Perceraian Dan Akibatnya Yang Dilakukan Pegawai Negeri Sipil Dilingkungan Kota Tebing Tinggi Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

(1)

PERCERAIAN DAN AKIBATNYA YANG DILAKUKAN

PEGAWAI NEGERI SIPIL DILINGKUNGAN

KOTA TEBING TINGGI MENURUT

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi TugasDalam Memenuhi Syarat MencapaiGelar Sarjana Hukum

Oleh

080200197 Muhammad Karami

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

PERCERAIAN DAN AKIBATNYA YANG DILAKUKAN

PEGAWAI NEGERI SIPIL DILINGKUNGAN

KOTA TEBING TINGGI MENURUT

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dalam Memenuhi Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Hukum

Oleh

080200197

MUHAMMAD KARAMI

DISETUJUI OLEH :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

NIP. 196603031985081004 Dr.H.Hasim Purba,SH,M.Hum

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr.Ramlan Yusuf Rangkuty, MA R

NIP. 195103171980031002 NIP. 195902051986012001

abiatul Syahriah,SH.,M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTRAK Muhammad karami*

Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA** Rabiatul Syahriah, SH, M. Hum***

Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah didepan hakim pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang. Oleh karena itu perlu dipahami jiwa dari peraturan mengenai perceraian itu serta sebab akibat-akibat yang mungkin timbul setelah suami-istri itu perkawinannya putus. Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian harus memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat setempat. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana paya-upaya yang dilakukan Pemerintah Kota Tebing Tinggi terhadap Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan peceraian? Bagaimana sanksi bagi Pegawai Negeri Sipil yang melakukan perceraian 1

Metode penelitian yang digunakan untuk penulisan skripsi ini adalah penelitian normatif dan penelitian empiris. Bahan-bahan untuk melakukan penulisan skripsi ini diperoleh dengan cara penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research)

dengan pendekatan yuridis. Data yang dikumpulkan meliputi bahan hukum primer yaitu UUD NKRI 1945 (Setelah Amandemen), KUHPerdata, UU No.1 tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam, PP No. 45 tahun 1990, PP No. 10 tahun 1983, PP No. 9 tahun 1975, Hukum Adat, Surat Edaran Nomor : 48/SE/1990, Surat Edaran, Nomor 08/SE/1983. Bahan sekunder yaitu buku-buku hasil karya dari pakar hukum dan pendapat dari para sarjana, bahan hukum tersier yaitu kamus dan alat penelitian berupa wawancara terhadap salah satu pegawai Badan Kepegawaian Daerah Pemerintah Kota Tebing Tinggi.

dilingkungan Pemerintah Kota Tebing Tinggi? Bagaimana putusan Pengadilan Negeri tentang perceraian Pegawai Negeri Sipil dilingkungan Pemerintah Kota Tebing Tinggi?

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pasal 3 PP No. 45 Tahun 1990, Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian, wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari Pejabat dengan mengajukan permintaan secara tertulis. Pegawai negeri sipil yang tidak menaatinya dapat berupa hukuman disiplin atas pelanggaran ketentuan-ketentuannya, berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaannya sendiri. Pemerintah Kota Tebing Tinggi sebagai instansi awal yang harus dihadapi oleh Pegawai Negeri Sipil yang ingin melakukan peceraian hendaknya lebih mengedepankan upaya preventif yaitu bukan hanya melakukan pencegahan melalui prosedur administratif melainkan harus lebih aktif untuk melakukan mediasi-mediasi terhadap Pegawai Negeri sipil yang mengalami permasalahan dalam hubungan pekawinan dan lebih aktif melakukan sosialisasi dikalangan internal Pegawai Negeri Sipil mengenai dampak negatif akibat dari perceraian baik tehadap anak maupun kelangsungan status Pegawai Negeri Sipil dirinya sendiri serta paradigma masyarakat terhadap Pemerintahan Kota Tebing Tinggi selaku pengayom masyarakat.

Kata Kunci : Perceraian, Pegawai Negeri Sipil

* Mahasiswa Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum USU

** Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum USU *** Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum USU


(4)

KATA PENGANTAR Assalammu’alaikum. Wr. Wb.

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyusun skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana (S1) dari Departemen Hukum Perdata BW Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis membuat penulisan hukum dengan judul “Perceraian dan Akibatnya Yang Dilakukan Pegawai Negeri Sipil Dilingkungan Kota Tebing Tinggi Menurut Perundang-undagan Yang Berlaku”.

Penulis sadar bahwa dalam penyusunan skripsi ini terdapat banyak kekurangan karena adanya keterbatasan waktu, tenaga, biaya dan pengetahuan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun bagi penulis.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan dan

petunjuk dari berbagai pihak, tentulah penyusunan skripsi ini tidak dapat terlaksana. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya

kepada :

1. Bapak Dekan Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum.

2. Bapak Pembantu Dekan I Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum. 3. Bapak Pembantu Dekan II Syaifuddin Hasibuan, SH., MH DFM. 4. Bapak Pembantu Dekan III Muhammad Husni, SH., MH.

5. Bapak Dr. H. Hasim Purba, SH., M.Hum sebagai Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA selaku sebagai Dosen Pembimbing I penulis yang telah sabar membimbing saya dalam penyusunan skripsi ini.


(5)

7. Ibu Rabiatul Syahriah, SH, M.Hum selaku sebagai Dosen Pembimbing II penulis yang telah sabar membimbing saya dalam penyusunan skripsi ini.

8. Seluruh keluargaku terutama Ayahku Ir. Hermansyah M.Si, Ibuku Drg. Dina Kamarina, M.Kes dan Adikku Amalia Sabrina, Safira Hani Pati yang selalu memberikan do’a dan restu serta mendukung dalam penyelesaian skripsi ini.

9. Untuk Tri Citra dan abgda Syahrahmad yang telah memberikan aku do’a, semangat dan kepercayaan serta selalu memotivasi ku semasa di perkuliahan.

10.Seluruh staf dan karyawan tata usaha Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11.Seluruh Pegawai Badan Kepegawaian Daerah Tebing Tinggi yang telah banyak membantu penulis dalam memperoleh data yang penulis butuhkan guna menyelesaikan skripsi ini. 12.Untuk seluruh kawan-kawan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) komisariat FH USU. 13.Untuk seluruh stambuk 2008, Panca, Ujek, Barita, Ryan, Nanda, Iman, Obet, Anggi batak,

Saleh, Agus, Febry, Dirga, Hendi, Rama, Rendi, dan semua stambuk 2008 yang tak mungkin disebutkan satu persatu serta kawan-kawan diskusi di kantin bunda Aris, Dedek, Incus, Ilham, Mulkan, Randa, Ivo, Iqbal, Dirgan dan seluruh jajaran mahasiswa yang tak mungkin disebutkan satu persatu.

Semoga penulisan ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya. Wassalammu’alaikum. Wr. Wb.

Medan, November 2012 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAKSI. ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 7

C. Manfaat Penulisan ... 8

D. Tujuan Penulisan ... 8

E. Metode Penelitian ... 9

F. Keaslian Penulisan ... 12

G. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN ... 15

A. Pengertian Umum Tentang Perkawinan ... 15

B. Putusnya Perkawinan Dan Alasan-alasannya ... 26

C. Akibat Hukum Putusnya Perkawinan ... 49

BAB III. PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL ... 59

A. Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil ... 58

B. Syarat-syarat Perceraian Pegawai Negeri Sipil ... 61


(7)

BAB IV. AKIBAT PERCERAIAN YANG DILAKUKAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DILINGKUNGAN PEMERINTAH

KOTA TEBING TINGGI ... 71

A. Upaya-Upaya Yang Dilakukan Pemerintah Kota Tebing Tinggi Terhadap Pegawai Negeri Sipil Yang Akan Melakukan Perceraian.... ... 71

B. Sanksi Bagi Pegawai Negeri Sipil Yang Melakukan Perceraian di Lingkungan Pemerintah Kota Tebing Tinggi ... ... 78

C. Putusan Pengadilan Agama Tentang Perceraian Pegawai Negeri Sipil Yang Melakukan Perceraian Dilingkungan Pemerintah Kota Tebing Tinggi 81 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 93

A. Kesimpulan ... 93

B. Saran ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 95 LAMPIRAN


(8)

ABSTRAK Muhammad karami*

Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA** Rabiatul Syahriah, SH, M. Hum***

Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah didepan hakim pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang. Oleh karena itu perlu dipahami jiwa dari peraturan mengenai perceraian itu serta sebab akibat-akibat yang mungkin timbul setelah suami-istri itu perkawinannya putus. Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian harus memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat setempat. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana paya-upaya yang dilakukan Pemerintah Kota Tebing Tinggi terhadap Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan peceraian? Bagaimana sanksi bagi Pegawai Negeri Sipil yang melakukan perceraian 1

Metode penelitian yang digunakan untuk penulisan skripsi ini adalah penelitian normatif dan penelitian empiris. Bahan-bahan untuk melakukan penulisan skripsi ini diperoleh dengan cara penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research)

dengan pendekatan yuridis. Data yang dikumpulkan meliputi bahan hukum primer yaitu UUD NKRI 1945 (Setelah Amandemen), KUHPerdata, UU No.1 tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam, PP No. 45 tahun 1990, PP No. 10 tahun 1983, PP No. 9 tahun 1975, Hukum Adat, Surat Edaran Nomor : 48/SE/1990, Surat Edaran, Nomor 08/SE/1983. Bahan sekunder yaitu buku-buku hasil karya dari pakar hukum dan pendapat dari para sarjana, bahan hukum tersier yaitu kamus dan alat penelitian berupa wawancara terhadap salah satu pegawai Badan Kepegawaian Daerah Pemerintah Kota Tebing Tinggi.

dilingkungan Pemerintah Kota Tebing Tinggi? Bagaimana putusan Pengadilan Negeri tentang perceraian Pegawai Negeri Sipil dilingkungan Pemerintah Kota Tebing Tinggi?

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pasal 3 PP No. 45 Tahun 1990, Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian, wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari Pejabat dengan mengajukan permintaan secara tertulis. Pegawai negeri sipil yang tidak menaatinya dapat berupa hukuman disiplin atas pelanggaran ketentuan-ketentuannya, berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaannya sendiri. Pemerintah Kota Tebing Tinggi sebagai instansi awal yang harus dihadapi oleh Pegawai Negeri Sipil yang ingin melakukan peceraian hendaknya lebih mengedepankan upaya preventif yaitu bukan hanya melakukan pencegahan melalui prosedur administratif melainkan harus lebih aktif untuk melakukan mediasi-mediasi terhadap Pegawai Negeri sipil yang mengalami permasalahan dalam hubungan pekawinan dan lebih aktif melakukan sosialisasi dikalangan internal Pegawai Negeri Sipil mengenai dampak negatif akibat dari perceraian baik tehadap anak maupun kelangsungan status Pegawai Negeri Sipil dirinya sendiri serta paradigma masyarakat terhadap Pemerintahan Kota Tebing Tinggi selaku pengayom masyarakat.

