Gambaran Karakteristik dan Angka Kejadian Bell’s Palsy di RSUP. H. Adam Malik Medan Periode 2012-2014

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Saraf Perifer
Neuron merupakan sel struktural dan fungsional pada sistem saraf. Neuron
merespon stimulus saraf dan menyalurkan stimulus di sepanjang sel. Badan sel
dan neuron disebut dengan soma (Norton, 2007).
Bagian Neuron (Balaji, 2013):
a. Badan sel saraf: Merupakan masa sitoplasma yang didalamnya terdapat
nukleus. Bagian luar dan badan sel saraf dibatasi oleh membran plasma.
b. Dendrit : Sel saraf memiliki lima hingga tujuh cabang yang disebut dengan
dendrit yang meluas hingga keluar dan badan sel dan menyebar.
c. Axon : Neuron memiliki serabut axon yang berasal axon hillock dan badan
saraf. Axon hillock merupakan bagian yang menebal pada badan saraf.
d. Neuron yang bermielin : Diluar sistem saraf pusat, axon dilapisi oleh
selubung mielin.
e. Epineurium : Epineurium merupakan bagian terluar yang melapisi saraf
perifer. Epineurium terdiri dari jaringan ikat dan pembuluh darah yang
menyuplai darah pada saraf perifer.

f. Serabut saraf

2.2. Nervus Fasialis
Nervus fasialis merupakan saraf kranial ketujuh dengan tugas utama untuk
mempersarafi otot - otot wajah, persarafan 2/3 bagian ventral dorsum lidah dan
sekresi

beberapa

kelenjar

seperti

kelenjar

lakrimalis,

sublingualis, dan palatina (Gambar 2.1)(Norton, 2007)

submandibularis,


6

Nervus fasialis terdiri dari saraf motoris dan sensoris yang lebih dikenal
dengan nama saraf intermedius (Lowis, 2012).
Menurut Norton (2007), nervus fasialis mengandung 4 jenis serabut,
yaitu:
a. Serabut somato-sensorik yang menghantarkan rasa nyeri, suhu dan sensasi
raba dan sebagian kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus
trigeminus.
b. Serabut visero-sensorik yang bertindak sebagai reseptor rasa pada 2/3
anterior lidah.
c. Serabut visero-motorik (parasimpatik) yang berasal dari nukleus salivarius
superior. Serabut saraf ini mempersarafi kelenjar lakrimal, rongga hidung,
kelenjar submandibula dan kelenjar sublingual.
d. Serabut somato-motorik yang mempersarafi otot-otot ekspresi wajah,
stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah.

Nukleus motorik nervus fasialis terletak pada bagian ventrolateral
tegmentum pons bagian bawah. Pada tegmentum pons, akson pertama motorik

berjalan dari arah sudut pontoserebral dan muncul di depan nervus
vestibulokoklearis. Saraf intermedius terletak pada bagian diantara nervus fasialis
dan nervus vestibulokoklearis. Nervus intermedius, nervus fasialis, dan nervus
vestibulokoklearis berjalan bersama memasuki akustikus internus. Di dalam
meatus internus, nervus fasalis dan intermedius berpisah dengan nervus
vestibulokoklearis. Nevus fasialis berjalan ke lateral ke dalam kanalis fasialis
kemudian ke ganglion genikulatum. Pada ujung kanalis tersebut nervus fasialis
keluar

dari

cranium

melalui

foramen

stilomastoideus.

Dari


foramen

stilomastoideus, serabut motorik menyebar ke wajah dan beberapa melewati
kelenjar parotis. (Snell, 2006)

7

Gambar 2.1. Nervus fasialis
Menurut Snell (2006), nervus fasialis terbagi atas lima cabang terminal, yaitu:
a. Ramus Temporalis muncul dari pinggir atas glandula dan mempersarafi
muskulus auricularis anterior dan superior, venter frontalis muskulus
occipitofrontalis, muskulus orbicularis oculi dan muskulus corrugator
supercilii.
b. Ramus Zygomaticus muncul dari pinggir anterior glandula dan
mempersarafi muskulus orbicularis oculi.
c. Ramus Buccalis muncul dari pinggir anterior glandula di bawah ductus
parotideus dan mempersarafi muskulus buccinator dan otot – otot bibir
atas serta nares.
d. Ramus


Mandibularis

muncul

daripinggir

mempersarafi otot-otot bibir bawah.

