Gambaran Karakteristik dan Angka Kejadian Bell’s Palsy di RSUP. H. Adam Malik Medan Periode 2012-2014

44

LAMPIRAN 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama

: Milla Shera Perangin-angin

Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 28 September 1994
Agama

: Kristen Protestan

Alamat

: Jl. Setiabudi Komplek Raysa Minimalis Blok C11 Medan

Riwayat Pendidikan


: 1. TK Strada Jakarta tahun 1998-2000
2. SD Dian Harapan tahun 2000-2006
3. SMPN 19 Jakarta Selatan tahun 2006-2009
4. SMAN 70 Jakarta Selatan tahun 2009-2012
5. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara 2012sekarang

Riwayat Pelatihan

: 1. Peserta PMB FK USU 2012
2. Peserta MMB FK USU 2012

Riwayat Organisasi

: 1. SCOPH PEMA FK USU 2013-2014

45

LAMPIRAN 2

RINCIAN BIAYA PENELITIAN


1. Persiapan Proposal
Biaya

Jumlah

Harga Satuan

Total

Tinta print

1

Rp 90.000,00

Rp 90.000,00

Kertas A4


1rim

Rp 40.000,00

Rp 40.000,00

Jilid proposal awal

6

Rp

3.000,00

Rp 18.000,00

Jilid proposal revisi

6


Rp

3.000,00

Rp 18.000,00

Total

Rp 166.000,00

2. Taksasi Analisis data dan revisi
Tinta print

1

Rp 90.000,00

Rp 90.000,00

Kertas A4


1rim

Rp 40.000,00

Rp 40.000,00

Jilid KTI softcover

6

Rp

3.000,00

Rp 18.000,00

Jilid KTI hardcover

6


Rp 25.000,00

Rp 150.000,00

Total
3. Transportasi

Rp 298.000,00
Rp 200.000,00
Total Biaya Keseluruhan Rp 664.000,00

46

LAMPIRAN 3

47

LAMPIRAN 4


41

DAFTAR PUSTAKA

Balaji, S.M. 2013. Textbook of Oral and Maxillofacial Surgery. 2nd Ed. Elvisier,
India
Berg, T. 2009. Medical Treatment and Grading of Bell‟s Palsy. Acta Universitatis
Upsalensis.

Digital

Comprehensive

Summaries

of

Uppsala

Dissertations from the Faculty of Medicine, 460-70

Delong, L., Burkhart, N.W. 2008. General and Oral Pathology. Lippincott
Williams & Wilkins, Colombia
DEPKES RI. 2008. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Departemen Republik
Indonesia.
Finsterer, J. 2008. Management of Peripheral Facial Nerve Palsy. Eur Arch
Otorhinolaryngol. 265:743- 52
Gerg, K.N., Gupta, K., Singh, S., Chaudhary, S. 2012. Bell‟s Palsy: Aetiology.
Classification, Differential Diagnosis and Treatment Consideration:
Areview. J Dentofacial Science, 1(1):1-2
Gilden, D.H. 2004. Bell‟s Palsy. The New England Journal of Medicine, 315:
1323-31
Gronseth, G.S.,Paduga, R. 2012. Evidence-Based Guideline Update: Steroids and
Antiviral for Bell‟s Palsy. America Academy of Neurology, 79:1-5
Harsono. 1996.Buku Ajar Neurology Klinis, ed.1. Gajahmada University Press,
Yogyakarta.
Kahn, J.B. 2001. Validation of a Patient-Graded Instrument for Facial Nerves
Palsy: The Face Scale. The Laryngoscope, 111(3):387-98

42


Kanerva,M. 2008. Peripheral Facial Palsy: Grading, Etiology, and MelkerssonRosenthal

Syndrome.

Otolaryngology-Head

and

Neck

Surger,

Yliopistopaino, Helsinki.
Kubik, M., Robles, L., Kung, A. 2012. Familial Bell‟s Palsy: A Case Report and
Literature Review. Hindawi Publishing Corporation, Canada
Lowis, H., Gaharu, M.N. 2012. Bell‟s Palsy.Diagnosis dan Tatalaksana di
Pelayanan Primer. J Indo Med Assoc, 62(1):34
Lumbantobing, S.M. 2006. Neurologi Klinis Pemeriksaan Fisik dan Mental.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Malamed, S.F. 2004. Handbook of Local Anasthesia. 5th Ed.Elsevier Mosby,

Philadelphia
Marson, A.G., Salinas, R. 2000. Bell‟s Palsy. West J Med, 173(4): 266-68
Mehta, R.P. 2009. Surgical Treatment of Facial Paralysis. Clinical Experimental
Otorhinolaryngology, 2(1):1-5
Norton, N.S. 2007. Netter’s Head and Neck Anatomy for Dentistry. Elsevier,
Philadelphia
Sidharta, P. 2008. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Dian Rakyat, Jakarta
Silva,

A.

2010.

Bell‟s

Palsy

(Case

Report).


(Akses
04 May 2015)
Snell, R.S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. 6th Ed. ECG,
Jakarta
Sutis.

2010.

Gejala

dan

Penyebab

Bell‟s

http://www.indowebster.web.id/showthread.php?t=112101
07 May 2015)

palsy.
(Accessed

43

Taylor,

D.C.

2014.

Bell‟s

Palsy

Practice

Essentials

(Accessed 07
May 2015)
Tiemstra, D.J., Khatkhate, N. 2007. Bell‟s Palsy: Diagnosis and Management.
American Academy of Family Physicians. 76:997-1002
Victor, M., Ropper, A.H., Adam, R.D. 2000. Adam and Victor’s Principles of
Neurology. 7th Ed.McGraw-Hill Proffesional, Pennsyvlania
Yonamine, F.K., Tuma, J., Claudia, M., Soares, M.2014. Facial Paralysis
Associated

with

Acute

Otitis

Otorhinolaryngology, 75:228-30

Media.Brazilian

Journal

of

20

BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep
Berdasarkan tujuan penelitian diatas, kerangka konsep gambaran
karakteristik dan angka kejadian Bell’s Palsy di RSUP Haji Adam Malik tahun
2012-2014 diuraikan sebagai berikut:
Variabel Dependen
Angka Kejadian Bell’s Palsy
tahun 2012, 2013, dan 2014.
Variabel Independen
Demografi pasien Bell’s Palsy:
1. Umur
2. Jenis Kelamin
3. Pekerjaan
4. Suku Bangsa

Pasien Bell’s Palsy di RSUP
Haji Adam Malik Periode
2012-2014

Karakteristik pasien Bell’s Palsy:
1. Keluhan Utama
2. Keluhan Tambahan
3. Lokasi
4. Faktor Resiko
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

3.2.Variabel dan Definisi Operasional
3.2.1. Variabel Dependen
Variabel Dependen dalam penelitian ini adalah gambaran demografi,
gambaran karakteristik dan angka kejadian Bell’s palsy di RSUP H. Adam Malik
Medan periode Januari 2012 - Desember 2014.

21

3.2.2. Variabel Independen
Variabel Independen dalam penelitian ini adalah pasien Bell’s palsy di
RSUP H. Adam Malik Medan periode Januari 2012 – Desember 2014.
3.2.3. Bell’s Palsy
Bell’s palsy didefinisikan sebagai paralisis nervus fasialis perifer yang
bersifat unilateral, akut dan tidak disertai kelainan neurologis lainnya (Marson,
2000).

Tabel 3.1. Definisi Operasional

Cara
No.

Variabel

Definisi

Ukur/

Operasional

Alat

Hasil Ukur

Skala
Ukur

ukur
1.

Usia

Usia yang

Rekam

1. Remaja Akhir

dihitung sejak

Medik

(17-25 tahun)

tanggal lahir
sampai dengan
waktu penelitian
yang dinyatakan
dalam tahun

2. Dewasa Awal
(>25-35 tahun)
3. DewasaAkhir
(>35-45 tahun)
4. Lansia Awal
(>45-55 tahun)
5. Lansia Akhir
(>55-65 tahun)
6. Manula
(>65 tahun)

Ordinal

22

2.

