ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INFLASI DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
REGENCY/CITY YOGYAKARTA SPESIAL REGION
Oleh
ANGGITA MIHARRANI PUTERI 20120430026
FAKULTAS EKONOMI dan BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016
(2)
(3)
i
REGENCY/CITY YOGYAKARTA SPESIAL REGION
Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Program Studi Ilmu Ekonomi Dan Studi
Pembangunan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Oleh
ANGGITA MIHARRANI PUTERI 20120430026
FAKULTAS EKONOMI dan BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016
(4)
(5)
iii
“Telurhari ini lebih baik dari pada ayam esok hari”
“Menuntut ilmu adalah taqwa. Menyampaikan ilmu adalah ibadah. Mengulang
-ulang ilmu adalah zikir. Mencari ilmu adalah jihad” (Imam Ghozali)
“Cobalah dulu, baru cerita. Pahamilah dulu, baru menjawab. Pikirlah dulu, baru
berkata. Dengarlah dulu, baru beri penilaian. Berusahalah dulu, baru berharap”
(6)
iv
Bismillahirrohmanirrohim...
Dengan segenap rasa syukur,skripsi ini kupersembahkan untuk,
Bapak dan Ibu yang telah berjuang keras mendidik dan membesarkanku hingga gelar sarjana ini aku peroleh. Terimakasih atas segala jerih payah dan doa, skripsi ini sebagai salah satu langkah untuk mewujudkan mimpi besar bapak dan
ibu melihat aku selesai menempuh pendidikan sarjanaku
Seluruh keluarga besar yang selalu mendoakan dan memberi dukungan Sahabat-sahabatku dimanapun kalian berada, terimakasih doa dan semangatnya
(7)
v
karena berkat limpahan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya maka skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Salam dan salawat semoga selalu tercurah pada baginda Rasulullah Muhammad SAW.
Skripsi yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inflasi di Daerah Istimewa Yogyakarta” ini kami susun untuk memenuhi persyaratan kurikulum sarjana strata-1 (S-1) pada Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Penulis mengucapkan rasa terimasih yang sebesar-besarnya atas semua bantuan yang telah diberikan, baik secara langsung maupun tidak langsung selama penyusunan tugas akhir ini hingga selesai. Secara khusus rasa terimakasih tersebut kami sampaikan kepada:
1. Bapak Dr. Imamudin Yuliadi, SE., M.Si selaku Ka Prodi dan dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan dorongan dalam penyusunan tugas akhir ini.
2. Bapak Drs. Nano Prawoto. SE., Msi selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah memberikan bimbingan selama perkuliahan berlangsung.
(8)
vi ini.
4. Bapak Yuliyanto beserta Ibu Rini Wedyastuti, orangtua penulis yang selalu sabar dalam doa untuk mendidik anak-anaknya agar menjadi insan yang manfaat
5. Hairudin seseorang yang selalu mendukung penulis dalam menyelesaikan studinya.
6. Khoirul Ikhsan, Azzahrani, Nawang Dewi juga rekan-rekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang tidak dapat disebutkan satu per satu sudah banyak membantu penulis dalam tugas akhir ini.
Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini belum sempurna, baik dari segi materi meupun penyajiannya. Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan dalam penyempurnaan tugas akhir ini.
Terakhir penulis berharap, semoga tugas akhir ini dapat memberikan hal yang bermanfaat dan menambah wawasan bagi pembaca dan khususnya bagi penulis juga.
Yogyakarta, 8 Oktober 2016
(9)
vii
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERNYATAAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
INTISARI ... vii
ABSTRAK ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR GRAFIK ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Penelitian ... 1
B. Batasan Masalah Penelitian ... 12
C. Rumusan Masalah Penelitian ... 12
D. Tujuan Penelitian ... 13
E. Manfaat Penelitian ... 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 14
A. Tinjauan Teoritis ... 14
1. Inflasi... 14
2. Tingkat Suku Bunga ... 28
3. Nilai Tukar ... 30
4. Jumlah Uang Beredar ... 33
B. Penelitian Terdahulu ... 34
C. Hipotesis ... 37
(10)
viii
D. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 40
E. Uji Hipotesis dan Analisis Data ... 41
1. Uji Model Dinamik ... 42
a. Akar unit dan derajad integrasi ... 42
b. Uji kointegrasi ... 43
c. Error Corection Model (ECM) ...44
2. Uji Asumsi Klasik ... 45
a. Uji multikolinieritas ... 45
b. Uji heteroskedastisitas ... 46
c. Uji autokorelasi ... 46
d. Uji Normalitas ... 48
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 50
A. Gambaran Propinsi DIY ... 50
1. Keadaan alam dan iklim ... 50
2. Perekonomian di Yogyakarta ... 52
3. Kependudukan dan tenaga kerja ... 52
B. Perkembangan Variabel Penelitian ... 53
1. Inflasi ... 53
2. Kurs Rupiah terhadap US Dolar ... 54
3. Suku bunga (BI rate) ... 55
4. Jumlah uang beredar ...56
C. Uji Hipotesis dan Analisis Data ... 57
1. Uji akar unit dan derajad kointegrasi ... 57
2. Error corection model (ECM) ... 58
D. Uji Asumsi Klasik ... 62
1. Uji multikolenieritas ... 62
2. Uji heteroskedastisitas ...63
3. Uji autokorelasi ... 65
4. Uji normalitas residual ... 66
E. Pembahasan ... 68
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 78
A. Kesimpulan ... 78
(11)
(12)
x
Tabel 1.2 Data Tingkat Suku Bunga Indonesia Tahun 2014-2015 ... 8
Tabel 1.3 Data Kurs Rupiah Terhadap Dollar tahun 2014-2015 ... 9
Tabel 1.4 Tingkat Jumlah Uang Beredar Tahun 2014-2015 ... 11
Tabel 4.1 Hasil Pengujian Akar Unit ... 57
Tabel 4.2 Hasil Pengujian Kointegrasi ... 58
Tabel 4.3 Hasil Estimasi Model Jangka Panjang ... 59
Tabel 4.4 Hasil Estimasi Model Jangka Pendek ... 60
Tabel 4.5 Matrik Korelasi Variabel Independen Model Jangka Panjang ... 62
Tabel 4.6 Matrik Korelasi variabel Independen Model Jangka Pendek ... 63
Tabel 4.7 Hasil Pengujian Heteroskedastisitas Model Jangka Panjang ... 64
Tabel 4.8 Hasil Pengujian Heteroskedastisitas Model Jangka Pendek ... 64
Tabel 4.9 Hasil Pengujian Autokorelasi Model Jangka Panjang ... 65
Tabel 4.10 Hasil Pengujian Autokorelasi Model Jangka Pendek ... 65
(13)
xi
Gambar 2.3 Inflasi Dalam Pandangan Klasik dan Monetaris ...26
Gambar 2.4 Model Penelitian ...38
Gambar 4.1 Inflasi Yogyakarta Tahun 2006-2015 Dalam Persen(%) ...53
Gambar 4.2 Kurs Rupiah Terhadap Dollar Tahun 2006-2015 ...54
Gambar 4.3 Suku Bunga (BI Rate) Tahun 2006-2015 ...55
(14)
(15)
(16)
(17)
the money supply on inflation in Yogyakarta. The study used secondary data with the monthly period of 2006 - 2015. The analysis tool used is Error Correction Model (ECM).
Based on the analysis that has been done shows that: 1) the rupiah exchange rate has no effect on inflation, on the model of long-term and short-term; 2) The interest rate BI positive effect on inflation, on the model of long-term and short-term; and 3) Money Supply (JUB) has no effect on inflation in Yogyakarta 2006-2015, on the model of long-term and short-term.
(18)
nilai tukar rupiah, dan jumlah uang beredar terhadap inflasi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian menggunakan data sekunder dengan periode bulanan tahun 2006 – 2015. Alat analisis yang digunakan adalah model Error Correction Model (ECM).
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa: 1) Kurs rupiah tidak berpengaruh terhadap inflasi, pada model jangka panjang dan jangka pendek; 2) Suku bunga BI berpengaruh positif terhadap inflasi, pada model jangka panjang dan jangka pendek; 3) Jumlah uang beredar (JUB) tidak berpengaruh terhadap inflasi di Yogyakarta tahun 2006 – 2015, pada model jangka panjang dan jangka pendek.
(19)
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Yogyakarta merupakan salah satu kota yang mempunyai tingkat perekonomian tinggi, dikarenakan banyaknya tempat wisata yang tersedia di kota Yogyakarta. Hal tersebut mampu mempengaruhi tinggi rendahnya pendapatan masyarakat setempat. Dengan tingginya pendapatan yang diperoleh, memudahkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Selain karena tempat wisatanya, masih banyak pula yang menjadi faktor tingginya pendapatan masyarakat suatu daerah termasuk di Yogyakarta.
Tingkat pendapatan masyarakat suatu daerah, merupakan salah satu faktor tinggi rendahnya tingkat konsumsi. Di sisi lain, tingkat konsumsi berpengaruh pada tinggi rendahnya inflasi. Karena, apabila tingkat konsumsi rendah maka tingkat harga pun ikut rendah, sementara jika tingkat konsumsi meningkat maka tingkat harga pun ikut naik. Apabila yang terjadi semakin tinggi tingkat harga sehingga nilai uang dalam negri bisa menurun. Oleh sebab itu, tingkat konsumsi perlu dikendalikan agar tingkat harga yang terjadi bisa stabil dan tidak terjadi deflasi maupun inflasi sekalipun.
Tahun 2016 ini di pusat kota Yogyakarta mulai diberlakukan larangan parkir liar, sebagai titik yang difokuskan pemberlakuan larangan tersebut berlokasi disekitar kawasan pusat perbelanjaan Malioboro. Banyaknya wisatawan
(20)
domestik maupun mancanegara yang datang ke pusat kota Yogyakarta membuat kantung-kantung parkir sekitar Malioboro tersedia dengan baik. Kantung-kantung parkir ini termasuk parkir liar dikarenakan hanya dikelola oleh masyarakat setempat yang belum tentu mendapat izin resmi dari pemerintah.
Namun, dengan adanya tempat-tempat parkir ini mampu menjadikan lahan pekerjaan bagi masyarakat dan dapat membantu perekonomian yang ditanggung tiap-tiap individu. Pendapatan yang didapat dari tempat-tempat parkir sepanjang jalan Malioboro cukup tinggi jika melihat peminat yang datang berkunjung. Konsumsi yang dibutuhkan oleh masyarakat pun akhirnya tercapai dengan adanya pendapatan yang tercukupi. Hal ini merupakan fakta yang terjadi dilapangan dan fakta tersebut bukan hanya terjadi selama satu ataupun dua tahun, melainkan bertahun-tahun lamanya bahwa sepanjang jalan Malioboro telah menjadi lahan pekerjaan bagi masyarkat dengan menyewakan lahannya sebagai tempat parkir pengunjung. Adanya fakta tersebut, mampu menggambarkan inflasi di kota Yogyakarta cukup tinggi.
