Perubahan Iklim Keterbatasan Sumber Daya

REVIEW MATA KULIAH INSTITUSI LINGKUNGAN GLOBAL
Nama
: Aisha Rasyidila (1006694284)
Bahan
: Jefferey Mazo, “Darfur: The First Modern Climate Change Conflict”,
(London, Routledge: 2009)

PERUBAHAN IKLIM: KETERBATASAN SUMBER DAYA SEBAGAI PEMICU
KONFLIK
Perubahan iklim, merupakan hal yang diyakini sebagai salah satu penyebab utama dari
penurunan kualitas lingkungan hidup, sehingga efek yang ditimbulkannya merambah pada
dimensi sosial. Tetapi hingga saat ini, masih terjadi perdebatan; terkait apakah perubahan iklim
benar-benar menimbulkan permasalahan-permasalahan sosial tersebut. Review ini akan
membahas mengenai perdebatan konflik di Darfur, Sudan, sebagai salah satu kasus yang sering
disebut-sebut sebagai salah satu konflik yang terlahir dari dampak perubahan iklim. Penulis akan
menggunakan tulisan dari Jefferet Mazo “Darfur: The First Modern Climate Change Conflict”
(2009) sebagai bahan utama, yang kemudian akan dibandingkan dengan dua tulisan lainnya—
dari Jurgan Scheffran (2011), John Barnett dan Will Edger (2007)—untuk mendapatkan
gambaran ikhtisar dari konflik Darfur. Ketiga tulisan tersebut pada akhirnya juga akan menjadi
acuan dasar penulis dalam menganalisis bahan utama, dan memberikan kesimpulan di dalam
tulisan ini.

Di dalam tulisannya, Mazo menjelaskan bahwa konflik antara kelompok petani kulit hitam
dan kelompok penggembala arab yang terjadi di Darfur disebabkan oleh perebutan akses
terhadap air dan tanah yang subur, sebagai salah satu efek dari perubahan iklim (baik itu yang
jangka panjang maupun jangka pendek). Wilayah Darfur, pada dasarnya merupakan wilayah
yang tergolong sebagai Sahel—atau wilayah transisi antara Gurun Sahara di sebelah utara Benua
Afrika dengan wilayah Savana yang lebih lembab dan subur di sebelah selatan Benua Afrika—
sehingga kondisi tanahnya memang tidak terlalu subur. Pada awal tahun 2000-an curah hujan di
Darfur menurun, sehingga kondisi tanah menjadi semakin buruk, bahkan mengarah pada
desertifikasi wilayah Darfur. Para petani yang mengalami kegagalan panen akibat kekeringan,
membutuhkan lahan baru yang lebih subur untuk penanaman. Sedangkan kelompok
penggembala pun membutuhkan lahan untuk mendukung perkembangan populasi hewan
gembalanya. Hal tersebut kemudian menimbulkan kompetisi di antara dua kelompok untuk
mendapatkan sumber daya bagi kelangsungan hidup mereka. Pada tahun 2003, kelompok
penggembala melancarkan serangan kepada kelompok petani dengan dukungan militan Arab
(Janjaweed), sehingga kompetisi tersebut pun pecah menjadi sebuah konflik.
Dari gambaran tersebut, Mazo mengajukan dua pertanyaan: 1) apa hal yang menyebabkan
konflik ersebut terjadi? Dan 2) Apakah perubahan iklim benar-benar dapat memengaruhi
1|Page

terjadinya sebuah konflik? Pada intinya, Mazo memertanyakan apakah ada korelasi di antara

