Tinjauan Pustaka. TINJAUAN HISTORIS PENGANGKATAN PRESIDEN SOEKARNO SEBAGAI WALIYY AL-AMR AL-DARURI BI AL-SYAUKAH OLEH NAHDATUL ULAMA TAHUN 1954

Dari konsep di atas dapat disimpulakan bahwa pengangkatan sama dengan proses ataupun menetapkan seseorang pada sebuah jabatan yaitu menetapkan Presiden Soekarno sebgai pemimpin yang wajib dipatuhi dan ditaati oleh umat Islam selama tidak menyalahi syariat Islam. Sedangkan secara teknis pemilihan pemimpin ada tiga cara, pertama pemilihan pemimpin berdasarkan wasiat, kedua pemilihan pemimpin berdasarkan pemilihan ahl al-hall wa al- ‘aqd, ketiga pemilihan pemimpin berdasarkan dukungan dari kekuatan rakyat. Sedangkan menurut Arsjad Lubis tahun 1987 yang dikutip oleh M. Ali Haidar mengatakan bahwa tata cara pengangkatan kepala negara ada tiga cara. Yaitu. Dengan cara bai’ah, yaitu pernyataan persetujuan atau kesetiaan dari ahl al-hall wa al- ‘aqd orang orang yang memiliki kewenangan untuk memutuskan yang memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat terhadap seseorang yang disepakati untuk diangkat menjadi imam. Istikhlaf, yaitu penetapan imam sebelumnya yang masih hidup terhadap seseorang untuk menggantikannya setelah dia meninggal. Istila’ pengangkatan imam dengan cara meliter dan paksaan. Imam yang diangkat dengan cara bai’ah atau istikhlaf disebut walyy al amr. Sementara yang memperoleh jabatan dengan cara yang ketiga disebut waliyy al-amr bi al syaukah. M. Ali Haidar,1994: 275-276. Proses ataupun cara pengangkatan ada tiga yaitu dengan bay’at, istikhlaf dan Istila’, dari ketiga itu terbagi menjadi dua, cara bay’at dan istikhlaf disebut walyy al amr sedangkan cara pengangkatan yang menggunakan cara Istila’ disebut waliyy al-amr bi al syaukah oleh karena itu dari konsep di atas dapat disimpulan bahwa pengangkatan Soekarno adalah proses pengangkatan imam atau sebagai kepala negara dalam bidang kenegaraan dan keagamaan oleh karena itu umat Islam wajib mentaati dan mematuhinya.

