tepung terigu
dengan tepung lokal pada industri, 5 berkurangnya impor gandum Indonesia. Gambar 38 Hasil pengolahan ISM, a Matriks driver power-dependence sub-
elemen tolak ukur dan b Struktur hierarki antar sub-elemen tolak ukur
Sub-elemen tolak ukur ini memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap tolak ukur yang lain, tetapi daya dorong yang lemah sehingga keberadaan tolak ukur ini
tergantung dengan keberadaan tolak ukur lain.
6 Analisis elemen aktivitas yang dibutuhkan untuk perubahan
Identifikasi elemen aktivitas yang dibutuhkan untuk perubahaan dalam pengelolaan kelembagaan menghasilkan enam 6 sub-elemen, yaitu: 1 peraturan
pemerintah tentang substitusi tepung terigu dengan tepung lokal, 2 membangun skema kerjasama antara petani dan pihak industri yang menguntungkan kedua
belah pihak, 3 memberi insentif kepada petani dalam akses modal dan penggunaan teknologi tepat guna, 4 penelitian lanjutan untuk meningkatkan
kualitas tepung lokal, 5 melakukan pengenalan dan promosi makanan berbasis tepung lokal akan diterima masyarakat, dan 6 memfasilitasi penguatan
kelembagaan antara pelaku rantai pasok.
Hasil agregat penilaian para pakar disusun dalam bentuk SSIM Lampiran 16 dan selanjutnya disusun RM dan revisi RM seperti yang ditunjukkan pada
Lampiran 17. Hasil revisi RM menghasilkan posisi kuadran sub-elemen aktivitas yang dibutuhkan pada matriks driver power-dependence seperti terlihat
pada Gambar 39a
dan struktur hierarki elemen aktivitas yang dibutuhkan dalam kelembagaan seperti terlihat pada Gambar 39b.
Analisis matriks driver power-dependence dan struktur hierarki antar sub- elemen aktivitas perubahan kelembagaan adalah: 1 PP tentang substitusi tepung
terigu dengan tepung lokal adalah sub-elemen yang paling berpengaruh dibandingkan aktivitas perubahan yang lain dalam model kelembagaan. Apabila
aktivitas perubahan kelembagaan tersebut dapat dilakukan dengan baik maka akan mendorong aktivitas perubahan tercapai.
Gambar 39 Hasil pengolahan ISM, a Matriks driver power- dependence sub- elemen aktivitas perubahan, dan b Struktur hierarki antar sub-
elemen aktivitas perubahan
Sub-elemen aktivitas perubahan yang berada pada kuadran I pada matriks driver power-dependence
adalah sub-elemen aktivitas 3 perubahan Memberi insentif kepada petani dalam akses modal dan penggunaan teknologi tepat guna.
Sub-elemen aktivitas perubahan ini memiliki daya dorong yang lemah dan ketergantungan yang rendah terhadap sub-elemen yang lain.
Sub-elemen aktivitas perubahan yang berada pada kuadran II pada matriks driver power-dependence
adalah aktivitas perubahan: 2 membangun skema kerjasama antara petani dan pihak industri yang menguntungkan kedua belah
pihak, 4 penelitian lanjutan untuk meningkatkan kualitas tepung lokal, 5 melakukan pengenalan dan promosi makanan berbasis tepung lokal akan diterima
masyarakat, dan 6 memfasilitasi penguatan kelembagaan antara pelaku rantai pasok. Sub-elemen aktivitas perubahan ini memiliki ketergantungan yang tinggi
terhadap aktivitas perubahan yang lain, tetapi daya dorong yang lemah sehingga keberadaan aktivitas perubahan ini tergantung dengan keberadaan aktivitas
perubahan lain.
7 Analisis elemen ukuran penilaian hasil aktivitas
Identifikasi elemen ukuran penilaian hasil aktivitas dalam pengelolaan kelembagaan menghasilkan delapan 8
sub-elemen, yaitu: 1 terjadi peningkatan permintaan tepung lokal, 2 pasokan bahan baku ke industri berkesinambungan,
3 terjadi peningkatan jumlah pelaku usaha makanan berbasis tepung lokal, 4 terjadi peningkatan penggunaan tepung lokal pada industri makanan, 5
penurunan jumlah impor gandum Indonesia, 6 industri tepung terigu melakukan sebagian substitusi dengan tepung lokal, 7 terbentuknya kebijakan pemerintah
tentang substitusi tepung terigu dengan tepung lokal, 8 harga tepung lokal bersaing.
Hasil agregat penilaian para pakar disusun dalam bentuk SSIM Lampiran 16 dan selanjutnya disusun RM dan revisi RM seperti ditunjukkan pada
Lampiran 17. Hasil revisi RM menghasilkan posisi kuadran sub-elemen ukuran penilaian hasil aktivitas pada matriks driver power-dependence seperti terlihat
pada Gambar 40a
dan struktur hierarki elemen ukuran penilaian hasil aktivitas dalam kelembagaan seperti terlihat pada Gambar 40b.
Analisis matriks driver power-dependence dan struktur hierarki antar sub- elemen ukuran penilaian hasil aktivitas kelembagaan adalah 8 harga tepung
lokal dapat bersaing adalah sub-elemen yang paling berpengaruh dibandingkan ukuran penilaian hasil aktivitas yang lain dalam model kelembagaan. Apabila
ukuran penilaian hasil aktivitas kelembagaan tersebut dapat dilakukan dengan tercapai maka akan mendorong ukuran penilaian hasil aktivitas yang lain tercapai
juga.
Sub-elemen ukuran penilaian hasil aktivitas yang berada pada kuadran II pada matriks driver power-dependence adalah aktivitas perubahan: 1 terjadinya
peningkatan permintaan tepung lokal, 4 peningkatan penggunaan tepung lokal pada industri makanan. Sub-elemen ukuran penilaian hasil aktivitas ini memiliki
ketergantungan yang tinggi terhadap ukuran penilaian hasil aktivitas yang lain, tetapi daya dorong yang lemah sehingga keberadaan ukuran penilaian hasil
aktivitas ini tergantung dengan keberadaan ukuran penilaian hasil aktivitas lain.
