Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran dan Strategi Gereja dalam Pembangunan Karakter Taruna dan Pemuda di GPIB Jemaat Bukit Sion Balikpapan T1 752013018 BAB II

BAB II
PENDIDIKAN KARAKTER, PERAN DAN DAN STRATEGI GEREJA TERHADAP
PEMBANGUNAN KARAKTER TARUNA-PEMUDA

Hal yang mendasar dalam proses pendidikan yakni membangun konsep tentang hal-hal yang
benar dalam diri individu yang di didik. Konsep yang demikian terkandung dalam karakter yang
positif. Tanpa adanya pembangunan karakter, proses pendidikan yang dilakukan dalam lembaga
apapun hanya menjadi semacam proses pengajaran untuk mengasah kemampuan intelektual
seseorang. Oleh karena itu, dalam bab ini akan dibahas pokok utama mengenai Karakter,
bagaimana membangun karakter melalui Pendidikan Karakter, serta Peran dan Strategi yang
digunakan oleh Komunitas iman Kristen dalam Pembangunan Karakter taruna-pemuda yang
sangat rentan terhadap perubahan-perubahan nilai yang terjadi dalam masyarakat. Di dalam
pembahasan pokok-pokok utama tersebut, terdapat sub-sub pokok bahasan. Untuk mengetahui
lebih jelas tentang pembahasan-pembahasan tersebut, terlebih dahulu perlu mengetahui latar
belakang pendidikan karakter muncul di Indonesia.
II.1. Karakter dan Pendidikan Karakter
II.1.1.Munculnya Gerakan Pembangunan Karakter di Indonesia
Karakter sesungguhnya bukanlah hal yang baru bagi bangsa Indonesia. Kata karakter
telah sering diperbincangkan oleh para pemimpin bangsa ini. Tidak sampai disitu saja,
sejak awal kemerdekaan bangsa Indonesia, para pemimpin telah bercita-cita menjadikan
bangsa ini sebagai bangsa yang berkarakter. Upaya mewujudkan bangsa yang

berkarakter terus dilakukan. Nampak pada tindakan Soekarno yang memberi motivasi
bagi rakyat saat itu untuk tidak berharap atau menggantungkan diri pada bantuan dari
bangsa lain. Kemandirian individu dari rakyat Indonesia yang diupayakan oleh beliau
berlanjut pada kemandirian pada beberapa bidang, yaitu politik, ekonomi, dan budaya
(Trisakti). Upaya terus dilanjutkan Soekarno dengan mencanangkan nation and

14

character building. Pembangunan karakter adalah hal yang sangat penting bagi
pembangunan suatu bangsa. Oleh karena itu, secara detail Soekarno menegaskannya
dalam suatu amanat, yaitu Pembangunan Semesta Berencana. Menurutnya, karakter
merupakan mental investment, yakni investastasi yang diperlukan dalam pembangunan
bangsa yang berupa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.10
Perubahan rezim tidak menghalangi semangat para pemimpin untuk tetap
mewujudkan cita-cita bangsa. Ketika kekuasaan berpindah ke tangan Soeharto, beliau
tetap memiliki semangat yang serupa dengan Soekarno, yaitu menginginkan bangsa ini
selalu berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Demikian halnya dengan seluruh rakyat
Indonesia dapat menjadi manusia yang melakukan nilai-nilai Pancasila. Untuk
menciptakan manusia yang demikian, dilakukan pendekatan penataran P-4 (Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Pada hakekatnya tujuan dari pendekatan

tersebut baik adanya, namun yang menjadikan penataran itu gagal adalah metode yang
digunakan bersifat mengindoktrinasi dan tidak memberikan teladan yang baik dari
penyelenggara pendekatan tersebut.
Kegagalan yang demikian terus terjadi hingga zaman reformasi, di mana mulai
nampak tanda-tanda keruntuhan dari nilai-nilai Pancasila. Kekerasan dan kerusuhan
mulai muncul di mana-mana, mengentalnya semangat kedaerahan dan primordialisme;
berkembangnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme; demokrasi yang beretika
berubah menjadi demokrasi yang anarkis; semakin pudarnya rasa kesatuan sosial dan
politik. Tanda-tanda yang tidak kalah memprihatinkan terjadi di kalangan para pelajar
termasuk mahasiswa. Mencontek, pelagiarisme, tawuran, meminum-minuman keras,
pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba, bullying, hingga tindakan kriminal marak
dilakukan oleh para generasi penerus bangsa. Hal-hal di atas menunjukkan bahwa
karakter pada bangsa ini telah pudar. Hal ini dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu
10

Pemerintah Republik Indonesia, Desain Pendidikan Karakter Kementerian Pendidikan Nasional dalam Kebijakan
Nasional: Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025, (Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia, 2010), 1.

15


lingkungan yang tidak baik dan tidak optimalnya pengembangan karakter yang
seharusnya dilakukan lembaga pendidikan. Pada dasarnya pendidikan adalah upaya
yang tepat untuk mengembangkan nilai-nilai karakter sebab, melalui pendidikan
individu dibina dan dilatih agar terjadi suatu transformasi dalam diri yang berkaitan
dengan menumbuh-kembangkan karakter positif. Hal tersebut telah ditegaskan oleh Ki
Hajar Dewantara bahwa “pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan
bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin dan karakter), pikiran (intellect), dan tubuh
anak.”11 Peranan penting pendidikan tersebut adalah benar adanya. Hal itu terlihat dari
alasan yang diberikan oleh wali murid yang mempercayakan anak mereka untuk di
didik pada lembaga pendidikan. Kepercayaan penuh diberikan kepada para pendidik
dan tenaga pendidik untuk menjadikan anak-anak mereka menjadi pribadi yang positif.
Peranan penting pendidikan dalam menumbuh-kembangkan karakter juga ditulis
dalam Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang
menyatakan bahwa fungsi utama dari Pendidikan Nasional ialah mengembangkan
kemampuan,

membentuk

watak,


menjadikan

peradaban

bangsa

bermartabat.

Kesemuanya itu untuk menjadikan rakyat Indonesia cerdas, beriman, bertakwa kepada
Tuhan, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis, dan
bertanggung

jawab.

Walaupun

demikian,

upaya


yang

dilakukan

belum-lah

komprehensif. Oleh karena itu, upaya lain ditempuh yaitu menempatkan pendidikan
karakter sebagai tempat pertama dari kedelapan misi yang ada. Misi-misi tersebut
merupakan rangkaian yang dapat mewujudkan visi pembangunan nasional, seperti yang
terdapat dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025.
Rencana tersebut tertulis dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun
2007. Sebagai bentuk pelaksanaan terhadap rencana di atas, pada tanggal 14 Januari
2010 melalui metode sarasehan dirancanglah suatu program yang bernama “Pendidikan
11

Pemerintah Republik Indonesia, Desain Pendidikan Karakter Kementerian Pendidikan Nasional, ibid., 2-4.