Kini, semenjak pemerintah mengeluarkan peraturan baru untuk larangan parkir liar dan dianjurkan untuk parkir ditempat yang sudah disediakan oleh pemerintah maka yang terjadi para masyarakat yang selama ini mengelola tempat-tempat parkir pinggir jalan akhirnya menjadi kehilangan pekerjaannya. Tak jarang bagi mereka yang akhirnya menganggur selepas menjadi tukang
(21)
parkir. Tingkat pendapatan yang dicapai masyarakat pun ikut menurun, jika tingkat pendapatan turun maka tingkat konsumsi masyarakat pun ikut menurun.
Selain persoalan ekonomi mengenai parkir liar di pusat kota yang mulai dilarang oleh pemerintah meskipun bisa menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat setempat, di Yogyakarta yang juga banyak dialami kota-kota lain yaitu ketidakstabilan harga pangan ketika memasuki bulan puasa. Ketidaksatbilan harga ini banyak menimbulkan kerugian ekonomi pada daerah tersebut yang dalam hal ini yaitu Yogyakarta.
Dari ketidakstabilan harga pasar yang terjadi bisa mendorong terjadinya inflasi. Penyebab utamanya yaitu ketika banyak konsumen yang semakin terdesak oleh kebutuhan sementara harga terus naik, mau tidak mau para konsumen pun membeli keperluan mereka meskipun harga mahal sementara barang yang didapat pun belum tentu berkualitas baik. Ketika harga sudah mencapai batas maksimal akan sulit harga untuk kembali normal, oleh karenanya menjaga kestabilan harga itu penting agar tidak berdampak pada ekonomi.
Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang selalu menarik dibahas terutama berkaitan dengan dampaknya yang luas terhadap ekonomi makro, seperti pertumbuhan ekonomi, keseimbangan eksternal, daya saing, tingkat bunga, bahkan distribusi pendapatan. (Susanti dkk, 1995:41 dalam Nugroho)
(22)
Nilai inflasi akan sangat berpengaruh dalam suatu daerah, termasuk di Daerah Istimewa Yogyakarta. DIY termasuk salah satu dari sekian banyak provinsi besar di Indonesia. Provinsi DIY termasuk dalam daerah yang memiliki tingkat inflasi tinggi. Berikut data bulanan inflasi selama 2 tahun terakhir di DIY:
Tabel 1.1 Data Tingkat Inflasi Tahun 2014-2015
Tahun Bulan Inflasi Perkembangan (%)
2014 Januari 1,05 556,25
Februari 0,07 -93,33
Maret 0,14 100,00
April 0,43 207,14
Mei 0,05 -88,37
Juni 0,07 40,00
Juli 0,85 1114,29
Agustus 0,45 -47,06
September 0,49 8,89
Oktober 0,28 -42,86
November 1,13 303,57
Desember 1,76 55,75
2015 Januari 0,13 -92,61
Februari 0,40 207,69
Maret 0,15 -62,50
April 0,38 153,33
Mei 0,36 -5,26
Juni 0,35 -2,78
Juli 0,63 80,00
Agustus 0,33 -47,62
September 0,04 -87,88
Oktober 0,04 0,00
November 0,13 225,00
Desember 0,96 638,46
Sumber: Data Sekunder 2016
Dari data diatas dapat diketahui bahwa perekonomian di Yogyakarta cenderung kuat, karena inflasi yang terjadi setiap bulannya masih berada pada
(23)
titik aman meskipun banyak pula faktor yang mendukung menurunnya perekonomian di Yogyakarta.
Inflasi sangat dipengaruhi oleh keadaan jumlah uang beredarnya. Menurut Dornbusch (1991), dalam jangka pendek kenaikan pertumbuhan uang beredar akan berdampak pada kenaikan inflasi dan tingkat output,tetapi kenaikannya lebih rendah dari pertumbuhan uang beredar. Sementara dalam jangka panjang, biasanya laju pertumbuhan uang bersifat konstan, ekspektasi telah disesuaikan dengan inflasi aktual dan output sehingga dapat dikatakan bahwa tanpa adanya penambahan uang beredar, inflasi tidak akan terjadi.
N. Gregory Mankiw berpendapat bahwa tingkat suku bunga juga menjadi salah satu sehat atau tidaknya kondisi perekonomian suatu daerah. Tingkat suku bunga yang tinggi akan mendorong investor untuk menanamkan dana di bank dibanding menginvestasikannya pada sektor industry yang beresiko lebih besar sehingga, inflasi dapat dikendalikan. Sebaliknya ketika tingkat suku bunga turun, masyarakat lebih cenderung memegang uang dari pada menabung di bank yang menyebabkan uang beredar bertambah. Hal ini dapat menyebabkan harga barang meningkat (N. Gregory Mankiw, 2012)
Tingkat bunga dalam perekonomian dibedakan menjadi dua yaitu, tingkat bunga nominal dan tingkat bunga riil. Tingkat bunga nominal (yang tidak memperhitungkan inflasi) merupakan tingkat bunga yang dibayar bank.
(24)
Sementara tingkat bunga riil (yang memperhitungkan inflasi) adalah perbedaan diantara tingkat bunga nominal dan tingkat inflasi. Keterkaitan antara inflasi dan tingkat bunga diketahui dengan baik oleh perusahaan-perusahaan investasi Wall Street. Karena harga obligasi bergerak berkebalikan dengan tingkat bunga, seseorang bisa kaya dengan memprediksi dengan benar ke mana tingkat bunga bergerak. Banyak perusahaan wall Street memperkerjakan para pengamat Fed untuk memantau kebijakan moneter dan berita-berita tentang inflasi untuk mengantisipasi perubahan dalam tingkat bunga. Jenis tingkat bunga dapat berbeda karena tiga hal :
1. Jangka waktu pinjaman. Beberapa jenis pinjaman memiliki jangka waktu pendek, bahkan ada yang berjangka semalam. Pinjaman lain memiliki jangka waktu tiga puluh tahun atau bahkan lebih panjang dari itu. Tingkat bunga pinjaman tergantung pada jangka waktu pinjaman ini. Tingkat bunga pinjaman jangka panjang biasanya, namun tidak selalu, lebih tinggi dari pada tingkat bunga pinjaman jangka pendek.
2. Risiko kredit. Dalam memutuskan pemberian pinjaman, seorang pemberi pinjaman harus memperhitungkan probabilitas peminjam untuk membayar kembali pinjamannya. Undang-undang memungkinkan peminjam untuk tidak membayar pinjamannya jika ia dinyatakan bangkrut. Semakin tinggi probabilitas ketidakmampuan membayar kembali pinjaman, maka semakin tinggi bunganya. Risiko kredit paling aman adalah pemerintah, sehingga
(25)
obligasi yang dikeluarkan pemerintah cenderung memberikan tingkat bunga yang rendah. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan yang memiliki keuangan yang kurang kuat dapat mengumpulkan dana hanya melalui penerbitan obligasi-obligasi kelas bawah (junk bonds). Junk bond memberikan tingkat bunga yang sangat tinggi untuk mengkompensasi tingginya risiko pembayaran kembali.
3. Pajak. Pajak yang dikenakan pada tingkat berbagai jenis obligasi berbeda-beda. Pada obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah pusat dan daerah yang dinamakan municipal bonds, para pemegang obligasi tidak membayar pajak penghasilan federal untuk tingkat bunga yang diperolehnya. Karena keuntungan pajak ini, municipal bonds hanya memberikan tingkat bunga yang rendah
Tingkat suku bunga di Indonesia termasuk penentu besarnya tingkat inflasi di berbagai daerah. Antara tingkat suku bunga dengan inflasi berhubungan negatif karena inflasi menjadi turun. Masyarakat akan cenderung akan menabungkan uangnya di bank, sehingga yang terjadi jumlah uang beredar di masyarakat pun turun yang membuat inflasi dapat ditekan karena jumlah uang beredar merupakan salah satu indikator naik turunnya inflasi.
(26)
Tabel 1.2 Data Tingkat Suku Bunga Indonesia Tahun 2014-2015
Tahun Bulan Suku Bunga BI Perkembangan(%)
2014 Januari 7,50 0,00
Februaru 7,50 0,00
Maret 7,50 0,00
April 7,50 0,00
Mei 7,50 0,00
Juni 7,50 0,00
Juli 7,50 0,00
Agustus 7,50 0,00
September 7,50 0,00
November 7,75 3,33
Desember 7,75 0,00
2015 Januari 7,75 0,00
Februari 7,50 -3,23
Maret 7,50 0,00
April 7,50 0,00
Mei 7,50 0,00
Juni 7,50 0,00
Juli 7,50 0,00
Agustus 7,50 0,00
September 7,50 0,00
Oktober 7,50 0,00
November 7,50 0,00
Desember 7,50 0,00
Sumber: Data Sekunder 2016
Kebijakan ekonomi makro nasional yang dijalankan secara konsisten dan hati-hati mampu menahan tekanan terhadap rupiah. Kecenderungan penguatan nilai tukar rupiah terhadap dollar disebabkan oleh masuknya kembali investor asing di pasar domestik sejalan dengan menguatnya optimisme terhadap segera pulihnya perekonomian global.
(27)
Tabel 1.3 Data Kurs Rupiah Terhadap Dollar Tahun 2014-2015
Tahun Bulan Kurs Perkembangan(%)
2014 Januari 12118,75 0,77
Februari 11875,45 -2,01
Maret 11369,95 -4,26
April 11833,14 4,07
Mei 11468,17 -3,08
Juni 11378,55 -0,78
Juli 11630,61 2,22
Agustus 11648,10 0,15
September 11831,18 1,57
Oktober 12084,17 2,14
November 12097,35 0,11
Desember 12376,10 2,30
2015 Januari 12516,24 1,13
Februari 12686,16 1,36
Maret 13001,55 2,49
April 12882,90 -0,91
Mei 13074,79 1,49
Juli 13307,79 0,46
Agustus 13712,80 3,04
September 14324,19 4,46
Oktober 13726,95 -4,17
November 13604,19 -0,89
Desember 13785,45 1,33
Sumber: Data Sekunder 2016
Tabel diatas menunjukkan perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika (US$). Dari tahun 2014-2015 sebagai sample yang digunakan untuk 10 tahun terakhir. Selama 2 tahun tersebut terlihat bahwa nilai tukar yang dialami Indonesia sangat kuat, menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dollar didukung oleh kondisi ekonomi global yang kondusif dan fundamental ekonomi domestik yang cukup baik. Menguat atau melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata
(28)
uang dollar juga akan mempengaruhi besaran pendapatan negara maupun belanja negara.
Faktor lain yang mempengaruhi inflasi di Yogyakarta yaitu jumlah uang beredar. Tinggi rendahnya jumlah uang beredar sangat menentukan inflasi Yogyakarta. Pada bulan Desember 2015 jumlah M2 tumbuh melambat. M2
tercatat sebesar Rp 4.546,7 triliun atau tumbuh 8,9% (yoy). Perlambatan pertumbuhan M2 tersebut terutama bersumber dari melambatnya pertumbuhan
uang kuasai. Namun demikian, perlambatan pertumbuhan M2 tersebut tertahan
oleh M1 yang mengalami peningkatan pada bulan Desember 2015.
