Budidaya Tanaman Tebu TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Budidaya Tanaman Tebu

Tanaman tebu Saccharum Officinarum L. termasuk Wikipedia.com: Kingdom : Plantae; tumbuh-tumbuhan Subkingdom: Tracheobionta; tumbuhan berpembuluh Superdivisi : Spermatophyta; tumbuhan berbiji Divisi : Magnoliophyta; tumbuhan berbunga kelas : Liliopsida; Monokotil Subkelas : Commelinidae Ordo : Cyperales Famili : Poaceae; rumput-rumputan Genus : Saccharum L.; pemanis alami Spesies : Saccharum officinarum L.; Tebu merupakan tanaman asli Papua Nugini tetapi saat ini sudah hampir menyebar di 70 negara termasuk pulau-pulau lain di Indonesia. Tebu merupakan rumput menahun yang dapat tumbuh mencapai tinggi 6 m dan diameter 20-50 mm kehati.or.id. Menurut Supriyadi 1992 daur tanaman tebu terdiri atas lima fase pertumbuhan yaitu: fase perkecambahan dimulai dari pembentukan taji pendek dan akar stek pada umur 1 minggu. Fase pertunasan dari umur 5 minggu sampai 3.5 bulan, dilanjutkan dengan fase pemanjangan batang sampai umur 9 bulan. Fase pemasakan terjadi seteleh pertumbuhan tebu menurun dan sebelum fase kematian pada tebu. Pada fase pemasakan kandung gula di dalam batang tebu mulai terbentuk hingga titik optimum setelah itu rendemen gula berangsur-angsur menurun. Pada masa pertumbuhan fase perkecambahan sampai fase pemanjangan batang, tanaman tebu banyak memerlukan air sedangkan menjelang tua dan panen tidak memerlukan air. Kekurangan air selama masa pertumbuhan akan menyebabkan tanaman tebu memiliki ukuran yang kecil dan kerdil. Kelebihan air karena hujan akan mengakibatkan kadar gula dalam batang menurun sehingga rendemen tebu akan berkurang. Pertumbuhan tebu pada daerah tanah 6 yang terendam air akan menyebabkan tanaman tebu mati karena sifat akar tanaman tebu yang mudah busuk Wardojo, 1996. Muller dalam Sudiatso 1982, menyatakan bahwa data rata curah hujan tahunan yang baik bagi pertumbuhan tebu antara 1800- 2500 mm. Pengolahan tanah merupakan bagian dari rangkaian kegiatan budidaya tebu yang bertujuan menciptakan kondisi tanah yang baik sebagai media tumbuhnya tanaman tebu. Kepner et al. 1982 mengemukakan bahwa pengolahan tanah merupakan tindakan manipulasi mekanis terhadap tanah untuk memperbaiki struktur tanah yang diinginkan bagi pertumbuhan tanaman. Menurut Bakker 1999 pengolahan tanah untuk budidaya tebu lahan kering meliputi 1 pengolahan tanah dalam subsoiling dengan kedalaman pemotongan sebesar 450-500 mm, 2 penggaruan harrowing yang bertujuan mencampur dan melonggarkan tanah pada kedalaman olah 200-300 mm, 3 pembajakan plowing untuk menghancurkan bongkahan-bongkahan tanah, memindahkan sisa-sisa tanaman, dan meratakan tanah, 4 pembuatan alur tanam furrowing baik berbentuk V, U, dan datar dengan jarak antar alur 1- 1.5 m sebagai tempat potongan bibit tebu. Menurut Listyanto 2007 budidaya tebu dapat dilakukan pada dua jenis lahan, yakni lahan sawah atau bekas sawah sistem reynoso dan lahan kering atau tegalan rain fed system. Terdapat beberapa perbedaan yang mendasar antara kedua cara budidaya tebu tersebut. Pertama, pada cara reynoso, penyiapan lahan dimulai dengan penggalian saluran-saluran, yakni setelah jerami bekas tanaman padi dibabat atau dibersihkan, segera dimulai dengan memasang ajir-ajir untuk membuat saluran-saluran air got mujur, dan got malang. Alur tanam guludan dengan kedalaman 400 mm dibuat di antara got-got malang tersebut. Pada budidaya tebu lahan kering, alur tanam dikerjakan setelah tanah atau lahan diolah terlebih dahulu dengan bajak. Dapat dikemukakan bahwa, pada cara reynoso tanah yang digarap hanya di sekitar tempat yang akan ditanami tebu saja yaitu pada cemplongan, sedangkan pada budidaya tebu lahan kering tanah diolah secara keseluruhan. Kedua, penanaman bibit tebu cara reynoso dilakukan dalam paliran dengan kedalaman 50-70 mm yang dibuat di tengah-tengah guludan. Selanjutnya, 7 dalam paliran tersebut setek-setek tebu diletakkan dengan jarak 350-500 mm bergantung pada kesuburan tanah dan varietas tebunya, sedangkan di lahan kering penanaman tebu dilakukan di dalam coklak juringan pada alur tanam, sehingga cara reynoso memiliki alur tanam yang lebih dalam dibandingkan dengan cara di lahan kering. Ketiga, budidaya tebu sistem reynoso tidak banyak melibatkan mesin-mesin pertanian, hal tersebut disebabkan pada sistem reynoso umumnya memiliki struktur tanah yang berat karena bekas sawah, lahan yang sempit, dan banyak got malang sehingga lalu lintas traktor sebagai sumber tenaga tarik pertanian banyak mengalami hambatan, sebaliknya dengan struktur tanah yang lebih ringan, lahan yang lebih luas, dan tidak terdapat got malang, maka penerapan alat dan mesin pertanian dapat dilakukan secara penuh full mechanization di lahan kering. Keempat, relevansinya dengan produksi, cara reynoso memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem budidaya tebu lahan kering Wijanto, 1988.

B. Drainase dan Irigasi Pada Budidaya Tanaman Tebu