16

Budaya dan Karakter Bangsa”.12 Program tersebut kemudian menjadi suatu gerakan

nasional pada bangsa ini. Sejak saat itu, karakter menjadi basis dari segala pendidikan
yang dilaksanakan.
II.1.2.Tanggung-jawab Dalam Gerakan Pembangunan Karakter
Dengan berhasilnya pembangunan karakter menjadi suatu gerakan nasional maka
tanggung-jawab tidak hanya berpusat pada lembaga pendidikan, melainkan pada
seluruh unsur dalam masyarakat. Lembaga pendidikan diibaratkan sebagai kepala
pelaksana, sedangkan unsur masyarakat lainnya, seperti keluarga dan masyarakat
(pemerintahan, masyarakat sipil, politik, dunia usaha dan industri, media massa)
adalah sasaran dalam pembangunan karakter.13
Dalam lingkup keluarga, anak-anak dibentuk karakternya melalui pendidikan
yang diberikan oleh masing-masing keluarga. Peran sentral pada lingkup ini adalah
orang tua serta orang dewasa lainnya yang ada. Mereka bertugas memberikan ajaran
dan membiasakan anak-anak mereka untuk melakukan nilai-nilai karakter.
Keberhasilan anak dalam melakukan nilai-nilai karakter juga tidak lepas dari
keteladanan yang diberikan oleh orang tua dan orang dewasa lainnya dalam keluarga.
Keteladanan tidak hanya diberikan dalam lingkup keluarga, namun juga penting
ditunjukkan oleh individu-individu yang berada pada pemerintahan. Pemerintah
adalah pihak yang memilih, memutuskan, mengeluarkan dan melaksanakan kebijakan
pembangunan karakter pada aras formal, informal, dan non-formal. Tangung-jawab
pemerintah tidak cukup berhenti pada hal-hal tersebut, melainkan terus berlanjut

dengan memberikan pengajaran secara tidak langsung dengan keteladanan dalam
melakukan karakter positif.

12

Pemerintah Republik Indonesia, Kebijakan Nasional: Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025, (Jakarta:
Pemerintah Republik Indonesia, 2010), i.
13
Pemerintah Republik Indonesia, ibid., 5-7.

17

Dalam lingkup masyarakat lainnya, seperti masyarakat sipil dan politik,
keteladanan juga menjadi hal yang wajib untuk diberikan sebagai wujud pembangunan
karakter. Memberikan teladan tidak memandang jabatan dan kekuasaan yang dimiliki
seseorang. Sebaliknya, semakin tinggi jabatan yang dimiliki, semakin besar pula
teladan yang harus ditunjukkan. Jadi, para tokoh dan elite masyarakat, organisasi
sosial; tokoh-tokoh dan organisasi agama; serta tokoh dan elite politik, wajib
hukumnya membangun karakter melalui pengajaran dan keteladanan. Melalui mereka,
nilai-nilai karakter dapat diinternalisasikan dalam diri masing-masing.

Telah dikatakan di atas bahwa tanggung-jawab juga dimiliki oleh dunia usaha dan
industri. Pertanyaannya, apa tanggung-jawab yang ada pada mereka? Dunia usaha dan
industri merupakan pihak yang erat kaitannya dengan bidang ekonomi pada bangsa
ini. Ketika mereka mampu melaksanakan nilai karakter yang tidak bergantung pada
bangsa atau orang lain (mandiri) maka akan memunculkan rasa yang kuat terhadap
persaingan dan rasa bangga menggunakan produk dalam negeri, serta memunculkan
lapangan kerja yang banyak.
Ketika unsur-unsur masyarakat yang telah dipaparkan di atas berhasil membangun
karakter positif maka pemberitaan akan cepat tersebar kepada seluruh masyarakat di
bangsa ini. Ini merupakan andil dari media massa. Realita saat ini menunjukkan bahwa
tiada berita yang tak sampai di telinga masyarakat, baik itu berita atau informasi yang
berdampak positif hingga yang berdampak negatif pada pembangunan karakter
masyarakat. Hal tersebut menunjukkan fungsi dan peran media massa yang semakin
besar, khususnya dengan perkembangan tekhnologi yang pesat saat ini. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa media massa bertanggung-jawab dalam membentuk
nilai-nilai, sikap, dan karakter bangsa.
II.1.3. Pendidikan Karakter dan Karakter
II.1.3.1. Latar Belakang munculnya Pendidikan Karakter

18


Karakter adalah hal yang penting bagi setiap individu. Pernyataan tersebut
diperkuat oleh Psikiater Frank Pittman sebagaimana yang ditulis oleh Thomas
Lickona dalam bukunya Pendidikan Karakter, bahwa stabilitas kehidupan
seseorang tergantung pada karakter yang dimilikinya. Karakter yang
memungkinkan seseorang untuk mampu mempertahankan hidup, memikul dan
mengatasi kemalangan yang ada dalam dunia yang tidak sempurna ini. Setiap
orang pada dasarnya menginginkan keberhasilan dan untuk mencapai hal itu,
menurut Stephen Covey masing-masing individu harus menjadi seseorang yang
baik agar mampu melakukan dengan baik. Jadi tanpa karakter orang tidak
mendapat apa-apa kecuali kehidupan yang gagal (Walker Percy).
Dimensi karakter diberi tempat pada bidang pendidikan, bukan-lah hal yang
baru. Thomas Lickona dan Matthew Davidson telah memperhatikan dan
menelitinya di Amerika Serikat yang kemudian hasil yang diperoleh dicatat
dalam Smart & Good High School. Dalam buku tersebut mereka menulis
bahwa pendidikan yang benar dipahami memiliki dua tujuan besar, yaitu untuk
membantu siswa menjadi cerdas dan untuk membantu mereka menjadi baik.
Pemahaman tersebut berlaku sepanjang sejarah dan dalam budaya di seluruh
dunia. Ketika melihat realita yang terjadi, hal itu dapat dikatakan mengalami
kegagalan dikarenakan pendidikan yang ada lebih di dominasi oleh

pengetahuan (kognitif). Pengetahuan tersebut justru tidak menjamin dalam
menghasilkan orang-orang yang berkarakter baik. Hal itu diperkuat oleh
Lickona dengan fakta-fakta yang menunjukkan merosotnya karakter orangorang di Amerika. Dalam kurun waktu tahun 1960 dan awal 1990-an, setiap
indikator stabilitas sosial dan kesehatan moral berubah secara dramatis kearah
negatif. Kejahatan yang bengis meningkat lebih dari 500 persen; bunuh diri
anak remaja meningkat 3 kali lipat; angka perceraian meningkat 2 kali lipat;

19

sekitar 40 persen anak hidup tanpa orang tua (bercerai) yang sebagian besar
ayah yang bercerai tidak membiayai anaknya; kelahiran pada ibu yang tidak
menikah meningkat lebih dari 400 persen; satu dari tiga bayi lahir tanpa ikatan
pernikahan; satu dari lima anak hidup dalam kemiskinan; dengan adanya
pengesahan aborsi oleh Mahkamah Agung 1973 ada lebih dari 40 juta aborsi di
Amerika, kira-kira satu aborsi setiap dua puluh detik (remaja Amerika tingkat
aborsi tertinggi di dunia). Ditambah lagi jumlah pemirsa televisi dalam rumah
tangga naik dari lima menjadi tujuh jam dan terus meningkat (remaja kurang
dari dua jam seminggu untuk membaca dan lebih dari dua puluh jam seminggu
menonton televisi).14
Pada tahun 2002 dalam catatan kartu laporan tentang etika orang muda di