3. Konsep waliyy al-amr al-darûrî bi al syaukah.

Menurut KH. Wahab Hasbullah dalam pidatonya yang berjudul Walijjul Amri Bissjaukah di parlemen tanggal 29 Maret 1954 mengatakan: Dalam hukum Islam yang pedomannya adalah Al-Quran dan Hadist, maka di dalam agama Islam Ahlusunnah Waldjamaah yang telah berlaku selama 12 abad di dunia Islam, di situ ada tercantum empat hal tentang imam a’dhom dalam Islam yaitu bahwa imam a’dhom di seluruh dunia Islam itu hanya ada satu. Seluruh dunia Islam yaitu Indonesia, Pakistan, Mesir, Arabia, Irak, mufakat mengangkat hanya satu imam. Itulah baru imam yang sah, yaitu bukan imam yang darurat. Sedang orang yang dipilih atau diangkat itu harus orang yang memiliki atau mempunyai pengetahuan Islam yang semartabat mudjtahid mutlak. Orang jang demikian ini sudah tidak ada dari semenjak 700 tahun sampai sekarang. http:jombang.nu.or.idkh-wahab-chasbullah-nu-dan-khilafah-sebuah- koreksi diakses pada tanggal 1 November 2013 Kemudian dalam keterangan dalam bab yang kedua, KH Wahab juga menjelaskan: bilamana ummat dalam dunia Islam tidak mampu membentuk Imam A’dhom yang sedemikian kwalitasnya, maka wajib atas umat Islam di masing- masing negara mengangkat Imam yang darurat. Semua Imam y ang diangkat dalam keadaan darurat adalah Imam daruri……..Baik Imam A’dhom maupun daruri, seperti Bung Karno misalnya, bisa kita anggap sah sebagai pemegang kekuasaan negara, ialah Walijjul Amri .” http:jombang.nu.or.idkh-wahab-chasbullah-nu-dan-khilafah-sebuah- koreksi diakses pada tanggal 1 November 2013 Sedangkan menurut Arsjad Lubis tahun 1987 yang dikutip oleh M Ali Haidar konsep waliyy al-amr bi al syaukah .adalah Kepala negara yang berkuasa dipatuhi dan perintahnya ditaati, meskipun negaranya tidak berdasar Islam disebut zu syaukah. Tentang kategori daruri, adalah apabila tidak ada imam yang muncukupi syarat sedangkan umat Islam memerlukan imam, maka imam yang tidak memenuhi syarat itu diterima mengingat kebutuhan. M Ali Haidar,1994: 275-276 Sedangkan menurut H. Sulaiman Arrasuli meralat redaksi konfrensi terdahulu yang tertulis sebelumnya yaitu “waliyy al-amr al-darûrî bi zu syaukah diralat menjadi bi al syaukah bisysyaukah sebab kata zu syaukah dalam referensi fikih yang berarti kepala negara yang kafir, sedangkan kepala negara dan perdana menteri saat itu seorang muslim. Istilah fiqih yang dipakai untuk menunjuk seorang imam yang muslim pada negara yang belum memenuhi syarat sebagai negara menurut hukum Islam adalah waliyy al-amr al- darûrî bi al syaukah”. M. Ali Haidar, 1994: 269 Dari pidato KH. Wahab dan konsep di atas dapat ditarik pemahaman. Pertama, bahwa mengangkat kepemimpinan tunggal dalam dunia Islam baik yang disebut dengan imamah maupun khilafah sudah tidak mungkin lagi karena syarat seorang imam yang setingkat mujtahid mutlak menurut KH. Wahab sudah tidak ada lagi semenjak 700 tahun sampai sekarang. Kedua, dari pidato tersebut juga dapat ditarik kesimpulan bahwa presiden Indonesia berikut NKRI adalah sah secara hukum Islam. Presiden Soekarno sebagai kepala negara harus dipatuhi oleh umat Islam. Untuk menjadi seorang pemimpin ada beberapa syarat yang harus dipenuhi calon pemimpin menurut Ketum GP Ansor Nusron Wahid. Ada sejumlah persyaratan pemimpin yang diatur dalam agama Islam. Antara lain harus melindungi dan memuliakan rakyat. Jadi syarat pemimpin itu melindungi, memuliakan dan tidak menyakiti rakyat. Kemudian ahli manajemen dan tahu apa yang harus dilakukan. detikNews: Senin, 14012013 14:29 WIB Konsep di Al-Quran tentang bagaimana hakikat sifat yang wajib dimiliki oleh tiap pimpinan dijelaskan secara rinci, adapun ayat-ayat yang menyebutkan sifat yang harus dimiliki adalah: 1. Berpengalaman luas, kreatif, inisiatif, peka, lapang dada, selalu tanggap QS. Al-Mujadalah: 11. 2. Bertindak adil, jujur dan konsekuen QS. An-Nisa: 58. 3. Bertanggungjawab QS. Al-An’am: 164. 4. Selektif terhadap informasi QS. Al-Hujarat 16. 5. Memberikan peringatan QS. Al-Adz Zariat: 164. 6. Memberikan petunjuk dan pengarahan QS. As-Sajadaha: 24. 7. Musyawarah Ali Imron: 159. DR. AM. Saefudin. 1996: 159 Seorang pemimpin harus dapat melindungi warganya baik secara keamanan maupun perlindungan hukum terhadap warganya dan mensejahterakan dan memuliakan dan tidak bertindak semena-mena terhadap rakyatnya karena untuk menjadi pemimpin yang baik harus berlaku adil terhadap rakyatnya jangan menjadi pemimpin yang zholim. Pemimpin harus dapat membuat perencanaan dan mengungkapkan strategi. Ia harus harus pandai mendefinisikan realita dan mencari permasalahannya ia pun tau bagaimana mendelegasikan tugas dengan baik, tidak mengerjakan semuanya sendirian dan dapat bertindak tegas dan tau apa yang harus dilakukan.

