pertama 303 unit dari 348 unit dan pendidikan menengah atas 310 unit dari 344 unit. Sumber: Medan Dalam Angka 2012.
4.2 Gambaran Etnik Batak Toba di Kota Medan
Hubungan kekerabatan dalam masyarakat kota Medan masih sangat baik, dimana dari hasil pengamatan juga bahwa setiap etnis-etnis suku-suku, marga masih mempunyai berupa
persekutuan atau kumpulan yang dapat meningkatkan kekerabatan dan juga dapat meningkatkan kekerabatan keluarga tersebut. Perkumpulan marga juga dapat mendorong
meningkatkan kekerabatan dan juga dapat meningkatkan ekonomi keluarga. Seperti halnya dengan Dalihan Na Tolu bagi suku Batak Toba yang berfungsi member keseimbangan dalam
kekerabatan. Dalihan Na Tolu ini juga mempunya beberapa fungsi bagi masyarakat Batak Toba. Pertama, Dalihan Na Tolu berfungsi sebagai suatu pengimbang sosial dalam
Masyarakat batak Toba ialah Kepatuhan penerima isteri kepada pemberi isteri adalah kepatuhan religious, yang tentu saja mempunyai pengaruh untuk kehidupan mereka sehari-
hari. Pihak pertama isteri member hormat somba kepada pemberi isteri. Sebaliknya pihak pemberi isteri menyayangi elek kepada pihak penerima isteri. Tetapi status dan prestasi
pribadi tidak berfungsi dalam ritus. Kedudukan sebagai pegawai atau kekayaan tidak mengubah posisi seseorang dari pemberi isteri menjadi penerima isteri atau sebaliknya.
Pemberian dan pihak pemberi isteri kepada pihak penerimaan isteri dan sebaliknya bukan hanya materi ulos dan piso sendiri. Ulos ini bisa berarti sebidang tanah, yang disebut
ulos na so ra buruk, ulos yang tidak pernah using, Dan piso pada waktu sekarang ini tidak diberi lagi sebagai pisau material tetapi dalam bentuk barang berharga seperti emas, uang
atau beras. Karena itu tidak salah apabila Ossenbruggen mengatakan bahwa apa saja yang diberikan pemberi isteri kepada penerima isteri adalah ulos. Dan segala pemberian penerima
isteri kepada pemberi isteri adalah piso. Dengan demikian jelas juga unsur magis-ekonomis dari kekerabatan orang Batak toba. Moral ekonomi affinitas dalihan na tolu ialah kewajiban
Universitas Sumatera Utara
untuk saling menolong, take and give, antara hulahula dan boru, dan juga antara dongan sabutuha, teman semarga.
Selain fungsi keturunan dan ekonomi, dalihan na tolu mempunyai fungsi sosial politik. Pada bagian marga sudah dikatakan bahwa marga dan tanah adalah satu. Marga raja
adalah pemilik tanah sebab merekalah yang pertama membuka daerah itu. Hal ini tidak berarti bahwa hanya marga tersebutlah yang tinggal berdiam di sana. Ada kalanya bahwa
marga tersebut tinggal bersama dengan penerima isteri marga tersebut di dalam satu daerah. Dalam sistem pemerintahan Batak toba, marga raja bersama dengan pihak pemberi isteri dari
marga raja tersebut bersama-sama membentuk pemerintahan dalihan na tolu, yang disebut panungganei kaum tua-tua. Panungganei ini adalah badan legislatif dan yudikatif.
Panungganei membuat aturan dan memutuskan kebijaksanaan dalam hidup bermasyarakat di huta. Kemudian badan eksekutif ialah dari marga raja, yang dipimpin oleh raja huta kepala
dalam huta. Raja huta melaksanakan aturan bersama, yaitu mengatur ketertiban huta. Raja huta dibantu oleh raja adat, yaitu orang yang pandai dalam adat. Raja adat ini perlu untuk
memberi nasehat kepada marga raja sebab raja adatlah yang lebih tahu tentang penyesuaian adat dengan perkembangan jaman. Raja adat boleh dari marga raja atau dari marga lain.
Orang pendatang yang tidak termasuk anggota dalihan na tolu, yang disebut paisolat penumpang boleh memberi suara pada rapat paripurna rapot godang.
Religi Batak Toba juga merupakan ekspresi simbolis dari dalihan na tolu, organisasi sosial. Dalam setiap ritus, susunan agnatis dan affinitas diungkapkan dalam banyak
rangkaian symbol; dalam cara berbicara mandok hata, lamanya bicara, tempat duduk, luasnya ruang fisik yang diduduki, siapa yang member dan menerima ulos atau piso,
bagaimana urutan member dan menerima ulos atau piso tersebut. Di luar ritus, susunan genealogis menentukan juga berapa luas lading yang diwarisi seseorang; siapa yang menjadi
raja huta dan siapa yang menjalankan politik pemerintahan dalam huta, horja dan bius.