Posisi uang kuasai pada akhir Desember 2015 tercatat sebesar Rp 3.478,1 triliun tumbuh melambat dari 9,3% (yoy) pada November 2015 menjadi 8,4% (yoy) pada Desember 2015. Perlambatan tersebut didorong oleh melambatnya pertumbuhan simpanan berjangka valas dan rupiah, tabungan valas dan giro valas.
Di sisi lain, posisi M1 pada akhir Desember 2015 tercatat sebesar Rp 1.055,3
triliun atau tumbuh meningkat menjadi 12,0% (yoy) di banding bulan sebelumnya (10,0% yoy). Peningkatan tersebut ditopang oleh peningkatan pertumbuhan uang kartal sebagai respons dari tingginya permintaan uang kartal masyarakat pada akhir tahun terkait libur natal dan tahun baru.
(29)
Tabel 1.4 Tingkat Jumlah Uang Beredar Tahun 2014-2015 Tahun Bulan Tingkat JUB (M2) Perkembangan
2014 Januari 3652349 -36,26
Februari 3635060 -0,47
Maret 3652531 0,48
April 3721882 1,90
Mei 3780955 1,59
Juni 3857962 2,04
Juli 3887407 0,76
Agustus 3886520 -0,02
September 4010147 3,18
Oktober 4024489 0,36
November 4076670 1,30
Desember 4173327 2,37
2015 Januari 4174826 0,04
Februari 4218123 1,04
Maret 4246361 0,67
April 4275711 0,69
Mei 4288369 0,30
Juni 4358208 1,63
Juli 4373208 0,34
Agustus 4404085 0,71
September 4508603 2,37
Oktober 4443078 -1,45
November 4452325 0,21
Desember 4546743 2,12
Sumber: Data Sekunder 2016
Perlambatan M2 terutama dipengaruhi oleh melambatnya tagihan bersih kepada pemerintah pusat. Posisi tagihan bersih kepada pemerintah pusat tercatat sebesar Rp 491,3 triliun, turun dibandingkan posisi per November 2015 sebesar Rp 520,9 triliun. Hal ini sejalan dengan meningkatnya simpanan pemerintah di Bank Indonesia terkait penerbitan global bond sebesar USD 3,5 juta yang dilakukan pemerintah dalam rangka prefunding APBN 2016. Dana penerbitan
(30)
global bond tersebut per akhir Desember 2015 masih tersimpan di Bank Sentral sebagai kewajiban pada pemerintah pusat.
Berdasarkan pembahasan diatas, inflasi sudah menjadi permasalahan perekonomian dari sejak lama. Sehingga membuat peneliti tertarik untuk meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat inflasi di Yogyakarta selama 10 tahun terakhir yang disajikan dengan data bulanan dengan judul “Analisis Faktor -Faktor Yang Mempengaruhi Inflasi di Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2006-2015”
B. BATASAN MASALAH
Batasan masalah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1. Inflasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu inflasi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
2. Data inflasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dari bulan Januari tahun 2006- bulan Desember tahun 2015.
3. Data jumlah uang beredar yang digunakan dalam penelitian ini yaitu jumlah uang beredar dalam arti luas (M2).
C. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pengaruh suku bunga (BI Rate) terhadap inflasi di Daerah Istimewa Yogyakarta?
(31)
2. Bagaimana pengaruh nilai tukar rupiah terhadap inflasi di Daerah Istimewa Yogyakarta?
3. Bagaimana pengaruh Jumlah Uang Beredar (M2) terhadap inflasi di Daerah
Istimewa Yogyakarta? D. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui pengaruh tingkat suku bunga terhadap inflasi di Daerah Istimewa Yogyakarta.
2. Untuk mengetahui pengaruh nilai tukar terhadap inflasi di Daerah Istimewa Yogyakarta.
3. Untuk mengetahui jumlah uang beredar (M2) terhadap inflasi di Daerah
Istimewa Yogyakarta. E. MANFAAT PENULISAN
1. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menambah pengetahuan mengenai inflasi yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
2. Bagi akademik, penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi peneliti selanjutnya yang juga ingin membahas mengenai inflasi.
3. Bagi pemerintah dan instansi-instansi terkait. Penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk pengendalian inflasi di Daerah Istimewa Yogyakarta kedepannya
(32)
14 1. Inflasi
Salah satu indikator ekonomi makro guna melihat stabilitas perekonomian suatu daerah adalah inflasi. Dalam perspektif ekonomi, inflasi merupakan fenomena moneter pada suatu daerah dimana naik turunnya inflasi cenderung mengakibatkan terjadinya gejolak ekonomi karena inflasi berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, neraca perdagangan internasional, nilai utang piutang antar Negara maupun daerah, tingkat suku bunga, tabungan domestik, pengangguran dan kesejahteraan masyarakat (Endri, 2008)
Ahli-ahli ekonom mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai inflasi, namun tetap pada intinya yaitu kenaikan harga-harga yang cenderung naik secara terus-menerus.Inflasi merupakan kecenderungan meningkatnya harga secara terus menerus, Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut sebagai inflasi,kecuali kenaikan tersebut meluas kepada (mengakibatkan kenaikan) sebagian besar dari harga barang-barang lain (N. Gregory Mankiw, 2007).
Inflasi adalah kenaikan harga barang dan jasa secara umum dimana barang dan jasa tersebut merupakan kebutuhan pokok masyarakat atau turunnya daya jual mata uang suatu Negara (www.bps.go.id). Boediono (1985) menambahkan bahwa kenaikan harga-harga disebabkan oleh faktor-faktor
(33)
musiman (misal menjelang hari-hari besar), atau yang terjadi sekali saja (dan tidak mempunyai pengaruh lanjutan) tidak disebut inflasi.
Inflasi merupakan keadaan yang mengindikasikan semakin melemahnya daya beli yang diikuti dengan semakin merosotnya nilai riil mata uang suatu daerah.Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang tidak pernah basi dalam sejarah panjang ekonomi.Karena dampaknya yang amat luas dalam perekonomian makro maka inflasi selalu jadi pembahasan yang krusial. Inflasi yang tinggi akan menyebabkan memburuknya distribusi pendapatan, menambah angka kemiskinan, mengurangi tabungan domestic, menyebabkan deficit neraca perdagangan, menggelembungkan besaran hutang luar negri serta mampu menimbulkan ketidakstabilan politik (Nugroho, 2012).
Inflasi adalah kemerosotan nilai uang kertas karena banyaknya dan cepatnya uang beredar sehingga menyebabkan naiknya harga barang-barang (Kamus Besar Bahasa Indonesia,2002). N.Gregory Mankiw (2012) kembali menjelaskan bahwa penyebab utama terjadinya inflasi adalah hanya pertumbuhan dalam jumlah uang. Ketika bank sentral mencetak uang dalam jumlah besar,nilai uang menurun dengan cepat. Untuk mempertahankan kesatabilan harga, bank sentral harus mempertahankan kendali yang ketat pada jumlah uang beredar.
Menurut teori uang klasik, perubahan dalam tingkat harga keseluruhan adalah seperti perubahan unit-unit ukuran karena sesungguhnya kesejahteraan ekonomi masyarakat bergantung pada harga relatif, bukan seluruh tingkat
(34)
harga.Jadi secara umum, dapat dikatakan bahwa inflasi merupakan suatu keadaan dimana terjadi peningkatan harga-harga pada umumnya secara terus menerus atau suatu keadaan dimana terjadi penurunan nilai uang.
Samuelson (1989) berpendapat jika tingkat inflasi dapat ditentukan dengan menghitung selisih tingkat harga tahun tertentu dengan tingkat harga tahun sebelumnya dan dibandingkan dengan tingkat harga tahun ini dan dikalikan dengan seratus persen.
Inflasi yang terjadi pada suatu daerah tidak terbentuk dengan sendirinya, ada beberapa hal yang dapat menyebabkan inflasi.Tiga teori pembentukan inflasi yaitu ekspetasi inflasi, inflasi dari sisi permintaan (demand-pull inflation) dan inflasi dari sisi penawaran (cost-pull inflation) (Hutabarat, 2005).Ekspetasi inflasi adalah determinan inflasi yang berperan penting secara subyektif dalam pembentukan harga dan upah. Inflasi permintaan atau demand pull inflation merupakan inflasi yang dipicu oleh adanya interaksi permintaan dan penawaran domestik pada jangka panjang, sementara inflasi penawaran atau cost-pull inflation merupakan jenis inflasi yang disebabkan oleh tingkat penawaran yang lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat permintaan. Penawaran yang rendah disebabkan oleh adanya kenaikan ada biaya produksi sehingga mengakibatkan produsen harus mengurangi produksinya sampai jumlah tertentu atau menaikkan harga barang (Ardiyan, 2015).
Menurut N.Gregory Mankiw (2012) berdasarkan sifatnya, inflasi dibagimenjadi empat kategori utama yaitu:
(35)
1. Inflasi rendah (Galloping Inflation) yaitu inflasi yang besarnya kurang dari 10%
2. Inflasi menengah (Galloping Inflation) besarnya antara 10-30% per tahun. Inflasi ini biasanya ditandai oleh naiknya harga-harga secara cepat dan relative besar. Angka inflasi pada kondisi seperti ini biasa disebut inflasi dua digit.
3. Inflasi berat (High Inflation), yaitu inflasi yang besarnya antara 30-100% per tahun. Dalam kondisi seperti ini harga-harga secara umum naik dan berubah.
4. Inflasi sangat tinggi (Hyper Inflation), yaitu inflasi yang ditandai oleh naiknya harga secara drastis hingga mencapai empat digit (di atas 100%). Pada kondisi ini masyarakat tidak ingin lagi menyimpan uang, karena nilainya merosot sangat tajam yang pada akhirnya lebih baik ditukarkan dengan barang.
Inflasi dilihat dari penyebabnya, yaitu: 1. Demand Pull Inflation.
Inflasi ini timbul karena adanya permintaan keseluruhan yang tinggi di satu pihak. Pada pihak lain, kondisi produksi telah mencapai kesempatan kerja penuh (full employment), akibatnya adalah sesuai dengan hukum permintaan, bila permintaan banyak sementara penawaran tetap, maka harga akan naik.
(36)
P
S
0 Q(unit)
Gambar 1.1: Kurva Demand Pull Inflation
Sebagai contoh kasus pada demand pull inflation yaitu ketika mendekati hari raya Idul Fitri, masyarakat berbondong-bondong ke pasar atau supermarket untuk membeli kue lebaran. Saat sebelum lebaran tiba harga kue di pasaran di banderol Rp 20.000,00. Karena pedagang mengambil kesempatan itu untuk memperoleh laba yang lebih tinggi, maka para pedagang menaikkan menjadi Rp 30.000,00 dan menambah pasokan barang yang dijual. Mau tidak mau pun pembeli menyetujui harga yang diberikan oleh penjual meskipun harganya menjadi lebih tinggi.
