2.2. Diakonia dalam Gereja
Pada dasarnya pelayanan adalah membagikan hak yang disediakan Tuhan bagi setiap orang baik lahir maupun batin.
3
Pelayanan didasari oleh satu kesadaran bahwa oleh Tuhan setiap insan yang lahir dan hidup di dunia ini diberi hak dan bekal untuk hidup, serta kewajiban dan
tanggung jawab yang sama dengan yang lain. Pada dasarnya kehidupan manusia tidak lepas dari keterbatasan dan ketergantungan, sehingga di dalam kehidupan manusia tersebut terjadilah
interaksi timbal-balik antar manusia, yang saling menopang dan mengatasi keterbatasannya. Menurut pemahaman kristiani, pelayanan merupakan aktivitas untuk merefleksi dan
melanjutkan akta Allah dalam Yesus Kristus untuk mengasihi dunia ini, dan pelayanan adalah konsekuensi dari pelayanan dan keselamatan Kristus kepada umatNya bnd Mat 25:31-40.
Dalam kenyataan yang lebih konkret, pelayanan merupakan suatu kesadaran etis dari manusia yaitu bahwa dirinya secara langsung maupun tidak langsung hidup dari orang lain, dengan orang
lain dan untuk orang lain. Oleh sebab itu dalam pelayanan tersebut terkandung rasa tanggung jawab dan perhatian terhadap keberadaan dan kesejahteraan hidup orang lain.
Secara harafiah kata “diakonia” berarti “memberi pertolongan atau pelayanan”. Kata ini berasal dari kata Yunani diakonia pelayanan, diakonien melayani, dan diakonos pelayanan.
Dalam Perjanjian Baru di samping kata-kata ini terdapat lima kata lain untuk “melayani”, masing-masing dengan nuansa dan arti tersendiri, yang dalam terjemahan-terjemahan Alkitab
kita pada umumnya diterjemahkan dengan kata “melayani”. Di samping diakonien dalam PB ditemukan kata-kata berikut ini:
Douleuein: melayani sebagai budak kata ini terutama menunjukkan arti ketergantungan dari
orang yang melayani. Orang Yunani sangat tidak menyukai kata ini. Orang baru menjadi
3
A. Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004, hal 2-4.
manusia jika ia dalam keadaan bebas. PB mula-mula memakai kata ini dalam arti biasa sesuai dengan keadaan masyarakat pada waktu itu. Di samping itu, kata ini juga mendapat arti religius.
Latreuein: melayani untuk uang. Kata benda latreia pelayan yang diupah juga dipakai dalam
pemujaan dewa-dewa. Dalam terjemahan Yunani dari PL, yaitu Septuaginta LXX, kata ini kurang lebih terdapat 90 kali, pada umumnya untuk melayani Tuhan Allah dan khususnya untuk
pelayan persembahan.
Leitourgein: dalam bahasa Yunani digunakan untuk pelayan umum bagi kesejahteraan rakyat
dan negara. Dalam LXX arti sosial-politik ini terutama dipakai di lingkungan kuil-kuil. Dalam PB khususnya surat Ibrani kata ini menunjukkan kepada pekerjaan Imam Besar Yesus Kristus.
Kemudian dalam Roma 15:27 dan 2 Korintus 9:12 kata ini dipakai untuk kolekte dari orang Kristen asal kafir suatu perbuatan diakonal untuk orang miskin di Yerusalem. Dari kata inilah
berasal kata “liturgi”, yaitu suatu tata ibadah dalam pertemuan jemaat.
Therapeuein: menggarisbawahi kesiapan untuk melakukan pelayanan ini sebaik mungkin.
Contoh: seorang pelayan kandang kuda melayani kuda, dalam arti ini mengurusnya. Therapeuein di tempat lain juga dipakai sebagai sinonim dari “menyembuhkan”
Hupéretein: menunjukkan suatu hubungan kerja terutama relasi dengan orang untuk siapa
pekerjaan itu dilakukan. Hupéretés berarti sipelaksana memperhatikan instruksi si pemberi kerja. Menurut Matius 5:25, kata ini berarti “pelayan hukum”. Menurut Lukas 4:16 dst, artinya adalah
seorang fungsionaris di rumah ibadah sebagai pembantu kepala rumah ibadah. Lukas 1:2 menunjukkan bahwa para saksi mata dari penampilan Yesus bersedia menyebarluaskan berita
tentang Dia.