Sub-elemen ukuran penilaian hasil aktivitas kelembagaan yang berada pada kuadran III pada matriks driver power-dependence pada Gambar 40 adalah 2
pasokan bahan baku ke industri berkesinambungan, 3 terjadi peningkatan jumlah pelaku usaha makanan berbasis tepung lokal, 5 penurunan jumlah impor gandum
Indonesia, 6 industri tepung terigu melakukan sebagian substitusi dengan tepung lokal, 7 terbentuknya kebijakan pemerintah tentang substitusi tepung terigu
dengan tepung lokal, dimana ukuran penilaian hasil aktivitas tersebut memiliki daya dorong kuat dan tingkat ketergantungan yang kuat juga atau disebut juga
pengait linkage. Tercapainya sub-elemen tujuan pada kuadaran III dipengaruhi oleh sub-elemen tujuan lainnya. Begitu juga apabila sub-elemen tujuan pada
kuadran III tercapai maka akan mendorong tercapainya tujuan lainnya.
Implementasi Terhadap Rekayasa Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok
Analisis dengan pendekatan ISM untuk rekayasa kelembagaan kemitraan rantai pasok diperoleh beberapa arahan tentang model kelembagaan yang akan
dirancang. Rangkuman analisis ISM, hasil referensi, dan wawancara pakar sebagai acuan untuk menyusun rekomendasi kelembagaan yang diuraikan sebagai
berikut: 1. Peran pemerintah yang sangat dominan sebagai pembuat kebijakan untuk
substitusi tepung terigu dengan tepung lokal. Selain itu, pemerintah sebagai penentu kebijakan mengurangi impor gandum sehingga tepung lokal dapat
Gambar 40 Hasil pengolahan ISM, a Matriks driver power- dependence sub- elemen ukuran penilaian hasil aktivitas dan b Struktur hierarki
antar sub- elemen ukuran penilaian hasil aktivitas
dimanfaatkan secara maksimal untuk mensubstitusi tepung terigu. Kebijakan ini dapat menumbuhkan industri berbasis tepung lokal dan secara tidak
langsung akan meningkatkan pendapatan petani. Analisis ISM menunjukkan bahwa ada lima elemen yang meletakkan peran pemerintah sebagai faktor
kunci yaitu: elemen pelaku dengan sub-elemen pemerintah, elemen kendala dengan kurangnya dukungan pemerintah untuk substitusi tepung terigu,
elemen tolak ukur terbentuknya peraturan pemerintah tentang substitusi tepung terigu dengan tepung lokal, dan elemen aktivitas perubahan dengan
sub-elemen PP tentang substitusi tepung terigu dengan tepung lokal.
2. Konsep kelembagaan yang dibangun harus mencapai tujuan meningkatkan pendapatan petani dan industri pembuatan tepung lokal. Selain itu,
kelembagaan yang dibentuk harus dapat memenuhi kebutuhan kunci seperti adanya jaminan pasar, bantuan kredit bagi petani dan membentuk sumber daya
manusia yang berkualitas.
Lebih lanjut kebijakan dituangkan ke dalam model alternatif kelembagaan kemitraan pelaku rantai pasok yang merupakan hasil analisis antara model
kelembagaan yang sudah ada di Indonesia dan pendapat para pakar.
Pemilihan Alternatif Model Kemitraan Petani Ubi kayu dan Industri Tapioka
Pemilihan pola kemitraan rantai pasok yang tepat untuk keberlanjutan rantai pasok tepung lokal dalam upaya mendukung substitusi tepung terigu. Pada
penelitian ini dirancang pola kemitraan antara petani ubi kayu dan industri tapioka. Industri tapioka dipilih karena ubi kayu banyak dibudidayakan di
Indonesia dengan produksi mencapai 22.9 juta ton pada tahun 2016 BPS 2016.
Pemilihan pola kemitraan dilakukan dengan menggunakan pendekatan fuzzy analytical hierarchy process
FAHP. Masukan untuk membentuk struktur AHP diperoleh dari hasil identifikasi kebutuhan melalui pengamatan lapangan,
benchmarking kemitraan pertanian kontrak dan pendapat para pakar dengan
struktur AHP dapat dilihat pada Gambar 41.
Tingkat kepentingan relatif antar faktor
Hasil gabungan penilaian para pakar mengenai tingkat kepentingan relatif antar faktor dapat dilihat pada Lampiran 18. Hasil perhitungan bobot atribut faktor
pada Tabel 46 menunjukkan bahwa faktor jaminan pasar merupakan faktor yang paling penting bagi keberhasilan kelembagaan pertanian kontrak dengan bobot
0.305. Hal ini karena jaminan pasar merupakan faktor penting dalam keberlanjutan usaha atau rantai pasok. Setiap pelaku dalam rantai pasok
menghasilkan komoditas atau produk yang selanjutnya dijual untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan sehingga usaha dapat berkelanjutan. Faktor penting
yang kedua adalah jaminan pasokan dengan bobot 0.295. Jaminan pasokan merupakan faktor yang penting karena apabila pasokan bahan baku tidak lancar
menyebabkan terganggunya produksi sehingga industri mengalami kerugian dan kehilangan pendapatan atau keuntungan. Faktor penting yang ketiga adalah
jaminan harga dimana pelaku rantai pasok menginginkan komoditas atau produk yang dihasilkan memiliki harga relatif stabil dan menguntungkan sehingga dapat
mengurangi resiko kerugian bila harga tidak stabil. Faktor penting selanjutnya
berturut-turut adalah dukungan kebijakan pemerintah, kualitas pasokan, dan teknologi proses.
Tingkat kepentingan relatif antar pelaku
Tingkat kepentingan relatif pengaruh masing-masing pelaku terhadap setiap faktor dapat dilihat pada Tabel 47 yang menunjukkan bahwa faktor keberhasilan
jaminan pasokan dan kualitas pasokan bersumber dari petani. Hal ini karena petani merupakan pemasok bahan baku untuk industri sehingga untuk
keberhasilan kelembagaan kontrak pertanian pelaku petani harus diperhatikan. Faktor jaminan pasar, jaminan harga, dan teknologi proses pelaku yang paling
berperan adalah industri pengolahan karena merupakan sebagai penentu harga komoditas, penampung bahan baku dan pengguna teknologi. Sedangkan
Tabel 46 Hasil perhitungan bobot untuk atribut faktor
No. Elemen faktor
Bobot Prioritas
1. Jaminan pasokan
0.294 2
2. Kualitas pasokan
0.059 5
3. Jaminan pasar
0.305 1
4. Jaminan harga
0.200 3
5. Teknologi proses
0.041 6
6. Kebijakan pemerintah
0.101 4
Gambar 41 Struktur AHP pemilihan alternatif model pola kemitraan pertanian kontrak
pemerintah berperan sebagai pembuat kebijakan untuk membantu keberlanjutan dan kesuksesan kelembagaan.