2. Cost push inflation
Merupakan jenis inflasi yang disebabkan oleh kenaikan biaya-biaya produksi. Ada beberapa hal yang menyebabkan biaya produksi naikyang akhirnya menimbulkan inflasi. Karena kenaikan biaya produksi yang disebabkan oleh beberapa faktor akan menyebabkan kurva penawaran
(37)
bergeser dari ke . Hal ini akan berakibat pada naiknya harga dari ke dan menurunkan jumlah produksi dari ke
P
D 0 Q
Gambar 1.2: Kurva Cost Push Inflation
Contoh kasus yang terjadi di Magetan yang banyak perajin bahan baku kulit. Bahwa, ketika harga kulit naik, maka ongkos produksi sepatu, tas dan lain sebagainya juga akan mengalami kenaikan. Keadaan seperti ini disebut inflasi. Agar perajin tidak merugi, mereka akan menaikkan harga jual produknya. Perajin juga akan mengurangi jumlah produk yang dihasilkan, karena takut dengan harga tinggi yang bisa menyebabkan konsumen jadi enggan untuk membeli. Jika ini dibiarkan terus terjadi, maka perajin mengurangi beban untuk produksi, mereka akan berfikir untuk mengurangi jumlah karyawannya dan seterusnya.
Cost push inflation dapat terjadi karena dua hal yaitu, kenaikan harga (baik faktor produksi maupun harga barang lain) disebut Price Push Inflation dan permintaan kenaikan upah atau gaji karyawan (Wage Push Inflation)
(38)
Inflasi dibagi menjadi dua jika dilihat dari asalnya yaitu:
1) Inflasi yang berasal dari dalam negri (domestic inflation) yang timbul karena terjadinya deficit dalam pembiayaan dan belanja Negara. Untuk mengatasinya biasanya pemerintah menciptakan uang baru.
2) Inflasi yang berasal dari luar negeri. Karena Negara-negara menjadi mitra dagang suatu Negara mengalami inflasi yang tinggi, dapatlah diketahui bahwa harga barang-barang dan juga ongkos produksi lumayan mahal, sehingga bila terpaksanegara lain harus mengimpor barang tersebut maka harga jualnya didalam negeri tentu saja bertambah mahal.
Menurut Gilarso (1992) ada tiga jenis inflasi, yaitu:
1) Inflasi yang disebabkan karena kelebihan permintaan efektif: pembelanjaan masyarakat (C+I+G+Xn)terlalu besar (atau naik terlalu cepat), sehingga tidak dapat dilayani oleh kapasitas produksi. Inflasi yang timbul karena permintaan masyarakat ini disebut demand-pull inflation. Masyarakat konsumen, para produsen,pemerintah dan luar negri bersama-sama mau membeli lebih banyak barang dan jasa daripada yang dapat disediakan dengan kapasitas produksi yang ada. Karena permintaan yang berlebihan itu, keseimbangan antara supply dan demand terganggu, sehingga harga-harga naik. Permintaan masyarakat ini didukung oleh (dan berasal dari) uang atau kredit yang disediakan oleh dunia perbankan, tetapi dapat juga dari uang tabungan yang
(39)
diaktifkan kembali tanpa adanya tambahan uang/kredit oleh dunia perbankan.
2) Inflasi yang disebabkan karena kenaikan biaya produksi. Jenis inflasi ini disebut cost-push inflation. Kenaikan biaya produksi mendorong harga-harga keatas. Jenis inflasi ini dibedakan menjadi dua macam:
Karena kenaikan harga bahan-bahan baku seperti minyak tanah (OPEC menaikkan harga minyak).
Karena kenaikan upah/gaji. Misalnya karena kenaikkan gaji pegawai negeri, yang diikuti oleh usaha-usaha swasta pula, maka harga-harga lainnya segera ikut naik.
Jenis inflasi ini merupakan jenis inflasi yang paling ditakuti, karena
menimbulkan ‘spiral upah-harga’ karena upah naik, harga-harga pun naik; dan karena harga naik, upah juga harus dinaikkan, demikian seterusnya. Lebih-lebih jika kenaikan harga barang-barang kebutuhan hidup pokok dijadikan pertimbangan utama dalam tuntutan kenaikan upah, maka terjadilah suatu ‘jembatan
penghubung’ antara harga dan upah, antara harga hasil pertanian
dan harga barang-barang industri yang akan mengobarkan inflasi dan sekaligus menghambat usaha untuk meningkatkan pendapatan dan daya beli kaum petani. Ekonomi indonesia sering disebut ‘high
cost economy’ karena biaya produksi relatif mahal dibandingkan
(40)
in-efesiensi dan birokrasi yang masih menjadi ciri perusahaan-perusahaan kita.
3) Inflasi karena tertular oleh pihak luar negeri. Jenis inflasi ini banyak dialami oleh negara-negara sedang berkembang yang sebagian besar dari usaha produksinya di hampir semua sektor industri mempergunakan bahan dan alat yang masih harus diimpor dari luar negeri. Misalnya inflasi di Jepang terpaksa diimpor ke Indonesia karena bahan cat, bahan foto, kendaraan dan bahan apa saja yang berasal dari sana mengandung inflasi itu. Jenis inflasi ini dapat disebut imported inflation.
Repotnya dengan inflasi ialah, bahwa ketiga jenis inflasi tersebut biasanya saling mendorong dan saling memperkuat. Sekali orang menyadari adanya inflasi, mereka akan bertindak sedemikian rupa hingga justru memperkuat inflasi yang sudah ada.
- Karena harga-harga naik, para pedagang cenderung menyimpan barangnya menunggu sampai harga naik lebih tinggi lagi; ini menyebabkan peredaran barang berkurang dan akibatnya harga-harga akan naik.
- Karena harga-harga naik, para pengusaha akan mengikuti gerakan harga untuk mempertahankan/meningkatkan pendapatan dan labanya dengan menaikkan harga jualnya.
(41)
- Karena harga-harga naik, masyarakat cenderung segera membeli barang (sebelum harga naik lagi), sehingga permintaan akan barang naik dan harga-harga justru akan naik lagi.
- Karena kaitan akan barang yang satu dengan barang yang lain, kenaikan harga barang yang satu akan mendorong harga barang-barang lain keatas pula. Selain kaitan harga, hal inijuga bisa disebabkan oleh semangatikut menaikkan harga.
Di sisi lain terdapat sebab-sebab timbulnya inflasi menurut pandangan kaum klasik dan kamu monetaris (Muana Nanga, edisi perdana). Teori klasik tentang inflasi dapat dianalisis dalam kerangka teori kuantitas uang dengan menggunakan persamaan pertukaran (equation of exchange), MV=PY. Persamaan pertukaran tersebut dapat ditulis kembali dimana masing-masing peubah dalam persamaan tersebut dinyatakan sebagai presentase perubahan sepanjang waktu sebagai berikut:
�� �� + � V = � P + � Y...1.1
Dengan menempatkan inflasi sebelah kiri, maka persamaan 1.1 diatas dapat ditulis kembali sebagai berikut:
Δ� P = Δ�� �� − Δ� Y + Δ� �...1.2
(42)
Dimana Δ�
�= tingkat inflasi, ��
��= pertumbuhan jumlah uang beredar, �
�= presentase perubahan didalam kecepatan perputaran uang, dan Δ�
Y= laju pertumbuhan output.
Persamaan 1.2 tersebut diatas bisa digunakan untuk mengetahui sumber inflasi, dimana berdasarkan persamaan tersebut inflasi adalah disebabkan oleh pertumbuhan jumlah uang beredar, pertumbuhan output, dan perubahan dalam kecepatan perputaran uang. Karena kaum Klasik mengasumsikan kecepatan perputaran uang (V) itu adalah konstan, yang berarti Δ�
�=0, maka persamaan 1.2 tersebut akan menjadi seperti berikut:
Δ� �= Δ�� �� − Δ� Y...1.3
Persamaan 1.3 menyatakan bahwa tingkat inflasi adalah sama dengan pertumbuhan jumlah uang beredar dikurangi pertumbuhan output. Kaum Klasik mengasumsikan bahwa perekonomian berada dalam tingkat kesempatan kerja penuh (full employment), yang berarti peubah Y dalam persamaan pertukaran adalah tetap. Dengan asumsi V dan Y yang tetap, maka kaum Klasik lebih jauh mengatakan bahwa kenaikan di dalam jumlah uang beredar (��) akan menyebabkan perubahan yang proporsional dalam peubah tingkat harga (P). Dengan demikian penyebab utama timbulnya inflasi atau kenaikan harga menurut kaum Klasik adalah karena kenaikan atau pertumbuhan jumlah uang beredar. Dengan perkataan lain, inflasi menurut mereka menurut gejala atau fenomena moneter.
(43)
Hal yang senada juga dikemukakan oleh kaum Monetaris yang mengklaim bahwa inflasi itu sebagai fenomena moneter dan bahwa peubah kecepatan perputaran uang (V) itu adalah stabil atau konstan. Tetapi kaum Monetaris berbeda dengan kaum Klasik dimana mereka mengatakan bahwa pertumbuhan jumlah uang beredar tersebut, juga berpengaruh terhadap tingkat harga (P) sebagaimana dikemukakan oleh kaum Klasik.
Pandangan kaum Klasikdan Monetaris tentang inflasi tersebut diatas, secara grafik dapat dijelaskan dengan menggunakan gambar 1.1. Pada gambar tersebut ditunjukkan bahwa ketika belum terjadi ekspansi moneter atau kenaikan jumlah uang beredar, posisi keseimbangan berada pada titik � yaitu titik perpotongan antara kurva permintaan agregat dan kurva penawaran agregat jangka pendek; dan tingkat harga pada �. Setelah terjadi kenaikan jumlah uang beredar, maka kurva permintaan agregat bergeser dari � � menjadi � dan titik keseimbangan bergeser dari titik � ke titik . Pada titik keseimbangan yang baru tingkat output di dalam perekonomian berada di atas tingkat output alamiah dan sebagai akibatnya tingkat pengangguran akan turun dan berada dibawah tingkat alamiah. Turunnya tingkat pengangguran mendorong tingkat upah di dalam perekonomian naik, dan hal ini selanjutnya akan mendorong kurva penawaran agregat jangka pendek (SRAS) bergeser dari � � ke � . Dengan bergesernya kurva SRAS tersebut akan menyebabkan titik keseimbangan yang baru berada di titik , dan tingkat harga (P) naik dari ke , sementara output kembali pada tingkat alamiah.
(44)
Ekspansi moneter lebih lanjut akan menyebabkan tingkat inflasi harga mencapai . Seperti yang digambarkan pada kurva berikut:
Tingkat Harga (P) LRAS SRAS2
P2 E4SRAS1SRAS0
P1 E2 AD2
P0 E0 AD1
AD0
0 Yn Y Output (Y)
Gambar 1.3: Inflasi dalam Pandangan Klasik dan Monetaris
Akibat-akibat inflasi
1. Dalam masa inflasi, masyarakat cenderung enggan menabung, dan juga enggan memegang uang kas, sebab nilai riil uang terus merosot. Masyarakat lebih suka menyimpan kekayaannya dalam bentuk barang. Keadaan demikian akan mendorong timbulnya spekulasi perdagangan dan dapat menciptakan inflasi yang jauh lebih hebat.