Jenis

Jenis kelamin

Rekam

Kelamin

adalah antara

Medik

perempuan

1. Laki-laki

Nominal

2. Perempuan

dengan laki-laki
secara biologis
sejak seseorang
lahir yang
tercatat dalam
rekam medis
3.

Pekerjaan

Pekerjaan

Rekam

adalah suatu

Medik

kegiatan atau

1. PNS

Nominal

2. Wiraswasta
3. Ibu Rumah

aktivitas yang

Tangga

dilakukan
responden

4. Lain-lain

sehari-hari
untuk
mendapatkan
penghasilan
4.

Suku

Suku adalah

Rekam

Bangsa

etnik atau ras

Medik

seseorang yang

1. Batak

Nominal

2. Jawa
3. Aceh

tercatat pada
rekam medik

4. Padang

terhitung sejak
5. Lain-lain

lahir
5.

Keluhan

Keluhan yang

Rekam

Utama

dirasakan pasien

Medik

yang membuat
pasien datang ke

1. Mulut
Mencong
2. Sulit Menutup

Nominal

23

rumah sakit

Mata
3. Tumpah Saat
Minum Air
4. Wajah Kebas

6.

Keluhan

Keluhan yang

Rekam

Tambahan

menyertai

Medik

keluhan utama

1. Gangguan

Nominal

pengecapan
2. Gangguan

yang

Pendengaran

memperberat

(Rasa Pekak)

gejala

3. Gangguan
Produksi Air
Mata
4. Nyeri Sekitar
Telinga
7.

Lokasi

Lokasi adalah

Rekam

1. Kanan

letak bagian

Medik

2. Kiri

1. Trauma

Nominal

yang
menunjukkan
manifestasi
klinis
8.

Faktor

Faktor-faktor

Rekam

Resiko

yang dapat

Medik

menyebabkan
kesempatan
yang lebih besar
untuk terpapar

2. Diabetes
3. Wanita Hamil
4. Hipertensi

Nominal

24

suatu penyakit
9.

5. Lain-lain

Angka

Angka Kejadian

Rekam

Kejadian

adalah jumlah

Medik

kejadian
penyakit pada
suatu populasi
tertentu dalam
jangka waktu
tertentu.

Ordinal

25

BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah deskriptif untuk mengetahui gambaran karakteristik
pada pasien Bell’s Palsy dan angka kejadiannya di RSUP Haji Adam Malik
Medan periode 1 Januari 2012 – 31 Desember 2014. Adapun yang digunakan
pada desain penelitian ini dengan pendekatan retrospektif,dimana dilakukan
pengumpulan data berdasarkan rekam medis.

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan. Adapun
pertimbangan memilih lokasi tersebut dikarenakan rumah sakit pusat dan rujukan
dari Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2015-Desember
2015. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan September 2015, lalu
dilanjutkan dengan pengolahan dan analisa data. Penilitian ini dilaksanakan
setelah mendapat persetujuan komisi etik tentang pelaksanaan penelitian bidang
kesehatan .

4.3. Populasi dan Sampel
4.3.1. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien Bell’s Palsyrawat inap
dan rawat jalan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik di Kota Medan
Provinsi Sumatera Utara.

4.3.2. Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah semua pasien Bell’s Palsy yang di rawat inap dan
rawat jalan dari bulan Januari 2012 sampai bulan Desember 2014 tanpa menderita

26

penyakit lainnya, dengan mengobservasi semua datapada rekam medis sesuai
dengan periode yang telah ditentukan (total sampling).

4.4. Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berasal dari data sekunder. Data diperoleh dengan
melihat rekam medik pasien Bell’s Palsy yang di rawat inap dan di rawat jalan di
RSUP Haji Adam Malik Medanperiode Januari 2012 sampai Desember 2014.

4.5. Pengelolahan dan Analisa data
Pengelolahan data menggunakan dan dilakukan melalui beberapa tahapan
yaitu tahap pertama,editing yaitu memeriksa nama, umur, jenis kelamin, dan hasil
pemeriksaan, tahap kedua coding yaitu memberi kode atau angka pada label.
Tahap ketiga entry yaitu memasukan data dari rekam medis ke dalam program
SPSS 20. Tahap keempat adalah melakukan cleaning yaitu memeriksa kembali
data yang telah di-entry untuk mengetahui ada kesalahan atau tidak.
Setelah data diolah kemudian data tersebut dianalisa secara deskriptif
untuk mengetahui gambaran karakteristik dan angka kejadian pada pasien Bell’s
Palsy di RSUP H.Adam Malik Medan. Hasil penelitian akan disajikan dalam
bentuk tabel distribusi frekuensi.

27

BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik
Medan. Rumah sakit ini dibangun di atas tanah 10 Ha dan terletak di Jalan Bunga
Lau No. 17 Km 12 Kecamatan Medan Tuntungan, Kotamadya Medan, Provinsi
Sumatera Utara. Rumah sakit ini merupakan rumah sakit kelas A sesuai dengan
SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VII/1990 dan juga sebagai Rumah Sakit
Pendidikan sasuai dengan SK Menkes No. 502/Menkes/SK/IX/1991 yang
memiliki visi sebagai pusat unggulan pelayanan kesehatan dan pendidikan. Juga
merupakan pusat rujukan kesehatan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi
Propinsi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat, dan Riau.

5.1.2. Deskripsi Demografi Sampel
5.1.2.1. Angka Kejadian Bell’s Palsy tahun 2012, 2013, dan 2014
Didapati jumlah sampel sebanyak 90 pasien yang diambil dari 90 rekam
medis periode tahun 2012-2014 di RSUP. H. Adam Malik Medan. Pada tahun
2012 didapati 41 pasien, tahun 2013 didapati 29 pasien, dan tahun 2014 didapati
20 pasien.
5.1.2.2. Distribusi Frekuensi Usia Sampel
Pada periode 2012-2014 dijumpairerata usia 37,25  12,32 tahun; dimana
usia termuda adalah 18 tahun dan usia tertua adalah 68 tahun.Pada tahun2012
dijumpai rerata usia pasien Bell’s Palsy sebesar 38,60  12,56 tahun; dimana usia
termuda adalah 18 tahun dan usia tertua adalah 68 tahun. Pada tahun 2013

dijumpai rerata usia pasien sebesar 36,48  11,18 tahun; dimana usia termuda

28

adalah 21 tahun dan usia tertua adalah 61 tahun. Pada tahun 2014 dijumpai rerata
usia pasien sebesar 35,60  13,68 tahun; dimana usia termuda adalah 22 tahun dan
usia tertua adalah 68 tahun.
Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Usia Penderita Bell’s Palsy tahun 2012, 2013, dan
2014.
Frekuensi
Usia

2012

2013

2014

n(%)

n(%)

n(%)

Remaja Akhir (17-25)

6 (14,6%)

6 (20,7%)

4 (20,0%)

Dewasa Awal (>25-25)

14 (34,3%)

10 (34,5%)

9 (45,0%)

Dewasa Akhir (>35-45)

8 (19,5%)

5 (17,2%)

3 (15,0%)

Lansia Awal (>45-55)

10 (24,3%)

6 (20,7%)

1 (5,0%)

Lansia Akhir (>55-65)

1 (2,4%)

2 (6,9%)

2 (10,0%)

Manula (>65)

2 (4,9%)

0 (0,0%)

1 (5,0%)

Total

41 (100%)

29 (100%)

20 (100%)

Tabel 5.1. menjelaskan mengenai kategori usia penderita Bell’s Palsy. Pada tahun
2012 dijumpai usia paling banyak berada pada kategori dewasa awal sebanyak 14
pasien (34,3%) dan paling sedikit berada pada kategori lansia akhir sebanyak 1
pasien (2,4%). Pada tahun 2013 dijumpai usia paling banyak berada pada kategori
dewasa awal yaitu sebanyak 10 pasien (34,5%) dan usia paling sedikit berada
pada kategori lansia akhir yaitu sebanyak 2 pasien (6,9%). Pada tahun 2014
dijumpai usia paling banyak berada pada kategori dewasa awal yaitu sebanyak 9
pasien (45,0%) dan usia paling sedikit berada pada kategori manula dan lansia
awal yaitu masing-masing sebanyak 1 pasien (5,0%).