Untuk menentukan pelaku yang sangat perpengaruh terhadap keberhasilan kelembagaan kontrak pertanian selanjutnya dilakukan perkalian antara nilai eigen
masing masing aktor terhadap setiap faktor dengan nilai eigen faktor sehingga diperoleh bobot pelaku pada Gambar 42. Pelaku industri tapioka memiliki peran
yang penting dalam keberlanjutan dan kesuksesan kelembagaan kontrak pertanian. Hal ini karena industri pengolahan berperan sebagai pasar dari komoditas dan
berperan dalam menentukan harga komoditas. Pelaku berikutnya yang berperan penting terhadap atribut aktor adalah petani sebagai pemasok bahan baku.
Tingkat kepentingan relatif antar tujuan kemitraan kontrak pertanian
Prioritas utama atribut tujuan kelembagaan kontrak pertanian adalah peningkatan pendapatan petani dengan bobot 0.30 seperti ditunjukan pada Tabel
48. Apabila dengan pola kemitraan yang dibentuk dapat meningkatkan pendapatan petani maka petani akan terdorong untuk membudidayakan komoditas
ubi kayu sebagai bahan baku tepung tapioka. Selain itu, petani akan termotivasi untuk memenuhi jumlah dan kualitas yang diinginkan industri pengolahan
sehingga diharapkan pasokan bahan baku berkesinambungan. Selanjutnya prioritas kedua untuk atribut tujuan adalah terjaminnya pasokan dengan bobot
Tabel 47 Tingkat kepentingan relatif pelaku terhadap setiap faktor
Jaminan pasokan
Kualitas pasokan
Jaminan pasar
Jaminan harga
Teknologi proses
Kebijakan pemerintah
Bobot Petani
0.55 0.48
0.21 0.06
0.15 0.09
0.28 Pengepul
0.23 0.17
0.20 0.11
0.09 0.09
0.17 industri
pengolahan 0.11
0.20 0.41
0.56 0.57
0.09 0.31
lembaga keuangan
0.06 0.06
0.08 0.06
0.07 0.09
0.07 Pemerintah
0.06 0.09
0.11 0.20
0.12 0.64
0.16
Gambar 42 Nilai eigen untuk atribut pelaku terhadap atribut aktor pola kemitraan kontrak pertanian
0.26. Prioritas selanjutnya berturut-turut adalah peningkatan keuntungan industri. harga jual yang bersaing, dan terjaminnya kualitas.
Industri berbahan baku komoditas pertanian sering menghadapi pasokan bahan baku tidak stabil dimana saat musim panen, bahan baku berlimpah
sedangkan diluar musim panen bahan baku menjadi langka dan mahal. Hal ini menggangu produksi sehingga dapat mengakibatkan industri mengalami kerugian.
Selain itu dari Tabel 48 dapat diuraikan tingkat kepentingan relatif antar tujuan terhadap pelaku kelembagaan kontrak pertanian dimana memperlihatkan
bahwa pelaku petani, lembaga keuangan dan pemerintah dengan tujuan prioritas utamanya adalah untuk meningkatkan pendapatan petani. Prioritas utama bagi
pengepul dan industri pengolahan dalam kelembagaan kontrak pertanian adalah terjaminnya kontinuitas pasokan.
Pemilihan alternatif kelembagaan kemitraan kontrak pertanian
Perhitungan tingkat kepentingan relatif antar alternatif model kelembagaan kontrak pertanian pada Tabel 49 menunjukkan bahwa kemitraan inti plasma
memiliki bobot tertinggi sebesar 0.47 atau merupakan prioritas pertama. Kemitraan inti plasma ini dapat mencapai tujuan peningkatan keuntungan industri,
dan harga jual yang bersaing dibandingkan dengan alternatif model kemitraan kontrak pertanian yang lain. Prioritas kedua atribut alternatif kelembagaan adalah
pola kerjasama operasional. Pola kelembagaan ini dapat meningkatkan pendapatan petani dan menjamin kontinuitas pasokan dibandingkan dengan
alternatif lain.
Tabel 49 Tingkat kepentingan relatif atribut alternatif terhadap setiap tujuan dalam kelembagaan kontrak pertanian
Peningkatan pendapatan
petani Terjaminnya
kontinuitas pasokan
Peningkatan keuntungan
industri Terjaminnya
kualitas pasokan
Harga jual
bersaing Bobot
alternatif Kemitraan
inti plasma 0.42
0.45 0.58
0.41 0.48
0.47 Kemitraan
sub kontrak
0.11 0.10
0.21 0.15
0.21 0.15
Pola kerjasama
operasional 0.46
0.45 0.21
0.44 0.31
0.38
Tabel 48 Tingkat kepentingan relatif atribut tujuan terhadap setiap pelaku dalam kelembagaan kontrak pertanian
Petani Pengepul
Industri pengolahan
Lembaga keuangan
Pemerintah Bobot
tujuan Peningkatan
pendapatan petani 0.54
0.23 0.05
0.35 0.44
0.30 Terjaminnya
kontinuitas pasokan
0.13 0.39
0.36 0.20
0.19 0.26
Peningkatan keuntungan
industri 0.16
0.13 0.32
0.25 0.21
0.22 Terjaminnya
kualitas pasokan 0.07
0.16 0.10
0.07 0.05
0.09 Harga jual yang
bersaing 0.10
0.09 0.17
0.14 0.11
0.12
Rekomendasi Model Kelembagaan Kemitraan Industri Tapioka dan Petani Ubi Kayu
Dari hasil analisis keseluruhan dengan pendekatan benchmarking, ISM dan fuzzy
AHP maka dapat direkomendasikan model kelembagaan kemitraan industri tapioka dan petani ubi kayu bahwa pola kemitraan yang sesuai adalah pola inti
plasma yang dijabarkan pada Tabel 50. Rekomendasi kemitraan antara petani dan pelaku tepung tapioka yang dijabarkan terdiri dari pola kemitraan, pola koordinasi,
hak dan kewajiban masing-masing pihak, aturan main, dan elemen-elemen kunci yang diperhatikan untuk keberhasilan kelembagaan yang dibentuk.
