0.518 Generasi ketiga berdasarkan weighted sum dan elitist preserve, yaitu: random

Studi ini mengidentifikasi dan mengukur kinerja rantai pasok tepung lokal yang ada di Jawa Barat untuk mengetahui posisi saat ini untuk mendukung substitusi tepung terigu pada industri terigu. Hasil analisis kinerja sebagai masukan untuk memperbaiki kelembagaan kemitraan rantai pasok tepung lokal. Penelitian sebelumnya mengenai pengukuran kinerja rantai pasok antara lain dilakukan oleh Mutakin dan Hubeis 2011 yang mengukur kinerja rantai pasok produk semen dengan pendekatan Supply Chain Operations Reference SCOR. Oztemel dan Tekez 2009 menggunakan indikator seperti kepuasan pelanggan, margin keuntungan, kualitas produk, laju realisasi siklus produk, dan laju ketanggapan untuk mengukur kinerja rantai pasok. Indikator kinerja tersebut dipengaruhi oleh beberapa komponen meliputi permintaan konsumen, penggunaan kapasitas, kualitas produk, lead time pemasok, pergantian persediaan, harga bahan baku, dan keterlambatan. Arin et al. 2013 mengukur kinerja rantai pasok susu segar pada Pusat Koperasi Industri Susu PKIS Sekar Tanjung Pasuruan dengan pendekatan pembobotan kinerja dengan Analytic Network Process ANP dan rating scale. Kelembagaan merupakan salah satu aspek yang penting untuk kelancaran rantai pasokan suatu barang atau komoditas. Pola kelembagaan diperlukan sebagai sarana untuk mengkoordinasikan semua kegiatan pada rantai pasok mulai dari budidaya, pengolahan pada industri hulu hingga industri hilir. Pada rantai pasok tepung lokal untuk substitusi tepung terigu ini melibatkan beberapa pelaku mulai petani, pengepul, industri pengolahan tepung lokal, industri tepung terigu, distributor hingga ke konsumen. Model kelembagaan antar pelaku rantai pasok perlu dikembangkan untuk menjamin keberlanjutan substitusi tepung lokal terhadap tepung terigu. Model kelembagaan kemitraan petani dengan industri pengolahan tepung lokal yang dikembangkan berupa pertanian kontrak contract farming . Menurut Eaton dan Shepherd 2001, pertanian kontrak merupakan sebuah perjanjian antara petani dan perusahaan untuk produksi dan pemasokan produk-produk pertanian yang diatur di dalam kesepakatan awal, seperti kesepakatan penentuan harga. Patrick et al. 2004 mendefinisikan pertanian kontrak merupakan sebuah sistem intermediasi produksi dan pemasaran, yang membagi risiko produksi dan pemasaran di antara pihak industri agribisnis dengan petani sehingga dapat mengurangi biaya transaksi yang tinggi. Tahapan yang dilakukan untuk pengukuran kinerja dan perancangan kelembagaan rantai pasok meliputi: 1 mengidentifikasi dan menganalisis mekanisme rantai pasok tepung lokal, 2 membuat peta aliran mekanisme rantai pasok serta anggota yang berperan dalam rantai pasok tepung lokal, 3 melakukan pengukuran kinerja pada pelaksanaan manajemen rantai pasok tepung lokal, dan 4 perancangan kelembagaan antara pelaku rantai pasok. Tinjauan Pustaka Pengukuran Kinerja Rantai Pasok Pengukuran kinerja rantai pasok merupakan pemantauan, pengendalian, pengkomunikasian, tujuan orgnisasi ke fungsi-fungsi rantai pasok dalam rangka perbaikan kinerja sehingg rantai pasok dapat berjalan dengan baik, efektif, dan efisien. Pengukuran kinerja rantai pasok dilakukan antara lain bertujuan untuk: 1. Membantu pembuatan keputusan yang lebih baik Mengetahui posisi kinerja rantai pasok saat ini akan membantu pengambil keputusan dalam rangka menyusun strategi peningkatan kinerja rantai pasok. 2. Mendukung terciptanya komunikasi yang lebih baik. Pengukuran kinerja dapat menghasilkan hubungan komunikasi yang lebih baik bagi setiap anggota di rantai, yaitu komunikasi antar departemen perusahaan, komunikasi antara perusahaan dengan suplier, dan komunikasi antara departemen dengan manajemen atas. 3. Menyediakan umpan balik kinerja performance feedback. Pengukuran menyediakan umpan balik kinerja untuk membantu pencegahan atau koreksi masalah-masalah yang teridentifikasi saat proses pengukuran kinerja. Umpan balik juga memberi pengetahuan mengenai seberapa bagus pembeli, tim, atau suplier apakah kinerjanya sesuai atau tidak. Berdasarkan review dilakukan oleh Setiawan et al. 2011, beberapa metode yang telah digunakan untuk pengukuran kinerja rantai pasok antara lain: metode Supply Chain Operations Reference SCOR yang dikenalkan oleh Supply Chain Council , metode Balanced Scorecard BSC, Activity Based CostingABC, Multi-criteria Analysis MCA, Life Cycle Analysis LCA, Data Envelopment Analysis DEA. Pada studi ini kinerja rantai pasok tepung lokal diukur menggunakan metode SCOR dan Analytical Hierarchy Process AHP untuk pembobotan metriks. Supply Chain Operations References SCOR SCOR Supply Chain Operations Reference adalah suatu model referensi proses yang dikembangkan oleh Dewan Rantai Pasok Supply chain Council sebagai alat analisis pengukuran kinerja manajemen rantai pasok. SCOR dapat digunakan untuk mengukur kinerja rantai pasok perusahaan, meningkatkan kinerjanya, dan mengkomunikasikan kepada pihak-pihak yang terlibat didalamnya. SCOR merupakan alat manajemen yang mencakup semua pelaku, mulai dari pemasoknya pemasok, hingga ke konsumennya konsumen. Metode SCOR merupakan suatu metode sistematis yang mengkombinasikan elemen-elemen seperti; teknis bisnis, patok duga, dan praktek terbaik untuk diterapkan dalam rantai pasok. Kombinasi dari elemen-elemen tersebut diwujudkan ke dalam suatu kerangka kerja yang komprehensif sebagai referensi untuk meningkatkan kinerja manejemen rantai pasok perusahaan tertentu Supply Chain Council , 2011. Sebagai sebuah model referensi maka pada dasarnya model SCOR didasarkan pada tiga pilar utama, yaitu: 1. Pemodelan proses: referensi untuk memodelkan suatu proses rantai pasok agar lebih mudah diterjemahkan dan dianalisis. 2. Pengukuran kinerja: referensi untuk mengukur kinerja suatu rantai pasok perusahaan sebagai standar pengukuran. 3. Penerapan praktek-praktek tebaik best practices: referensi untuk menentukan best practices yang dibutuhkan oleh perusahaan. Sub-elemen atribut kinerja dan metrik kinerja pada pengukuran kinerja dengan teknik SCOR dapat dilihat pada Tabel 30. Penelitian sebelumnya yang menggunakan metode SCOR untuk mengukur kinerja rantai pasok antara lain oleh Mutakin dan Hubeis 2011 yang mengukur rantai pasok komoditas semen. Setiawan et al. 2011 mengkombinasikan metode SCOR dan fuzzy AHP untuk merancang metrik pengukuran kinerja dan kemudian menggunakan metode DEA untuk mengukur kinerja rantai pasok sayuran di dataran tinggi Jawa Barat. Sidarto 2008 menggunakan model performance of activity POA untuk mengukur biaya, waktu, kapasitas, produktivitas, utilitas, dan keluaran. Selain itu, Sidarto 2008 juga menggunakan model SCOR untuk mengukur keandalan, ketanggapan, fleksibilitas, biaya dan aset-aset. Kelembagaan Eaton and Shepherd 2001 membagi pertanian kontrak ke dalam lima 5 tipe, yaitu: 1. Centralized model model tersentralisasi, yaitu model yang terkoordinasi secara vertikal, dimana sponsor membeli produk dari para petani dan kemudian memprosesnya atau mengemasnya dan memasarkan produknya. Kuota produksi ditentukan sejak awal musim tanam, hal ini disertai dengan pengendalian yang ketat terhadap mutu. 2. Nucleus estate model model inti-plasma, yaitu variasi dari model terpusat, dimana dalam model ini sponsor dari proyek juga memiliki dan mengatur tanah perkebunan yang biasanya dekat dengan pabrik pengolahan. Umumnya sistem ini diterapkan pada tanaman perkebunan, tetapi juga bisa diterapkan untuk peternakan sapi perahan. Contoh: perkebunan kelapa sawit di wilayah transmigrasi dan peternakan sapi perahan di Indonesia, perkebunan teh di India, Nepal dan Srilangka. 3. Multipartite model model multipihak, yaitu biasanya melibatkan badan hukum dan perusahaan swasta yang secara bersama berpartisipasi bersama Tabel 30 Atribut kinerja rantai pasok metode SCOR Atribut kinerja Definisi Metrik kinerja Reliabilitas Kinerja rantai pasok dalam mengirimkan produk dengan tepat, pada tempat yang tepat, pada waktu yang tepat, dengan jumlah yang tepat, dan terdokumentasi dengan baik. - Pesanan terkirim penuh - Ketepatan Pengiriman - Kondisi barang sempurna Responsivitas Kecepatan rantai pasok dalam menyediakan produk ke konsumen. - Waktu siklus memperoleh bahan baku - Waktu siklus pengolahan Agilitas Kemampuan rantai pasok dalam merespon perubahan pasar dalam upaya memenangkan persaingan pasar. - Kemampuan perubahan kapasitas produksi - Fleksibilitas kecepatan produksi Biaya Biaya-biaya yang berhubungan dengan pengoperasian rantai pasok. - Biaya pengolahan - Biaya perawatan Aset Kemampuan untuk secara efisien memanfaatkan aset. - Siklus balik modal para petani. Contoh: di Cina, dimana departemen pemerintah, komite kota, dan perusahaan-perusahaan asing bersama-sama menyepakati kontrak dengan desa dan petani secara individual. 4. Informal model, yaitu model yang biasanya diaplikasikan terhadap wiraswasta perseorangan atau perusahaan kecil yang biasanya membuat kontrak produksi informal yang mudah dengan para petani berdasarkan musiman terutama untuk produk sayuran dan buah-buahan tropis. Contoh supermarket seringkali membeli produk segar dari para petani individual. 5. Intermediary model, yaitu suatu perusahaan memperolehmembeli bahan baku melalui perantara seperti kolektor, koperasi atau kelompok petani. Contoh di Thailand, perusahaan makanan olahan membeli bahan baku dari para kolektor individual atau kelompok petani yang membuat pengaturan informal dengan pihak petani dimana di Indonesia disebut dengan plasma. Menurut Daryanto 2012 di Indonesia secara umum mengenal empat tipe kontrakkemitraan pertanian, yaitu: 1. Kemitraan inti plasma yaitu hubungan kemitraan antara kelompok mitra yang disebut plama dengan perusahaan mitra yang disebut inti. Perusahaan mitra membina kelompok mitra dalam hal menyediakan lahan, penyediaan sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi, perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha. Keunggulan dari sistem inti plasma diantaranya adalah terciptanya saling ketergantungan dan saling memperoleh keuntungan serta terciptanya peningkatan usaha karena adanya pembinaan dari perusahaan inti. Kelemahan dari sistem inti plasma antara lain pihak plasma masih kurang memahami hak dan kewajibannya sehingga kesepakatan yang telah ditetapkan berjalan kurang lancar serta belum adanya kontrak kemitraan yang menjamin hak dan kewajiban komoditas plasma sehingga terkadang pengusaha inti mempermainkan harga komoditas plasma. 2. Kemitraan sub kontrak, yaitu hubungan kemitraan antar kelompok mitra dengan perusahaan mitra dimana kelompok mitra memproduksi komponen yang diperlukan oleh perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya. 3. Tipe dagang umum, yaitu hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra, dimana kelompok mitra memasok kebutuhan perusahaan mitra sesuai dengan persyaratan yang ditentukan. 4. Pola kerjasama operasional, yaitu pola kemitraan yang dijalankan oleh kelompok mitra dengan perusahaan mitra. Kelompok mitra adalah kelompok yang menyediakan lahan, sarana dan tenaga kerja. Sedangkan perusahaan mitra menyediakan biaya, modal, manajemen dan pengadaaan sarana produksi lainnya. Perusahaan mitra juga sebagai penjamin pasar dengan meningkatkan nilai tambah produk melalui pengolahan. Tipe pertanian kontrak berdasarkan jenis kontrak yang dirumuskan oleh Wilson tahun 1986 dikutip dari Rustiani et al. 1997 ada tiga 3 tipe, yaitu: 1. Kontrak pemasaran Pada tipe kontrak ini perusahaan inti hanya menentukan jenis dan jumlah produksi pertanian yang harus diserahkan. Biasanya dalam kontrak tipe ini, pihak inti tidak memperkenalkan cara atau teknik tertentu dalam proses produksi serta tidak harus memberikan sarana penunjang produksi bagi petani. Kontrak ini lebih merupakan perjanjian untuk membeli hasil produksi petani kelak. Pada tipe kontrak ini, petani lebih bebas bekerja sesuai dengan keinginannya, tetapi di bawah kendali perusahaan inti. 2. Kontrak produksi Pada tipe kontrak ini pihak inti terlibat dalam proses produksi berupa menentukan jenis dan jumlah komoditas dibudidaya, juga menentukan jenis varietas dan metode produksi. Pihak inti biasanya memberikan bantuan teknis dan menyediakan sarana produksi. 3. Integrasi vertikal Pada sistem kontrak ini, semua proses produksi berada dalam kendali perusahaan inti yang menguasai seluruh alat produksi dan hasil produksi, kecuali tenaga kerja. Sementara itu, posisi petani setara dengan pekerja pengawas sewaan atau bahkan hanya sebagai pekerja borongan. Contoh: PT. Salim Ivomas Pratama, Tbk. adalah perusahaan yang bergerak pada penyulingan minyak crude palm oil CPO yang menghasil produk minyak goreng sawit dan margarin. Untuk mendukung kontinuitas pasokan bahan baku, perusahaan melakukan integrasi secara vertikal dengan usaha perkebunan sawit dan pabrik CPO. Pada integrasi vertikal perusahaan dapat memperoleh pasokan bahan baku yang cepat dengan harga yang stabil dan murah sehingga dengan strategi ini perusahaan dapat menekan biaya bahan baku. Saptana et al. 2006 memperkenalkan beberapa pola kemitraan usaha partnership pada rantai pasokan produk pertanian yang umum, antara lain1 Pola kemitraan dagang umum, pada pola ini terjadinya kontrak kerjasama biasanya terjadi pada tingkat supplier midle man dengan super market, restauran dan hotel, juga dengan pedagang besar di tujuan-tujuan pasar; 2 Pola kemitraan kontrak pertanian antara perusahan industri dengan petani atau kelompok tani 3 Pola kemitraan rantai pasok dalam kerangka pengembangan Sub-Terminal Agribisnis STA dan pasar lelang, 5 Pola kemitraan petanikelompok tani dengan pedagang mitra; serta 6 Pola kemitraan kelompok tani dengan perusahaan pengolahan. 7 Pola kemitraan dalam menyediakan modal. Kemitraan petani dengan perusahaan dapat berupa perusahaan industri pengolahan, pedagang suppliervendor, perusahaan ekspor-impor atau perusahaan lainnya berperan menyediakan kebutuhan sarana produksi petani berupa bibit berkualitas, pupuk, dan sarana produksi lainnya sesuai kesepakatan yang tepat, yaitu tepat jumlah, tepat kualitas, tepat tempat, tepat waktu, tepat dosis, dan tepat harga yang ditetapkan dengan kesepakatan. Pengambil Keputusan dengaan Analytical Hierarchy Process AHP Metode AHP dikembangkan oleh dikembangkan oleh Saaty 1980 merupakan metode pengambilan keputusan multi kriteria baik kuantitatif maupun kualitatif. AHP ditujukan untuk memodelkan persoalan-persoalan tak terstruktur dan kompleks yang meliputi bidang ekonomi, sosial, maupun manajemen sains. Tahapan-tahapan penyelesaian permasalahan dengan menggunakan metode AHP adalah sebagai berikut: 1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan. 2. Membuat struktur hierarki yang diawali dengan tujuan utama. Pada tahap ini ditentukan tujuan yang ingin dicapai dan elemen-elemen pada setiap hierarki. Elemen hierarki terdiri dari faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian tujuan, pelaku yang mempengaruhi faktor dan elemen hierarki alternatif pemecahan masalah 3. Membuat matriks perbandingan berpasangan. Matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap tujuan atau kriteria yang setingkat di atasnya. Perbandingan dilakukan berdasarkan penilaian dari pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan suatu elemen dibandingkan elemen lainnya. Untuk memulai proses perbandingan berpasangan dipilih sebuah kriteria dari level paling atas hierarki misalnya K dan kemudian dari level di bawahnya diambil elemen yang akan dibandingkan misalnya E1,E2,E3,E4,E5. 4. Mendefinisikan perbandingan berpasangan Perbandingan berpasangan didefinsikan sehingga diperoleh jumlah penilaian seluruhnya sebanyak n x [n-12] buah dengan n adalah banyaknya elemen yang dibandingkan. Skala perbandingan berpasangan antara 1-9 yang diperkenalkan oleh Saaty 1980 dimana mempunyai makna seperti ditunjukkan pada Tabel 31. 