Kata pelayanan dalam bahasa Inggris: Ministry, Service; dalam Bahasa Yunani διακονεω. Kata ini muncul 36 kali dalam Perjanjian Baru 21 kali dalam Injil Sinoptik; 3 kali
dalam Yohanes; 8 kali dalam tulisan Paulus; 1 kali dalam Ibrani; 3 kali dalam 1 Petrus dengan arti:
a Pelayanan Mrk. 1:31, Luk.17:8, Kis. 6:1-2.
4
Ketika jumlah murid gereja mula-mula semakin bertambah, timbullah sungut-sungut di antara orang Yahudi yang
berbahasa Yunani terhadap orang-orang Ibrani dikarenakan pembagian kepada janda- janda mereka diabaikan di dalam pelayanan sehari-hari, sehingga kedua belas rasul
itu memanggil semua murid berkumpul dan mengatakan bahwa mereka tidak merasa puas karena mereka melalaikan Firman Allah untuk melayani meja.
Menurut para rasul bahwa melalaikan pelayanan meja sama artinya melalaikan Firman Allah. Pelayanan meja merupakan bagian Firman Allah yang harus dikerjakan
dan menjadi tanggung jawab gereja Kis. 4:35; 11:28-29; 1 Tim. 3:3-16. Gereja mula- mula memperhatikan dua macam pelayanan, yaitu: pelayanan spiritual yaitu pelayanan
Firman Allah dan doa Kis. 6:4 dan pelayanan material yaitu pelayanan meja Kis. 6:1- 2.
b Arti yang lebih luas yaitu muncul dalam Matius 25:44; Markus 1:13; 15:41; Lukas 8:3. Ketiga, Pelayanan proklamasi Injil Kis. 6:4; 20:24; 2 Kor. 4:1; 6:3; 11:8. Kecuali arti di
atas, di dalam Perjanjian Baru kata pelayanan juga berhubungan dengan pelayanan proklamasi Injil. Kisah Para Rasul 6:4 “Dan supaya kami sendiri dapat memusatkan
pikiran dalam doa dan pelayanan firman.” Lebih jelas Paulus berkata “Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikitpun, asal saja aku dapat mencapai garis akhir dan
4
Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia – Suatu pendekatan pada Etika Kristen Dasar, BPK Gunung Mulia Jakarta:2007, 195
menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia Allah Kis. 20:24 dan 2 Kor. 4:1.
Istilah diakonia dipopulerkan dalam era Perjanjian Baru. Dua kata yang berhubungan erat dengan diakonia yaitu diakoneim dan diakonos. Diakoniem berarti melayani; dan diakonos
berarti pelayan. Pada mulanya diakonia bermakna pelayanan secara terbatas pada pelayanan firman. Dalam perkembangannya, keduanya sering digunakan dalam berbagai konteks, misalnya
a. Dalam 2 Korintus 5:18-19 ; diakonia digunakan dalam konteks pelayanan perdamaian yaitu pelayanan yang dilakukan oleh Allah di dalam dan melalui diri Yesus Kristus untuk
mendamaikan diri-Nya dengan manusia. Jadi Yesus Kristus adalah diakonos perdamaian. b. Dalam Wahyu 2:19 ; diakonia digunakan dalam konteks tugas atau pekerjaan yang harus
dikerjakan oleh orang-orang percaya. Pelaksanaan tugas tersebut dikaitkan dengan kesabaran, iman, dan ketekunan.
c. Dalam Kolose 4:17; diakonia digunakan dalam konteks tugas pelayanan yang diterima dari Tuhan. Berdasarkan konteks-konteks yang dikemukakan di atas, perlu dilakukan
pembatasan pemahaman. Pembatasan ini berfungsi sebagai titik tolak pembahasan selanjutnya dan sekaligus menyatukan pemahaman bersama. Dilihat dari pemakaian
awal dan pemakaian dalam beberapa konteks di atas dapat dikatakan bahwa diakonia adalah tugas pelayanan dari Allah untuk kesejahteraan manusia. Sekalipun tidak
menggunakan kata diakonia, melalui peristiwa pembagian roti kepada lima ribu orang Yoh. 6:1-15; Mat. 14:13-21, Yesus Kristus memperlihatkan aspek kesejahteraan fisik
dari pelayanan yang dilakukanNya. Hal ini mengindikasikan bahwa kecukupan pangan merupakan tugas yang harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh murid-murid. Kata
Yesus, “Tidak perlu mereka pergi kamu harus memberikan mereka makan. Penggunaan
kata harus menggambarkan sikap Yesus terhadap pelayanan kesejahteraan Diakonia. Orang-orang yang datang kepada-Nya tidak cukup dilayani dengan khotbah
yang menyenangkan secara spiritual tetapi juga perlu dikenyangkan secara material. Karl Marx salah seorang Filsuf Jerman mengelompokkan masyarakat dalam dua
golongan yang berdasarkan kemiskinan dan kekayaan, yaitu proletar dan borjuis. Kaum proletar ialah para buruh yang bekerja di pabrik-pabrik, dan kaum borjuis ialah kaum pemilik modal
yang merupakan tuan-tuan dari kaum proletar. Pikiran Marx berangkat dari konsep ekonomi tentang pemilik modal dan pekerjanya.