anterior

glandula

dan

8

e. Ramus Cervicalis muncul dari pinggir bawah glandula dan berjalan ke
depan di leher bagian bawah mandibular untuk mempersarafi muskulus
platysma. Saraf ini menyilang pinggir bawah mandibular untuk

mempersarafi muskulus depressor anguli otis.
2.3. Bell’s Palsy
2.3.1. Pengertian
Bell’s palsy merupakan bentuk kelumpuhan wajah yang paling umum
terjadi yang disebabkan oleh inflamasi pada saraf fasialis. Adanya inflamasi
menyebabkan saraf membengkak dan menghambat penghantaran sinyal antara
otak dan otot-otot wajah. Bell’s palsy didefinisikan sebagai paralisis nervus
fasialis perifer yang bersifat unilateral, akut dan tidak disertai kelainan neurologi
lainnya (Marson, 2000).
BeIl’s palsy adalah kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral karena
gangguan nervus fasialis perifer yang bersifat akut dengan penyebab yang tidak
teridentifikasi dan dengan perbaikan fungsi yang terjadi dalam 6 bulan (Berg,
2009).
2.3.2. Etiologi
Penyebab Bell’s palsy masih tidak jelas atau masih menjadi perdebatan.
Pada masa lain, paparan dingin secara terus menerus dianggap sebagaI satusatunya penyebab Bell’s palsy (Victor, 2000; Balaji, 2013; Gerg, 2012).
Secara luas teori yang diyakini sebagai etiologi penyebab Bell’s palsy
adalah infeksi virus, iskemik saraf, reaksi autoimun, trauma dan kongenital
(Victor, 2000; Balaji, 2013; Gerg, 2012).
Inflamasi saraf fasialis pada ganglion genikulatum dapat menyebabkan

kompresi, iskemi, dan demielinasi axon serta terganggunya pasokan darah pada
saraf dianggap dapat menyebabkan Bell’s palsy (Balaji, 2013; Gerg, 2012).

9

Pada tahun 1972 Mc Connick pertama kali mengemukakan bahwa Herpes
Simplex Virus (HSV) bertanggungjawab dalam menyebabkan kelumpuhan fasial
idiopatik. Teori ini berdasarkan suatu analogi bahwa HSV ditemukan di vesikelvesikel, kemudian menetap dan bersifat laten di ganglion genikulatum. Sejak saat
itu, sering dilakukan autopsi pada pasien Bell‘s palsy dan hasilnya mengarah
kepada terdapatnya HSV di ganglion genikulatum pada pasien Bell’s palsy.
Diduga HSV berjalan melalui akson sensoris dan menetap di sel ganglion.
Sehingga pada saat terjadi stress, virus akan mengalami reaktivasi dan merusak
selubung mielin (Balaji, 2013; Gerg, 2012).
Paralisis wajah yang dibawa sejak lahir atau terjadi secara kongenital
sangat jarang ditemukan.Penyebab utamanya adalah trauma pada saat kelahiran
misalnya pada riwayat persalinan yang sulit (Balaji, 2013).
Menurut Victor (2000) dan Silva (2010), tindakan kedokteran gigi juga dapat
menyebabkan Bell„s palsy. Tindakan kedokteran gigi yang diduga menyebabkan
Bell‘s palsy, yaitu:
a. Komplikasi sesudah penyuntikan anestesi lokal pada pencabutan gigi,

dimana terjadi paralisis nervus fasialis perifer (Bell‘s palsy) yang
umumnya bersifat sementara. Paralisis nervus fasialis dapat terjadi jika
jarum telah menembus kapsul kelenjar parotis.
b. Adanya sumber infeksi di daerah mulut seperti radang parotis.
c. Trauma pada saat operasi sendi temporo mandibular, terjadi trauma pada
bagian kondilus mandibular akan menyebabkan gangguan pleksus saraf
fasialis pada bagian atas.
d. Trauma ketika dilakukan penyingkiran tumor glandula parotis yang
menyebabkan terputusnya nervus fasialis dimana terjadi gangguan pada
pleksus saraf fasialis bagian bawah.
e. Fraktur pada ramus mandibular yang dapat mengakibatkan putusnya saraf
fasialis.

10

2.3.3. Epidemiologi
Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasialis yang paling sering
ditemukan, yaitu sekitar 75% dari seluruh paralisis fasialis. Insiden bervariasi di
berbagai negara di seluruh dunia. Perbedaan insidensi ini tergantung pada kondisi
geografis masing-masing negara (Finsterer, 2008).