Kata Kunci : Perceraian, Pegawai Negeri Sipil

* Mahasiswa Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum USU

** Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum USU *** Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum USU


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara hukum yang menjamin setiap warga negaranya untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah sesuai dengan Pasal 28 b Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.2Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu hingga kini, karena perkawinan merupakan masalah yang aktual untuk dibicarakan di dalam maupun di luar percaturan hukum. Akibat perkawinan akan timbul hubungan hukum antara suami-istri yang kemudian dengan lahirnya anak-anak, menimbulkan hubungan hukum antara orang tua dan anak-anak mereka. Dari perkawinan mereka memiliki harta kekayaan dan timbullah hubungan hukum dengan antara mereka dengan harta kekayaan tersebut.3

Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada suatu masyarakat atau pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan dimana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. Ia dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, dan keagamaan yang dianut masyarakat bersangkutan. Seperti halnya aturan perkawinan bangsa Indonesia bukan saja dipengaruhi adat budaya masyarakat setempat, tetapi juga dipengaruhi ajaran agama Hindu, Budha, Islam, dan Kristen, bahkan dipengaruhi budaya perkawinan barat, hal mana berakibat lain padang lain belalang lain lubuk lain ikannya, lain masyarakat lain aturannya.4

2

Pasal 28 (b) Undang-Undang Dasar 1945 (setelah amandemen)

3 Martiman prodjohmidijojo,

Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, 2007, hal. 1.

4


(10)

Salah satu produk badan legislatif di negara kita yang menyentuh secara langsung perikehidupan masyarakat bangsa kita adalah Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 (LNRI 1974 No. 1 TAMBAHAN LNRI No. 3019). Undang-undang Perkawinan nasional yang diundangkan tanggal 2 Januari 1974 ini berlaku secara efektif tanggal 1 Oktober 1975 yakni sejak berlakunya Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 sevagai peraturan pelaksananya. Untuk kelancaran pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan UU Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya tersebut, dikeluarkan pula petunjuk pelaksanaannya, antara lain termuat dalam Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975, Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun 1975, Instruksi Direktur Jendaral Bimbingan Masyarakat Islam No. D/INS/117/1975, dan petunjuk-petunjuk Mahkamah Agung Mengenai Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tanggal 20 Agustus 1975 No. MA/Pemb/0808/75. Tujuh setengah tahun kemudian setelah Undang-undang Perkawinan berlaku secara efektif, keluarlah Pila Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (TAMBAHAN LNRI No. 3250) yang mulai berlaku sejak diundangkannya tanggal 21 April 1983. Ketentuan-ketentuan teknis Peraturan Pemerintah ini termuat di dalam Surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara No. 48/SE/1990.5

Kehadiran Undang-undang yang mengatur segala masalah perkawinan yang selaras dengan perkembangan dan dinamika masyarakat ini, sebenarnya sudah lama sekali didambakan oleh masyarakat bangsa kita, bahkan sejak tahun lima puluhan, akan tetapi karena beberapa hambatan maka baru pada awal tahun 1974 berhasil diciptakan Undang-undang

5

Riduan Syahrani, Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, Media Sarana, Banjarmasin, 1986, hal. 1.


(11)

Perkawinan nasional yang bersifat unifikasi yang berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia6

Sementara itu, perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.7

Dalam rumusan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 itu tercantum juga tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan, akan tetapi untuk seumur hidup atau selama-lamanya dan tidak boleh diputuskan begitu saja, karenanya tidak diperkenankan perkawinan yang hanya dilangsungkan untuk sementara waktu saja seperti kawin kontrak, pemutusan perkawinan dengan perceraian hanya diperbolehkan dalam keadaan terpaksa.8

Sebelum perkawinan dilangsungkan seringkali didahului dengan peristiwa pertunangan. Tetapi peristiwa pertunangan ini bukan lembaga yang wajib diikuti, terserah kepada kedua belah pihak. Apabila telah ada kesepakatan antara kedua belah pihak untuk melangsungkan perkawinan, dan kedua belah pihak menghendaki adanya pertunangan. Lembaga pertunangan tidak diatur dengan perundang-undangan, tetapi tumbuh sebagai perkembangan hukum. Kesepakatan ini tentunya didahului dengan lamaran, yaitu permintaan atau tawaran yang dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan.9

6 Ibid.

7 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 8

Riduan Syahrani, Op.cit, hal. 13.

9


(12)

Setelah mencapai kesepakatan antara mempelai pria dan mempelai wanita barulah perkawinan dapat dilangsungkan. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melangsungkan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut ini, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 s/d 12:10

1. Adanya persetujuan kedua calon mempelai;

2. Adanya izin kedua orangtua/wali bagi calon mempelai yang berusia dibawah 21 tahun; 3. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan mempelai wanita sudah mencapai

16 tahun;

4. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan darah yang tidak boleh kawin;

5. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain;

6. Bagi suami isttri yang telah bercerai lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan tidak melarang mereka kawin untuk ketiga kalinya;

7. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda.

Di Indonesia sendiri, masih berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan juga bahwa syarat untuk sahnya suatu perkawinan harus berdasarkan hukum agama dan harus dilakukan pndaftaran perkawinan di lembaga pencatatan perkawinan setempat. Sehingga perkawinan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia di Luar Negeri dapat diakui sebagai perkawinan yang sah apabila telah didaftarkan di lembaga pencatatan setempat dan mendapat surat bukti perkawinan.11

Selain adanya syarat pencatatan di negara setempat, hukum perkawinan kita juga mensyaratkan kepada setiap warga negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan di Luar Negeri untuk segera mendaftarkan perkawinannya tersebut di lembaga pemerintah sekembalinya ke Indonesia.12

Jika perkawinan yang tidak harmonis keadaannya, tidak baik dibiarkan berlarut-larut, sehingga demi kepentingan kedua belah pihak suami-istri, perkawinan yang demikian diputus

10 Riduan Syahrani, Loc.cit

11

Hukum Online, Tanya Jawab Hukum Perkawinan dan Perceraian, Lentera Hati, Ciputat, 2010, hal. 7.

12 Ibid.


(13)

cerai. Tentu berakibat pada anak-anak putra-putrinya, yang tidak pernah berbuat salah menanggung akibat perbuatan orang tuanya.13 Salah satu prinsip dalam Hukum Perkawinan Nasional yang seirama dengan ajaran agama ialah mempersulit terjadinya perceraian (cerai hidup), karena perceraian berarti gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal, dan sejahtera, akibat perbuatan manusia. Lain halnya terjadi putus perkawinan karena kematian yang merupakan takdir dari Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat dielakkan oleh manusia. Nampaknya baik dalam KUH Perdata maupun Undang-undang No. 1 Tahun 1974 putusnya perkawinan karena kematian hampir tidak diatur sama sekali.14

Adapun Perceraian itu sendiri merupakan suatu proses dimana sebelumnya pasangan tersebut sudah (pasti) berusaha untuk mempertahankannya namun mungkin jalan terbaiknya adalah suatu perceraian. Perlu diketahui bahwa proses perceraian di Indonesia hanya dapat dilakukan di Pengadilan Agama (khusus untuk beragama Islam) atau di Pengadilan Negeri (khusus untuk yang non-Islam). Pengadilan Agama untuk yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri untuk yang beragama non-Muslim. Indonesia merupakan negara yang masih menjunjung tinggi adat ketimuran, dimana pernikahan dianggap sebagai sesuatu yang sakral. Namun demikian, angka perceraian kerap melonjak tinggi di beberapa Pengadilan Agama di Indonesia.15

Mengapa perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus antara suami dan istri yang tidak bisa diharapkan akan hidup rukun kembali dalam rumah tangga ini dijadikan sebagai salah satu alasan perceraian oleh pembuat Undang-undang? Kiranya hal ini mudah saja dipahami, sebab perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus antara suami dan istri

13

Martiman Prodjohamidjojo, loc.cit 14 Hilman Hadikusuma,

Op.cit, hal. 149.

15

Siti Nuraini, Perkawinan dan Perceraian, Internet,


(14)

membuat rumah tangga laksana neraka dunia, dimana suami istri di dalamnya tersiksa, jauh dari rasa ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan yang justru menjadi tujuan perkawinan.16

Apa saja yang melatar-belakangi terjadi perselisihan dan pertengkaran antara suami dan istri ini, tentu macam-macam sebabnya, bisa karena tekanan ekonomi rumah tangga, bisa karena cara hidup dan pandangan hidup yang berbeda, bisa karena kehidupan beragama yang berbeda dan sebagainya. Sampai sejauh mana perselisihan dan pertengkaran antara suami dan istri itu mengakibatkan suami istri yang bersangkutan tidak bisa diharapkan lagi hidup rukun dalam rumah tangga adalah persoalan yang relatif sifatnya. Hakimlah yang menilai dan menetapkannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan bukti-bukti yang ada.17

Sedangkan Pegawai Negeri Sipil adalah unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat yang harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan, ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk dapat melaksanakan kewajiban yang demikian itu, maka kehidupan Pegawai Negeri Sipil harus ditunjang dengan kehidupan berkeluarga yang serasi, sehingga setiap Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugasnya tidak akan banyak terganggu dengan masalah-masalah dalam keluarganya.18 Atas dasar pokok fikiran tersebut di atas, maka telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.19

16

Wila Chandrawila, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 65.

Jadi, Pegawai Negeri Sipil yang ingin melangsungkan perceraian harus mengikuti ketentuan-ketentuan sesuai perundang-undangan yang berlaku, agar Pegawai Negeri Sipil terhindar dari sanksi-sanksi berat akibat dari melanggar peraturan-peraturan tersebut.

17 Riduan Syahrani

, Op.cit, hal. 56.

18

Pasal 1 huruf (e) Surat Edaran, Nomor 08/SE/1983

19


(15)

Berdasarkan uraian di atas dan berbagai masalah hukum yang timbul yang berkaitan dengan perceraian yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil, telah mendorong untuk meneliti dan menelaah masalah tersebut yang selanjutnya akan dituangkan dalam judul skripsi mengenai “PERCERAIAN DAN AKIBATNYA YANG DILAKUKAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN KOTA TEBING TINGGI MENURUT PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU” .

Judul ini sangat menarik, dikarenakan agar para Pegawai Negeri Sipil tidak semena-mena melakukan perceraian tanpa mengindahkan syarat-syarat yang ada, dan alangkah baiknya Pegawai Negeri Sipil untuk mengikuti syarat-syarat yang ada agar terhindar dari sanksi-sanksi pelanggaran disiplin berat.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Upaya-upaya apa yang dilakukan Pemerintah Kota Tebing Tinggi terhadap Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian?

2. Bagaimana sanksi bagi Pegawai Negeri Sipil yang melakukan perceraian di lingkungan Pemerintah Kota Tebing Tinggi?

3. Bagaimana putusan Pengadilan Agama tentang Pegawai Negeri Sipil yang melakukan peceraian dilingkungan Pemerintah Kota Tebing Tinggi?