29

5.1.2.3 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Sampel
Didapati jenis kelamin penderita Bell’s Palsy di RSUP. H. Adam Malik
periode 2012-2014 paling banyak adalah perempuan sebanyak 46 orang (51,1%),
dan laki-laki sebanyak 44 orang (48,9%).
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Penderita Bell’s Palsy tahun 2012,
2013, dan 2014.
Frekuensi
Jenis Kelamin

2012

2013

2014

n(%)

n(%)

n(%)

Laki-laki

22 (53,6%)

13 (44,8%)

9 (45,0%)

Perempuan

19 (46,3%)

16 (55,1%)

11 (55,0%)

Total

41 (100%)

29 (100%)

20 (100%)

Tabel 5.2. menjelaskan mengenai jenis kelamin penderita Bell’s Palsy pada tahun
2012 paling banyak adalah laki-laki sebanyak 22 pasien (53,6%); pada tahun 2013
paling banyak adalah perempuan sebanyak 16 pasien (55,1%); pada tahun 2014
paling banyak adalah perempuan sebanyak 11 pasien (55,0%).
5.1.2.4 Distribusi Frekuensi Pekerjaan Sampel
Didapati pekerjaan dari penderita Bell’s Palsy di RSUP. H. Adam Malik
periode 2012-2014paling banyak adalah PNS yaitu sebanyak 48 pasien (53,3%),
diikuti oleh Ibu Rumah Tangga yaitu sebanyak 31 pasien (34,4%), diikuti oleh
lain-lain yaitu sebanyak 6 pasien (6,7%), dan paling sedikit adalah wiraswasta
yaitu sebanyak 5pasien (5,6%).

30

Tabel 5.3. menjelaskan mengenai pekerjaan dari penderita Bell’s Palsy.
Pada tahun 2012 pekerjaan paling banyak adalah PNS yaitu sebanyak 22 pasien
(53,7%) dan paling sedikit adalah wiraswasta yaitu sebanyak 1 pasien (2,4%).
Pada tahun 2013 pekerjaan paling banyak adalah PNS yaitu sebanyak 15 pasien
(51,7%) dan paling sedikit adalah lain-lain yaitu sebanyak 1 pasien (3,5%). Pada
tahun 2014 pekerjaan paling banyak adalah PNS yaitu sebanyak 11 pasien
(55,0%) dan paling sedikit adalah wiraswasta yaitu sebanyak 1 pasien (5,0%).
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Pekerjaan Penderita Bell’s Palsy tahun 2012, 2013,
dan 2014.
Frekuensi
Pekerjaan

2012

2013

2014

n(%)

n(%)

n(%)

PNS

22 (53,7%)

15 (51,7%)

11 (55,0%)

Wiraswasta

1 (2,4%)

3 (10,3%)

1 (5,0%)

Ibu Rumah Tangga

15 (36,6%)

10 (34,5%)

6 (30,0%)

Lain-lain

3 (7,3%)

1 (3,5%)

2 (10,0%)

Total

41 (100%)

29 (100%)

20 (100%)

5.1.2.5 Distribusi Frekuensi Suku Bangsa Sampel
Didapati suku bangsa penderita Bell’s Palsy di RSUP. H. Adam Malik
periode 2012-2014 paling banyak adalah suku Batak yaitu sebanyak 63 pasien
(70,0%), diikuti suku Jawa dan suku Aceh masing-masing 8 pasien (8,9%), Lainlain yaitu sebanyak 7 pasien (7,8%), dan yang paling sedikit adalah suku Padang
yaitu sebanyak 4 pasien (4,4%).

31

Tabel 5.4. menjelaskan mengenai suku bangsa penderita Bell’s Palsy. Pada
tahun 2012 suku paling banyak adalah suku Batak yaitu sebanyak 31 pasien
(75,6%) dan paling sedikit adalah suku Padang yaitu sebanyak 1 pasien (2,4%).
Pada tahun 2013 suku paling banyak adalah suku Batak yaitu sebanyak 19 pasien
(65,5%) dan paling sedikit adalah suku Jawa, suku Padang, dan kategori lain-lain
yaitu masing-masing sebanyak 2 pasien (6,9%). Pada tahun 2014 suku paling
banyak adalah suku Batak yaitu sebanyak 13 pasien (65,0%) dan paling sedikit
adalah suku Aceh dan suku Padang yaitu masing-masing sebanyak 1 pasien
(5,0%).
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Suku Bangsa Penderita Bell’s Palsy tahun 2012,
2013, dan 2014.
Frekuensi
Suku Bangsa

2012

2013

2014

n(%)

n(%)

n(%)

Batak

31 (75,6%)

19 (65,5%)

13 (65,0%)

Jawa

3 (7,3%)

2 (6,9%)

3 (15,0%)

Aceh

3 (7,3%)

4 (13,8%)

1 (5,0%)

Padang

1 (2,4%)

2 (6,9%)

1 (5,0%)

Lain-Lain

3 (7,3%)

2 (6,9%)

2 (10,0%)

Total

41 (100%)

29 (100%)

20 (100%)

5.1.3. Distribusi Karakteristik Keluhan Utama Sampel
Didapati keluhan utama penderita Bell’s Palsy di RSUP. H. Adam Malik
periode 2012-2014 paling banyak adalah keluhan mulut mencong yaitu sebanyak
40 pasien (44,4%), diikuti keluhan sulit menutup mata yaitu sebanyak 28 pasien

32

(31,1%), diikuti keluhan wajah kebas yaitu sebanyak 16 pasien (17,8%), dan yang
paling sedikit adalah keluhan tumpah saat minum yaitu sebanyak 6 pasien (6,7%).
Tabel 5.5 menjelaskan mengenai keluhan utama penderita Bell’s Palsy.
Pada tahun 2012 keluhan utama paling banyak adalah keluhan mulut mencong
yaitu sebanyak 21 pasien (51,2%) dan paling sedikit adalah keluhan tumpah saat
minum yaitu sebanyak 4 pasien (9,8%). Pada tahun 2013 keluhan paling banyak
adalah keluhan sulit menutup mata yaitu sebanyak 14 pasien (48,3%) dan paling
sedikit adalah keluhan tumpah saat minum yaitu sebanyak 1 pasien (3,5%). Pada
tahun 2014 keluhan utama paling banyak adalah keluhan wajah kebas yaitu
sebanyak 8 pasien (40,0%) dan paling sedikit adalah keluhan tumpah saat minum
yaitu sebanyak 1 pasien (5,0%).
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Keluhan Utama Penderita Bell’s Palsy tahun 2012,
2013, dan 2014.
Frekuensi
Keluhan Utama

2012

2013

2014

n(%)

n(%)

n(%)

Mulut Mencong

21 (51,2%)

12 (41,4%)

7 (35,0%)

Sulit Menutup Mata

10(24,4%)

14 (48,3%)

4 (20,0%)

Tumpah Saat Minum

4 (9,8%)

1 (3,5%)

1 (5,0%)

Wajah Kebas

6 (14,7%)

2 (6,9%)

8 (40,0%)

Total

41 (100%)

29 (100%)

20 (100%)