4. Konsep Nahdatul Ulama.

Setelah Perang Dunia I berakhir pada 1918, mulai dipersoalkan masalah kekhalifahan oleh kaum nasionalis Turki yang dipimpin oleh Mustafa Kemal Pasha. Akhirnya, pada tahun1922, Majelis Rakyat Turki menghapus kekuasaan Sultan Abdul Majid dan menjadikan Turki sebagai republik. Dua tahun kemudian Majelis menghapuskan Lembaga Khilafat. Perkembangan politik di Turki tersebut ternyata cukup membuat bingung dunia Islam. Ada di antara para pemimpin Islam yang kemudian mulai berpikir untuk membentuk khilafat baru yaitu di Mesir dan di Arab Saudi. Untuk berpartisipasi dalam kongres tersebut, pada tanggal 4 Oktober 1924 sejumlah ormas Islam membentuk Komite Khilafat di Surabaya. Komite itu diketuai oleh Wondoamiseno Sarekat Islam, dengan K.H.A. Wahab Chasbullah kalangan pesantren sebagai wakil. Dalam Kongres Al-Islam III di Surabaya, Desember 1924, antara lain diputuskan untuk mengirim delegasi ke Kongres Khilafat di Kairo, yang beranggotakan Suryopranoto Sarekat Islam, A.R. Fachruddin Muhammadiyah, dan K.H. Wahab Chasbullah pesantren. Ternyata Kongres Khilafat di Kairo ditunda dan perhatian segera beralih ke Arab Saudi. Pada 21-27 Agustus 1925, digelar Kongres Al-Islam IV di Yogyakarta. Salah satu agendanya ialah membahas undangan Raja Ibnu Saud kepada umat Islam Indonesia untuk menghadiri Kongres Islam se-Dunia di Makkah. Undangan itu juga dibahas dalam Kongres Al-Islam V di Bandung, 5 Februari 1926. Dalam kedua kongres tersebut, kaum muslim modernis, seperti Muhammadiyah dan Sarekat Islam, sangat mendominasi. Bahkan sebelumnya, 8-10 Januari 1926, mereka juga sudah menggelar pertemuan tersendiri. Dalam pertemuan tersebut diputuskan mengirim H.O.S. Tjokroaminoto Sarekat Islam dan K.H. Mas Mansur Muhammadiyah untuk menghadiri Kongres Islam se-Dunia di Makkah. Keputusan itu kemudian diperkuat dalam Kongres Al-Islam V di Bandung. K.H.A. Wahab Chasbullah, yang mewakili komunitas kiai dan pesantren, seperti tersingkir dari arena kongres. Walaupun merasa terpojok kelompok tradisi masih mau menerima dengan syarat mereka menitipkan usul kepada delegasi yang berangkat meminta Raja Ibnu Saud tetap menghormati tradisi keagamaan yang berlaku di sana dan ajaran mahdzab yang dianut masarakat Islam setempat. Tetapi usul ini ditolak atas saran KH Hasyim Asyari, K.H.A. Wahab Chasbullah dan kawan kawannya keluar dari komite khilafat. Pada tanggal 31 Januari 1926 para ulama se-Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya yaitu kediaman K.H.A. Wahab Chasbullah dimana dalam pertemuan itu memutuskan, mengirim delegasi yang terdiri dari K.H. Wahab Hasbullah dan Syekh Ahmad Ghunaim Al-Mishri untuk menghadiri Kongres Islam se-Dunia di Mekkah sekaligus menemui Raja Ibnu Saud. Mereka membawa pesan para ulama agar Ibnu Saud menghormati ajaran mazhab empat dan memberikan kebebasan dalam menunaikan ibadah. Dalam jawaban tertulisnya, Ibnu Saud hanya menyatakan akan menjamin dan menghormati ajaran empat mazhab dan paham Ahlusunnah wal Jama’ah. Pertemuan para ulama di Surabaya itu juga menyepakati pembentukan sebuah jam’iyah sebagai wadah para ulama dalam memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam wal muslimin kejayaan Islam dan kaum muslimin. Jam’iyah itu diberi nama Nahdlatoel Oelama kebangkitan kaum ulama