Insiden tahunan yang telah dilaporkan berkisar 11-40 kasus per 100.000
populasi. Puncak insiden terjadi antara dekade kedua dan keempat (15-45 tahun).
Tidak dijumpai perbedaan prevalensi dalam jenis kelamin. Insiden meningkat tiga
kali lebih besar pada wanita hamil (45 kasus per 100.000). Sebanyak 5-10% kasus
Bell’s palsy adalah penderita diabetes mellitus (Finsterer, 2008).
Bell’s palsy jarang ditemukan pada anak-anak < 2 tahun. Tidak ada
perbedaan pada sisi kanan dan kiri wajah. Kadang-kadang paralisis saraf fasialis
bilateral dapat terjadi dengan prevalensi 0,3-2% (Finsterer, 2008).
Resiko terjadinya rekurensi dilaporkan sekitar 8-12% kasus, dengan 36%
pada sisi yang sama dan 64% pada sisi yang berlawanan (Tiemstra dkk, 2007;
Kanerva 2008). Adanya riwayat keluarga yang positif diperkirakan pada 4-14%
kasus Bell’s palsy (Kubik dkk, 2012).
2.3.4. Gambaran Klinis
Bell’s palsy dapat memiliki tanda dan gejala seperti kelumpuhan otot-otot
wajah pada satu sisi yang terjadi secara tiba-tiba. Rasa nyeri sering dikeluhkan
dan dapat terjadi pada daerah telinga, yang menyebar luas pada kepala, leher
ataupun mata. Rasa nyeri biasanya muncul setelah beberapa jam dan dapat
mengawali terjadinya kelumpuhan hingga 72 jam, tetapi terkadang rasa nyeri
muncul setelah beberapa hari terjadi paralisis dan dapat menjadi lebih parah dan
menetap (Balaji, 2013).

Temuan klinis paling sering dijumpai adalah alis mata turun, tidak dapat
menutup mata dan jika dusahakan untuk menutup maka akan terlihat bola mata

11

memutar ke atas (Bell‘s phenomenon), lipatan nasolabial tidak tampak, dan mulut
tertarik ke sisi yang sehat. (Gambar 2.2) (Balaji, 2013; Gerg, 2012).
Gejala lain Bell’s palsy adalah rasa kebas pada sisi wajah yang terkena,
terutama pada bagian dahi, mastoid area, dan sudut mandibula. Rongga mulut
dapat menjadi kering akibat berkurangnya sekresi saliva dan perubahan sensasi
rasa pada 2/3 anterior lidah dan hyperaesthesia sebagian pada nervus trigeminal
serta hiperakusis (Balaji, 2013; Gerg, 2012).

Gambar 2.2. Gambaran klinis Bell‘sPalsy
Menurut Norton (2007) perbedaan lokasi lesi saraf fasialis dapat
menimbulkan gejala yang berbeda. Tanda dan gejala klinis pada Bell’s palsy
berdasarkan lokasi lesinya (Gambar 2.3):
1. Lesi di interkranial dan atau meatus akustikus internus:
Tanda dan gejala klinis sama dengan lesi di ganglion genikuli, hanya saja
disertai dengan timbulnya tuli sebagai akibat terlibatnya nervus

vestibulokoklearis.
2. Lesi di ganglion genikuli :
Tanda dan gejala klinis sama dengan dalam kanalis fasialis dan mengenai
muskulus stapedius, disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang
telinga dan di belakang telinga.

12

3. Lesi di kanalis fasialis dan mengenai nervus korda timpani :
Tanda dan gejala klinis sama dengan lesi di luar foramen stilomastoideus,
ditambah dengan hilangnya sensasi pengecapan pada 2/3 bagian anterior
lidah. Berkurangnya sekresi saliva akibat terkenanya korda timpani.
Terjadi juga hiperaukusis.
4. Lesi dibawah foramen stilomastoideus (tumor kelenjar parotis, trauma):
Mulut tertarik ke sisi mulut yang sehat, makanan terkumpul diantara gigi
dan gusi, sensasi pada wajah rnenghilang, tidak ada lipatan dahi dan mata
tidak dapat menutuppada sisi yang terkena, atau karena tidak terlindungi
maka air mata akan keluar terus menerus.