33

5.1.4. Distribusi Karakteristik Keluhan TambahanPenderita Bell’s Palsy
tahun 2012, 2013, dan 2014.
Didapati keluhan tambahan penderita Bell’s Palsy paling banyak berupa
keluhan nyeri di sekitar telinga yaitu sebanyak 43 orang (47,8%), diikuti keluhan
gangguan produksi air mata yaitu sebanyak 25 orang (27,8%), diikuti keluhan
gangguan pendengaran yaitu sebanyak 12 orang (13,3%), dan yang paling sedikit
adalah keluhan gangguan pengecapan yaitu sebanyak 10 orang (11,1%).
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Keluhan Tambahan Penderita Bell’s Palsy tahun
2012, 2013, dan 2014.
Frekuensi
Keluhan Tambahan

2012

2013

2014

n(%)

n(%)

n(%)

Gangguan Pengecapan

4 (9,8%)

3 (10,3%)

3 (15,0%)

Gangguan Pendengaran

3 (7,3%)

7 (24,1%)

2 (10,0%)

Gangguan Produksi Air Mata

11 (26,8%)

8 (27,6%)

6 (30,0%)

Nyeri Sekitar Telinga

23 (56,1%)

11 (37,9%)

9 (45,0%)

Total

41 (100%)

29 (100%)

20 (100%)

Tabel 5.6 menjelaskan mengenai keluhan tambahan penderita Bell’s Palsy. Pada
tahun 2012 keluhan tambahan paling banyak adalah keluhan nyeri sekitar telinga
yaitu sebanyak 23 pasien (56,1%) dan paling sedikit adalah keluhan gangguan
pendengaran yaitu sebanyak 3 pasien (7,3%). Pada tahun 2013 keluhan tambahan
paling banyak adalah keluhan nyeri sekitar telinga yaitu sebanyak 11 pasien
(37,9%) dan paling sedikit adalah keluhan gangguan pengecapan yaitu sebanyak 3
pasien (10,3%). Pada tahun 2014 keluhan tambahan paling banyak adalah keluhan
nyeri sekitar telinga yaitu sebanyak 9 pasien (45,0%) dan paling sedikit adalah
keluhan gangguan pendengaran yaitu sebanyak 2 pasien (10,0%).

34

5.1.5. Distribusi Frekuensi Lokasi Lesi Sampel
Didapati lokasi lesi pada penderita Bell’s Palsy di RSUP. H. Adam Malik
periode 2012-2014 paling banyak terletak pada sebelah kiri yaitu sebanyak 46
pasien (51,1%), dan sebelah kanan yaitu sebanyak 44 pasien (48,9%).
Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Lokasi Lesi Penderita Bell’s Palsy tahun 2012,
2013, dan 2014.
Frekuensi
Lokasi

2012

2013

2014

n(%)

n(%)

n(%)

Kanan

20 (48,8%)

16 (55,2%)

8 (40,0%)

Kiri

21 (51,2%)

13 (44,8%)

12 (60,0%)

Total

41 (100%)

29 (100%)

20 (100%)

Tabel 5.7 menjelaskan mengenai lokasi lesi pada penderita Bell’s Palsy. Pada
tahun 2012 lokasi lesi paling sering dijumpai pada sisi sebelah kiri yaitu sebanyak
21 pasien (51,2%). Pada tahun 2013 lokasi lesi paling sering dijumpai pada sisi
sebelah kanan yaitu sebanyak 16 pasien (55,2%). Pada tahun 2014 lokasi lesi
paling sering dijumpai pada sisi sebelah kiri yaitu sebanyak 12 pasien (60,0%).
5.1.6. Distribusi Frekuensi Faktor Resiko Sampel
Didapati faktor resiko penderita Bell’s Palsy di RSUP. H. Adam Malik
periode 2012-2014paling banyak adalah trauma yaitu sebanyak 50 pasien
(55,6%), diikuti hipertensi yaitu sebanyak 22 orang (24,4%), diabetes yaitu
sebanyak 8 pasien (8,9%), lain-lain yaitu sebanyak 7 pasien (7,8%), dan yang
paling sedikit adalah kehamilan yaitu sebanyak 3 pasien (3,3%).
Tabel 5.8 menjelaskan mengenai faktor resiko penderita Bell’s Palsy. Pada
tahun 2012 faktor resiko paling banyak adalah trauma yaitu sebanyak 21 pasien
(51,2%) dan paling sedikit adalah kehamilan yaitu sebanyak 2 pasien (4,9%).
Pada tahun 2013 faktor resiko paling banyak adalah trauma yaitu sebanyak 18

35

pasien (62,1%) dan paling sedikit adalah kehamilan dan lain-lain yaitu masingmasing sebanyak 1 pasien (3,5%). Pada tahun 2014 faktor resiko paling banyak
adalah trauma yaitu sebanyak 11 pasien (55,0%) dan paling sedikit adalah
diabetes yaitu sebanyak 1 pasien (5,0%).
Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Faktor Resiko pada Penderita Bell’s Palsy tahun
2012, 2013, dan 2014.
Frekuensi
Faktor Resiko

2012

2013

2014

n(%)

n(%)

n(%)

Trauma

21 (51,2%)

18 (62,1%)

11 (55,0%)

Diabetes

4(9,8%)

3 (10,3%)

1 (5,0%)

Kehamilan

2(4,9%)

1 (3,5%)

0 (0,0%)

Hipertensi

11(26,8%)

6 (20,7%)

5 (25,0%)

Lain-lain

3 (7,3%)

1 (3,5%)

3 (15,0%)

Total

41 (100%)

29 (100%)

20 (100%)

5.2. Pembahasan
5.2.1. Pembahasan Angka Kejadian
Pada penelitian ini didapati jumlah sampel penderita Bell’s Palsy di
RSUP H. Adam Malik Medan periode 2012-2014 adalah sebanyak 90 pasien yang
diambil dari 90 rekam medis. Pada tahun 2012 didapati 41 pasien, tahun 2013
didapati 29 pasien, dan tahun 2014 didapati 20 pasien. Periode Januari 1975
sampai dengan Desember 1975 ditemukan 39 penderita dengan Bell’s Palsy di
Rumah Sakit Pugeran Bagian Neurologi FK UGM. RS Hasan Sadikin Bandung
Mariva R (2004) meneliti 103 pasien dan Arifin R (2006) menemukan 136 kasus
Bell’s Palsy.

36

5.2.2. Pembahasan Demografi Sampel
Pada penelitian ini didapati usia penderita Bell’s Palsy di RSUP Haji
Adam Malik Medan periode 2012-2014 paling banyak berada pada kategori usia
dewasa awal (>25-35 tahun) sebanyak 43 pasien (47,8%). Berdasarkan penelitian
Lyly Susanto (2013) data dari 4 (empat) rumah sakit di Jakarta, kasus Bell’s Palsy
paling banyak mengenai usia 21-50 tahun. Pada penelitian Annsilva (2010)
menyatakan kejadian Bell’s Palsy terbanyak mengenai usia 21-30 tahun. Pada
penelitian ini didapati usia termuda penderita Bell‟s Palsy di RSUP H. Malik
Medan periode 2012-2014 adalah 18 tahun dan tertua adalah 68 tahun.Donald
(2015) insiden terendah berada pada usia dibawah 10 tahun, meningkat pada usia
10-29 tahun, stabil pada usia 30-69.
Pada penelitian ini didapati jenis kelamin penderita Bell’s Palsy di RSUP
Haji Adam Malik Medan periode 2012-2014 paling banyak adalah perempuan
yaitu sebanyak 46 pasien (51,1%), dan laki-laki sebanyak 44 pasien (48,9%).
Berdasarkan penelitian Annsilva (2010) dikatakan samanya peluang antara lakilaki dan perempuan mengalami Bell’s Palsy. Berdasarkan penelitian Gorsche
(2003) menyatakan bahwa Bell’s Palsy lebih sering mengenai perempuan
daripada laki-laki walaupun perbedaannya tidak signifikan.
Pada penelitian ini didapati pekerjaan penderita Bell’s Palsy pada di RSUP
Haji Adam Malik Medan periode 2012-2014 paling banyak adalah PNS yaitu
sebanyak 48 pasien (53,3%), diikuti oleh ibu rumah tangga sebanyak 31 pasien
(34,4%), lain- lain sebanyak 6pasien (6,7%), dan wiraswasta sebanyak 5 pasien
(5,6%).
Pada penelitian ini didapati suku bangsa penderita Bell’s Palsy pada di
RSUP Haji Adam Malik Medan terbanyak periode 2012-2014 adalah suku Batak
sebanyak 63 pasien (70,0%), diikuti suku Jawa dan suku Aceh masing-masing
sebanyak 8 pasien (8,9%), lain-lain yaitu sebanyak 7 pasien (7,8%) dan suku
Padang sebanyak 4 pasien (4,4%).