Amerika menemukan beberapa hal, yaitu: tiga dari empat orang murid
mengaku menyontek saat ujian sekolah selama setahun terakhir; hampir empat
dari sepuluh murid telah mencuri dari toko selama setahun terakhir; hampir
empat dari sepuluh mengatakan mereka akan berbohong demi mendapatkan
pekerjaan yang bagus. Pada tahun 2000, delapan puluh persen murid yang
diseleksi (dianggap pemuda bangsa dan paling cemerlang) mengaku
menyontek di sekolah.15.
Serupa dengan di Amerika Serikat, dimensi karakter di Indonesia telah ada
sejak lama. Sejak awal kehidupan bangsa ini, para tokoh bangsa sangat
menyadari perlunya pembangunan karakter. Pembangunan karakter, oleh Ir.
Sukarno sebagai presiden RI yang pertama diberi tema Nation And Character
Building yang tegas dinyatakan dalam keempat alinea pembukaan UUD 1945.
II.1.3.2. Karakter

14

Thomas Lickona, Pendidikan Karakter, (Bantul: Kreasi Wacana Offset. 2012),15-16.
Thomas Lickona, ibid., 16-17.

15

20

Menurut Kevin Ryan dan Karen E. Bohlin, karakter berasal dari kata dalam
bahasa Inggris character, yang juga berasal dari bahasa Yunani charassein,
yang berarti “to engrave” (melukis, menggambar), seperti orang yang melukis
kertas, memahat batu atau metal. Berakar dari pengertian tersebut, karakter
kemudian diartikan sebagai tanda atau ciri yang khusus dan karenanya
melahirkan suatu pandangan bahwa karakter adalah pola perilaku yang bersifat
individual, atau dapat juga sebagai keadaan moral seseorang.16 Selanjutnya
Kevin Ryan dan Karen E. Bohlin menggambarkan bentuk dari karakter, yaitu
termasuk dalam salah satu dari kata-kata yang familiar, namun sulit untuk
dijabarkan, abstrak, tidak dapat dilihat, tidak dapat disentuh, dan tidak dapat
dirasakan. Karakter dapat diketahui ketika berada di sekitar orang-orang yang
memiliki karakter yang baik. Secara singkat, karakter adalah intelektual dan
kebiasaan moral seseorang.
Karakter juga berarti kualitas yang dibangun ke kehidupan individu dan
individu tersebut-lah yang menentukan responnya. Karakter adalah motivasi
batin untuk melakukan apa yang benar dan baik (kebajikan) sesuai dengan
standar tertinggi dari perilaku dalam setiap situasi. Tujuan utamanya adalah
untuk mengembangkan sebuah pancaran karakter yang telah bercampur dan
yang memancar dalam cahaya dari setiap perbuatan. Dalam kaitannya dengan
prestasi, karakter adalah "sistem akar" atau “root system” yang mendukung
seluruh hidup seseorang. Prestasi adalah "buah yang terlihat" yang dihasilkan
dari karakter diri. Karakter ditekankan dengan membangun kesadaran melalui
pelatihan, bahan-bahan, dan contoh kepemimpinan.
Menurut Lickona, karakter berkaitan dengan konsep moral (moral
knowing), sikap moral (moral felling), dan perilaku moral (moral behavior).
16

Kevin Ryan & Karen E. Bohlin, Building Character in School (Jossey-Bass, 1999), hlm.5-9.

21

Berdasarkan ketiga aspek ini dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik
didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik,
dan melakukan perbuatan yang baik. Dengan demikian, seseorang dapat
dikatakan berkarakter baik bukan saja melibatkan salah satu aspek, seperti
intelektual yang menurut Lickona sebagai moral knowing, atau dikorelasikan
dengan kebiasaan moral seseorang (moral behavior). Orang yang berkarakter
adalah orang yang mampu mengkorelasikan ketiga aspek tersebut dengan
komposisi yang seimbang. Dengan demikian orang tersebut secara sadar akan
mampu memahami, merasakan, dan melakukan secara bersamaan nilai-nilai
karakter yang sesuai dengan prinsip moral. Ahli lain yang juga mengemukakan
pendapat Lickona tentang definisi karakter. Ahli yang dimaksud ialah Tifany
Gray

yang

mengutip

The

Character

Education

Partnership

(CEP)

mendefinisikan bahwa karakter berguna sebagai pemahaman, kepedulian, dan
bertindak atas nilai-nilai etika inti seperti hormat, tanggung jawab, kejujuran,
keadilan, dan kepedulian.
Menurut Timoty Wibowo, karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia
yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama
manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap,
perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum,
tata krama, budaya dan adat istiadat. Karakter tidak bisa diwariskan, karakter
tidak bisa dibeli dan karakter tidak bisa ditukar. Karakter harus dibangun dan
dikembangkan secara sadar hari demi hari dengan melalui suatu proses yang
tidak instan. Karakter bukanlah sesuatu bawaan sejak lahir yang tidak dapat
diubah lagi seperti sidik jari.
Pengertian karakter tidak hanya diberikan oleh para peneliti, namun juga
tercatat dalam suatu kebijakan. Dalam Kebijakan Nasional juga mengartikan

22

karakter sebagai “Nilai-nilai yang khas – baik (mengetahui nilai kebaikan,
keinginan untuk berbuat baik, dengan nyata berkehidupan baik, dan berdampak
baik terhadap lingkungan) yang terpateri dalam diri dan terejawantahkan dalam
perilaku. Karakter secara koheren memancar dari hasil olah pikir, olah hati,
olah raga, serta olah rasa dan karsa seseorang atau sekelompok orang. Karakter
merupakan ciri khas seseorang atau sekelompok orang yang mengandung nilai,
kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan
tantangan”.17
Dari beberapa pengertian karakter yang telah dipaparkan di atas
memperlihatkan bahwa karakter tidak berdiri sendiri, melainkan terdapat
unsur-unsur pendukung. Adapun unsur-unsur yang dimaksud ialah prinsip
moral, kebajikan (virtue), iman, dan nilai. Prinsip moral adalah pemahaman
serta perasaan tentang yang benar dan salah, baik dan buruk. Prinsip moral juga
dikaitkan dengan iman seseorang, sehingga prinsip ini menjadi pemahaman
nilai dan norma yang menjadi pegangan setiap orang.18 Oleh karena itu,
melalui ini seseorang dapat mengetahui mana hal yang benar dan yang tidak
benar untuk dilakukan. Pengetahuan tersebut dapat muncul dari hasil penalaran
seseorang ketika mengambil keputusan tentang hal yang baik dan hal yang
buruk. Inilah cara untuk memahami moral secara mendalam. Di mana moral
tidak cukup dilihat sebagai aspek perbuatan atau tingkah laku yang tampak
dalam kehidupan sehari-hari, melainkan juga sebagai penalaran atau pemikiran.
Dengan demikian menunjukan bahwa moral adalah potensi dalam diri setiap
manusia.

