Status Dan Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (Fma) Pada Lahan Produktif Dan Lahan Non Produktif

(1)

STATUS DAN KEANEKARAGAMAN FUNGI MIKORIZA

ARBUSKULA (FMA) PADA LAHAN PRODUKTIF DAN

LAHAN NON PRODUKTIF

SKRIPSI

Oleh ZUL FREDI

091201158/BUDIDAYA HUTAN

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Status Dan Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) Pada Lahan Produktif Dan Lahan Non Produktif Nama : Zulfredi

Nim : 091201158

Program Studi : Kehutanan

Disetujui oleh, Komisi Pembimbing

Dr. Deni Elfiati, S.P, M.P. Dr. Delvian, S.P, M.P

Ketua Anggota

Mengetahui,

Siti Latifah, S.Hut, M.Si, Ph.D Ketua Program Studi Kehutanan


(3)

ABSTRACT

ZULFREDI Status and Diversity of Arbuscule Mycorrhizal Fungi (AMF) In the productive and non productive land. Under the guidance of DENI ELFIATI and DELVIAN.

The existence and status of the AMF is influenced by biotic and abiotic factors. This research aims to study and know the status and existence of Arbuscule Mycorrhizal Fungi (AMF) on the land productive and non productive land. Soil samples derived from the productive and non productive land in Tanjung Anom. This research uses the filter to get the spores and staining method to determine root colonization. Results showle that AMF colonization in productive land obtained 17.83% with an average density of 80 spores / 50g soil, and the percent of FMA colonization in non productive land obtained 42.76% with an average density of 89 spores / 50g ground. AMF spore types glomus and Acaulospora on productive land obtained 13 spore types Glomus sp, and on non productive land obtained 14 spore types Glomus sp and sp 2 Acaulospora spore types. Total spore types were obtained 27 spore types, 25 types of spores Glomus sp and 2 Acaulospora sp spore types.


(4)

ABSTRAK

ZULFREDI Status Dan Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) Pada Lahan Produktif Dan Lahan Non Produktif. Di bawah bimbingan DENI ELFIATI dan DELVIAN.

Keberadaan dan status FMA dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik. Penelitian ini bertujuan mempelajari dan mengetahui Status dan Keberadaan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada lahan produktif dan lahan non produktif. Contoh tanah berasal dari lahan produktif dan lahan non produktif di Tanjung Anom . Penelitian ini menggunakan metode saring untuk mendapatkan spora dan metode pewarnaan untuk mengetahui kolonisasi akar. Hasil persen kolonisasi FMA pada lahan produktif didapat 17,83% dengan rata-rata kepadatan spora 80 spora/50gram tanah, dan persen kolonisasi FMA pada lahan non produktif didapat 42,76% dengan rata-rata kepadatan spora 89 spora/50gram tanah. Spora FMA tipe Glomus dan Acaulospora pada lahan produktif didapat 13 tipe spora Glomus sp, dan pada lahan non produktif didapat 14 tipe spora Glomus sp dan 2 tipe spora Acaulospora sp. Total tipe spora yang didapat 27 tipe spora, 25 tipe spora Glomus sp dan 2 tipe spora Acaulospora sp.


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Panti, Kec. Panti, Kab. Pasaman pada 31 Juli 1990 dari pasangan Tasman Hutabarat dan Diana Tampubolon. Penulis merupakan anak kedelapan dari sembilan bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SDS 039 Pembangunan Bagan Batu, lulus pada tahun 2003 dan melanjutkan pendidikan di SMP Swasta Yosef Arnoldi Bagan Batu hingga lulus tahun 2006. Kemudian penulis melanjutkan Pendidikan di SMA Swasta Santo Thomas 2 Medan dan lulus tahun 2009.

Pada tahun 2009 penulis mengikuti Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SMPTN) dan diterima di Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Penulis memilih minat Budidaya Hutan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Sylva (HIMAS). Penulis mengikuti kegiatan Praktek Pengenalan Ekosisten Hutan di TAHURA Bukit Barisan pada tahun 2011. Penulis melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) di PT Sari Bumi Kusuma Kalimantan Tengah Camp Nanga Nuak dari tanggal 19 Juli sampai 21 Agustus 2013.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, penulis melaksanakan penelitian dengan judul “Status dan Keanekaragaman Mikoriza Arbuskula (FMA) Pada Lahan Produktif dan Lahan Non Produktif” dibawah bimbingan Ibu Dr. Deni Elfiati, SP., MP. Dan Bapak Dr. Delvian, SP., MP.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian ini dengan baik. Judul dari penelitian ini adalah “ Status dan Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) Pada Lahan Produktif dan Lahan Non Produktif ’’. Hasil penelitian ini merupakan tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana di Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan mengetahui Status dan Keberadaan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada lahan produktif dan lahan non produktif, sehingga diperoleh data yang dapat memberikan informasi mengenai keanekaragaman FMA pada lahan produktif dan lahan non produktif sebagai rekomendasi untuk pemanfaatan FMA terhadap lahan produktif dan non produktif.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ibu Dr. Deni Elfiati, S.P., M.P sebagai Ketua komisi pembimbing Penulis dan Bapak Dr. Delvian, S.P., M.P sebagai anggota komisi pembimbing penulis yang telah membimbing dan memberikan berbagai masukan berharga dalam penulisan skripsi ini.

2. Orang tua tercinta, Ayahanda Tasman Hutabarat dan Ibunda Diana Tampubolon tersayang yang telah memberikan motivasi, doa dan segala sesuatu yang penulis butuhkan dalam pembuatan skripsi ini.

3. Teman-teman seperjuangan (Aiko, Dharma yoga, Rudi sipahutar, Frans hutagalung, Sabda Rosandi Paulus) dan kepada teman-teman 2009 yang


(7)

tidak dapat saya sebutkan satu persatu disini yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik dari pembaca skripsi ini demi penyempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih.

Medan, April 2015


(8)

ABSTRACT

ZULFREDI Status and Diversity of Arbuscule Mycorrhizal Fungi (AMF) In the productive and non productive land. Under the guidance of DENI ELFIATI and DELVIAN.

The existence and status of the AMF is influenced by biotic and abiotic factors. This research aims to study and know the status and existence of Arbuscule Mycorrhizal Fungi (AMF) on the land productive and non productive land. Soil samples derived from the productive and non productive land in Tanjung Anom. This research uses the filter to get the spores and staining method to determine root colonization. Results showle that AMF colonization in productive land obtained 17.83% with an average density of 80 spores / 50g soil, and the percent of FMA colonization in non productive land obtained 42.76% with an average density of 89 spores / 50g ground. AMF spore types glomus and Acaulospora on productive land obtained 13 spore types Glomus sp, and on non productive land obtained 14 spore types Glomus sp and sp 2 Acaulospora spore types. Total spore types were obtained 27 spore types, 25 types of spores Glomus sp and 2 Acaulospora sp spore types.


(9)

ABSTRAK

ZULFREDI Status Dan Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) Pada Lahan Produktif Dan Lahan Non Produktif. Di bawah bimbingan DENI ELFIATI dan DELVIAN.

Keberadaan dan status FMA dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik. Penelitian ini bertujuan mempelajari dan mengetahui Status dan Keberadaan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada lahan produktif dan lahan non produktif. Contoh tanah berasal dari lahan produktif dan lahan non produktif di Tanjung Anom . Penelitian ini menggunakan metode saring untuk mendapatkan spora dan metode pewarnaan untuk mengetahui kolonisasi akar. Hasil persen kolonisasi FMA pada lahan produktif didapat 17,83% dengan rata-rata kepadatan spora 80 spora/50gram tanah, dan persen kolonisasi FMA pada lahan non produktif didapat 42,76% dengan rata-rata kepadatan spora 89 spora/50gram tanah. Spora FMA tipe Glomus dan Acaulospora pada lahan produktif didapat 13 tipe spora Glomus sp, dan pada lahan non produktif didapat 14 tipe spora Glomus sp dan 2 tipe spora Acaulospora sp. Total tipe spora yang didapat 27 tipe spora, 25 tipe spora Glomus sp dan 2 tipe spora Acaulospora sp.


(10)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Fungi mikoriza arbuskula merupakan suatu bentuk asosiasi antara jamur dengan akar tumbuhan tingkat tinggi, yang mencerminkan adanya interaksi fungsional yang saling menguntungkan antara suatu tumbuhan dengan satu atau lebih galur mikobion dalam ruang dan waktu. Salah satu jamur pembentuk mikoriza adalah golongan endomikoriza. Tipe fungi ini dicirikan oleh hifa yang intraseluler yaitu hifa yang menembus ke dalam korteks dari satu sel ke sel yang lain (Manan, 1993).

Kehadiran fungi mikoriza arbuskula penting bagi ketahanan suatu ekosistem, stabilitas tanaman dan pemeliharaan serta keragaman tumbuhan dan meningkatkan produktifitas tanaman (Moreira et al., 2007). Adanya fungi mikoriza sangat penting bagi ketersediaan unsur hara seperti P, Mg, K, Fe dan Mn untuk pertumbuhan tanaman. Hal ini terjadi melalui pembentukan hifa pada permukaan akar yang berfungsi sebagai perpanjangan akar terutama di daerah

yang kondisinya miskin unsur hara, pH rendah dan kurang air (Abbot dan Robson 1984). Manfaat fungi mikoriza ini secara nyata terlihat jika

kondisi tanahnya miskin hara atau kondisi kering, sedangkan pada kondisi tanah yang subur peran fungi ini tidak begitu nyata (Setiadi, 2001; Lakitan, 2000).

Fungi mikoriza biasanya tersebar dengan berbagai cara. Penyebaran aktif miselia melalui tanah, setelah infeksi di akar hifa berkembang di daerah perakaran pada tanah dan terbentuk struktur fungi, diantaranya miselium eksternal akar merupakan organ yang sangat penting dalam menyerap unsur hara dan


(11)

mentransferkan ke tanaman, sedangkan penyebaran pasif dapat dilakukan oleh beberapa hewan dan juga angin. Penyebaran fungi mikoriza melalui inokulasi berkurang pada tanah yang sudah bermikoriza, tetapi meningkat pada tanah yang tidak bermikoriza.