37

5.2.3. Pembahasan Karakteristik Keluhan Utama Sampel
Pada penelitian ini didapati keluhan utama penderita Bell’s Palsy pada di
RSUP H. Adam Malik Medan periode 2012-2014 paling banyak adalah keluhan
mulut mencong sebanyak 40 pasien (44,4%), diikuti dengan keluhan sulit
menutup mata sebanyak 28 pasien (31,1%), keluhan wajah kebas sebanyak 16
pasien (17,8%), dan yang paling sedikit adalah keluhan tumpah saat minum
sebanyak 6 pasien (6,7%). Daniele De Seta et al (2014) menyatakan bahwa 50,5%
pasienmengeluhkan nyeri di sekitar telinga (postauricular pain)saat pertama kali
datang. Berdasarkan penelitian Annsilva (2010) pasien biasanya menyadari sudut
mulut terjatuh saat bercermin atau berkumur.
5.2.4. Pembahasan Karakteristik Keluhan Tambahan Sampel
Pada penelitian ini didapati keluhan tambahan penderita Bell’s Palsy di RSUP H.
Adam Malik Medan periode 2012-2014 paling banyak adalah nyeri sekitar telinga
sebanyak 43 pasien (47,8%), diikuti dengan gangguan produksi air mata sebanyak
25 pasien (27,8%), keluhan gangguan pendengaran sebanyak 12 pasien (13,3%),
dan yang paling sedikit adalah keluhan gangguan pengecapan sebanyak 10 pasien
(11,1%). Hal ini sesuai dengan penelitian Daniele De Seta et al (2014) yang
menyatakan keluhan tambahan terbanyak pasien datang adalah nyeri sekitar
telinga, diikuti gangguan pengecapan dan gangguan lakrimasi. Adapun gejala
pada mata ipsilateral yaitu: sulit atau tidak mampu menutup mata ipsilateral, air
mata berkurang, alis mata jatuh, kelopak mata bawah jatuh, sensitif terhadap
cahaya berdasarkan penelitian Dewanto, dkk (2009)

5.2.5. Pembahasan Karakteristik Lokasi Lesi Sampel
Pada penelitian ini didapati lokasi lesi pada penderita Bell’s Palsy di
RSUP H. Adam Malik Medan periode 2012-2014 paling sering terletak pada sisi
kiri yaitu sebanyak 46 pasien (51,1%), dan sebelah kanan yaitu sebanyak 44

38

pasien (48,9%). Berdasarkan penelitian Daniele De Seta et al (2014) tidak ada
perbedaan signifikan antara sisi kiri dan sisi kanan. Annsilva (2010) menyatakan
di Amerika Serikat 63% insiden Bell’s Palsy mengenai wajah sisi kanan.
5.2.6. Pembahasan Karakteristik Faktor Resiko Sampel
Pada penelitian ini didapati faktor resiko penderita Bell’s Palsy di RSUP
H. Adam Malik Medan periode 2012-2014 paling banyak adalah trauma sebanyak
50 pasien (55,6%), diikuti dengan hipertensi sebanyak 22 pasien (24,4%), diabetes
sebanyak 8 pasien (8,9%), lain-lain sebanyak 7 pasien (7,8%), dan kehamilan
sebanyak 3 pasien (3,3%). Hal ini sesuai dengan penelitian Daniele De Seta et al
(2014) yang menyatakan faktor resiko terbanyak adalah trauma dingin, serta
kehamilan, hipertensi, dan diabetes, juga menjadi faktor dalam meningkatkan
kejadian Bell’s Palsy. Berdasarkan penelitian Annsilva (2010), pada beberapa
penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebihan.
Berdasarkan penelitian Echa Vielsa (2015) pada kehamilan trimester ketiga dan
dua minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s Palsy lebih tinggi 10
kali lipat daripada wanita yang tidak hamil.

39

BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapatkan kesimpulan
sebagai berikut:
1. Angka Kejadian penderita Bell’s Palsy pada tahun 2012 didapati 41
pasien, tahun 2013 didapati 29 pasien, dan tahun 2014 didapati 20
pasien.
2. Demografi penderita Bell’s Palsy di RSUP H. Adam Malik Medan

periode 2012-2014 dijumpai rerata usia 37,25  12,32 tahun. Dimana

usia termuda adalah 18 tahun dan usia tertua adalah 68 tahun, dijumpai
proporsi perempuan sedikit lebih banyak (51,1%), pekerjaan paling
banyakadalah PNS (53,3%), suku bangsa terbanyak adalah suku Batak
(70,0%).
3. Keluhan utama terbanyak penderita Bell’s Palsy di RSUP H. Adam
Malik Medan periode 2012-2014 adalah keluhan mulut mencong
(44,4%), sedangkan gambaran keluhan tambahan terbanyak adalah
keluhan nyeri sekitar telinga (47,8%).
4. Lokasi lesi terbanyak penderita Bell’s Palsy di RSUP H. Adam Malik
Medan periode 2012-2014 adalah sisi sebelah kiri (51,1%).
5. Faktor resiko terbanyak pada penderita Bell’s Palsy di RSUP H. Adam
Malik Medan periode 2012-2014 adalah trauma (55,6%).

40

6.2 Saran
Adapun saran pada penelitian ini, yaitu:

1. Diharapkan masyarakat dapat mengetahui lebih banyak mengenai
Bell’s Palsy dari segi gejala dan ciri-cirinya untuk dapat dilakukan
pengobatan awal sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi,
serta untuk melakukan pencegahan dini.
2. Diharapkan tenaga kesehatan lebih banyak memberikan informasi
mengenai Bell’s Palsy dan melakukan pelayanan sebaik-baiknya
kepada penderitanya.
3. Diharapkan untuk bagian rekam medis RSUP H. Adam Malik Medan
agar dapat menyimpan informasi rekam medis pasiendengan lebih baik
dan kepada pihak rumah sakit yang menulis rekam medis diharapkan
dapat mencatat dengan lengkap dan jelas segala informasi yang
penting sehingga dapat digunakan sebagai alat komunikasi dan
kepentingan lainnya juga dapat digunakan sebaik-baiknya untuk
penelitian yang akan datang.
4. Diharapkan untuk peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian
tentang Bell’s palsy dengan skala yang lebih besar.