17

Pemerintah Republik Indonesia, Kebijakan Nasional: Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025, (Jakarta:
Pemerintah Republik Indonesia, 2010), 7.
18
Doni Koesoema, Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh, (Yogyakarta: Kanisius, 2012), 195.

23

Pendukung karakter lainnya yaitu kebajikan (virtue). Kebajikan (virtue)
secara singkat adalah isi dari karakter yang baik. Kebajikan juga dapat
diartikan sebagai kecenderungan seseorang untuk melakukan tindakan yang
baik menurut sudut pandang moral.19 Lickona membagi kebajikan menjadi dua
bagian, yaitu kebajikan fundamental dan esensial. Kebajikan fundamental
terdiri dari rasa hormat (respect) dan tanggung jawab (responsibility).20
Kebajikan fundamental tersebut dibutuhkan untuk membentuk karakter yang
baik disamping kebajikan esensial yang terdiri dari sepuluh kebajikan.
Kebajikan-kebajikan tersebut antara lain: kebijaksanaan (wisdom), keadilan
(justice), ketabahan (fortitude), pengendalian diri (self-control), kasih (love),
sikap positif (positive attitude), kerja keras (hard work), integritas (integrity),
penuh syukur (gratitude), dan kerendahan hati (humality).21 Kebajikankebajikan ini merupakan inti (core virtues) yang berfungsi dalam
mengembangkan karakter yang baik (good character).
Keduabelas kebajikan menurut Lickona di atas bukanlah hal mutlak untuk
diberikan kepada naradidik. Para penyelenggara dan pengajar dalam
pendidikan karakter dapat memuat kebajikan-kebajikan lainnya yang
dikondisikan dengan berbagai keadaan disekitar. Berakar dari hal ini kemudian
muncul-lah istilah yang disebut dengan nilai. Nilai merupakan hal-hal inti yang
diajarkan dalam pendidikan karakter. Hal tersebut dipertegas oleh Tyler dengan
mendefinisikan nilai sebagai suatu objek, aktivitas atau ide yang dapat
mengarahkan minat, sikap, serta kepuasan naradidik. Hal ini dinyatakan oleh
pihak-pihak penyelenggara serta pengendali pendidikan. Dalam nilai,

19

Thomas Lickona, Character Matters, (New York: Somon and Schuster, 2004), 7.
Thomas Lickona, Educating for Character, (New York:Bantam Books, 1991), 43.
21
Thomas Lickona, Character Matters, ibid., 8-11.

20

24

kepercayaan agama menjadi tolak ukur penilaian terhadap hal-hal mana yang
baik untuk dilakukan.
Ketika melihat uraian tentang prinsip moral, kebajikan, nilai, dan iman
maka nampaklah keterkaitan antara satu dengan lainnya. Unsur-unsur
pendukung karakter tersebut secara nyata tidak dapat dipisahkan.
II.1.4. Nilai-nilai Karakter
Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa nilai merupakan bagian inti dari
pendidikan karakter. Menurut Lickona sesungguhnya terdapat nilai-nilai moral
universal yang bersumber dari agama-agama di dunia, dan hal itu yang disebutnya
sebagai the golden rule. Nilai moral universal yang dimaksud meliputi: kejujuran,
kesalehan (piety), keterpercayaan (trustworthiness), hormat (respect), tanggung jawab
(responsibility), keadilan (fairness), kepedulian (caring), dan kewarganegaraan
(citizenship).22
Dalam pendidikan karakter, nilai-nilai baik diajarkan kepada naradidik melalui
serangkaian proses pembelajaran. Nilai-nilai yang diajarkan tersebut tentunya berbeda
antara satu penyelenggara pendidikan dengan yang lainnya, khususnya tiap-tiap
bangsa. Hal itu dikarenakan masing-masing bangsa memiliki ideologi dan budaya
yang berbeda. Oleh karena itu, nilai moral universal yang diusung oleh Lickona belum
tentu secara keseluruhan digunakan oleh penyelenggara-penyelenggara pendidikan
karakter, termasuk Indonesia.
Bagi bangsa Indonesia, nilai-nilai dapat bersumber dari ideologi bangsa Indonesia,
agama, budaya, maupun yang telah dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional.
Secara spesifik, nilai-nilai dalam pendidikan karakter yang dipilih oleh bangsa ini
bersumber dari: a) Agama, di mana Indonesia merupakan negara yang berisikan rakyat
yang beragama. Oleh karena itu, ajaran agama selalu mendasari seluruh kegiatan di
22

Thomas Lickona, Character Matters: Persoalan Karakter, terj. Juma Wadu Wamaungu & Jean Antunes Rudolf
Zien dan Editor Uyu Wahyuddin dan Suryani, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), 7.

25

dalam bangsa ini; b) Pancasila sebagai dasar dari negara ini. Oleh karena itu, beberapa
nilai yang berada di dalam Pancasila di adopsi oleh pendidikan karakter dengan tujuan
agar naradidik menjadi warga negara yang lebih baik dengan mampu, ingin, dan
menerapkan nilai-nilai. Adapun nilai-nilai tersebut ialah nilai keyakinan dan
ketakwaan terhadap Tuhan yang disembah, menghormati dan toleransi antar umat
beragama, kebebasan melaksanakan ibadah masing-masing, mengakui harkat dan
martabat yang dimiliki oleh masing-masing individu sebagai manusia, mengakui
bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang mulia, menjunjung tinggi nilai
kemanusiaan dan memperoleh keadilan, tenggang rasa terhadap sesama, tidak
mendahulukan kepentingan pribadi atau golongan, rasa cinta tanah air dan bangsa
serta rela berkorban baginya, membina persatuan dan kesatuan, musyawarah untuk
mufakat, gotong royong, adil dalam segala bidang kehidupan.23 c) Budaya. Nilai-nilai
yang berada pada budaya adalah nilai-nilai yang diakui oleh masyarakat. Nilai tersebut
yang kemudian menjadi dasar untuk memberi makna dan arti bagi komunikasi yang
terjadi di antara anggota masyarakat. d) Tujuan Pendidikan Nasional, yang tertulis
dalam UU RI Nomor 20 tahun 2003 adalah “mengembangkan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi naradidik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab.”24
Di samping beberapa sumber yang dipaparkan di atas, jika ditinjau dari sudut teori
psikososial menunjukkan bahwa tindakan seseorang dalam mewujudkan karakter
merupakan suatu tindakan yang menggabungkan beberapa unsur yang membentuk diri
23

Aa Nurdiaman, Pendidikan Kewarganegaraan: Kecakapan Berbangsa dan Bernegara, (Bandung: Pribumi Mekar,
2007), 12-14.
24
Syamsul Kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsepsi & Implementasi secara Terpadu di Lingkungan Keluarga,
Sekolah, Perguruan Tinggi, & Masyarakat, (Yogyakarta: Ar_Ruzz Media, 2013), 40.