(16)

C. Manfaat Penulisan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun praktis bagi pembaca.

Adapun kedua manfaat tersebut adalah sebagai berikut :

1. Secara teoretis

Manfaat penelitian yang bersifat teoretis adalah sebagai bahan masukan yang dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut bagi para pembaca yang ingin memperdalam kajian dan pengetahuan tentang perceraian, khususnya perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. 2. Secara praktis

Manfaat penelitian bersifat praktis diharapkan agar tulisan ini dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dalam mempelajari hukum perkawinan dan perceraian, khususnya pada perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, praktisi hukum perkawinan dan perceraian, dan pihak-pihak terkait lainnya

D. Tujuan Penulisan

Adapun diantaranya yang menjadi tujuan penulis melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui upaya-upaya apa saja yang dilakukan Pemerintah Kota Tebing Tinggi terhadap Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian

2. Untuk mengetahui apa saja sanksi yang diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil yang melakukan perceraian di Pemerintah Kota Tebing Tinggi


(17)

3. Untuk mengetahui bagaimana putusan Pengadilan Negeri tentang perceraian Pegawai Negeri Sipil yang melakukan peceraian dilingkungan Pemerintah Kota Tebing Tinggi.

E. Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.20 Penelitian merupakan suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.21 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisisnya.22 Penelitian pada dasarnya merupakan suatu upaya pencarian dan bukannya sekedar mengamati sesuatu objek yang mudah terpegang oleh tangan.23 Pada dasarnya sesuatu yang dicari tidak lain adalah pengetahuan atau lebih tepatnya pengetahuan yang benar, dimana pengetahuan yang benar ini nantinya dapat dipakai untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu. Dengan demikian, metode penelitian adalah suatu upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan metode tertentu.24

Penulisan skripsi ini berusaha untuk mengumpulkan informasi dan data-data yang diperlukan untuk menjadi bahan dalam penulisan skripsi. Bahan-bahan tersebut haruslah

20

Mukti Fajar Nurdewata, Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal. 94.

21

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 1.

22

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 38. 23

Ibid., hal. 27. 24


(18)

mempunyai hubungan satu sama lainnya yang berhubungan dengan judul skripsi ini. Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode penelitian sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian dan Sifat Penelitian a. Jenis Penelitian/Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif dan penelitian empiris. Penelitian normatif merupakan penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis dan bahan hukum lain.25

Penelitian ini meliputi asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan, dan beberapa buku mengenai perkawinan dan perceraian, khususnya pada perceraian Pegawai Negeri Sipil.

Penelitian empiris merupakan penelitian berupa studi lapangan dengan melakukan wawancara kepada Pejabat setempat dan Pegawai Negeri Sipil yang melakukan perceraian di lingkungan Pemerintah Kota Tebing Tinggi dengan metode pendekatan yuridis.

Tujuan penelitian normatif dan penelitian empiris ini adalah untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan Pemerintah Kota Tebing Tinggi terhadap Pegawai Negeri Sipil yang akan bercerai. Untuk mengetahui sanksi yang diberikan Pemerintah Kota Tebing Tinggi terhadap Pegawai Negeri Sipil yang akan bercerai, dan untuk mengetahui apa akibat hukum dari perceraian tersebut.

Dengan demikian syarat-syarat yang harus dilakukan Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian dapat berjalan sebagaimana mestinya dan juga agar Pegawai Negeri Sipil terhindar dari sanksi pelanggaran disiplin berat.

25


(19)

2. Data dan Sumber Data

Pada umumnya data dibagi dalam dua jenis yaitu data primer dan data sekunder. Data primer (primary data) adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat.26

Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Kompilasi Hukum Islam, Hukum Adat, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, dan Surat Edaran Nomor : 48/SE/1990 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya,situs internet, pendapat dari kalangan pakar hukum yang relevan dengan objek telaahan penelitian.27

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, majalah dan jurnal ilmiah. surat kabar dan majalah mingguan juga menjadi tambahan bahan bagi penulisan skripsi ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini.

3. Alat Pengumpulan Data

Dalam penulisan ini, penulis mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk menjawab semua masalah yang menjadi objek penelitian dengan cara :

26

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit., hal. 12. 27


(20)

a. Penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan dilakukan dengan mempelajari peraturan perundang-undangan, buku, situs internet yang berkaitan dengan judul skripsi ini yang bersifat teoretis ilmiah yang dapat dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian.28

b. Penelitian lapangan (field research) yakni dengan mengadakan wawancara kepada Pejabat setempat dan Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian di lingkungan Pemerintah Kota Tebing Tinggi.

4. Analisis Data

Analisis data merupakan proses mengatur urutan data, mengorganisasikan ke dalam bentuk suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar.29 Analisis data dilakukan secara kualitatif, rangkaian kegiatan analisis data dimulai setelah terkumpulnya data sekunder, kemudian disusun menjadi sebuah pola dan dikelompokkan secara sistematis. Analisis data lalu dilanjutkan dengan membandingkan data sekunder terhadap data primer untuk mendapatkan penyelesaian permasalahan yang diangkat.

F. Keaslian Penulisan

Penelitian ini dilakukan atas gagasan dari peneliti sendiri juga melalui masukkan yang berasal dari berbagai pihak guna membantu penelitian dimaksud. Sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penelitian tentang, ”PERCERAIAN DAN AKIBATNYA YANG DILAKUKAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN KOTA TEBING TINGGI MENURUT PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU belum pernah dilakukan. Oleh karenanya penelitian ini

28

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia (UI-Perss, 2007, hal. 21.

29


(21)

sangat jauh dari unsur plagiat. Penelitian ini merupakan karya ilmiah yang asli, dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa tahapan yang disebut dengan bab, dan setiap bab dibagi dalam beberapa sub bab yang masing-masing bab diuraikan masalahnya secara tersendiri, namun masih dalam konteks yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Secara sistematis penulis menempatkan materi pembahasan keseluruhan ke dalam 5 (lima) bab terperinci.

Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan, dalam bab ini diuraikan apa yang menjadi latar belakang permasalahan, penulisan, manfaat penelitian, metode penelitian, keaslian penelitiaan serta sistematika penelitian.

Bab II Tinjauan Umum Tentang Perceraian, dalam bab ini menjelaskan tentang pengertian perceraian, syarat sah nya perceraian, pembagian harta dalam perceraian.

Bab III Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, dalam bab ini diuraikan mengenai putusnya perkawinan karena perceraian, putusnya perkawinan karena kematian, dan akibat hukum yang timbul dari putusnya perkawinan tersebut.

Bab IV Akibat Perceraian Yang Dilakukan Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Kota Tebing Tinggi, dalam bab ini merupakan uraian hasil penelitian yang mencakup upaya-upaya yang dilakukan Pemerintah Kota terhadap PNS yang bercerai, sanksi bagi PNS yang bercerai, dan akibat hukum dari perceraian yang dilakukan PNS.


(22)

Bab V Penutup, bab ini adalah bagian yang memuat kesimpulan dan saran, pada bagian ini akan diuraikan suatu kesimpulan beserta saran yang berkaitan dengan penelitian ini.


(23)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN

A. Pengertian Perceraian

Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah di depan hakim pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang. Oleh karena itu perlu dipahami jiwa dari peraturan mengenai perceraian itu serta sebab akibat-akibat yang mungkin timbul setelah suami-istri itu perkawinannya putus. Kemudian tidak kalah urgensinya adalah alasan-alasan yang mendasari putusnya perkawinan itu serta sebab-sebab apa terjadi perceraian.30

Perceraian merupakan bagian dari perkawinan. Karena itu perceraian senantiasa diatur oleh hukum perkawinan. Hukum perkawinan di Indonesia tidak hanya satu macam, tetapi berlaku berbagai peraturan hukum perkawinan untuk pelbagai golongan warga negara dan untuk pelbagai daerah. Hal ini disebabkan oleh ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) yang telah membagi golongan penduduk Indonesia menjadi tiga golongan, yaitu : golongan Eropa, golongan Timur Asing, dan golongan Indonesia Asli (Bumiputera).31

Perceraian hanya dapat terjadi apabila dilakukan di depan pengadilan, baik itu suami karena suami yang telah menjatuhkan cerai (thalaq), ataupun karena istri yang menggugat cerai atau memohonkan hak talak sebab sighat taklik talak. Meskipun dalam ajaran agama Islam, perceraian telah dianggap sah apabila diucapkan seketika itu oleh si suami, namun harus tetap dilakukan di depan pengadilan. Tujuannya untuk melindungi segala hak dan kewajiban yang timbul sebagai dari akibat hukum atsa perceraian tersebut.32

30 Martiman Prodjohamidjojo,

Op.cit, hal. 41.

31

Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hal. 15

32


(24)

Di mata hukum, perceraian tentu tidak bisa terjadi begitu saja. Artinya, harus ada alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum untuk melakukan sebuah perceraian. Itu sangat mendasar, terutama bagi pengadilan yang notabene berwenang memutuskan, apakah sebuah perceraian layak atau tidak untuk dilaksanakan. Termasuk segala keputusan yang menyangkut konsekuensi terjadinya perceraian, juga sangat ditentukan oleh alasan melakukan perceraian. Misalnya soal hak asuh anak, serta pembagian harta gono-gini.33

Perceraian adalah hal yang tidak diperbolehkan baik dalam pandangan Agama maupun dalam lingkup Hukum Positif. Agama menilai bahwa perceraian adalah hal terburuk yang terjadi dalam hubungan rumah tangga. Namun demikian, Agama tetap memberikan keleluasaan kepada setiap pemeluk Agama untuk menentukan jalan islah atau terbaik bagi siapa saja yang memiliki permasalahan dalam rumah tangga, sampai pada akhirnya terjadi perceraian. Hukum Positif menilai bahwa perceraian adalah perkara yang sah apabila memenuhi unsur-unsur cerai, diantaranya karna terjadinya perselisihan yang menimbulkan percek-cokan yang sulit untuk dihentikan, atau karna tidak berdayanya seorang suami untuk melaksanakan tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga. 34

Secara garis besar, prosedur gugatan perceraian dibagi kedalam 2 (dua) jenis, tergantung pihak mana yang mengajukan gugatannya. Pertama, gugatan perceraian yang diajukan oleh pihak istri (disebut gugat cerai). Kemudian dalam mengajukan gugatan percearaian, yang juga harus diperhatikan adalah pengadilan mana yang berwenang untuk menerima gugatan tersebut, untuk selanjutnya memeriksa perkara perceraian yang diajukan, berdasarkan kompetensi absolutnya (peradilan umum atau peradilan agama).35

33

Ibid, hal. 21.