Gambar 2.3. Lokasi lesi Bell’s Palsy.
Derajat keparahan paralisis wajah dapat dinilai dengan sistem grading.
Selain untuk menentukan derajat keparahan, sistem grading juga digunakan untuk
menilai progresivitas paralisis fasialis dan untuk membandingkan hasil dari
pengobatan yang dilakukan. Sistem grading yang dapat digunakan adalah sistem

13

grading yang dikembangkan oleh House dan Brackmann (Tabel 2.1). Caranya
adalah dengan mengukur gerakan ke atas alis dan gerakan ke samping sudut bibir.
Setiap gerakan 0,25 cm diberikan 1 poin dengan maksimal penilaian 1 poin untuk
masing-masing bagian. Jadi total nilai maksimalnya adalah 8. (Balaji, 2012;
Malamed, 2004).
Tabel 2.1. Tingkat keparahan nervus fasialis menurut House Brackmann System.
Grade

Deskripsi

Karakteristik

I

Normal

Gerakan wajah normal, tidak ada synkinesis

II

Ringan

Deformitas ringan, synkinesis ringan, dahi
berfungsi normal, sedikit asimetri

III

Sedang

Kelemahan wajah jelas terlihat, mata menutup
dengan baik, asimetri, Bell’s phenomenon
muncul

IV

Sedang

Kelemahan

wajah

jelas

terlihat,

terlihat

synkinesis, dahi tidak dapat digerakkan
V

Berat

Kelumpuhan wajah yang sangat jelas, tidak
dapat menutup mata

VI

Total

Kelumpuhan wajah secara keseluruhan, tidak
ada gerakan

2.3.5. Diagnosis
Langkah pertama yang dilakukan untuk mendiagnosis Bell„s palsy adalah
anamnesis dan pemeriksaan klinis(Lowis, 2012).
Anamnesis lengkap dilakukan mencakup onset, durasi, perjalanan
penyakit, ada tidaknya nyeri serta gejala lain yang menyertai, penting untuk

14

ditanyakan guna membedakan dengan penyakit paralisis saraf lainnya. Bell‘s
palsy ditandai dengan kelumpuhan yang sering terjadi unilateral atau hanya pada
satu sisi wajah dengan onset mendadak dalam 1-2 jam dan maksimal dalam 3
minggu kurang (Lowis, 2012).
Pemeriksaan fisik yang lengkap dilakukan untuk membedakan dengan
penyakit yang serupa dan kemungkinan penyebab lain. Pemeriksaan yang
dilakukan adalah pemeriksaan gerakan dan ekspresi wajah. Pada pemeriksaan ini
akan ditemukan kelemahan pada seluruh wajah sisi yang terkena. Tes yang
dilakukan dengan meminta pasien untuk melakukan beberapa hal berikut (Balaji,
2013):
a. Menaikkan alis untuk menguji aktivitas frontalis corrugator
b. Menutup rapat mata untuk menguji fungsi orbicularis oculi sphincter
c. Meminta pasien untuk menyeringai untuk menguji kemampuan otot untuk
tertarik pada sudut mulut
d. Menguji pengecapan
e. Pasien diminta untuk meniupkan udara, menahan udara didalam mulut dan
bersiul
Bila terdapat hiperakusis, saat stetoskop diletakkan pada telinga pasien
maka suara akan terdengar lebih jelas pada sisi cabang muskulus stapedius yang
paralisis(Norton, 2007).
Tanda klinis yang membedakan Bell’s palsy dengan stroke atau kelainan
yang bersifat sentral lainnya adalah tidak terdapatnya kelainan pemeriksaan saraf
kranialis lain, motorik dan sensorik ekstremitas dalam batas normal, dan pasien
tidak mampu mengangkat alis dan dahi pada sisi yang terkena (Norton, 2007).
Menurut Delong (2008)pasien pada umumnya tidak membutuhkan
pemeriksaan laboratorium, namun pasien yang mengeluhkan paralisis yang
persisten tanpa perbaikan yang signifikan perlu dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut. Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, seperti:

15

a. Computed TomographyScanning (CT Scan) atau Magnetic Resonance
Imaging (MRI)diindikasikan pada pasien yang tidak mengalami perbaikan
keadaan setelah 1 bulan mengalami paralisis wajah, hilangnya
pendengaran, defisit saraf kranial multipel dan tanda-tanda paralisis pada
anggota gerak atau gangguan sensorik.
b. Pemeriksaan

pendengaran

dilakukan

jika

dicurigai

kehilangan

pendengaran, maka dilakukan tes audio untuk menyingkirkan neuroma
akustikus.
c. Pemeriksaan laboratorium penting jika pasien memiliki gejala keterlibatan
penyakit sistemik tanpa perbaikan signifikan setelah lebih dan 4 minggu.