B. Kerangka Pikir.

Agama Islam adalah agama yang kompleks mengatur segala segi aspek kehidupan manusia. Termasuk di dalamnya mengatur tata cara kehidupan spiritual dan kehidupan bermasyarakat. Hal inilah yang menjadi dasar bagi ulama Indonesia dalam menyikapi permasalahan waliyyul amri pemimpin berkenaan dengan permasalahan waliyyul amri yang wajib ditaati dan dipatuhi umat Islam, seorang waliyyul amri haruslah memenuhi syarat dan Soekarno pada saat itu menjabat sebagai presiden diragukan kepemimpinannya bagi umat islam oleh sebagian kelompok atau organisasi Islam. Namun disisi lain perlu adanya waliyyul amri yang mengatur tauliah wali hakim bagi mereka yang tidak memiliki wali nikah sebagaimana ketentuan hukum syara’ agama Islam ditetapkan, apabila seorang wanita tidak mempunyai wali nasab ayah kandung, saudara kandung, saudara seayah dan paman dari pihak ayah maka nikahnya dapat dilangsungkan oleh wali hakim. Dalam arti tidak mempunyai wali termasuk juga apabila wali nasabnya berada di tempat jauh pada jarak yang membolehkan shalat qasarjamak, atau sedang menjalani hukuman, atau menolak tidak mau menikahkan maka nikahnya wanita tersebut dapat dilangsungkan oleh wali hakim yang diangkat atau ditunjuk oleh raja atau sultan yang sedang berkuasa atau sedang memerintah. Untuk menjawab kebingungan ini maka diadakannya konferensi alim ulama di Cipanas tahun 1954 yang dimotori oleh Menteri Agama dan ulama-ulama NU yang mengangkat Presiden Soekarno sebagai waliyy al-amr al-daruri bi al- syaukah.

C. Paradigma Penelitian.

Keterangan : : Garis sebab : Garis Proses PEMBERONTAKAN DITII PERMASALAHAN WALI HAKIM Pengangkatan Presiden Soekarno sebagai waliyy al- amr al-darûrî bi al-syaukah Proses Pengangkatan Presiden Soekarno sebagai waliyy al-amr al-darûrî bi al- syaukah Tujuan Pengangkatan Presiden Soekarno sebagai waliyy al-amr al-darûrî bi al- syaukah Dampak Pengangkatan Presiden Soekarno sebagai waliyy al-amr al-darûrî bi Referensi Nugroho Notosusanto. 1984. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer Suatu Pengalaman. Jakarta: Inti Idayu Press. Halaman 28 Sidi Gazalba,. 1987, Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta: Bhatara Karya Aksara, Halaman 13 Nugroho Notosusanto.1984. Op. cit. Halaman 30 Hasan Alwi. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Halaman 52 M. Ali Haidar. 1994. Nahdatul Ulama Dan Islam Di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Halaman 276 Ainur Rofiq Al-Amin-terdapat pada alamat-http:jombang.nu.or.idkh-wahab- chasbullah-nu-dan-khilafah-sebuah-koreksi-diakses pada tanggal 1 November 2013 M. Ali Haidar. 1994. Op. cit Halaman 275-276 M. Ali Haidar. 1994. Ibid Halaman 269 Sutrisno Elvan Dany. Terdapat pada alamat http:news.detik.comread20130114142954214152210ketum-gp-ansor Detiknews- di akses Senin, 14012013 14:29 WIB. DR. A. M. Saefudin. 1996. Ijtihad Politik Cendikiawan Muslim. Jakarta: Gema Insani press. III METODE PENELITIAN A. Metode Yang Digunakan Metode merupakan cara berpikir dan berbuat yang dipersiapkan sebaik-baiknya untuk mengadakan penelitian dan untuk mencapai suatu tujuan berdasarkan kebenaran peneliti. Seperti yang dikemukakan oleh Husin Sayuti metode adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kerja atau jalan untuk memahami suatu obyek yang mengenai sasaran ilmu yang bersangkutan. Husin, 1989: 32. Suatu penelitian akan menghasilkan sesuatu yang baik apabila didukung oleh metode yang baik pula, dan setiap peneliti memiliki metode yang berbeda-beda. Metode yang digunakan biasanya berkaitan dengan hipotesis yang akan diuji dalam penelitian, seperti yang dikemukakan Winarno Surachmad bahwa metode adalah cara utama untuk mencapai suatu tujuan, misalnya menguji serangkaian hipotesis dengan cara-cara tertentu. Winarno, 1989; 121.

1. Metode Deskriptif Historis

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif historis, penelitian yang dilakukan hanya bersifat menggambarkan dari peristiwa sejarah yang terjadi lalu, dengan tanpa menganalisis data secara mendalam. Metode ini penulis gunakan karena sesuai dengan tujuan penelitian yang akan dicapai bahwa penelitian ini bertujuan