34 Ibid.

35


(25)

Umumnya proses pengajuan gugatan perceraian ditempuh melalui sejumlah tahapan, yaitu sebagai berikut :

1. Mengajukan permohonan atau gugatan perceraian.

2. Pengadilan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari setelah permohonan tersebut diajukan, harus memanggil pasangan suami-istri terkait untuk dimintai penjelasan atas alasan gugatan perceraian yang diajukan. Namun sebelumnya, pengadilan harus mengupayakan jalan perdamaian.

3. Proses persidangan mulai dari pengajuan gugatan sampai dengan putusan. 4. Tahap eksekusi.

Sejumlah dampak yang timbul akibat eksekusi perceraian adalah sebagai berikut: a. Terhadap suami maupun istri, hubungan ikatan perkawinan menjadi putus. b. Terhadap anak, adanya penjatuhan hak asuh anak.

c. Terhadap harta benda, harta bersama dibagi rata, terkecuali harta bawaan dan perolehan, selama tidak diatur lain dalam perjanjian, dan di luar penentuan kewajiban nafkah pria untuk mantan istri dan anak.36

Adapun sebelum agama Islam lahir, perceraian dalam kalangan orang Arab Jahiliyah mudah dan sering kali terjadi. Para suami menceraikan istrinya dengan melakukan

thalaq 37dan rujuk di dalam ‘iddah38

36

Martiman, Op.cit, hal. 71.

yang tidak ada batasnya. Begitu suami marah, begitu dengan mudah ia mel;akukan thalaq. Tetapi begitu marahnya hilang begitu ia melakukan rujuk dan hidup sebagai suami istri lagi. Perbuatan ini dilakukannya tanpa kenal batas, bahkan jika ia ingin menyakiti istrinya,setiap hampir habis ‘iddahnya suami melakukan rujuk kembali,

37 Thalaq

: Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri

38

‘iddah : Saat menunggu bagi perempuan (istri) untuk mengetahui kekosongan rahimnya, atau untuk beribadah, atau keadaan bersedih-berduka cita terhadap perkawinanya, yang berakhir.


(26)

kemudian melakukan thalaq kembali, dan setiap hampir habis ‘iddahnya, suami melakukan rujuk kembali. Begitulah perbuatan suami terhadap istrinya terus-menerus tanpa ada batasnya. Terjadilah pada waktu itu pasaran thalaq. Wanita atau istri waktu itu tidak berharga, ia laksana bola permainan laki-laki belaka.39

Islam hanya memperbolehkan thalaq yang boleh rujuk dalam ‘iddah dua kali saja, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an :

“Thalaq (yang dapat dirujuk) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik”.40

Apabila suami telah melakukan thalaq kali ketiga, maka habislah hak thalaq suami, karena itu hilanglah pula haknya untuk rujuk kepada istrinya. Kecuali jika bekas istrinya menikah dengan suami yang lain (bukan nikah muhallil) dan telah disempurnakan kehidupan perkawinan itu serta telah di thalaq pula oleh suami yang lain itu maka barulah terbuka kesempatan bagi bekas suami pertama untuk kembali kepada bekas istrinya dengan melakukan perkawinan baru, sebagaimana firman Allah:

“kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya, sampai ia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkanNYA kepada kaum yang (mau) mengetahuinya”.41

Menurut KUH Perdata (BW) putusnya perkawinan dipakai istilah ‘pembubaran perkawinan’ (otbinding des huwelijks) yang diatur dalam Bab X dengan tiga bagian, yaitu tentang ‘Pembubaran Perkawinan Pada Umumnya’ (Pasal 199), tentang Pembubaran

39 Djamil Latif,

Op.cit, hal. 27.

40

Al-Qur’an: 229, S: 2 (Al-Baqarah)

41


(27)

Perkawinan Setelah Pisah Meja dan Ranjang’ (Pasal 200-206(b)), tentang ‘Perceraian Perkawinan’ (Pasal 207-232(a)) dan yang tidak dikenal dalam Hukum Adat atau Hukum Agama (Islam) walaupun kenyataanya juga terjadi ialah Bab XI tentang ‘Pisah Meja dan Ranjang (Pasal 233-249).42

Pasal 199 BW menyebutkan bahwa perkawinan itu terputus karena :

1. Oleh karena meninggal dunia

2. Oleh karena keadaan tidak hadirnya salah seorang suami istri selama sepuluh tahun dan diikuti dengan perkawinan baru sesudah itu oleh istri atau suaminya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian kelima bab delapan belas

3. Oleh karena putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan tempat tidur (perceraian gantung) dan pendaftaran putusnya perkawinan itu dalam register catatan sipil, sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagi kedua bab ini

4. Oleh karena perceraian sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian ketiga bab ini.43 Selanjutnya dikatakan ‘jika suami dan istri pisah meja dan ranjang’, baik karena salah satu dari alasan-alasan yang tercantum dalam Pasal 233, maupun atas permohonan kedua belah pihak, dan perpisahan itu tetap berlangsung selama lima tahun penuh tanpa perdamaian antara kedua pihak, maka mereka masing-masing bebas untuk menghadapkan pihak lain ke Pengadilan dan menuntut agar perkawinan mereka dibubarkan (Pasal 200). Tuntutan itu harus segera ditolak bila pihak tergugat, setelah tiga kali dari bulan ke bulandipanggil ke pengadilan tidak muncul-muncul atau datang dengan mengadakan perlawanan terhadap tuntutan itu atau menyatakan bersedia untuk berdamai dengan pihak lawan (Pasal 201).

44

42 Hilman Hadikusuma

, Op.cit, hal. 149.

43

Djamil Latif, Op.cit, hal. 87.

44


(28)

Gugatan perceraian perkawinan harus diajukan ke Pengadilan Negeri yang di daerah hukumnya si suami mempunyai tempat tinggal pokok pada waktu mengajukan permohonan termaksud dalam Pasal 831 Reglemen Acara Perdata atau tempat tinggal yang sebenarnya bila tidak mempunyai tempat tinggal pokok. Jika pada waktu mengajukan surat permohonan tersebut di atas si suami tidak mempunyai tempat tinggal pokok atau tempat tinggal sesungguhnya di Indonesia, maka gugatan itu harus diajukan kepada Pengadilan Negeri tempat kediaman istri yang sebenarnya (Pasal 207) perceraian perkawinan sekali-kali tidak dapat terjadi hanya dengan persetujuan bersama (Pasal 208).45

BW berlaku bagi orang Eropa dan Cina sedangkan HOCI berlaku bagi orang Indonesia Asli Kristen Jawa, Minahasa, dan Ambon. Bagi orang-orang yang beragama Kristen yang berada di luar daerah-daerah tersebut berlaku ketentuan-ketentuan asli dari agama mereka sendiri.46

Sebenarnya HOCI dalah kombinasi antara BW dan Hukum Adat karena syarat-syarat perkawinan banyak persamaan antara HOCI dengan BW dengan perlunakan sana-sini, sedang mengenai harta perkawinan adalah Hukum Adat, yakni mengikuti prinsip pemisahan harta kekayaan dalam perkawinan. Satu hal yang oleh umum dianggap sebagai salah satu sendi dari Agama Kristen ialah hal monogami, yaitu ketentuan bahwa seorang laki-laki tidak diperbolehkan mempunyai istri lebih dari seorang. Sistem monogami ini telah dianut oleh BW (Pasal 27 BW) dan HOCI (Pasal 2 S 1993 No. 74).47

Menurut Pasal 51 S. 1933 No.74 (HOCI), menyebutkan bahwa perkawinan yang dilakukan menurut Staatsblad ini adalah putus karena :

45 Ibid.

46

Djamil Latif, Op.cit, hal. 85.

47 Ibid.


(29)

1. Oleh karena meninggal dunia

2. Oleh karena suami atau istri meninggalkan tempat kediamannya selama dua tahun tanpa adanya kabar tentang hidup atau matinya dan bersambung oleh suatu perkawinan baru oleh suami atau istri yang ditinggalkan setelah mendapatkan izin dari Pengadilan Negeri di tempat kediaman dari suami atau istri yang meninggalkan tempat kediaman itu, setelah mendengar keterangan jika mungkin dari Kepala Desanya, dan lagi sekedar dianggap perlu oleh Pengadilan Negeri harus dilakukan pemanggilan dengan perantaraan apa saja terhadap yang bepergian itu. Kalau satu sama lain ini terjadi, maka Pengadilan Negeri baru akan memberi izin untuk perkawinan yang baru itu, apabila memang ternyata tidak masuk kabar tentang masih hidupnya orang yang bepergian itu.48

Kalangan gereja tidak membenarkan adanya perceraian perkawinan. Agama Kristen Katholik sendiri sama sekali tidak memungkinkan perceraian perkawinan, sedang Agama Kristen Protestan mengenal adanya perceraian akan tetapi dengan alasan zina, sedang alasan lain tidak diperebolehkan. Tetapi orang-orang Indonesia yang beragama Protestan biasanya mengakui beberapa perkara yang berat sebagai alasan-alasan buat perceraian : zina (oleh laki-laki dan oleh perempuan), penganiayaan berat, peninggalan dengan niat jahat, terkadang-kadang juga kemajiran.49

Walaupun agama Kristen-Katholik sama sekali tidak memungkinkan perceraian perkawinan dan hanya kematianlah yang dapat memutuskan perkawinan, namun di Indonesia dan di lain-lain negara juga, perihal perkawinan diantara orang-orang Kristen pada umunya dianut suatu prinsip bahwa suatu perkawinan oleh Undang-undang dipandang hanya selaku

48

Ibid, hal. 92.

49

Ter harr, Begenselen en Stelsel van het Adatrecht, Terjemahan Soebakti Poesponoto, Hero, Surabaya, hal. 86.


(30)

suatu perhubungan perdata belaka antara suami dan istri, artinya terlepas dari pada peraturan agama si suami dan istri. Hal ini bisa kita jumpai dalam Pasal 26 BW dan Pasal 1 S. 1993 No. 74 (HOCI). Karena itu peraturan dari BW dan HOCI yang memungkinkan perceraian perkawinan (echtsheiding) berlaku juga bagi orang-orang yang beragama Kristen-Katholik. Bandingkan dengan Pasal 1 Undang-undang Perkawinan, Undang-undang No. 1 Tahun 1974.50

Menurut Hukum Adat, perkawinan itu termasuk “urusan keluarga dan kerabat,”

51

walaupun dalam pelaksanaannya pribadi yang bersangkutan yang menentukan untuk berlangsung terus atau terputusnya suatu perkawinan, karena “berkumpulnya dua orang untuk pergaulan suami istri adalah urusan yang bersifat perseorangan.”52

1. Untuk memungkinkan pertumbuhan secara tertib daripada masyarakat, kerabat kearah angkatannya.

Karena itu perkawinan menurut Hukum Adat mempunyai berbagai fungsi :

2. Anak-anak yang lahir dalam perkawinan itu meneruskan masyarakat sanak saudaranya. 3. Meneruskan bagian clan, suku, dan keluarga

4. Mempertahankan masyarakat dusun dan wilayah sebagai kesatuan-kesatuan masyarakat. 5. Mempertahankan hubungan golongan-golongan sanak saudara satu sama lain.