2.3.6. Diagnosis Banding
Terdapat beberapa penyakit yang juga memiliki gejala paralisis fasialis
yang menyerupai dengan Bell’s palsy namun juga memiilki gejala yang dapat
dijadikan pembeda (Norton, 2007; Delong, 2008; Yonamine, 2014)
Penyakit - penyakit tersebut adalah:
a. Lyme disease
Penyakit ini juga dapat menyebabkan paralisis nervus fasialis yang bersifat
unilateral ataupun bilateral, namun yang paling sering adalah bilateral.
b. Ramsay Hunt Syndrome
Merupakan komplikasi dari herpes zoster. Pasien dengan penyakit ini
memiliki prodromal nyeri. Paralisis pada nervus fasialis yang bersifat unilateral
juga ditemukan, namun juga dapat melibatkan nervus vestibulococlearis sehingga
menyebabkan gangguan pendengaran dan keseimbangan.
c. Otitis media
Otitis media memiliki onset yang lebih bertahap, dengan disertai nyeri
telinga dan demam.

16

d. Sarcoidosis
Pasien dengan penyakit ini juga mengalami paralisis pada nervus fasialis,
namun bersifat bilateral, disertai juga dengan demam, pembesaran kelenjar limfe
hilus, parotis dan kadang hiperkalsemia.
2.3.7. Penatalaksanaan
Pada beberapa evaluasi ditemukan bahwa 71% dari pasien yang tidak
mendapatkan perawatan mengalami perbaikan secara sempurna dan 84%
mengalami perbaikan fungsi yang mendekati normal. Namun 20-30% pasien tidak
mengalami kesembuhan sehingga diperlukan perawatan (Gilden, 2004).
Penatalaksanaan Bell’s palsy masih menjadi perdebatan akibat etiologinya
yang belum jelas. Secara umum diyakini pengobatan Bell’s palsy dapat dilakukan
dengan menggunakan terapi farmakologis, terapi fisik dan pembedahan (Balaji,
2013; Gerg, 2012).
Terapi farmakologis yang digunakan pada pasien Bell’s palsy adalah
kortikosteroid dan antivirus. Penggunaan kortikosteroid dapat mengurangi rasa
sakit, mengurangi kemungkinan paralisis permanen dan pembengkakan pada saraf
di kanalis fasialis yang sempit. Kortikosteroid, terutama prednisolon yang dimulai
dalam 72 jam dari onset, harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil
pengobatan. Dosis pemberian prednison (maksimal 40-60 mg/hari) dan
prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg/kgBB/hari peroral selama enam hari
diikuti empat hari tappering off (Gronseth, 2012).
Penggunaan anti virus pada pasien Bell’s palsy didasari oleh dugaan
Herpes simpleksvirus tipe I dan Varicella zoster sebagai penyebab. Reaktivasi dan
virus tersebut dapat menyebabkan inflamasi pada saraf fasialis. Anti virus yang
paling sering digunakan adalah asiklovir. Pada beberapa studi bahkan dilakukan
kombinasi pemakaian dengan prednisolon. Keuntungan penggunaan anti virus
masih diragukan, sehingga telah dilakukan beberapa studi. Pada studi tersebut
disimpulkan bahwa tidak terdapat manfaat signifikan dan antivirus dibandingkan

17

placebo pada pengobatan Bell’s palsy. Studi lain juga menemukan bahwa tidak
ditemukan perbedaan pada tingkat perbaikan klinis dengan prednisolon dan
kombinasi prednisolon dan asiklovir (Gronseth, 2012).
Terapi fisik juga disarankan untuk dilakukan dengan menggunakan terapi
panas superfisial. Selama 15 menit/sesi untuk otot wajah lebih diutamakan untuk
diberikan stimulasi elektrik. Pemijatan yang selama ini juga disarankan pada
Bell’s palsy guna meningkatkan sirkulasi dan dapat mencegah kontraktur.
Akupuntur dan terapi magnet juga dilakukan sebagai kombinasi fisioterapi
perawatan Bell’s palsy, namun masih perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk
melihat efisiensinya (Lowis, 2012).
Bedah dekompresi untuk Bell’s palsy diajukan untuk dilakukan karena
hipotesis bahwa adanya kemungkinan nervus fasialis mengalami kompresi
patologis akibat oedema pada fallopian canal. Bedah dekompresi diharapkan
dapat mengurangi oedema. Prosedur ini biasanya dilakukan melalui pendekatan
fossa media dan lebih baik dilakukan dalam 2 minggu, sebelum kerusakan serabut
saraf tidak dapat diperbaiki (Balaji, 2013).
Menurut Mehta (2009) penatalaksanaan dengan pembedahan dibagi
menjadi dua bagian yaitu manajemen primer dan manajemen sekunder.
Manajemen primer terdiri dan perbaikan saraf, nerve graft dan nerve sharing atau
transposisi