Tabel 50 Model kelembagaan kemitraan industri tapioka dan petani ubi kayu yang diusulkan
Elemen kelembagaan Keterangan
Pola pertanian kontrak Kemitraan inti plasma
Koordinasi Koordinasi melalui depatemenbagiansub-bagian kerjasamakemitraan pada
perusahaan inti dan diteruskan oleh ketua kelompok petani. Hak petani
- Mendapat bimbingan teknis budi daya ubi kayu
- Mendapat bantuan kredit
Hak Perusahaan inti industri tapioka
- Mendapat ubi kayu dari petani
- Menentukan varietas ubi kayu yang ditanam
Kewajiban petani -
Menyediakan lahan pemilikannya untuk budidaya -
Menanam ubi kayu sesuai dengan variatas yang ditetapkan industri tapioka -
Mengikuti programpenjadwalan tanam dan panen yang dibuat oleh industri tapioka
- Melaksanakan budidaya ubi kayu sesuai bimbingan perusahaan inti.
- Menjual keseluruhan hasil panen ubi kayu ke industri tapioka
- Melunasi kredit bila ada
Kewajiban mitra -
Menampung ubi kayu dari petani -
Memberi layanan teknik penanaman ubi kayu -
Memberi bantuan bibit -
Melakukan pengawasan terhadap cara panen dan pengelolaan pasca panen Kebijakan harga
Berdasarkan harga pasar Aturan main
Pola kemitraan inti plasma antara petani dan industri tapioka diperkuat dengan adanya surat perjanjian kerjasama yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-
pihak yang bekerjasama berdasarkan kesepakatan bersama. Perjanjian kerjasama berisikan hak-hak dan kewajiban kedua belak pihak. Dalam
pelaksanaan inti plasma, kedua belak pihak wajib mengikuti aturan-aturan yang telah disepakati.
Elemen kunci sukses -
Peningkatan penggunaan tepung lokal pada industri makanan -
Terjaminnya pasokan bahan baku -
Terjaminnya pasar tepung tapioka -
SDM yang berkualitas -
Harga tepung lokal yang bersaing -
Pengurangan impor gandum -
Peningkatan produktivitas lahan -
Peningkatan pemanfaatan tepung lokal sebagai pengganti tepung terigu -
Adanya peran pemerintah -
Adanya bantuan kredit Sumber dana
- Modal budidaya ubi kayu berasal dari petani, dan juga mendapat bantuan
kredit dari perusahaan inti atau koperasi -
Sumber dana perusahaan ini dari modal sendiri atau mendapat pinjaman modal dari lembaga keuangan atau bank
Pemilihan Alternatif Model Pertanian Kontrak Industri Mocaf dan Petani Ubi Kayu
Pada penelitian ini masukan untuk membentuk struktur AHP pemilihan alternatif pola kemitraan industri mocaf, diperoleh dari hasil identifikasi
pengamatan lapangan, benchmaking kemitraan pertanian kontrak, dan pendapat para pakar. Alternatif pemilihan model kemitraan berdasarkan keadaan yang
sedang berlaku sekarang. yaitu industri mocaf menerima bahan baku mentah dari petani dan industri menerima dalam bentuk chip mocaf dari petani. Selanjutnya
pola tersebut masing-masing diintegrasikan dengan pola inti plasma. Struktur AHP untuk alternatif model pertanian kontrak industri mocaf dapat dilihat pada
Gambar 43.
Atribut faktor, pelaku, dan tujuan untuk pemilihan alternatif kelembagaan kemitraan kontrak pertanian pada industri tepung mocaf memiliki sub-elemen
yang sama maka analisis untuk atribut faktor, aktor, dan tujuan menggunakan analisis dari pengolahan FAHP pemilihan pola kemitraan industri tapioka. Pola
kelembagaan kemitraan tepung mocaf dengan petani langsung dilakukan analisis terhadap pemilihan alternatif.
Tingkat kepentingan antar alternatif pola kemitraan terhadap tujuan kelembagaan dapat dilihat pada Tabel 51. Hasil perhitungan bobot atribut
alternatif menunjukkan bahwa alternatif kemitraan inti plasma dengan petani sebagai pemasok chip merupakan alternatif kelembagaan prioritas pertama dengan
bobot 0.55. Alternatif model kelembagaan ini dapat meningkatkan pendapatan Gambar 43 Hierarki AHP alternatif kemitraan petani ubi kayu dan usaha mocaf
petani karena dengan menjual chip, petani mendapat nilai tambah lebih besar dibandingkan dengan menjual bahan baku mentah. Selain itu, membeli chip dari
petani akan menjamin pasokan karena chip dapat bertahan lebih lama dibandingkan dengan bahan baku mentah. Namun dari segi kualitas bahan baku,
membeli chip dari petani menyebabkan kualitas tidak seragam. Hal ini disebabkan karena sumber chip yang beragam sehingga cukup sulit untuk mengendalikan
kualitas. Untuk mengatasi tersebut dapat dibuat kewajiban kelompok petani mitra, harus membuat chip sesuai dengan standar operasional prosedur SOP yang
ditetapkan industri. Pihak industri dapat menolak chip dari petani bila tidak sesuai dengan standar yang ditentukan. Tujuan untuk mencapai harga mocaf yang
bersaing atau dibawah harga tepung terigu dari pendapat pakar akan lebih menguntungkan bila mocaf diolah dipabrik mulai dari bahan baku mentah. Namun
hal ini dapat diatasi dengan menentukan harga beli chip dari petani sesuai dengan risiko yang tanggung petani dan meningkatkan produktivitas lahan petani
sehingga petani dapat menjual lebih banyak chip dengan harga yang layak
Pola kemitraan inti plasma antara industri mocaf dan petani sudah diterapkan PT. BCM di Solo seperti yang sudah dijelaskan pada bab 4 disertasi ini.
PT. BCM sebagai produsen mocaf bekerjasama dengan plasma kelompok tani ubi kayu atau disebut dengan kelompok cluster untuk memproduksi chip sesuai
dengan standar perusahaan. Pihak inti dan plasma mempunyai hak dan kewajiban masing-masing yang sudah disepakati bersama.