5. Membuat matriks pendapat gabungan Pendapat gabungan diperoleh dengan cara menggabungkan matriks pendapat individu para pakar memakai rata-rata geometrik. Formulasi rata-rata geometrik adalah: √∏ 7.1 dimana: g ij = nilai matriks pendapat gabungan perbandingan tingkat kepentingan elemen ke-i terhadap elemen ke-j a ij = nilai matriks pendapat individu tentang perbandingan tingkat kepentingan elemen ke-i terhadap elemen ke-j k = individu ke-k k= 1, 2, ..., m 6. Menghitung vektor eigen dari setiap matriks perbandingan berpasangan Vektor eigen merupakan bobot setiap elemen untuk penentuan prioritas elemen-elemen pada tingkat hierarki terendah sampai mencapai tujuan. Penghitungan dilakukan lewat cara menjumlahkan nilai setiap kolom dari Tabel 31 Nilai perbandingan berpasangan pada metode AHP Nilai perbandingan berpasangan Definisi 1 Kedua elemen sama pentingnya 3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dari pada elemen yang lainnya, 5 Elemen yang satu lebih penting dari pada yang lainnya 7 Elemen yang satu jelas lebih penting dari pada elemen lainnya 9 Elemen yang satu mutlak lebih penting dari pada elemen lainnya 2, 4, 6, 8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan-pertimbangan yang berdekatan, matriks, membagi setiap nilai dari kolom dengan total kolom yang bersangkutan untuk memperoleh normalisasi matriks, dan menjumlahkan nilai-nilai dari setiap baris dan membaginya dengan jumlah elemen untuk mendapatkan rata-rata. 7. Memeriksa rasio konsistensi hierarki Jika tidak memenuhi dengan CR 0,10 maka penilaian harus diulang kembali. Untuk menentukan rasio konsistensi pertama dihitung indeks konsistensi dengan formula: 7.2 Selanjutnya nilai rasio konsistensi dapat dihitung dengan rumus: 7.3 Dimana RI= nilai random indeks nilai eigen Nilai CI menyatakan penyimpangan dari konsistensi atau disebut juga ukuran dari inkonsistensi, RI adalah nilai indeks konsistensi random dan merupakan nilai eigen maksimum. Nilai RI diperoleh dari tabel Oardkridge pada Tabel 32 dengan N = jumlah elemen alternatif atau kriteria. Fuzzy Analytical Hierarchy Processing FAHP Pemilihan pola kemitraan dilakukan dengan menggunakan pendekatan fuzzy analytical hierarchy process FAHP. Penggunaan fuzzy pada AHP dimaksudkan untuk mengatasi ketidaktepatan dalam mempertimbangkan penilaian yang muncul akibat keterbatasan dan ketidakmampuan para responden pakar. Teori himpunan fuzzy pertama kali dikenalkan oleh Zadeh 1965 yang merupakan perluasan dari pengertian himpunan klasik untuk mengatasi kesamaran pikiran manusia. Pada teori himpunan klasik, unsur-unsur keanggotaan dalam himpunan dinilai dalam hal biner menurut kondisi bivalen-elemen baik termasuk atau tidak termasuk dalam himpunan. Sebaliknya, teori himpunan fuzzy memungkinkan penilaian bertahap dari keanggotaan elemen dalam himpunan, digambarkan dengan bantuan sebuah fungsi keanggotaan yang dinilai dalam unit nyata interval [0,1]. Teori himpunan fuzzy memiliki kemampuan mempresentasikan data yang samar. Fungsi keanggotaan himpunan-himpunan fuzzy yang mempunyai bentuk ̃ : R[0,1] dengan jelas mempunyai pengertian kuantitatif dan dapat dilihat sebagai bilangan fuzzy. Untuk memenuhi kebutuhan pemodelan masalah fuzzy, beberapa model bilangan fuzzy yang telah digunakan oleh peneliti antara lain bilangan fuzzy segitiga, bilangan fuzzy trapesium, dan bilangan fuzzy R-L. Pada penelitian ini menggunakan bilangan fuzzy segitiga. Jika x, α, , , Є R, dimana R adalah himpunan bilangan real. Bilangan fuzzy ̃ didefinisikan sebagai bilangan fuzzy segitiga jika fungsi keanggotaan seperti yang diuraikan pada persamaan 7.4 dan grafik bilangan keanggotaan fuzzy segitiga ditunjukkan pada Gambar 30. Tabel 32 Nilai indeks random RI pada tabel Oardkridge N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 RI 0.0 0.0 0.58 0.9 1.12 1.24 1.32 1.41 1.45 1.49 1.51 1.56 ̃ { 7.4 Penelitian tentang FAHP sebelumnya antara lain dilakukan oleh Kahraman et al. 2003 untuk pemilihan supplier dengan multi kriteria. Lee et al. 2012 menggunakan FAHP untuk pemilihan supplier dalam rantai pasok hijau. Kahraman et al. 2004 mengunakan FAHP pemilihan perusahaan katering yang memenuhi kepuasan pelanggan. Chang dan Yang 2011 menggunakan FAHP untuk menentukan kesukaan terhadap atribut produk berdasarkan pilihan konsumen. Beberapa penelitian FAHP yang telah disebutkan diatas umumnya menggunakan bilangan fuzzy segitiga untuk penilaian perbandingan berpasangan dan penurunan bobot vektor. Tahapan metode FAHP menurut Javanbarg et al. 2012 adalah sebagai berikut: 1. Pembuatan struktur hierarki. Pembuatan struktur hierarki sama dengan struktur AHP kovensional. Pada tahap ini ditentukan tujuan yang ingin dicapai dan elemen-elemen pada setiap hierarki. Elemen hierarki terdiri dari faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian tujuan, pelaku yang mempengaruhi faktor dan elemen hierarki alternatif pemecahan masalah. Setelah identifikasi sistem selesai maka dibuat struktur hierarki dengan melakukan abstraksi antara komponen dan dampak- dampaknya pada sistem. 2. Pengembangan matriks perbandingan fuzzy berpasangan. Mempertimbangkan permasalahan prioritas pada suatu tingkat dengan n elemen, dimana penilaian perbandingan berpasangan dipresentasikan dengan bilangan fuzzy segitiga yaitu ̃ . Seperti AHP konvensional, setiap himpunan perbandingan untuk suatu level nembutuhkan nn-12 penilaian yang mana lebih lanjut digunakan untuk membangun matriks perbandingan timbal balik fuzzy positif { ̃ } seperti berikut: ̃ [ ̃ ̃ ̃ ̃ ̃ ̃ ] 7.5 Gambar 30 Grafik fungsi keanggotaan bilangan fuzzy segitiga dengan ̃ = 1 jika i=j, dan ̃ = ̃ ̃ ̃ ̃ ̃ atau ̃ , ̃ , ̃ , ̃ , ̃ jika i≠ j. Jaganathan et al. 2007 memberikan fungsi keanggotaan untuk setiap atribut kepentingan dengan model representasi bilangan fuzzy segitiga, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 33. 3. Memeriksa konsistensi penilaian pengambil keputusan Langkah ini memeriksa konsistensi dan mengekstra prioritas dari matriks perbandingan berpasangan. Pada matriks perbandingan berpasangan. Menurut Buckley 1985 matriks berbandingan berpasangan fuzzy ̃ adalah konsisten jika ̃ ̃ ̃ , dimana i, j, k = 1, 2, . . . , n, dan adalah perkalian fuzzy, dan menotasikan persamaan fuzzy. Jika matriks perbandingan berpasangan dinyatakan konsisten maka prioritas fuzzy ̃ dapat dihitung dengan metode AHP konvensional. Vektor prioritas w 1 , w 2 , . . . , w n T dapat diperoleh dari mariks perbandingan dengan mengaplikasikan metode penentuan prioritas. Memeriksa konsistensi dapat menggunakan consistency ratio CR untuk perkiraan secara langsung konsistensi dari perbandingan berpasangan. CR dihitung dengan membagikan CI dengan nilai tabel dari Random Consistency Index RI. Selanjutnya nilai rasio konsistensi dapat dihitung menggunakan persamaan 7.2 dan 7.3. 4. Agregasi prioritas dan perangkingan alternatif. Langkah akhir mengagregasi prioritas lokal yang ditentukan pada level berbeda hieraki keputusan ke bentuk prioritas global gabungan untuk alternatif-alternatif berdasarkan metode jumlah terbobot weighted sum. Jika ada alternatif i dan kriteria j, kemudian prioritas global akhir dari alternatif i diberikan sebagai: ∑ 7.6 Dimana w j adalah bobot kriteria j dan a ij adalah evaluasi alternatif A i terhadap kriteria j. Semakin tinggi nilai A i , alternatif semakin lebih baik. Interpretative Structural Modelling ISM Interpretative structural modelling merupakan suatu proses yang mentransformasikan sistem yang tidak jelas dan tidak terstruktur ke bentuk sistem yang sistematis dan komprehensif untuk mencapai tujuan yang diharapkan Sage 1977. Sistem yang sedang ditelaah penjenjangan strukturnya dibagi menjadi elemen-elemen dimana setiap elemen selanjutnya diuraikan menjadi sejumlah sub-elemen sampai memadai. Teknik ISM memberikan basis analisis dimana Tabel 33 Penilaian fuzzy AHP dengan model TFN AHP Konvensional Fungsi Keanggotaan fuzzy Atribut A elemen baris, B elemen kolom 1 ̃ 1-δ, 1, 1+ δ A Sama Penting dengan B 3 ̃ 3-δ, 3, 3+ δ A Sedikit lebih penting dari B 5 ̃ 5-δ, 5, 5+ δ A Lebih penting dari B 7 ̃ 7-δ, 7, 7+ δ A Sangat jelas lebih penting dari B 9 ̃ 9-δ, 9, 9+ δ A Mutlak lebih penting dari B informasi yang dihasilkan sangat berguna dalam formulasi kebijakan serta perencanaan strategis. Menurut Saxena et al. 1992, program dapat dibagi menjadi sembilan elemen yaitu: 1. Sektor masyarakat yang terpengaruh 2. Kebutuhan dari program 3. Kendala utama 4. Perubahan yang dimungkinkan 5. Tujuan dari program 6. Tolok ukur untuk menilai setiap tujuan 7. Aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan 8. Ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap aktivitas 9. Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program Langkah-langkah identifikasi hubungan antar sub-elemen dalam suatu sistem yang kompleks dengan metode ISM berdasarkan Saxena et al. 1992 seperti ditunjukkan pada Gambar 31 atau diuraikan sebagai berikut: 1. Identifikasi elemen-elemen sistem. Elemen-elemen sistem dan sub-elemennya sistem diidentifikasi dan didaftar. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui penelitian, brainstorming atau lainnya. 2. Penetapan hubungan kontekstual antar elemen. Hubungan kontekstual antar elemen atau sub-elemen ditetapkan sesuai dengan tujuan dari pemodelan. 3. Pembentukan Structural Self Interaction Matrix SSIM. Matriks ini merupakan hasil persepsi pakar responden terhadap hubungan kontekstual antar elemen atau antar sub-elemen. Empat macam simbol untuk menyajikan tipe hubungan yang ada adalah: - Simbol V untuk menyatakan adanya hubungan kontekstual yang telah ditetapkan di atas antara elemen Ei terhadap elemen Ej, tetapi tidak sebaliknya. - Simbol A untuk menyatakan adanya hubungan kontekstual yang telah ditetapkan di atas antara elemen Ej terhadap elemen Ei, tetapi tidak sebaliknya. - Simbol X untuk menyatakan adanya hubungan kontekstual yang telah ditetapkan di atas secara timbal balik antara elemen Ei dengan elemen Ej. - Simbol O untuk menyatakan tidak adanya hubungan kontekstual yang telah ditetapkan diatas antara elemen Ei dan elemen Ej. 4. Pembentukan Reachability Matrix RM Matriks ini adalah matriks biner hasil konversi dari SSIM dengan aturan konversi SSIM menjadi RM adalah: a. Jika simbol dalam SSIM adalah V maka nilai Eij = 1 dan nilai Eji = 0 dalam RM b. Jika simbol dalam SSIM adalah A maka nilai Eij = 0 dan nilai Eji = 1 dalam RM c. Jika simbol dalam SSIM adalah X maka nilai Eij = 1 dan nilai Eji = 1 dalam RM d. Jika simbol dalam SSIM adalah O maka nilai Eij = 0 dan nila Eji = 0 dalam RM Matriks RM awal perlu dimodifikasi untuk menunjukkan direct dan indirect reachability , yaitu kondisi dimana jika Eij = 1 dan Ejk = 1 maka Eik = 1. Eij adalah kondisi hubungan kontekstual antara elemen Ei terhadap elemen Ej. Dari matriks RM yang telah dimodifikasi didapat nilai Driver Power DP dan nilai dependence D. Berdasarkan nilai DP dan D, elemen-elemen dapat diklasifikasikan kedalam 4 sektor, yaitu: a. Sektor autonomous yaitu sektor dengan nilai DP rendah dan nilai D rendah. Elemen-elemen yang masuk dalam sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem atau memiliki hubungan sedikit. b. Sektor dependent yaitu sektor dengan nilai DP rendah dan nilai D tinggi. Elemen yang masuk dalam sektor ini elemen yang tidak bebas dalam sistem dan sangat tergantung pada elemen lain. c. Sektor linkage yaitu sektor dengan nilai DP tinggi dan nilai D tinggi. Elemen yang masuk dalam sektor ini harius dikaji secara hati-hati karena perubahan pada elemen tersebut akan berdampak pada elemen lainnya dan yang pada akhirnya akan kembali berdampak pula pada elemen tersebut. Gambar 31 Diagram Teknik ISM Saxena et al. 1992 d. Sektor independent yaitu sektor dengan nilai DP tinggi dan nilai D rendah. Elemen yang masuk dalam sektor ini dapat dianggap sebagai elemen bebas. Setiap perubahan dalam elemen ini akan berimbas pada elemen lainnya sehingga elemen-elemen dalam sektor ini juga harus dikaji secara hati-hati. 5. Pembuatan level partitioning. Elemen-eleman diklasifikasikan kedalam level yang berbeda dari struktur ISM yang akan dibentuk. Untuk tujuan ini dua perangkat diasosiasikan dengan setiap elemen dalam sistem, yaitu reachability set Ri yang merupakan set elemen-elemen yang dapat dicapai oleh elemen Ei, dan antecedent set Ai yang merupakan set elemen-elemen dimana elemen Ei dapat dicapai. 6. Pembentukan canonical matrix. Elemen-elemen dengan level yang sama dikelompokkan untuk digunakan sebagai persiapan digraph. 7. Digraph. Digraph adalah sebuah grafik dari elemen-elemen yang saling berhubungan secara langsung, dan level hierarki. 8. Interpretive Structural Model. ISM dibangkitkan dengan memindahkan seluruh jumlah elemen dengan deskripsi elemen aktual. Integrasi Teknik ISM dan Pengambilan keputusan Kriteria Jamak Penggabungan teknik ISM dan pengambilan keputusan kriteria jamak PKKJ telah banyak dilakukan pada penelitian sebelumnya untuk menyelesaikan berbagai permasalahan. Penggabungan teknik ISM dengan PKKJ lainnya dimaksudkan untuk mengakomodir berbagai masukan dan kemudian masukan dari metode tersebut disintesis untuk pengambilan keputusan yang diinginkan. Saptono et al. 2010 menggunakan teknik ISM dan AHP untuk mendesain lembaga pembiayaan pertanian nasional. Mereka menggunakan teknik ISM untuk mendapatkan elemen kunci dan keterkaitan antara elemen kelembagaan, kemudian AHP digunakan untuk menentukan alternatif model kelembagaan pembiayaan yang tepat. Jaya et al. 2011 mengintegrasikan teknik ISM dan fuzzy multi-expert multi-criteria decision making ME-MCDM untuk mengidentifikasi posisi pemangku kepentingan dan alternatif kegiatan untuk perbaikan mutu kopi Gayo. Teknik ISM digunakan untuk menganalisis pemangku kepentingan yang berperan dan fuzzy ME-MCDM digunakan untuk menentukan strategi untuk perbaikan putu kopi Gayo. Hasil ISM dapat juga digunakan sebagai input teknik PKKJ lainnya atau sebaiknya. Saleeshya et al. 2012 mengintegrasikan ISM dan AHP untuk mengukur agilitas rantai pasok industri tekstil di India. AHP digunakan untuk merangking faktor yang berkontribusi terhadap agilitas rantai pasok industri tekstil dan teknik ISM digunakan untuk menganalisis keterkaitan antar sub- elemen untuk setiap faktor tersebut. Thakkar 2007 menggunakan teknik ISM dan analytical network process ANP untuk mengembangkan balanced scorecard dimana hasil ISM digunakan sebagai input ANP. Beikkhakhian et al. 2015 menggunakan teknik ISM, AHP, dan TOPSIS untuk memilih pemasok yang tangkas. ISM digunakan untuk mengevaluasi kriteria pemasok tangkas dan selanjut memilih supplier dengan teknik AHP dan TOPSIS. Metode Pengukuran kinerja rantai pasok tepung lokal dimaksudkan untuk mengetahui posisi rantai pasok sekarang sebagai masukan untuk mengembangkan kelembagaan pelaku rantai pasok tepung lokal dan pelaku industri tepung terigu. Pengukuran kinerja rantai pasok tepung lokal dilakukan pada wilayah Jawa Barat khususnya Kabupaten Bogor. Model kelembagaan rantai pasok yang dikembangkan pada penelitian ini adalah pola kemitraan antara petani dan industri pengolahan tepung lokal serta kemitraan antara industri pengolahan dan industri tepung terigu. Pola kelembagaan antara petani dan industri tepung lokal berupa pertanian kontrak. Kelembagaan antara industri lokal dan industri tepung terigu berupa hubungan kemitraan antara pemasok bahan baku dan industri perusahaan. Kelembagaan dalam rantai pasok tepung terigu dengan substitusi tepung lokal ini bertujuan untuk menjamin keberlanjutan substitusi tepung terigu pada industri terigu. Tahapan-tahapan yang digunakan pengukuran kinerja rantai pasok dan merancang model kelembagaan ini adalah: 1. Mengidentifikasi dan menganalisis mekanisme rantai pasok tepung lokal. 2. Membuat peta aliran mekanisme rantai pasok serta anggota yang berperan dalam rantai pasok tepung lokal. 3. Melakukan pengukuran kinerja pada pelaksanaan manajemen rantai pasok tepung lokal dengan metode SCOR dan mengintegrasikan dengan AHP untuk pembobotan elemen-elemen kinerja terkait. 4. Perancangan kelembagaan antara pelaku rantai pasok. Tahapan-tahapan perancangan kelembagaan rantai pasok dengan tahapan meliputi: a. Mengumpulkan informasi tentang model kelembagaan yang sudah ada dilakukan pengamatan lapangan, wawancara pakar dan studi tentang model kelembagaan yang sudah ada melalui benchmarking. b. Mengumpulkan informasi tentang pelaku atau stakeholder yang terlibat, dilakukan dengan pengamatan lapangan dan wawancara pakar. c. Mengidentifikasi elemen-elemen untuk keperluan kuisioner Interpretative Structural Modeling ISM. Identifikasi dilakukan melalui pendapat pakar dan studi pustaka. Pakar yang diperlukan adalah mewakili pemerintahan Kementerian Pertanian, peneliti, akademisi dan pelaku rantai pasok. d. Mempersiapkan kuisioner ISM dan melakukan wawancara pada pakar untuk mendapatkan informasi elemen kunci kelembagaan. e. Pengolahan data ISM dilakukan untuk menentukan struktur sistem kelembagaan dengan mendefinisikan elemen sistem dan menentukan hubungan antara elemen sehingga membentuk suatu sistem kelembagaan. ISM juga digunakan untuk mendapatkan elemen kunci sukses suatu kelembagaan. f. Alternatif model kelembagaan ditentukan dengan melakukan kajian-kajian terhadap pola kelembagaan yang sudah ada kemudian dipilih yang terbaik dengan menggunakan metode FAHP. g. Rekomendasi model kelembagaan pelaku bisnis industri tepung terigu dengan pelaku bisnis tepung lokal dilakukan dengan wawancara mendalam dan studi pustaka. Pengukuran Kinerja Rantai Pasok Tepung Lokal Pada studi ini, pengukuran kinerja rantai pasok dilakukan pada industri tepung lokal di Jawa Barat dalam rangka mendukung substitusi tepung terigu. Industri tepung lokal yang dianalisis meliputi tepung tapioka dan tepung mocaf. Hasil optimasi tujuan jamak pada kondisi deterministik maupun tidak pasti pada bab 5 dan 6 menunjukkan bahwa tepung tapioka yang memberikan hasil yang optimal. Namun aplikasi pada industri tepung terigu memungkinkan tepung mocaf digunakan untuk substistusi atau campuran tepung tapioka dan mocaf. Sebelum mocaf diaplikasikan untuk menggantikan tepung terigu terlebih dahulu diukur kinerja rantai pasok. Kinerja rantai pasok tepung lokal perlu diukur secara tepat sesuai dengan karakteristik aktivitas di dalamnya melalui observasi lapangan. Perancangan metrik pengukuran kinerja diperlukan sebelum melakukan pengukuran kinerja agar hasil yang diperoleh mencerminkan kondisi perusahaan saat ini. Perancangan model pengukuran kinerja rantai pasok ini berdasarkan model SCOR Supply Chain Operation Reference yang dikembangkan oleh SCC Supply Chain Council , 2012. Elemen-elemen pengukuran kinerja yang dinilai meliputi proses bisnis, parameter kinerja, atribut dan metrik pengukuran kinerja rantai pasok yang dimodelkan ke bentuk hierarki keputusan AHP seperti ditunjukkan pada Gambar 32. Struktur Jaringan Rantai Pasok Tepung Tapioka Secara umum struktur rantai pasok tepung tapioka di Jawa Barat digambarkan seperti Gambar 6 pada Bab 4. Pelaku rantai pasok tepung tapioka pada bagian hulu adalah petani sebagai pemasok bahan baku. Pelaku tapioka kasar memperoleh ubi kayu dapat langsung dari petani atau melalui pengepul. Tapioka kasar yang dihasilkan oleh pabrik tapioka kasar dikirim ke pabrik tapioka halus untuk dilakukan penepungan. Tapioka halus yang dihasilkan selanjutnya didistribusikan ke pabrik pemakai langsung tapioka dan distributor. Struktur Jaringan Rantai Pasok Tepung Mocaf Secara umum struktur jaringan rantai pasok tepung mocaf dapat dilihat pada Gambar 7 pada Bab 4. Petani dapat sebagai pemasok bahan baku ubi kayu basah atau pemasok bahan baku berbentuk chip yang sudah difermentasi. Bahan baku dari petani selanjutnya diolah menjadi tepung mocaf pada industri pengolahan mocaf dan selanjutnya didistribusikan ke UKM atau industri makanan berbasis mocaf. Pembobotan Metrik Kinerja Rantai Pasok dengan AHP Pembobotan metrik kinerja rantai pasok tepung lokal dilakukan dengan menggunakan metode AHP yang terdiri dari level tujuan, proses