Kebijakan Fiskal di Indonesia
C. Kebijakan Fiskal di Indonesia
Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi enam fungsi, yaitu:
a) Fungsi pengelolaan kebijakan ekonomi makro dan fiskal. Fungsi pengelolaan kebijakan ekonomi makro dan fiskal ini meliputi penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN, serta perkembangan dan perubahannya, analisis kebijakan, evaluasi dan perkiraan perkembangan ekonomi makro, pendapatan negara, belanja negara, pembiayaan, analisis kebijakan, evaluasi dan perkiraan perkembangan fiskal dalam rangka kerjasama internasional dan regional, penyusunan rencana pendapatan negara, hibah, belanja negara dan a) Fungsi pengelolaan kebijakan ekonomi makro dan fiskal. Fungsi pengelolaan kebijakan ekonomi makro dan fiskal ini meliputi penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN, serta perkembangan dan perubahannya, analisis kebijakan, evaluasi dan perkiraan perkembangan ekonomi makro, pendapatan negara, belanja negara, pembiayaan, analisis kebijakan, evaluasi dan perkiraan perkembangan fiskal dalam rangka kerjasama internasional dan regional, penyusunan rencana pendapatan negara, hibah, belanja negara dan
b) Fungsi penganggaran. Fungsi ini meliputi penyiapan, perumusan, dan pelaksanaan kebijakan, serta perumusan standar, norma, pedoman, kriteria, prosedur dan pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang APBN.
c) Fungsi administrasi perpajakan.
d) Fungsi administrasi kepabeanan.
e) Fungsi perbendaharaan. Fungsi perbendaharaan meliputi perumusan kebijakan, standard, sistem dan prosedur di bidang pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara, pengadaan barang dan jasa instansi pemerintah serta akuntansi pemerintah pusat dan daerah, pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara, pengelolaan kas negara dan perencanaan penerimaan dan pengeluaran, pengelolaan utang dalam negeri dan luar negeri, pengelolaan piutang, pengelolaan barang milik/kekayaan negara (BM/KN), penyelenggaraan akuntansi, pelaporan keuangan dan sistem informasi manajemen keuangan pemerintah.
f) Fungsi pengawasan keuangan.
Implementasi kebijakan fiskal ditempuh dengan dengan strategi perumusan kebijakan fiskal diarahkan untuk tetap memberikan ruang bagi ditempuhnya kebijakan stimulus fiskal secara terukur guna mendorong upaya akselerasi
pertumbuhan ekonomi sekaligus perbaikan pemerataan hasil pembangunan nasional dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal. Sehubungan dengan itu, langkah- langkah yang akan ditempuh adalah: (1) memberikan insentif fiskal untuk kegiatan ekonomi strategis; (2) mendorong pembangunan infrastruktur; (3) meningkatkan kinerja BUMN dalam mendukung pembangunan infrastruktur,
pemberdayaan koperasi, usaha mikro, kecil, dan menengah (KUMKM); serta (4) memanfaatkan utang untuk belanja produktif.
Sebagai contoh, untuk kebijakan fiskal tahun 2014 masih bersifat ekspansif dalam rangka menjaga momentum pertumbuhan dengan tetap mengendalikan defisit dalam batas aman. Kebijakan tersebut diwujudkan melalui: (1) kebijakan pendapatan negara; (2) kebijakan belanja negara; dan (3) kebijakan defisit dan pembiayaan anggaran.
Pengelolaan kebijakan fiskal yang sehat dan berkesinambungan diharapkan dapat menjaga sentimen positif para pelaku pasar dan mendorong peningkatan efisiensi dan efektivitas belanja negara sehingga memberikan dampak multiplier yang positif bagi perekonomian nasional. Lebih lanjut kebijakan pendapatan negara tahun 2014 diarahkan untuk mengoptimalkan penerimaan dari bidang perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Di bidang perpajakan, kebijakan dan langkah penting yang ditempuh dalam tahun 2014, antara lain: (1) penyempurnaan peraturan perpajakan untuk lebih memberi kepastian hukum
serta perlakuan yang adil dan wajar; (2) penyempurnaan kebijakan insentif perpajakan untuk mendukung iklim usaha dan investasi; (3) penyempurnaan sistem administrasi perpajakan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak; (4) perluasan basis pajak dan penyesuaian tarif; serta (5) penguatan penegakan hukum bagi penyelundup pajak (tax evation).
Sementara itu, kebijakan di bidang kepabeanan dan cukai antara lain terdiri dari: (1) ekstensifikasi barang kena cukai; dan (2) penyesuaian tarif cukai hasil tembakau.