kedua variabel (perubahan iklim dan konflik) tersebut.
Sebagian pemikir menyatakan bahwa kekeringan yang terjadi di darfur kebetulan terjadi
dalam waktu yang bersamaan dengan terjadinya konflik, dan diangkat sebagai alasan terjadinya
konflik dari hubungan kausal (sebab-akibat). Mazo mengutip pendapat Alex de Waal di sisi
kontra, bahwa hubungan antara perubahan iklim dan krisis sumber daya sendiri sesungguhnya
belum terbukti. Penurunan kualitas lingkungan dan kekeringan mendorong terjadinya krisis
makanan dan air; tetapi hanya karena masyarakat di wilayah tersebut tidak memiliki kapabilitas
yang cukup untuk mengolah sumber daya yang ada, sehingga mereka tidak memiliki kesempatan
untuk mengolah sumber daya tersebut dengan efisien. Waal sendiri meyakini bahwa
sesungguhnya kesalahan terbesar yang terjadi bukan berada pada keterbatasan sumber daya,
tetapi pada bagaimana pemerintah di wilayah tersebut menanggapi isu tersebut. Menurutnya,
kekerasan di dalam konflik Darfur juga merupakan kesalahan pemerintah, karena tidak mampu
menggerakan institusi lokal untuk menyelesaikan konflik ini tanpa kekerasan.
Di sisi lain, Mazo membahas sebuah tulisan yang diterbitkan UNEP memiliki analisis yang
berbeda dengan Waal. Tulisan ini lebih berfokus pada bagaimana penurunan lingkungan dapat
berpengaruh ke dalam dimensi konflik. Tulisan ini meyakini bahwa ada bukti substansial yang
memperlihatkan konflik lokal di Darfur dengan penurunan kualitas lingkungan hidup. Meski
mereka mengakui bahwa faktor kesuburan tanah bukanlah penyebab dominan dari kasus tersebut
, namun mereka menyimpulkan bahwa ada hubungan kuat di antara fenomena deserifikasi dan
konflik di Darfur. Darfur Utara, yang mengalami tekanan karena degradasi lingkungan, pada

akhirnya terpicu untuk memulai konflik tersebut. Hal ini diperkuat juga dengan adanya motif
politik, etnis, dan suku yang berbeda dari masyarakat Darfur selatan. Hal ini menjadi contoh
kuat, bagaimana penurunan kualitas lingkungan dapat menghasilkan suatu konflik di dimensi
sosial. Kasus ini tidak akan selesai selama isu lingkungan dan sumber daya ini tdak
terselesaikan.
Tetapi meskipun secara panjang lebar menjelaskan argumen kontra pro-kontra, Maxo pada
akhirnya mengakui bahwa konflik yang terjadi di darfur memang bersifat multi-dimensi; namun
dimensi yang melandasi semuanya adalah dimensi lingkungan. Karena itu, ada baiknya apabila
konflik di Darfur ini tidak hanya dilihat sebagai konflik sosial dan politik saja; tetapi juga
mengakui adanya pengaruh signifikan di bidang lingkungan yang memengaruhi jalannya konflik
tersebut.
Dari sini, kita akan mencoba membandingkan tulisan Mazo dengan tulisan pemikir lainnya,
Jurgen Scheffran, dalam tulisannya, “Security Risks and Conflicts of Climare Change and
Natural Resource Scarcity: Issues of Future Research” (2011). Pada dasarnya Scheffran lebih
2|Page

mengorientasikan tulisannya pada kawasan Eropa, namun ia juga membahas secara spesifik
mengenai keterkaitan perubahan iklim dengan konflik sosial. Scheffran meyakini bahwa
perubahan iklim memiliki potensi resiko yang besar terhadap human security, bahkan keamanan
internasional; terutama resiko akibat titik-titik panas di tingkat lokal, regional, ataupun global.

Seperti Mazo, Scheffren juga berpendapat bahwa pengaruh di antara kedua variabel masih
banyak diperdebatkan; tetapi Scheffran menetapkan pendapatnya secara jelas, bahwa kedua hal
tersebut memiliki hubungan yang tidak terpisahkan. Scheffran sendiri menggunakan dasar
antroposentris di dalam penjelasannya, sehingga fokus dari dampak perubahan iklim di sini
diarahkan kepada kualitas hidup manusia.