2. Adanya kenaikan harga umum juga akan menyebabkan harga-harga barang ekspor menjadi mahal, sehingga barang-barang ekspor kita sulit bersaing di pasar internasional. Sebaliknya impor relatif murah, yang mendorong untuk memperbesar impor; hal ini
(45)
memberatkan neraca pembayaran dan merugikan produsen dalam negeri.
3. Inflasi menyebabkan nilai riil uang merosot: akibatnya orang yang berpendapatan tetap (nilai nominalnya tetap, seperti gaji pegawai negeri), daya belinya terus merosot. Demikian pula orang yang meminjamkan uang akan dirugikan, sebab pada saat jatuh tempo mereka akan menerima kembali uang mereka dengan nilai riil yang lebih rendah. Bila kerugian ini mau diimbangi dengan bunga, maka suku bunga yang menjadi lebih tinggi.
4. Dalam masa inflasi kenaikan harga untuk bermacam-macam barang tidak berjalan dengan laju yang sama. Hal ini menguntungkan bagi pihak-pihak yang memiliki faktor produksi atau barang yang mengalami kenaikan harga paling tinggi. Dalam keadaan inflasi, mereka yang mempunyai kekayaan lebih banyak akan jauh lebih bisa bertahan daripada mereka yang miskin. Yang kaya menjadi lebih kaya, sementara yang miskin akan makin miskin. Dengan demikian inflasi dapat memperburuk distribusi pendapatan diantara warga masyarakat dan menjauhkan tercapainya keadilan sosial seperti yang telah dicita-citakan.
Venieris dan Sebold (1978: 603), mendefinisikan inflasi sebagai suatu kecenderungan meningkatnya tingkat harga umum secara terus menerus sepanjang waktu (a sustained tendency for the general level of prices to rise over time). Berdasarkan definisi tersebut, kenaikan tingkat harga umum
(46)
(general price level) yang terjadi sekali waktu saja, tidaklah dapat dikatakan sebagai inflasi. Dari penjelasan tersebut, setidaknya ada tiga hal penting, yaitu:
Adanya kecenderungan harga-harga untuk meningkat, yang berarti bisa saja tingkat harga yang terjadi pada waktu tertentu turun atau naik dibandingkan dengan sebelumnya, tetapi tetap menunjukkan tendensi yang meningkat.
Bahwa kenaikan tingkat harga tersebut berlangsung secara terus menerus, yang berarti bukan terjadi pada suatu waktu saja, akan tetapi bisa beberapa waktu lamanya.
Bahwa tingkat harga yang dimaksud disini adalah tingkat harga umum, yang berarti tingkat harga yang mengalami kenaikan itu bukan hanya pada satu atau beberapa komoditi saja, akan tetapi untuk harga barang secara umum.
2 Tingkat Suku Bunga
Menurut Samuelson (1989) suku bunga merupakan pembayaran yang dilakukan untuk penggunaan uang.Tingkat suku bunga adalah jumlah uang yang dibayarkan per unit waktu. Dengan kata lain. Masyarakat harus membayar biaya untuk meminjam uang. Boediono (1996) menambahkan tingkat suku bunga adalah harga yang harus di bayar apabila terjadi pertukaran antara satu Rupiah sekarang dan satu Rupiah nanti. Adanya kenaikan tingkat suku bunga yang tidak wajar akan menyulitkan dunia usaha
(47)
untuk membayar beban bunga dan kewajiban, karena suku bunga yang tinggi akan menambah beban bagi perusahaan sehingga secara langsung akan mengurangi profit perusahaan.
Tingkat suku bunga menurut Keynes adalah harga yang dikeluarkan debitur untuk mendorong seorang kreditur memindahkan sumber daya langka (uang) mereka, akan tetapi uang yang dikeluarkan debitur mempunyai kemungkinan adanya kerugian berupa resiko tidak diterimanya tingkat suku bunga tertentu. Tingkat suku bunga juga merupakan pembayaran bunga tahunan dari suatu pinjaman dalam bentuk presentase dari pinjaman yang diperoleh dari jumlah bunga yang diterima tiap tahunan dibagi dengan jumlah pinjaman. Menurut Keynes, sudah menjadi tugas bank sentral menciptakan kestabilan harga melalui kebijakan tingkat bunga yang selayaknya. Bank sentral mengatasi tingkat inflasi yang tinggi dengan menaikkan tingkat bunga. Dimana ketika tingkat harga tinggi yang diakibatkan oleh banyaknya jumlah uang beredar di masyarakat sehingga konsumsi masyarakat ikut naik, maka akan diantisipasi dengan penetapan tingkat suku bunga yang tinggi. Dengan tingginya tingkat suku bunga, maka jumlah uang beredar akan berkurang dan kenaikan harga dapat diatasi.
Sementara itu,pendapat ekonom Irving Fisher bahwa tingkat suku bunga di bagi menjadi dua yaitu suku bunga nominal merupakan suku bunga yang masih mengandung faktor inflasi, dan suku bunga riil yang merupakan suku bunga yang didapat dari keseimbangan antara permintaan dan penawaran pasar keuangan. Dengan kata lain, tingkat suku bunga riil merupakan selisih
(48)
dari tingkat suku bunga nominal dikurangi dengan laju inflasi yang terjadi pada periode yang sama.
Menurut N. Gregory Mankiw, dengan persamaan Fisher � = � + � yang meminta kita menambah tingkat bunga riil dengan tingkat inflasi untuk menentukan tingkat bunga nominal. Teori kuantitas uang menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan uang menentukan tingkat inflasi. Persamaan fisher dan teori kuantitas sama-sama menyatakan bagaimana pertumbuhan uang mempengaruhi tingkat bunga nominal. Menurut teori kuantitas, kenaikan dalam tingkat pertumbuhan uang sebesar 1 persen menyebabkan kenaikan 1 persen dalam tingkat inflasi. Menurut persamaan Fisher, kenaikan 1 persen dalam tingkat inflasi sebaliknya menyebabkan kenaikan 1 persen dalam tingkat bunga nominal. Hubungan satu-untuk-satu antara tingkat inflasi dan tingkat bunga nominal disebut efek Fisher.
3 Nilai Tukar
Nilai tukar merupakan sebuah perjanjian yang dikenal sebagai nilai tukar mata uang terhadap pembayaran saat kini atau di kemudian hari, antara dua mata uang masing-masing Negara atau wilayah (www.wikipedia.com).Suatu mata uang atau valuta terhadap mata uang atau valuta lainnya juga disebut dengan nilai tukar, nilai tukar bisa berubah-ubah tergantung dengan pergerakan pasar dan bisa juga disengaja oleh pemerintah.
Menurut Triyono (2008) nilai tukar adalah pertukaran antara dua mata uang yang berbeda, yaitu merupakan perbandingan nilai atau harga antara
(49)
kedua mata uang tersebut. Triyono (2008) juga berpendapat bahwa terdapat lima jenis system kurs utama yang berlaku, yaitu system kurs mengambang
(floating exchange rate), kurs tertambat merangkak (crawling pegs),
sekerangjang mata uang (basket of currencies), kurs tetap (fixed exchange rate).
Adapun definisi dari kelima jenis tersebut adalah:
1) Sistem kurs mengambang: Kurs ditentukan oleh mekanisme pasar dengan atau tanpa adanya campur tangan pemerintah dalam upaya stabilisasi melalui kebijkan moneter apabila terdapat campur tangan pemerintah maka system ini termasuk mengambang terkendali.
2) Sistem kurs tertambat: Suatu Negara menambatkan nilai mata uangnya dengan sesuatu atau sekelompok mata uang Negara lainnya yang merupakan Negara mitra dagang utama dari Negara yang bersangkutan, ini berarti mata uang Negara tersebut bergerak mengikuti mata uang dari Negara yang menjadi tambatannya.
3) Sistem kurs tertambat merangkak: Dimana Negara melakukan sedikit perubahan terhadap mata uangnya secara periodik dengan tujuan untuk bergerak ke arah suatu nilai tertentu dalam rentang waktu tertentu. Keuntungan utama dari sistem ini adalah Negara dapat mengukur penyelesaian kursnya dalam periode yang lebih lama jika dibanding dengan sistem kurs tertambat.
4) Sistem sekeranjang mata uang: Keuntungannya adalah sistem ini menawarkan stabilisasi mata uang suatu Negara karena pergerakan
(50)
mata uangnya disebar dalam sekeranjang mata uang. Mata uangyang dimasukkan dalam keranjang biasanya ditentukan oleh besarnya peranannya dalam membiayai perdagangan Negara tertentu.
5) Sistem kurs tetap: Dimana Negara menetapkan dan mengumumkan suatu kurs tertentu atas mata uangnya dan menjaga kurs dengan cara membeli atau menjual valas dalam jumlah yang tidak terbatas dalam kurs tersebut. Bagi Negara yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap sektor luar negeri maupun gangguan seperti sering mengalami gangguan alam, menetapkan kurs tetap merupakan suatu kebijakan yang beresiko tinggi.
Menurut N. Gregory Mankiw kurs dibedakan menjadi dua oleh para pengamat ekonom yaitu, kurs nominal dan kurs riil. Kurs nominal adalah harga relatif dari mata uang dua negara. Sementara, kurs riil adalah harga relatif dari barang-barang kedua negara. Yaitu, kurs riil menyatakan tingkat dimana kita bisa memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk barang-barang dari negara lain. Kurs riil diantara kedua negara dihitung dari kurs nominal dan tingkat harga di kedua negara. Jika kurs riil adalah tinggi, barang-barang dari luar negeri relatif murah, dan barang-barang domestik relatif mahal. Jika kurs riil adalah rendah, barang-barang luar negeri relatif mahal, dan barang-barang domestik relatif murah.
(51)
4 Jumlah Uang Beredar
Uang aset adalah stok aset yang dapat dipergunakan untuk keperluan transaksi (Herlambang, dkk. 2002:114).Uang adalah persediaan aset yang dapat dengan segera digunakan untuk transaksi (Mankiw, 2006:76).Uang beredar meliputi mata uang dalam peredaran, uang giral, uang kuasi. Uang kuasi terdiri dari deposito berjangka, tabungan dan rekening/ tabungan valas milik swasta domestik (Sukirno 2004:281)
Jumlah uang beredar adalah uang yang berada di masyarakat.Namun definisi ini terus berkembang seiring dengan berkembangnya perekonomian suatu negara. Jumlah Uang Beredar tidak lain merupakan penawaran uang (money supply). Dalam artian sempit JUB didefinisikan sebagai ��, yang merupakan jumlah uang kartal yang dipegang anggota masyarakat dan uang giral yang dimiliki oleh perseorangan pada bank-bank umum. Dengan demikian uang kartal yang disimpan dilemari besi bank dan bank sentral tidak termasuk uang kartal. Uang giral pun fungsinya sama seperti uang kartal, karena dapat dipergunakan untuk transaksi secara langsung oleh pemiliknya. Giro milik bank yang ada di bank lain tidak termasuk uang giral (Nopirin, 1998).