26

orang tersebut. Unsur tersebut diklasifikasikan menjadi empat bagian, yaitu olah pikir
berkaitan dengan proses nalar yang menggunakan dan mencari pengetahuan secara
kritis, kreatif, dan inovatif; olah hati yang mencakup perasaan sikap dan keyakinan
atau keimanan; olah rasa dan karsa memiliki kaitan dengan kreativitas serta kemauan
yang nampak dalam sikap peduli, pencitraan, dan menciptakan hal-hal yang baru.
Bagian yang terakhir dari sudut ini ialah olah raga yang berarti memiliki kaitan dengan
menciptakan persepsi, mempersiapkan, meniru, memanipulasi, serta menciptakan
aktivitas yang baru yang sportif.
Dalam empat bagian yang dipaparkan di atas terdapat nilai-nilai karakter yang
berada di dalamnya, di mana nilai-nilai karakter tersebut berbasis Pancasila. Nilai-nilai
karakter yang dimaksud ialah:25
a. Olah pikir: kecerdasan, kekritisan, kekreativitasan, inovatif, rasa ingin tahu,
produktif, memiliki orientasi pada iptek, dan reflektif.
b. Olah hati: beriman dan bertakwa, jujur, amanah, adil, tertib, taat aturan,
bertanggung-jawab, berempati, berani mengambil resiko memiliki jiwa patriotik,
rela berkorban, dan pantang menyerah.
c. Olah rasa dan karsa memunculkan karakter bangga menggunakan produk dan
bahasa Indonesia, gotong royong, kerja keras, peduli, dinamis, nasionalis, memiliki
etos kerja, saling menghargai, mengutamakan kepentingan umum, cinta tanah air,
ramah, toleran, hormat, mendunia, kemanusiaan, dan kebersamaan.
d. Olah raga menimbulkan nilai-nilai karakter antara lain gigih, bersih dan sehat,
ceria, kooperatif, kompetitif, sportif, determinatif, bersahabat, berdaya tahan, andal,
tangguh, dan kompetitif.
Sifat holistik yang terdapat dalam teori psikologis, pendidikan, dan sosial, juga
terjadi pada psikososial. Saling terhubung dan melengkapi antara olah pikir, olah hati,
25

Pemerintah Republik Indonesia, Kebijakan Nasional: Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025, ibid., 2122.

27

olah rasa dan karsa, serta olah raga menciptakan tindakan yang berkarakter dalam diri
seseorang. Keterhubungan dan melengkapi tersebut dapat dilihat dalam bagan di
bawah ini.

Gambar 1: Keterhubungan dan saling melengkapi dalam sudut psikososial

Sumber: Pemerintah Republik Indonesia, Kebijakan Nasional: Pembangunan Karakter Bangsa Tahun
2010-2025

Nilai karakter banyak dimunculkan oleh sumber-sumber di atas, namun hanya
beberapa nilai karakter yang dipilih dan disahkan untuk di ajarkan dalam pendidikan.
Terdapat delapan belas nilai-nilai dalam pendidikan karakter yang dipilih, yaitu:26
a. Religius ialah sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama
yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun
dengan pemeluk agama lain.
b. Jujur ialah perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang
yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
c. Toleransi ialah sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,
pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
d. Disiplin ialah tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai
ketentuan dan peraturan.
e. Kerja Keras ialah tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada
berbagai ketentuan dan peraturan.
f. Kreatif ialah berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil
baru dari sesuatu yang telah dimiliki.

26

Syamsul Kurniawan, ibid., 41-42.

28

g. Mandiri ialah sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain
dalam menyelesaikan tugas-tugas.
h. Demokratis ialah cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan
kewajiban dirinya dan orang lain.
i. Rasa ingin tahu ialah sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui
lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
j. Semangat kebangsaan ialah cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan
kelompoknya.
k. Cinta tanah air ialah cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan
kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
l. Menghargai prestasi ialah sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta
menghormati keberhasilan orang lain.
m. Bersahabat/komunikatif ialah sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta
menghormati keberhasilan orang lain.
n. Cinta damai ialah sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan
sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati
keberhasilan orang lain.
o. Gemar membaca ialah kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai
bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
p. Peduli lingkungan ialah sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah
kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya
untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

29

q. Peduli sosial ialah sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada
orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
r. Tanggung jawab ialah sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan
kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat,
lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
Nilai-nilai tersebut tidak menjadi nilai yang mutlak, namun dapat ditambah maupun
dikurangi sesuai dengan kebutuhan naradidik dalam pendidikan karakter yang
dilaksanakan.
II.1.5. Pendidikan Karakter
Para peniliti tidak hanya memberikan arti pada karakter namun juga pada
pendidikan karakter (Character Education). Beberapa peneliti baik personal maupun
dalam komunitas berikut yang mendefinisikan pendidikan karakter. Menurut David H
Elkind dan Freddy Sweet, pendidikan karakter (CE) adalah semua yang dilakukan oleh
seorang pengajar dalam mempengaruhi karakter anak-anak yang di ajar.27 Lebih lanjut
Williams (2000) menjelaskan bahwa makna dari pengertian pendidikan karakter
tersebut awalnya digunakan oleh National Commission on Character Education (di
Amerika) sebagai suatu istilah payung yang meliputi berbagai pendekatan, filosofi,
dan program. Pemecahan masalah, pembuatan keputusan, penyelesaian konflik
merupakan aspek yang penting dari pengembangan karakter moral. Oleh karena itu, di
dalam pendidikan karakter semestinya memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengalami sifat-sifat tersebut secara langsung.28
Principal Character Education (PCE) yaitu suatu gabungan yang di dalamnya
terdiri dari prinsip-prinsip pendidikan karakter, mengartikan pendidikan karakter
sebagai sebuah gerakan nasional untuk mengembangkan sekolah-sekolah agar dapat
27

KEMENDIKNAS, Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama, (Jakarta: KEMENDIKNAS
2010), 13.
28
M.Williams, Models of Character Education: Perspectives and Developmental Issues. Dalam Journal of
Humanistic Counseling, Education and Development vol 39, Issue 1, September 2000), 32-40.