Selanjutnya, pokok-pokok kebijakan PNBP di tahun 2014 antara lain: (1) peningkatan PNBP migas dan nonmigas; (2) peningkatan kinerja badan usaha milik negara (BUMN) agar dapat berkontribusi
lebih besar dalam dividen BUMN; serta
(3) terus melakukan upaya inventarisasi, intensifikasi, dan ekstensifikasi PNBP K/L. Optimalisasi PNBP tersebut juga akan disertai dengan optimalisasi pendapatan badan layanan umum (BLU).
Kebijakan belanja negara dalam tahun 2014 diharapkan mampu menstimulasi perekonomian dengan tetap mengendalikan defisit dalam batas aman, mengendalikan keseimbangan primer (primary balance) sekaligus menjaga kesinambungan fiskal. Prioritas pembangunan yang akan dilaksanakan Pemerintah diharapkan dapat memantapkan perekonomian nasional bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan RKP 2014, pelaksanaan kebijakan belanja negara tahun 2014 secara substansial dan konsisten tetap diarahkan pada empat pilar yaitu: (1) mendukung terjaganya pertumbuhan ekonomi pada level yang cukup tinggi (pro
growth); (2) meningkatkan produktivitas dalam kerangka perluasan kesempatan kerja (pro job); (3) meningkatkan dan memperluas program pengentasan kemiskinan (pro poor); (4) mendukung pembangunan yang berwawasan lingkungan (pro environment).
Belanja negara terdiri atas belanja Pemerintah Pusat dan transfer ke daerah. Arah dan kebijakan belanja Pemerintah Pusat pada RAPBN tahun 2014 difokuskan antara lain pada upaya untuk: (1) mendukung pelaksanaan penyelenggaraan Pemerintahan yang efektif dan
efisien; (2) mendukung pelaksanaan program pembangunan untuk mencapai sasaran
pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan; (3) mendukung peningkatan pertahanan dan keamanan; (4) menyusun kebijakan subsidi yang lebih tepat sasaran serta pengembangan
energi baru dan terbarukan; (5) melaksanakan pendidikan yang berkualitas serta meningkatkan kemudahan akses pendidikan dan terjangkau bagi masyarakat; (6) mendukung pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional; dan (7) mendukung pelaksanaan Pemilu 2014 yang lancar, demokratis, dan aman untuk
menjaga stabilitas nasional.
Sementara itu, arah kebijakan transfer ke daerah tahun 2014 antara lain meliputi: (1) meningkatkan kapasitas fiskal daerah serta mengurangi kesenjangan fiskal
antara pusat dan daerah serta antardaerah; (2) meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah; dan (3) meningkatkan perhatian terhadap pembangunan di daerah tertinggal, terluar, dan terdepan.
Selanjutnya, untuk mendukung arah dan kebijakan belanja Pemerintah Pusat dalam APBN 2014, Pemerintah terus berkomitmen untuk meningkatkan kualitas belanja (qualityof spending). Langkah utama yang ditempuh adalah melalui peningkatan efisiensi dan efektivitas belanja negara, yang dilakukan melalui perbaikan struktur belanja negara agar menjadi lebih produktif serta efisien dalam mendukung pencapaian target secara optimal. Beberapa kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan efisiensi di antaranya adalah: (1) efisiensi subsidi BBM melalui pengendalian konsumsi BBM bersubsidi,
peningkatan program konversi BBM, program pembangunan/pengembangan gas kota, dan pemakaian bahan bakar nabati (BBN);
(2) efisiensi belanja perjalanan dinas, seminar, dan konsinyering; serta (3) penerapan kebijakan flat policy belanja barang operasional.