Penyebaran fungi mikoriza arbuskula (FMA) dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan seperti Curah hujan, suhu, kandungan air tanah, pH tanah, bahan organik, logam berat dan unsur lain. Perbedaan lokasi dan rizosfer menyebabkan perbedaan keanekaragaman spesies dan populasi fungi mikoriza, misalnya yang didominasi oleh fraksi lempung berdebu merupakan tanah yang baik bagi perkembangan Glomus sp.

Perubahan penggunaan lahan berarti pengalih-fungsian lahan yang disertai perbedaan perlakuan yang diberikan kepada suatu lahan. Perubahan penggunaan lahan dari yang diolah menjadi tidak diolah cenderung menimbulkan padang alang-alang yang menjadi lahan non produktif yang dari produktif terdahulunya. Lahan non produktif pada umumnya tumbuh pada tanah mineral masam, miskin hara, dan bahan organik. Dari hasil isolasi didapatkan bahwa lahan non produktif dijumpai berasosiasi dengan berbagai fungi mikoriza arbuskula (FMA) dari genus Glomus, Acaulospora, dan Gigaspora. Dengan demikian FMA yang toleran dapat dimanfaatkan untuk pengembangan tanaman yang akan diusahakan pada lahan-lahan non produktif (Subiksa, 2002 dalam Pudjiharta, dkk. 2008).

Pengolahan lahan produktif sudah biasa dilakukan untuk lahan produksi tanaman, dan setelah pemanenan kebanyakan lahan-lahan tersebut dibiarkan begitu saja atau bahkan tidak diolah kembali, Pengolahan lahan-lahan non


(12)

produktif dapat digunakan dengan perubahan sistem pengolahan lahan yang dapat meningkatkan produksi tanaman. Pengolahan lahan dengan aplikasi mikoriza dapat diterapkan, apabila telah didapat isolat mikoriza yang dapat bersimbiosis baik dengan tanaman yang akan dikembangkan.

Isolat mikoriza yang dapat bersimbiosis baik dengan tanaman pada lahan non produktif adalah mikoriza yang bersimbiosis baik juga dengan tanaman yang ada pada lahan produktif tetapi unsur hara yang tersedia dapat juga mempengaruhi keberadaan mikoriza. Sehingga memungkinkan penggunaan lahan non produktif dapat meningkatkan produksi tanaman dan dapat diolah kembali menjadi lahan yang produktif. Untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai status dan keanekaragaman mikoriza yang terdapat pada lahan produktif dan lahan non produktif guna membandingkan keberadaan mikoriza pada lahan produktif dan lahan non produktif. Jika didapat lahan yang mikorizanya lebih tinggi dari lahan produktif dan non produktif maka pemanfaatan lahan dengan pengolahan lahan untuk pemanfaatan FMA pada lahan-lahan non produktif atau miskin usur hara dapat dimanfaatkan sebagai meningkatkan unsur hara tanah.


(13)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan mengetahui Status dan Keberadaan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada lahan produktif dan lahan non produktif.

Manfaat Penelitian

Memberikan informasi mengenai keanekaragaman FMA pada lahan produktif dan lahan non produktif sebagai rekomendasi untuk pemanfaatan FMA terhadap lahan produktif dan non produktif.


(14)

TINJAUAN PUSTAKA

1. Lahan Produktif dan Lahan Non Produktif

Ketika hutan yang merupakan vegetasi klimaks yang asli dan alami dirusak, baik melalui penebangan pohon, perladangan berpindah maupun kebakaran, seringkali akan tergantikan oleh lahan non produktif. Lahan kosong yang dibiarkan terus menerus maka hutan sekunder tidak akan terbentuk, yang berkembang adalah alang-alang yang akhirnya mendominasi lahan tersebut dan menjadi lahan non produktif. Pada lahan non produktif tanaman sulit tumbuh karena tanaman lain akan kalah bersaing dengan alang-alang dalam mendapatkan cahaya, nutrisi, dan air. Beberapa jenis tanaman bahkan terganggu

pertumbuhannya karena akar dan rimpang alang-alang mengeluarkan senyawa beracun (allelopaty) (Friday et al., 2000). Sesungguhnya bahan organik yang diserap oleh alang-alang dapat dikembalikan ke dalam tanah, yaitu adanya kandungan N dan C pada alang-alang yang mati. (Pudjiharta, et al. 2008).

Ciri utama lahan kritis adalah gundul, terkesan gersang dan

produktivitasnya yang rendah. Umumnya lahan kritis didominasi vegetasi alang-alang. Alang-alang adalah jenis rumput tahunan yang menyukai sinar matahari dengan bagian yang mudah terbakar di atas tanah dan akar rimpang yang menyebar luas di bawah permukaan tanah. Ketika hutan terganggu, alang-alang sering mendominasi lahan terdegradasi. Benih alang-alang dapat menyebar luas dan mampu tumbuh pada berbagai kesuburan tanah. Alang-alang dapat

berkembang biak melalui biji dan akar rimpang (rhizome), namun pertumbuhannya terhambat bila ternaungi. (Irwanto, 2006).


(15)

Pembukaan hutan menyebabkan perubahan lingkungan dari keadaan tertutup menjadi lingkungan yang terbuka, sehingga mendorong tumbuhnya alang-alang. Alang-alang termasuk tanaman C4 yang membutuhkan sinar matahari penuh untuk pertumbuhannya, dengan kata lain alang-alang dapat tumbuh dengan baik pada lahan yang terbuka. Lahan yang ditinggalkan petani akan ditumbuhi dengan alang-alang sehingga akan menurunkan produksi tanaman pangan, yang disebabkan karena tidak adanya pengembalian bahan organik (Purnomosidhi dan Rahayu, 2002). Kang (1989) mempertegas pula bahwa apabila tanah masam (seperti di daerah Lampung Utara) digunakan untuk lahan pertanian menetap, permasalahan yang dihadapi adalah ketersediaan hara dan cara

pengelolaannya.

Lahan non produktif merupakan lahan marjinal, karena mempunyai produktivitas lahan yang rendah. Permasalahan dalam pemanfaatan lahan yang ditumbuhi alang-alang untuk pertanian adalah buruknya sifat fisika dan kimia tanah. Sifat fisika tanah yang jelek akan mempengaruhi ketersediaan air tanah.. Masalah kimia tanah lahan non produktif diantaranya adalah kapasitas tukar kation (KTK) rendah, reaksi tanah masam, kejenuhan aluminium tinggi, miskin unsur hara terutama fosfat dan kation-kation dapat ditukar seperti Ca, Mg dan K. Untuk meningkatkan produktivitas lahan non produktif menjadi lahan pertanian yang produktif dan bersifat lestari, maka perlu dilakukan perbaikan sifat-sifat tanah terutama pengelolaan bahan organik tanah. (Seriosta, 2010).


(16)

2. Mikoriza

Suatu bentuk hubungan yang saling menguntungkan antara akar tanaman dan fungi disebut mikoriza. Dalam Bahasa Yunani kata mikoriza berarti fungi akar, yang dikemukakan oleh Frank pada tahun 1885 untuk menggambarkan asosiasi simbiotik antara akar tanaman dan fungi. Mikoriza adalah suatu struktur sistem perakaran yang terbentuk sebagai manifestasi adanya simbiosis mutualisme antara cendawan (Myces) dan perakaran (Rhizo) tumbuhan tingkat tinggi.

Sedikitnya tujuh jenis asosiasi mikoriza yang berbeda telah dikenali, menyertakan kelompok fungi yang berbeda dan tanaman inang dan bentuk pola asosiasi yang berbeda. Adapun asosiasi tersebut sebagai berikut:

1. Vesikula Arbuskula Mikoriza (VAM), di mana fungi Zygomysetes ini memproduksi arbuskula, hifa, dan vesikula di dalam sel korteks akar.

2. Ektomicoriza (ECM), dimana fungi basidiomycetes dan fungi lainnya membentuk suatu mantel yang menyelubungi sekeliling akar dan jaringan hartig diantara sel akar.

3. Mikoriza Anggrek, dimana fungi memproduksi kumparan hifa di dalam akar atau batang tanaman anggrek-anggrekan.

4. Ericoid Mikoriza, merupakan kumparan hifa diluar sel yang membatasi akar rambut tanaman, pada tanaman ordo Ericales, dan

5. Ektendo, Arbutoid, dan Monotropoid, dimana asosiasinya mirip asosiasi ektomikoriza, namun memiliki perbedaan pada fitur anatominya (Brundett et al., 1996).


(17)

Menurut Turk et al. (2006), pembagian mikoriza yang dibedakan berdasarkan morfologi dan fisiologinya yakni endomikoriza dan ektomikoriza. Ektomikoriza ditandai dengan suatu sarung pelindung yang melingkupi akar, seringkali menembus hingga sel epidermis dan sel awal korteks dan hifa fungi biasanya menginfeksi akar tanaman hutan pada wilayah subtropis. Sedangkan endomikoriza seperti Vesikula Arbuskula Mikoriza (VAM), fungi tidak

membentuk selubung. Fungi ini menginfeksi sistem perakaran tanaman budidaya, secara umum dan biasanya menginfeksi beberapa lapisan terluar korteks akar. Hifa fungi VAM menembus sel individu dan membentuk arbuskula di dalam sel dan vesikula di luar sel inang.