30

menumbuhkan dan memelihara nilai-nilai etis, tanggung jawab dan kemauan untuk
merawat satu sama lain dalam diri anak-anak muda, melalui keteladanan dan
pengajaran tentang karakter yang baik, dengan cara memberikan penekanan pada nilainilai universal yang diterima oleh semua. Gerakan ini merupakan usaha-usaha dari
sekolah, distrik, dan negara bagian yang sifatnya intensional dan proaktif untuk
menanamkan dalam diri para siswa nilai-nilai oral inti, seperti perhatian dan perawatan
(caring), kejujuran, keadilan (fairness), tanggung jawab dan rasa hormat terhadap diri
dan orang lain.29 Agar efektif, pendidikan karakter harus mencakup semua pemangku
kepentingan dalam komunitas sekolah dan harus menembus iklim sekolah dan
kurikulum. Semua pendekatan ini mempromosikan pengembangan intelektual, sosial,
emosional, dan etis orang muda dan memiliki komitmen untuk membantu kaum muda
menjadi bertanggung jawab, peduli, dan terlibat dalam masyarakat.
Sementara itu Asosiasi Supervisi dan Pengembangan Kurikulum di Amerika
Serikat, mendefinisikan pendidikan karakter sebagai sebuah proses pengajaran yang
dilakukan oleh pengajar kepada anak-anak. Dalam proses pengajaran tersebut
berisikan tentang nilai-nilai dasar kemanusiaan termasuk kejujuran, keramahtamahan,
kemurahan hati, keberanian, kebebasan, persamaan, dan rasa hormat. Tujuannya
adalah untuk menumbuhkan dalam diri siswa sebagai warga negara yang dapat
bertanggungjawab secara moral dan memiliki disiplin diri”.30
Peneliti lainnya yang juga banyak memberikan konsep tentang pendidikan karakter
ialah Thomas Lickona. Terminology pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak tahun
1990-an dan banyak orang menganggap bahwa ia yang mengusungnya. Oleh karena
itu, ia dianggap serta sebagai salah satu pencetus utama pendidikan karakter dari dunia
Barat dan ia dinobatkan sebagai bapak pendidikan karakter di Amerika. Lickona

29

Character Education Partnership, 11 Principles Of Effective Character Education, (USA: Character Education
Partnership, 2010), i.
30
Doni Koesoema, ibid., 57-58.

31

memberi definisi pendidikan karakter sebagai suatu usaha yang disengaja untuk
membantu seseorang, sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan
nilai-nilai etika yang inti. Di mana nilai-nilai tersebut yang menjunjung tinggi hak
azasi manusia dan memperkokoh martabat manusia. Lebih lanjut dalam bukunya yang
berjudul Character Matters, Lickona menjelaskan pendidikan karakter adalah usaha
sengaja (sadar) untuk mewujudkan kebajikan, yaitu kualitas kemanusiaan yang baik
secara objektif, bukan hanya baik untuk individu perseorangan, tetapi juga baik untuk
masyarakat secara keseluruhan.31 Pendidikan karakter perlu diajarkan kepada generasi
muda dengan tujuan agar mereka memiliki pemahaman yang benar tentang mana yang
baik dan salah. Tidak cukup itu saja menurut Lickona, dengan pendidikan karakter
dapat menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal-hal yang baik, sehingga
naradidik mampu memahami, merasakan, serta bersedia melakukan hal-hal yang baik
tersebut.
II.1.6.Strategi dalam Pembangunan Karakter
II.1.6.1.Model Pendekatan Pembangunan Karakter melalui Pendidikan
Seorang pengajar atau pihak yang melaksanakan pendidikan karakter dapat
memberikan

pendidikan

karakter

kepada

naradidik

dengan

suasana

yang

menyenangkan, interaktif dan penuh dorongan. Sebab, pendidikan karakter dapat
dilaksanakan dengan enam model, yaitu:32
a. Pembiasaan
Model ini adalah model tertua yang ada dalam dunia pendidikan. Kegiatan
yang sengaja dilakukan berulang-ulang dengan tujuan kegiatan tersebut menjadi
kebiasaan, itulah yang disebut dengan pembiasaan, atau dalam psikologi
pendidikan dikenal dengan operan conditioning. Inti dari pembiasaan ialah agar
seseorang
31

memperoleh

pengalaman.

Dalam

pendidikan

Thomas Lickona, 2012: 5.
Mulyasa, H.E, Manajemen Pendidikan Karakter, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 165-190.

32

32

karakter,

model

pembelajaran ini berguna dalam mengajar dan membiasakan naradidik dapat
melakukan hal-hal yang benar. Proses pembiasaan dapat dilakukan dalam dua cara,
yaitu yang dilaksanakan secara terprogram dalam pembelajaran maupun yang tidak
terprogram.
1. Pembiasaan yang terprogram ialah pembelajaran dengan memiliki perencanaan
terlebih dahulu tentang kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan, cara mereka
melakukan, tempat dan waktu yang ditentukan.
2. Pembiasaan yang tidak terprogram dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: a)
spontan ialah kegiatan yang secara langsung dilakukan oleh seseorang, misal
mengambil sampah dan dibuang pada tempatnya; b) keteladanan ialah
pembiasaan dengan melihat contoh, seperti berpakaian rapi.
b. Keteladanan
Pada model ini para pengajar menjadi pusat belajar dari peserti didik, sebab
naradidik akan mencontoh segala yang benar, yang dilakukan dan dikatakan oleh
pengajar dalam rangka membentuk dan mengembangkan diri mereka. Dengan
demikian, pribadi seorang pengajar juga memiliki andil yang sangat besar dalam
kesuksesan pembelajaran dan keberhasilan naradidik, khususnya dalam pendidikan
karakter. Pengajar yang mampu memberikan keteladanan bagi naradidik, akan
membuat mereka senang untuk belajar, serta betah berada di dalam ruang belajar.
Keteladanan bukan berarti naradidik sepenuhnya meniru pengajar, melainkan
naradidik harus berani mengembangkan dirinya sendiri. Dalam hal ini, pengajar
bertugas menjadikan naradidik sebagai seutuhnya naradidik, yaitu dengan
mengembangkan naradidik sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki.
c. Pembinaan Disiplin
Terkait dengan model ini maka pengajar bertugas menumbuhkan disiplin dalam
diri naradidik. Hal ini merupakan salah satu cara dalam menjadikan pendidikan

33

karakter sukses dilaksanakan. Yang perlu dilakukan oleh para pengajar dalam
menjadikan para naradidik disiplin ialah membantu mereka dalam mengembangkan
pola perilaku, meningkatkan standar perilaku, dan melaksanakan aturan-aturan
yang ada. Tindakan awal yang dapat dilakukan pengajar ialah dengan
menggunakan prinsip demokratis, dari, oleh dan untuk naradidik. Pembinaan
disiplin adalah penting dalam menumbuh-kembangkan karakter naradidik, namun
pengajar perlu mempertimbangkan situasi-situasi naradidik dan paham dengan
faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan naradidik.
Disiplin adalah bagian dari pembiasaan dan keteladanan yang biasa dilakukan di
sekolah, masyarakat, termasuk gereja, yang pada hakekatnya kegaiatan-kegiatan
yang ada terikat oleh aturan. Untuk menerapakan ketiga model tersebut
mengharuskan pengajar konsisten dan berkesinambungan dalam melakukannya.
d. CTL (Contextual Teaching and Learning)
Dalam menggunakan model ini perlu memperhatikan keterkaitan antara materi
pembelajaran dengan dunia kehidupan atau pengalaman nyata naradidik, antara lain
konteks keadaan pribadi, sosial dan budaya. Maksud dari hal tersebut ialah agar
naradidik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar yang
mereka miliki dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan dari metode CTL ialah
menolong naradidik dalam memahami makna dari materi pelajaran yang telah
dipelajari dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan seharihari. Dengan demikian naradidik mempunyai pengetahuan dan ketrampilan yang
dapat diterapkan dalam kehidupan termasuk permasalahan disekitar mereka.
Menggunakan metode ini dalam pembelajaran yang menekankan praktik
karakter, akan mendorong naradidik dalam memahami hakikat, makna, dan manfaat
belajar. Sedangkan pengajar akan berfungsi sebagai penyedia sarana, sumber
belajar yang memadai, strategi pembelajaran, dan menciptakan iklim maupun