6. Meneruskan hubungan yang timbal balik.53

Fungsi-fungsi tersebut berpengaruh pula atas alasan-alasan dan kemungkinan untuk perceraian.54

Dalam Hukum Adat, pada umumnya kerabat dan masyarakat menginginkan agar perkawinan yang sekali dilangsungkan dapat bertahan buat selama-lamanya. Tapi dapat timbul keadaan-keadaan, dimana kepentingan kerabat dan masyarakat menghendaki putusnya

50

Djamil Latif, Op.cit, hal. 86.

51

Ter harr, Op.cit, hal. 179.

52 Ibid, hal. 180. 53

Ibid, hal. 179 dan 180.

54


(31)

perkawinan itu, disamping itu ada hal-hal yang bersifat perseorangan oleh masyarakat dianggap sebagai alasan untuk bercerai.55

Hukum Adat memungkinkan perceraian perkawinan. Perceraian mungkin dimana kepentingan kerabat dan masyarakat menghendaki keputusan perkawinan itu, disamping itu ada hal-hal yang bersifat perseorangan oleh masyarakat dianggap sebagai alasan untuk bercerai.

56

Tetapi yang pada umumnya dianggap sebagai alasan untuk perceraian ialah zina dari pihak si istri.57

Undang-undang perkawinan yakni Undang-undang No. 1 Tahun 1974 jo. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 jo. Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975, mengadakan klasifikasi perceraian sebagai berikut :

1. Kematian 2. Perceraian;

a. Cerai – Thalaq b. Cerai – Gugatan. 3. Keputusan Pengadilan.

Penjelasan umum tentang Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 menyebutkan bahwa, sesuai dengan landasan falsafah pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka undang-undang ini disatu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sedang dilain pihak harus dapat menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Karena itu pula undang-undang ini telah menampung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan, sehingga tidak ada perkawinan di luar

masing-55

Ibid, hal. 180.

56

Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Soeroengan, Jakarta, 1954, hal. 108.

57 Ibid.


(32)

masing hukum agamanya dan kepercayaannya sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945,58 disamping tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.59

Jadi jelaslah bahwa dengan berlakunya undang-undang ini yang pelaksanaannya secara efektif mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, berlaku pula hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sebagai hukum positif untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, termasuk perceraian. Karena itu bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri dan tidak pula kemungkinan untuk cerai dengan melanggar hukum agamanya sendiri. Demikian juga bagi orang Kristen, bagi orang Hindu atau Budha.

Karena tidak ada perkawinan di luar hukum masin-masing agamanya dan kepercayaannya, maka konsekuensinya tidak ada pula perceraian di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.

60

Karena itu Undang-undang ini telah menentukan beberapa prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berlandaskan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945, yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.61

Prinsip-prinsip dan asas-asas tersebut adalah sebagai berikut :

1. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

58

Pasal 2 ayat (1) PP No. 9-1975

59 Pasal 2 ayat (2) PP No. 9-1975 60

Hilman Hadikusuma, Op.cit, hal. 104.

61


(33)

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa62

2. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, disamping menurut perundang-undangan yang berlaku.

. Karena itu perkawinan bukanlah hanya sekedar hubungan perdata semata-mata tetapi mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama sehingga perkawinan mempunyai unsur lahir (jasmani) dan batin (rohani).

63

3. Perkawinan berasaskan monogami dan bagi mereka yang karena hukum dan agamanya membolehkan beristri lebih dari seorang (poligami), menunjukkan poligami itu di bawah pengawasan Hakim.

Dengan demikian hukum agama tentang perkawinan menjadi hukum positif.

64

4. Perkawinan dimana calon suami istri itu ditentukan batas umur untuk kawin, yakni 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita, untuk mencegah kawin di bawah umur65

5. Perkawinan dimana menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian.

, demi generasi selanjutnya.

66

6. Perkawinan dimana hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, dimana suami sebagai kepala rumah tannga dalam pergaulan masyarakat, dimana suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga yang masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum.67

7. Penentuan pengadilan berdasarkan keagamaan seseorang untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan termasuk perceraian, yakni : Pengadilan

62

Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974

63

Pasal 2 ayat (1) (2) UU No. 1 Tahun 1974

64

Pasal 3,4, dan 5 UU No. 1 Tahun 1974

65 Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 66

Pasal 39 dan 40 UU No. 1 Tahun 1974

67


(34)

Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Umum bagi mereka yang beragama bukan Islam.68

Prinsip dan asas-asas yang dianut oleh undang-undang ini sebagaimana tersebut di atas adalah sejalan dengan prinsip dan asas-asas yang dianut oleh Islam berdasarkan Al-Qur’an dan hadist Rasul.

B. Putusnya Perkawinan Dan Alasan-alasannya

Dasar-dasar syarat pengajuan gugatan perceraian disebutkan dalam Undang-undang secara limitatife, artinya selain syarat-syarat serta alasan-alasan yang disebut dalam Undang-undang bukan merupakan syarat-syarat perceraian. Dengan demikian alasan-alasan lain tidak bisa diajukan sebagai dasar gugatan.

Menurut Pasal Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang perkawinan, adapun alasan-alasan yang sah yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah sebagai berikut : 1. Salah satu pihak, suami atau isteri, berbuat zinah, pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain

sebagainya yang sukar disembuhkan.

Alasan ini dapat digunakan untuk mengajukan gugatan perceraian, karena bila seseorang telah berbuat zina berarti dia telah melakukan pengkhianatan terhadap kesucian dan kesaklaran suatu perkawinan. Termasuk perbuatan menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi yang merupakan perbuatan melanggar hukum agama dan hukum positif.

2. Salah satu pihak (suami atau istri) meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa mendapat izin dari pihak lain. Serta tanpa alasan yang sah, karena hal lain di luar kemampuannya.

68


(35)

Hal ini terkait dengan kewajiban memberikan nafkah baik lahir maupun batin, yang bila kemudian salah satu pihak meninggalkan pihak lain dalam waktu lama tanpa seizin pasangannya tersebut, maka akan berakibat pada tidak dilakukannya pemenuhan kewajiban yang harus diberikan kepada pasangannya. Sehingga bila pasangannya kemudian tidak rela, maka dapat mengajukan alasan tersebut untuk menjadi dasar diajukannya gugatan perceraian di pengadilan.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun, atau yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

Hampir sama dengan poin b, poin ini juga dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengajukan gugatan perceraian tersebut. Sebab, jika salah satu pihak sedang menjalani hukuman selama 5 (lima) tahun atau lebih, itu artinya yang bersangkutan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami/istri.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat, yang dapat membahayakan pihak lain.

Poin ini menitkberatkan pada kemaslahatan atau manfaat dari perkawinan, dibandingkan dengan keselamatan invidi/salah satu pihak. Bila suatu perkawinan tetap dipertahankan namun akan berdampak pada keselamatan individu, maka akan lebih baik jika perkawinan itu diputus dengan perceraian. Dalam hal ini, harus benar-benar bisa dibuktikan, mengenai tindakan atau ancaman yang bisa membahayakan keselamatan seseorang/salah satu pihak. Dengan demikian, alasan tersebut dapat diterima oleh Majelis Hakim pemeriksa perkara di pengadilan.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.


(36)

6. Tidak dapat dipungkiri bahwa bila ikatan perkawinan dipengaruhi faktor-faktor jasadiah, terutama kebutuhan biologis. Ketika salah satu pihak tidak dapat menjalankan lewajibannya sebagai seorang suami/istri dikarenakan cacat badan atau penyakit yang dimilikinya, maka hal tersebut dapat dijadikan sebagai alasan oleh salah satu pihak untuk mengajukan gugatan perceraian.

7. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran, serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Tidak ada kehidupan umah tangga yang rukun, tentram, dan nyaman, apalagi, bila pertengkaran tersebut tak terelakkan dan tak terselesaikan. Jika hal itu berlangsung terus-menerus, dan dapat menimbulkan dampak buruk yang lebih besar ke depan, maka diperbolehkan untuk mengajukan gugatan perceraian kepada pengadilan setempat.69

Setelah terpenuhinya alasan-alasan di atas, maka persyaratan yang harus dipenuhi dalam melakukan proses perceraian adalah sebagai berikut :

Bagi mereka yang beragama Islam dapat diajukan ke Pengadilan agama.

a. Bila suami yang mengajukan perceraian, permohonan diajukan kepada pengadilan, yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon (Pasal 66 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama), dengan memberikan alasan-alasan mengapa ia hendak menceraikan istrinya. Untuk permohonan itu, ia harus melampirkan beberapa surat keterangan dari lurah, surat nikah, dan saksi-saksi dari keluarga atau orang yang dekat dengan permohonan dan termohon. Bukti-bukti lainnya, apakah cukup untuk bercerai, maka pengadilan akan memeriksa permohonan tersebut dengan memanggil kedua belah pihak, dengan membawa saksi-saksi yang hendak didengar.

69


(37)

b. Bila isteri yang mengajukan perceraian, permohonan dapat diajukan kepada pengadilan, yang daerah hukumnya meliputi tempat kedaiaman penggugat (pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama) , pada prinsipnya samadengan sarana, surat nikah, dan bukti yang harus dibawa oleh istri yang hendak menceraikan suaminya, seperti diuraikan tersebut di atas.70

Bila mereka yang bukan beragama Islam, gugatan perceraian diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya di Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Gugatan diajukan ke Pengadilan ditempat kediaman penggugat, jika alamat orang yang digugat (Tergugat) tidak jelas atau tidak diketahui. Bilamana tergugat berada di Luar Negeri, maka gugatan diajukan ditempat kediaman tergugat. Pengadilan akan menyampaikan gugatan itu kepada tergugat (PP 9-1975, Pasal 20 ayat (3)) melalui Perwakilan RI di Luar Negeri itu.71

Apabila pihak suami ataupun istri diwakilkan oleh kuasa hukum nya maka persyaratan yang harus dipenuhi dalam melakukan proses perceraian adalah sebagai berikut :

a. Bila tidak didampingi advokat/pengacara

- Mempersiapkan surat gugatan : setelah memahami segala sesuatunya tentang proses perceraian (dengan meminta saran serta nasihat dari pihak yang memahami soal perceraian), maka selanjutnya seorang Penggugat dapat mempersiapkan surat gugatannya.

- Menyiapkan uang administrasi yang nantinya harus dibayarkan ke bagian pendaftaran gugatan di Pengadilan. Setelah membayar uang administrasi, si Penggugat tersebut akan menerima SKUM (Surat Keterangan Untuk Membayar).

70

Martiman Prodjohamidjojo, Op.cit, hal. 42.