Universitas Sumatera Utara
Dalam pelaksanaaan ritus, orang yang mempunyai kuasa lebih besar mempunyai peranan lebih penting dan mengambil waktu dalam ritus lebih banyak. Dalam ritus orang Batak Toba
tersebut jelas diungkapkan teori pemahaman dari Durkheim dan Levi Strauss tentang religiositas organisasi sosialnya.
Aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat Etnis Batak Toba di kota Medan mulai aktif dari subuh. Kegiatan ekonomi yang banyak dilakukan oleh masyrakat Batak toba di kota
Medan adalah berjualan di pasar pagi. Banyak kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakan Batak Toba demi memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Salah satunya ialah
berjualan di pasar pagi. Kebanyak yang menekuni kegiatan ekonomi di pasar ini adalah para ibu-ibu atau disebut para inang-inang parengge-rengge.
Mereka mulai melakukan aktivitas keluar rumah pukul 2 pagi, kegiatan pertama yang mereka lakukan adalah berbelanja barang-barang yangnantinya akan mereka jual di pasar,
lalu setelah berbelanja barang-barang tersebut mereka menyiapkan lapak atau tempat mereka berjualan di pasar pagi tersebut. Para ibu-ibu ini berjualan sampai sekitar pukul 11 pagi. Ada
juga sebagian dari mereka berjualan sampai sore hari, Karena masih banyak barang dagangannya yang belum habis terjual.
Tidak jauh beda dengan bapak-bapak yang bekerja sebagai supir angkot. Di Medan, kebanyakan bapak-bapak yang berprofesi sebagai supir angkot adalah berasal dari etnis batak
toba. Para bapak-bapak ini juga melakukan aktifitasnya dari pagi hari sekitar pukul 4 pagi keluar dari rumah untuk mencari sewa. Aktifitas seperti ini setiap hari mereka lakukan demi
memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Dan di pagi hari sewa atau penumpang mereka adalah para inang-inang parengge-rengge yang berjualan di pasar pagi, sedangkan untuk
siang harinya mereka membawa penumpang anak-anak yang pergi ke sekolah dan orang- orang yang berangkat ke kantor. Selain itu, para bapak-bapak ini juga mencari sewa ke arah
terminal amplas, dan juga kea rah pajak-pajak. Tidak kalah juga dengan para bapak-bapak
Universitas Sumatera Utara
tukang becak, sebagian bapak-bapak ini hampir 24 jam standby menunggu sewa. Mereka siap sedia mengantarkan sewa kapan dan kemanapun.
Kehidupan sosial masyarakat kota Medan juga dapat dilihat dari banyaknya masyarakat yang tinggal di pinggiran rel atau di kolong jembatan atau juga di pinggiran-
pinggiran sungai. Banyak juga yang mengais rejeki dengan mencari barang-barang bekas, dalam mencari barang-barang bekas mereka tidak memandang umur, baik itu anak, ibu,
bapak mereka bersama-sama mencari barang-barang bekas. Merek sudah mulai sejak subuh ke tempat sampah, dan pada siang hari sebagian dari mereka mengamen di persimpangan
lampu merah. Dari hasil pengamatan penulis, di Kota Medan sangat banyak orang yang mengamen. Mereka terdiri dari ayah, ibu atau anak-anak mereka.
Yang khas untuk kota Medan ialah bahwa kota ini mempunyai kultural plural tanpa kultur dominan. Kelompok suku-suku besar yang tinggal di sini adalah orang Melayu, Batak
Karo, Batak Simalungun, Batak Toba, Batak Mandailing, Jawa, Minangkabau dan Cina. Pembatas sosial utama di Medan adalah etnis. Setiap orang berbicara dalam bahasa kelompok
etnisnya. Setiap kelompok etnis memperkuat identitas mereka dengan mempertahankan tradisi sendiri.
Orang Batak Toba, misalnya membuatnya dengan menarik diri sebanyak mungkin dari kegiatan bukan-Batak Toba, dan berpartisipasi penuh dalam kelompok sendiri dengan
saling tolong- menolong dengan baik diantara tetangga Batak toba maupun perkumpulan marga Batak Toba di seluruh kota. Mereka aktif dalam kegiatan Gereja etnis Batak Toba di
Medan, dan menghadiri sebanyak mungkin ritus adat Batak Toba dimana menurut aturan adat mereka berhak berpartisipasi karena hubungan kekeluargaan. Bentuk kehidupan masyarakat
yang demikian menciptakan situasi kota yang kompetitif. Relasi diantara anggota kelompok etnis yang berbeda cenderung menjadi tegang, tidak saling percaya, dan relasi berdasarkan
Universitas Sumatera Utara
stereotip etnis. Kompetisi seperti ini terjadi misalnya dalam bisnis kolega sekantor yang bersaing untuk promosi.