34

lingkungan belajar yang kondusif untuk menumbuh-kembangkan karakter-karakter
yang ada pada masing-masing individu.
e. Bermain Peran
Bermain peran adalah salah satu cara memecahkan masalah yang kreatif sebab,
para naradidik dapat memperagakan hubungan-hubungan antarmanusia dan
melakukan diskusi bersama para naradidik yang lainnya. Hal tersebut bertujuan
agar mereka dapat mengeksplorasi perasaan-perasaan, sikap-sikap, nilai-nilai.
Pemecahan masalah dengan menggunakan metode ini memerlukan bantuan
kelompok

sosial

yang

beranggotakan

teman-teman

sekelas,

sehingga

memperlihatkan kerjasama dalam kelompok untuk menganalisis situasi-situasi
sosial, khususnya masalah yang berhubungan dengan antarpribadi.
f. Pembelajaran
Pembangunan karakter dapat dilakukan dengan cara mengajarkan naradidik
tentang berbagai hal yang berkaitan dengan karakter, dan hal itu dapat terjadi dalam
kegiatan kelas. Melalui proses belajar setiap materi dan kegiatan yang dirancang
untuk pengembangan seluruh ranah (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotor).
Dalam proses tersebut juga perlu dilakukan pengondisian tertentu khususnya
terhadap suasana atau iklim belajar. Suasana atau iklim yang dikondisikan di
tempat belajar dapat berupa kedisiplinan, kejujuran, serta kasih. Dengan demikian
naradidik akan menghasilkan karakter yang baik serta memberikan mereka
kesempatan dalam mewujudkan tindakan yang menunjukkan karakter yang baik
tersebut.33
Proses pendidikan yang membangun karakter seseorang juga menjadi efektif
ketika naradidik memiliki tingkat keterlibatan atau partisipatif. Partisipasi yang
tinggi dapat ditunjukkan, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun
33

Pemerintah Republik Indonesia, Desain Pendidikan Karakter Kementerian Pendidikan Nasional, ibid., 15-17.

35

pengevaluasiaan proses belajar. Hal tersebut dapat terlaksana ketika beberapa
prinsip dibawah ini dapat diterapkan: 1) berdasarkan kebutuhan belajar (learning
needs based); 2) berorientasi pada usaha dalam mencapai tujuan belajar yang telah
dirancang (learning goals and objectives oriented); 3) berpusat pada naradidik
(partisipan centered); 4) belajar berdasarkan pengalaman (experiential learning).
Dalam hal ini, pengajar berfungsi sebagai fasilitator.
Pada hakekatnya pembangunan karakter melalui pembelajaran dapat berhasil
ketika melewati perencanaan yang matang dan dimasukkan ke dalam program
kerja.34 Dengan demikian segala sesuatunya menjadi terstruktur dan tersistematis.
Contoh pembelajaran yang dapat dimasukkan dalam program yaitu: mengadakan
berbagai perlombaan yang bertemakan tanah air. Selain itu juga dapat mengadakan
lomba olahraga yang disukai naradidik, seperti basket atau footsal yang di dalam
satu regu terdapat umur yang berbeda-beda. Lomba debat atau pidato yang
mengambil tema tentang karakter dalam bangsa Indonesia, atau juga lomba menulis
puisi, karya tulis tentang dampak karakter buruk dalam negara tercinta. Selain itu
juga dapat mengadakan kegiatan-kegiatan yang dirancang tidak hanya membangun
karakter naradidik, melainkan menjalin serta mempererat relasi dengan pihak lain.
Sebagai contoh mengadakan perkunjungan ke rumah sakit, rumah tahanan, atau ke
tempat-tempat yang dapat menumbuhkan rasa cinta tanah air. Selain itu juga dapat
melakukan pengabdian kepada masyarakat untuk menumbuhkan rasa kepedulian
dan kesetiakawanan sosial; melakukan kerja bakti bersama relasi yang telah ada,
seperti: dengan sekolah-sekolah, dengan umat beragama lainnya, dengan
masyarakat sekitar atau pemerintah kota.
Pembangunan karakter melalui pembelajaran juga dapat dilakukan dengan
mengintegrasikan nilai-nilai karakter pada mata pelajaran, khususnya pada tiap
34

Pemerintah Republik Indonesia, Desain Pendidikan Karakter Kementerian Pendidikan Nasional, ibid., 16

36

materi pembelajaran.35 Sebagai contoh, untuk nilai karakter jujur dapat
diintegrasikan dalam mata pelajaran ekonomi tentang konsep ekonomi (mata
pelajaran ekonomi kelas X). Pengintegrasian yang demikian tidak terbatas pada
satuan pendidikan yang formal, namun juga dapat dilakukan dimana saja, termasuk
di gereja. Pendidikan karakter dalam gereja salah satunya dapat dilakukan dengan
mengintegrasikan nilai-nilai karakter pada katekisasi. Misalnya dalam materi dosa,
anugerah pertobatan, pengampunan dan hidup baru dapat diintegrasikan dengan
nilai karakter bertanggung-jawab.
Proses pembangunan karakter memerlukan waktu yang cukup lama. Dalam
proses ini terdapat strategi yang mencakup keseluruhan konteks perencanaan dan
implementasi dari pembangunan karakter. Dalam latar ini terbagi menjadi tiga
tahap, yakni:36
a. Perencanaan, merupakan tahap awal yang di dalamnya terdapat tindakan
menggali seluruh perangkat karakter kemudian dikembangkan, dikristalkan dan
dilakukan perumusan kembali. Tindakan tersebut dilakukan dengan mengacu 1)
dasar filosofis yaitu Pancasila, UUD 1945, UU No.20 tahun 2003 dengan
seluruh ketentuan perundang-undangan yang diturunkannya; 2) dasar teoritis:
teori tentang otak, psikologis, pendidikan, nilai dan moral, serta sosio kultural;
3) dasar empiris terdiri dari pengalaman yang terjadi dan praktik yang terbaik,
seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh, kelompok kultural, sekolah unggulan,
gereja.
b. Pelaksanaan (implementasi) yaitu tahap di mana segala yang telah direncanakan
dikembangkan melalui proses belajar. Proses tersebut kemudian menjadi
pengalaman yang pada akhirnya membentuk karakter dalam diri naradidik.
35

Pemerintah Republik Indonesia, Desain Pendidikan Karakter Kementerian Pendidikan Nasional, ibid., 18
Pemerintah Republik Indonesia, Kebijakan Nasional: Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025, ibid., 3031.
36