Rekomendasi Model Kelembagaan Kemitraan Industri Mocaf dan Petani Ubi Kayu
Hasil analisis keseluruhan dengan pengamatan lapangan, wawancara mendalam, benchmarking, pendekatan ISM, dan fuzzy AHP maka dapat
dirumuskan rekomendasi model kelembagaan kemitraan industri mocaf dan petani ubi kayu bahwa pola kemitraan yang sesuai adalah pola inti plasma dengan
pembuatan chip oleh petani dimana diuraikan secara lengkap pada Tabel 52. Industri mocaf bermitra dengan kelompok tani atau yang disebut dengan
kelompok cluster untuk memproduksi chip mocaf yang selanjutnya dikirim ke industri mocaf. Kemitraan tersebut harus mengikuti aturan main yang telah
ditetapkan dan mematuhi kewajiban dan hak kedua belah pihak. Tabel 51 Hasil perhitungan bobot untuk atribut tujuan
Peningkatan pendapatan
petani Terjaminnya
kontinuitas pasokan
Peningkatan keuntungan
industri Terjaminnya
kualitas pasokan
Harga jual yang
bersaing Bobot
aktor Kemitraan inti
plasma petani memasok chip
0.81 0.81
0.21 0.15
0.28 0.55
Kemitraan inti plasma petani
memasok bahan baku
basah 0.19
0.19 0.79
0.85 0.72
0.45
Model Kemitraan Industri Tepung Lokal dengan Industri Tepung Terigu
Dalam manajemen rantai pasok, produsen harus mampu menjalin hubungan yang kuat dan koordinasi dengan mitra yang berhubungan yaitu mulai dari
pemasok bahan baku, distributor, hingga konsumen akhir. Hubungan yang kuat antara produsen dengan mitra bisnis akan memberikan produk dengan kualitas
yang diinginkan dan pelayanan yang tepat waktu bagi konsumen. Kanter 1994 mengungkapkan bahwa hubungan perusahaan dengan pemasok merupakan
Tabel 52 Model kelembagaan kemitraan industri mocaf dan petani ubi kayu yang diusulkan
Elemen kelembagaan
Keterangan Pola
Kemitraan inti plasma Koordinasi
Koordinasi melalui depatemenbagiansub-bagian kerjasamakemitraan pada perusahaan inti dan diteruskan oleh ketua kelompok petani atau kluster chip
Hak kelompok
petani cluster chip -
Mendapat bimbingan teknis budi daya ubi kayu -
Mendapat bantuan kredit -
Mendapat enzim mocaf -
Mendapat bantuan bibit -
Mendapat bantuan peralatan pembuatan chip Hak Perusahaan inti -
Mendapat chip dari kelompok petani -
Menentukan varietas ubi kayu yang ditanam Kewajiban petani
- Menyediakan lahan pemilikannya untuk budidaya
- Menanam ubi kayu sesuai dengan variatas yang ditetapkan industri mocaf
- Mengikuti penjadwalan tanam dan panen yang dibuat oleh industri mocaf
- Melaksanakan budidaya ubi kayu sesuai dengan bimbingan perusahaan inti.
- Mengolah seluruh hasil panen ubi kayu ke bentuk chip mocaf
- Menjual keseluruhan chip mocaf ke industri mitra
- Melunasi kredit bila ada
Kewajiban mitra -
Menampung keseluruhan chip mocaf dari kelompok petani -
Memberi layanan teknik penanaman ubi kayu -
Memberi bantuan bibit -
Melakukan pengawasan terhadap cara panen dan pengelolaan pasca panen, hingga pembuatan chip mocaf untuk mencapai mutu yang tinggi
Kebijakan harga Berdasarkan harga pasar
Aturan main Pihak perusahan inti bermitra dengan kelompok tani yang terdiri dari 5-30 anggota
tani. Satu kelompok tani diketuai oleh seorang anggota yang dipilih secara musyawarah. Untuk memperkukuh kemitraan maka dibuat surat perjanjian
kerjasama yang berisikan hak-hak dan kewajiban kedua belak pihak yang wajib diikuti.
Elemen kunci
sukses -
Peningkatan penggunaan tepung mocaf pada industri makanan -
Terjaminnya pasokan dan kualitas bahan baku -
Terjaminnya pasar tepung mocaf -
Harga tepung mocaf yang bersaing -
SDM yang berkualitas -
Pengurangan impor gandum -
Peningkatan produktivitas lahan -
Peningkatan pemanfaatan mocaf sebagai pengganti tepung terigu -
Adanya peran pemerintah daerah dan pusat -
PP tentang substitusi tepung terigu dengan tepung lokal. Sumber dana
- Petani dan juga mendapat bantuan kredit dari perusahaan inti atau koperasi
- Sumber dana perusahaan inti dari modal sendiri atau mendapat pinjaman modal
dari lembaga keuangan atau bank
kolaborasi yang paling kuat dalam konteks value chain atau supply chain. Pemasok berperan menyediakan bahan baku yang digunakan oleh perusahaan
dimana kinerja pemasok berpengaruh pada kinerja perusahaan secara keseluruhan.
Berdasarkan studi literatur, pengamatan lapangan dan diskusi dengan pakar maka dapat direkomendasikan bentuk kemitraan antara pemasok tepung lokal
sebagai pemasok bahan baku dengan industri tepung terigu berupa pola subkontrak dengan uraian dirangkum Tabel 53.
Kemitraan industri tepung lokal dan tepung terigu pada kasus ini merupakan hubungan antara pemasok bahan baku ke pemakai industri. Pelaku tepung lokal
sebagai pemasok yang memproduksi bahan baku yang diperlukan industry tepung terigu bagian dari hasil produksinya. Kemitraan ini memiliki kesepakatan tentang
Tabel 53 Rekomendasi kelembagaan kemitraan antara pemasok tepung lokal dengan industri tepung terigu
Elemen kelembagaan
Keterangan Pola kemitraan
Subkontrak Koordinasi
Pada bagian pembelian di perusahaan Hak pemasok
tepung lokal - Mendapat harga sesuai dengan pasar
- Jangka pembayaran sesuai dengan kesepakatan Hak perusahaan
industri tepung terigu
- Mendapat bahan baku sesuai dengan kualitas sesuai standar SNI - Memperoleh bahan baku dengan tepat waktu
- Menolak bahan baku yang tidak sesuai standar SNI
Kewajiban pemasok tepung
lokal - Mengirim bahan baku sesuai dengan jumlah dan kualitas yang
diinginkan perusahaan pemesan. - Mengirimkan bahan baku dengan jumlah dan waktu yang telah
ditentukan Kewajiban
perusahaan - Melunasi pembayaran dengan tepat waktu.
- Membantu meningkatkan kinerja pemasok dengan memberi bimbingan teknis.
Elemen kunci sukses
- Peningkatan penggunaan tepung lokal pada industri makanan - Terjaminnya pasokan bahan baku tepung lokal
- Terjaminnya pasar tepung lokal - Terjaminnya kualitas bahan baku
- Harga tepung lokal yang bersaing - SDM yang berkualitas
- Pengurangan impor gandum - Peningkatan kinerja tepung lokal
- Peningkatan pemanfaatan tepung lokal sebagai pengganti tepung terigu - Adanya peran pemerintah daerah dan pusat
- PP tentang substitusi tepung terigu dengan tepung lokal.