Meskipun secara umum dapat dikatakan bahwa jumlah uang beredar, dapat di tentukan secara langsung oleh bank sentral tanpa mempersoalkan tentang hubungannya dengan uang primer, namun pada kenyataannya JUB pada suatu periode merupakan hasil perilaku dari Bank Sentral, Bank Umum, masyarakat
(52)
secara bersama-sama. Faktor utama yang mempengaruhi jumlah uang beredar adalah cadangan minimum tetapi hasil seluruhnya terhadap jumlah uang masih tergantung pada sikap masyarakat. Jadi Bank Sentral tidak begitu mudah untuk mengatur JUB karena ada banyak faktor yang mempengaruhinya (Nopirin, 1992)
B. Penelitian Terdahulu
1. Mariam Rizki Ukhfuanni (2010) melakukan penelitian dengan judul
“Pengaruh Nilai Tukar Rupiah, Ekspor, Impor, dan Investasi Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Periode 2000.1-2009.4. Penelitian ini bertujuan untuk menguji bagaimana pengaruh nilai tukar rupiah, ekspor, impor, dan investasi terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Penelitian ini menggunakan variabel-variabel nilai tukar riil, ekspor, impor, investasi penanaman modal asing dan GDP. Data yang digunakan adalah data data time series kuartalan dari tahun 2000-2009. Menggunakan analisis kuantitatif dengan metode Vector Autorgression (VAR). Hasil penelitian ini adalah bahwa nilai tukar rupiah, ekspor, impor dan investasi berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
2. Primawan Wisda Nugroho (2012) melakukan penelitian yang berjudul
“Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia Periode 2000.1-2011.4.” Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menganalisa bagaimana pengaruh dari perubahan produk domestik bruto (PDB), suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI), jumlah uang beredar (JUB) dan
(53)
nilai tukar rupiah terhadap dollar (kurs) terhadap tingkat inflasi di Indonesia periode 2000.1-2011.4
3. Penelitian yang dilakukan oleh Heru Perlambang (2010) dengan judulnya
“Analisis Pengaruh Jumlah Uang Beredar, Suku Bunga SBI, Nilai Tukar
Terhadap Tingkat Inflasi” yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh
jumlah uang beredar, suku bunga SBI, nilai tukar rupiah terhadap tingkat inflasi. Data yang diperoleh dalam penelitian ini terdiri dari data sekunder. Data sekunder bersumber dari Bank Indonesia. Data tersebut memiliki fungsi sebagai ukuran dari masing-masing variabel. Variabel yang digunakan terdiri dari empat variabel yaitu: jumlah uang beredar (� ), suku bunga SBI (SBI rate), nilai tukar rupiah terhadap dollar (exchange rate) dan tingkat inflasi.
4. Penelitian terdahulu oleh Kurniawan Saputra (2013) dengan judulnya
“Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia Tahun 2007-2012. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh jumlah uang beredar, tingkat kurs rupiah, suku bunga, dan harga beras terhadap inflasi di Indonesia. Dalam penelitian ini menggunakan data time series, sementara metode yang digunakan adalah metode seleksi model ARCH/GARCH dengan membandingkan antara model yang satu dengan yang lain. Pemilihan model terbaik dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa kriteria, seperti nilai , nilai Adjusted , nilai AIC dan SIC, signifikansi dan deteksi penyimpangan asumsi klasik. Setelah melalui tahap seleksi, maka di putuskan untuk memilih model EGARCH-M 2.2
(54)
sebagai model terbaik. Hasil regresi EGARCH-M 2.2 (dengan memasukkan log variance ke dalam persamaan rata-rata) dan memasukkan harga beras ke dalam variance regressor, menunjukkan bahwa jumlah uang beredar, kurs, dan harga beras secara individual berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi di Indonesia. Sedangkan suku bunga berpengaruh positif dan tidak signifikan dalam mempengaruhi inflasi di Indonesia.
5. Istiqomah (2011) melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Investasi
dan Inflasi Terhadap Nilai Tukar Rupiah”. Nilai tukar didefinisikan
sebagai mata uang yang dapat ditukarkan dengan satu unit mata uang lain, atau merupakan harga dari suatu mata uang dengan mata uang lain. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh inflasi dan investasi terhadap nilai tukar rupiah di Indonesia, variabel yang digunakan adalah nilai tukar rupiah terhadap dollar AS (ER), inflasi, Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), Penanaman Modal Asing (PMA), dan juga variabel dummy crisis (DM) di Indonesia. Data yang digunakan pada penelitian ini yaitu data time series, yang bersumber dari Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik. Analisis dari penelitian ini menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square) pada program Eviews. Hasil dari penelitian ini menunjukkan inflasi, penanaman modal asing, dan dummy
krisisberpengaruh secara signifikan dan positif terhadap nilai tukar rupiah di Indonesia. Sedangkan, penanaman modal dalam negeri berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap nilai tukar rupiah di Indonesia.
(55)
6. Yuliarni Yunus melakukan penelitian dengan judul “Analisis Faktor -Faktor yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia Tahun 1998-2012”. Peneltian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series dari tahun 1998-2012. Variabel yang digunakan pada penelitian ini yaitu, inflasi, jumlah uang beredar, harga minyak dunia, subsidi BBM, dan tingkat suku bunga riil. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah uang beredar, harga minyak dunia, subsidi BBM, dan tingkat suku bunga secara simultan mempunyai pengaruh signifikan terhadap inflasi. Secara parsial, hanya jumlah uang beredar berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi, harga minyak dunia dan tingkat suku bunga riil berpengaruh negatif dan signifikan, sedangkan subsidi BBM tidak berpengaruh secara signifikan. Sebesar 93.9% variasi variabel independen dalam penelitian ini dapat menjelaskan variabel inflasi di Indonesia, sedangkan sisanya sebesar 6,1%, dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model estimasi.
C. Hipotesis
1. Diduga tingkat suku bunga berpengaruh positif terhadap inflasi bulan Januari tahun 2006- bulan Desember tahun 2015.
2. Diduga nilai tukar berpengaruh positif terhadap inflasi bulan Januari tahun 2006- bulan Desember tahun 2015.
(56)
3. Diduga jumlah uang beredar (M2) berpengaruh positif terhadap inflasi
bulan Januari tahun 2006- bulan Desember tahun 2015. D. Model Penelitian
Atas dasar pemikiran teoritis dan beberapa hasil penelitian terdahulu mengenai hubungan antara variabel independen (tingkat suku bunga, nilai tukar, dan indeks harga konsumen) dengan variabel dependen (inflasi), sebagaimana telah dijelaskan diatas maka faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat inflasi di Yogyakarta di gambarkan dengan pengembangan model sebagai berikut:
Gambar 2.4: Model Pemikiran Nilai Tukar
Tingkat Suku Bunga (BI RATE)
Jumlah Uang Beredar (M2)
(57)
39 A. Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Inflasi di kota Yogyakarta.
B. Jenis Data
Metode dasar penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Error
Corection model (ECM) atau Eror Koreksi Model.Data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data sekunder time series, yaitu data yang diperoleh dari instansi atau lembaga yang berhubungan dengan penelitian ini.Data sekunder yaitu data yang tidak langsung memberikan data kepada peneliti, dimana data ini diperoleh melalui literature yang dilakukan terhadap berbagai buku dan diperoleh berdasarkan catatan-catatan yang berhubungan dengan penelitian, (Sugiyono, 2005).
C. Teknik Pengumpulan Data
Metode Pengumpulan Data merupakan teknik atau cara yang dilakukan untuk mengumpulkan data. Metode menunjuk suatu cara sehingga dapat diperlihatkan penggunaannya melalui angket, wawancara, pengamatan, tes, dokumentasi dan sebagainya. Data yang digunakan dalam penelitian ini sepenuhnya diperoleh melalui studi pustaka sebagai metode pengumpulan
(58)
datanya, sehingga tidak menggunakan teknik sampling serta kueisioner dengan cara mencari bahan-bahan teori-teori pendukung penelitian serta data sekunder dari instansi terkait.
D. Definisi Operasional Variabel Penelitian
Variable penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2011 dalam Yudha, 2013). Adapun variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Variabel Terikat (dependen)
Variable Dependen yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut :
a. Inflasi
Inflasi adalah kenaikan harga-harga umum secara terus menerus selama dalam suatu periode tertentu.Sumber; Badan Pusat Statistik.Data inflasi dalam penelitian ini adalah data tingkat inflasi Indonesia tahun 1985-2014 yang dinyatakan dalam persen.
2. Variabel Bebas (Independen)
Variable bebas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Kurs
Nilai tukar (atau dikenal sebagai kurs) adalah sebuah perjanjian yang dikenal sebagai nilai tukar mata uang terhadap pembayaran saat kini
(59)
atau di kemudian hari, antara dua mata uang masing-masing Negara atau wilayah.
b. BI Rate
Bi rate adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh bank Indonesia dan diumumkan kepada publik (Bank Indonesia).
c. Jumlah Uang Beredar (JUB)
Jumlah Uang Beredar (JUB) adalah uang kartal yang dipegang masyarakat Yogyakarta dan uang giral (giro berdenominasi Rupiah), dan dinyatakan dalam miliar rupiah.
E. Uji Hipotesis dan Analisis Data
Untuk mengetahui analisis faktor kemiskinan Indonesia dengan variable yang mempengaruhinya, penelitian ini menggunakan Error Corection Model (ECM) atau Eror Koreksi Model.Analisis Error Corection Model (ECM) adalah model ekonometrika dinamis serta digunakan juga metode analisis deskiptif.Bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan jangka panjang dan jangka pendek yang terjasi karena adanya kointegrasi diantara variabel penelitian.Sebelum melakukan estimasi ECM dan analisis deskriptif, harus dilakukan beberapa tahap seperti uji stasioner data, menentukan panjang lag dan uji derajat kointegrasi.Setelah data di estimate menggunakan ECM, analisis dapat dilakukan dengan metode IRF dan variance decomposition.
(60)
1. Uji Model Dinamik
a. Akar Unit dan Derajat Integrasi
Uji akar unit digunakan untuk menguji stasionaritas data penelitian. Regresi yang menggunakan data time series yang tidak stasioner kemungkinan besar menghasilkan regresi lancung (spurious regression) (Widarjono, 2007). Apabila suatu data runtut waktu bersifat tidak stasioner, maka dapat dikatakan bahwa data tersebu tengah menghadapi persoalan akar unit (unit root problem) (Basuki, 2014). Uji akar unit dalam penelitian ini digunakan uji Augmented Dickey-Fuller (ADF). Menurut Widarjono (2007), persamaan yang digunakan dalam uji ini adalah sebagai berikut:
ΔYt = Yt-1 + Yt-1+1 + et ... (1) ΔYt= α0 + Yt-1 + Yt-1+1 + et ... (2) ΔYt= α0+ α1 T + Yt-1 + Yt-1+1 + et ... (3)
Keterangan:
Y = Variabel yang diamati
ΔYt = Yt– Yt-1
T = Trend waktu
Prosedur untuk menentukan apakah data stasioner atau tidak dengan cara membandingkan antara nilai statistik ADF dengan nilai kritisnya distribusi statistik Mackinnon. Nilai statistik ADF ditunjukkan oleh nilai t statistik koefisien Yt-1 pada persamaan (1)
(61)
kritisnya, maka data yang diamati menunjukkan stasioner dan jika sebaliknya nilai absolut statistik ADF lebih kecil dari nilai kritisnya maka data tidak stasioner (Widarjono, 2007).