bisnis, parameter kinerja, atribut kinerja, dan metrik kinerja. Pembobotan dengan AHP dilakukan berdasarkan pendapat pakar yang terdiri dari akademisi, praktisi, dan peneliti dilihat yang daftar selengkapnya ditunjukkan pada Lampiran 3. Pengolahan data pembobotan metrik kinerja rantai pasok tepung lokal dilakukan dengan bantuan software Expert Choice dengan hasil agregat pendapat para pakar dapat dilihat pada Lampiran 14. Perhitungan bobot setiap level hierarki AHP dapat dilihat pada Lampiran 15 dan dirangkum seperti pada pada Gambar 32. Proses bisnis yang paling penting pada rantai pasok tepung lokal adalah pengiriman produk dengan waktu, jumlah dan kualitas tepat dengan bobot 0.325. Mengurangi risiko rantai pasok merupakan parameter kinerja rantai pasok yang paling penting dengan bobot 0.452. Apabila risiko-risiko yang mungkin terjadi dapat dikurangi atau dicegah maka dapat mendukung proses bisnis berjalan dengan baik. Berdasarkan pendapat para pakar bahwa atribut kinerja rantai pasok tepung lokal yang terpenting adaah responsivitas dengan bobot 0.297. Responsivitas merupakan kecepatan rantai pasok dalam menyediakan produk bagi konsumen. Waktu atau kecepatan pemenuhan pesanan merupakan metrik kinerja yang paling penting dengan bobot 0.210. Bobot metrik kinerja yang tertinggi memerupakan prioritas dalam rantai pasok untuk diperbaiki dan ditingkatkan kinerjanya. Sedangkan bobot metrik kinerja yang sangat kecil bukan prioritas dalam rantai pasok. Pelaku usaha tepung tapioka kasar di Jawa Barat umumnya merupakan industri skala kecil yang menghasilkan tapioka kasar dibawah 1 tonhari dimana dengan jumlah tersebut tidak dapat memenuhi permintaan dari pabrik tapioka halus. Hal ini menyebabkan pelaku tapioka halus di Jawa Barat banyak membeli tapioka kasar dari Lampung. Pengukuran kinerja rantai pasok pada agroindustri tepung lokal diperoleh dari data aktual pihak terkait dan hasil pembobotan metrik pengukuran kinerja yang dijelaskan pada sub-bab sebelumnya. Kategori pengukuran kinerja dilakukan pada anggota rantai pasok tepung lokal yang terkait meliputi tepung mocaf dan Gambar 32 Hierarki pembobotan kinerja rantai pasok tepung lokal tepung tapioka. Nilai aktual metrik kinerja tersebut dibentuk dalam presentase terhadap target kemudian diintegrasikan dengan hasil pembobotan metrik pengukuran kinerja rantai pasok. Integrasi ini dimulai dari level metrik pengukuran kinerja hingga proses bisnis sehingga menghasilkan hasil kinerja rantai pasok tepung lokal secara keseluruhan. Hasil pengukuran kinerja rantai pasok ini dikategorikan berdasarkan enam kriteria standar kinerja menurut Monczka et al. 2011 yang dapat dilihat pada Tabel 34. Hasil Pengukuran Kinerja Rantai Pasok Tepung Tapioka Komposisi pencampuran dengan tepung tapioka 5.66 Pengukuran kinerja rantai pasok tepung lokal untuk mendukung substitusi tepung terigu dilakukan berdasarkan hasil optimasi rantai pasok yaitu untuk campuran tepung tapioka sebanyak 5.66. Bila kapasitas 1 pabrik tepung terigu sebesar 2000 MThari gandum dan menghasilkan 1500 MThari terigu maka diperlukan campuran tapioka sebesar 90 MThari atau atau 2700 MTbulan atau 8100 MTperiode. Jumlah tapioka yang diperlukan tersebut selanjutnya dianalisis untuk mengetahui posisi kinerja rantai pasok sekarang dalam rangka mendukung substitusi tepung terigu. Pengukuran Kinerja Petani Pelaku rantai pasok tepung tapioka dimulai dari petani sebagai pemasok bahan baku. Data produksi ubi kayu di Jawa Barat dalam enam tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 35. Rendemen pati ubi kayu berkisar antara 20-30 sedangkan rendemen pengrajin tepung tapioka kasar di Jawa Barat rata-rata sebesar 20. Dalam rangka memenuhi permintaan tapioka sebesar 2700 ton per bulan untuk substitusi tepung Tabel 35 Data produksi ubi kayu di Jawa Barat dalam 6 tahun terakhir Tahun Luas area panen ha Produktivitas tonha Produksi ton Produksi tonbulan 2010 105 021 19.181 2 014 402 167 866.83 2011 103 244 19.941 2 058 785 171 565.42 2012 100 161 21.277 2 131 123 177 593.58 2013 95 504 22.392 2 138 532 178 211.00 2014 93 919 23.957 2 250 024 187 502.00 2015 83 930 24.07 2 020 214 168 351.17 Sumber: BPS 2016 Tabel 34 Standar kinerja rantai pasok Nilai Kinerja Kriteria 95-100 Sangat Baik 90-94 Baik 80-89 Sedang 70-79 Kurang 60-69 Sangat Kurang 60 Buruk Sumber: Monczka et al. 2011 terigu maka diperlukan bahan baku ubi kayu sebanyak 13 500 tonbulan. Tabel 35 menunjukkan bahwa produksi ubi kayu per bulan di Jawa Barat dapat memenuhi permintaan 100 usaha tepung tapioka bahkan dapat memenuhi jika permintaan mengalami peningkatan. Patok duga untuk pengukuran kinerja petani ubi kayu di Jawa Barat adalah petani di Lampung yang merupakan penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia dengan produksi 8 038 963 ton, luas lahan 301 684 ha, dan produktivitas 26.65 tonha pada tahun 2015 BPS 2016. Hasil perhitungan kinerja petani ubi kayu di Jawa Barat pada Tabel 36 menunjukkan bahwa secara keseluruhan kinerja petani ubi kayu termasuk kategori baik dengan nilai kinerja 89.95. Kinerja yang baik berarti petani dapat mendukung keberlanjutan pelaku rantai pasok hilir seperti industri tepung tapioka, mocaf, dll. Ada empat metrik kinerja yang sesuai dengan patok duga yaitu pemenuhan pesanan responsivitas, siklus pemenuhan pesanan, fleksibilitas rantai pasokan atas, dan penyesuaian rantai pasokan atas. Metrik kinerja siklus pemenuhan pesanan memiliki kinerja tertinggi yaitu 21.0, kemudian diikuti kinerja pemenuhan pesanan dan penyesuaian rantai pasokan atas dengan kinerja masing- masing 17.70 dan 15.10. Hal ini berarti petani ubi kayu Jawa Barat dapat memenuhi semua permintaan ubi kayu pada industri tapioka baik pada kondisi normal maupun bila terjadi lonjakan permintaan. Metrik kinerja petani ubi kayu terendah adalah pengiriman pada waktu yang ditentukan dan penyesuaian atas yaitu masing-masing sebesar 5.87 dan 6.70. Tabel 36 Hasil perhitungan kinerja petani ubi kayu di Jawa Barat Atribut kinerja Metrik Kinerja Bobot AHP Petani Patok duga Perbandingan Nilai Kinerja Reliabilitas Pemenuhan pesanan 0.177 100 100 100.00 17.70 Kinerja Pengiriman pada waktu yang ditentukan 0.062 90 95 94.74 5.87 Kondisi sempurna 0.077 90 95 94.74 7.29 Responsivitas Siklus Pemenuhan Pesanan hari 0.21 3 3 100.00 21.00 Agilitas Fleksibilitas rantai pasokan atas bulan 0.151 10 10 100.00 15.10 Penyesuaian rantai pasok atas 0.067 100 100 100.00 6.70 Penyesuaian rantai pasok Bawah 0.089 - - - - Biaya Biaya total rantai pasok Rp. juta 0.076 5,912 5,512 93.24 7.09 Aset Siklus Balik Modal bulan 0.092 10 10 100.00 9.20 Total kinerja rantai pasok 89.95 Tabel 37 Hasil perhitungan kinerja pelaku tapioka kasar untuk komposisi 5.66 di Jawa Barat Atribut kinerja Metrik Kinerja Bobot AHP Tapioka kasar Patok duga Perbandingan Nilai Kinerja Reliabilitas Pemenuhan pesanan 0.177 57.37 95 60.39 10.69 Kinerja Pengiriman pada waktu yang ditentukan 0.062 57.69 86 67.31 4.17 Kondisi sempurna 0.077 90 95 94.74 7.29 Responsivitas Siklus Pemenuhan Pesanan hari 0.21 52 30 57.36 12.05 Agilitas Fleksibilitas rantai pasokan atas hari 0.151 62 36 58.06 8.76 Penyesuaian rantai pasok atas 0.067 20 30 66.67 4.47 Penyesuaian rantai pasok Bawah 0.089 0.00 Biaya Biaya total rantai pasok Rp. juta 0.076 2,307 2,246 97.34 7.40 Aset Siklus Balik Modal hari 0.092 52 35 67.31 6.19 Total kinerja rantai pasok 61.02 Pengukuran Kinerja Usaha Tapioka Kasar Sentra usaha tapioka kasar di Jawa Barat berada di kabupaten Bogor, Garut, Ciamis, Tasikmalaya, dan Sumedang. Umumnya usaha tepung tapioka kasar di Jawa Barat merupakan industri skala kecil dan menengah yang memiliki kapasitas produksi sekitar 1-5 ton bahan baku per hari. Data produksi tapioka kasar di Jawa Barat rata-rata 51.63 tonhari atau setara dengan 1549 ton per bulan seperti dilihat pada Lampiran 19. Hasil perhitungan kinerja usaha tapioka kasar di Jawa Barat ditunjukkan pada Tabel 37 yaitu sebesar 61.02 yang berarti sangat kurang. Rendahnya kinerja pelaku tapioka kasar tersebut menyebabkan tidak dapat memenuhi permintaan pelaku usaha tapioka halus dan selanjutnya dapat menggangu rantai pasok hilir. Kinerja pelaku tapioka kasar yang sangat kurang disebabkan beberapa faktor antara lain karena kapasitas produksi kecil dan sering mengalami kesulitan memperoleh bahan baku yang menyebabkan terganggunya kontinuitas produksi. Hal ini karena pelaku tapioka kasar memperoleh bahan baku langsung dari petani atau melalui pengepul dengan kemitraan pola dagang umum sehingga tidak dapat memberi jaminan pasokan secara kontinu. Metrik kinerja yang paling sesuai dengan patok duga adalah biaya rantai pasok. Hal ini karena komponen biaya digunakan sama dan yang membedakan bila patok duga tapioka kasar dari Lampung memiliki biaya bahan baku lebih murah dibandingkan di Jawa Barat. Metrik kinerja paling tidak sesuai dengan patok duga adalah siklus pemenuhan pesanan yaitu sebesar 57.36. Beberapa sampel usaha taipoka kasar di Kabupaten Bogor yang diwawancarai bahwa mereka kesulitan memperoleh bahan baku sehingga bahan baku harus didatangkan dari luar Bogor sehingga biaya bahan baku menjadi lebih mahal. Kesulitan bahan baku menyebabkan produksi tapioka kasar tidak lancar dan bahkan tidak memenuhi kapasitas normal. Kinerja Pelaku Tapioka Halus di Jawa Barat Bahan baku tapioka halus diperoleh dari tapioka kasar yang ada di Jawa Barat dan Lampung. Tapioka kasar yang dihasilkan memiliki ukuran kurang dari 80 mesh dan selanjutnya pada pabrik tapioka halus digiling dan diayak hingga ukuran menjadi minimal 80 mesh. Data yang diperoleh bahwa jumlah tapioka kasar yang tersedia di Jawa Barat sekitar 1549 ton per bulan dimana tidak memenuhi kebutuhan tapioka sebesar 2700 ton per bulan untuk substitusi terigu. Produksi tapioka halus di Jawa Barat per bulan rata-rata sebesar 3082.08 ton data Lampiran 20. Jumlah tersebut sudah memenuhi permintaan untuk substitusi tepung terigu sebesar 2700 ton per bulan. Kebutuhan tapioka kasar yang tidak terpenuhi oleh pelaku di Jawa Barat dipenuhi dari Lampung. Hasil pengukuran kinerja pelaku tapioka halus di Jawa Barat selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 38. Patok duga yang digunakan pada pengukuran kinerja pelaku tapioka halus adalah adalah industri tapioka di Lampung Timur dengan kapasitas produksi per bulan sebesar 8000 ton dan memiliki kebun sendiri sehingga dapat mengurangi biaya bahan baku yang mana merupakan komponen biaya terbesar lebih dari 70 dari total biaya rantai pasok. Selain itu, industri tepung tapioka tersebut juga memperoleh bahan baku dari petani setempat melalui program kemitraan inti plasma sehingga pasokan bahan baku terjamin. Hasil pengukuran kinerja pelaku tapioka halus di Jawa Barat pada Tabel 39 adalah sebesar 69.97 yang berarti kurang. Metrik kinerja penyesuaian rantai pasok atas melebihi dari patok duga. Hal karena kapasitas produksi yang mereka gunakan selama ini di bawah kondisi normal sehingga bila terjadi lonjakan permintaan mereka dapat memanfaatkan kapasitas produksi penuh. Metrik kinerja Tabel 38 Kinerja pelaku tapioka halus di Jawa Barat Atribut kinerja Metrik Kinerja Bobot AHP Tapioka Halus Bench- mark Perbandingan Nilai Kinerja Reliabilitas Pemenuhan pesanan 0.177 100 100 100.00 17.70 Kinerja Pengiriman pada waktu yang ditentukan 0.062 100 100 100.00 6.20 Kondisi sempurna 0.077 100 100 100.00 7.70 Responsivitas Siklus pemenuhan pesanan hari 0.21 24 10 41.67 8.75 Agilitas Fleksibilitas rantai pasokan atas hari 0.151 29 13 44.83 6.77 Penyesuaian rantai pasok atas 0.067 25 18.87 132.49 8.88 Penyesuaian rantai pasok Bawah 0.089 0.00 00 0.00 Biaya Biaya total rantai pasok Rp. juta 0.076 28 828 18 090 62.75 4.77 Aset Siklus Balik Modal hari 0.092 30 30 100.00 9.20 Total kinerja rantai pasok 69.97 Tabel 39 Kinerja pelaku tapioka halus untuk komposisi 5 di Jawa Barat Atribut kinerja Metrik Kinerja Bobot AHP Petani Patok duga Perbandi- ngan Nilai Kinerja Reliabilitas Pemenuhan pesanan 0.177 100 100 100.00 17.70 Kinerja Pengiriman pada waktu yang ditentukan 0.062 100 100 100.00 6.20 Kondisi sempurna 0.077 100 100 100.00 7.70 Responsivitas Siklus pemenuhan pesanan hari 0.21 23 10 43.48 9.13 Agilitas Fleksibilitas rantai pasokan atas hari 0.151 28 12 42.86 6.47 Penyesuaian rantai pasok atas 0.067 25 18.87 132.49 8.88 Penyesuaian rantai pasok Bawah 0.089 0.00 00 0.00 Biaya Biaya total rantai pasok Rp. juta 0.076 25 340 15 879 62.66 4.76 Aset Siklus Balik Modal hari 0.092 30 30 100.00 9.20 Total kinerja rantai pasok 70.04 pemenuhan pesanan, kinerja pengiriman, kondisi sempuna, dan siklus pengembalian modal sudah sesuai dengan patok duga. Hal ini karena produksi tapioka halus di Jawa Barat sudah dapat mencukupi kebutuhan substitusi tepung terigu. Siklus pemenuhan pesanan dan fleksibilitas rantai pasokan atas masih jauh dari sesuai. Hal ini karena kapasitas pelaku tepung tapioka halus masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan patok duga dan bahan baku tapioka kasar diperoleh dari Lampung sehingga diperlukan waktu yang lebih lama untuk memenuhi pesanan. Hasil Pengukuran Kinerja Rantai Pasok Tepung Lokal Skenario: komposisi pencampuran tapioka 5 dan mocaf 0.66 Berdasarkan optimasi tujuan jamak pada kondisi tidak pasti bahwa campuran substitusi tepung lokal yang optimal adalah 5.66 tepung tapioka. Namun untuk aplikasi, mocaf dapat digunakan untuk mensubstitusi tepung terigu bila industri tepung mocaf sudah tersedia secara kontinu dan dapat memenuhi permintaan 5.66 substitusi tepung terigu. Untuk mengetahui posisi rantai pasok mocaf sekarang dalam rangka mensubstitusi tepung terigu maka perlu dilakukan pengukuran kinerja rantai pasok mocaf. Bila diasumsikan penggunaan tepung tapioka 5 dan mocaf 0.66 atau setara 2370 tonbulan tapioka dan 330 tonbulan mocaf. Hasil pengukuran kinerja pelaku petani sama dengan yang ditunjukkan pada Tabel 36 dan kinerja pelaku tapioka kasar ditunjukkan pada Tabel 37. Perhitungan kinerja rantai pasok untuk komposisi campuran tepung tapioka 5 dan mocaf 0.66 dapat dilihat masing- masing pada Tabel 39 dan 40. Hasil pengukuran kinerja pelaku tepung tapioka halus untuk campuran substitusi 5 adalah 70.04 yang berarti kurang. Nilai kinerja ini hampir sama dengan kinerja tepung tapioka halus pada komposisi 5.66 untuk substitusi tepung terigu. Reliabilitas dan siklus balik modal sudah sesuai dengan patok duga, sedangkan siklus pemenuhan pesanan, fleksibilitas rantai pasok atas, dan biaya rantai pasok masih jauh dari patok duga. Untuk perbaikan kinerja rantai pasok maka metrik kinerja yang masih jauh dari patok duga yang perlu diperhatikan dan diperbaiki. Hasil pengukuran kinerja pelaku tepung mocaf di Jawa Barat pada Tabel 40 adalah sebesar 44.95 yang berarti termasuk kategori buruk. Metrik kinerja penyesuaian rantai pasok sudah sesuai dengan patok duga. Namun metrik kinerja pemenuhan pesanan dan kinerja pengiriman pada waktu yang ditentukan masih jauh dari patok duga yaitu masing-masing sebesar 9.95. Rendahnya kinerja pengiriman pada waktu yang ditentukan karena pelaku tepung mocaf di Jawa Barat belum bisa memenuhi permintaan mocaf sebesar 330 tonbulan. Reliabilitas pelaku mocaf yang rendah tersebut menyebabkan rendahnya kinerja rantai pasok keseluruhan. Hal ini karena reliabilitas merupakan prioritas atribut kinerja penting kedua yang harus dipenuhi setelah responsivitas Reliabilitas yang rendah dari pelaku tepung mocaf akan menghambat program substitusi tepung terigu dengan tepung lokal. Hasil pengukuran kinerja rantai pasok tepung tapioka dan mocaf di Jawa Barat dapat dilihat pelaku petani dan tapioka halus memiliki kinerja yang baik. Kinerja petani yang baik memiliki reliabilitas dan responsivitas yang bagus untuk mendukung kebelanjutan rantai pasok tepung lokal dan selanjutnya dapat mendukung substitusi tepung terigu. Kinerja rantai pasok pelaku tapioka kasar dan mocaf dikategorikan sangat kurang karena merupakan industri yang berkapasitas kecil. Selain itu, pelaku tepung tapioka kasar dan mocaf kesulitan untuk mendapatkan bahan baku walaupun berdasarkan data produksi ubi kayu Jawa Barat sudah dapat memenuhi kebutuhan untuk produksi tapioka dan mocaf. Tabel 40 Kinerja pelaku tepung mocaf untuk komposisi 0.66 di Jawa Barat Atribut kinerja Metrik Kinerja Bobot AHP Mocaf Patok duga Perbandi- ngan Nilai Kinerja Reliabilitas Pemenuhan pesanan 0.177 9.45 95.00 9.95 1.76 Kinerja Pengiriman pada waktu yang ditentukan 0.062 9.45 95.00 9.95 0.62 Kondisi sempurna 0.077 90.00 95.00 94.74 7.29 Responsivitas Siklus pemenuhan pesanan hari 0.21 30 10 33.33 7.00 Agilitas Fleksibilitas rantai pasokan atas hari 0.151 36 12 33.33 5.03 Penyesuaian rantai pasok atas 0.067 20 20 100.00 6.70 Penyesuaian rantai pasok Bawah 0.089 0.00 0.00 0.00 Biaya Biaya total rantai pasok Rp. juta 0.076 75 72.5 96.67 7.35 Aset Siklus Balik Modal hari 0.092 30 30 100.00 9.20 Total kinerja rantai pasok 44.95 Perancangan Kelembagaan Hasil penilaian kinerja rantai pasok tepung tapioka dan mocaf dapat dilihat bahwa pelaku tapioka kasar dan mocaf masing-masing memiliki kinerja yang sangat kurang dan buruk sehingga berdampak pada kesinambungan substitusi tepung terigu. Kinerja pelaku tapioka halus lebih tinggi dibanding tapioka kasar karena pasokan bahan baku diperoleh selain dari Jawa Barat, juga dari Lampung. Hal ini menyebabkan peningkatan reliabilitas sehingga dapat memenuhi permintaan tepung lokal untuk substitusi terigu. Namun dari segi biaya rantai pasok tapioka halus di Jawa Barat masih jauh dari patok duga di Lampung sehingga harga tapioka yang diproduksi di Jawa Barat lebih mahal. Harga tapioka yang mahal dapat menyebabkan pelaku tepung terigu keberatan melakukan substitusi. Rendahnya kinerja pelaku tapioka kasar dan mocaf karena berhubungan langsung dengan petani sebagai pemasok bahan baku. Oleh karena tidak adanya keterikatan antara petani ubi kayu dan pelaku tepung lokal menyebabkan tidak adanya jaminan pasokan bahan baku. Hal ini yang menyebabkan pelaku tepung lokal sering mengalami