3. Klasifikasi Fungi Mikoriza Arbuskula

Pengenalan dan pengelompokan dalam spora mikoriza vesikular arbuskula saat ini dilakukan lebih didasarkan kepada struktur subselular dengan verifikasi teknologi molekular, mikoriza vesikular arbuskula dikelompokkan ke dalam ordo Glomales, sub ordo Glomineae dan Gigasporineae. Glomineae terdiri dari empat famili (Glomaceae, Acaulosporaceae, Aracheosporaceae dan Paraglomaceae). Sementara Gigasporineae terdiri dari lima famili yaitu Ehtrophospora,

Aracheospora, Paraglomus, Gigaspora dan Scutellspora. Salah satu karakteristik yang mudah diterapkan adalah karakteristik morfologi yaitu dengan penyebaran dan reproduksi spora, reaksi melzer, keberadaan struktur subselular diantaranya spore wall dan germinal wall, asesoris, serta struktur mikoriza yang terbentuk dalam akar (Fakuara, 1988).


(18)

Fungi mikoriza arbuskula adalah salah satu tipe fungi mikoriza dan termasuk ke dalam golongan endomikoriza. Fungi mikoriza arbuskula termasuk ke dalam kelas Zygomycetes, dengan ordo Glomales yang mempunyai 2 subordo, yaitu Gigasporineae dan Glomineae. Gigasporineae dengan family Gigasporaceae mempunyai 2 genus, yaitu Gigaspora dan Scutellospora. Glomaceae mempunyai 4 famili, yaitu famili Glomaceae dengan genus Glomus dan Sclerocystis, famili Acaulosporaceae dengan genus Acaulospora dan Entrophospora, Paraglomaceae dengan genus Paraglomus, dan Archaeosporaceae dengan genus Archaeospora (Delvian, 2006). Bagian-bagian penting spora yang digunakan dalam

mengidentifikasi fungi Glomalen (VAM) adalah perkembangan spora, susunan spora, bentuk spora, ukuran spora, warna spora, ornamen spora, lapisan dinding spora dan reaksi pewarnaan, isi spora, germinasi spora hifa tanah, dan struktur asosiasi spora dengan hifa tanah.

4. Struktur Umum Fungi Mikoriza Arbuskula

Struktur FMA meliputi hifa eksternal, hifa internal, spora, arbuskula atau vesikula. Infeksi fungi hanya pada korteks primer sehingga tidak menyebabkan kerusakan pada jaringan akar. Proses infeksi dimulai dengan pembentukan apresorium pada permukaan akar oleh hifa eksternal, dan selanjutnya hifa akan menembus sel-sel korteks akar melalui rambut akar atau sel epidermis. Hifa dari FMA tidak bersekat, hifa ini terdapat diantara sel-sel korteks akar dan

becabangcabang di dalamnya, tetapi tidak sampai masuk ke jaringan stele. Di dalam sel-sel yang terinfeksi terbentuk gelung hifa atau cabang-cabang hifa kompleks yang dinamakan arbuskula. Mikoriza vesikula arbuskula membentuk struktur karakteristik khusus yang disebut arbuskel dan vesikel. Arbuskel


(19)

membantu dalam mentrasfer hara (terutama fosfat) dari tanah ke sistem perakaran (Rao, 2004). Arbuskula merupakan hifa bercabang halus yang dibentuk oleh percabangan dikotomi yang berulang-ulang sehingga menyerupai pohon dari dalam sel inang (Pattimahu, 2004).

Vesikel merupakan struktur cendawan yang berasal dari pembengkakan hifa internal secara terminal dan interkalar, kebanyakan berbentuk bulat telur, dan berisi banyak senyawa lemak sehingga merupakan organ penyimpanan cadangan makanan dan pada kondisi tertentu dapat berperan sebagai spora atau alat untuk mempertahankan kehidupan cendawan. Tipe FMA vesikel memiliki fungsi yang paling menonjol dari tipe cendawan mikoriza lainnya. Hal ini dimungkinkan karena kemampuannya dalam berasosiasi dengan hampir 90 % jenis tanaman, sehingga dapat digunakan secara luas untuk meningkatkan probabilitas tanaman (Pattimahu, 2004).

Spora terbentuk pada ujung hifa eksternal. Spora ini dapat dibentuk secara tunggal, berkelompok atau di dalam sporokarp tergantung pada jenis

cendawannya. Perkecambahan spora sangat sensitif tergantung kandungan logam berat di dalam tanah dan juga kandungan al, kandungan Mn juga mempengaruhi pertumbuhan miselium. Spora dapat hidup di dalam tanah beberapa bulan sampai beberapa tahun. Namun untuk perkembangan FMA memerlukan tanaman inang. Spora dapat disimpan dalam waktu lama sebelum digunakan lagi (Mosse, 1981).

Infeksi FMA ditandai dengan produksi dan pembengkakan dinding interior intraseluler vesikel yang diyakini berfungsi sebagai organ penyimpan cadangan makanan dan formasi intraseluler tersebut membentuk formasi berupa arbuskula.


(20)

Arbuskula dipertimbangkan menjadi struktur primer termasuk secara langsung dalam transfer unsur hara antara fungi simbion dengan tanaman inang. Walaupun secara umum hal tersebut berlaku pada FMA endofit, namun Gigaspora spp. hanya ditemukan arbuskula (Bown dan King, 1991).

Mengamati bahwa struktur yang dibentuk pada akar-akar muda adalah arbuskul. Bertambahnya umur menyebabkan arbuskul berubah menjadi suatu struktur yang menggumpal dan cabang-cabang pada arbuskul lama kelamaan tidak dapat dibedakan lagi. Pada akar yang telah dikolonisasi oleh FMA dapat dilihat berbagi arbuskul dewasa yang dibentuk berdasarkan umur dan letaknya. Arbuskul dewasa terletak dekat pada sumber unit kolonisasi tersebut.Mikoriza memiliki pola penyebaran yang berbeda antar tipe mikoriza berdasarkan bioma, tipe tanah, dan keterbatasan sumber daya.

5. Penyebaran mikoriza

Fungi mikoriza arbuskula mulai ditemukan pada profil tanah sekitar kedalaman 20 cm. Tetapi masih terdapat pada kedalaman 70-100 cm. FMA tersebar secara aktif (tumbuh dengan mycelium dalam tanah) dan tersebar secara pasif dimana FMA tersebar dengan angin, air atau mikroorganisme dalam tanah. Faktor biotik dan abiotik yang menentukan perkembangan FMA. Faktor-faktor tersebut antar lain suhu,curah hujan, tanah, kadar air tanah, pH, bahan organik tanah, dan ketersediaan hara, serta logam berat dan fungisida.

Mikoriza arbuskula ini mempunyai penyebaran yang luas, meliputi hutan hujan rapat, padang pasir, semi gurun dan jarang ditemukan dalam hutan


(21)

lokasi, ekosistem, dan rizosfer ternyata menunjukan keanekaragaman spesies dan populasi fungi mikoriza, misalnya yang didominasi oleh fraksi lempung berdebu merupakan tanah yang baik bagi perkembangan Glomus. Begitu juga dengan tanah mangrove yang bercirikan tanah berlumpur dan cenderung liat hanya Glomus sp. yang dapat hidup, sedangkan tanah yang berpasir genus Acaulospora dan Gigaspora ditemukan dalam jumlah yang tinggi (Setiadi,1989).

Sebaran dan ekologi mikoriza arbuskula terdapat pada hampir pada semua jenis tanaman. Mikoriza berasosiasi pada akar tanaman angiosperma,

pterydophyta, bryophyta dan beberapa Gymnospermae. Hanya terdapat beberapa saja tumbuhan yang tidak bermikoriza terutama tumbuhan yang hanya

membentuk Ektomikoriza misalnya Pinnaceae (Imas et al, 1989). 6. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan mikoriza

Keberadaan dan kolonisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : 1. Cahaya dan Fotoperiodesitas

Intensitas cahaya dan lama penyinaran akan memperbaiki kolonisasi dan produksi spora pada Pueraria javanica, jagung dan lain-lain. Meningkatnya kolonisasi FMA adalah akibat meningkatnya proses fotosintesis yang berakibat pada meningkatnya konsentrasi karbohidrat di dalam akar atau meningkatnya senyawa-senyawa eksudat. Untuk memaksimumkan produksi inokulum FMA perlu memaksimumkan fotosintesis inang dan cahaya.

2. Suhu

Suhu berpengaruh terhadap infeksi yakni pada perkembangan spora, penetrasi hifa pada sel akar dan perkembangan pada korteks akar, selain itu suhu


(22)

juga berpengaruh pada ketahanan dan simbiosis. Semakin tinggi suhu semakin besar terbentuknya kolonisasi dan meningkatnya produksi spora. Suhu terbaik untuk perkembangan arbuskula yakni pada suhu 30oC tetapi untuk koloni miselia terbaik berada pada suhu 28–34oC, sedangkan perkembangan bagi vesikula pada suhu 35oC.

3. Kandungan air tanah

Kandungan air tanah dapat berpengaruh baik secara langsung atau tidak langsung terhadap infeksi dan pertumbuhan fungi mikoriza. Pengaruh secara langsung tanaman bermikoriza dapat memperbaiki dan meningkatkan kapasitas serapan air. Penjenuhan air tanah yang lama berpotensi mengurangi pertumbuhan dan infeksi fungi mikoriza karena kondisi yang anaerob.

4. Potential of hydrogen Tanah

Fungi mikoriza pada umumnya lebih tahan terhadap perubahan pH tanah. Meskipun demikian adaptasi masing-masing spesies fungi mikoriza terhadap pH tanah berbeda-beda, karena pH tanah mempengaruhi perkecambahan,

perkembangan dan peran mikoriza terhadap pertumbuhan tanaman (Maas dan Nieman, 1978).

Potential of hydrogen optimum untuk perkembangan fungi mikoriza berbeda-beda tergantung pada adaptasi fungi mikoriza terhadap lingkungan. Potential of hydrogen dapat berpengaruh langsung terhadap aktivitas enzim yang berperan dalam perkecambahan spora fungi mikoriza.