Apabila pada uji akar unit tingkat level data runtut waktu yang diamati belum stasioner, maka langkah berikutnya adalah melakukan uji derajat integrasi untuk mengetahui pada derajat integrasi ke berapa data akan stasioner (Basuki, 2014).
b. Uji Kointegrasi
Uji kointegrasi digunakan untuk memberi indikasi awal bahwa model yang digunakan memiliki hubungan jangka panjang (cointegration relation) (Widarjono, 2007). Basuki (2014) menyatakan bahwa untuk melakukan uji kointegrasi, data yang digunakan harus berintegrasi pada derajat yang sama. Uji kointegrasi dalam penelitian ini digunakan uji sering dipakai uji Engel-Granger (EG). Uji Augmented Engle-Granger (AEG) dan Uji Cointegrating Regression Durbin-Watson (CRDW). Untuk mendapatkan nilai EG, AEG dan CRDW hitung, data yang akan digunakan harus sudah berintegrasi pada derajat yang sama. Pengujian OLS terhadap suatu persamaan dibawah ini:
INFt = a0 + a1 KURSt + a2Rt + a3JUBtеt ... (4)
Dari persamaan (4), simpan residual (error term)-nya. Langkah berikutnya adalah menaksir model persamaan autoregressive dari residual tadi berdasarkan persamaan-persamaan berikut:
(62)
Δµt = µt-1 ... (5)
Δµt = µt-1 + αi t-1 ... (6) Dengan uji hipotesisnya:
Ho : µ = I(1), artinya tidak ada kointegrasi
Ha : µ # I(1), artinya ada kointegrasi
Berdasarkan hasil regresi OLS pada persamaan (4) kita akan memperoleh nilai CDRW hitung (nilai DW pada persamaan tersebut) untuk kemudian dibandingkan dengan CDRW tabel. Sedangkan dari persamaan (5) dan (6) akan diperoleh nilai EG dan AEG hitung yang nantinya juga dibandingkan dengan nilai DF dan ADF tabel (Basuki, 2014).
c. Error Corection Model (ECM)
Model ECM yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah model dua langkah (two steps) Engle-Granger. Widarjono (2007) menyatakan bahwa persamaan model ECM dua langkah Engle-Granger adalah sebagai berikut:
ΔINF = α0+ α1ΔKURSt+ α2ΔRt+ α3ΔJUBt+ α4 EC + et (7)
Dimana:
ECt = (INFt-1–β0–β1 KURSt-1–β2 Rt-1–β3 JUBt-1) ... (8)
Keterangan:
INFt = Inflasi pada periode t
(63)
Rt = Suku Bunga BI pada periode t
JUBt = Jumlah Uang pada periode t
Widarjono (2007) menyatakan bahwa koefisien α adalah koefisien jangka pendek sedangkan β adalah koefisien jangka panjang. Koefisien koreksi ketidakseimbangan α4 dalam bentuk absolut
menjelaskan seberapa cepat waktu diperlukan untuk mendapatkan nilai keseimbangan (Widajono, 2007).
2. Uji Asumsi Klasik
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya penyimpangan asumsi klasik dari hasil penelitian dalam persamaan regresi yang meliputi uji multikoliniaritas, uji heteroskedastisitas, uji autokorelasi, dan uji normalitas.
a. Uji Multikoliniaritas
Pada dasarnya multikolinieritas adalah adanya suatu hubungan linier yang sempurna (mendekati sempurna) antara beberapa atau semua variabel bebas (Kuncoro, 2007). Penyebab terjadinya mulitikoliniaritas adalah sifat-sifat yang terkandung dalam kebanyakan variabel ekonomi berubah bersama-sama sepanjang waktu dan besaran-besaran ekonomi dipengaruhi oleh faktor-faktor yang sama. Untuk menguji ada tidaknya multikoliniaritas pada model, peneliti menggunakan metode parsial antar variabel independen.Rule of thumb
dari metode ini adalah jika koefisien korelasi cukup tinggi di atas 0,85 maka kita duga ada multikoliniaritas dalam model. Sebaliknya jika
(64)
koefisien korelasi relative rendah maka kita duga model tidak mengandung unsur multikoliniaritas (Ajija at al, 2011).
b. Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas muncul apabila kesalahan atau residual dari model yang diamati tidak memiliki varians yang konstan dari satu observasi ke observasi lainnya. Artinya setiap observasi mempunyai reliabilitas yang berbeda akibat perubahan dalam kondisi yang melatarbelakangi tidak terangkum dalam spesifikasi model (Kuncoro, 2007).
Pengujian heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji Glejser. Setelah mendapatkan residual ei dari regresi OLS, Glejser menyarankan untuk meregresi nilai absolut dari residual ei, |ei| terhadap variabel X. Adapun persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :
|ei| = o + 1 Xi + vi ... (9)
Dimana vi adalah unsur kesalahan (Sumodiningrat, 2002).
Apabila nilai Obs* R-squaredlebih besar dari α = 5%, maka
dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat masalah heteroskedastisitas dalam model ECM.
c. Uji Autokorelasi
Autokorelasi adalah korelasi (hubungan) yang terjadi di antara anggota-anggota dari serangkaian pengamatan yang tersusun dalam
(65)
rangkaian waktu (seperti dalam runtun waktu atau time series data) atau yang tersusun dalam rangkaian ruang (seperti data cross sectional) (Sumodiningrat, 2002).
Pengujian autokorelasi dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji LM (Langrange Multiplier). Uji autokorelasi dengan LM test terutama digunakan untuk sampel besar di atas 100 observasi. Uji ini memang tepat digunakan dibanding uji DW terutama bila sampel yang dipergunakan relatif besar dan derajat autokorelasinya lebih dari satu. Uji LM akan menghasilkan statistik Breusch-Godfrey (Kuncoro, 2007).
Menurut Widarjono (2007), langkah-langkah uji LM adalah sebagai berikut:
1) Estimasi model empiris dengan metode OLS dan kita dapatkan residualnya.
2) Melakukan regresi residual , dengan semua variabel independen dan lag dari residual et-1, et-2, … et-p, Langkah kedua inidapat
ditulis sbb:
= 0 + 1 KURS + 2 R + 3 JUB + 1 + 2 + ……… + p + vi (10)
Kemudian dapatkan R2 dari regresi persamaan (10).
3) Jika sampel adalah besar, maka menurut Breusch dan Godfrey maka model dalam persamaan (10) akan mengikuti distribusi Chi-Squares dengan df sebanyak p. Nilai hitung statistik Chi-Chi-Squares dapat dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut:
(66)
(n- p) R = p ... (11)
Jika (n - p) R2 yang merupakan chi-squares () hitung lebih besar dari nilai kritis chi-squares () pada derajat kepercayaan tertentu
(α), kita menolak hipotesis nol (Ho). Hal ini berarti paling tidak
ada satu dalam persamaan (10) secara statistik signifikan tidak sama dengan nol. Ini menunjukkan adanya masalah autokorelasi dalam model. Sebaliknya jika nilai Chi-Squares hitung lebih kecil dari nilai kritisnya maka kita menerima hipolesis nol. Artinya model tidak mengandung unsur autokorelasi karena semua nilai sama dengan nol. Penentuan ada tidaknya masalah autokorelasi juga bisa dilihat dari nilai probabiltas chi-squares (). Jika nilai
probabilitas lebih besar dari nilai α yang dipilih maka kita
menerima H0 yang berarti tidak ada autokorelasi. Sebaliknya jika nilai probabilitas lebih kecil dari nilai α yang dipilih maka kita
menolak H0 yang berarti ada masalah autokorelasi (Widarjono,
2007). d. Uji Normalitas
Uji normalitas data dalam penelitian ini dipergunakan untuk menguji normalitas data residual. Uji normalitas residual metode OLS secara formal dapat dideteksi dari metode yang dikembangkan oleh Jarque-Bera (J-B). Uji statistik dari J-B ini menggunakan perhitungan skewness dan kurtosis. Adapun formula uji statistik J-B adalah sebagai berikut :
(67)
JB = n ... (12) dimana :
S = Koefisien skewness
K = Koefisien kurtosis (Widarjono, 2007)
Hipotesis nihil dalam pengujian normalitas residual adalah data residual berdistribusi normal. Kriteria pengujian normalitas residual adalah sebagai berikut:
H0 ditolak jika prob. 0,05
(68)
50 BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Provinsi DIY
Daerah Istimewa Yogyakarta atau biasa disingkat dengan DIY adalah salah satu daerah otonom setingkat propinsi yang ada di Indonesia. Propinsi ini beribukota di Yogyakarta. Dari nama daerah ini yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta sekaligus statusnya sebagai Daerah Istimewa. Status sebagai Daerah Istimewa berkenaan dengan runutan sejarah berdirinya propinsi ini, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari 4 (empat) kabupaten dan sebuah Kotamadya, yaitu Kabupaten Sleman, Bantul, Kulonprogo, Gunungkidul, dan Kotamadya Yogyakarta.
1. Keadaan alam dan iklim
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu dari 32 provinsi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara geografis, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terletak ditengah Pulau Jawa bagian selatan. Bentuk wilayahnya menyerupai bangun segitiga dengan puncak Gunung Merapi di bagian utara dengan ketinggian 2.911 MdPL, sedangkan di bagian kaki, dua buah dataran membentang ke arah selatan membentuk dataran pantai
(69)
Secara astronomis Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terletak antara 7,33°-8,12° Lintang Selatan dan 110°-110,50° Bujur Timur. Adapun batas-batas wilayah sebagai berikut:
a. Sebelah Barat Laut berbatasan dengan Kabupaten Magelang b. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Purworejo c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia d. Sebelah Tenggara berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri e. Sebelah Timur Laut berbatasan dengan Kabupaten Klaten
Dengan luas wilayah 3.185,80 km2 atau 0,17 dari luas wilayah Indonesia,
Provinsi daerah Istimewa Yogyakarta merupakan provinsi terkecil setelah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dan secara administratif meliputi 4 kabupaten dan 1 kota, yaitu:
a. Kota Yogyakarta dengan luas 32,50 km2 (1,02)
b. Kabupaten Bantul dengan luas 506,85 km2(15,91) c. Kabupaten Kulon Progo dengan luas 586,27 km2 (18,40)
d. Kabupaten Gunungkidul dengan luas 1.485,36 km2 (46,62)
e. Kabupaten Sleman dengan luas 574,82 km2 (18,04)
Provinsi daerah Istimewa Yogyakarta beriklim tropis dengan curah hujan berkisar antara 6 mm sampai 949 mm yang di pengaruhi oleh musim kemarau dan musim hujan. Curah hujan yang rendah umumnya dijumpai di kabupaten Gunungkidul dan Bantul, sedangkan curah hujan yang relatif tinggi di jumpai di daerah Sleman
(70)
2. Perekonomian di Yogyakarta
Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta antara lain meliputi sektor Investasi, Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UKM, Pertanian, Ketahanan Pangan dan Perkebunan, Perikanan dan Kelautan, Energi dan Sumber daya Mineral, serta Pariwisata.