gangguan produksi, bahkan untuk pelaku tepung mocaf sudah banyak yang tutup. Untuk mengatasi hal tersebut selanjutnya perlu dirancang pola kelembagaan kemitraan antara pelaku rantai pasok tepung lokal untuk mendukung substitusi tepung terigu. Perancangan kelembagaan pada studi ini meliputi: 1 patok duga dengan pola kemitraan yang sudah ada dan sukses, 2 menentukan elemen-elemen kunci sukses dengan teknik ISM, dan 3 menentukan pola kemitraan yang tepat dengan teknik FAHP. Kelembagaan yang dirancang adalah kemitraan antara petani ubi kayu dan pelaku tepung lokal serta kemitraan antara pelaku tepung lokal dengan pelaku industri tepung terigu. Kemitraan antara petani ubi kayu dengan pelaku tepung lokal berupa kontrak pertanian yang tepat, sedangkan kemitraan tepung lokal berdasarkan hubungan pemasok bahan baku dengan produsen. Benchmarking Kemitraan Kontrak Pertanian Untuk mendapatkan banyak masukan model kelembagaan kemitraan antara pelaku rantai pasok maka dikumpulkan beberapa informasi mengenai pola kelembagaan kemitraan pertanian kontrak yang sudah berjalan di Indonesia. Benchmarking pola kelembagaan dilakukan berdasarkan studi pustaka dan dan hasil penelitian sebelumnya. Informasi yang diperoleh dari benchmarking ini berupa pola kemitraan yang dilakukan, kesepakatan harga, model pendanaan, aturan main, dan kesepakatan-kesepakatan lain yang dilakukan antara kedua belah pihak. Kemitraan Petani Ubi Kayu di Lampung Tengah Kemitraan petani ubi kayu di Lampung Tengah dikutip dari Sulistyo 2004. PT. Great Giant Pineapple PT. GGP berada di Kecamatan Terbanggi Besar, Kab. Lampung Tengah, Propinsi Lampung. PT. GGP merupakan perusahaan yang bergerak di beberapa bidang, yaitu perkebunan nenas, perkebunan ubi kayu, industri pengalengan nenas, industri tapioka, peternakan sapi, industri jus mengkudu, industri nata de coco, dan jus buah. PT GGP memiliki lahan perkebunan nenas seluas ± 25600 ha, dan perkebunan ubi kayu di Gunung Katun seluas ±1600 ha. Divisi tapioka PT. GGP memiliki kapasitas produksi sebesar 300 000 ton bahan baku per bulan dimana mengandalkan seluruh bahan baku ubi kayu dari petani sekitar perusahaan baik dari peserta kemitraan maupun di luar kemitraan. Untuk menjamin ketersediaan pasokan bahan baku ubi kayu pihak perusahaan melakukan kemitraan dengan pihak petani dengan sistem inti plasma PIR dengan perjanjian tertulis dengan lengkap dan jelas. Kemitraan PIR dipusatkan pada kelompok usaha bersama agribisnis KUBA yang berada pada Desa Banda Sakti, Bandar Agung, dan Gunung Agung. Sampai tahun 2003 PT. GGP telah membina delapan KUBA dan 1745 petani dengan luas lahan ubi kayu mencapai 4832.75 ha. Dalam menjalankan kemitraan dengan petani, PT. GGP membuat departemen khusus pada organisasi perusahaan untuk menjembatani kemitraan dengan petani yaitu departemen pengembangan kemasyarakatan society development departement . Pihak perusahaan juga menjalin kerjasama dengan lembaga keuangan untuk memperoleh sumber dana di samping dengan pendanaan sendiri. Kewajiban dan hak pihak plasma petani dan inti perusahaan tertuang dalam kotrak perjanjian, antara lain berisikan: 1. Hak dan kewajiban inti - Pihak inti wajib menampung semua hasil panen ubi kayu dari plasma - Pihak inti melakukan pembinaan, penyuluhan, dan bimbingan teknis kepada pihak plasma. - Pihak inti memberikan bantuan sarana produksi seperti pupuk, traktor untuk mengolah lahan petani. - Pihak inti dan plasma bersama menentukan jadwal waktu tanam. - Pihak inti dan plasma bersama menentukan jadwal waktu panen yang berkaitaan dengan umur tanaman dan jumlah kebutuhan pabrik. - Pihak inti menyediakan jasa angkutan hasil panen ubi kayu. - Pihak inti memberi bantuan pinjaman modal budidaya dan perawatan tanaman. - Pihak inti memberi bantuan teknis administrasi pembukuan dan laporan keuangan KUBA. 2. Hak dan kewajiban plasma - Menjual seluruh hasil panen ke perusahaan - Memanfaatkan pinjaman modal untuk kegiatan budidaya dan perawatan tanaman ubi kayu. - Membeli kebutuhan pupuk, bibit dari perusahan. - Melakukan pemanenan sesuai dengan jadwal yang telah dsepakati - Wajib mengembalikan semua pinjaman 3. Kesepakatan harga hasil panen ubi kayu berdasarkan harga pasar. Kemitraan PT. Galih Estetika dengan Petani Ubi Jalar Pola kemitraan PT. Galih Estetika PT. GE dengan petani ubi jalar ini dikutip dari Prastiwi 2010. PT GE merupakan perusahaan perseroan di Kabupaten Kuningan yang bergerak di bidang industri pengolahan ubi jalar dengan berbagai produk antara lain tepung ubi jalar, stick ubi jalar kenken, keripik chips, tepung pakan ternak, dan sirup ubi jalar. Kemitraan PT. GE dengan petani ubi jalar Jepang di Kabupaten Kuningan berlangsung sejak tahun 1997. Seiring perkembangan perusahaan, mulai tahun 2006 PT. GE membuka jalur kemitraan untuk ubi jalar Kuningan. Kemitraan yang berlangsung antara PT. GE dengan petani berbentuk pola Kerjasama Operasional Agribisnis KOA. Sebagai perusahaan mitra PT. GE memberikan akses pinjaman berupa uang dan bibit kepada petani mitra. Petani ubi jalar yang bermitra dengan PT. GE menggunakan sumberdaya lahan dan tenaga kerja yang mereka miliki untuk memproduksi bahan baku ubi jalar segar yang dibutuhkan oleh perusahaan. Sistem pembayaran hasil dilakukan dengan cara jual beli biasa sesuai kesepakatan yang tertuang dalam kontrak kemitraan. Kontrak kemitraan PT. GE dan petani mitra dapat bersifat kontrak harga dan kontrak hasil. Pilihan jenis kontrak disesuaikan dengan fasilitas bantuan yang diterima petani dari PT. GE. Petani mitra yang memanfaatkan fasilitas pinjaman berupa uang bantuan biaya garap akan dikenai kontrak harga. Di sisi lain petani yang tidak menggunakan fasilitas pinjaman berupa uang dapat memilih salah satu dari dua jenis kontrak sesuai keinginan. Kontrak harga memungkinkan petani mitra memiliki kepastian harga jual ubi jalar segar yang telah ditentukan sejak awal tahapan kemitraan. Kesepakatan penentuan harga yang terjadi kemudian dituangkan dalam kontrak kemitraan. Selain itu, pada sistem kontrak harga pengontrolan tanaman yang lebih intensif dilakukan secara periodik oleh PT. GE kepada petani mitra. Pada kontrak hasil mengikat petani untuk menyerahkan hasil panen ubi jalarnya ke PT. GE. Ketetapan mengenai harga jual ubi jalar yang diterima petani akan mengikuti harga pasar yang berlaku saat panen. Kontrak hasil pada umumnya dapat memberikan petani harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrak harga walaupun sama-sama menggunakan harga pasar. Kemitraan PT. Garudafood dengan Petani Kacang Tanah Pola kemitraan PT. Garudafood dengan petani kacang tanah ini dikutip dari Aryani 2009. PT. Garudafood berada di Kabupaten Pati, Jawa Tengah merupakan perusahaan bergerak di bidang industri makanan ringan seperti biskuit, makanan olahan kacang tanah. Untuk menjamin pasokan bahan baku utama kacang tanah yang berkualitas tinggi dan tersedia sesuai kapasitas produksi pabrik, tahun 1996 didirikan PT Bumi Mekar Tani, yang bergerak di bidang perkebunan kacang tanah. Selain memiliki kebun kacang tanah sendiri, untuk memenuhi kebutuhan bahan baku, perusahaan juga menjalin kerja sama dengan para petani kacang tanah, khususnya di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Tujuan kemitraan Garudafood dengan petani kacang tanah adalah untuk menjamin pasokan bahan baku kacang tanah ke perusahaan dan menciptakan pasar dan kepastian harga kacang tanah. PT. Garudafood membagi mitra menjadi 3 golongan, yaitu mitra pemerintah daerah, mitra pelaku agribisnis, dan mitra community development program . Mitra pemerintah daerah mengutamakan pada program peningkatan produksi kacang tanah. Kelompok yang tergabung dalam mitra pelaku agribisnis adalah petani atau kelompok tani dan pengusaha agribisnis kacang tanah, yang mengutamakan kualitas kacang tanah dan pendapatan usahatani. Mitra community development program CDP menitikberatkan kegiatannya pada pemberdayaan masyarakat yang merupakan petani kacang tanah. PT Garudafood menetapkan beberapa syarat dalam kemitraan yaitu adanya kelembagaan atau sebuah organisasi yang bergerak di bidang pertanian, dapat berupa kelompok tani, koperasi tani, lembaga swadaya masyarakat, dan pesantren. Syarat lain untuk menjadi mitra adalah memiliki petani dan lahan binaan untuk melakukan budidaya kacang tanah, memiliki modal sendiri untuk melakukan budidaya, karena PT Garudafood tidak memberikan modal untuk budidaya. Dalam melaksanakan kemitraan, PT Garudafood menggunakan model kontrak beli, dimana pihak mitra dan PT Garudafood terikat dalam surat perjanjian kerjasama yang disepakati kedua belah pihak. Surat perjanjian kerjasama ini berisi bahwa bimbingan budidaya kacang tanah dan penjamin pasar menjadi tanggung jawab PT Garudafood. Petani mitra berkewajiban melakukan budidaya sesuai dengan bimbingan yang telah diberikan oleh PT Garudafood, serta berkewajiban mengirimkan seluruh hasil panennya ke pabrik PT Garudafood dengan harga yang sudah disepakati di surat perjanjian kerjasama. Dilihat dari pelaksanaan kemitraan tersebut maka pola kemitraan yang dilakukan antara PT Garudafood dengan petani mitra adalah model kontrak beli. Kemitraan diawali dengan membuat surat perjanjian kerjasama dengan petani mitra dalam periode satu tahun, yang dapat diperpanjang sesuai dengan kesepakatan bersama. Dalam kontrak perjanjian terkandung aspek-aspek perjanjian berupa identitas kedua belah pihak yang bermitra, periode tanam, harga pembelian, luas areal petani kacang tanah, cara pembayaran, standar mutu, sanksi dan lain-lain. Elemen Kunci Keberhasilan Uraian dari pola kemitraan perusahaan dengan petani sebelumnya kemudian dirangkum untuk mendapatkan elemenfaktor kunci. Perbandingan elemen kunci dari kemitraanpertanian kontrak yang telah diuraikan sebelumnya dirangkum pada Tabel 41. Analisis perbandingan kemitraan pertanian pada berbagai komoditas dan mitra industri pengolahan yang ada di Indonesia maka selanjutnya dilakukan inisialisasi dan identifikasi elemen kunci keberhasilan kelembagaan kemitraan pertanian kontrak yang akan diusulkan. Faktor-faktor yang terindentifikasi tersebut kemudian diminta pendapat para pakar untuk melakukan filtrasi sekaligus melakukan pilihan atas elemen-elemen kunci keberhasilan. Rangkuman pendapat para pakar terhadap elemen kunci keberhasilan key success factor dapat dilihat pada Tabel 42. Strukturisasi Elemen Kelembagaan Berdasarkan pengukuran kinerja rantai pasok tepung lokal dapat dilihat bahwa pelaku yang berhubungan langsung dengan petani memiliki kinerja yang sangat kurang seperti pelaku tapioka kasar dan mocaf. Hal ini karena kemitraan antara petani dan tepung lokal berbentuk pola dagang umum sehingga tidak ada keterikatan antara kedua pelaku tersebut. Kinerja rantai pasok yang rendah tersebut dapat menghambat substitusi tepung terigu dengan tepung lokal. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kinerja rantai pasok tepung lokal. Tepung mocaf berdasarkan hasil penelitian sangat cocok menggantikan tepung terigu karena karakteristik yang mirip. Bahkan untuk produk tertentu seperti brownies dapat menggantikan tepung terigu hingga 100. Namun di lapangan industri mocaf di Indonesia kurang berkembang sehingga beberapa industri mocaf sudah tidak beroperasi lagi. Hasil wawancara dan pengamatan lapangan, ada beberapa hal yang menyebabkan industri tepung mocaf tidak berkembang atau tidak bertahan antara lain: kurangnya pasokan bahan baku karena bersaing dengan industri berbasis ubi kayu lainnya, harga mocaf kurang menguntungkan bagi pelaku usaha, kesulitan memasarkan tepung mocaf baik ke industri maupun ke masyarakat serta belum ada aturan dari pemerintah untuk kebijakan untuk menggunakan bahan lokal untuk industri makanan. Kontinuitas pasokan merupakan hal penting untuk keberlanjutan rantai pasok agroindustri sehingga perlu dibangun kelembagaan yang kuat untuk mendukung keberlanjutan agroindustri. Model kelembagaan yang dibangun berupa pola kemitraan antara pelaku rantai pasok tepung lokal dengan petani berupa kontrak pertanian dan kemitraan antara pelaku tepug lokal dan pelaku Tabel 41 Ringkasan perbandingan faktorelemen kunci keberhasilan kemitraanpertanian kontrak yang ada di Indonesia Elemenfaktor kunci Kemitraan Petani ubi kayu Kemitraan Petani kayu dan mocaf Kemitraan Petani Ubi Jalar Kemitraan Petani Kacang Tanah Jenis komoditas Ubi kayu Ubi kayu Ubi Jalar Kacang Tanah Industri mitra Industri tepung tapioka Industri tepung mocaf PT. GE olahan ubi jalar PT. Garudafood makanan ringan Kebijakan harga Harga yang berlaku Kesepakatan awal Kesepakatan awal Kesepakatan awal Sistem pembiayaan Biaya dari perusahaan dan lembaga keuangan Dari petani Pola pertanian kontrak Inti-plasma Inti plasma Pola kerjasama operasional dengan kontrak harga dan hasil Kontrak beli Keterlibatan pihak ketiga Lembaga keuangan Lembaga keuangan - Pemerintah daerah dan mitra CDP Kewajiban petani - Memasok hasil panen ubi kayu ke perusahaan - Mengembalikan pinjaman modal - Menggunakan bibit varietas yang disarankan perusahaan - Memasok chip - Membuat chip sesuai dengan arahan perusahaan inti - Menggunakan enzim yang disediakan perusahaan inti Memproduksi bahan baku ubi jalar segar yang dibutuhkan perusahaan - Melakukan budidaya sesuai dengan bimbingan perusahaan - Menjual seluruh hasil panennya ke pabrik Kewajiban perusahaan mitra - Membeli ubi kayu petani - Memberi bimbingan teknis - Membeli chip petani - Menyediakan enzim - Membeli ubi jalar petani - Memberi bimbingan teknis budidaya ubi jalar - Membeli hasil panen petani - Memberi bimbingan teknis industri terigu. Model kelembagaan yang dikembangkan harus mampu mendukung substitusi tepung terigu. Untuk merancang model kelembagaan yang tepat perlu diidentifikasi struktur elemen sistem yang dianalisis dengan metode Interpretative Structure Modelling ISM. Teknik ISM digunakan untuk merancang model struktur kelembagaan serta untuk menganalisis interaksi yang kompleks dari suatu sistem melalui pola yang dirancang dengan metode grafis dan formulasi kalimat Eriyatno, 1996. ISM mengunakan masukan dari pendapat pakar untuk menghasilkan elemen-elemen pembentuk sistem permasalahan yang diteliti. Proses strukturisasi kelembagaan kemitraan dilakukan berdasarkan hasil konsultasi terhadap beberapa pakar dari beberapa pihak yang terlibat dalam pengembangan rantai pasok. Struktur kelembagaan kemitraan rantai pasok yang dikaji meliputi: 1 tujuan kelembagaan, 2 kendala utama yang dihadapi, 3 pelaku yang terlibat, 4 penilaian kinerja kelembagaan kemitraan, 5 perubahan yang dimungkinkan, 6 kebutuhanprasyarat program, 7 elemen tolak ukur dalam pengelolaan kelembagaan. Tabel 42 Elemen kunci pertanian kontrak petani ubi kayu dengan industri pengolahan tepung lokal Elemen kunci Sub-elemen Kebijakan harga 1. Tergantung pada pasar 2. Kesepakatan harga diawal Faktor-faktor yang mempengaruhi 1. Jaminan pasokan bagi perusahaan pengolahan 2. Jaminan kualitas bahan baku 3. Jaminan harga 4. Jaminan pasar 5. Kebijakan pemerintah Pola pertanian kontrak 1. Inti plasma 2. Kontrak produksi 3. Kerjasama operasional agrobisnis Hal mendasar yang harus dimiliki dalam kemitraan 1. Saling membutuhkan antar pelaku 2. Saling menguatkan Kewajiban petani 1. Membudidayakan varitas komoditas yang disepakati 2. Melakukan teknik budidaya disarankan mitra 3. Menangani hasil panen sesuai dengan yang disarankan mitra 4. Menjual hasil panen ke mitra industri. 5. Membayar kredit, bila ada Kewajiban mitra industri 1. Memberi bantuan bibit, saprodi, dan bimbingan teknis 2. Membeli hasil panen petani sesuai dengan harga yang disepakati atau harga pasar. 3. Memberi akses pinjaman modal Hak petani Mendapat kredit saprodi dan bimbingan teknik budidaya, hingga penanganan pasca panen Hak mitra industri Mendapat pasokan bahan baku sesuai dengan kuantitas dan kualitas yang disepakati Cakupan wilayah Wilayah mencakup semua elemen pelaku rantai pasok Model pembiayaan 1. Pembiayaan dari perusahaan mitra 2. Pembiayaan dari lembaga keuangan Tujuh elemen kelembagaan tersebut, kemudian dijabarkan menjadi sejumlah sub-elemen untuk setiap elemen berdasarkan pendapat para pakar. Selanjutnya dilakukan penilaian hubungan kontekstual antar sub-elemen pada setiap elemen dalam sistem yang hasilnya dirangkum dalam bentuk Structural Self Interaction Matrix SSIM. Kemudian dibuat tabel Reachability Matrix RM dengan mengganti empat simbol V, A, X, O yang digunakan untuk mewakili tipe hubungan yang ada antara dua elemen dari sistem menjadi bilangan 1 dan 0. 