5. Bahan organik

Bahan organik merupakan salah satu komponen dalam tanah yang penting disamping air dan udara. Jumlah spora FMA berhubungan erat dengan kandungan


(23)

bahan organik dalam tanah. Jumlah maksimum spora ditemukan pada tanah-tanah yang mengandung bahan organik 1-2% sedangkan pada tanah-tanah berbahan organik kurang dari 0,5% kandungan spora sangat rendah (Pujiyanto, 2001).

6. Logam berat dan unsur lain

Adanya logam berat dalam larutan tanah dapat mempengaruhi perkembangan mikoriza. Beberapa spesies mikoriza arbuskular diketahui mampu beradaptasi dengan tanah yang tercemar seng (Zn), tetapi sebagian besar spesies mikoriza peka terhadap kandungan Zn yang tinggi. Pada beberapa penelitian lain diketahui pula strain-strain fungi mikoriza tertentu toleran terhadap kandungan Mn, Al, dan Na yang tinggi.

7. P tersedia

Keberadaan kadar P pada tanah mempengaruhi pertumbuhan mikoriza pada tanah. kadar P yang tinggi dapat menyebabkan terhambatnya perkecambahan mikoriza pada tanaman inang (Mosse, 1997). Pengaruh menguntungkan dari fungi mikoriza arbuskula terhadap pertumbuhan tanaman sering dihubungkan dengan peningkatan serapan hara yang tidak tersedia terutama fosfor (P) (Rosliani et al, 2006).


(24)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Mei 2014.

Pengambilan contoh tanah dan akar tanaman dilakukan di lahan alang-alang tanah non produktif dan lahan yang ditanami jagung tanah produktif di daerah Tanjung Anom, Kecamatan Pancur Batu. Ekstrasi spora, identifikasi dan penghitungan persentase kolonisasi FMA pada akar tanaman dilakukan di Laboratorium Biologi Tanah, Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian. Kegiatan

pemerangkapan dilaksanakan pada rumah kaca, dan dokumentasi sampel dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Hutan, Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh tanah dari lahan produktif dan lahan non produktif di Tanjung Anom, Kecamatan Pancur Batu, Deli Serdang. Pasir sungai sebagai campuran media tanam, terrabuster guna merangsang pembentukan spora, hyponex merah sebagai sumber hara tanaman, dan jagung (Zea mays) sebagai inang pada perlakuan pemerangkapan. Untuk ekstraksi dan identifikasi spora mikoriza digunakan bahan berupa larutan glukosa 60%, dan larutan Melzer’s sebagai bahan pewarna spora. Larutan trypan blue untuk bahan proses pewarnaan akar (staining). Larutan KOH 10% untuk mengeluarkan cairan sitoplasma dalam akar, sehingga akar pucat dan sebagai


(25)

pengawet. Larutan HCl 2% untuk mempermudah masuknya trypan blue pada saat pewarnaan.

Alat yang di gunakan dalam penelitian ini untuk pengambilan contoh tanah dan akar tanaman adalah kompas, tali plastik, cangkul, kantong plastik, dan spidol serta kertas label. Alat untuk pengamatan di laboratorium adalah saringan

710 μm, 425 μm, dan 53 μm, tabung sentrifuse, cawan petri, pinset spora,

mikroskop binokuler, mikroskop cahaya, kaca preparat, dan kaca penutup. Alat yang digunakan untuk pemerangkapan di rumah kaca berupa pot (aqua cup), dan sprayer.

Metode Penelitian

1. Pembuatan Petak

Adapun ukuran petak pengamatan yang digunakan adalah 20 m × 20 m. Penetapan petak pengamatan dilakukan secara acak dengan jumlah petak yang dibuat sebanyak tiga petak pada lahan produktif dan tiga petak pada lahan non produktif, tiap petak diantaranya terdiri dari lima titik pengambilan sampel tanah. Total pengambilan sampel tanah menjadi sebanyak 30 titik pengambilan sampel tanah.


(26)

Gambar 1. Ilustrasi petak contoh pengambilan sampel tanah

Keterangan :

: tempat pengambilan sampel tanah.

2. Pengambilan Sampel Tanah

Pengambilan sampel tanah dilakukan sebanyak lima titik dalam setiap petak dengan kedalaman 0-20 cm. Berat tanah yang diambil setiap titik sebanyak 500 gr, sehingga total sampel tanah yang diambil untuk tiap petak pengamatan sebanyak 2500 gr. Sampel tanah tiap titik dalam satu petak dicampur dalam satu tempat hingga homogen untuk mewakili satu petak. Setelah pencampuran dianggap homogen diambil 500 gr sampel tanah untuk tiap petak.

3. Analisi Tanah Awal

Sebelum melakukan penelitian, terlebih dahulu dilakukan analisis awal terhadap kondisi tanah pada kedua lahan (Produktif dan Non produktif) meliputi pH tanah, C-organik, KTK dan P-tersedia untuk mengetahui sifat tanah.

4. Pemerangkapan (Trapping Culture)

Teknik pemerangkapan (trapping culture) yaitu Setiap contoh tanah dibuat 15 pot kultur sehingga terdapat 30 pot kultur. Teknik pengisian media tanam dalam pot kultur adalah pot kultur diisi dengan pasir sungai sampai sepertiga volume pot, kemudian dimasukkan contoh tanah dan terakhir ditutup dengan pasir


(27)

sungai sehingga media tanam tersusun atas pasir sungai - contoh tanah - pasir sungai. Selanjutnya bibit jagung (Zea mays) ditaruh pada lubang tanam yang sudah diisi dengan pasir sungai, tanah kemudian ditutupi lagi dengan pasir sungai.

Dari setiap contoh tanah dibuat 15 pot kultur. Disamping itu diberikan penambahan terrabuster guna merangsang pembentukan spora yang lebih baik. Perlakuan terrabuster diberikan dengan konsentrasi 0,4% (1:250) sebanyak 20 ml tiap pot. Frekuensi pemberian terrabuster adalah dua kali seminggu selama satu bulan pertama dan sekali dalam seminggu selama satu bulan kedua. Penambahan terrabuster ini diharapkan berpengaruh terhadap pembentukan spora fungi mikoriza.

Setelah kultur berumur delapan minggu kegiatan penyiraman dihentikan dengan tujuan mengondisikan kultur pada keadaan stres kekeringan. Proses pengeringan ini berlangsung secara perlahan sehingga dapat merangsang pembentukan spora lebih banyak. Periode pengeringan ini akan berlangsung selama dua minggu.

Pemeliharaan kultur meliputi kegiatan penyiraman, pemberian hara dan pengendalian hama secara manual. Larutan hara yang digunakan adalah Hyponex merah (25-5-20) dengan konsentrasi 1 g/l. Pemberian larutan hara dilakuan setiap minggu sebanyak 20 ml tiap pot kultur.

Pemanenan dilakukan setelah pembentukan spora-spora baru diasumsikan sudah cukup baik setelah dilakukan stressing selama 2 minggu terhadap tanaman yang digunakan sebagai kultur pemerangkapan. Variabel yang diamati adalah


(28)

jumlah spora dalam 50 g media tanam dan jenis spora. Selanjutnya spora-spora yang diperoleh dari kultur ini akan diidentifikasi jenisnya.

5. Pengamatan Contoh Tanah dan Akar

a. Ekstraksi Spora

Teknik yang digunakan dalam mengekstraksi spora FMA adalah teknik tuang – saring dan akan dilanjutkan dengan teknik sentrifugasi. Prosedur kerja teknik tuang – saring ini, pertama adalah mencampurkan tanah sampel sebanyak 50 g dengan 200–300 ml air dan diaduk sampai butiran-butiran tanah hancur. Selanjutnya disaring dalam satu set saringan dengan ukuran 710 μm, 425 μm, dan

53 μm secara berurutan dari atas ke bawah. Dari saringan bagian atas disemprot

dengan air kran untuk memudahkan bahan saringan lolos. Kemudian saringan paling atas dilepas dan saringan kedua kembali disemprot dengan air kran. Setelah saringan kedua dilepas sejumlah tanah sisa yang tertinggal pada saringan terbawah dipindahkan ke dalam tabung sentrifuse.

Ekstraksi spora teknik tuang – saring ini kemudian diikuti dengan teknik sentrifugasi. Hasil saringan dalam tabung sentrifuse ditambahkan dengan glukosa 60% yang diletakkan pada bagian bawah dari larutan tanah dengan menggunakan pipet. Tabung sentrifuse ditutup rapat dan disentrifuse dengan kecepatan 2500 rpm selama 3 menit. Selanjutnya larutan supernatan tersebut dituang ke dalam saringan 53 µm, dicuci dengan air mengalir (air kran) untuk menghilangkan glukosa. Endapan yang tersisa dalam saringan di atas dituangkan ke dalam cawan petri dan kemudian diamati di bawah mikroskop binokuler untuk


(29)

penghitungan kepadatan spora dan pembuatan preparat guna identifikasi spora FMA yang ada.

Pembuatan preparat spora menggunakan bahan pewarna Melzer’s. Spora-spora FMA yang diperoleh dari ekstraksi setelah dihitung jumlahnya diletakkan dalam larutan Melzer’s. Selanjutnya spora-spora tersebut dipecahkan secara hati-hati dengan cara menekan kaca penutup preparat menggunakan ujung lidi. Perubahan warna spora dalam larutan Melzer’s adalah salah satu indikator untuk menentukan tipe spora yang ada.

b. Kolonisasi FMA pada Akar Tanaman

Pengamatan kolonisasi FMA pada akar tanaman contoh dilakukan melalui teknik pewarnaan akar (staining). Metode yang digunakan untuk pembersihan dan pewarnaan akar sampel. Langkah pertama adalah memilih akar-akar halus

dengan diameter 0,5-2,0 mm segar dan dicuci dengan air mengalir hingga bersih Akar sampel dimasukkan ke dalam larutan KOH 10% dan dibiarkan

selama lebih kurang 24 jam sehingga akar akan berwarna putih atau pucat. Larutan KOH kemudian dibuang dan akar contoh dicuci pada air mengalir selama 5-10 menit. Selanjutnya akar contoh direndam dalam larutan HCl 2% dan dibiarkan selama satu malam. Larutan HCl 2% kemudian dibuang dengan mengalirkannya secara perlahan-lahan. Selanjutnya akar sampel direndam dalam larutan trypan blue 0,05%. Kemudian larutan trypan blue dibuang dan diganti dengan larutan lacto glycerol untuk proses destaining (pengurangan warna). Selanjutnya kegiatan pengamatan siap dilakukan. Penghitungan persentase kolonisasi akar menggunakan metode panjang akar terkolonisasi.