5
Ditambah dengan pembagian kerja yang bersifat mental dan manual, ada kemungkinan besar bahwa para anggota kelas pekerja yang mayoritas akan
mengalami sejenis alienasi dari pekerjaan mereka, dan dengan demikian menciptakan dehumanisasi pengabaian hak asasi manusia dan kegelisahan. Tetapi mereka yang memiliki
alat-alat produksi tidak bisa menanggung kehilangan kontrol terhadap situasi mereka yang lebih unggul dan mengguntungkan, kelas yang dominan harus merekonstruksi system-sistem
kepercayaan mengenai masalah-masalah yang paling penting Tuhan, alam semesta, kemanusiaan, moralitas, dsb dan mengkomunikasikannya kepada massa agar mereka tetap dapat
dikuasai.
6
Jika dibandingkan dengan perspektif Alkitab, maka Stott mengatakan bahwa: sejumlah studi penelitian terhadap materi Alkitab telah dilakukan dan dipublikasikan. Studi ini difokuskan
pada Perjanjian Lama, di mana serangkaian kata untuk kemiskinan, yang datangnya dari akar kata Ibrani, muncul lebih dari 200 kali. Cara mengelompokkannya bisa bermacam-macam. Tapi
perbedaan prinsip yang terkandung dalam masing-masing kata itu ada 3. Pertama, ditinjau dari
5
Frans Magniz-Suseno, Etika Politik, Gramedia Pustaka Utama Jakarta; 203, 265-266
6
David K. Naugle, Wawasan Dunia-Sejarah Sebuah konsep Sebuah Pandangan Kristen, Penerbit Momentum Surabaya:2010, 286-287
segi ekonomi, ada orang yang miskin karena ketiadaan materi mereka yang terkucil sama sekali dari segala kebutuhan hidup primer. Kedua, ditinjau dari segi sosial, ada orang yang miskin
akibat penindasan, yang merupakan korban ketidakadilan, dan tidak berdaya. Ketiga, ditinjau dari segi spiritual, ada orang miskin yang rendah hati, yang sadar akan ketidakberdayaannya dan
mengharapkan pertolongan dari Allah semata-mata. Dalam masing-masing kasus ini Allah tampil sebagai yang datang menjumpai mereka untuk membela mereka, sesuai dengan sifat unik-
Nya, bahwa ‘Ia menegakkan orang yang hina dari dalam debu’.
7
Ketika analisa dilakukan bardasarkan apa yang diungkapkan dalam Perjanjian Baru, maka Verne H. Fletcher mengemukakan bahwa: salah satu unsur yang mengesankan dalam
penginjilan adalah ketekunan-Nya untuk mendahulukan kaum miskin dan telantar. Walaupun, seperti yang ditekankan, Yesus sangat bersifat terbuka terhadap setiap orang yang di jumpai-
Nya, namun tidak dapat di sangkal bahwa Ia memusatkan kepedulian-Nya khususnya kepada golongan rendah, sehingga dapat dikatakan bahwa ia memihak kepada rakyat jelata.
8
Verne H. Fletcher menjelaskan bahwa: dalam melukiskan gambaran Yesus, kita jangan lupa ia bukan
hanya menyamakan diri dengan orang rendahan dan terbuang, tetapi Ia juga berlaku sebagai pelayan mereka.