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Saraf Perifer
Neuron merupakan sel struktural dan fungsional pada sistem saraf. Neuron
merespon stimulus saraf dan menyalurkan stimulus di sepanjang sel. Badan sel
dan neuron disebut dengan soma (Norton, 2007).
Bagian Neuron (Balaji, 2013):
a. Badan sel saraf: Merupakan masa sitoplasma yang didalamnya terdapat
nukleus. Bagian luar dan badan sel saraf dibatasi oleh membran plasma.
b. Dendrit : Sel saraf memiliki lima hingga tujuh cabang yang disebut dengan
dendrit yang meluas hingga keluar dan badan sel dan menyebar.
c. Axon : Neuron memiliki serabut axon yang berasal axon hillock dan badan
saraf. Axon hillock merupakan bagian yang menebal pada badan saraf.
d. Neuron yang bermielin : Diluar sistem saraf pusat, axon dilapisi oleh
selubung mielin.
e. Epineurium : Epineurium merupakan bagian terluar yang melapisi saraf
perifer. Epineurium terdiri dari jaringan ikat dan pembuluh darah yang
menyuplai darah pada saraf perifer.
f. Serabut saraf

2.2. Nervus Fasialis
Nervus fasialis merupakan saraf kranial ketujuh dengan tugas utama untuk
mempersarafi otot - otot wajah, persarafan 2/3 bagian ventral dorsum lidah dan
sekresi

beberapa

kelenjar

seperti

kelenjar

lakrimalis,

sublingualis, dan palatina (Gambar 2.1)(Norton, 2007)

submandibularis,

6

Nervus fasialis terdiri dari saraf motoris dan sensoris yang lebih dikenal
dengan nama saraf intermedius (Lowis, 2012).
Menurut Norton (2007), nervus fasialis mengandung 4 jenis serabut,
yaitu:
a. Serabut somato-sensorik yang menghantarkan rasa nyeri, suhu dan sensasi
raba dan sebagian kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus
trigeminus.
b. Serabut visero-sensorik yang bertindak sebagai reseptor rasa pada 2/3
anterior lidah.
c. Serabut visero-motorik (parasimpatik) yang berasal dari nukleus salivarius
superior. Serabut saraf ini mempersarafi kelenjar lakrimal, rongga hidung,
kelenjar submandibula dan kelenjar sublingual.
d. Serabut somato-motorik yang mempersarafi otot-otot ekspresi wajah,
stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah.

Nukleus motorik nervus fasialis terletak pada bagian ventrolateral
tegmentum pons bagian bawah. Pada tegmentum pons, akson pertama motorik
berjalan dari arah sudut pontoserebral dan muncul di depan nervus
vestibulokoklearis. Saraf intermedius terletak pada bagian diantara nervus fasialis
dan nervus vestibulokoklearis. Nervus intermedius, nervus fasialis, dan nervus
vestibulokoklearis berjalan bersama memasuki akustikus internus. Di dalam
meatus internus, nervus fasalis dan intermedius berpisah dengan nervus
vestibulokoklearis. Nevus fasialis berjalan ke lateral ke dalam kanalis fasialis
kemudian ke ganglion genikulatum. Pada ujung kanalis tersebut nervus fasialis
keluar

dari

cranium

melalui

foramen

stilomastoideus.

Dari

foramen

stilomastoideus, serabut motorik menyebar ke wajah dan beberapa melewati
kelenjar parotis. (Snell, 2006)

7

Gambar 2.1. Nervus fasialis
Menurut Snell (2006), nervus fasialis terbagi atas lima cabang terminal, yaitu:
a. Ramus Temporalis muncul dari pinggir atas glandula dan mempersarafi
muskulus auricularis anterior dan superior, venter frontalis muskulus
occipitofrontalis, muskulus orbicularis oculi dan muskulus corrugator
supercilii.
b. Ramus Zygomaticus muncul dari pinggir anterior glandula dan
mempersarafi muskulus orbicularis oculi.
c. Ramus Buccalis muncul dari pinggir anterior glandula di bawah ductus
parotideus dan mempersarafi muskulus buccinator dan otot – otot bibir
atas serta nares.
d. Ramus

Mandibularis

muncul

daripinggir

mempersarafi otot-otot bibir bawah.

anterior

glandula

dan

8

e. Ramus Cervicalis muncul dari pinggir bawah glandula dan berjalan ke
depan di leher bagian bawah mandibular untuk mempersarafi muskulus
platysma. Saraf ini menyilang pinggir bawah mandibular untuk
mempersarafi muskulus depressor anguli otis.
2.3. Bell’s Palsy
2.3.1. Pengertian
Bell’s palsy merupakan bentuk kelumpuhan wajah yang paling umum
terjadi yang disebabkan oleh inflamasi pada saraf fasialis. Adanya inflamasi
menyebabkan saraf membengkak dan menghambat penghantaran sinyal antara
otak dan otot-otot wajah. Bell’s palsy didefinisikan sebagai paralisis nervus
fasialis perifer yang bersifat unilateral, akut dan tidak disertai kelainan neurologi
lainnya (Marson, 2000).
BeIl’s palsy adalah kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral karena
gangguan nervus fasialis perifer yang bersifat akut dengan penyebab yang tidak
teridentifikasi dan dengan perbaikan fungsi yang terjadi dalam 6 bulan (Berg,
2009).
2.3.2. Etiologi
Penyebab Bell’s palsy masih tidak jelas atau masih menjadi perdebatan.
Pada masa lain, paparan dingin secara terus menerus dianggap sebagaI satusatunya penyebab Bell’s palsy (Victor, 2000; Balaji, 2013; Gerg, 2012).
Secara luas teori yang diyakini sebagai etiologi penyebab Bell’s palsy
adalah infeksi virus, iskemik saraf, reaksi autoimun, trauma dan kongenital
(Victor, 2000; Balaji, 2013; Gerg, 2012).
Inflamasi saraf fasialis pada ganglion genikulatum dapat menyebabkan
kompresi, iskemi, dan demielinasi axon serta terganggunya pasokan darah pada
saraf dianggap dapat menyebabkan Bell’s palsy (Balaji, 2013; Gerg, 2012).

9

Pada tahun 1972 Mc Connick pertama kali mengemukakan bahwa Herpes
Simplex Virus (HSV) bertanggungjawab dalam menyebabkan kelumpuhan fasial
idiopatik. Teori ini berdasarkan suatu analogi bahwa HSV ditemukan di vesikelvesikel, kemudian menetap dan bersifat laten di ganglion genikulatum. Sejak saat
itu, sering dilakukan autopsi pada pasien Bell‘s palsy dan hasilnya mengarah
kepada terdapatnya HSV di ganglion genikulatum pada pasien Bell’s palsy.
Diduga HSV berjalan melalui akson sensoris dan menetap di sel ganglion.
Sehingga pada saat terjadi stress, virus akan mengalami reaktivasi dan merusak
selubung mielin (Balaji, 2013; Gerg, 2012).
Paralisis wajah yang dibawa sejak lahir atau terjadi secara kongenital
sangat jarang ditemukan.Penyebab utamanya adalah trauma pada saat kelahiran
misalnya pada riwayat persalinan yang sulit (Balaji, 2013).
Menurut Victor (2000) dan Silva (2010), tindakan kedokteran gigi juga dapat
menyebabkan Bell„s palsy. Tindakan kedokteran gigi yang diduga menyebabkan
Bell‘s palsy, yaitu:
a. Komplikasi sesudah penyuntikan anestesi lokal pada pencabutan gigi,
dimana terjadi paralisis nervus fasialis perifer (Bell‘s palsy) yang
umumnya bersifat sementara. Paralisis nervus fasialis dapat terjadi jika
jarum telah menembus kapsul kelenjar parotis.
b. Adanya sumber infeksi di daerah mulut seperti radang parotis.
c. Trauma pada saat operasi sendi temporo mandibular, terjadi trauma pada
bagian kondilus mandibular akan menyebabkan gangguan pleksus saraf
fasialis pada bagian atas.
d. Trauma ketika dilakukan penyingkiran tumor glandula parotis yang
menyebabkan terputusnya nervus fasialis dimana terjadi gangguan pada
pleksus saraf fasialis bagian bawah.
e. Fraktur pada ramus mandibular yang dapat mengakibatkan putusnya saraf
fasialis.