37

Keterlibatan semua pihak sangat penting dalam hal ini yaitu satuan pendidikan
(sekolah), keluarga, dan masyarkat. Ketiga pihak tersebut juga disebut sebagai
tiga pilar pendidikan. Mereka harus bekerjasama dan saling melengkapi dalam
melakukan dua pendekatan, yaitu intervensi dan habituasi. Intervensi merupakan
cara dari ketiga pilar dalam mengembangkan secara sengaja proses pendidikan,
sehingga perlu merancang suasana interaksi dalam belajar serta menerapkan
kegiatan-kegiatan. Dalam proses ini, pengajar memiliki peran sebagai panutan.
Di samping itu, perlu menciptakan situasi dan kondisi sebagai penguat bagi
naradidik membiasakan diri melakukan nilai-nilai karaker yang selama ini telah
diperoleh melalui proses-proses di atas. Hal inilah yang disebut dengan
habituasi. Pada dasarnya keseluruhan proses yang telah dipaparkan di atas
memiliki prinsip yaitu holistik, sistematis, dan dinamis.
c. Evaluasi Akhir adalah tahap akhir yang dilakukan dalam latar ini. Pada tahap ini
yang dilakukan ialah melakukan penilaian terhadap program yang telah
dilakukan apakah memerlukan perbaikan atau tidak. Indikator yang digunakan
ialah aktualisasi karakter dalam diri naradidik.
Keseluruhan proses dalam uraian di atas dapat dilihat melalui bagan di bawah
ini: Gambar 2: Strategi Pembangunan Karakter melalui Pendidikan

Tahap Pelaksanaan

Pancasila, UUD
1945, UU
No.20/2003
tentang Sisdiknas
Teori Pendidikan,
Psikologi,Nilai
dan moral, serta
sosio kultural

Tahap Perencanaan

INTERVENSI
SEKOLAH

Nilainilai
Pengalaman
terbaik dan
praktik
nyata

KELUARGA

MASYARAKAT

HABITUASI
PERANGKAT PENDUKUNG:
Kebijakan, Pedoman, Sumber Daya, Lingkungan,
Sarana dan Prasarana, Kebersamaan, Komitmen
pemangku kepentingan

Perilaku
Berkarakter

Tahap
Evaluasi

Sumber: Pemerintah Republik Indonesia, Kebijakan Nasional: Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025

38

II.1.6.2. Peranan Pengajar
Guru dan seluruh pendidik bukan hanya berperan sebagai pemberi ilmu
pengetahuan (resource knowledge), namun dalam pendidikan karakter, mereka juga
berperan dalam memberikan contoh dan teladan bagi naradidik. Dapat dikatakan
bahwa mereka sebagai figur utama dalam pendidikan yang berbasis pada karakter.
Oleh karena itu mereka memiliki pengaruh yang besar dan menentukan keberhasilan
naradidik dalam mengembangkan karakter. Dengan demikian, para pendidik perlu
mempersiapkan diri mereka sendiri dengan baik dan benar, sehingga apapun yang
mereka rencanakan dalam proses belajar di dalam pendidikan karakter akan memiliki
pengaruh yang baik kepada naradidik. Untuk dapat melakukan hal tersebut maka
para pendidik perlu mengefektifkan pembelajaran yang diampuhnya. Dalam
mengefektifkan pembelajaran, para pendidik perlu memahami prinsip-prinsip berikut
ini, yaitu:37
1. Seluruh naradidik memiliki rasa ingin tahu yang terus menerus dan berbeda-beda
satu dengan yang lainnya, serta memiliki kemampuan yang berbeda pula dalam
rangka menjawab keingin-tahuan tersebut. Oleh karena itu, para pendidik harus
memahami dengan baik prinsip yang pertama ini.
2. Untuk menjawab keingin-tahuan naradidik dalam segala hal maka pendidik
mengatur

lingkungan

belajar

yang

berkarakter,

menyenangkan,

dan

membangkitkan rasa ingin tahu mereka. Dengan demikian, akan menumbuhkembangkan minat dan karakter yang baik yang ada dalam diri naradidik. Prinsip
yang kedua ini sebagai aksi setelah para pendidik memahami prinsip pertama.
3. Agar minat dan karakter yang baik dalam diri naradidik dapat bertumbuh dan
berkembang dengan baik maupun optimal maka para pendidik harus memberikan
ruang gerak yang leluasa kepada naradidik. Maksudnya ialah para pendidik
37

Mulyasa, H.E, ibid., 66.

39

melibatkan naradidik sesuai dengan minat mereka masing-masing, tanpa ada
intervensi serta pemaksaan dari pihak pendidik. Dengan demikian, pendidik hanya
berfungsi sebagai fasilitator yang membantu naradidik dalam memberikan
kemudahan untuk belajar.
Sebagai pemberi contoh dan teladan bagi naradidik maka sikap dan karakter para
pendidik juga perlu diperhatikan. Sikap dan karakter yang harus dimiliki oleh
seorang pendidik, antara lain: respek, memahami serta mampu mengendalikan diri
sendiri khususnya dalam hal emosi; antusias dan bergairah terhadap pendidikan
karakter, kelas, dan seluruh yang terkait dengan proses belajar mengajar; mampu
berbicara dengan jelas dan komunikatif; peka dalam hal perbedaan yang dimiliki
oleh masing-masing naradidik; memiliki ilmu pengetahuan yang banyak, inisiatif,
dan kreatif; tidak menggunakan tindakan kekerasan, sehat secara fisik, psikis,
maupun seksual; tidak menonjolkan diri, dan yang terpenting diantara semuanya itu
ialah pendidik dapat menjadi teladan bagi naradidik.38 Selain itu juga seorang
pendidik harus memiliki

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pandangan Jemaat GPIB Bukit Harapan Surabaya tentang Pelayanan Diakonia T1 712007077 BAB I

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pandangan Jemaat GPIB Bukit Harapan Surabaya tentang Pelayanan Diakonia T1 712007077 BAB II

1 5 19

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pandangan Jemaat GPIB Bukit Harapan Surabaya tentang Pelayanan Diakonia T1 712007077 BAB IV

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pandangan Jemaat GPIB Bukit Harapan Surabaya tentang Pelayanan Diakonia T1 712007077 BAB V

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran dan Strategi Gereja dalam Pembangunan Karakter Taruna dan Pemuda di GPIB Jemaat Bukit Sion Balikpapan T1 752013018 BAB I

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran dan Strategi Gereja dalam Pembangunan Karakter Taruna dan Pemuda di GPIB Jemaat Bukit Sion Balikpapan T1 752013018 BAB IV

0 0 40

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran dan Strategi Gereja dalam Pembangunan Karakter Taruna dan Pemuda di GPIB Jemaat Bukit Sion Balikpapan T1 752013018 BAB V

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran dan Strategi Gereja dalam Pembangunan Karakter Taruna dan Pemuda di GPIB Jemaat Bukit Sion Balikpapan

0 1 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran dan Strategi Gereja dalam Pembangunan Karakter Taruna dan Pemuda di GPIB Jemaat Bukit Sion Balikpapan

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tinjauan Spiritualitas terhadap Pandangan Jemaat tentang Peran Pendeta di GPIB Jemaat Sion Banyumanik

0 0 1