Khusus tentang relasi antara pemberitaan Injil dan kepedulian terhadap kehidupan sosial, menurut John Stott bahwa, umat Kristen tidak hanya diajarkan untuk menaikkan doa syafaat bagi
situasi sosial, namun harus mendemonstrasikan kuasa Injil, malalui aksi sosial. Sebab baik
7
Ibid, 307-308
8
Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia – Suatu pendekatan pada Etika Kristen Dasar, BPK Gunung Mulia Jakarta:2007, 271
pemberitaan Injil dan aksi sosial merupakan dua mata rantai yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
9
Kasih kita kepada sesama harus diwujudkan dalam suatu keprihatinan yang terpadu terhadap keseluruhan kebutuhan rohani dan sosial. Itulah sebabnya pelayanan Yesus selalu
diungkapkan oleh dua perkataan yang diapit dalam tanda kurung yaitu perkataan dan perbuatan. Pemberitaan Injil dan perbuatan sosial adalah ibarat sepasang sayap burung atau mata gunting,
yang mustahil bisa berfungsi kalau hanya terdiri dari satu. Tapi, pemberitaan Injil selaku pendahuluan aksi sosial harus kita lihat dari dua segi. Pertama, Injil itu mengubah manusia setiap
orang Kristen harus mampu menggemakan ucapan Paulus: “Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, dan Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang
percaya” Roma 1:16. Buktinya kita lihat dalam kehidupan kita sendiri dan dalam kehidupan orang lain. Karena dosa pada dasarnya pumpunan pada diri sendiri, maka salah satu unsur hakiki
penyelamatan ialah pentransformasikan ‘diri sendiri’ menjadi ‘bukan diri sendiri’. Iman membawa kepada kasih dan kasih membawa kepada pelayanan. Jadi aksi
sosial,sebagai pelayanan kasih terhadap orang-orang yang menderita kekurangan, harus meupakan hasil yang tidak pelak lagi dari iman yang menyelamatkan, meskipun harus kita akui
bahwa ini tidak selamanya begitu. Dengan demikian, kita tetap berpendapat bahwa pemberitaan Injil merupakan peranti utama bagi terjadinya perubahan sosial. Sebab Injil mengubah manusia,
dan manusia yang sudah berubah dapat mengubah masyarakat.
10
Konsep yang dikemukakan diatas berlatar belakang situasi yang terjadi ketika masyarakat Palestina, khususnya ketika dikuasai oleh Raja Herodes dan Pilatus, yakni selama masa
9
Ibid, 292
10
David Bosch, Transformasi Misi Kristen, BPK Gunung Mulia Jakarta:2005, 147
pelayanan Yesus dimana situasi Bangsa Yahudi penuh ketegangan sosial, sebab Raja Herodes yang disebut Agung selama pemerintahannya ia terkenal bengis yang memerintah melalui
pembunuhan, penipuan, dan kecurangan. Ia seorang yang haus akan kemasyuran dan kejayaan, dengan cara memeras penduduk negerinya dengan perpajakan yang berat. Di samping itu,
Herodes menggusur dan merampas area tanah yang sangat luas – sebagian menjadi milik pribadi, sebagian dijual kepada para tuan tanah yang kaya.
Yang mengesankan yakni melalui dia pemulihan Bait Allah yang megah di Yerusalem diwujudkan. Itulah sebabnya ia meninggal maka muncullah kerusuhan dan pemberontakan yang
dipimpin oleh Yudas dari Galilea, namun kemudia pemberontakan itu dikalahkan dan kemudian dua ribu pembangkang disalibkan sepanjang jalan raya. Peristiwa itu tidak jauh dari Nasaret,
tempat Yesus dibesarkan. Usia-Nya pada saat itu diperkirakan menjelang sepuluh tahun, sehingga tentunya Yesus mendengar berita tersebut dan kemudian menyaksikan barisan salib
itu.
11
Itulah sebabnya Fletcher mengungkapkan bahwa: analisa sosial atas masyarakat Palestina pada awal abad pertama menunjukkan bahwa, di samping golongan kaya dan golongan sedang
yang keduanya relatif kecil, kebanyakan penduduk sedang mengalami keadaan buruk. Tentang mayoritas yang miskin itu, dapat dibedakan antara sebagian yang dapat menyambung hidupnya
saja, dan bagian yang lain yang sama sekali melarat, yaitu yang tidak punya apa-apa. Kedua kategori orang miskin tersebut digambarkan dalam parable Yesus tentang “Bendahara yang tidak
jujur” yang ketika akan dipecat jabatannya mempertimbangkan kedua pilihan yang tersedia: “Apakah yang aku perbuat? Mencangkul aku tidak dapat, mengemis aku malu” Luk. 16:3.