Sementara itu, peningkatan efektivitas dilakukan dengan memperbesar alokasi belanja yang produktif dan mengendalikan belanja yang bersifat konsumtif. Dalam rangka peningkatan efektivitas, Pemerintah terus berkomitmen meningkatkan alokasi belanja produktif untuk pembangunan infrastruktur dalam rangka meningkatkan daya saing dan kapasitas produksi. Melalui peningkatan produktivitas diharapkan dapat menciptakan nilai tambah (value added), meningkatkan kapasitas perekonomian, dan perluasan kesempatan kerja yang pada gilirannya dapat mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat. Sejalan dengan itu, kebijakan defisit anggaran dalam tahun 2014 ditempuh dalam rangka menjaga momentum pertumbuhan ekonomi melalui pemberian stimulus fiskal secara terukur dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal. Untuk membiayai defisit APBN tahun 2014, Pemerintah memanfaatkan sumber-sumber pembiayaan yang Sementara itu, peningkatan efektivitas dilakukan dengan memperbesar alokasi belanja yang produktif dan mengendalikan belanja yang bersifat konsumtif. Dalam rangka peningkatan efektivitas, Pemerintah terus berkomitmen meningkatkan alokasi belanja produktif untuk pembangunan infrastruktur dalam rangka meningkatkan daya saing dan kapasitas produksi. Melalui peningkatan produktivitas diharapkan dapat menciptakan nilai tambah (value added), meningkatkan kapasitas perekonomian, dan perluasan kesempatan kerja yang pada gilirannya dapat mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat. Sejalan dengan itu, kebijakan defisit anggaran dalam tahun 2014 ditempuh dalam rangka menjaga momentum pertumbuhan ekonomi melalui pemberian stimulus fiskal secara terukur dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal. Untuk membiayai defisit APBN tahun 2014, Pemerintah memanfaatkan sumber-sumber pembiayaan yang
tahun 2014; (2) memanfaatkan SAL sebagai fiscal buffer untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya krisis khususnya pada pasar SBN; (3) memanfaatkan pinjaman luar negeri secara selektif dan mempertahankan kebijakan negative net flow; (4) mengarahkan pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif antara lain melalui penerbitan sukuk yang berbasis proyek; dan (5) mengalokasikan dana investasi Pemerintah dalam rangka pemberian PMN
kepada BUMN/ lembaga untuk percepatan pembangunan infrastruktur, penjaminan KUR, dan peningkatan kapasitas usaha BUMN/lembaga.
Melalui langkah-langkah tersebut, APBN diharapkan dapat dikelola secara efisien dan produktif sehingga tidak hanya memberi kontribusi yang optimal bagi kesinambungan fiskal, tetapi juga berdampak pada peningkatan daya saing perekonomian nasional. Selanjutnya, hal tersebut diharapkan dapat mendukung pencapaian tujuan pembangunan nasional untuk meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
RANGKUMAN
1) Kebijakan fiskal bertujuan untuk mencegah pengangguran dan menjaga stabilitas harga.
2) Macam kebijakan fiskal adalah: pembiayaan fungsional, pengelolaan anggaran, stabilisasi anggaran otomatis, dan anggaran belanja seimbang.
LATIHAN
1) Jelaskan tujuan pemerintah menerapkan kebijakan fiskal
2) Jelaskan macam-macam kebijakan fiskal
BAB VI BELANJA PEMERINTAH DAN PEMBIAYAAN
Tujuan Instruksional Khusus : Setelah mempelajari bagian ini, mahasiswa mampu menjelaskan jenis-jenis belanja menurut fungsi, organisasi, jenis/klasifikasi ekonomi. Selain itu, juga mampu menjelaskan
upaya-upaya pemerintah melakukan pembiayaan ketika kondisi anggaran defisit.
Sebagai salah satu instrumen utama kebijakan fiskal, kebijakan dan alokasi anggaran belanja negara, termasuk kebijakan anggaran belanja pemerintah pusat, menempati posisi yang sangat strategis dalam mendukung akselerasi pembangunan yang inklusif, berkelanjutan dan berdimensi kewilayahan untuk mencapai dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Melalui kebijakan dan alokasi anggaran belanja negara, pemerintah dapat secara langsung berperan aktif dalam mencapai berbagai tujuan dan sasaran program pembangunan di segala bidang kehidupan, termasuk dalam mempengaruhi alokasi sumber daya ekonomi antarkegiatan, antarprogram, antarsektor dan antarfungsi pemerintahan, mendukung stabilitas ekonomi, serta menunjang distribusi pendapatan yang lebih merata.
Anggaran belanja pemerintah pusat setidaknya memiliki dua peran yang sangat penting dalam pencapaian tujuan nasional, terutama tujuan yang terkait dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Pertama, besaran dan komposisi belanja pemerintah pusat dalam operasi fiskal Pemerintah, memiliki dampak yang signifikan pada permintaan agregat yang merupakan penentu output nasional, serta dapat mempengaruhi alokasi dan efisiensi sumber daya ekonomi dalam perekonomian. Kedua, berkaitan dengan ketersediaan dana untuk melaksanakan ketiga fungsi ekonomi pemerintah, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi.