(30)

Secara acak diambil potong-potongan akar yang telah diwarnai dengan panjang ± 1 cm sebanyak 10 potongan akar dan disusun pada kaca preparat, untuk setiap tanaman sampel dibuat dua preparat akar. Potongan-potongan akar pada kaca preparat diamati untuk setiap bidang pandang. Bidang pandang yang menunjukkan tanda-tanda kolonisasi (terdapat hifa dan atau arbuskula dan atau vesikula) diberi tanda positif (+), sedangkan yang tidak terdapat tanda-tanda kolonisasi diberi tanda negatif (-). Derajat/persentase kolonisasi akar dihitung dengan menggunakan rumus:

% ��������������= ∑ ��������������������� +

∑ ���������������������ℎ�� � 100%

6. Pengamatan

Hasil pengamatan yang dilakukan menjadi dua kelompok, yaitu variabel kesuburan tanah produktif dan non produktif dan variabel mikoriza. Variabel Kesuburan tanah Produktif dan tanah non produktif antara lain (pH, C-organik, P-tersedia, KTK, Kadar air). Variabel mikoriza yang diamati meliputi (1) Persentase kolonisasi akar pada tanaman inang, (2) Kepadatan spora atau jumlah spora FMA dan (3) Jenis spora FMA yang ditemukan.

Berdasarkan data-data yang diperoleh dari variabel pengamatan dilakukan analisis untuk melihat hubungan antara variable Kesuburan tanah dengan variabel mikoriza. Analisis ini dilakukan untuk menjelaskan bagaimana hubungan

keberadaan dan status FMA dengan adanya perbedaan kondisi kedua lahan yaitu lahan produktif dan lahan non produktif.


(31)

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Analisi Sifat Kimia Tanah.

Sampel tanah diambil dari lapangan dengan kedalaman 0 – 20 cm. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan ditemukan perbedaan sifat kimia tanah diantara kedua lahan yang berbeda dan diperoleh hasilnya sebagaimana pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil analisis sifat kimia tanah produktif dan tanah non produktif.

Parameter Jenis Lahan Nilai Keterangan

pH (H2O) (%) Produktif 5,13 m Masam

Non produktif 4,57 m Masam

C - Organik (%) Produktif 1,75 r Rendah

Non produktif 2,08 s Sedang

P - Bray II (ppm) Produktif 9,51 r Rendah

Non produktif 6,25 sr Sangat rendah

KTK (m.e/100g) Produktif 24,10 s Sedang

Non produktif 18,10 s Sedang

Kadar air (%) Produktif 14,12 s Sedang

Non produktif 10,21 s Sedang

* Kriteria berdasarkan Penelitian Tanah (1983) dalam Mukhlis (2007) (lampiran 2,3, dan 4)

Tanah pada lahan produktif dan non produktif tergolong dalam kriteria masam antara 4,5-5,13. Persentase C-Organik lahan produktif termasuk dalam kriteria rendah yaitu 1,75% sedangkan pada lahan non produktif termasuk dalam kategori sedang yaitu 2,08%. Kandungan P-tersedia pada lahan produktif


(32)

termasuk dalam kriteria rendah yaitu berkisar 8,0-15 ppm sedangkan pada lahan non produktif termasuk dalam kriteria sangat rendah yaitu < 8,0 ppm. Kapasitas Tukar Kation (KTK) pada lahan produktif dan non produktif termasuk ke dalam kriteria sedang yaitu berkisar 17-24 (me/100g).

Menurut pernyataan Widyastuti et al. (2005) ketersediaan P erat kaitannya dengan tingkat kemasaman tanah. Berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa tanah yang terdapat pada lahan produktif dan non produktif tergolong tanah yang masam sedangkan P-tersedia pada lahan non produktif tergolong sangat rendah, hal ini dapat memungkinkan terjadinya hubungan timbal balik antara kemasaman tanah dan ketersediaan P di dalam tanah.

Setelah diamati dari analisi sifat kimia tanah dari kedua lahan dilihat dari kandungan P-tersedianya pada lahan non produktif tergolong tanah yang kurang subur atau tanah yang kritis karena P-tersedianya yang sangat rendah yaitu 6,25ppm. Rendahnya kandungan P di dalam tanah menyebabkan tumbuhan mampu membentuk simbiosis dengan FMA.

2. Kepadatan Jumlah Spora di Lapangan dan Pemerangkapan.

Berdasarkan hasil pengamatan dari lahan produktif dan non produktif di lapangan menunjukkan bahwa kepadatan spora pada lahan non produktif lebih tinggi dibandingkan lahan produktif yaitu 78 spora/50 gram tanah dan lahan non produktif 80 spora/50 gram tanah seperti pada Gambar 1.


(33)

Gambar 1. Jumlah spora di lapangan

Spora yang diambil dari lapangan belum sepenuhnya dapat teridentifikasi, karena tidak semua FMA aktif pada periode waktu yang sama oleh sebab itu perlu dilakukan pemerangkapan. Pemerangkapan dilakukan untuk menstimulasi sporulasi atau meningkatkan jumlah propagul FMA. Kepadatan spora pada lahan produktif dan non produktif di pemerangkapan menunjukkan bahwa kepadatan spora pada lahan produktif dan lahan non produktif meningkat seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Jumlah spora di pemerangkapan

Meningkatnya jumlah spora pada pemerangkapan disebabkan perlakuan stressing atau menghentikan penyiraman yang dilakukan yang memberikan pengaruh positif bagi perkembangan FMA. Jumlah spora pada lahan produktif

78 80 0 20 40 60 80 100

Produktif Non produktif

J um la h Spo r a Lokasi Pengamatan 80 89 0 20 40 60 80 100

Produktif Non produktif

J um la h Spo r a Lokasi Pengamatan


(34)

yaitu bertambah 2 spora, dari 78/ 50gram tanah menjadi 80 spora/50 gram tanah, dan pada lahan non produktif bertambah 9 spora, dari 80/50gram tanah menjadi 89 spora/50 gram tanah.

3. Persentase kolonisasi akar

Hasil pengamatan akar tanaman pada lahan produktif dan lahan non produktif menunjukkan asosiasi antara FMA dengan akar yang membentuk hifa didalam sel akar.

Persentase kolonisasi akar pada lahan Non produktif didapat rata-rata sebesar 42,76%, dan pada lahan Produktif didapat rata-rata sebesar 17,83%. Persentase kolonisasi akar pada kedua vegetasi dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Persentase kolonisasi akar oleh FMA.

Menurut klasifikasi tingkat infeksi pada akar menurut Setiadi (1992) dari hasil penelitian yang dilakukan didapat persentase kolonisasi akar pada Gambar 3, lahan non produktif menunjukkan kriteria sedang dan dilahan produktif kriteria rendah.

4. Tipe dan Karakteristik Spora

17,83 42,76 0 20 40 60 80 100

Produktif Non Produktif

K ol on is as i ak ar ( %) Lokasi pengamatan


(35)

Hasil ekstraksi dan identifikasi spora yang dilakukan pada lahan produktif ditemukan satu genus spora yaitu dari genus Glomus, dan lahan non produktif ditemukan dua genus spora yaitu Glomus dan Acaulospora. Genus Glomus terdiri dari 25 tipe spora dan Acaulospora terdiri dari 2 tipe spora. Jumlah spora yang terdapat pada kedua lahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah spora FMA pada lahan Produktif dan Non Produktif.

Jenis Produktif Non Produktif

Glomus sp 13 14

Acaulospora sp - 2

Pada lahan produktif dan non produktif yang diteliti, masing-masing lahan memiliki tipe-tipe spora yang berbeda pada setiap genusnya. Tipe dan karakteristik spora FMA pada kedua lahan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Tipe dan karakteristik spora FMA pada lahan Produktif dan Non produktif.

Lahan Produktif

Lahan Non Produktif

Tipe spora FMA Keterangan

Lap Trap Lap Trap

- - - √ Acaulospora sp-1

Spora berwarna merah bata

kehitaman dinding spora jelas memiliki lapisan warna spora, corak seperti kulit jeruk

dan tidak memiliki tangkai.


(36)

- - √ √ Acaulospora sp-2 Spora berukuran kecil, berwarna merah kehitaman, dan berbentuk bulat. Corak seperti kulit jeruk

dan, lapisan dinding spora jelas. √ √ - - Glomus sp-1 Berukuran kecil, spora berwarna kuning kecoklatan, dinding spora jelas, permukaan halus memilik corak seperti kulit

jeruk, dan tidak memiliki tangkai dan bulat. √ - - - Glomus sp-2 Spora berukuran kecil berwarna merah kehitaman memiliki, corak seperti kulit jeruk

dan memiliki bintik-bintik


(37)

- - - √

Glomus sp-3

Spora berukuran kecil lapisan dinding spora jelas,

berwarna kuning kecoklatan permukaan spora

halus,berbentuk bulat.

√ - - -

Glomus sp-4

Spora berwarna kuning berbentuk

bulat berdinding tebal, permukaan spora halus dengan

corak lebih gelap dan kotor.

√ √ - -

Glomus sp-5

Spora berwarna merah gelap, dinding spora jelas

memiliki tangkai spora berbentuk bulat permukaan spora tidak halus dengan corak guratan-guratan pada dinding spora.