Menurut Bruner 1961,1973. Orang Batak Toba di medan tidak berasimilasi dengan kultur dan masyarakat kota tetapi tetap memelihara hubungan yang sangat erat dengan family
mereka di kampong. Dia memberi beberapa alasan untuk itu. Pertama, dilihat dari segi struktural, komunitas-komunitas Batak Toba di kampong
dan kota adalah bagian dari satu sistem sosial dan seremonial. Batak kampong dan urban dihubungkan melalui suatu network komunikasi yang kompleks dimana barang-barang dan
pengetahuan baru mengalir dari kota ke kampung, sementara dukungan moral adat mengalir dari arah sebaliknya. Akar dari Batak toba urban ditemukan dalam masyarakat kampung.
Ketika seorang Batak Urban melaksanakan suatu ritus peralihan rite de passage penting, entah dia kembali ke kampung atau anggota family datang ke Medan. Kelompok yang sama
dari family dekat akan menghadiri seremoni itu di mana pun hal itu dilaksanakan. Ritus adat di kota tidak boleh terlalu banyak berbeda dengan yang dilaksanakan di dataran tinggi.
Sebelum seremoni, orang dewasa laki-laki dari garis keturunan mengadakan pertemuan untuk memutuskan tentang rincian prosedur yang harus diikuti. Jika anggota keturunan urban
mengusulkan terlalu banyak pemotongan, family dari kampung akan berteriak dan mengancam dengan menghentakkan kaki hingga memenuhi apa yang ditentukan oleh adat.
Dalam konteks interaksi antara orang kampung dan urban, pertimbangan kekayaan dan posisi sosial kurang penting dibandingkan dengan kelahiran dan tingkat generasi. Pada seremoni
adat, Batak kota yang terpelajar akan memperlihatkan hormat yang besar kepada family dari kampung yang mempunyai posisi adat lebih tinggi dalam struktur kekeluargaan.
Kedua, jarak antara Medan dengan pedalaman Batak tidak terlalu jauh. Orang kampung yang merayakan ritus adat di kota pulang kembali ke kampung halamannya pada
hari yang sama. Lancarnya hubungan kampung-kota mengakibatkan semakin banyak orang
Universitas Sumatera Utara
kampung bepergian ke Medan. Orang Batak urban lebih banyak berhubungan dengan familinya di kampung daripada non-Batak di Medan.
Ketiga, komunitas urban makin besar karena arus migrant dari kampung semakin banyak. Mereka datang ke kota secara individu atau kelompok untuk tinggal tetap,
melanjutkan sekolah, atau hanya berkunjung. Mereka selalu disambut dan tinggal bersama family urban mereka, Adalah suatu standar prosedur untuk seorang anak laki-laki dari
kampung yang sedang mencari pekerjaan di Medan pergi langsung kepada keluarga atau teman semarga untuk mendapat bantuan. Banyak family Urban menolong gadis kampung,
seiring saudara atau saudarinya, menampung di rumah mereka dan bekerja untuk mebantu urusan rumah tangga. Famili urban, sebaliknya, membayar untuk pendidikannya di suatu
sekolah kota dan memberi uang untuk membeli pakaian dan kebutuhan-kebutuhan lain. Keempat, mereka yang sudah tinggal selama dua atau tiga generasi di Medan tetap
mempertahankan hak kepemilikannya akan sawah mereka dikampung. Mereka biasanya menyewakan sawah itu kepada salah seorang anggota family di kampung dan kembali untuk
mengambil hasil bagi-sewa pada waktu panen, umumnya seperlima dari hasil panen. Pada saat ini dan kesempatan lain, orang Batak kampung dan kota berdiskusi bersama tentang
harta atau urusan lain keluarga. Karena keanggotaan dari keturunan ditentukan oleh garis keturunan dan bukan tempat tinggal maka Batak urban tidak pernah kehilangan kesatuan
garis keturunan dan kampung mereka, dan mereka tidak melepaskan hak milik mereka Bruner 1961:516.
Kelima, perkawinan antara Batak toba kampung dengan kota sering terjadi, sebagai konsekuensi dari seringnya interaksi di antara mereka. Jarang terjadi bahwa laki-laki buta
huruf kampung menikah dengan wanita terpelajar dari kota, tetapi sekarang - dan bahkan sering terjadi di masa lalu – seorang laki-laki kota akan menikah dengan wanita kampung di
bawah tingkat pendidikannya. Seringnya perkawinan antara orang kota dengan kampung
Universitas Sumatera Utara
menciptakan ikatan perkawinan yang baru dan cenderung mengaburkan perbedaan diantara komunitas Batak urban dan kampung yang masing-masing mempunyai ciri-ciri sosial yang
berbeda.
4.3 Profil Informan 4.3.1 Informan Kunci Anak Remaja korban perceraian orang tua