Aturan main Pemasok dan industri tepung terigu membuat kesepakatan tentang
kerjasama bisnis untuk pasokan bahan baku lokal dalam jangka waktu tertentu. Setelah waktu yang ditentukan selesai pihak perusahaan
mengevaluasi apakah akan meneruskan hubungan kemitraan pemasok atau pengganti dengan pemasok lain. Pihak mitra industri tepung terigu
memesan bahan baku sesuai dengan standar kualitas, jumlah yang ditentukan dengan pengiraman dengan tepat waktu. Pemasok bahan
baku berkewajiban memenuhi jumlah dan kualitas yang diinginkan oleh industri tepung terigu.
kontrak bersama yang menyangkut volume, harga, mutu, dan waktu pengiriman. Untuk menjaga keberlanjutan pasokan bahan baku, kontrak dapat dilakukan dalam
jangka panjang atau dalam jangka setahun kemudian dievaluasi untuk dipertimbangkan perpanjangan.
Pemilihan pemasok bahan baku yang tepat merupakan hal keputusan yang strategis dalam manajemen rantai pasok karena berhubungan dengan kelancaran
proses produksi dan keberlangsungan perusahaan. Oleh karena itu perlu dipilih pemasok dilihat dari segi kualitas, keandalan, ketepatan waktu dan harga produk.
Berdasarkan wawancara dengan pelaku industri tepung terigu dan pakar bahwa para pelaku industri tepung terigu bersedia mencampur tepung terigu
dengan tepung lokal apabila tepung memenuhi syarat SNI. Bagi industri tepung lokal skala kecil menengah sangat sulit memenuhi kualitas SNI karena
memerlukan biaya yang besar untuk pengurusan SNI. Industri tepung terigu dapat memilih tepung lokal sebagai supplier bahan baku yang sudah memenuhi SNI.
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis kinerja rantai pasok tepung lokal dan perancangan kelembagaan antar pelaku rantai pasok dapat diambil beberapa
kesimpulan, yaitu: 1. Hasil pengukuran kinerja rantai pasok tepung lokal untuk substitusi tepung
terigu di Jawa Barat menunjukkan bahwa pelaku petani dan tapioka halus masing-masing memiliki kinerja baik dan kurang, sedangkan pelaku tapioka
kasar dan mocaf masing-masing memiliki kinerja yang bursangat kurang dan buruk.
2. Metode ISM dapat mengidentifikasi elemen-elemen kunci sukses dari suatu kelembagaan sehingga untuk pengembangan kelembagaan dapat lebih fokus
memperhatikan dan membenahi elemen-elemen tersebut. 3. Elemen kunci sukses dalam kelembagaan rantai pasok tepung lokal untuk
mendukung substitusi terhadap tepung terigu adalah peranan pemerintah dalam membuat kebijakan tentang pengurangan impor gandum dan membuat
peraturan tentang substitusi tepung terigu dengan tepung lokal.
4. Fuzzy AHP digunakan untuk memilih alternatif pola kemitraan yang tepat dengan melihat dari berbagai aspek atau atribut sehingga dapat mencapai
tujuan yang diharapkan. Penggunaan fuzzy pada AHP agar dapat mengatasi penilaian subjektivitas para responden pakar yang memiliki keterbatasan dan
ketidakmampuan dalam mempertimbangkan penilaian yang tepat dan pasti.
5. Alternatif model kelembagaan pola kemitraan antara petani ubi kayu dengan industri tapioka adalah pola inti plasma, dimana pola ini dapat mengurangi
permasalahan industri dalam ketidaksinambungan pasokan dan kualitas pasokan yang beragam. Selain itu, pola inti plasma dapat membantu
meningkatkan kesejahteraan petani dengan memberi jaminan harga dan bantuan kredit untuk budi daya.
6. Alternatif model kelembagaan pola kemitraan antara petani ubi kayu dengan industri mocaf adalah pola inti plasma dengan kelompok tani sebagai plasma
yang berperan sebagai pemasok chip mocaf. Pola kemitraan ini dapat mengurangi permasalahan industri seperti ketidaksinambungan pasokan,
kualitas pasokan yang beragam, membantu meningkatkan kesejahteraan petani
dengan memberi jaminan harga dan bantuan kredit untuk budi daya, serta memberi nilai tambah komoditas ubi kayu bagi petani.
7. Faktor terpenting dalam keberhasilan kontrak pertanian adalah adanya jaminan pasar baik bagi petani maupun industri pengolahan dan jaminan
pasokan. 8. Pelaku yang berpengaruh kuat pada keberhasilah pola kemitraan kontrak
pertanian adalah perusahaan inti atau industri pengolahan karena berperan sebagai jaminan pasar dan memberi jaminan harga.
9. Pola kemitraan antara pemasok tepung lokal dengan tepung terigu berupa kemitraan bisnis berupa pola subkontrak.
10. Model kelembagaan yang dirancang merupakan masukkan untuk perencanaan bisnis tepung terigu substitusi
Saran
Pada penelitian ini, pengukuran kinerja rantai pasok tepung lokal dilakukan pada wilayah Jawa Barat dan penelitian berikutnya dapat dilakukan pada wilayah
yang berhubungan dengan rantai pasok yang diteliti. Perlu dikembangkan lebih lanjut pola kelembagaan kemitraan antara pelaku rantai pasok yang sudah
diterapkan saat ini dengan mempertimbangakn biaya transaksi untuk perbaikan dan keadilan.
Untuk memudahkan tindak lanjut oleh investor untuk menyusun rencana bisnis perlu dilakukan perencanaan bisnis tepung terigu substitusi
.
8 PERENCANAAN BISNIS TEPUNG TERIGU SUBSTITUSI
Abstrak
Produk tepung terigu dengan substitusi sebagian dengan tepung lokal atau disebut dengan tepung terigu substitusi belum begitu dikenal oleh masyarakat
Indonesia. Hingga saat ini para investor belum berminat untuk berinvestasi ke bisnis tepung terigu substitusi. Untuk membuka minat investasi pada tepung
terigu substitusi maka diperlukan informasi mengenai bisnis tepung terigu substitusi yang dapat membantu para calon investor untuk memutuskan secara
tepat atas perencanaan bisnis tepung terigu substitusi. Pada penelitian ini model perencanaan bisnis yang dibahas meliputi: perencana produk, perencanaan
pemasaran, perencanaan teknologi, dan analisis finansial. Kriteria kelayakan investasi yang digunakan adalah Net Present Value NPV, Internal Rate of
Return
IRR, Net BC, Payback Period PBP, dan analisis sensitivitas. Analisis kelayakan menggunakan discount factor 9 dan periode evaluasi selama 20
tahun. Hasil kelayakan menunjukkan bahwa tepung terigu substitusi layak bila dijual pada harga jual minimal Rp. 6200.-. Analisis sensitivitas menunjuk bahwa
bila terjadi kenaikan harga bahan baku sebesar 2 maka harga jual Rp. 6200 masih layak.