71 Ibid.


(38)

- Mempersiapkan apa yang akan diajukan pada pengadilan, tentang rencana perceraian tersebut. Untuk mempersiapkannya, disarankan agar berdiskusi kembali dengan orang-orang/pihak yang memahami soal ini.

- Mempersiapkan bukti-bukti dan saksi-saksi, untuk diajukan dalam proses pembuktian di persidangan. Dengan demikian, gugatan akan lebih mudah diproses oleh pengadilan.

b. Bila didampingi advokat/pengacara

- Jika Penggugat memilih untuk didampingi pengacara, maka terlebih dahulu pengacara tersebut harus membuat surat kuasa yang kemudian harus ditandatangani oleh Penggugat tadi. Surat kuasa adalah surat yang menyatakan bahwa Penggugat (sebagai pemberi kuasa) memberikan kuasa kepada pengacara (sebagai penerima kuasa), untuk mewakili penggugat dalam pengurusan penyelesaian perkara perceraian di pengadilan. Yaitu, mulai dari pembuatan surat-surat seperti surat gugatan/permohonan perceraian, surat jawaban, surat replik, surat duplik, surat daftar alat bukti, kesimpulan. Kemudian beracara di depan sidang pengadilan, menghadap institusi atau orang yang berwenang dalam rangka pengurusan penyelesaian perkara perceraian, sampai kepada meminta salinan putusan pengadilan dan lain sebagainya. - Menyiapkan surat gugatan. Bila surat kuasa tersebut telah ditandatangani oleh

Penggugat, maka selanjutnya pengacara (kuasa hukum/pengacara) akan mengurus pembuatan surat gugatan dan surat-surat lainnya yang dibutuhkan selama proses hukum berjalan.

- Siapkan sejumlah uang untuk keperluan administrasi, yang akan dibayarkan ke bagian pendaftaran gugatan di Pengadilan. Usai membayar, biasanya akan diberi SKUM (Surat Keterangan Untuk Membayar).


(39)

- Lalu, siapkan untuk pembayaran jasa pengacara, terutama bila pengacara yang dibayar diminta bantuannya adalah pengacara yang dibayar sesuai dengan kesepakatan sebelumnya.72

Sebelum meminta nasihat hukum, sebaiknya Penggugat terlebih dahulu menyiapkan surat-surat atau dokumen penting yang terkait dengan kasus perceraiannya, seperti Surat Nikah Asli, Aktra Kelahiran Anak, Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (C-1) dan surat-surat yang berhubungan dengan proses pengajuan perceraian beserta akibatnya.73

Dalam menghadapi sidang kasus perceraian, baik di Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama, ada beberapa hal yang perlu diketahui. Jika si Penggugat memiliki pengetahuan yang cukup mengenai hukum, ada baiknya meminta nasihat hukum dari seorang pengacara, konsultan hukum atau orang yang sudah berpengalaman dalam proses pengajuan perceraian. Sebaiknya penggugat tidak menganggap remeh persoalan yang dihadapi, sekalipun kasus tersebut tidak terlalu rumit, karena akonsekuensi hukum yang akan dihadapi nantinya, bersifat mengikat dan memaksa. Oleh karena itu, jangan menunda sampai saat-saat posisi Penggugat sudah terjepit alias tidak diuntungkan.

74

Biasanya kasus perceraian disertai pula dengan pembagian harta gono-gini, karena itu sebaiknya Penggugat juga menyediakan surat-surat yang terkait dengan harta benda perkawinannya. Seperti Akta Jual-Beli Tanah, Kuitansi, Bon Jual-Beli, Surat Bukti Kepemilikan, Slip Gaji dan semacamnya,. Hal ini memudahkan si Penggugat dan pengacaranya dalam memahami persoalan hukum yang sedang dihadapi. Selain itu, Penggugat

72 Budi Susilo,

Op.cit, hal. 27.

73 Ibid.

74


(40)

juga dapat meminta nasihat hukum dari seorang konsultan atau pengacara, dengan kebebasan memilih untuk didampingi/tidak di dalam sidang pengadilan nanti.75

Setelah memahami sejumlah alasan serta syarat-syarat pengajuan gugatan perceraian, maka selanjutnya juga perlu dimengerti tentang beberapa langkah yang harus ditempuh dalam mengajukan gugatan cerai. Secara garis besar, berikut beberapa tahapan yang perlu dilalui dalam mengajukan gugatan tersebut.

a. Memantapkan Niat, Menyediakan Dana dan Waktu

Bagaimanapun, perceraian merupakan keputusan yang membutuhkan pemikiran serius, kedewasaan bertindak serta niat yang kuat untuk menjalaninya. Mau tidak mau perceraian akan melahirkan sejumlah dampak serius, baik secara psikologis, yuridis, dan lainnya. Bukan hanya terhadap pasangan yang bersangkutan, namun juga kepada anak keturunannya, keluarga besar, serta harta yang diusahakan selama menjalani kehidupan berkeluarga. Untuk itu, kemantapan niat mutlak diperlukan sebelum seseorang mengajukan permohonan atau gugatan perceraian. Perceraian harus dilatarbelakangi oleh niat dan keinginan untuk melangkah menuju kebaikan, dan bukan didasari oleh hal-hal yang bersifat material semata. Perceraian harus benar-benar menjadi jalan keluar bagi pasangan yang memang sudah tidak cocok lagi, dan tidak dapat mempertahankan keutuhan rumah tangganya lagi.

b. Meminta pertimbangan dari beberapa orang terdekat

Sekalipun seorang Penggugat sudah memantapkan niatnya untuk mengajukan permohonan atau gugatan perceraian, namun tidak ada salahnya bila meminta pendapat sejumlah orang terdekat. Paling tidak, itu bisa menjadi bahan pertimbangan untuk

75 Ibid.


(41)

memperkuat argumen/alasan pengajuan gugatan perceraian, atau justru membuat si Penggugat membatalkan niatnya bercerai, mengingat sejumlah pertimbangan penting, terutama mengenai keselamatan dan masa depan keluarga.

c. Menentukan perlu atau tidaknya kuasa hukum atau pengacara

Keberadaan kuasa hukum/pengacara harus dipertimbangkan secara matang, tidak saja terkait dengan dana yang harus disiapkan untuk membayar jasa pendampingnya. Namun juga mengingat efektivitas penggunaan jasa kuasa hukum/pengacara tersebut, terutama saat dilihat dari rencana perolehan target yang ingin dicapai. Bila hasil yang akan diraih cukup optimal dengan tanpa didampingi kuasa hukum/pengacara, maka jasa dan keberadaan kuasa hukum/pengacara tidak diperlukan. Demikian juga sebaliknya, jika si Penggugat merasa perlu didampingi oleh kuasa hukumn/pengacara, karena buta soal hukum serta bingung mengikuti jalannya persidangan, maka kuasa hukum/pengacara menjadi pilihan tepat.

d. Mengajukan surat pemberitahuan atau surat permohonan perceraian

Bila semua sudah disiapkan, dan niat untuk mengajukan gugatan perceraian sudah mantap, maka langkah selanjutnya adalah menyusun permohonan gugatan perceraian. Yaitu, berisi tentang identitas pihak yang berperkara; alasan mengajukan permohonan perceraian, dimulai dengan kronologis perkawinan, serta kehidupan selama mengarungi bahtera rumah tangga. Kemudian, alasan yang menyebabkan berketetapan mengajukan perceraian (posita); disertai dengan permohonan atas putusan yang akan diperoleh nantinya seperti apa (petitum).biasanya permohonan itu menyatakan bahwa perkawinan putus karena perceraian, kemudian diikuti dengan masalah hadhanah (hak asuh anak), nafkah terutang, nafkah iddah, pembagian harta bersama dan sebagainya. Bila permohonan tersebut telah disusun, kemudian diajukan ke Pengadilan Agama bagi yang


(42)

melangsungkan perkawinan secara Islam di Kantor Urusan Agama (KUA), dan di Pengadilan Negeri bagi yang melangsungkan perkawinan di Kantor Catatan Sipil.76 Harus diperhatikan, bahwa pengajuan permohonan atau gugatan perceraian secara Islam, dilakukan di Pengadialan Agama tempat domisili si istri berada. Dengan tidak melihat posisi apakah sebagai Pemohon/Penggugat atau sebagai Termohon/Tergugat. Sedang bagi yang mengajukan perceraian di Pengadilan Negeri, berlaku ketentuan dalam Hukum Acara Perdata, dimana gugatan diajukan di Pengadialan Negeri tempat domisili Tergugat berada atau bermukim.77

e. Melakukan proses sidang perceraian

Proses perceraian bisa dilakukan, bila gugatan atau permohonan perceraian sudah didaftarkan dan diregister oleh panitera di Pengadilan yang berwenang mengadilinya. Kemudian Ketua Pengadilan terkait, akan menunjuk Majelis Hakim yang bertugas untuk menyidangkan kasus tersebut, sekaligus menetukan jadwal sidang pertama dari gugatan tersebut.

Dalam setiap sidang perceraian, hakim akan selalu menanyakan apakah ada kemungkinan bagi pihak untuk berdamai. Apabila kedua belah pihak sudah tidak mungkin untuk berdamai, maka proses beracara di persidangan dapat dilanjutkan. Secara umum proses beracara di persidangan perceraian, sebenarnya sama dengan apa yang telah diatur dalam Hukum Acara Perdata. Hanya saja, sidang perceraian bersifat tertutup, kecuali dalam putusannya harus dilakukan dengan sidang yang terbuka untuk umum. Hal ini diatur demikian, mengingat persoalan perceraian merupakan aib keluarga. Dimana dalam proses pembuktian gugatannya, dimungkinkan muncul sejumlah hal mengenai rahasia keluarga

76

Budi Susilo, Op.cit, hal. 38.

77


(43)

yang dapat menjadi aib, bila diketahui khalayak umum. Karena itulah, sidang perceraian harus dilakukan secara tertutup.

Bila proses acara telah dilalui, dan hakim berketatapan bahwa perkawinan itu dinyatakan putus oleh perceraian, belum berarti perkawinan itu telah putus. Karena setelah itu masih ada proses lain yang harus dilalui. Yaitu, bila gugatan tersebut merupakan permohonan talak oleh pihak suami di Pengadilan Agama, masih ada lagi persidangan ikrar talak. Dimana, dalam persidangan tersebut pihak laki-laki yang bersangkutan atau kuasanya harus membacakan ikrar talak kepada istrinya. Bila pihak laki-laki tidak mengikrarkan talak dalam jangka waktu 6 bulan sejak putusan berkekuatan hukum tetap, maka dengan sendirinya perkawinan tidak jadi putus oleh perceraian dan rumah tangga tetap bisa diteruskan. Sebaliknya jika gugatan perceraian diajukan oleh istri, maka pembacaan ikrar talak oleh pihak suami tidak perlu dilakukan. Kemudian, ada atau tidaknya ikrar talak tetap membuat perkawinan putus, apabila tidak ada upaya hukum selama masa pengajuan upaya hukum masih bisa dilakukan.