1 Analisis Elemen Tujuan kelembagaan Identifikasi elemen tujuan kelembagaan ini, menghasilkan delapan 8 sub- elemen, yaitu: 1 peningkatan penggunaan tepung lokal pada industri makanan, 2 terjaminnya pasokan bahan baku, 3 terjaminnya pasar tepung lokal, 4 terjaminnya kualitas bahan baku, 5 harga tepung lokal yang bersaing, 6 pengurangan impor gandum, 7 peningkatan produktivitas lahan, 8 peningkatan pemanfaatan tepung lokal sebagai pengganti tepung terigu. Penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar sub-elemen tujuan kelembagaan dilakukan dengan pendekatan V, A, X, dan O. Hasil analisis menggunakan metode ISM terhadap 8 sub-elemen tujuan kelembagaan dengan hubungan kontekstual antar tujuan yang satu mempengaruhi tujuan yang lain, diperoleh Structural Self Interaction Matrix SSIM. Hasil agregat penilaian para pakar, diperoleh SSIM untuk elemen tujuan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 43. Hasil SSIM yang diperoleh kemudian dikonversikan menjadi Reachability Matrix RM dengan aturan, yaitu jika simbol dalam SSIM adalah V maka nilai Eij adalah 1 dan nilai Eji adalah 0 dalam RM. Jika simbol dalam SSIM adalah A maka nilai Eij adalah 0 dan nilai Eji adalah 1. Jika simbol dalam SSIM adalah X maka nilai Eij dan Eji adalah 1. Sedangkan jika simbol dalam SSIM adalah O maka nilai Eij dan nila Eji adalah 0 dalam RM. Tabel 44 menunjukkan Reachability Matrix untuk elemen tujuan. Tabel 43 Structural Self Interaction Matrix SSIM untuk elemen tujuan kelembagaan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 1 A O A A O V A 2 O O V O A V 3 V X A V O 4 O O O O 5 O O V 6 O V 7 O 8 Tabel 44 Reachability Matrix untuk elemen tujuan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 1 1 1 2 1 1 1 1 3 1 1 1 1 4 1 1 5 1 1 1 1 6 1 1 1 7 1 1 8 1 1 Setelah tersusun matriks RM, selanjutnya dilakukan revisi untuk memperoleh direct dan indirect reachability, yaitu kondisi dimana jika Eij = 1 dan Ejk = 1 maka Eik = 1. Eij adalah kondisi hubungan kontekstual antara elemen Ei terhadap elemen Ej. Dari matriks RM yang telah direvisi didapat nilai Driver Power DP dan nilai dependence D yang ditunjukkan pada revisi RM Tabel 45. Hasil revisi RM menghasilkan posisi kuadran sub-elemen pelaku pada matriks driver power-dependence seperti terlihat pada Gambar 33 dan struktur hierarki elemen pelaku terlibat dalam kelembagaan seperti terlihat pada Gambar 34. Analisis matriks driver power-dependence dan struktur hierarki antar sub- elemen tujuan kelembagaan menunjukkan bahwa tujuan pengurangan impor gandum merupakan tujuan yang paling berpengaruh dibandingkan tujuan yang lain dalam kelembagaan ini. Apabila tujuan pengurangan impor gandum dapat terwujud maka akan mendorong tujuan-tujuan lain tercapai. Tabel 45 Revisi Reachability Matrix untuk elemen tujuan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 DP 1 1 1 1 1 1 1 1 7 2 1 1 1 1 1 1 1 7 3 1 1 1 1 1 1 1 7 4 1 1 1 1 1 1 1 7 5 1 1 1 1 1 1 1 7 6 1 1 1 1 1 1 1 1 8 7 1 1 1 1 1 1 1 7 8 1 1 1 1 1 1 1 7 D 8 8 8 8 8 1 8 8 Keterangan: No. Sub-elemen 1 Peningkatan penggunaan tepung lokal pada industri makanan 2 Terjaminnya pasokan bahan baku 3 Terjaminnya pasar tepung lokal 4 Terjaminnya kualitas bahan baku 5 Harga tepung lokal yang bersaing 6 Pengurangan impor gandum 7 Peningkatan produktivitas lahan 8 Peningkatan pemanfaatan tepung lokal pada pabrik terigu Gambar 33 Matriks driver power-dependence sub-elemen tujuan kelembagaan Sub-elemen tujuan kelembagaan yang berada pada kuadran III pada matriks driver power-dependence Gambar 33 adalah tujuan 1 peningkatan penggunaan tepung lokal pada industri makanan, 2 terjaminnya pasokan bahan baku, 3 terjaminnya pasar tepung lokal, 4 terjaminnya kualitas bahan baku, 5 harga tepung lokal yang bersaing, 7 peningkatan produktivitas lahan, dan 8 peningkatan pemanfaatan tepung lokal sebagai pengganti tepung terigu dimana tujuan tersebut memiliki daya dorong kuat dan tingkat ketergantungan yang kuat juga atau disebut juga pengait linkage. Tercapainya sub-elemen tujuan pada kuadaran III dipengaruhi oleh sub-elemen tujuan lainnya. Begitu juga apabila sub- elemen tujuan pada kuadran III tercapai maka akan mendorong tercapainya tujuan lainnya. 2 Analisis elemen kendala-kendala yang dihadapi kelembagaan Identifikasi elemen kendala-kendala pada kelembagaan ini, menghasilkan sembilan 9 sub-elemen, yaitu: 1 kontinuitas bahan baku tidak stabil, 2 terbatasnya modal petani, 3 kualitas dan kuantitas bibit yang terbatas, 4 produktivitas lahan rendah, 5 produk industri makanan umumnya berbasis tepung terigu, 6 penentuan musim tanam harus tepat, dan 7 pendapatan petani yang dukungan pemerintah untuk substitusi tepung terigu. Hasil agregat penilaian para pakar terhadap sub-elemen kendala dalam bentuk SSIM dapat dilihat pada Lampiran 16. Kemudian hasil SSIM diubah menjadi reachability matrix RM dan selanjutnya dilakukan revisi untuk memperoleh nilai driver power DP dan nilai dependence D seperti ditunjukkan pada Lampiran 17. Hasil revisi RM menghasilkan posisi kuadran sub-elemen kendala pada matriks driver power-dependence seperti terlihat pada Gambar 35a dan struktur hierarki elemen kendala terlibat dalam kelembagaan seperti terlihat pada Gambar 35b. Analisis matriks driver power-dependence dan struktur hierarki antar sub- elemen kendala kelembagaan menunjukan bahwa kendala terbatasnya modal petani dan kurangnya dukungan pemerintah untuk mensubstitusi tepung terigu merupakan kendala utama sebagai elelemen kunci yang paling berpengaruh dibandingkan kendala yang lain dalam kelembagaan ini. Apabila kendala ini dapat diatasi maka akan mendorong teratasinya kendala-kendala yang lain. Sub-elemen kendala kelembagaan yang berada pada kuadran I pada matriks driver power-dependence Gambar 32a adalah kendala 4 produktivitas lahan rendah, 5 produk industri makanan umumnya berbasis tepung terigu, dan 6 penentuan musim tanam harus tepat, dimana kendala tersebut memiliki daya dorong lemah dan tingkat ketergantungan yang lemah juga. Sub-elemen kendala yang berada pada kuadran II pada matriks driver power-dependence adalah kendala 1 kontinuitas bahan baku tidak stabil, 7 pendapatan petani yang rendah, dan 8 kurangnya minat petani menanam ubi Gambar 34 Struktur hierarki antar sub-elemen tujuan kelembagaan kayu. Sub-elemen kendala tersebut memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap kendala lain, tetapi daya dorong yang lemah. 3 Analisis elemen pelaku yang terlibat Identifikasi ini pada kelembagaan menghasilkan delapan 8 sub-elemen, yaitu: 1 petani, 2 pengepul, 3 industri tepung lokal, 4 industri tepung terigu, 5 koperasi, 6 pedagang, 7 lembaga keuangan, 8 pemerintah. Penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar sub-elemen pelaku yang terlibat dalam kelembagaan kemitraan rantai pasok dalam bentuk SSIM dapat dilihat pada Lampiran 16. Hasil SSIM diubah menjadi Reachability Matrix RM dan kemudian dilakukan revisi untuk memperoleh nilai driver power DP dan dependence D yang masing-masing ditunjukkan pada Lampiran 17. Hasil revisi RM menghasilkan posisi kuadran sub-elemen pelaku pada matriks driver power- dependence seperti terlihat pada Gambar 36a dan struktur hierarki elemen pelaku terlibat dalam kelembagaan seperti terlihat pada Gambar 36b. Analisis matriks driver power-dependence dan struktur hierarki antar sub- elemen pelaku menunjukkan bahwa pelaku petani dan pemerintah merupakan pelaku yang paling berpengaruh dibandingkan pelaku yang lain dalam kelembagaan kemitraan. Pelaku pemerintah dan petani memiliki daya dorong yang kuat dan tingkat ketergantung lemah. Apabila kedua pelaku dapat berperan dan ditangani dengan baik maka akan mendorong pelaku-pelaku yang lain melakukan perannya dalam kegiatan kelembagaan yang lebih baik juga. Sub-elemen pelaku yang berada pada kuadran I pada matriks driver power-dependence Gambar 36a adalah pelaku pengepul 2, pedagang 6, a b Keterangan: 1 Kontinuitas bahan baku tidak stabil 2 Terbatasnya modal petani 3 Kualitas dan kuantitas bibit yang terbatas 4 Produktivitas lahan rendah 5 Produk industri makanan umumnya berbasis tepung terigu 6 Penentuan musim tanam harus tepat 7 Pendapatan petani yang rendah 8 Kurangnya minat petani menanam ubi kayu 9 Kurangnya dukungan pemerintah untuk substitusi tepung terigu Gambar 35 Hasil pengolahan ISM, a Matriks driver power- dependence sub- elemen kendala dan b Struktur hierarki antar sub-elemen kendala koperasi 4, dan lembaga keuangan 7, dimana pelaku tersebut memiliki daya dorong lemah dan tingkat ketergantungan yang lemah juga. Sub-elemen pelaku yang berada pada kuadran II pada matriks driver power- dependence adalah pelaku industri tepung lokal dan industri tepung terigu. Sub-elemen pelaku industri tepung lokal dan industri tepung terigu ini memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pelaku lain, tetapi daya dorong yang lemah. Ketergantungan pelaku industri ini, terutama dari segi pasokan baku yang bersumber dari petani atau pengepul dan juga tergantung dengan pelaku-pelaku lain pada rantai pasok. 4 Analisis elemen kebutuhan kelembagaan Identifikasi elemen kebutuhan yang terlibat pada kelembagaan ini, menghasilkan sebelas 11 sub-elemen, yaitu: 1 adanya jaminan kepastian pasar, 2 harga bahan baku dan produk yang layak, 3 jaminan pasokan bahan baku, 4 jaminan kualitas bahan baku, 5 jaminan ketersediaan bibit secara kontinu, 6 penyediaan sarana transportasi yang layak, 7 penyediaan infrastruktur yang layak, 8 sumberdaya manusia yang berkualitas, 9 peningkatan pendapatan petani, 10 peningkatan pendapatan industri pengolahan, 11 penyediaan bantuan kredit. Penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar sub-elemen kebutuhan kelembagaan dalam bentuk SSIM dapat dilihat pada Lampiran 16. Matriks RM dan revisi RM untuk elemen kebutuhan kelembagaan dapat dilihat pada Lampiran 17. Hasil revisi RM menghasilkan posisi kuadran sub-elemen kebutuhan pada a b Keterangan: No. Sub-elemen 1 Petani 2 Pengepul 3 Industri tepung lokal 4 Koperasi 5 Industri tepung terigu 6 Pedagang 7 Lembaga keuangan 8 Pemerintah Gambar 36 Hasil pengolahan ISM, a Matriks driver power- dependence sub- elemen pelaku, dan b Struktur hierarki antar sub-elemen pelaku matriks driver power-dependence seperti terlihat pada Gambar 37a dan struktur hierarki elemen kebutuhan terlibat dalam kelembagaan seperti terlihat pada Gambar 37b. Analisis matriks driver power-dependence dan struktur hierarki antar sub- elemen kebutuhan kelembagaan menunjukkan bahwa kebutuhan adanya jaminan pasar, sumber daya manusia yang berkualitas, dan penyediaan bantuan kredit merupakan kebutuhan yang paling berpengaruh dibandingkan kebutuhan yang lain dalam kelembagaan. Apabila ketiga kebutuhan tersebut terpenuhi maka akan mendorong kebutuhan-kebutuhan yang lain terpenuhi juga. Sub-elemen kebutuhan yang berada pada kuadran I pada matriks driver power-dependence pada Gambar 37 adalah 2 harga bahan baku dan produk yang layak, 3 jaminan pasokan bahan baku, 4 jaminan kualitas bahan baku, 5 jaminan ketersediaan bibit secara kontinu, 6 penyediaan sarana transportasi yang layak, 7 penyediaan infrastruktur yang layak, dimana kebutuhan ini memiki daya dorong lemah dan tingkat ketergantungan yang lemah juga. Sub-elemen kebutuhan yang berada pada kuadran II pada matriks driver power-dependence adalah kebutuhan 9 peningkatan pendapatan petani, 10 peningkatan pendapatan industri pengolahan. Sub-elemen kebutuhan peningkatan pendapatan petani, 10 peningkatan pendapatan industri pengolahan ini memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap kebutuhan lain, tetapi daya dorong yang lemah. Ketergantungan sub-elemen kebutuhan ini yang tinggi maka untuk memenuhinya tergantung pada terpenuhinya sub-elemen kebutuhan lainnya. Gambar 37 Hasil pengolahan ISM, a Matriks driver power- dependence sub- elemen kebutuhan, dan b Struktur hierarki antar sub-elemen kebutuhan 5 Analisis Elemen Tolak Ukur dalam Pengelolaan Kelembagaan Identifikasi elemen tolak ukur dalam pengelolaan kelembagaan ini menghasilkan tujuh 7 sub-elemen, yaitu: 1 meningkatnya produksi tepung lokal, 2 lancarnya pasokan bahan baku ke industri, 3 meningkatnya jumlah pelaku usaha makanan berbasis tepung lokal, 4 meningkatnya aplikasi substitusi tepung terigu dengan tepung lokal pada industri, 5 berkurangnya impor gandum Indonesia, 6 terbentuknya peraturan pemerintah tentang substitusi tepung terigu dengan tepung lokal, dan 7 harga tepung lokal dapat bersaing dari pada tepung terigu. Hasil agregat penilaian para pakar disusun dalam bentuk SSIM Lampiran 16 dan selanjutnya disusun RM dan revisi RM seperti yang ditunjukkan pada Lampiran 17. Hasil revisi RM menghasilkan posisi kuadran sub-elemen tolak ukur pada matriks driver power-dependence seperti terlihat pada Gambar 38a dan struktur hierarki elemen kebutuhan terlibat dalam kelembagaan seperti terlihat pada Gambar 38b. Analisis matriks driver power-dependence dan struktur hierarki antar sub- elemen tolak ukur kelembagaan adalah 1 meningkatnya produksi tepung lokal, 2 lancarnya pasokan bahan baku ke industri, 6 terbentuknya peraturan pemerintah tentang substitusi terigu dengan tepung lokal, dan 7 harga tepung lokal bersaing dengan tepung terigu yang paling berpengaruh dibandingkan tolak ukur yang lain dalam model kelembagaan. Apabila ketiga tolak ukur kelembagaan tersebut dapat tercapai maka akan mendorong tolak ukur lain tercapai. Sub-elemen tolak ukur yang berada pada kuadran II pada matriks driver power-dependence adalah tolak ukur 3 meningkatnya jumlah pelaku usaha makanan berbasis tepung lokal, 4 meningkatnya aplikasi substitusi tepung terigu dengan tepung lokal pada industri, 5 berkurangnya impor gandum Indonesia. Gambar 38 Hasil pengolahan ISM, a Matriks driver power-dependence sub- elemen tolak ukur dan b Struktur hierarki antar sub-elemen tolak ukur Sub-elemen tolak ukur ini memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap tolak ukur yang lain, tetapi daya dorong yang lemah sehingga keberadaan tolak ukur ini tergantung dengan keberadaan tolak ukur lain. 6 Analisis elemen aktivitas yang dibutuhkan untuk perubahan Identifikasi elemen aktivitas yang dibutuhkan untuk perubahaan dalam pengelolaan kelembagaan menghasilkan enam 6 sub-elemen, yaitu: 1 peraturan pemerintah tentang substitusi tepung terigu dengan tepung lokal, 2 membangun skema kerjasama antara petani dan pihak industri yang menguntungkan kedua belah pihak, 3 memberi insentif kepada petani dalam akses modal dan penggunaan teknologi tepat guna, 4 penelitian lanjutan untuk meningkatkan kualitas tepung lokal, 5 melakukan pengenalan dan promosi makanan berbasis tepung lokal akan diterima masyarakat, dan 6 memfasilitasi penguatan kelembagaan antara pelaku rantai pasok. Hasil agregat penilaian para pakar disusun dalam bentuk SSIM Lampiran 16 dan selanjutnya disusun RM dan revisi RM seperti yang ditunjukkan pada Lampiran 17. Hasil revisi RM menghasilkan posisi kuadran sub-elemen aktivitas yang dibutuhkan pada matriks driver power-dependence seperti terlihat pada Gambar 39a dan struktur hierarki elemen aktivitas yang dibutuhkan dalam kelembagaan seperti terlihat pada Gambar 39b. Analisis matriks driver power-dependence dan struktur hierarki antar sub- elemen aktivitas perubahan kelembagaan adalah: 1 PP tentang substitusi tepung terigu dengan tepung lokal adalah sub-elemen yang paling berpengaruh dibandingkan aktivitas perubahan yang lain dalam model kelembagaan. Apabila aktivitas perubahan kelembagaan tersebut dapat dilakukan dengan baik maka akan mendorong aktivitas perubahan tercapai. Gambar 39 Hasil pengolahan ISM, a Matriks driver power- dependence sub- elemen aktivitas perubahan, dan b Struktur hierarki antar sub- elemen aktivitas perubahan Sub-elemen aktivitas perubahan yang berada pada kuadran I pada matriks driver power-dependence adalah sub-elemen aktivitas 3 perubahan Memberi insentif kepada petani dalam akses modal dan penggunaan teknologi tepat guna. Sub-elemen aktivitas perubahan ini memiliki daya dorong yang lemah dan ketergantungan yang rendah terhadap sub-elemen yang lain. Sub-elemen aktivitas perubahan yang berada pada kuadran II pada matriks driver power-dependence adalah aktivitas perubahan: 2 membangun skema kerjasama antara petani dan pihak industri yang menguntungkan kedua belah pihak, 4 penelitian lanjutan untuk meningkatkan kualitas tepung lokal, 5 melakukan pengenalan dan promosi makanan berbasis tepung lokal akan diterima masyarakat, dan 6 memfasilitasi penguatan kelembagaan antara pelaku rantai pasok. Sub-elemen aktivitas perubahan ini memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap aktivitas perubahan yang lain, tetapi daya dorong yang lemah sehingga keberadaan aktivitas perubahan ini tergantung dengan keberadaan aktivitas perubahan lain. 7 Analisis elemen ukuran penilaian hasil aktivitas Identifikasi elemen ukuran penilaian hasil aktivitas dalam pengelolaan kelembagaan menghasilkan delapan 8 sub-elemen, yaitu: 1 terjadi peningkatan permintaan tepung lokal, 2 pasokan bahan baku ke industri berkesinambungan, 3 terjadi peningkatan jumlah pelaku usaha makanan berbasis tepung lokal, 4 terjadi peningkatan penggunaan tepung lokal pada industri makanan, 5 penurunan jumlah impor gandum Indonesia, 6 industri tepung terigu melakukan sebagian substitusi dengan tepung lokal, 7 terbentuknya kebijakan pemerintah tentang substitusi tepung terigu dengan tepung lokal, 8 harga tepung lokal bersaing. Hasil agregat penilaian para pakar disusun dalam bentuk SSIM Lampiran 16 dan selanjutnya disusun RM dan revisi RM seperti ditunjukkan pada Lampiran 17. Hasil revisi RM menghasilkan posisi kuadran sub-elemen ukuran penilaian hasil aktivitas pada matriks driver power-dependence seperti terlihat pada Gambar 40a dan struktur hierarki elemen ukuran penilaian hasil aktivitas dalam kelembagaan seperti terlihat pada Gambar 40b. Analisis matriks driver power-dependence dan struktur hierarki antar sub- elemen ukuran penilaian hasil aktivitas kelembagaan adalah 8 harga tepung lokal dapat bersaing adalah sub-elemen yang paling berpengaruh dibandingkan ukuran penilaian hasil aktivitas yang lain dalam model kelembagaan. Apabila ukuran penilaian hasil aktivitas kelembagaan tersebut dapat dilakukan dengan tercapai maka akan mendorong ukuran penilaian hasil aktivitas yang lain tercapai juga. Sub-elemen ukuran penilaian hasil aktivitas yang berada pada kuadran II pada matriks driver power-dependence adalah aktivitas perubahan: 1 terjadinya peningkatan permintaan tepung lokal, 4 peningkatan penggunaan tepung lokal pada industri makanan. Sub-elemen ukuran penilaian hasil aktivitas ini memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap ukuran penilaian hasil aktivitas yang lain, tetapi daya dorong yang lemah sehingga keberadaan ukuran penilaian hasil aktivitas ini tergantung dengan keberadaan ukuran penilaian hasil aktivitas lain. Sub-elemen ukuran penilaian hasil aktivitas kelembagaan yang berada pada kuadran III pada matriks driver power-dependence pada Gambar 40 adalah 2 pasokan bahan baku ke industri berkesinambungan, 3 terjadi peningkatan jumlah pelaku usaha makanan berbasis tepung lokal, 5 penurunan jumlah impor gandum Indonesia, 6 industri tepung terigu melakukan sebagian substitusi dengan tepung lokal, 7 terbentuknya kebijakan pemerintah tentang substitusi tepung terigu dengan tepung lokal, dimana ukuran penilaian hasil aktivitas tersebut memiliki daya dorong kuat dan tingkat ketergantungan yang kuat juga atau disebut juga pengait linkage. Tercapainya sub-elemen tujuan pada kuadaran III dipengaruhi oleh sub-elemen tujuan lainnya. Begitu juga apabila sub-elemen tujuan pada kuadran III tercapai maka akan mendorong tercapainya tujuan lainnya. Implementasi Terhadap Rekayasa Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Analisis dengan pendekatan ISM untuk rekayasa kelembagaan kemitraan rantai pasok diperoleh beberapa arahan tentang model kelembagaan yang akan dirancang. Rangkuman analisis ISM, hasil referensi, dan wawancara pakar sebagai acuan untuk menyusun rekomendasi kelembagaan yang diuraikan sebagai berikut: 1. Peran pemerintah yang sangat dominan sebagai pembuat kebijakan untuk substitusi tepung terigu dengan tepung lokal. Selain itu, pemerintah sebagai penentu kebijakan mengurangi impor gandum sehingga tepung lokal dapat Gambar 40 Hasil pengolahan ISM, a Matriks driver power- dependence sub- elemen ukuran penilaian hasil aktivitas dan b Struktur hierarki antar sub- elemen ukuran penilaian hasil aktivitas dimanfaatkan secara maksimal untuk mensubstitusi tepung terigu. Kebijakan ini dapat menumbuhkan industri berbasis tepung lokal dan secara tidak langsung akan meningkatkan pendapatan petani. Analisis ISM menunjukkan bahwa ada lima elemen yang meletakkan peran pemerintah sebagai faktor kunci yaitu: elemen pelaku dengan sub-elemen pemerintah, elemen kendala dengan kurangnya dukungan pemerintah untuk substitusi tepung terigu, elemen tolak ukur terbentuknya peraturan pemerintah tentang substitusi tepung terigu dengan tepung lokal, dan elemen aktivitas perubahan dengan sub-elemen PP tentang substitusi tepung terigu dengan tepung lokal. 