10

2.3.3. Epidemiologi
Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasialis yang paling sering
ditemukan, yaitu sekitar 75% dari seluruh paralisis fasialis. Insiden bervariasi di
berbagai negara di seluruh dunia. Perbedaan insidensi ini tergantung pada kondisi
geografis masing-masing negara (Finsterer, 2008).
Insiden tahunan yang telah dilaporkan berkisar 11-40 kasus per 100.000
populasi. Puncak insiden terjadi antara dekade kedua dan keempat (15-45 tahun).
Tidak dijumpai perbedaan prevalensi dalam jenis kelamin. Insiden meningkat tiga
kali lebih besar pada wanita hamil (45 kasus per 100.000). Sebanyak 5-10% kasus
Bell’s palsy adalah penderita diabetes mellitus (Finsterer, 2008).
Bell’s palsy jarang ditemukan pada anak-anak < 2 tahun. Tidak ada
perbedaan pada sisi kanan dan kiri wajah. Kadang-kadang paralisis saraf fasialis
bilateral dapat terjadi dengan prevalensi 0,3-2% (Finsterer, 2008).
Resiko terjadinya rekurensi dilaporkan sekitar 8-12% kasus, dengan 36%
pada sisi yang sama dan 64% pada sisi yang berlawanan (Tiemstra dkk, 2007;
Kanerva 2008). Adanya riwayat keluarga yang positif diperkirakan pada 4-14%
kasus Bell’s palsy (Kubik dkk, 2012).
2.3.4. Gambaran Klinis
Bell’s palsy dapat memiliki tanda dan gejala seperti kelumpuhan otot-otot
wajah pada satu sisi yang terjadi secara tiba-tiba. Rasa nyeri sering dikeluhkan
dan dapat terjadi pada daerah telinga, yang menyebar luas pada kepala, leher
ataupun mata. Rasa nyeri biasanya muncul setelah beberapa jam dan dapat
mengawali terjadinya kelumpuhan hingga 72 jam, tetapi terkadang rasa nyeri
muncul setelah beberapa hari terjadi paralisis dan dapat menjadi lebih parah dan
menetap (Balaji, 2013).
Temuan klinis paling sering dijumpai adalah alis mata turun, tidak dapat
menutup mata dan jika dusahakan untuk menutup maka akan terlihat bola mata

11

memutar ke atas (Bell‘s phenomenon), lipatan nasolabial tidak tampak, dan mulut
tertarik ke sisi yang sehat. (Gambar 2.2) (Balaji, 2013; Gerg, 2012).
Gejala lain Bell’s palsy adalah rasa kebas pada sisi wajah yang terkena,
terutama pada bagian dahi, mastoid area, dan sudut mandibula. Rongga mulut
dapat menjadi kering akibat berkurangnya sekresi saliva dan perubahan sensasi
rasa pada 2/3 anterior lidah dan hyperaesthesia sebagian pada nervus trigeminal
serta hiperakusis (Balaji, 2013; Gerg, 2012).

Gambar 2.2. Gambaran klinis Bell‘sPalsy
Menurut Norton (2007) perbedaan lokasi lesi saraf fasialis dapat
menimbulkan gejala yang berbeda. Tanda dan gejala klinis pada Bell’s palsy
berdasarkan lokasi lesinya (Gambar 2.3):
1. Lesi di interkranial dan atau meatus akustikus internus:
Tanda dan gejala klinis sama dengan lesi di ganglion genikuli, hanya saja
disertai dengan timbulnya tuli sebagai akibat terlibatnya nervus
vestibulokoklearis.
2. Lesi di ganglion genikuli :
Tanda dan gejala klinis sama dengan dalam kanalis fasialis dan mengenai
muskulus stapedius, disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang
telinga dan di belakang telinga.

12

3. Lesi di kanalis fasialis dan mengenai nervus korda timpani :
Tanda dan gejala klinis sama dengan lesi di luar foramen stilomastoideus,
ditambah dengan hilangnya sensasi pengecapan pada 2/3 bagian anterior
lidah. Berkurangnya sekresi saliva akibat terkenanya korda timpani.
Terjadi juga hiperaukusis.
4. Lesi dibawah foramen stilomastoideus (tumor kelenjar parotis, trauma):
Mulut tertarik ke sisi mulut yang sehat, makanan terkumpul diantara gigi
dan gusi, sensasi pada wajah rnenghilang, tidak ada lipatan dahi dan mata
tidak dapat menutuppada sisi yang terkena, atau karena tidak terlindungi
maka air mata akan keluar terus menerus.

Gambar 2.3. Lokasi lesi Bell’s Palsy.
Derajat keparahan paralisis wajah dapat dinilai dengan sistem grading.
Selain untuk menentukan derajat keparahan, sistem grading juga digunakan untuk
menilai progresivitas paralisis fasialis dan untuk membandingkan hasil dari
pengobatan yang dilakukan. Sistem grading yang dapat digunakan adalah sistem

13

grading yang dikembangkan oleh House dan Brackmann (Tabel 2.1). Caranya
adalah dengan mengukur gerakan ke atas alis dan gerakan ke samping sudut bibir.
Setiap gerakan 0,25 cm diberikan 1 poin dengan maksimal penilaian 1 poin untuk
masing-masing bagian. Jadi total nilai maksimalnya adalah 8. (Balaji, 2012;
Malamed, 2004).
Tabel 2.1. Tingkat keparahan nervus fasialis menurut House Brackmann System.
Grade

Deskripsi

Karakteristik

I

Normal

Gerakan wajah normal, tidak ada synkinesis

II

Ringan

Deformitas ringan, synkinesis ringan, dahi
berfungsi normal, sedikit asimetri

III

Sedang

Kelemahan wajah jelas terlihat, mata menutup
dengan baik, asimetri, Bell’s phenomenon
muncul

IV

Sedang

Kelemahan

wajah

jelas

terlihat,

terlihat

synkinesis, dahi tidak dapat digerakkan
V

Berat

Kelumpuhan wajah yang sangat jelas, tidak
dapat menutup mata

VI

Total

Kelumpuhan wajah secara keseluruhan, tidak
ada gerakan

2.3.5. Diagnosis
Langkah pertama yang dilakukan untuk mendiagnosis Bell„s palsy adalah
anamnesis dan pemeriksaan klinis(Lowis, 2012).
Anamnesis lengkap dilakukan mencakup onset, durasi, perjalanan
penyakit, ada tidaknya nyeri serta gejala lain yang menyertai, penting untuk

14

ditanyakan guna membedakan dengan penyakit paralisis saraf lainnya. Bell‘s
palsy ditandai dengan kelumpuhan yang sering terjadi unilateral atau hanya pada
satu sisi wajah dengan onset mendadak dalam 1-2 jam dan maksimal dalam 3
minggu kurang (Lowis, 2012).
Pemeriksaan fisik yang lengkap dilakukan untuk membedakan dengan
penyakit yang serupa dan kemungkinan penyebab lain. Pemeriksaan yang
dilakukan adalah pemeriksaan gerakan dan ekspresi wajah. Pada pemeriksaan ini
akan ditemukan kelemahan pada seluruh wajah sisi yang terkena. Tes yang
dilakukan dengan meminta pasien untuk melakukan beberapa hal berikut (Balaji,
2013):
a. Menaikkan alis untuk menguji aktivitas frontalis corrugator
b. Menutup rapat mata untuk menguji fungsi orbicularis oculi sphincter
c. Meminta pasien untuk menyeringai untuk menguji kemampuan otot untuk
tertarik pada sudut mulut
d. Menguji pengecapan
e. Pasien diminta untuk meniupkan udara, menahan udara didalam mulut dan
bersiul
Bila terdapat hiperakusis, saat stetoskop diletakkan pada telinga pasien
maka suara akan terdengar lebih jelas pada sisi cabang muskulus stapedius yang
paralisis(Norton, 2007).
Tanda klinis yang membedakan Bell’s palsy dengan stroke atau kelainan
yang bersifat sentral lainnya adalah tidak terdapatnya kelainan pemeriksaan saraf
kranialis lain, motorik dan sensorik ekstremitas dalam batas normal, dan pasien
tidak mampu mengangkat alis dan dahi pada sisi yang terkena (Norton, 2007).
Menurut Delong (2008)pasien pada umumnya tidak membutuhkan
pemeriksaan laboratorium, namun pasien yang mengeluhkan paralisis yang
persisten tanpa perbaikan yang signifikan perlu dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut. Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, seperti:

15

a. Computed TomographyScanning (CT Scan) atau Magnetic Resonance
Imaging (MRI)diindikasikan pada pasien yang tidak mengalami perbaikan
keadaan setelah 1 bulan mengalami paralisis wajah, hilangnya
pendengaran, defisit saraf kranial multipel dan tanda-tanda paralisis pada
anggota gerak atau gangguan sensorik.
b. Pemeriksaan

pendengaran

dilakukan

jika

dicurigai

kehilangan

pendengaran, maka dilakukan tes audio untuk menyingkirkan neuroma
akustikus.
c. Pemeriksaan laboratorium penting jika pasien memiliki gejala keterlibatan
penyakit sistemik tanpa perbaikan signifikan setelah lebih dan 4 minggu.