Bila upaya hukum tidak dilakukan, maka putusan tersebut dinyatakan inkracht, atau sudah memiliki kekuatan hukum tetap. Sehingga dengan sendirinya dapat dilaksanakannya isi putusannya. Lalu selanjutnya, akan dikeluarkan Akta Cerai untuk mengurus masalah administrasi di Kepaniteraan Pengadilan Agama, atau Kantor Catatan Sipil. Selain itu, apabila gugatan perceraian diajukan oleh seorang pihak bukan berama Islam di Pengadilan Negeri, maka putusan perceraiannya dianggap sudah bersifat (inkracht), jika dalam 14 hari setelah putusan diputus dan dibacakan, tidak ada upaya hukum bagi verzet, banding ataupun kasasi dari pihak yang berpekara.78

Didalam PP No. 9 Tahun 1975, pada Bab IX disebut tentang Ketentuan Pidana Menurut Pasal 45 Bab tersebut dinyatakan, kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan

perundang-78


(44)

undangan yang berlaku, maka dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7500,- barang siapa melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 40, dihukum sengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 7500,-.79

Untuk masalah Talak di luar pengadilan, Syariat Islam menjadikan talak sebagai jalan keluar terakhir dari perselisihan yang terjadi antara suami istri dalam sebuah rumah tangga yang sudah tidak lagi dapat dipertahankan, bahkan bisa mendatangkan kemudaratan. Dalam prakteknya, Al Quran dan Hadits tidak mengatur secara rinci tata cara menjatuhkan talak. Karena itu terjadi perbedaan pendapat ulama dalam masalah ini. Ada ulama yang memberikan aturan yang ketat, seperti harus dipersaksikan atau dilakukan di depan hakim. Namun ada pula yang longgar sekali, seperti pendapat yang mengatakan bahwa suami bisa menjatuhkan talak dengan alasan sekecil apapun dan tanpa saksi karena talak itu adalah hak suami.80

Sedangkan menurut peraturan perundang-undangan, pemerintah berpendapat bahwa untuk menjaga agar aturan syariah dapat berjalan dengan baik, maka talak tidak dilakukan secara sembarangan karena dapat menimbulkan dampak negatif. Melalui undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, pemerintah telah mengatur mekanisme dan syarat sahnya sebuah perceraian di mata hukum, yaitu perceraian yang dilaksanakan di depan sidang pengadilan.

Namun, di tengah masyarakat masih ditemukan adanya praktik perceraian yang tidak mengikuti aturan hukum tersebut yang sering disebut dengan talak di luar pengadilan. Hal ini terjadi karena masyarakat mengetahui bahwa pendapat mayoritas ulama dalam literatur fiqih

79 Hilman Hadikusuma,

Op.cit, hal. 184.

80

Desastian, Talak Diluar Pengadilan Sah Hukumnya, Internet, Voa-Islam.com, Diakses Tanggal 11 Februari 2013


(45)

tidaklah mengharuskan talak dilakukan melalui sidang pengadilan. Talak di luar pengadilan yang dimaksud adalah perceraian yang telah memenuhi semua syarat dan rukun talak yang ditetapkan dalam syariat Islam, namun tanpa penetapan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.81

Selanjutnya dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) BAB XVI mengenai Putusnya Perkawinan, juga disebutkan sejumlah alasan yang sah untuk mengajukan gugatan perceraian. Secara substansi, inti dari BAB tersebut sama dengan apa yang tertuang dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Hanya saja, ada beberapa tambahan penting yang disampaikan dalam bab tersebut, yaitu :

a. Suami melanggar taklik-talak

Saat akad perkawinan, biasanya mempelai pria membacakan atau setidak-tidaknya menandatangani sighat taklik-talak, atau perjanjian yang diucapkan mempelai pria setelah akad nikah, yaitu, berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu, dan mungkin saja terjadi di masa mendatang. Dalam hal ini, pihak suami dengan sengaja meninggalkan istri tanpa memberi nafkah selama 2 (dua) tahun berturut-turut, kemudian pihak suami melakukan tindak kekerasan pada istri. Maka, si istri memiliki hak untuk memohonkan penjatuhan talak pada dirinya, kepada pengadilan yang berwenang.

b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Perkawinan hanya diperkenankan bagi pasangan yang seagama. Jika dalam perjalanan mengarungi rumah tangga, salah satu pihak (suami atau istri) murtad, atau berpindah

81

Zahri Hamid, Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan di Indonesia, Jakarta, 1978, hal. 102.


(46)

agama, maka secara otomatis, perkawinan pun berakhir. Jika perkawinan tersebut dipaksakan tetap berlangsung, pada akhirnya hanya akan menimbulkan ketida krukunan.82

Perkawinan hanya dapat dilakukan, apabila telah memenuhi salah satu dari seluruh alasan di atas. Untuk melakukan perceraian harus ada alasan yang dapat membuktikan, jika sepasang suami-istri tidak dapat lagi hidup rukun sebagaimana mestinya.83

Untuk alasan salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya (sukar disembuhkan), pada umumnya akan mempengaruhi keputusan penjatuhan hak asuh anak, yang akan dilakukan oleh Majelis Hakim. Meskipun pada umumnya hak asuh anak yang di bawah umur 12 tahun akan jatuh kepada pihak ibu, namun apabila dalam persidangan pihak istri terbukti melakukan perzinaan, hak asuh anak tersebut justru akan jatuh ke pihak bapak. Sebab seorang istri yang telah terbukti melakukan tidakan amoral (berzina), dimata hukum tidak layak dipercaya untuk mengasuh anak dan mendidik anak. Hal ini bisa saja terjadi apabila alasan perceraiannya adalah, jika suami atau istri memiliki kebiasaan buruk lainnya seperti pemadat, pemabuk, ataupun memiliki kecenderungan untuk melakukan kekerasan, yang dikhawtirkan dapat mengancam jiwa anak.

Ketika upaya perceraian sudah bulat hendak dilaksanakan, maka pemilihan alasan, terlepas dari alasan yang sesungguhnya, sangat menentukan proses terjadinya perceraian. Serta akibat hukum dari perceraian itu sendiri.

84

Akibat putusnya ikatan perkawinan menurut Hukum Islam karena kematian, dalam hal perkawinan; bagi istri yang kematian suaminya hanya baru boleh kawin lagi setelah lampau jangka waktu ‘iddah tertentu, sedang suami yang kematian istri dapat segera kawin lagi, dalam

82 Riduan Syahrani,

Op.cit, hal. 40.

83

Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Perkawinan

84


(47)

hal anak-anak; menjadi tanggungan pihak yang hidup baik dalam pemeliharaannya, pendidikannya, dan pembiayaannya, dalam hal harta; berhak mendapat harta warisan dari harta peninggalan yang mati.85

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian menurut Hukum Islam adalah sebagai berikut :

1. Mengenai hubungan bekas suami dan bekas istri

a. Pada perceraian yang telah memasuki tingkat tidak mungkin dicabut kembali ( thalaq-ba’in), persetubuhan menjadi tidak boleh lagi, tetapi boleh kawin kembali, asal saja belum lebih dari dua pernyataan thalaq.

b. Dalam hal thalaq juga dijatuhkan, perkawinan kembali hanya dapat dilakukan setelah memenuhi syarat-syarat tertentu yang berat, sedang dalam perceraian karena li’an; perkawinan kembali tidak mungkin lagi dilakukan untuk selamanya.

c. Suami atau istri yang meninggal dalam jangka waktu ‘iddah-thalaq yang dapat dicabut kembali (thalaq-raj’i), berhak mendapat harta warisan dari harta peninggalan yang meninggal.

d. Pada perceraian yang tidak dapat dicabut kembali (thalaq-ba’in) tidak seorang pun dari suami ataupun istri berhak mendapat warisan dari harta peninggalan yang meninggal dunia dalam ‘iddah tersebut.

2. Mengenai anak

Keempat Imam Mahzab sepakat bahwa hanya ibunyalah yang berhak memelihara dan mengasuh (hadlanah) anak-anak yang di bawah umur itu. Hanya mereka berbeda pendapat tentang batas hak hadlanah ibu itu sampai umur anak berapa tahun. Menurut

85


(48)

Syafe’i ibu berhak sebelum anak itu berusia 7 tahun86 baik laki-laki maupun perempuan. Tapi Maliki, Hambali membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Menurut Maliki; anak laki-laki sebelum baligh dan anak perempuan sebelum kawin dan telah dicampuri oleh suaminya, Hambali; anak laki-laki sebelum berumur 7 tahun, demikian juga Hanafi.87

3. Mengenai harta benda

Dan dengan berakhirnya hak hadlanah ibu, maka anak tersebut bebas memilih sendiri dimana ia suka tinggal, pada ibunya atau pada ayahnya.

Jika selama perkawinan diperoleh harta, maka harta ini adalah harta sirkah, yaitu harta bersama yang menjadi milik bersama dari suami istri. Karena itu dalam Islam ada harta suami yang terpisah (tidak bercampur) dan harta kekayaan tidak terpisah (yang bercampur).88

Garis penetapan hukum dalam Islam ialah berdasarkan kitab suci Al-Qur’an, jika tidak dalam Al-Qur’an dilihat dari Hadist Nabi, dan jika para Ulil Amri (penguasa pemerintahan) dan para ilmuwan atau Pemuka Masyarakat (ulama) wajib berijtihad, dan para hakim. Hadist Riwayat Bukhari dan Muslim, menyatakan Nabi berkata yang maksudnya ialah “Hakim apabila berijtihad kemudian dapat mencapai kebenaran maka ia mendapat dua pahala. Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai kebenaran, maka ia mendapat satu pahala.” Apabila dalam Hukum Agama Islam, agama yang terakhir di muka bumi ini belum ada hukum acara peradilannya, maka untuk mengatur acara perceraian diserahkan kepada Hakim untuk mengaturnya, demikian pula halnya dengan agama yang lain yang lebih tua dari Islam, seperti agama Kristen Katholik dan Hindu atau Budha belum ada hukum acara peradilannya yang

86 Hasbi As-Shiddiqy,

Pedoman Rumah Tangga, Pustaka Maju, Medan, hal. 40.

87 Ibid.

88


(49)

khusus. Hal mana merupakan tugas dan kewajiban Majelis Ulamanya masing-masing seperti Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI) untuk agama Katholik, Dewan Gereja-gereja Indonesia (DGI) untuk agama Kristen, Parisada Hindu Dharma untuk agama Hindu, dan Dewan Pandita Agama Budha Indonesia (DEPABUDI) untuk agama Budha di Indonesia.89

Sementara ketentuan-ketentuan hukum acara peradilan daripada masing-masing Majelis Ulama tersebut belum ada, dan penyelesaian pada para Ulama tersebut tidak berhasil dan yang bersangkutan mengajukan perkara perceraian itu ke Pengadilan Negeri, maka merupakan kewajiban para Hakim Pengadilan untuk memeriksa, mendamaikan, mempertimbangkan, dan memutuskan berdasarkan hukum perundang-undangan yang berlaku dengan memperhatikan hukum-hukum agama dan kepercayaan masing-masing dalam menetapkan keputusan.