(38)

- - √ √

Glomus sp-6

Spora berwarna coklat muda, berbentuk bulat dan

memiliki tangkai sporadinding spora jelas dan permukaan gelap memiliki bintik hitam.

- - √ - Glomus sp-7

Spora berwarna coklat kehitaman, dinding spora jelas.

Spora berbentuk bulat permukaan spora halus . tidak

memiliki corak.

- - √ √ Glomus sp-8

Spora berwarna merah bata dan berbentuk elips (bulat telur), permukaan spora halus, dengan corak

lebih gelap dan terdapat bintik hitam

pada bagian tengah dalam spora. Spora berbentuk

bulat, berwarna merah gelap. Dinding spora tebal,

permukaan spora halus.


(39)

- - - √

Glomus sp-9

- - √ √

Glomus sp-10

Spora berwarna merah gelap, dinding

jelas. Permukaan tidak halus dengan

corak gelap. Memiliki tangkai

spora.

√ √

Glomus sp-11

Spora berbentuk bulat, berwarna merah gelap dinding

spora tebal dan pernukaan halus

Spora berbentuk bulat, berwarna coklat, memiliki

tangkai spora permukaan kasar.


(40)

- - - √ Glomus sp-12

- √ - -

Glomus sp-13

Spora berbentuk bulat, berwarna merah bata, dinding

spora tebal dan permukaan halus. - √ - - Glomus sp-14 Spora berbentuk bulat, berwarna coklat kehitaman, dinding spora tebal,

dengan permukaan kasar, terdapat bintik-bintik hitam. - - - √ Glomus sp-15 Spora berbentuk bulat berwarna merah kehitaman, dinding spora tebal,

dengan permukaan kasar terdapat

bintik-bintik hitam Spora berbentuk bulat, berwarna merah kehitaman, memiliki tangkai spora, terdapat bintik-bintik hitam, permukaan seperti kulit jeruk.


(41)

- √ - - Glomus sp-16

- √ - -

Glomus sp-17

Spora berbentuk bulat, berwarna merah kehitaman, dinding spora tebal

dan permukaan halus.

√ - √ √

Glomus sp-18

Spora berbentuk bulat, berwarna merah kehitaman, permukaan halus, memiliki tangkai

spora.

- - √ -

Glomus sp-19

Spora berbentuk bulat, berwarna kuning bening, dan

bagian tengahny hitam, permukaan spora halus dan tipis.


(42)

√ - - -

Glomus sp-20

Spora berbentuk bulat, berwarna

hitam gelap, permukaan kasar, dinding spora tipis dan memiliki tangkai

spora.

- √ - -

Glomus sp-21

Bentuk spora lonjong, berwarna

kuning bening, permukaan spora halus, berdinding

tipis.

- - √ √

Glomus sp-22

Bentuk spora bulat, berwarna merah

kehitaman, permukaan spora kasar, berdinding tebal dan permukaan


(43)

- - √ √

Glomus sp-23

Spora berbentuk lonjong, berwarna

merah terang, permukaan berbintik-bintik hitam, dinding spora

tebal dan memiliki kulit spora.

- - √ √ Glomus sp-24

Spora berbentuk lonjong, berwarna

merah kehitaman, permukaan halus, dinding spora tebal.

√ √ - √

Glomus sp-25

Spora berbentuk bulat, berwarna merah kehitaman, permukaan halus, dinding spora tebal, dan memiliki tangkai

spora.


(44)

Pembahasan

Hasil pengamatan persen kolonisasi akar pada lahan produktif dan lahan non produktif menunjukkan persen kolonisasi yang berbeda dan menunjukkan dapat berasosiasi dengan FMA. Hasil dari pengamatan persen kolonisasi akar pada lahan produktif dan non produktif dapat dikriteriakan berdasarkan Setiadi (1992). Rataan kolonisasi akar menunjukkan bahwa akar yang terinfeksi pada lahan produktif termasuk dalam kategori rendah yaitu 17,83%, sedangkan pada lahan non produktif termasuk dalam kategori sedang yaitu 42,76%. Asosiasi FMA dengan akar pada masing-masing lahan yang menyebabkan terjadinya infeksi pada akar tanaman inang, dapat diketahui dengan ada tidaknya struktur-struktur yang dihasilkan oleh FMA. Struktur-struktur yang dapat dilihat pada saat penghitungan persen kolonisasi akar adalah hifa yang berbentuk benang-benang halus berguna untuk menyerap unsur hara dari luar menurut Abbott & Robson (1982), struktur yang dibentuk FMA dengan mengkolonisasi akar yang diamati adalah, struktur vesikula, hifa (internal dan eksternal). Struktur FMA yang ditemukan adalah seperti pada Gambar 4 dan 6.

Gambar 4. Hifa pada akar. Gambar 5. Akar tanpa kolonisasi FMA.

Hifa eksternal


(45)

Gambar 6. Vesikula (v) FMA pada akar.

Penyebaran FMA pada setiap lahan berbeda-beda. Persen kolonisasi akar tanaman tidak sama pada lahan produktif dan lahan non produktif. Hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor luar yang berkaitan dengan kondisi lingkungan dan kesuburan tanah. Sifat kimia tanah sangat mempengaruhi kemampuan FMA dalam berasosiasi dengan tanaman inang. Hasil analisis sifat kimia tanah yang dilakukan pada lahan produktif dan lahan non produktif menunjukkan sifat tanah yang berbeda. Berdasarkan kriteria pH tanah menurut BPP Medan (1982) dalam Mukhlis (2007), dari hasil analisis tanah diperoleh pH pada lahan produktif dan non produktif tergolong dalam kategori masam yaitu 5,13 pada lahan produktif dan 4,57 pada lahan non produktif.

Menurut Setiadi (1989), perkembangan FMA yang optimal terjadi pada pH 3,9-5,9. Dari hasil pengamatan bahwa kolonisasi pada lahan produktif dan lahan non produktif yang diteliti tergolong optimal dengan pH 3,9-5,9. Perbedaan kolonisasi akar yang diteliti pada lahan produktif dan lahan non produktif dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu sifat kimia tanah yang berbeda dan jenis spesies serta kandungan nutrien di dalam tanah seperti konsentrasi P-tersedia.


(46)

Selain tingkat kemasaman tanah, kandungan P-tersedia juga berpengaruh terhadap FMA. Menurut Setiadi et al (1992) konsentrasi P yang tinggi di dalam tanah menghambat kolonisasi FMA. Pernyataan tersebut dapat dilihat dari hasil pengamatan kolonisasi akar yang menunjukkan kolonisasi akar yang maksimum akan dicapai pada tanah yang kurang subur. Pengaruh antara P-tersedia dengan perkembangan FMA berbanding terbalik, yaitu semakin tinggi kandungan P-tersedia maka kolonisasi FMA akan semakin rendah. Hasil pengamatan kolonisasi akar pada lahan produktif dengan kandungan P-tersedia sebesar 9,51ppm (yang tergolong lebih tinggi dari pada lahan non produktif)memiliki akar dengan persen kolonisasi 17,83%.

Jika dilihat perbandingan P-tersedia dari kedua lahan, lahan non produktif menunjukkan kondisi tanah yang kurang subur atau kandungan P-nya yang sangat rendah yaitu 6,25ppm, maka kolonisasi akar yang maksimum akan dicapai pada lahan non produktif dengan kolonisasi 42,83%. Apabila disesuaikan dengan penelitian Wani dan Lee (1995) yang menunjukkan bahwa kolonisasi akar yang maksimum akan dicapai pada tanah yang kurang subur. Faktor lain yang mempengaruhi persen kolonisasi akar pada lahan produktif disebabkan oleh perbedaan spesies dari FMA. Seperti pada pernyataan Gunawan (1993) persentase kolonisasi pada akar dan produksi spora oleh FMA dipengaruhi oleh spesies FMA itu sendiri. Setelah dilakukan ekstraksi pada sampel tanah yang diambil pada lahan produktif dan lahan non produktif dilapangan, ditemukan rata-rata kepadatan spora yaitu 78 spora/50gram tanah sedangkan pada lahan non produktif yaitu 80 spora/50 gram tanah.


(47)

Spora yang diambil dari lapangan belum sepenuhnya dapat teridentifikasi, karena tidak semua FMA aktif pada periode waktu yang sama oleh sebab itu perlu dilakukan pemerangkapan. Pemerangkapan dilakukan untuk menstimulasi sporulasi atau meningkatkan jumlah propagul FMA. Kepadatan spora pada kedua lahan menunjukkan peningkatan jumlah spora. Kepadatan spora pada lahan produktif lebih rendah yaitu 80/50 gram tanah dan meningkat 2 spora dari hasil ekstraksi di lapangan, dan lahan non produktif yang memiliki kepadatan spora 89 spora/50 gram tanah, meningkat 9 spora dari hasil pemerangkapan di rumah kaca.

Meningkatnya jumlah spora pada pemerangkapan disebabkan perlakuan stressing atau menghentikan penyiraman yang dilakukan yang memberikan pengaruh positif bagi perkembangan FMA. Pada kondisi tanah kering, maka FMA akan meningkat. Meningkatnya jumlah spora ini disebabkan pada kondisi yang tidak menguntungkan spora FMA yang diproduksi akan meningkat sebagai cadangan makanan agar spora dapat tetap hidup meskipun tanaman inangnya mati. Hasil persen kolonisasi spora sejalan dengan hasil rata-rata kepadatan spora hasil pemerangkapan, pada lahan non produktif yang memiliki persen kolonisasi yang tertinggi yaitu 42,86 %, pada lahan non produktif tersebut juga terdapat kepadatan rata –rata spora yang tertinggi yaitu 89 spora/50 gram tanah.