2. Konsep kelembagaan yang dibangun harus mencapai tujuan meningkatkan pendapatan petani dan industri pembuatan tepung lokal. Selain itu, kelembagaan yang dibentuk harus dapat memenuhi kebutuhan kunci seperti adanya jaminan pasar, bantuan kredit bagi petani dan membentuk sumber daya manusia yang berkualitas. Lebih lanjut kebijakan dituangkan ke dalam model alternatif kelembagaan kemitraan pelaku rantai pasok yang merupakan hasil analisis antara model kelembagaan yang sudah ada di Indonesia dan pendapat para pakar. Pemilihan Alternatif Model Kemitraan Petani Ubi kayu dan Industri Tapioka Pemilihan pola kemitraan rantai pasok yang tepat untuk keberlanjutan rantai pasok tepung lokal dalam upaya mendukung substitusi tepung terigu. Pada penelitian ini dirancang pola kemitraan antara petani ubi kayu dan industri tapioka. Industri tapioka dipilih karena ubi kayu banyak dibudidayakan di Indonesia dengan produksi mencapai 22.9 juta ton pada tahun 2016 BPS 2016. Pemilihan pola kemitraan dilakukan dengan menggunakan pendekatan fuzzy analytical hierarchy process FAHP. Masukan untuk membentuk struktur AHP diperoleh dari hasil identifikasi kebutuhan melalui pengamatan lapangan, benchmarking kemitraan pertanian kontrak dan pendapat para pakar dengan struktur AHP dapat dilihat pada Gambar 41. Tingkat kepentingan relatif antar faktor Hasil gabungan penilaian para pakar mengenai tingkat kepentingan relatif antar faktor dapat dilihat pada Lampiran 18. Hasil perhitungan bobot atribut faktor pada Tabel 46 menunjukkan bahwa faktor jaminan pasar merupakan faktor yang paling penting bagi keberhasilan kelembagaan pertanian kontrak dengan bobot 0.305. Hal ini karena jaminan pasar merupakan faktor penting dalam keberlanjutan usaha atau rantai pasok. Setiap pelaku dalam rantai pasok menghasilkan komoditas atau produk yang selanjutnya dijual untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan sehingga usaha dapat berkelanjutan. Faktor penting yang kedua adalah jaminan pasokan dengan bobot 0.295. Jaminan pasokan merupakan faktor yang penting karena apabila pasokan bahan baku tidak lancar menyebabkan terganggunya produksi sehingga industri mengalami kerugian dan kehilangan pendapatan atau keuntungan. Faktor penting yang ketiga adalah jaminan harga dimana pelaku rantai pasok menginginkan komoditas atau produk yang dihasilkan memiliki harga relatif stabil dan menguntungkan sehingga dapat mengurangi resiko kerugian bila harga tidak stabil. Faktor penting selanjutnya berturut-turut adalah dukungan kebijakan pemerintah, kualitas pasokan, dan teknologi proses. Tingkat kepentingan relatif antar pelaku Tingkat kepentingan relatif pengaruh masing-masing pelaku terhadap setiap faktor dapat dilihat pada Tabel 47 yang menunjukkan bahwa faktor keberhasilan jaminan pasokan dan kualitas pasokan bersumber dari petani. Hal ini karena petani merupakan pemasok bahan baku untuk industri sehingga untuk keberhasilan kelembagaan kontrak pertanian pelaku petani harus diperhatikan. Faktor jaminan pasar, jaminan harga, dan teknologi proses pelaku yang paling berperan adalah industri pengolahan karena merupakan sebagai penentu harga komoditas, penampung bahan baku dan pengguna teknologi. Sedangkan Tabel 46 Hasil perhitungan bobot untuk atribut faktor No. Elemen faktor Bobot Prioritas 1. Jaminan pasokan 0.294 2 2. Kualitas pasokan 0.059 5 3. Jaminan pasar 0.305 1 4. Jaminan harga 0.200 3 5. Teknologi proses 0.041 6 6. Kebijakan pemerintah 0.101 4 Gambar 41 Struktur AHP pemilihan alternatif model pola kemitraan pertanian kontrak pemerintah berperan sebagai pembuat kebijakan untuk membantu keberlanjutan dan kesuksesan kelembagaan. Untuk menentukan pelaku yang sangat perpengaruh terhadap keberhasilan kelembagaan kontrak pertanian selanjutnya dilakukan perkalian antara nilai eigen masing masing aktor terhadap setiap faktor dengan nilai eigen faktor sehingga diperoleh bobot pelaku pada Gambar 42. Pelaku industri tapioka memiliki peran yang penting dalam keberlanjutan dan kesuksesan kelembagaan kontrak pertanian. Hal ini karena industri pengolahan berperan sebagai pasar dari komoditas dan berperan dalam menentukan harga komoditas. Pelaku berikutnya yang berperan penting terhadap atribut aktor adalah petani sebagai pemasok bahan baku. Tingkat kepentingan relatif antar tujuan kemitraan kontrak pertanian Prioritas utama atribut tujuan kelembagaan kontrak pertanian adalah peningkatan pendapatan petani dengan bobot 0.30 seperti ditunjukan pada Tabel 48. Apabila dengan pola kemitraan yang dibentuk dapat meningkatkan pendapatan petani maka petani akan terdorong untuk membudidayakan komoditas ubi kayu sebagai bahan baku tepung tapioka. Selain itu, petani akan termotivasi untuk memenuhi jumlah dan kualitas yang diinginkan industri pengolahan sehingga diharapkan pasokan bahan baku berkesinambungan. Selanjutnya prioritas kedua untuk atribut tujuan adalah terjaminnya pasokan dengan bobot Tabel 47 Tingkat kepentingan relatif pelaku terhadap setiap faktor Jaminan pasokan Kualitas pasokan Jaminan pasar Jaminan harga Teknologi proses Kebijakan pemerintah Bobot Petani 0.55 0.48 0.21 0.06 0.15 0.09 0.28 Pengepul 0.23 0.17 0.20 0.11 0.09 0.09 0.17 industri pengolahan 0.11 0.20 0.41 0.56 0.57 0.09 0.31 lembaga keuangan 0.06 0.06 0.08 0.06 0.07 0.09 0.07 Pemerintah 0.06 0.09 0.11 0.20 0.12 0.64 0.16 Gambar 42 Nilai eigen untuk atribut pelaku terhadap atribut aktor pola kemitraan kontrak pertanian 0.26. Prioritas selanjutnya berturut-turut adalah peningkatan keuntungan industri. harga jual yang bersaing, dan terjaminnya kualitas. Industri berbahan baku komoditas pertanian sering menghadapi pasokan bahan baku tidak stabil dimana saat musim panen, bahan baku berlimpah sedangkan diluar musim panen bahan baku menjadi langka dan mahal. Hal ini menggangu produksi sehingga dapat mengakibatkan industri mengalami kerugian. Selain itu dari Tabel 48 dapat diuraikan tingkat kepentingan relatif antar tujuan terhadap pelaku kelembagaan kontrak pertanian dimana memperlihatkan bahwa pelaku petani, lembaga keuangan dan pemerintah dengan tujuan prioritas utamanya adalah untuk meningkatkan pendapatan petani. Prioritas utama bagi pengepul dan industri pengolahan dalam kelembagaan kontrak pertanian adalah terjaminnya kontinuitas pasokan. Pemilihan alternatif kelembagaan kemitraan kontrak pertanian Perhitungan tingkat kepentingan relatif antar alternatif model kelembagaan kontrak pertanian pada Tabel 49 menunjukkan bahwa kemitraan inti plasma memiliki bobot tertinggi sebesar 0.47 atau merupakan prioritas pertama. Kemitraan inti plasma ini dapat mencapai tujuan peningkatan keuntungan industri, dan harga jual yang bersaing dibandingkan dengan alternatif model kemitraan kontrak pertanian yang lain. Prioritas kedua atribut alternatif kelembagaan adalah pola kerjasama operasional. Pola kelembagaan ini dapat meningkatkan pendapatan petani dan menjamin kontinuitas pasokan dibandingkan dengan alternatif lain. Tabel 49 Tingkat kepentingan relatif atribut alternatif terhadap setiap tujuan dalam kelembagaan kontrak pertanian Peningkatan pendapatan petani Terjaminnya kontinuitas pasokan Peningkatan keuntungan industri Terjaminnya kualitas pasokan Harga jual bersaing Bobot alternatif Kemitraan inti plasma 0.42 0.45 0.58 0.41 0.48 0.47 Kemitraan sub kontrak 0.11 0.10 0.21 0.15 0.21 0.15 Pola kerjasama operasional 0.46 0.45 0.21 0.44 0.31 0.38 Tabel 48 Tingkat kepentingan relatif atribut tujuan terhadap setiap pelaku dalam kelembagaan kontrak pertanian Petani Pengepul Industri pengolahan Lembaga keuangan Pemerintah Bobot tujuan Peningkatan pendapatan petani 0.54 0.23 0.05 0.35 0.44 0.30 Terjaminnya kontinuitas pasokan 0.13 0.39 0.36 0.20 0.19 0.26 Peningkatan keuntungan industri 0.16 0.13 0.32 0.25 0.21 0.22 Terjaminnya kualitas pasokan 0.07 0.16 0.10 0.07 0.05 0.09 Harga jual yang bersaing 0.10 0.09 0.17 0.14 0.11 0.12 Rekomendasi Model Kelembagaan Kemitraan Industri Tapioka dan Petani Ubi Kayu Dari hasil analisis keseluruhan dengan pendekatan benchmarking, ISM dan fuzzy AHP maka dapat direkomendasikan model kelembagaan kemitraan industri tapioka dan petani ubi kayu bahwa pola kemitraan yang sesuai adalah pola inti plasma yang dijabarkan pada Tabel 50. Rekomendasi kemitraan antara petani dan pelaku tepung tapioka yang dijabarkan terdiri dari pola kemitraan, pola koordinasi, hak dan kewajiban masing-masing pihak, aturan main, dan elemen-elemen kunci yang diperhatikan untuk keberhasilan kelembagaan yang dibentuk. Tabel 50 Model kelembagaan kemitraan industri tapioka dan petani ubi kayu yang diusulkan Elemen kelembagaan Keterangan Pola pertanian kontrak Kemitraan inti plasma Koordinasi Koordinasi melalui depatemenbagiansub-bagian kerjasamakemitraan pada perusahaan inti dan diteruskan oleh ketua kelompok petani. Hak petani - Mendapat bimbingan teknis budi daya ubi kayu - Mendapat bantuan kredit Hak Perusahaan inti industri tapioka - Mendapat ubi kayu dari petani - Menentukan varietas ubi kayu yang ditanam Kewajiban petani - Menyediakan lahan pemilikannya untuk budidaya - Menanam ubi kayu sesuai dengan variatas yang ditetapkan industri tapioka - Mengikuti programpenjadwalan tanam dan panen yang dibuat oleh industri tapioka - Melaksanakan budidaya ubi kayu sesuai bimbingan perusahaan inti. - Menjual keseluruhan hasil panen ubi kayu ke industri tapioka - Melunasi kredit bila ada Kewajiban mitra - Menampung ubi kayu dari petani - Memberi layanan teknik penanaman ubi kayu - Memberi bantuan bibit - Melakukan pengawasan terhadap cara panen dan pengelolaan pasca panen Kebijakan harga Berdasarkan harga pasar Aturan main Pola kemitraan inti plasma antara petani dan industri tapioka diperkuat dengan adanya surat perjanjian kerjasama yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak- pihak yang bekerjasama berdasarkan kesepakatan bersama. Perjanjian kerjasama berisikan hak-hak dan kewajiban kedua belak pihak. Dalam pelaksanaan inti plasma, kedua belak pihak wajib mengikuti aturan-aturan yang telah disepakati. Elemen kunci sukses - Peningkatan penggunaan tepung lokal pada industri makanan - Terjaminnya pasokan bahan baku - Terjaminnya pasar tepung tapioka - SDM yang berkualitas - Harga tepung lokal yang bersaing - Pengurangan impor gandum - Peningkatan produktivitas lahan - Peningkatan pemanfaatan tepung lokal sebagai pengganti tepung terigu - Adanya peran pemerintah - Adanya bantuan kredit Sumber dana - Modal budidaya ubi kayu berasal dari petani, dan juga mendapat bantuan kredit dari perusahaan inti atau koperasi - Sumber dana perusahaan ini dari modal sendiri atau mendapat pinjaman modal dari lembaga keuangan atau bank Pemilihan Alternatif Model Pertanian Kontrak Industri Mocaf dan Petani Ubi Kayu Pada penelitian ini masukan untuk membentuk struktur AHP pemilihan alternatif pola kemitraan industri mocaf, diperoleh dari hasil identifikasi pengamatan lapangan, benchmaking kemitraan pertanian kontrak, dan pendapat para pakar. Alternatif pemilihan model kemitraan berdasarkan keadaan yang sedang berlaku sekarang. yaitu industri mocaf menerima bahan baku mentah dari petani dan industri menerima dalam bentuk chip mocaf dari petani. Selanjutnya pola tersebut masing-masing diintegrasikan dengan pola inti plasma. Struktur AHP untuk alternatif model pertanian kontrak industri mocaf dapat dilihat pada Gambar 43. Atribut faktor, pelaku, dan tujuan untuk pemilihan alternatif kelembagaan kemitraan kontrak pertanian pada industri tepung mocaf memiliki sub-elemen yang sama maka analisis untuk atribut faktor, aktor, dan tujuan menggunakan analisis dari pengolahan FAHP pemilihan pola kemitraan industri tapioka. Pola kelembagaan kemitraan tepung mocaf dengan petani langsung dilakukan analisis terhadap pemilihan alternatif. Tingkat kepentingan antar alternatif pola kemitraan terhadap tujuan kelembagaan dapat dilihat pada Tabel 51. Hasil perhitungan bobot atribut alternatif menunjukkan bahwa alternatif kemitraan inti plasma dengan petani sebagai pemasok chip merupakan alternatif kelembagaan prioritas pertama dengan bobot 0.55. Alternatif model kelembagaan ini dapat meningkatkan pendapatan Gambar 43 Hierarki AHP alternatif kemitraan petani ubi kayu dan usaha mocaf petani karena dengan menjual chip, petani mendapat nilai tambah lebih besar dibandingkan dengan menjual bahan baku mentah. Selain itu, membeli chip dari petani akan menjamin pasokan karena chip dapat bertahan lebih lama dibandingkan dengan bahan baku mentah. Namun dari segi kualitas bahan baku, membeli chip dari petani menyebabkan kualitas tidak seragam. Hal ini disebabkan karena sumber chip yang beragam sehingga cukup sulit untuk mengendalikan kualitas. Untuk mengatasi tersebut dapat dibuat kewajiban kelompok petani mitra, harus membuat chip sesuai dengan standar operasional prosedur SOP yang ditetapkan industri. Pihak industri dapat menolak chip dari petani bila tidak sesuai dengan standar yang ditentukan. Tujuan untuk mencapai harga mocaf yang bersaing atau dibawah harga tepung terigu dari pendapat pakar akan lebih menguntungkan bila mocaf diolah dipabrik mulai dari bahan baku mentah. Namun hal ini dapat diatasi dengan menentukan harga beli chip dari petani sesuai dengan risiko yang tanggung petani dan meningkatkan produktivitas lahan petani sehingga petani dapat menjual lebih banyak chip dengan harga yang layak Pola kemitraan inti plasma antara industri mocaf dan petani sudah diterapkan PT. BCM di Solo seperti yang sudah dijelaskan pada bab 4 disertasi ini. PT. BCM sebagai produsen mocaf bekerjasama dengan plasma kelompok tani ubi kayu atau disebut dengan kelompok cluster untuk memproduksi chip sesuai dengan standar perusahaan. Pihak inti dan plasma mempunyai hak dan kewajiban masing-masing yang sudah disepakati bersama. Rekomendasi Model Kelembagaan Kemitraan Industri Mocaf dan Petani Ubi Kayu Hasil analisis keseluruhan dengan pengamatan lapangan, wawancara mendalam, benchmarking, pendekatan ISM, dan fuzzy AHP maka dapat dirumuskan rekomendasi model kelembagaan kemitraan industri mocaf dan petani ubi kayu bahwa pola kemitraan yang sesuai adalah pola inti plasma dengan pembuatan chip oleh petani dimana diuraikan secara lengkap pada Tabel 52. Industri mocaf bermitra dengan kelompok tani atau yang disebut dengan kelompok cluster untuk memproduksi chip mocaf yang selanjutnya dikirim ke industri mocaf. Kemitraan tersebut harus mengikuti aturan main yang telah ditetapkan dan mematuhi kewajiban dan hak kedua belah pihak. Tabel 51 Hasil perhitungan bobot untuk atribut tujuan Peningkatan pendapatan petani Terjaminnya kontinuitas pasokan Peningkatan keuntungan industri Terjaminnya kualitas pasokan Harga jual yang bersaing Bobot aktor Kemitraan inti plasma petani memasok chip 0.81 0.81 0.21 0.15 0.28 0.55 Kemitraan inti plasma petani memasok bahan baku basah 0.19 0.19 0.79 0.85 0.72 0.45 Model Kemitraan Industri Tepung Lokal dengan Industri Tepung Terigu Dalam manajemen rantai pasok, produsen harus mampu menjalin hubungan yang kuat dan koordinasi dengan mitra yang berhubungan yaitu mulai dari pemasok bahan baku, distributor, hingga konsumen akhir. Hubungan yang kuat antara produsen dengan mitra bisnis akan memberikan produk dengan kualitas yang diinginkan dan pelayanan yang tepat waktu bagi konsumen. Kanter 1994 mengungkapkan bahwa hubungan perusahaan dengan pemasok merupakan Tabel 52 Model kelembagaan kemitraan industri mocaf dan petani ubi kayu yang diusulkan Elemen kelembagaan Keterangan Pola Kemitraan inti plasma Koordinasi Koordinasi melalui depatemenbagiansub-bagian kerjasamakemitraan pada perusahaan inti dan diteruskan oleh ketua kelompok petani atau kluster chip Hak kelompok petani cluster chip - Mendapat bimbingan teknis budi daya ubi kayu - Mendapat bantuan kredit - Mendapat enzim mocaf - Mendapat bantuan bibit - Mendapat bantuan peralatan pembuatan chip Hak Perusahaan inti - Mendapat chip dari kelompok petani - Menentukan varietas ubi kayu yang ditanam Kewajiban petani - Menyediakan lahan pemilikannya untuk budidaya - Menanam ubi kayu sesuai dengan variatas yang ditetapkan industri mocaf - Mengikuti penjadwalan tanam dan panen yang dibuat oleh industri mocaf - Melaksanakan budidaya ubi kayu sesuai dengan bimbingan perusahaan inti. - Mengolah seluruh hasil panen ubi kayu ke bentuk