11
Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia – Suatu pendekatan pada Etika Kristen Dasar, BPK Gunung Mulia Jakarta:2007, 273
Penderitaan seperti yang dilukiskan di atas bergandeng dengan harapan akan penyelamatan Ilahi. Suasana yang terjadi terungkap dalam beberapa ucapan pada Injil Lukas:
“orang banyak sedang menanti dan berharap” 3:15 dan “orang-orang menyangka bahwa Kerajaan Allah segera tampak” 19:11. Tentunya bukan hanya rakyat jelata yang berharap,
tetapi seluruh bangsa dan pengharapan itu sejak beberapa abad, mulai dalam masa pembuangan. Peristiwa semacam itu lazimnya dinantilan sebagai hari pembalasan Allah terhadap musuh-
musuh kaum Yahudi. Selain kemerdekaan politik juga tercakup harapan akan kesejahteraan sosial: utang
piutang ditiadakan, perkebunan besar dibagi-bagikan dan para budak di bebaskan. Harapan itu berkisar pada Sang Mesias, seorang pahlawan yang sama seperti Raja Daud, yang akan bertindak
sebagai wakil Allah dan membimbing bangsa Yahudi menuju hari kemenangan. Oleh karena harapan mesias, tidak mengagetkan kalau kuasa Romawi menganggap setiap pengaku Mesias
sebagai musuh politik yang dicurigai merancang pemberontakan, dan oleh karena itu perlu disalibkan.
12
Itulah sebabnya, tidak heran jika David J. Bosch memberikan judul dalam sub-sub bukunya tentang Injil Lukas dengan “Injil bagi Kaum Miskin dan Orang Kaya”.
13
Menurut Bosch, Lukas sebagai penginjil bagi kaum kaya, sebab Lukas berbicara tentang bagaimana si
kaya harus bersikap terhadap si miskin.
14
Melihat kondisi yang ada di dalam sejarah orang Yahudi dan sikap Yesus terhadap dua golongan kemiskinan, gereja harus memproklamirkan kabar baik tentang Kerajaan itu kepada
orang-orang miskin secara materi, menyambut mereka dalam persekutuannya, dan mengambil bagian dalam problema-problema mereka. Memang, keprihatinan oleh para penulis Alkitab, dan
12
Ibid, 239-240
13
David Bosch, Transformasi Misi Kristen, BPK Gunung Mulia Jakarta:2005,153
14
Ibid, 158
lebih khusus lagi oleh Yesus sendiri, telah membuat beberapa pemikir kontemporer berbicara tentang “kecondongan” Allah memihak kepada mereka.
15
Gereja harus memusatkan misinya pada pangkal kemiskinan itu, dan harus memusatkan misinya pada pangkal kemelaratan itu, dan dari situ bergerak “menuju ke pinggiran”, kepada
mereka “terhadap setiap orang berdosa”, dengan kata-kata lain kepada orang-orang miskin dan tertindas.
16
Lagi pula gereja tidak boleh mentolerir kemiskinan material di antara umat-Nya. Jika Yesus mengatakan, “orang-orang miskin selalu ada padamu” Mrk 14:7, maka Ia sekali-kali
bukannya menyetujui adanya kemiskinan secara permanen. Dalam ucapan itu menggema Perjanjian Lama, “orang-orang miskin tidak hentinya akan ada di dalam negri itu” Ul 15:11.
Namun ini maksudnya bukan sebagai alasan berpuas diri, melainkan sebagai dorongan untuk bermurah hati, sehingga menghasilkan “maka tidak akan ada orang miskin di antaramu” Ul
15:4. Apabila ada suatu komunitas di dunia ini, dalam nama keadilan dijamin bagi yang
tertindas, orang miskin dilepaskan dari kemiskinan dan kebutuhan material terpenuhi akibat berbagai sumber daya, maka komunitas itu adalah masyarakat baru Yesus. Itu terjadi di
Yerusalem sesudah Pentakosta, takkala “tidak ada seorang pun yang berkekurangan di antara mereka”, seperti yang diutarakan Lukas kepada kita dalam Kis 4:34, dan itu dapat dan
seharusnya berulang lagi pada masa kini. Bagaimana kita dapat membiarkan saudara-saudara kita sendiri dalam keluarga Allah menderita kekurangan?
17
15
Ibid, 316
16
Ibid, 317
17
Ibid, 317-318
2.3. Bentuk-bentuk Diakonia Gereja