Kata kunci:
perencanaan bisnis, tepung terigu substitusi, analisis finansial, studi kelayakan
Pendahuluan
Tepung terigu merupakan komoditas strategis di Indonesia karena industri makanan baik skala kecil-menengah maupun industri besar modern umumnya
berbsais tepung terigu. Ketergantungan Indonesia terhadap tepung terigu gandum dapat membahayakan ketahanan pangan, ekonomi dan politik karena
gandum merupakan komoditas 100 impor. Untuk mengurangi ketegantungan Indonesia terhadap gandum tepung terigu maka perlu didorong untuk
mengurangi penggunaan tepung terigu pada industri makanan. Hal ini dapat dilakukan dengan mencampur sebagai tepung terigu dengan tepung lokal.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya bahwa campuran maksimum 15 tepung lokal semua jenis dapat digunakan untuk semua jenis produk makanan
berbasis tepung terigu.
Pada bab 5 dan 6 disertasi ini telah dibahas optimasi rantai pasok tepung terigu mempertimbangkan substitusi dengan dengan tepung lokal. Substitusi
dilakukan pada pabrik penggilingan tepung terigu dengan alternative tepung lokal meliputi mocaf, tepung tapioka dan tepung ubi jalar. Optimasi dilakukan untuk
memenuhi empat tujuan secara bersamaan yaitu: minimisasi biaya total rantai pasok, maksimisasi kualitas, maksimisasi keandalan rantai pasok dan maksimisasi
penggunaan tepung lokal. Hasil optimasi menunjukkan bahwa persentase penggunaan tepung lokal yang optimal pada persentase 5.66 dengan campuran
tepung tapioka.
Pencampuran tepung lokal dengan tepung terigu pada pabrik penggilingan tepung terigu perlu dilakukan direncanakan secara matang, agar investasi yang
dilakukan tidak sia-sia. Pada bab ini, perencanaan bisnis tepung terigu substitusi
dilakukan meliputi perencaan produk, perencanaan pemasaran, perencanaan produksi dan operasional, dan analisis finansial. Tujuan perencanaan bisnis ini
untuk informasi bagi pengambil kebijakan atau keputusan dalam merencanakan usaha atau investasi di bidang tepung terigu substitusi sehingga dapat berjalan
dengan baik.
Rencana Produk
Produk yang dihasilkan berupa campuran tepung terigu dengan tepung lokal tapioka dan mocaf atau disebut dengan tepung terigu substitusi.
Berdasarkan hasil optimasi rantai pasok pada bab 5 dan 6 maka tepung lokal yang digunakan adalah tepung tapioka. Hal ini karena tepung tapioka memiliki kualitas
yang lebih baik untuk mensubstitusi tepung terigu dan ketersediaannya cukup untuk mensubstitusi 5.66 tepung terigu. Apabila ketersediaan tepung mocaf dan
tepung ubi jalar mampu memenuhi kebutuhan substitusi tepung terigu maka dapat dipertimbangkan sebagai tepung substitusi. Substitusi tepung lokal sebesar 5.66
dapat digunakan untuk tepung protein tinggi, protein sedang, dan protein rendah. Jenis tepung terigu yang dibahas pada perencanaan bisnis ini adalah tepung terigu
protein sedang karena merupakan tepung serba guna yang dapat digunakan untuk berbagai jenis makanan.
Hasil wawancara dan diskusi dengan para pakar bahwa keengganan pelaku usaha makanan atau tepung terigu mengenai substitusi tepung terigu karena
kualitas tepung lokal belum memenuhi Standar Nasional Indonesia SNI yang yang telah ditetapkan dan juga harga tepung lokal lebih mahal dari tepung terigu.
Untuk memenuhi SNI maka bahan baku tepung lokal yang digunakan untuk campuran tepung terigu harus memenuhi SNI. Untuk memenuhi hal tersebut maka
pihak industri tepung terigu dapat melakukan persyaratan SNI untuk sebagai pemasok bahan baku tepung lokal.
Kemasan tepung terigu substitusi dikelompokkan berdasarkan ukuran, yaitu:
1. Kemasan 25 kg 1 sak, digunakan untuk industri kecil menengah UKM atau retail.
2. Kemasan 1 kg untuk retail atau konsumsi rumah tangga. 3. Penggunaan untuk industri makanan dapat dikirim dalam bentuk kemasan 760
kg semi bulk atau bulk container delivery dengan ukuran 25 ton.
Rencana Lokasi
Pada bab sebelumnya telah dirancang rantai pasok tepung terigu dengan 3 lokasi pabrik yaitu Medan, Cilegon, dan Semarang. Lokasi tersebut sesuai untuk
lokasi industri tepung terigu karena wilayah pusat bisnis dan industri di Indonesia serta infrastruktur sudah memadai. Selain itu lokasi tersebut dekat dengan
pelabuhan dimana pabrik tepung terigu biasanya memiliki dermaga sendiri untuk memudahkan bongkar muat gandum yang didatangkan dari luar negeri.
Untuk perencanaan lokasi industri tepung terigu substitusi ini di Cilegon untuk wilayah pemasaran provinsi Lampung, Banten, Jakarta, dan Jawa Barat.
Rencana Pemasaran Segmen Pasar
Segmen pasar untuk produk terigu substitusi ini adalah industri kecil atau besar serta pengguna industri rumah tangga yang selama ini menggunakan tepung
jenis protein sedang atau juga disebut tepung serba guna. Pengguna tepung terigu jenis protein sedang ini dapat berupa kebutuhan rumah tangga, industri kecil,
sedang dan besar untuk produk seperti donat, bakpau, martabak, pancake, muffin, mie basah, brownies, onde-onde, dll.