Apabila hasil tersebut disesuaikan dengan pernyataan Gemma dan Koske (1988), bahwa dormansi merupakan waktu yang diperlukan oleh spora untuk berkecambah dan kemudian mengkolonisasi akar, adanya dormansi spora dengan demikian dapat menurunkan laju kolonisasi akar, maka jumlah spora yang tinggi akan meningkatkan infeksi FMA pada akar yang menyebabkan persen kolonisasi juga akan semakin tinggi.


(48)

Hasil ekstraksi spora yang dilakukan pada lahan produktif ditemukan tipe Glomus sp dan pada lahan non produktif ditemukan tipe Acaulospora sp dan Glomus sp. Pada kedua lahan ditemukan 25 tipe spora dari tipe Glomus dan 2 tipe spora Acaulospora hanya pada lahan non produktif. Keberadaan spora FMA pada setiap lahan sangat beragam jenisnya. Pada lahan produktif ditemukan 13 tipe spora Glomus sp, dan pada lahan non produktif ditemukan 2 tipe spora Acaulospora sp dan 14 tipe spora Glomus sp. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gunawan (1993) persentase kolonisasi pada akar dan produksi spora oleh FMA dipengaruhi oleh spesies FMA itu sendiri, lingkungan dan tanaman inangnya.


(49)

Tipe-tipe spora yang ditemukan berasosiasi dengan tanaman pada lahan produktif dan non produktif ditampilkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Tipe – tipe spora pada lahan produktif dan non produktif.

No Tipe Spora Lahan

Produktif Non Produktif

1 Acaulospora sp. - 1 +

2 Acaulospora sp. - 2 +

3 Glomus sp. - 1 +

4 Glomus sp. - 2 +

5 Glomus sp. - 3 +

6 Glomus sp. - 4 +

7 Glomus sp. - 5 +

8 Glomus sp. - 6 +

9 Glomus sp. - 7 +

10 Glomus sp. - 8 +

11 Glomus sp. - 9 +

12 Glomus sp. - 10 +

13 Glomus sp. - 11 +

14 Glomus sp. - 12 +

15 Glomus sp. - 13 +

16 Glomus sp. - 14 +

17 Glomus sp. - 15 +

18 Glomus sp. - 16 +

19 Glomus sp. - 17 +

20 Glomus sp. - 18 + +

21 Glomus sp. - 19 +

22 Glomus sp. - 20 +

23 Glomus sp. - 21 +

24 Glomus sp. - 22 +

25 Glomus sp. - 23 +

26 Glomus sp. - 24 +

27 Glomus sp. – 25 + +

Keterangan

+ : Ditemukan

Spora Glomus yang ditemukan rata-rata memiliki bentuk bulat sampai bulat lonjong, memiliki dinding spora mulai dari kuning bening sampai coklat kemerahan, permukaan dinding spora relatif halus, dan memiliki dinding spora


(50)

yang tipis. Spora ada yang tidak ditemukan tangkai spora (Hyfal attachment), namun ada spora lainnya ditemukan tangkai spora (Hyfal attachment) yang langsung menyatu dengan dinding spora dengan warna yang hampir sama dengan dinding spora.Spora Acaulospora yang ditemukan memiliki bentuk bulat dan memiliki dinding spora yang relatif tebal, dengan warna kuning kecoklatan sampai orange kemerahan.

Perbedaan jumlah spora yang terdapat pada masing-masing lahan tersebut mungkin disebabkan karena banyak faktor. Faktor abiotik misalnya ketersediaan hara yang terdapat di dalam tanah dan penggunaan pupuk. Pada lahan non produktif tidak ada pemupukan, tidak seperti pada lahan produktif dimana dilakukan pemupukan atau penambahan konsentrasi hara ke dalam tanah. Menurut Rosliani et al, 2006 Kandungan hara khususnya P dalam tanah mempengaruhi perkembangan FMA.

Pengaruh menguntungkan dari fungi mikoriza arbuskula terhadap pertumbuhan tanaman sering dihubungkan pengaruh serapan hara yang tidak tersedia terutama fosfor (P). Lahan produktif jumlah mikoriza tidak begitu besar. Hal di atas didukung oleh pendapat Suhardi (1989) yang menyatakan bahwa pada kondisi tanah yang subur dimana tingkat pengolahan tanah yang tinggi perkecambahan dari spora agak terhambat sehingga tidak banyak dijumpai mikoriza baik spora maupun hifanya.

Faktor lain yang menyebabkan hal tersebut adalah terjadinya pengelolaan/pemanfaatan lahan yang berlebihan (terus menerus) akan menghabiskan persediaan unsur hara tanah dalam beberapa rotasi tanaman saja dan akan menyebabkan penurunan produktivitas lahan. Jens Mackensen (2000).


(51)

Pada lahan non produktif dimana ketersediaan P yang sangat rendah sehingga peran mikoriza lebih besar di dalam tanah dan jumlahnya lebih banyak. Seperti pernyataan Abbott dan Robson (1984), setiap spesies mikoriza mempunyai kemampuan yang spesifik dari spesies tersebut untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman pada kondisi tanah yang kurang menguntungkan dengan cara membentuk hifa ekstensif di dalam tanah dan pada seluruh sistem perakaran tanaman untuk menyerap fosfor dari larutan tanah.


(52)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Persen kolonisasi pada lahan produktif yaitu 17,83% dengan rata-rata kepadatan spora 80 spora/50gram tanah, dan persen kolonisasi lahan non produktif yaitu 42,76% dengan rata-rata kepadatan spora 89 spora/50gram tanah. Terdapat spora FMA tipe Glomus dan Acaulospora. Pada lahan produktif ditemukan 13 tipe spora Glomus sp, dan pada lahan non produktif ditemukan 2 tipe spora Acaulospora sp dan 14 tipe spora Glomus sp. Total tipe sporayang teridentifikasi 25 dari Glomus sp dan 2 tipe spora Acaulospora sp.

Saran

Penelitian ini hanya menghasilkan data persen kolonisasi dan kepadatan spora beserta jenisnya, sehingga perlu dilakukan penelitian lanjut untuk mengetahui potensi FMA terhadap pengaruh pupuk yang diberikan pada kedua lahan.


(53)

DAFTAR PUSTAKA

Abbot LK dan Robson AD. 1984. The role of VA mycorrhizae fungi agriculture and the selection of fungi for inoculation.

Abbott, L. K. dan Robson, A. D. 1982. The role of VAM fungi in agriculture and the selection of fungi for inoculation. Aust J Agric Res. 33:389-395. Anas, I. 1992. Bioteknologi Tanah. Laboratorium Biologi Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. IPB.

Bown, M.F. dan E.J. King. 1991. Morphology and Histology of Vesicular Arbuscular Mycorrhizae. In Methods and Principles of Mycorrhizal Research. APS Press.

Delvian. 2006. Peranan Ekologi dan Agronomi Cendawan Arbuskula Mikoriza. USU Repository. Medan.

Fakuara, M. Y, 1988. Mikoriza Teori dan Kegunaan Praktek. IPB Press, Bogor.

Friday, K.S., M.E. Drilling dan D.P. Garrity. 2000. Rehabilitasi Padang Alang-alang Menggunakan Agroforestry dan Pemeliharaan Permudaan Alam. ICRAF dan Universitas Brawijaya.

Gunawan, A.W. 1994. Mikoriza. Makalah pengajaran kursus singkat biologi cen-dawan.Institut Pertanian Bogor.

Imas. T. R. S. Hadioetomo, A. W., Gunawan. dan Setiadi Y. 1989. Mikrobiologi Tanah. Jilid II. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat jendral Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB. Bogor.

Irwanto. 2006. Pengaruh Perbedaan Naungan Terhadap Pertumbuhan Semai Shorea sp di Persemaian [Tesis]. Sekolah Pascasarjana UGM Jurusan Ilmu-Ilmu Pertanian. Program Studi Ilmu Kehutanan. Yogyakarta.


(54)

Jens Mackensen. 2000. Penelitian Hutan Tropis Pengelolaan Unsur Hara pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia Petunjuk praktis kearah pengelolaan unsur hara terpadu. Badan Kerjasama Teknis Jerman

Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit Eschborn, Jerman.

Kang BT. 1989. Nutrient management for sustained crop production in the humid and subhumid tropic. In Van der Heide (ed) Proc. Int. Symp. Nutrient management for food crop production in tropical farming system.

Manan S. 1993. Pengaruh mikoriza pada pertumbuhan semai Pinus merkusi di persemaian. Kuliah silvikultur umum. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Moreira, Dilmar dan Tsai SM. 2007. Biodiversity dan distribution of arbuscular mycorrhizal fungi in Araucaria angustifolia forest.

Mosse, S. 1981. Vesicular Arbuscular Mycorizarescarh for tropical agriculture. Ress. Bull.

Mukhlis. 2007. Analisis Tanah Tanaman. USU Press. Medan.

Lakitan B. 2000. Dasar-dasar fisiologi tumbuhan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Octavitani, N. 2010. Pemanfaatan Pupuk Hayati CMA untuk Meningkatkan Produktivitas Pertanian. IPB. Bogor.

Pattimahu, D.V. 2004. Restorasi Lahan Kritis Pasca Tambang sesuai Kaidah Ekologi. Makalah Mata Kuliah Falsafah Sains, Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Bogor.


(55)

Pudjiharta, A., W. Enny., A. Yelin., dan H. K. Syafruddin, 2008. Kajian Teknik Rehabilitasi Lahan Alang-Alang. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

Pujiyanto. 2001. Pemanfatan Jasad Mikro, Jamur Mikoriza dan Bakteri dalam Sistem Pertanian Berkelanjutan di Indonesia: Tinjauan Dari Perspektif Falsafah Sains. Makalah Falsafah Sains Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Purnomosidhi P, van Noordwijk M and S Rahayu. 1998. Shade-based Imperata control in the establishment of agroforestry system (field survey report).

Rao, S.N. 2004. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman, I.A.R.I. Press. New Delhi.