2.3.6. Diagnosis Banding
Terdapat beberapa penyakit yang juga memiliki gejala paralisis fasialis
yang menyerupai dengan Bell’s palsy namun juga memiilki gejala yang dapat
dijadikan pembeda (Norton, 2007; Delong, 2008; Yonamine, 2014)
Penyakit - penyakit tersebut adalah:
a. Lyme disease
Penyakit ini juga dapat menyebabkan paralisis nervus fasialis yang bersifat
unilateral ataupun bilateral, namun yang paling sering adalah bilateral.
b. Ramsay Hunt Syndrome
Merupakan komplikasi dari herpes zoster. Pasien dengan penyakit ini
memiliki prodromal nyeri. Paralisis pada nervus fasialis yang bersifat unilateral
juga ditemukan, namun juga dapat melibatkan nervus vestibulococlearis sehingga
menyebabkan gangguan pendengaran dan keseimbangan.
c. Otitis media
Otitis media memiliki onset yang lebih bertahap, dengan disertai nyeri
telinga dan demam.

16

d. Sarcoidosis
Pasien dengan penyakit ini juga mengalami paralisis pada nervus fasialis,
namun bersifat bilateral, disertai juga dengan demam, pembesaran kelenjar limfe
hilus, parotis dan kadang hiperkalsemia.
2.3.7. Penatalaksanaan
Pada beberapa evaluasi ditemukan bahwa 71% dari pasien yang tidak
mendapatkan perawatan mengalami perbaikan secara sempurna dan 84%
mengalami perbaikan fungsi yang mendekati normal. Namun 20-30% pasien tidak
mengalami kesembuhan sehingga diperlukan perawatan (Gilden, 2004).
Penatalaksanaan Bell’s palsy masih menjadi perdebatan akibat etiologinya
yang belum jelas. Secara umum diyakini pengobatan Bell’s palsy dapat dilakukan
dengan menggunakan terapi farmakologis, terapi fisik dan pembedahan (Balaji,
2013; Gerg, 2012).
Terapi farmakologis yang digunakan pada pasien Bell’s palsy adalah
kortikosteroid dan antivirus. Penggunaan kortikosteroid dapat mengurangi rasa
sakit, mengurangi kemungkinan paralisis permanen dan pembengkakan pada saraf
di kanalis fasialis yang sempit. Kortikosteroid, terutama prednisolon yang dimulai
dalam 72 jam dari onset, harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil
pengobatan. Dosis pemberian prednison (maksimal 40-60 mg/hari) dan
prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg/kgBB/hari peroral selama enam hari
diikuti empat hari tappering off (Gronseth, 2012).
Penggunaan anti virus pada pasien Bell’s palsy didasari oleh dugaan
Herpes simpleksvirus tipe I dan Varicella zoster sebagai penyebab. Reaktivasi dan
virus tersebut dapat menyebabkan inflamasi pada saraf fasialis. Anti virus yang
paling sering digunakan adalah asiklovir. Pada beberapa studi bahkan dilakukan
kombinasi pemakaian dengan prednisolon. Keuntungan penggunaan anti virus
masih diragukan, sehingga telah dilakukan beberapa studi. Pada studi tersebut
disimpulkan bahwa tidak terdapat manfaat signifikan dan antivirus dibandingkan

17

placebo pada pengobatan Bell’s palsy. Studi lain juga menemukan bahwa tidak
ditemukan perbedaan pada tingkat perbaikan klinis dengan prednisolon dan
kombinasi prednisolon dan asiklovir (Gronseth, 2012).
Terapi fisik juga disarankan untuk dilakukan dengan menggunakan terapi
panas superfisial. Selama 15 menit/sesi untuk otot wajah lebih diutamakan untuk
diberikan stimulasi elektrik. Pemijatan yang selama ini juga disarankan pada
Bell’s palsy guna meningkatkan sirkulasi dan dapat mencegah kontraktur.
Akupuntur dan terapi magnet juga dilakukan sebagai kombinasi fisioterapi
perawatan Bell’s palsy, namun masih perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk
melihat efisiensinya (Lowis, 2012).
Bedah dekompresi untuk Bell’s palsy diajukan untuk dilakukan karena
hipotesis bahwa adanya kemungkinan nervus fasialis mengalami kompresi
patologis akibat oedema pada fallopian canal. Bedah dekompresi diharapkan
dapat mengurangi oedema. Prosedur ini biasanya dilakukan melalui pendekatan
fossa media dan lebih baik dilakukan dalam 2 minggu, sebelum kerusakan serabut
saraf tidak dapat diperbaiki (Balaji, 2013).
Menurut Mehta (2009) penatalaksanaan dengan pembedahan dibagi
menjadi dua bagian yaitu manajemen primer dan manajemen sekunder.
Manajemen primer terdiri dan perbaikan saraf, nerve graft dan nerve sharing atau
transposisi

saraf.

Sedangkan

manajemen

sekunder

bertujuan

untuk

mengembalikan fungsi wajah atau perbaikan estetis wajah(Gerg, 2012).
Tindakan pembedahan yang dapat dilakukan sebagai penatalaksanaan
primer adalah neurorrhaphy dan graft neurorrhaphy. Direct neurorraphy
diindikasikan pada laserasi benda tajam yang melibatkan nervus fasialis. Prosedur
ini diharapkan dapat memberikan pengembalian fungsi nervus fasialis dengan
baik. Prosedur graft neurorrhaphy mirip dengan perbaikan saraf langsung, yang
membedakan adalah dibutuhkannya anastomosis tambahan untuk setiap cabang
saraf yang dirawat. Donor yang umumnya digunakan untuk prosedur graft

18

neurorrhaphy adalah great auricular nerve, sural nerve, dan antebrachial
cutaneous nerve (Gerg, 2012).
Manajemen sekunder yang memiliki tujuan untuk mengembalikan fungsi
wajah dengan melakukan bedah rekonstruksi. Teknik statis pada pembedahan
dianggap lebih cocok untuk dilakukan karena lebih mudah dilakukan dan hanya
membutuhkan intervensi sebanyak satu kali. Secara umum tujuan dari
pembedahan dengan teknik statis adalah melindungi kornea dan mengangkat
kembali sudut mulut yang turun(Gerg, 2012).
Selain terapi yang telah diuraikan diatas, perlindungan pada mata dan otot
wajah juga perlu dilakukan. Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar
benda asing. Perlindungan dapat dilakukan dengan penggunaan air mata buatan
(artificial tears), pelumas pada saat tidur, kacamata, plester mata, penjahitan
kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan bagian lateral kelopak mata
atas dan bawah) (Gerg, 2012).
2.3.8 Prognosis
Sekitar 80-90% pasien Bell’s palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan
50-60% kasus membaik dalam 3 minggu. Sekitar 10% mengalami asimetris
muskulus fasialis presisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus
dapat rekuren (Lowis, 2012; Taylor, 2014).
Faktor yang mengarah ke prognosis buruk adalah palsy komplit (risik