Dengan grafik di atas, Scheffran secara rinci menjelaskan bagaimana perubahan iklim dapat
menyebabkan konflik antar manusia. Pertama-tama, perubahan ubahan iklim menimbulkan
degradasi kualitas lingkungan hidup, sehingga terjadi kelangkaan sumber daya alam (sebagai
dasar dari kebutuhan hidup manusia. Hal ini kemudian menimbulkan adanya dinamika populas,
baik itu berupa migrasi, tekanan populasi, atau bahkan perpindahan lahan bercocok tanam. Dari
sana, kita harus memerhatikan keadaan sosial-ekonomi serta politik di wilayah tersebut—apakah
faktor-faktor itu cukup mapan dan memiliki kapabilitas untuk dapat menanggulangi hal tersebut
atau tidak. Jika iya, maka kemungkinan besar masalah terkait dinamika populasi dapat teratasi
dan permasalahan utama dari perubahan iklim kembali berkisar pada pengaruhnya terhadap
kebutuhan manusia. Tetapi jika tidak, maka dinamika populasi akan berpotensi menimbulkan
3|Page

instabilitas politik, yang kemudian memunculkan motivasi utuk berkonflik dan dapat mengarah
resiko konflik bersenjata.

Meskipun begitu, pada akhirnya Scheffran mengakui bahwa konsep ini masih memiliki
kelemahan karena data statistik (mengenai korelasi antaa perubahan iklim dan konflik) pada saat
ini masih sangat terbatas. Kebanyakan kasus yang ditelitinya berasal dari masa-masa abad
pertengahan, di mana teknologi belum maju dan pengetahuan manusia akan pengelolaan sumber
daya alam masih minim. Scheffran berpendapat, perlu diadakannya penelitian yang
menghubungkan efek dari kenaikan iklim, ketersediaan sumberdaya, dan keamaan sebagai
penelitian yang bersifat transdisiplin. Sebagai contoh, meneliti peningkatan suhu bumi wilayah
Afrika, serta pengaruhnya terhadap perang sipil pada periode waktu tertentu.
Pemikir lain yang mengulas pengaruh perubahan iklim terhadap konflik adalah Jon Barnett
dan W. Neil Adger, dalam tulisannya, “Climate Change, Human Security, and Violent Conflict”
(2007). Barnett dan Adger, melihat bahwa perubahan iklim pada saat ini mulai dikategorikan
sebagai satu permasalaha keamanan, dan—oleh beberapa pemikir—bahkan diperkirakan dapayt
meningkatkan kemungkinan dari terjadinya konflik.Tulisan ini terbagi menjadi tiga bagian;
dimana 1) melihat hubungan antara perubahan iklim dengan masyarakat di lingkungan tersebut
melalui pendekatan human security, 2) human insecurity dan pengaruhnya terhadap konflik dan
kekerasan, 3) peran negara dalam menjaga human security.
Secara garis besar isi dari tulisan Barnett dan Adger kurang lebih mirip dengan tulisan
Schaffer; yang memenyatakan bahwa perubahan iklim dapat mengancam human security—atau
kondisi di mana segala kebutuhan manusia dapat terpenuhi—melalui sebab-sebab seperti krisis
air bersih, dan krisis pangan. Tetapi dalam hal ini mereka berkata bahwa, tingkatan dan jenis