chip mocaf - Menjual keseluruhan chip mocaf ke industri mitra - Melunasi kredit bila ada Kewajiban mitra - Menampung keseluruhan chip mocaf dari kelompok petani - Memberi layanan teknik penanaman ubi kayu - Memberi bantuan bibit - Melakukan pengawasan terhadap cara panen dan pengelolaan pasca panen, hingga pembuatan chip mocaf untuk mencapai mutu yang tinggi Kebijakan harga Berdasarkan harga pasar Aturan main Pihak perusahan inti bermitra dengan kelompok tani yang terdiri dari 5-30 anggota tani. Satu kelompok tani diketuai oleh seorang anggota yang dipilih secara musyawarah. Untuk memperkukuh kemitraan maka dibuat surat perjanjian kerjasama yang berisikan hak-hak dan kewajiban kedua belak pihak yang wajib diikuti. Elemen kunci sukses - Peningkatan penggunaan tepung mocaf pada industri makanan - Terjaminnya pasokan dan kualitas bahan baku - Terjaminnya pasar tepung mocaf - Harga tepung mocaf yang bersaing - SDM yang berkualitas - Pengurangan impor gandum - Peningkatan produktivitas lahan - Peningkatan pemanfaatan mocaf sebagai pengganti tepung terigu - Adanya peran pemerintah daerah dan pusat - PP tentang substitusi tepung terigu dengan tepung lokal. Sumber dana - Petani dan juga mendapat bantuan kredit dari perusahaan inti atau koperasi - Sumber dana perusahaan inti dari modal sendiri atau mendapat pinjaman modal dari lembaga keuangan atau bank kolaborasi yang paling kuat dalam konteks value chain atau supply chain. Pemasok berperan menyediakan bahan baku yang digunakan oleh perusahaan dimana kinerja pemasok berpengaruh pada kinerja perusahaan secara keseluruhan. Berdasarkan studi literatur, pengamatan lapangan dan diskusi dengan pakar maka dapat direkomendasikan bentuk kemitraan antara pemasok tepung lokal sebagai pemasok bahan baku dengan industri tepung terigu berupa pola subkontrak dengan uraian dirangkum Tabel 53. Kemitraan industri tepung lokal dan tepung terigu pada kasus ini merupakan hubungan antara pemasok bahan baku ke pemakai industri. Pelaku tepung lokal sebagai pemasok yang memproduksi bahan baku yang diperlukan industry tepung terigu bagian dari hasil produksinya. Kemitraan ini memiliki kesepakatan tentang Tabel 53 Rekomendasi kelembagaan kemitraan antara pemasok tepung lokal dengan industri tepung terigu Elemen kelembagaan Keterangan Pola kemitraan Subkontrak Koordinasi Pada bagian pembelian di perusahaan Hak pemasok tepung lokal - Mendapat harga sesuai dengan pasar - Jangka pembayaran sesuai dengan kesepakatan Hak perusahaan industri tepung terigu - Mendapat bahan baku sesuai dengan kualitas sesuai standar SNI - Memperoleh bahan baku dengan tepat waktu - Menolak bahan baku yang tidak sesuai standar SNI Kewajiban pemasok tepung lokal - Mengirim bahan baku sesuai dengan jumlah dan kualitas yang diinginkan perusahaan pemesan. - Mengirimkan bahan baku dengan jumlah dan waktu yang telah ditentukan Kewajiban perusahaan - Melunasi pembayaran dengan tepat waktu. - Membantu meningkatkan kinerja pemasok dengan memberi bimbingan teknis. Elemen kunci sukses - Peningkatan penggunaan tepung lokal pada industri makanan - Terjaminnya pasokan bahan baku tepung lokal - Terjaminnya pasar tepung lokal - Terjaminnya kualitas bahan baku - Harga tepung lokal yang bersaing - SDM yang berkualitas - Pengurangan impor gandum - Peningkatan kinerja tepung lokal - Peningkatan pemanfaatan tepung lokal sebagai pengganti tepung terigu - Adanya peran pemerintah daerah dan pusat - PP tentang substitusi tepung terigu dengan tepung lokal. Aturan main Pemasok dan industri tepung terigu membuat kesepakatan tentang kerjasama bisnis untuk pasokan bahan baku lokal dalam jangka waktu tertentu. Setelah waktu yang ditentukan selesai pihak perusahaan mengevaluasi apakah akan meneruskan hubungan kemitraan pemasok atau pengganti dengan pemasok lain. Pihak mitra industri tepung terigu memesan bahan baku sesuai dengan standar kualitas, jumlah yang ditentukan dengan pengiraman dengan tepat waktu. Pemasok bahan baku berkewajiban memenuhi jumlah dan kualitas yang diinginkan oleh industri tepung terigu. kontrak bersama yang menyangkut volume, harga, mutu, dan waktu pengiriman. Untuk menjaga keberlanjutan pasokan bahan baku, kontrak dapat dilakukan dalam jangka panjang atau dalam jangka setahun kemudian dievaluasi untuk dipertimbangkan perpanjangan. Pemilihan pemasok bahan baku yang tepat merupakan hal keputusan yang strategis dalam manajemen rantai pasok karena berhubungan dengan kelancaran proses produksi dan keberlangsungan perusahaan. Oleh karena itu perlu dipilih pemasok dilihat dari segi kualitas, keandalan, ketepatan waktu dan harga produk. Berdasarkan wawancara dengan pelaku industri tepung terigu dan pakar bahwa para pelaku industri tepung terigu bersedia mencampur tepung terigu dengan tepung lokal apabila tepung memenuhi syarat SNI. Bagi industri tepung lokal skala kecil menengah sangat sulit memenuhi kualitas SNI karena memerlukan biaya yang besar untuk pengurusan SNI. Industri tepung terigu dapat memilih tepung lokal sebagai supplier bahan baku yang sudah memenuhi SNI. Simpulan Berdasarkan hasil analisis kinerja rantai pasok tepung lokal dan perancangan kelembagaan antar pelaku rantai pasok dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu: 1. Hasil pengukuran kinerja rantai pasok tepung lokal untuk substitusi tepung terigu di Jawa Barat menunjukkan bahwa pelaku petani dan tapioka halus masing-masing memiliki kinerja baik dan kurang, sedangkan pelaku tapioka kasar dan mocaf masing-masing memiliki kinerja yang bursangat kurang dan buruk. 2. Metode ISM dapat mengidentifikasi elemen-elemen kunci sukses dari suatu kelembagaan sehingga untuk pengembangan kelembagaan dapat lebih fokus memperhatikan dan membenahi elemen-elemen tersebut. 3. Elemen kunci sukses dalam kelembagaan rantai pasok tepung lokal untuk mendukung substitusi terhadap tepung terigu adalah peranan pemerintah dalam membuat kebijakan tentang pengurangan impor gandum dan membuat peraturan tentang substitusi tepung terigu dengan tepung lokal. 4. Fuzzy AHP digunakan untuk memilih alternatif pola kemitraan yang tepat dengan melihat dari berbagai aspek atau atribut sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Penggunaan fuzzy pada AHP agar dapat mengatasi penilaian subjektivitas para responden pakar yang memiliki keterbatasan dan ketidakmampuan dalam mempertimbangkan penilaian yang tepat dan pasti. 5. Alternatif model kelembagaan pola kemitraan antara petani ubi kayu dengan industri tapioka adalah pola inti plasma, dimana pola ini dapat mengurangi permasalahan industri dalam ketidaksinambungan pasokan dan kualitas pasokan yang beragam. Selain itu, pola inti plasma dapat membantu meningkatkan kesejahteraan petani dengan memberi jaminan harga dan bantuan kredit untuk budi daya. 6. Alternatif model kelembagaan pola kemitraan antara petani ubi kayu dengan industri mocaf adalah pola inti plasma dengan kelompok tani sebagai plasma yang berperan sebagai pemasok chip mocaf. Pola kemitraan ini dapat mengurangi permasalahan industri seperti ketidaksinambungan pasokan, kualitas pasokan yang beragam, membantu meningkatkan kesejahteraan petani dengan memberi jaminan harga dan bantuan kredit untuk budi daya, serta memberi nilai tambah komoditas ubi kayu bagi petani. 7. Faktor terpenting dalam keberhasilan kontrak pertanian adalah adanya jaminan pasar baik bagi petani maupun industri pengolahan dan jaminan pasokan. 8. Pelaku yang berpengaruh kuat pada keberhasilah pola kemitraan kontrak pertanian adalah perusahaan inti atau industri pengolahan karena berperan sebagai jaminan pasar dan memberi jaminan harga. 9. Pola kemitraan antara pemasok tepung lokal dengan tepung terigu berupa kemitraan bisnis berupa pola subkontrak. 10. Model kelembagaan yang dirancang merupakan masukkan untuk perencanaan bisnis tepung terigu substitusi Saran Pada penelitian ini, pengukuran kinerja rantai pasok tepung lokal dilakukan pada wilayah Jawa Barat dan penelitian berikutnya dapat dilakukan pada wilayah yang berhubungan dengan rantai pasok yang diteliti. Perlu dikembangkan lebih lanjut pola kelembagaan kemitraan antara pelaku rantai pasok yang sudah diterapkan saat ini dengan mempertimbangakn biaya transaksi untuk perbaikan dan keadilan. Untuk memudahkan tindak lanjut oleh investor untuk menyusun rencana bisnis perlu dilakukan perencanaan bisnis tepung terigu substitusi . 8 PERENCANAAN BISNIS TEPUNG TERIGU SUBSTITUSI Abstrak Produk tepung terigu dengan substitusi sebagian dengan tepung lokal atau disebut dengan tepung terigu substitusi belum begitu dikenal oleh masyarakat Indonesia. Hingga saat ini para investor belum berminat untuk berinvestasi ke bisnis tepung terigu substitusi. Untuk membuka minat investasi pada tepung terigu substitusi maka diperlukan informasi mengenai bisnis tepung terigu substitusi yang dapat membantu para calon investor untuk memutuskan secara tepat atas perencanaan bisnis tepung terigu substitusi. Pada penelitian ini model perencanaan bisnis yang dibahas meliputi: perencana produk, perencanaan pemasaran, perencanaan teknologi, dan analisis finansial. Kriteria kelayakan investasi yang digunakan adalah Net Present Value NPV, Internal Rate of Return IRR, Net BC, Payback Period PBP, dan analisis sensitivitas. Analisis kelayakan menggunakan discount factor 9 dan periode evaluasi selama 20 tahun. Hasil kelayakan menunjukkan bahwa tepung terigu substitusi layak bila dijual pada harga jual minimal Rp. 6200.-. Analisis sensitivitas menunjuk bahwa bila terjadi kenaikan harga bahan baku sebesar 2 maka harga jual Rp. 6200 masih layak. Kata kunci: perencanaan bisnis, tepung terigu substitusi, analisis finansial, studi kelayakan Pendahuluan Tepung terigu merupakan komoditas strategis di Indonesia karena industri makanan baik skala kecil-menengah maupun industri besar modern umumnya berbsais tepung terigu. Ketergantungan Indonesia terhadap tepung terigu gandum dapat membahayakan ketahanan pangan, ekonomi dan politik karena gandum merupakan komoditas 100 impor. Untuk mengurangi ketegantungan Indonesia terhadap gandum tepung terigu maka perlu didorong untuk mengurangi penggunaan tepung terigu pada industri makanan. Hal ini dapat dilakukan dengan mencampur sebagai tepung terigu dengan tepung lokal. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya bahwa campuran maksimum 15 tepung lokal semua jenis dapat digunakan untuk semua jenis produk makanan berbasis tepung terigu. Pada bab 5 dan 6 disertasi ini telah dibahas optimasi rantai pasok tepung terigu mempertimbangkan substitusi dengan dengan tepung lokal. Substitusi dilakukan pada pabrik penggilingan tepung terigu dengan alternative tepung lokal meliputi mocaf, tepung tapioka dan tepung ubi jalar. Optimasi dilakukan untuk memenuhi empat tujuan secara bersamaan yaitu: minimisasi biaya total rantai pasok, maksimisasi kualitas, maksimisasi keandalan rantai pasok dan maksimisasi penggunaan tepung lokal. Hasil optimasi menunjukkan bahwa persentase penggunaan tepung lokal yang optimal pada persentase 5.66 dengan campuran tepung tapioka. Pencampuran tepung lokal dengan tepung terigu pada pabrik penggilingan tepung terigu perlu dilakukan direncanakan secara matang, agar investasi yang dilakukan tidak sia-sia. Pada bab ini, perencanaan bisnis tepung terigu substitusi dilakukan meliputi perencaan produk, perencanaan pemasaran, perencanaan produksi dan operasional, dan analisis finansial. Tujuan perencanaan bisnis ini untuk informasi bagi pengambil kebijakan atau keputusan dalam merencanakan usaha atau investasi di bidang tepung terigu substitusi sehingga dapat berjalan dengan baik. Rencana Produk Produk yang dihasilkan berupa campuran tepung terigu dengan tepung lokal tapioka dan mocaf atau disebut dengan tepung terigu substitusi. Berdasarkan hasil optimasi rantai pasok pada bab 5 dan 6 maka tepung lokal yang digunakan adalah tepung tapioka. Hal ini karena tepung tapioka memiliki kualitas yang lebih baik untuk mensubstitusi tepung terigu dan ketersediaannya cukup untuk mensubstitusi 5.66 tepung terigu. Apabila ketersediaan tepung mocaf dan tepung ubi jalar mampu memenuhi kebutuhan substitusi tepung terigu maka dapat dipertimbangkan sebagai tepung substitusi. Substitusi tepung lokal sebesar 5.66 dapat digunakan untuk tepung protein tinggi, protein sedang, dan protein rendah. Jenis tepung terigu yang dibahas pada perencanaan bisnis ini adalah tepung terigu protein sedang karena merupakan tepung serba guna yang dapat digunakan untuk berbagai jenis makanan. Hasil wawancara dan diskusi dengan para pakar bahwa keengganan pelaku usaha makanan atau tepung terigu mengenai substitusi tepung terigu karena kualitas tepung lokal belum memenuhi Standar Nasional Indonesia SNI yang yang telah ditetapkan dan juga harga tepung lokal lebih mahal dari tepung terigu. Untuk memenuhi SNI maka bahan baku tepung lokal yang digunakan untuk campuran tepung terigu harus memenuhi SNI. Untuk memenuhi hal tersebut maka pihak industri tepung terigu dapat melakukan persyaratan SNI untuk sebagai pemasok bahan baku tepung lokal. Kemasan tepung terigu substitusi dikelompokkan berdasarkan ukuran, yaitu: 1. Kemasan 25 kg 1 sak, digunakan untuk industri kecil menengah UKM atau retail. 2. Kemasan 1 kg untuk retail atau konsumsi rumah tangga. 3. Penggunaan untuk industri makanan dapat dikirim dalam bentuk kemasan 760 kg semi bulk atau bulk container delivery dengan ukuran 25 ton. Rencana Lokasi Pada bab sebelumnya telah dirancang rantai pasok tepung terigu dengan 3 lokasi pabrik yaitu Medan, Cilegon, dan Semarang. Lokasi tersebut sesuai untuk lokasi industri tepung terigu karena wilayah pusat bisnis dan industri di Indonesia serta infrastruktur sudah memadai. Selain itu lokasi tersebut dekat dengan pelabuhan dimana pabrik tepung terigu biasanya memiliki dermaga sendiri untuk memudahkan bongkar muat gandum yang didatangkan dari luar negeri. Untuk perencanaan lokasi industri tepung terigu substitusi ini di Cilegon untuk wilayah pemasaran provinsi Lampung, Banten, Jakarta, dan Jawa Barat. Rencana Pemasaran Segmen Pasar Segmen pasar untuk produk terigu substitusi ini adalah industri kecil atau besar serta pengguna industri rumah tangga yang selama ini menggunakan tepung jenis protein sedang atau juga disebut tepung serba guna. Pengguna tepung terigu jenis protein sedang ini dapat berupa kebutuhan rumah tangga, industri kecil, sedang dan besar untuk produk seperti donat, bakpau, martabak, pancake, muffin, mie basah, brownies, onde-onde, dll. Promosi Promosi tepung terigu terigu substitusi ini dilakukan bekerjasama dengan pemerintah dalam rangka mendukung ketahanan pangan nasional. Selain berbentuk promosi berbentuk iklan di media, untuk melancarkan pemasaran tepung terigu substitusi harus didukung oleh peraturan pemerintah mengenai keharusan perusahaan makanan berbasis tepung terigu agara mencampur bahan tepung dengan tepung lokal. Peraturan dituangkan dalam bentuk peraturan pemerintah yang mengharuskan semua industri tepung terigu harus mensubstitusi bahan baku dengan tepung lokal minimal 5. Promosi juga dapat dilakukan dengan cara melakukan kemitraan terhadap UKM berbasis tepung terigu. Pelaku industri tepung terigu memberi pembinaan, pelatihan, dan dukungan teknik produksi, pemasaran, dan manajemen keuangan untuk UKM mitra sehingga dapat berkembang. Bila usaha UKM berkembang maka UKM dapat meningkatkan kapasitas produksinya dan kemudian meningkat penggunaan bahan baku tepung. Distribusi Pabrik tepung terigu di Cilegon direncanakan untuk memenuhi permintaan tepung terigu di wilayah pemasaran provinsi Banten, Jakarta, dan Jawa Barat. Distribusi tepung terigu untuk wilayah tersebut dilakukan melalui distributor yaitu di Jakarta dan Bandung. Distributor Jakarta untuk memenuhi wilayah pemasaran Banten, Jakarta, dan sebagian Jawa Barat sedangkan distributor Bandung untuk memenuhi wilayah pemasaran Jawa Barat. Distribusi tepung terigu substitusi diilustrasikan seperti Gambar 44. Gambar 44 Rencana distribusi tepung terigu substitusi Rencana Pemasok Bahan Baku Bahan baku terdiri dari gandum keras, gandum lunak, dan tepung tapioka untuk substitusi. Gandum keras dan gandum lunak dicampur dengan perbandingan 1:1 kemudian digiling untuk menghasilkan tepung dan setelah itu dicampur dengan tepung tapioka. Hasil optimasi tujuan jamak fuzzy pada Bab 6, pemasok yang optimal untuk gandum keras adalah dari Amerika Serikat, pemasok gandum lunak dari India, dan pemasok tapioka dari Pandeglang. Selain itu perusahaan dapat membuat alternatif pemasok untuk mengantisipasi apabila terjadi gangguan pasokan atau kenaikan harga dari pemasok tersebut. Alternatif pemasok gandum keras lain dari Canada, pemasok gandum lunak dari Australia atau Turki, dan pemasok tapioka dapat dari Lampung. Rencana Produksi dan Operasional Pabrik yang didirikan adalah pabrik pengolahan tepung terigu dengan substitusi tepung lokal. Bahan baku utama adalah biji gandum yang terdiri dari gandum lunak dan gandum keras yang kemudian digiling menjadi tepung terigu. Selanjutnya tepung tapioka dicampur ke tepung terigu dengan komposisi 5.66 untuk menghasilkan tepung substitusi. Mensubstitusi sebagian tepung terigu dengan tepung lokal akan mempengaruhi proses produksi dan operasi pembuatan tepung terigu. Pencampuran tepung pada studi ini dilakukan pada pabrik tepung terigu sehingga teknologi proses produksi mengguna teknologi pembuatan tepung terigu yang selama ini digunakan dan ditambah dengan mesin pencampur tepung powder mixer . Tepung terigu substitusi yag dihasilkan dapat digunakan untuk tepung terigu protein tinggi, sedang dan rendah. Proses produksi pembuatan tepung terigu substitusi berdasarkan urutan proses produksi tepung terigu ditambah bagian pencampuran tepung terigu dengan tepung lokal. Tahapan-tahapan proses produksi pembuatan tepung terigu substitusi adalah sebagai berikut: 1. Tahap pembersihan Cleaning process Pembersihan dimaksudkan untuk menghindarkan benda-benda lain dan berbagai kotoran yang menempel pada butiran biji gandum, dan juga memisahkan bagian-bagian yang tidak seragam. Pada tahap pembersihan ini, gandum akan melewati beberapa macam mesin seperti classifier saat transfer dari silo tempat penyimpan biji gandum, magnetic separator, combi cleaner, trieur , disc carter dan scourer. Classifier memisahkan kotoran dengan range ukuran tertentu. Magnetic separator menjamin biji gandum terhindar dari berbagai macam partikel besi dan logam yang mungkin terbawa pada saat penerimaan dan penyimpanan. Combi cleaner memisahkan kotoran berdasarkan berat jenis serta batu, pasir dan lempengan logam. mesin trieur untuk memisahkan benda asing yang berukuran lebih kecil dari butiran biji gandum. Disc carter berfungsi memisahkan benda asing yang berukuran lebih besar dari biji gandum. Sedangkan scourer bertindak sebagai sikat untuk merontokkan bulu-bulu halus, debu dan partikel ringan yang menempel pada biji gandum. 2. Tahap tempering Gandum yang telah bersih masuk ke dalam proses tempering. Pada tahap ini gandum akan disemprot dengan air dengan kadar air tertentu, kemudian didiamkan dalam jangka waktu tertentu. Pemberian sedikit air pada biji gandum akan melunakkan bagian lapis luar dan butir endosperm sehingga memudahkan dalam penggilingan. Selain itu juga diharapkan adanya perubahan tekstur dan struktur endosperm, dan juga untuk mendapatkan biji dengan kekerasan kandungan air yang seragam. Lama tempering tergantung pada jenis biji gandum yang digunakan. Biasanya berkisar antara 18 jam untuk biji gandum lunak kadar protein rendah dan 24-36 jam untuk biji gandum keras kadar protein tinggi. 3. Tahap penggilingan milling Penggilingan dilakukan untuk memisahkan endosperm dan aleuron cell atau lapisan bran dan mereduksi endosperm menjadi tepung. Proses penggilingan mekanik menjadikan gandum menjadi tepung, bran dan polard. Tahap ini, gandum akan melewati beberapa proses yang berulang-ulang seperti proses pemecahan, penggilingan rolling, pengayakan shifting dan pemurnian purifying. Proses ini memecah dan memisahkan komponen-komponen utama dari gandum dan endosperm menjadi bagian-bagian yang terpisah dan kemudian menggiling endosperm menjadi tepung terigu. 4. Mixer Setelah tepung terigu jadi selanjutnya dicampur dengan tepung lokal pada mesin pengaduk tepung powder mixer. Pada tahap ini dilakukan pencampuran tepung terigu dengan tepung lokal untuk menghasilkan tepung terigu substitusi.