3. Kependudukan dan Tenaga Kerja
Proporsi distribusi penduduk berdasarkan usia produktif memiliki akibat pada sektor tenaga kerja. Angkatan kerja di DIY pada 2010 sebesar 71,41%. Di sektor ekonomi yang menyerap tenaga kerja paling besar adalah sektor pertanian kemudian disusul sektor jasa-jasa lainnya. Sektor yang potensial dikembangkan yaitu sektor pariwisata, sektor perdagangan, dan industri terutama industri industri kecil menengah serta kerajinan.
Pengangguran di DIY menjadi problematika sosial yang cukup serius karena karakter pengangguran DIY menyangkut sebagian tenaga-tenaga profesional dengan tingkat pendidikan tinggi.
Salah satu cara untuk mengatasi masalah kependudukan, dan ketenagakerjaan adalah dengan mengadakan program transmigrasi. Pelaksanaan pemberangkatan transmigran asal DIY sampai tahun 2008 melalui program transmigrasi sejumlah 76.495 KK atau 274.926 jiwa. Di tinjau dari pola transmigran sudah mencerminkan partisipasi, dan keswadayaan masyarakat, melalui Transmigarasi Umum(TU), Transmigrasi Swakarsa Berbantuan (TSB) dan Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM). Untuk penyebarannya sudah mencakup hampir seluruh provinsi. Rasio jumlah
(71)
transmigran swakarsa mandiri pada 2010 mencapai 20% dari total transmigran yang diberangkatkan.
B. Perkembangan Variabel Penelitian
Data dalam penelitian ini meliputi inflasi, jumlah uang beredar (M2, suku bunga BI, dan kurs rupiah. Data merupakan data sekunder deret waktu dengan periode bulanan dari tahun 2006 sampai dengan 2015. Data penelitian dapat dideskripsikan sebagai berikut:
1. Inflasi
Agar diperoleh gambaran yang lebih jelas, data yang disajikan dalam tabel di atas, dapat dideskripsikan dalam grafik sebagai berikut:
-0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
INF
Gambar 4.1
Inflasi Yogyakarta Tahun 2006 sampai dengan 2015 dalam Persen (%) Berdasarkan gambar 4.1 terlihat bahwa inflasi Yogyakarta paling rendah terjadi pada bulan April tahun 2009 yaitu sebesar -0,34 dan paling tinggi
(72)
terjadi pada bulan Januari 2006 yaitu sebesar 2,5. Penurunan inflasi paling besar terjadi pada bulan April 2009, dengan penurunan sebesar 288,89%. Adapun kenaikan inflasi terbesar terjadi pada bulan oktober 2009, dengan kenaikan sebesar 2766,67%.
2. Kurs Rupiah terhadap US$
Agar diperoleh gambaran yang lebih jelas, data yang disajikan dalam tabel di atas, dapat dideskripsikan dalam grafik sebagai berikut:
8,000 9,000 10,000 11,000 12,000 13,000 14,000 15,000
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
KURS
Gambar 4.2
Kurs Rupiah Terhadap US$ Tahun 2006 – 2015
Berdasarkan gambar 4.2 terlihat bahwa kurs rupiah terhadap US$ paling rendah terjadi pada bulan Agustus 2011, yaitu sebesar Rp. 8489,21, dan tertinggi pada bulan September 2015 sebesar Rp. 14324,19. Penurunan kurs rupiah paling besar terjadi pada bulan November 2008, dengan penurunan
(1)
19 Berdasarkan hasil analisis persamaan jangka panjang, didapatkan nilai t-Statistic untuk variabel kurs rupiah sebesar -1,236686dengan prob. sebesar 0,2187. Berdasarkan nilai probability yang lebih dari 0,05, maka disimpulkan bahwa kurs rupiah tidak berpengaruh terhadap inflasi di Yogyakarta tahun 2006-2015.
2) Hipotesis Kedua
Berdasarkan hasil analisis persamaan jangka panjang, didapatkan nilai t-Statistic untuk variabel suku bunga BI sebesar 2,280526 dengan prob. sebesar 0,0244. Berdasarkan nilai probability yang kurang dari 0,05, maka disimpulkan bahwa suku bunga BI berpengaruh positif terhadap inflasi di Yogyakarta tahun 2006-2015.
3) Hipotesis Ketiga
Berdasarkan hasil analisis persamaan jangka panjang, didapatkan nilai t-Statistic untuk variabel jumlah uang beredar (JUB) sebesar 0,062288 dengan prob. sebesar 0,9504. Berdasarkan nilai probability yang lebih dari 0,05, maka disimpulkan bahwa jumlah uang beredar (JUB) tidak berpengaruh terhadap inflasi di Yogyakarta tahun 2006-2015.
b. Model Jangka Pendek
Berdasarkan hasil analisis data, dapat dideskripsikan hasil pengujian model jangka pendek sebagai berikut:
(2)
20 Hasil Estimasi Model Jangka Pendek ECM
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 0,007236 0,038594 0,187481 0,8516
D(KURS) 9,56E-05 0,000101 0,945165 0,3466 D(R) 0,511468 0,183410 2,788663 0,0062 D(JUB) -2,00E-07 1,36E-07 -1,467604 0,1450 ECT(-1) -0,861916 0,087671 -9,831237 0,0000 R2 = 0.465152
Adj. R2 = 0.446385
F = 24.78617 0,0000
Sumber: Analisi data, 2016
Tabel di atas menunjukkan bahwa persamaan model jangka panjang adalah sebagai berikut:
ΔINFt = 0,007236 + 09,56E-05 ΔKURSt + 0,511468 ΔRt – 2,00E-07 ΔJUBt – 0,861916 ECTt-1 + et
Hasil estimasi model dinamis ECM di atas terlihat bahwa Error
Correction Term (ECT) bertanda negatif dan signifikan, dengan nilai
probability sebesar 0,0000. Hal ini menunjukkan bahwa model ECM dapat dipergunakan untuk mengestimasi faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di Yogyakarta selama periode penelitian atau dikatakan bahwa spesifikasi model yang digunakan valid. Nilai ECT sebesar 0,861916menunjukkan bahwa perbedaan inflasi di Yogyakarta dengan nilai keseimbangannya adalah sebesar 86,1916%.
Selanjutnya, berdasarkan hasil analisis di atas, dilakukan uji hipotesis menggunakan persamaan jangka pendek sebagai berikut: 1) Hipotesis Pertama
Berdasarkan hasil analisis persamaan jangka pendek, didapatkan nilai t-Statistic untuk variabel kurs rupiah sebesar
(3)
21 0,945165 dengan prob. sebesar 0,3466. Berdasarkan nilai probability yang lebih dari 0,05, maka disimpulkan bahwa kurs rupiah tidak berpengaruh terhadap inflasi di Yogyakarta tahun 2006-2015.
2) Hipotesis Kedua
Berdasarkan hasil analisis persamaan jangka pendek, didapatkan nilai t-Statistic untuk variabel suku bunga BI sebesar 2,788663 dengan prob. sebesar 0,0062. Berdasarkan nilai probability yang kurang dari 0,05, maka disimpulkan bahwa suku bunga BI berpengaruh positif terhadap inflasi di Yogyakarta tahun 2006-2015.
3) Hipotesis Ketiga
Berdasarkan hasil analisis persamaan jangka pendek, didapatkan nilai t-Statistic untuk variabel jumlah uang beredar (JUB) sebesar -1,467604 dengan prob. sebesar 0,1450. Berdasarkan nilai probability yang lebih dari 0,05, maka disimpulkan bahwa jumlah uang beredar (JUB) tidak berpengaruh terhadap inflasi di Yogyakarta tahun 2006-2015.
Uji Multikolinieritas
Pengujian multikolinieritas dalam penelitian ini dilakukan dengan metode parsial antar variabel independen. Uji multikolineritas dilakukan terhadap model jangka panjang dan model jangka pendek.
(4)
22 Hasil pengujian multikolinieritas pada model jangka panjang adalah sebagai berikut:
Tabel 4.5
Matrik Korelasi Variabel Independen Model Jangka Panjang
KURS R JUB
KURS 1,000000 -0,042708 0,729713 R -0,042708 1,000000 -0,489600 JUB 0,729713 -0,489600 1,000000 Sumber: Analisi data, 2016
Tabel di atas menunjukkan bahwa semua korelasi antar variabel independen kurang dari 0,85. Berdasarkan hal tersebut, maka disimpulkan bahwa dalam model jangka panjang tidak terjadi multikolinieritas.
b. Model Jangka Pendek
Hasil pengujian multikolinieritas pada model jangka pendek adalah sebagai berikut:
Tabel 4.6
Matrik Korelasi Variabel Independen Model Jangka Pendek
D(KURS) D(R) D(JUB) ECT(-1)
D(KURS) 1,000000 0,122462 0,095813 0,083238 D(R) 0,122462 1,000000 0,017200 0,294286 D(JUB) 0,095813 0,017200 1,000000 0,017060 ECT(-1) 0,083238 0,294286 0,017060 1,000000 Sumber: Analisi data, 2016
Tabel di atas menunjukkan bahwa semua korelasi antar variabel independen kurang dari 0,85. Berdasarkan hal tersebut, maka disimpulkan bahwa dalam model jangka pendek tidak terjadi multikolinieritas.
(5)
23 Uji heteroskedastisitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji Glejser dengan cara meregresikan nilai absolut residual terhadap variabel bebas. Uji heteroskedastisitas dilakukan terhadap model jangka panjang dan model jangka pendek.
a. Model Jangka Panjang
Hasil pengujian heteroskedastisitas model jangka panjang dapat dideskripsikan dalam tabel berikut:
Tabel 4.7
Hasil Pengujian Heteroskedastisitas Model Jangka Panjang F-statistic 1,883969 Prob, F(3,116) 0,1361 Obs*R-squared 5,575160 Prob, Chi-Square(3) 0,1342 Scaled explained SS 5,516794 Prob, Chi-Square(3) 0,1376
Sumber: Analisis data, 2016
Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai obs x R2 didapatkan sebesar 5,575160 dengan probability sebesar 0,1342. Berdasarkan nilai probability yang lebih dari 0,05, disimpulkan bahwa dalam model jangka panjang tidak terjadi heteroskedastisitas.
b. Model Jangka Pendek
Hasil pengujian heteroskedastisitas model jangka pendek dapat dideskripsikan dalam tabel berikut:
Tabel 4.8
Hasil Pengujian Heteroskedastisitas Model Jangka Pendek F-statistic 2,028651 Prob, F(4,114) 0,0950 Obs*R-squared 7,907635 Prob, Chi-Square(3) 0,0950 Scaled explained SS 7,087630 Prob, Chi-Square(3) 0,1313 Sumber: Analisis data, 2016
(6)
24 Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai obs x R2 didapatkan sebesar 7,907635 dengan probability sebesar 0,0950. Berdasarkan nilai probability yang lebih dari 0,05, disimpulkan bahwa dalam model jangka pendek tidak terjadi heteroskedastisitas.