Promosi
Promosi tepung terigu terigu substitusi ini dilakukan bekerjasama dengan pemerintah dalam rangka mendukung ketahanan pangan nasional. Selain
berbentuk promosi berbentuk iklan di media, untuk melancarkan pemasaran tepung terigu substitusi harus didukung oleh peraturan pemerintah mengenai
keharusan perusahaan makanan berbasis tepung terigu agara mencampur bahan tepung dengan tepung lokal. Peraturan dituangkan dalam bentuk peraturan
pemerintah yang mengharuskan semua industri tepung terigu harus mensubstitusi bahan baku dengan tepung lokal minimal 5.
Promosi juga dapat dilakukan dengan cara melakukan kemitraan terhadap UKM berbasis tepung terigu. Pelaku industri tepung terigu memberi pembinaan,
pelatihan, dan dukungan teknik produksi, pemasaran, dan manajemen keuangan untuk UKM mitra sehingga dapat berkembang. Bila usaha UKM berkembang
maka UKM dapat meningkatkan kapasitas produksinya dan kemudian meningkat penggunaan bahan baku tepung.
Distribusi
Pabrik tepung terigu di Cilegon direncanakan untuk memenuhi permintaan tepung terigu di wilayah pemasaran provinsi Banten, Jakarta, dan Jawa Barat.
Distribusi tepung terigu untuk wilayah tersebut dilakukan melalui distributor yaitu di Jakarta dan Bandung. Distributor Jakarta untuk memenuhi wilayah pemasaran
Banten, Jakarta, dan sebagian Jawa Barat sedangkan distributor Bandung untuk memenuhi wilayah pemasaran Jawa Barat. Distribusi tepung terigu substitusi
diilustrasikan seperti Gambar 44.
Gambar 44 Rencana distribusi tepung terigu substitusi
Rencana Pemasok Bahan Baku
Bahan baku terdiri dari gandum keras, gandum lunak, dan tepung tapioka untuk substitusi. Gandum keras dan gandum lunak dicampur dengan
perbandingan 1:1 kemudian digiling untuk menghasilkan tepung dan setelah itu dicampur dengan tepung tapioka. Hasil optimasi tujuan jamak fuzzy pada Bab 6,
pemasok yang optimal untuk gandum keras adalah dari Amerika Serikat, pemasok gandum lunak dari India, dan pemasok tapioka dari Pandeglang. Selain itu
perusahaan dapat membuat alternatif pemasok untuk mengantisipasi apabila terjadi gangguan pasokan atau kenaikan harga dari pemasok tersebut. Alternatif
pemasok gandum keras lain dari Canada, pemasok gandum lunak dari Australia atau Turki, dan pemasok tapioka dapat dari Lampung.
Rencana Produksi dan Operasional
Pabrik yang didirikan adalah pabrik pengolahan tepung terigu dengan substitusi tepung lokal. Bahan baku utama adalah biji gandum yang terdiri dari
gandum lunak dan gandum keras yang kemudian digiling menjadi tepung terigu. Selanjutnya tepung tapioka dicampur ke tepung terigu dengan komposisi 5.66
untuk menghasilkan tepung substitusi.
Mensubstitusi sebagian tepung terigu dengan tepung lokal akan mempengaruhi proses produksi dan operasi pembuatan tepung terigu.
Pencampuran tepung pada studi ini dilakukan pada pabrik tepung terigu sehingga teknologi proses produksi mengguna teknologi pembuatan tepung terigu yang
selama ini digunakan dan ditambah dengan mesin pencampur tepung powder mixer
. Tepung terigu substitusi yag dihasilkan dapat digunakan untuk tepung terigu protein tinggi, sedang dan rendah.
Proses produksi pembuatan tepung terigu substitusi berdasarkan urutan proses produksi tepung terigu ditambah bagian pencampuran tepung terigu dengan
tepung lokal. Tahapan-tahapan proses produksi pembuatan tepung terigu substitusi adalah sebagai berikut:
1. Tahap pembersihan Cleaning process
Pembersihan dimaksudkan untuk menghindarkan benda-benda lain dan berbagai kotoran yang menempel pada butiran biji gandum, dan juga
memisahkan bagian-bagian yang tidak seragam. Pada tahap pembersihan ini, gandum akan melewati beberapa macam mesin seperti classifier saat transfer
dari silo tempat penyimpan biji gandum, magnetic separator, combi cleaner, trieur
, disc carter dan scourer. Classifier memisahkan kotoran dengan range ukuran tertentu. Magnetic separator menjamin biji gandum terhindar dari
berbagai macam partikel besi dan logam yang mungkin terbawa pada saat penerimaan dan penyimpanan. Combi cleaner memisahkan kotoran
berdasarkan berat jenis serta batu, pasir dan lempengan logam. mesin trieur untuk memisahkan benda asing yang berukuran lebih kecil dari butiran biji
gandum. Disc carter berfungsi memisahkan benda asing yang berukuran lebih besar dari biji gandum. Sedangkan scourer bertindak sebagai sikat untuk
merontokkan bulu-bulu halus, debu dan partikel ringan yang menempel pada biji gandum.
2. Tahap tempering Gandum yang telah bersih masuk ke dalam proses tempering. Pada tahap ini
gandum akan disemprot dengan air dengan kadar air tertentu, kemudian didiamkan dalam jangka waktu tertentu. Pemberian sedikit air pada biji
gandum akan melunakkan bagian lapis luar dan butir endosperm sehingga memudahkan dalam penggilingan. Selain itu juga diharapkan adanya
perubahan tekstur dan struktur endosperm, dan juga untuk mendapatkan biji dengan kekerasan kandungan air yang seragam. Lama tempering tergantung
pada jenis biji gandum yang digunakan. Biasanya berkisar antara 18 jam untuk biji gandum lunak kadar protein rendah dan 24-36 jam untuk biji gandum
keras kadar protein tinggi.
3. Tahap penggilingan milling Penggilingan dilakukan untuk memisahkan endosperm dan aleuron cell atau
lapisan bran dan mereduksi endosperm menjadi tepung. Proses penggilingan mekanik menjadikan gandum menjadi tepung, bran dan polard. Tahap ini,
gandum akan melewati beberapa proses yang berulang-ulang seperti proses pemecahan, penggilingan rolling, pengayakan shifting dan pemurnian
purifying. Proses ini memecah dan memisahkan komponen-komponen utama dari gandum dan endosperm menjadi bagian-bagian yang terpisah dan
kemudian menggiling endosperm menjadi tepung terigu.
4. Mixer
Setelah tepung terigu jadi selanjutnya dicampur dengan tepung lokal pada mesin pengaduk tepung powder mixer. Pada tahap ini dilakukan
pencampuran tepung terigu dengan tepung lokal untuk menghasilkan tepung terigu substitusi.