Hak Asasi Manusia Menurut Universal Declaration Of Human Rights

terhadap hak ini merupakan jaminan yang esensial dalam menghadapi negara yang terlalu kuat. Selanjutnya ada komitmen untuk menyelenggarakan pemerintahan yang demokratis dan pluralisme politik, serta sebuah daftar mengenai hak sipil dan politik yang individual, yang menjadi hak setiap orang tanpa terkecuali. Meskipun Piagam Paris secara hukum juga tidak mengikat, namun piagam ini juga menandai fakta-fakt bahwa bekas negara-nega blok Komunis itu telah memperlihatkan komitmen mereka terhadap prinsip-prinsip liberal-demokratis yang luhur.

B. Hak Asasi Manusia Menurut Universal Declaration Of Human Rights

Seperti yang kita ketahui, Deklarasi Universal disahkan dalam rangka mengatasi kegagalan para anggota PBB untuk mencapai kata sepakat mengenai dimasukkannya sebuah katalog tentang hak asasi manusia yang dapat dilindungi ke dalam Piagam itu sendiri. Deklarasi itu disetujui sebagai sebuah resolusi biasa dari Majelis Umum dan karenanya, dalam artian teknis tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Apalagi Byelorusia, Cekoslowakia, Polandia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Ukraina, Uni Soviet dan Yugoslavia abstain, meskipun tidak ada suara yang menentang Deklarasi itu. Meskipun keabstainan itu terutama disebabkan oleh ideologi yang bertentangan dengan ideologi yang dinyatakan dalam kategori hak- hak individual yang tedapat dalam Deklarasi, Afrika Selatan maupun Arab Saudi juga menyatakan kekuatiran bahwa pada akhirnya Deklarasi itu dapat digunakan untuk menafsirkan Piagam. Universitas Sumatera Utara Namun, apa status hukum Deklarasi dewasa ini? Ada beberapa jawaban yang dapat diajukan untuk pertanyaan ini, yang secara berurutan mempunyai makna normatif yang makin besar. Pertama, boleh jadi Deklarasi tetap berstatus sebagai resolusi yang tidak mengikat. Tetapi mengingat perkembangan- perkembangan dalam praktek PBB maupun negara di kemudian hari, posisi minimalis ini tidak mungkin benar. Kedua, dapat diargumentasikan bahwa Deklarasi itu merupakan tafsiran resmi terhadap Piagam oleh salah satu organnya yang berwenang, yaitu Majelis Umum. Argumen ini sangat masuk akal karena bahasa Mukadimah Deklarasi menunjukkan bahwa Deklarasi itu disetujui untuk mengefektifkan kewajiban yang tercantum dalam Pasal 55 dan 56 Piagam itu. Ketiga, dapat dikatakan bahwa Deklarasi itu sekarang telah menjadi bagian dari prinsip-prinsip hukum yang umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab. Dalam hal ini akan sukar dibantah, karena hampir semua undang-undang dasar dalam dunia modern memuat suatu komitmen untuk melindungi hak asasi manusia dan daftar mengenai hak-hak yang akan dilindungi. Keempat, setelah berusia lebih dari 40 tahun, Deklarasi itu dapat dikatakan telah menjadi bagian dari hukum kebiasaan internasional. Ada banyak bukti yang mendukung pandangan ini. Banyak praktek negara mengindikasikan bahwa Deklarasi itu merupakan patokan untuk mengukur standar hak asasi manusia dalam negara-negara itu. Universitas Sumatera Utara Termasuk dalam praktek negara adalah resolusi organisasi dan lembaga internasional, pernyataan lembaga eksekutif, keikutsertaan dalam berbagai traktat hak asasi manusia, seperti dinyatakan dengan jelas dalam Deklarasi, secara hukum mengikat. Tetapi, kesimpulan yang paling penting barangkali adalah bahwa Komisi Hak Asasi Manusia PBB diberi wewenang untuk menggunakan Deklarasi guna menetapkan apakah ada pelanggaran kasar terhadap hak asasi manusia dalam skala besar di negara-negara yang catatan hak asasinya sedang diteliti oleh Komisi tersebut. Beberapa pengamat akan mengajukan proposisi melampaui proposisi dasar bahwa Deklarasi mewakili hukum kebiasaan internasional dengan menyatakan bahwa deklarasi itu sekarang memiliki ciri-ciri Jus cogens yaitu norma-norma yang harus dipatuhi dan tidak boleh dikurangi. Meskipun hak-hak tertentu yang tercantum dalam Deklarasi, misalnya larangan terhadap perbudakan, memang mempunyai sifat Jus Cogens, namun tidak semua ketetapannya bersifat demikian, khususnya ketetapan yang mengizinkan pembatasan hak dalam kondisi tertentu. Seandainya argumen bahwa deklarasi mewakili hukum kebiasaan internasional diterima, maka semua negara secara hukum terikat untuk memberikan hak asasi yang disebutkan kepada individu-individu yang berada dalam yurisdiksinya. Sekalipun hal ini merupakan posisi teoretis yang menyenangkan untuk disetujui, namun ada sejumlah masalah praktis yang ditimbulkan. Universitas Sumatera Utara Pertama, hak-hak di dalam Deklarasi itu mencakup campuran hak-hak generasi pertama, kedua, dan ketiga. Semua jenis hak ini dirumuskan sebagai perintah yang pasti dan mendesak kepada negara-negara. Misalnya terdapat dalam Pasal 3 yaitu hanya menyatakan “Semua orang mempunyai hak untuk hidup, hak atas kebebasan dan keamanan pribadi.” Sebagai suatu pernyataan umum mengenai hak asasi, rumusan ini tidak dapat disanggah. Masalah kedua berkaitan erat dengan yang pertama. Tidak ada lembaga secara khusus diberi kewenangan untuk menafsirkan atau menerapkan Deklarasi. Terlepas dari masalah-masalah itu, sejumlah organ PBB, badan internasional maupun pengadilan domestik tampaknya cukup diyakinkan bahwa beberapa hak yang dinyatakan dalam Deklarasi, betapapun sedikitnya pernyataan itu, cukup cermat untuk diterapkan secara umum. Potensi politis dan moral Deklarasi itu hendaknya juga tidak diabaikan. Deklarasi itu tidak hanya menjadi dasar penyusunan dua kovenan internasional dan tiga traktat regional tentang hak asasi manusia, tetapi juga telah menjadi paradigma untuk menyusun ketetapan hak asasi manusia bagi lebih dari 25 konstitusi domestik. Negara, lembaga internasional, Lembaga Swadaya Masyarakat dan juga individu sering kali memandang Deklarasi itu sebagai batu ujian bagi hak asasi manusia. Bahkan, John Humphrey pernah menyebut Deklarasi itu adalah “Magna Carta Umat Manusia” Universitas Sumatera Utara

C. Pengaturan Hak Asasi Manusia Dalam Kovenan Internasional Hak Sipil Dan Politik ICCPR Tahun 1966