5. Tahap pengemasan packing

Tepung terigu dan tepung lokal yang sudah selesai dicampur menjadi produk jadi berupa tepung terigu substitusi kemudian dikemas dalam ukuran 1 kg dan 25 kg. Produk yang sudah dikemas selanjut disimpan di gudang sebelum dikirim ke distributor untuk dipasarkan. Tepung terigu dapat dikirim secara curah bulk loading langsung ke industri makanan berbasis terigu. Rencana Model Kelembagaan Untuk menjaga kontinuitas pasokan bahan baku tepung lokal pada industri tepung terigu maka perlu direncanakan model kelembagaan yang tepat antara pemasok bahan baku dan perusahaan. Model kelembagaan rantai pasok antara pelaku usaha telah dibahas pada bab 7 disertasi ini meliputi kemitraan antara petani dan industri pengolahan tepung lokal, dan kemitraan antara industri tepung lokal dan industri tepung terigu. Perencanaan model kelembagaan untuk kelancaran pasokan bahan baku adalah kelembagaan kemitraan antara produsen tepung lokal tapioka sebagai pemasok dan produsen tepung terigu. Model kelembagaan kemitraan antara pemasok bahan baku dan produsen terigu berdasarkan model kelembagaan yang telah dikembangkan pada bab 7 yaitu berbentuk subkontrak. Pola ini pemasok bahan baku berkewajiban memenuhi jumlah, kualitas dan waktu sesuai dengan yang ditetap atau dalam bentuk perjanjian kontrak. Pola kelembagaan dan aturan-aturan main secara lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 53. Rencana Keuangan Analisis Finansial Analisis finansial pada perencanaan bisnis ini meliputi perhitungan finansial, yaitu biaya investasi, prakiraan harga dan penerimaan, proyeksi laba dan rugi, proyeksi arus kas, dan kriteria kelayakan investasi. Kriteria kelayakan investasi pada penelitian yang digunakan adalah net present value NPV, Internal Rate of Return IRR dan rasio manfaat-biaya rasio BC. Beberapa asumsi dan ketentuan yang diperlukan untuk analisis finansial antara lain 1. Analisis finansial dimulai pada tahun penelitian ini dilakukan yaitu pada tahun 2016 sebagai tahun ke-0. 2. Investasi awal diperkirakan berdasarkan nilai aset salah satu industri tepung terigu di Indonesia yang sudah berjalan yang mana data diperoleh dari www.aptindo.or.id dan ditambah dengan instalasi mesin pencampur untuk membuat tepung terigu substitusi. 3. Kapasitas produksi giling gandum adalah 2 000 MT hari atau 60 000 MTbulan 4. Discount rate sebesar 9. 5. Konversi gandum ke tepung terigu sebesar 75 dan produk samping 25. 6. Bunga kredit bank sebesar 12 per tahun. 7. Persentase pinjaman bank untuk modal usaha adalah 60. 8. Umur proyek selama 20 tahun. 9. Pajak penghasilan usaha 25. 10. Kontingensi sebesar 10. 11. Nilai akhir proyek diperkirakan sebesar 30 dari investasi awal. 12. Harga dan biaya-biaya digunakan adalah saat penelitian ini berlangsung. Biaya Investasi Perkiraan biaya investasi awal pada perencaan bisnis tepung terigu substitusi ini diperoleh berdasarkan nilai aset dari salah satu industri tepung terigu di Indonesia yaitu sebesar Rp 560 Miliar. Untuk perencanaan tepung terigu substitusi ini dimana diperlukan penambahan mesin untuk pencampuran tepung terigu dengan tepung tapioka maka diperlukan tambahan 2 unit mesin pencampur powder mixer. Biaya investasi awal selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 54. Perhitungan Depresiasi Depresiasi menunjukkan penurunan nilai aset atau harta perusahaan yang berwujud seperti gedung, mesin dan peralatan produksi, dan sebagainya seiring Tabel 54 Perkiraan investasi awal pabrik tepung terigu substitusi No. Uraian investasi Unit Nilai Rp. 1. Investasi awal tanah, bangunan kantor dan pabrik, dermaga, mesin dan peralatan pabrik, kendaraan kantor, truk, dll 1 paket 560 000 000 000 2. Mesin powder mixer 2 unit 500 000 000 Total investasi awal 560 500 000 000 3. Contingency 10 56 050 000 000 Total 616 550 000 000 Berdasarkan nilai asset PT. Sriboga Flour Mill www.aptindo.co.id dengan waktu dan penggunaannya. Pada studi ini, perhitungan depresiasi menggunakan metode garis lurus straight line method yaitu berdasarkan umur ekonomis, harga awal, dan nilai sisa. Umur ekonomis merupakan umur pakai mesin atau peralatan sehingga mesin atau peralatan tersebut dikatakan tidak menguntungkan lagi secara ekonomis walaupun sesungguhnya mesin atau peralatan tersebut masih dapat digunakan. Perhitungan nilai depresiasi setiap tahunnya dapat dihitung sebagai berikut: Nilai depresiasi setiap tahun = Nilai awal investasi-nilai akhir investasiumur proyek Nilai depresiasi setiap tahun = 616 550 000 000- 0.3x 616 550 000 00020 = Rp. 15 414 000 000 Prakiraan Harga dan Penerimaan Perkiraan penerimaan perusahaan selama 20 tahun pada harga tepung terigu substitusi Rp 6300 dapat dilihat pada Tabel 55 dan perhitung lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran 22. Pendapatan perusahaan berasal dari penjualan produk tepung terigu substitusi dan produk samping by product. Kapasitas bahan baku gandum sebesar 2000 MT per hari atau 720 000 MT per tahun yang menghasilkan 75 tepung terigu dan 25 produk samping sehingga dihasilkan adalah 0.75x 720 000 MT =540 000 MT tepung terigu. Berdasarkan hasil optimasi rantai pasok bahwa campuran tepung lokal yang optimal adalah sebesar 5.66 untuk tepung tapioka. Jumlah tepung terigu substitusi yang dihasilkan selama setahun produksi dapat dihitung sebagai berikut: Tabel 55 Perkiraan penerimaan perusahaan pada harga tepung terigu substitusi pada Rp. 6300 Tahun Jumah tepung terigu substitusi MT Jumlah produk samping MT Penerimaan tepung terigu substitusi Rp. juta Penerimaan produk samping Rp. juta Total penerimaan Rp. juta 1 572 398 180 000 3 606 106 450 000 4 056 106 2 572 398 180 000 3 606 106 450 000 4 056 106 3 572 398 180 000 3 606 106 450 000 4 056 106 4 572 398 180 000 3 606 106 450 000 4 056 106 5 572 398 180 000 3 606 106 450 000 4 056 106 6 572 398 180 000 3 606 106 450 000 4 056 106 7 572 398 180 000 3 606 106 450 000 4 056 106 8 572 398 180 000 3 606 106 450 000 4 056 106 9 572 398 180 000 3 606 106 450 000 4 056 106 10 572 398 180 000 3 606 106 450 000 4 056 106 11 572 398 180 000 3 606 106 450 000 4 056 106 12 572 398 180 000 3 606 106 450 000 4 056 106 13 572 398 180 000 3 606 106 450 000 4 056 106 14 572 398 180 000 3 606 106 450 000 4 056 106 15 572 398 180 000 3 606 106 450 000 4 056 106 16 572 398 180 000 3 606 106 450 000 4 056 106 17 572 398 180 000 3 606 106 450 000 4 056 106 18 572 398 180 000 3 606 106 450 000 4 056 106 19 572 398 180 000 3 606 106 450 000 4 056 106 20 572 398 180 000 3 606 106 450 000 4 056 106 Jumlah tepung tapioka yang digunakan: Jumlah tapiokajumlah terigu + jumlah tapioka=0.0566 Jumlah tapioka540000+jumlah tapioka=0.0566 Jumlah tapioka =0.0566 x 540000 +0.0566 x jumlah tapioka 0.9434 jumlah tapioka =30564 Jumlah tapioka = 32398 MT Jadi jumlah tepung terigu substitusi= 540000 + 32398 = 572 388 MT Diasumsikan harga tepung terigu substitusi lebih mahal dari pada tepung terigu. Harga terigu di tingkat produsen berkisar antara Rp 5500-6500 per kg sehingga harga tepung terigu substitusi di tingkat produsen berkisar antara Rp 5800-6800 per kg. Pada analisis finansial ini, harga tepung terigu substitusi ditentukan sekitar Rp 6000-6500 pada tingkat produsen. Penerimaan perusahaan lainnya adalah dari produk samping sebesar 25 dari jumlah gandum yang digiling dengan harga jual Rp 2500 per kg. Proyeksi Laba dan Rugi Proyeksi laba rugi merupakan ringkasan penerimaan dan pengeluaran perusahaan setiap periode yang menunjukkan gambaran kinerja keuangan atau tingkat profitabilitas perusahaan. Pada Proyeksi laba rugi dapat dilihat keuntungan atau kerugian yang dialami oleh perusahaan pada kurun waktu tertentu. Laba bersih yang merupakan pengurangan laba operasi dengan pajak penghasilan. Proyeksi laba rugi pada studi in dapat dilihat pada Tabel 56. Biaya operasional perusahaan terdiri dari biaya tetap dan biaya tidak tetap yang secara rinci dijabarkan pada Lampiran 21. Biaya tetap adalah biaya yang dikeluarkan perusahaan tidak tergantung dengan jumlah produksi seperti gaji Tabel 56 Proyeksi laba rugi tepung terigu substitusi untuk harga Rp. 6300 Rp. Juta Tahun Biaya operasional Penerimaan terigu substitusi Penerimaan produk samping Total penerimaan Pendapatan kotor Pajak Laba bersih 1 4 085 974 3 606 106 450 000 4 056 106 -29 810 -29 810 2 4 065 771 3 606 106 450 000 4 056 106 -9 607 -9 607 3 4 045 569 3 606 106 450 000 4 056 106 10 595 2 649 7 946 4 4 025 366 3 606 106 450 000 4 056 106 30 797 7 699 23 098 5 4 005 164 3 606 106 450 000 4 056 106 50 999 12 750 38 249 6 3 984 961 3 606 106 450 000 4 056 106 71 202 17 800 53 401 7 3 964 759 3 606 106 450 000 4 056 106 91 404 22 851 68 553 8 3 944 556 3 606 106 450 000 4 056 106 111 606 27 901 83 704 9 3 924 354 3 606 106 450 000 4 056 106 131 808 32 952 98 856 10 3 904 152 3 606 106 450 000 4 056 106 152 010 38 003 114 008 11 3 883 949 3 606 106 450 000 4 056 106 172 213 43 053 129 159 12 3 863 747 3 606 106 450 000 4 056 106 192 415 48 104 144 311 13 3 843 544 3 606 106 450 000 4 056 106 212 617 53 154 159 463 14 3 823 342 3 606 106 450 000 4 056 106 232 819 58 205 174 614 15 3 803 139 3 606 106 450 000 4 056 106 253 021 63 255 189 766 16 3 614 583 3 606 106 450 000 4 056 106 441 575 110 394 331 181 17 3 614 583 3 606 106 450 000 4 056 106 441 575 110 394 331 181 18 3 614 583 3 606 106 450 000 4 056 106 441 575 110 394 331 181 19 3 614 583 3 606 106 450 000 4 056 106 441 575 110 394 331 181 20 3 614 583 3 606 106 450 000 4 056 106 441 575 110 394 331 181 karyawan, administrasi, operasional kantor, promosi, dll. Biaya tetap dikeluarkan tergantung dengan jumlah produksi seperti biaya pembelian bahan baku, transportasi, energi, dll. Pada proyeksi laba rugi untuk tepung terigu substitusi dijual dengan harga Rp.6300 per kg dapat dilihat pada Tabel 55 bahwa pada tahun ke-1 hingga tahun ke-2 perusahaan belum mendapat laba atau mengalami kerugian. Hal ini karena perusahaan masih menanggung angsuran kredit dan bunga bank setiap tahunnya. Pada awal berdiri, perusahaan dapat mengurangi beban biaya operasional dari gaji dan jumlah tenaga kerja. Perusahaan dapat meningkatkan pendapatan dengan menaikkan harga jual yang layak dan juga mempertimbangkan harga yang berlaku di pasar. Kriteria Kelayakan Investasi Kriteria kelayakan investasi yang digunakan pada studi ini antara lain adalah Net Present Value NPV, Internal Rate of Return IRR, Net BC, Payback Period PBP, dan analisis sensitivitas. Analisis kelayakan menggunakan discount factor 9, komposisi tepung lokal 5.66 tapioka, dan jangka investasi selama 20 tahun. Net Present Value NPV Suatu bisnis atau usaha dikatakan layak bila jumlah seluruh manfaat yang diterima melebihi biaya yang dikeluarkan. Net Present Value NPV merupakan metode untuk menghitung selisih antara nilai sekarang investasi dan nilai sekarang penerimaan kas bersih operasional maupun terminal cash flow di masa yang akan datang pada tingkat bunga tertentu. Suatu usaha dikatakan layak bila NPV 0 yang berarti bisnis menguntungkan atau memberi manfaat. Formulasi yang digunakan untuk menghitung NPV adalah sebagai berikut: ∑ 8.1 Dimana, Bt = manfaat pada tahun ke-t Ct = biaya pada tahun ke-t t = tahun kegiatan bisnis t=0, 1, ....,n i = tingkat pengembalian Perhitungan kelayakan investasi tepung terigu substitusi pada faktor diskon 9, komposisi tepung tapioka 5.66, dan harga tepung terigu substitusi di tingkat produsen Rp 6300 dapat dilihat pada Lampiran 23. Perhitungan NPV menunjukkan bahwa nilai NPV= 532 703 juta atau NPV0 sehingga investasi tepung terigu substitusi dinyatakan layak apabila nilai jual produk sebesar Rp 6300. Internal Rate of Return IRR Sebuah investasi dikatakan layak apabila IRR-nya lebih besar dari tingkat pengembalian. Menghitung tingkat IRR umumnya dilakukan dengan menggunakan metode interpolasi di antara tingkat pengembalian yang lebih rendah yang menghasilkan NPV positif dengan tingkat pengembalian yang lebih tinggi yang menghasilkan NPV negatif. Rumus interpolasi IRR ialah sebagai berikut: 8.2 Investasi dikatakan layak bila nilai IRR nilai i laju pengembalian dimana, i 1 = Nilai laju pengembalian yang membuat NPV positif i 2 = Nilai laju pengembalian yang membuat NPV negatif NPV 1 = Nilai NPV untuk i 1 NPV 2 = Nilai NPV untuk i 2 Hasil perhitungan IRR pada Lampiran 23 dapat dilihat bahwa nilai IRR sebesar 14.14 yang berarti lebih besar dari laju pengembalian 9 sehingga investasi tepung terigu substitusi dinyatakan layak pada harga jual Rp 6300. Rasio manfaat- biaya Rasio BC Rasio manfaat- biaya rasio BC merupakan tingkat manfaat yang akan diperoleh dari biaya yang dikeluarkan. Suatu investasi dinyatakan layak bila rasio B C ≥ 1 dengan rumus rasio BC sebagai berikut: 8.3 Hasil perhitungan rasio BC pada laju pengembalian 9 pada Lampiran 23 dapat dilihat bahwa investasi layak karena rasio BC adalah 1.01 yang mana lebih besar dari 1 sehingga investasi layak pada harga tepung terigu substitusi sebesar Rp 6300,-. Payback Period PBP Paybcak period PBP merupakan jangka waktu yang diperlukan untuk mengembalikan seluruh modal suatu investasi, yang dihitung dari aliran kas bersih. Masa pengembalian ini dapat diartikan sebagain jangka waktu pada saat NPV sama dengan nol. Nilai NPV yang besar menunjukkan jangka waktu pengembalian investasi yang ditanam semakin cepat. Hasil perhitungan PBP investasi tepung terigu substitusi diperoleh 10.03 tahun dengan rincian perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 23. Analisis Sensitivitas Analisis sentivitas dilakukan untuk mengkaji sejauh mana perubahan- perubahan mana unsur-unsur dalam aspek finansial ekonomi berpengaruh terhadap keputusan yang diambil terhadap rencana investasi. Pada analisis sensitivitas ini, variabel yang dipertimbangkan mengalami perubahan adalah antara lain harga bahan baku, komposisi campuran tepung lokal, dan penjualan. 1. Analisis sensitivitas berdasarkan harga produk Berdasarkan analisis sensitivitas bahwa kelayakan usaha dalah layak bila harga jual di tingkat produsen minimal Rp. 6200 seperti ditunjukkan pada Gambar 45 untuk nilai IRR dan 46 untuk nilai NPV. Perbandingan nilai IRR dan NPV antara tepung substitusi dengan 100 tepung terigu menunjukkan bahwa tepung terigu 100 Lampiran 24 lebih layak pada harga jual yang sama. Hal ini berarti pada harga yang sama walaupun keduanya memberi kelayakan namun tepung substitusi memberikan keuntungan yang lebih sedikit karena membutuhkan biaya operasional yang lebih besar. 2. Analisis sensitivitas harga bahan baku Hasil analisis sensitivitas bahwa kenaikan harga bahan baku sebesar 2 menunjukkan investasi layak untuk harga jual minimal Rp 6200. Kenaikan harga bahan baku sebesar 4 menunjukkan investasi layak untuk harga jual produk layak minimal Rp. 6500, investasi masih layak dengan keuntungan lebih kecil dan PBP menjadi 14.76 tahun. Rincian analisis sensitivitas harga bahan baku dan harga jual produk dapat dilihat pada Tabel 57. 3. Analisis sensitivitas komposisi tepung lokal Analisis sensitivitas dilakukan terhadap komposisi tepung lokal yang terdiri tepung tapioka dan mocaf dengan campuran 10 untuk tepung lokal. Perbandingan campuran tepung tapioka dan tepung mocaf yaitu 10 dan 0, 8 dan 2, 7 dan 3, 6 dan 4, 5 dan 5 dapat dilihat pada Tabel 58. Analisis kelayakan menunjukkan bahwa pada harga jual produk minimal Rp 6300 memberikan kelayakan usaha untuk semua komposis 10 tepung lokal. Nilai IRR usaha tepung substitusi pada harga Rp. 6300 dengan komposisi tepung lokal yang Gambar 45 Nilai IRR berdasarkan harga produk Gambar 46 Nilai NPV berdasarkan harga produk