Apabila terjadi perceraian antara suami dan istri menurut Hukum Islam maka akibat hukumnya yang jelas ialah dibebankannya kewajiban suami terhadap istri dan anak-anaknya, yaitu :

1. Memberi mut’ah90

2. Memberi nafkah hidup, pakaian, dan tempat kediaman selama bekas istri dalam masa ‘iddah

yang pantas berupa uang atau barang

3. Memberi nafkah untuk memelihara dan pendidikan anaknya sejak bayi sampai ia dewasa dan dapat mandiri

4. Melunasi mas kawin, perjanjian ta’lik talak dan perjanjian ketika perkawinan berlangsung dahulunya.91

89

Ibid, hal. 85.

90

Mut’ah; suatu pemberian oleh suami kepada istri yang dicerainya agar hati istri dapat terhibur.

91


(50)

Kemudian tentang hukuman (hudud) yang dapat dijatuhkan dalam peradilan Islam, antara lain mengenai perbuatan zina, menuduh orang berzina, meminum minuman keras, mencuri, merampok, membela diri, dan riddah.

Bagi para pelaku zina, maka kedua belah pihak dapat dijatuhi hukuman dera 100 (seratus) kali dihadapan umum dan dibuang ke luar negara (daerah)-nya selama-lamanya satu tahun, sedangkan barang siapa yang menuduh orang berzina tanpa mengajukan empat orang saksi maka ia dapat dijatuhi hukuman dera 80 (delapan puluh) kali.92

Adapun alasan-alasan yang sah yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian menurut KUH Perdata (BW) adalah sebagai berikut:

1. Zina

2. Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad buruk.

3. Dikenakan hukuman penjara selama lima tahun atau hukuman yang lebih berat lagi. 4. Pencederaan berat atau penganiayaan, yang dilakukan oleh salah seorang dari suami istri

terhadap yang lainnya sedemikian rupa, sehingga membahayakan keselamatan jiwa atau mendatangkan luka-luka yang berbahaya.

Jika ada hal-hal yang dapat menjadi dasar untuk menuntut perceraian perkawinan, si suami atau si istri berhak untuk menuntut pisah meja dan ranjang. Gugatan untuk itu dapat juga diajukan atas dasar perbuatan-perbuatan yang melampaui batas kewajaran, penganiayaan dan penghinaan kasar yang dilakukan oleh salah seorang dari suami maupun istri atau

92 Ibid.


(1)

D. Amar Putusan Hakim

1. Menyatakan Tergugat yang telah dipanggil secara resmi dan patut untuk menghadap di persidangan tidak hadir.

2. Mengabulkan gugatan Penggugat dengan verstek

3. Menjatuhkan talak satu Bain Sughra Tergugat (Ibnu Muat Saragih bin M. Isyak Saragih) terhadap Penggugat (Enita Zahara binti M. Syael).

4. Memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Tebing Tinggi untuk mengirimkan salinan putusan ini setelah berkekuatan hukum tetap kepada Pegawai Pencatat Nikah Kecamatan Sipispis, Kabupaten Serdang Bedagai dan Kecamatan Padang Hilir Kota Tebing Tinggi untuk dicatat dalam daftar yang disediakan untuk itu. 5. Membebankan biaya perkara kepada Penggugat sebesar Rp. 296.000,- (dua ratus

Sembilan puluh enam ribu ruiah)

Demikian Putusan ini dijatuhkan di Pengadilan Agama Tebing Tinggi dalam sidang musyawarah Majelis Hakim oleh Drs. H. Hudri, SH, MH sebagai Ketua Majelis, Dra. Emidayati dan Dra. Mirdiah Harianja, MH masing-masing sebagai Hakim Anggota, dibantu Siti Aisyah, S.Ag sebagai Panitera Pengganti dengan dihadiri Penggugat tanpa hadirnya Tergugat.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian dan hasil analisis penelitian yang telah dikemukakan pada bab-bab terdahulu, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Kepala SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) akan memanggil Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian untuk diperiksa oleh Pejabat dilingkungan SKPD dan Kepala SKPD akan mengirimkan berkas usul izin perceraian PNS ke Walikota c/q BKPP (Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan) Tebing Tinggi PNS yang bercerai tetap pendirian melakukan perceraian. Jika Walikota setuju maka akan keluar Surat Keputusan Walikota tentang izin perceraian untuk dipergunakan ketingkat Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri.

2. Mengenai sanksi apabila permohonan izin bercerai PNS dikabulkan oleh Walikota maka dalam hal ini suami harus memberikan gajinya terhadap istri dan anak-anaknya dengan rincian 1/3 untuk suami, 1/3 untuk istri, dan 1/3 untuk anak dan apabila suami tidak melaksanakan hasil putusan Pengadilan tentang pembagian gaji maka suami akan menerima sanksi sesuai dengan PP No. 53 Tahun 2010 Tentang Peraturan Disiplin PNS.

3. Putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi menyatakan bahwa mengabulkan gugatan Penggugat (Enita Zahara binti M.Syael) kepada Tergugat (Ibnu Muat Saragih bin M. Isyak Saragih) dengan verstek dan menjatuhkan talak satu Bain Sughra Tergugat terhadap Penggugat. Panitera Pengadilan Agama Tebing Tinggi mengirimkan salinan putusan ini setelah berkekuatan hukum tetap kepada Pegawai Pencatat Nikah


(3)

Kecamatan Sipispis, Kabupaten Serdang Bedagai dan Kecamatan Padang Hilir, Kota Tebing Tinggi untuk dicatat dalam daftar yang disediakan untuk itu.

B. SARAN

Sesuai dengan kesimpulan penelitian, maka diberikan saran-saran sebagai berikut :

1. Pemerintah Kota Tebing Tinggi sebagai instansi awal yang harus dihadapi oleh Pegawai Negeri Sipil yang ingin melakukan peceraian hendaknya lebih mengedepankan upaya preventif yaitu bukan hanya melakukan pencegahan melalui prosedur administratif melainkan harus lebih aktif untuk melakukan mediasi-mediasi terhadap Pegawai Negeri sipil yang mengalami permasalahan dalam hubungan pekawinan.

2. Pemerintah Kota Tebing Tinggi hendaknya lebih aktif melakukan sosialisasi dikalangan internal Pegawai Negeri Sipil mengenai dampak negative akibat dari perceraian baik tehadap anak maupun kelangsungan status Pegawai Negeri Sipil dirinya sendiri serta paradigma masyarakat terhadap Pemerintahan Kota Tebing Tinggi selaku pengayom masyarakat.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Chandrawila, Wila, 2002, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung Hadikusuma, Hilman, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung

Terrhar, Begenselen en Stelsel van het Adatrecht, Terjemahan Soerbakti Soekanto, Hero, Surabaya

Hukum Online, 2010, Tanya Jawab Perkawinan dan Perceraian, Lentera Hati, Ciputat Hazairin, 1968, Hukum Kekeluargaan Nasional, Tinta Mas, Jakarta

Hamid, Zahri, 1978, Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Tinta Mas, Jakarta

Hadjon, Philipus M, 2008, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Latif, Djamil, 1981, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta Maleong, Lexi J, 1990, Metode Kuantitatif, Remaja Rodaskarya, Bandung

Nudewata, Mukti Fajar, 2010, Penilitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Prodjohmidjojo, Martiman, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta

Prijodarminto, Soegeng, 1994, Duri dan Mutiara dalam Kehidupan Perkawinan PNS, Pradnya Paramita, Jakarta

Syahrani, Ridwan, 1986, Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, Media Sarana, Banjarmasin

Soekanto, Soerjono, Sri Mumadji, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta

Sunggono, Bambang, 2001, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta Soemitro, Ronny Hanitijo, 1986, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta


(5)

Soekanto, Soerjono, 2001, Metode Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI-Perss), Jakarta

Susilo, Budi, 2007, Prosedur Gugatan Cerai, Pustaka Yustisia, Yogyakarta Syaifuddin, Muhammad, 2013, Hukum Perceraian, Sinar Grafika, Jakarta Waluyo, Bambang, 1996, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta

B. Peraturan Perundang-undangan

Pemerintah Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Pemerintah Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Buku Pertama BAB X tentang Pembubaran Perkawinan

Pemerintah Republik Indonesia, Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pemerintah Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam

Pemerintah Republik Indonesia, Hukum Adat

Pemerintah Republik Indonesia, Surat Edaran Kepala BKN, No. 08 tahun 1983 tentang Perkawinan dan Perceraian PNS

Pemerintah Republik Indonesia, Surat Edaran Kepala BKN, No. 90 tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS

Pemerintah Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Pemerintah Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawina dan Perceraian PNS

Pemerintah Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian

C. Internet

Pramudya, Tentang Harta Bersama, Internet, WordPress.com, diakses tanggal 12 Februari 2013 Desastian, Talak Diluar Pengadilan Sah Hukumnya, Internet, Voa-Islam.com, diakses tanggal


(6)

Siti Nuraini, Perkawinan dan Perceraian, Internet, diakses tanggal 7 Februari 2013

Hasil wawancara dengan Rina selaku Kasubid Disiplin BKD Kota Tebing Tinggi, tanggal 13 Juni 2013


Dokumen yang terkait

Aspek Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Perspektif Undang- Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam

0 85 104

Analisa Perbandingan Antara Perma Nomor 1 Tahun 2008 Dengan Undang‐Undang Nomor 30 Tahun 1999

3 55 132

Peranan Badan Amil Zakat Berdasarkan Undang - Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Sumatera Utara (Studi Pada Badan Amil Zakat Daerah Sumatera Utara)

0 37 186

Kadar Estradiol Serum Pada Pemakaian KB DMPA 1 Tahun Dan 3 Tahun

0 61 49

Kedudukan Kreditor Separatis Ditinjau dari Undang Undang Kepailitan Dikaitkan dengan Objek Hak...

0 13 3

Implementasi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Pemberdayaan Masyarakat Melalui Gerakan Pemberdayaan Dan Kesejahteraan Keluarga Ditinjau Dari Prespektif Hukum Administrasi Negara (Studi Di Kabupaten Kutai Timur)

2 168 113

HAK ASUH ANAK AKIBAT PERCERAIAN PADA PERKAWINAN CAMPURAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

0 5 16

PRAKTIK POLIGAMI PEGAWAI NEGERI SIPIL DITINJAU DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1990

0 12 108

ALASAN ALASAN YANG MENYEBABKAN TERJADINYA PERCERAIAN BESERTA AKIBATNYA BAGI SEORANG MUSLIM DITINJAU DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

0 3 75

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perceraian Dan Akibatnya Yang Dilakukan Pegawai Negeri Sipil Dilingkungan Kota Tebing Tinggi Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

0 0 14