saraf.

Sedangkan

manajemen

sekunder

bertujuan

untuk

mengembalikan fungsi wajah atau perbaikan estetis wajah(Gerg, 2012).
Tindakan pembedahan yang dapat dilakukan sebagai penatalaksanaan
primer adalah neurorrhaphy dan graft neurorrhaphy. Direct neurorraphy
diindikasikan pada laserasi benda tajam yang melibatkan nervus fasialis. Prosedur
ini diharapkan dapat memberikan pengembalian fungsi nervus fasialis dengan
baik. Prosedur graft neurorrhaphy mirip dengan perbaikan saraf langsung, yang
membedakan adalah dibutuhkannya anastomosis tambahan untuk setiap cabang
saraf yang dirawat. Donor yang umumnya digunakan untuk prosedur graft

18

neurorrhaphy adalah great auricular nerve, sural nerve, dan antebrachial
cutaneous nerve (Gerg, 2012).
Manajemen sekunder yang memiliki tujuan untuk mengembalikan fungsi
wajah dengan melakukan bedah rekonstruksi. Teknik statis pada pembedahan
dianggap lebih cocok untuk dilakukan karena lebih mudah dilakukan dan hanya
membutuhkan intervensi sebanyak satu kali. Secara umum tujuan dari
pembedahan dengan teknik statis adalah melindungi kornea dan mengangkat
kembali sudut mulut yang turun(Gerg, 2012).
Selain terapi yang telah diuraikan diatas, perlindungan pada mata dan otot
wajah juga perlu dilakukan. Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar
benda asing. Perlindungan dapat dilakukan dengan penggunaan air mata buatan
(artificial tears), pelumas pada saat tidur, kacamata, plester mata, penjahitan
kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan bagian lateral kelopak mata
atas dan bawah) (Gerg, 2012).
2.3.8 Prognosis
Sekitar 80-90% pasien Bell’s palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan
50-60% kasus membaik dalam 3 minggu. Sekitar 10% mengalami asimetris
muskulus fasialis presisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus
dapat rekuren (Lowis, 2012; Taylor, 2014).
Faktor yang mengarah ke prognosis buruk adalah palsy komplit (risiko
sekuele berat), riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-aurikular,
gangguan pengecapan, refleks stapedius, wanita hamil dengan Bell’s palsy, bukti
denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat), dan kasus yang memiliki
hasil CT Scan dengan kontras jelas (Gerg, 2012; Lowis, 2012).
Faktor yang mendukung ke prognosis baik adalah paralisis parsial
inkomplit pada fase akut (penyembuhan total), pemberian kortikosteroid dini,
penyembuhan awal atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama
(Gerg, 2012).

19

2.3.9. Kualitas Hidup Pasien Bell’s palsy
Kelumpuhan pada wajah yang dialami pasien Bell‘s palsy dapat
mengakibatkan terganggunya aktivitas sehari-hari sehingga akan mempengaruhi
kualitas hidup(Kahn, 2001).
Pada penelitian dari Baylor College of Medicine (2001) melaporkan bahwa
kualitas hidup pasien facial palsy dipengaruhiolehfacial palsy yang dialaminya.
Beberapa hal yang sangat signifikan dilaporkan setelah mengalami facial palsy
adalah pasien cenderung bersikap berbeda pada lingkungannya, diperlakukan
berbeda oleh lingkungan, membatasi diri dari aktivitas sosial dan kesulitan untuk
makan. Kelumpuhan pada satu sisi wajah mengakibatkan wajah pasien akan
terlihat asimetris dan menyebabkan rasa malu pada diri pasien sehingga pasien
cenderung menarik diri dari lingkungannya (Kahn, 2001).