Rosliani, 2006. Peranan mikoriza arbuskula dalam reboisasi lahan kritis di Indonesia. Makalah seminar penggunaan CMA dalam sistem pertanian organik dan rehabilitas lahan. Bandung. 21-23 April 2001.

Seriosta A, 2010. Pengaruh Cara Pembukaan Lahan Alang-Alang Terhadap Besarnya Unsur Hara Yang Terbawa Oleh Erosi Tanah Dan Produksi Tanaman Di Lahan Kritis Daerah Tangkapan Air (DTA) Singkarak. Universitas Andalas.

Setiadi, Y. 1992. Peranan Mikoriza Arbuskula Dalam Rehabilitasi Lahan Kritis di Indonesia. Disampaikan dalam Rangka Seminar Penggunaan Cendawan Mikoriza dalam Sistem Pertanian Organik dan Rehabilitasi Lahan Kritis. Bandung 23 April 2001.

Setiadi, Y. 1989. Pemanfaatan Mikroorganisme dalam Kehutanan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB. Bogor.

Setiadi, Y. 2001. Mikoriza dan Pertumbuhan Tanaman. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas IPB. IPB Press. Bogor.


(56)

Suhardi. 1989. Mikoriza Arbuskula (MVA). Pedoman Kuliah. PAU. Bioteknologi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Turk, M.A., T.A. Assaf, K.M. Hameed, and A.M. Al-Tawaha. 2006. Significance of Mycorrhizae., World Jour. of Agri. Sci

Wani, SP dan Lee KK. 1995. Exploiting Vesicular Arbuscular Mycorrhizae Through Crop and Soil Management Practices. Mycorrhiza News 6 Widiastuti, Y, N. Sukarno, L.K. Darusman, D.H. Goenadi, S. Smith, dan E.

Guhardja. 2005. Application Of Arbuscular Mycorrhizal Fungi Spore As Inoculant To Increase Growth And Nutrient Uptake Of Oil Palm Seedling. Menara Perkebunan.


(57)

LAMPIRAN

Lampiran1. Klasifikasi KolonisasiFMA pada Akar Menurut Setiadi (1992)

Tingkat Kolonisasi (%) Kategori Keterangan

0-5 Kelas 1 Sangat rendah

6-25 Kelas 2 Rendah

26-50 Kelas 3 Sedang

51-75 Kelas 4 Tinggi

76-100 Kelas 5 Sangat tinggi

Lampiran 2. Kriteria Penilaian Sifat-Sifat Tanah Menurut BPP Medan (1982) dalam Mukhlis (2007)

Sifat tanah Satuan Sangat

rendah Rendah Sedang Tinggi

Sangat tinggi

C (Karbon) % <1,00 1,00-2,00 2,01-3,00 3,01-5,0 >5,00 P. avl. Bray II ppm <8,00 8,00-15 16-25 26-25 >25

KTK (me/100 g liat) < 5 5 - 16 17 - 24 25 - 40 > 40

Lampiran 3. Kriteria pH Tanah Menurut BPP Medan (1982) dalam Mukhlis (2007)

Kriteria pH (H2O)

Sangat Masam <4,5

Masam 4,5-5,5

Agak Masam 5,6-6,5

Netral 6,6-7,5

Agak Alkalis 7,6-8,5


(58)

Lampiran 4. Kriteria Kapasitas Tukar kation dalam Muklis (2007) Sifat tanah Satuan Sangat

rendah

Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi KTK (me/100 g liat) < 5 5 -16 17 - 24 25 - 40 > 40

KB (%) < 20 20 – 35 36 – 50 51 – 70 > 70

Bahan organik % C < 1.00 1.00 - 2.00 2.01 - 3.0 3.01 - 5 > 5

P-tersedia ppm P2O5 < 10 10-15 16-25 26-35 > 35

Lampiran 5. Lokasi Pengambilan Sampel Akar dan Tanah di Lapangan

a. Lokasi pengambilan contoh tanah produktif

b. Lokasi pengambilan contoh tanah non produktif

c. pengambilan contoh tanah


(59)

Lampiran 6. Perlakuan Pemerangkapan (Trapping)

a. Pemeliharaan kultur pemerangkapan pada lahan produktif.

b. Pemeliharaan kultur pemerangkapan pada lahan non produktif.

Lampiran 7. Pengamatan di Laboratorium

a. Penyaringan tanah dengan saringan bertingkat

b. Larutan supernatant (Hasil saringan tanah dan glukosa 60%)

c.Pengamatan spora FMA


(60)

(jagung) dengan KOH 10%

e. Perendaman Akar Tanaman Inang (jagung) dengan larutan trypan blue dan pembuatan Preparat Akar Jagung.


(1)

Pudjiharta, A., W. Enny., A. Yelin., dan H. K. Syafruddin, 2008. Kajian Teknik Rehabilitasi Lahan Alang-Alang. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

Pujiyanto. 2001. Pemanfatan Jasad Mikro, Jamur Mikoriza dan Bakteri dalam Sistem Pertanian Berkelanjutan di Indonesia: Tinjauan Dari Perspektif Falsafah Sains. Makalah Falsafah Sains Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Purnomosidhi P, van Noordwijk M and S Rahayu. 1998. Shade-based Imperata control in the establishment of agroforestry system (field survey report).

Rao, S.N. 2004. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman, I.A.R.I. Press. New Delhi.

Rosliani, 2006. Peranan mikoriza arbuskula dalam reboisasi lahan kritis di Indonesia. Makalah seminar penggunaan CMA dalam sistem pertanian organik dan rehabilitas lahan. Bandung. 21-23 April 2001.

Seriosta A, 2010. Pengaruh Cara Pembukaan Lahan Alang-Alang Terhadap Besarnya Unsur Hara Yang Terbawa Oleh Erosi Tanah Dan Produksi Tanaman Di Lahan Kritis Daerah Tangkapan Air (DTA) Singkarak. Universitas Andalas.

Setiadi, Y. 1992. Peranan Mikoriza Arbuskula Dalam Rehabilitasi Lahan Kritis di Indonesia. Disampaikan dalam Rangka Seminar Penggunaan Cendawan Mikoriza dalam Sistem Pertanian Organik dan Rehabilitasi Lahan Kritis. Bandung 23 April 2001.

Setiadi, Y. 1989. Pemanfaatan Mikroorganisme dalam Kehutanan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB. Bogor.

Setiadi, Y. 2001. Mikoriza dan Pertumbuhan Tanaman. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas IPB. IPB Press. Bogor.


(2)

Suhardi. 1989. Mikoriza Arbuskula (MVA). Pedoman Kuliah. PAU. Bioteknologi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Turk, M.A., T.A. Assaf, K.M. Hameed, and A.M. Al-Tawaha. 2006. Significance of Mycorrhizae., World Jour. of Agri. Sci

Wani, SP dan Lee KK. 1995. Exploiting Vesicular Arbuscular Mycorrhizae Through Crop and Soil Management Practices. Mycorrhiza News 6 Widiastuti, Y, N. Sukarno, L.K. Darusman, D.H. Goenadi, S. Smith, dan E.

Guhardja. 2005. Application Of Arbuscular Mycorrhizal Fungi Spore As Inoculant To Increase Growth And Nutrient Uptake Of Oil Palm Seedling. Menara Perkebunan.


(3)

LAMPIRAN

Lampiran1. Klasifikasi KolonisasiFMA pada Akar Menurut Setiadi (1992) Tingkat Kolonisasi (%) Kategori Keterangan

0-5 Kelas 1 Sangat rendah

6-25 Kelas 2 Rendah

26-50 Kelas 3 Sedang

51-75 Kelas 4 Tinggi

76-100 Kelas 5 Sangat tinggi

Lampiran 2. Kriteria Penilaian Sifat-Sifat Tanah Menurut BPP Medan (1982) dalam Mukhlis (2007)

Sifat tanah Satuan Sangat

rendah Rendah Sedang Tinggi

Sangat tinggi C (Karbon) % <1,00 1,00-2,00 2,01-3,00 3,01-5,0 >5,00 P. avl. Bray II ppm <8,00 8,00-15 16-25 26-25 >25

KTK (me/100 g liat) < 5 5 - 16 17 - 24 25 - 40 > 40

Lampiran 3. Kriteria pH Tanah Menurut BPP Medan (1982) dalam Mukhlis (2007)

Kriteria pH (H2O)

Sangat Masam <4,5

Masam 4,5-5,5

Agak Masam 5,6-6,5

Netral 6,6-7,5

Agak Alkalis 7,6-8,5


(4)

Lampiran 4. Kriteria Kapasitas Tukar kation dalam Muklis (2007)

Sifat tanah Satuan Sangat

rendah

Rendah Sedang Tinggi Sangat

tinggi

KTK (me/100 g liat) < 5 5 -16 17 - 24 25 - 40 > 40 KB (%) < 20 20 – 35 36 – 50 51 – 70 > 70 Bahan organik % C < 1.00 1.00 - 2.00 2.01 - 3.0 3.01 - 5 > 5

P-tersedia ppm P2O5 < 10 10-15 16-25 26-35 > 35

Lampiran 5. Lokasi Pengambilan Sampel Akar dan Tanah di Lapangan

a. Lokasi pengambilan contoh tanah produktif

b. Lokasi pengambilan contoh tanah non produktif

c. pengambilan contoh tanah


(5)

Lampiran 6. Perlakuan Pemerangkapan (Trapping)

a. Pemeliharaan kultur pemerangkapan pada lahan produktif.

b. Pemeliharaan kultur pemerangkapan pada lahan non produktif.

Lampiran 7. Pengamatan di Laboratorium

a. Penyaringan tanah dengan saringan bertingkat

b. Larutan supernatant (Hasil saringan tanah dan glukosa 60%)

c.Pengamatan spora FMA


(6)

(jagung) dengan KOH 10%

e. Perendaman Akar Tanaman Inang (jagung) dengan larutan trypan blue dan pembuatan Preparat Akar Jagung.