kebutuhan manusia berbeda-beda, sehingga perlu dilihat juga, seperapa jauhkah kebutuhan
masyarakat di suatu tempat akan sumber daya alam? Semakin tinggi tingkat ketergantungannya,
maka akan semakin besar juga dampak dari perubahan iklim yang akan mereka rasakan. Dan
ketika mereka merasakan dampak tersebut, maka mereka akan memikirkan kekerasan dan
konflik sebagai salah satu solusi untuk mendapatkan sumber daya yang lain. Karena itu, menurut
mereka faktor lingkungan harus dijadikan salah satu bahan dari kajian mengenai konflik dan
keamanan, karena keterkaitannya tidak dapat dipisahkan.
Selanjutnya, Barnett dan Adger mengatakan bahwa sesungguhnya human nsecurity
merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan oleh negara karena dapat mengancam
instabilitas politik. Mengutip dari Nafziger dan Auvinen (2002), Barnett dan Adler menuliskan,
bahwa sesungguhnya kekerasan adalah salah satu instrumen masyarakat untuk menekan
pemerintah agar pemerintah mau berusaha memenuhi kebutuhan mereka. Karena itulah, kita
harus memerhatikan baik-baik bagaimana kondisi politik di negara tersebut. Hal-hal seperti
4|Page

demokratisasi, kestabilan ekonomi, serta karakter rezim yang berkuasa dapat menjadi hal krusial
bagi pemerintah untuk melakukan langkah-langkah kedepannya.
Tetapi pada akhirnyam hambatan yang dihadapi oleh Barnett dan Adger sana dengan dua
penulis lainnya, yaitu keterbatasan data dan studi yang memelajari mengenai bagaimana
perubahan iklim dapat memengaruhi human security. Kedua penulis ini juga mengusulkan agar

ada riset lebih lanjut mengenai pengaruh antara perubahan iklim dan konflik.
Dari bahan utama dan kedua bahan pembanding di atas, dapat kita analisis bahwa ketiga
penulis (Mazo, Schaffer, serta Barnett dan Adger), secara garis besar memercayai adanya
pengaruh dari perubahan iklim sebagai landasan akan konflik. Meski begitu, ketiga penulis di
atas juga menyatakan bahwa ada hal-hal lain yang memengaruhi terjadinya konflik tersebut
selain dari perubahan iklim. Mazo misalnya, percaya bahwa konflik yang terjadi di Darfur tidak
terlepas dari faktor politik, kemampuan masyarakat mengelola sumber daya, serta permasalahan
etnis juga memicu terjadinya konflik—hanya saja konflik tersebut tetap dilatarbelakangi oleh
permasalahan degradasi lingkungan. Sama halnya dengan Schaffer yang di dalam bagannya
menjelaskan serangkaian proses rumit (melalui dimensi politik, ekonomi, serta sosial) mengenai
bagaimana perubahan iklim pada akhirnya dapat berpotensi menimbulkan konflik. Barnett dan
Adger pun kurang lebih memiliki pemikiran yang sama dengan Schaffer dalam paradigma
human security-nya. Tetapi meskipun pada akhirnya mereka meyakini bahwa perubahan iklim
memang memiliki pengaruh yang besar terhadap potensi terjadinya konflik, pada akhirnya
dielakkan bahwa pada pada ketiga penulis ini kesulitan untuk membuktikan argumen utamanya
(bahwa perubahan iklim merupakan alasan mendasar terjadinya konflik) karena kurangnya
ketersediaan data.
Kesimpulannya, meskipun perubahan iklim merupakan ancaman yang dihadapi oleh umat
manusia secara nyata, namun dari segi keamanan dan sosial, sampai saat ini pengaruh perubahan
iklim terhadap konflik belum dapat dibuktikan secara pasti karena kurangnya data-data yang

tersedia. Isu ini, memang merupakan salah satu isu muda dalam kajian ilmu hubungan
internasional, sehingga belum banyak orang yang berkecimpung di dalamnya. Perlu adanya
penelitian lebih lanjut yang menggunakan multi-disiplin ilmu (terutama hubungan internasional,
kajia kekerasan, serta pengetahuan alam), untuk menghasilkan suatu penelitian yang konkrit dan
jelas mengenai dampak dari perubahan iklim dan pengaruhnya terhadap jumlah konflik di
wilayah tersebut.

5|Page