Oleh karena itu, kualitas kebijakan dan alokasi anggaran belanja pemerintah pusat, menempati posisi yang sangat strategis dalam mendukung pencapaian Oleh karena itu, kualitas kebijakan dan alokasi anggaran belanja pemerintah pusat, menempati posisi yang sangat strategis dalam mendukung pencapaian
A. Belanja Pemerintah Menurut Fungsi Dalam pasal 11 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, diatur bahwa anggaran belanja pemerintah pusat juga dikelompokkan menurut fungsi. Kemudian, pengelompokan menurut fungsi yang meliputi 11 fungsi menggambarkan berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat dan untuk pertumbuhan kesejahteraan rakyat. Sebelas fungsi Pemerintah tersebut, adalah: (1) fungsi pelayanan umum, (2) fungsi pertahanan, (3) fungsi ketertiban dan keamanan, (4) fungsi ekonomi, (5) fungsi lingkungan hidup, (6) fungsi perumahan dan fasilitas umum, (7) fungsi kesehatan, (8) fungsi pariwisata dan budaya, (9) fungsi agama, (10) fungsi pendidikan, dan (11) fungsi perlindungan sosial. Data pada Nota Keuangan APBN 2014 disebutkan bahwa dalam periode 2008 – 2013, sebagian besar anggaran belanja pemerintah pusat dialokasikan untuk melaksanakan fungsi pelayanan umum, yaitu mencapai rata-rata sebesar 65,1 persen dari total realisasi belanja pemerintah pusat setiap tahunnya. Sementara itu, sekitar 34,9 persen dari realisasi anggaran belanja pemerintah pusat selama periode tersebut digunakan untuk menjalankan fungsi-fungsi lainnya.
Tabel 7 Belanja Menurut Fungsi
Gambar 2 Contoh Belanja Pemerintah Menurut Fungsi
B. Belanja Pemerintah Menurut Organisasi Sebagaimana yang tertuang di dalam penjelasan pasal 11 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, rincian belanja negara menurut organisasi disesuaikan dengan susunan K/L pemerintah pusat. Untuk memenuhi ketentuan tersebut, dalam perencanaannya, rincian belanja negara disusun berdasarkan pada organisasi yang ada beserta dengan program-program yang diusulkannya. Dari 86 BA tersebut, K/L dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok besar berdasarkan bidang, yaitu: (1) K/L dalam lingkup Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (34 K/L); (2) K/L dalam lingkup Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan
Keamanan (32 K/L); dan (3) K/L dalam lingkup Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (20 K/L). K/L yang termasuk dalam lingkup Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, antara lain meliputi: (1) Kementerian Pekerjaan Umum; (2) Kementerian Perhubungan; (3) Kementerian Keuangan; (4) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral;
(5) Kementerian Pertanian; (6) Kementerian Kelautan dan Perikanan; (7) Kementerian Kehutanan; (8) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi; (9) Badan Pusat Statistik; dan (10) Kementerian Perindustrian. K/L yang termasuk dalam lingkup Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, antara lain meliputi: (1) Kementerian Pertahanan; (2) Kepolisian Negara Republik Indonesia; (3) Kementerian Dalam Negeri; (4) Komisi Pemilihan Umum; (5) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia; (6) Mahkamah Agung; (7) Kementerian Luar Negeri; (8) Badan Pertanahan Nasional; (9) Kejaksaan Republik Indonesia; dan (10) Kementerian Komunikasi dan Informatika. K/L yang termasuk dalam lingkup Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, antara lain meliputi: (1) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; (2) Kementerian Agama; (3) Kementerian Kesehatan; (4) Kementerian Sosial; (5) Kementerian Perumahan Rakyat; (6) Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional; (7) Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS); (8) Kementerian Pemuda dan Olahraga; (9) Badan SAR Nasional; dan (10) Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
C. Belanja Pemerintah Menurut Jenis
Sesuai dengan Pasal 11 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, rincian belanja pemerintah pusat menurut jenis terbagi atas: (1) belanja pegawai; (2) belanja barang; (3) belanja modal; (4) pembayaran bunga utang; (5) subsidi; (6) belanja hibah; (7) bantuan sosial; dan (8) belanja lain-lain.
Tabel 8 Belanja Menurut Jenis
1. Belanja Pegawai Pengeluaran yang merupakan kompensasi terhadap pegawai baik dalam bentuk uang atau barang, yang harus dibayarkan kepada pegawai pemerintah dalam maupun luar negeri baik kepada pejabat negara, Pegawai Negeri Sipil dan pegawai yang dipekerjakan oleh pemerintah yang belum berstatus PNS sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal. Data pada Nota Keuangan APBN 2014 tercatat bahwa meningkatnya alokasi dan realisasi belanja pegawai dalam periode tersebut antara lain berkaitan dengan langkah-langkah kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah dalam
rangka memperbaiki penghasilan dan kesejahteraan pegawai negeri sipil, anggota TNI/Polri dan para pensiunan. Kebijakan tersebut antara lain adalah: (1) kenaikan gaji pokok bagi PNS dan TNI/Polri secara berkala; (2) pemberian gaji bulan ke-13; (3) kenaikan tunjangan fungsional dan tunjangan struktural termasuk tunjangan hakim; (4) kenaikan uang lauk pauk bagi anggota TNI/Polri; (5) pemberian uang makan kepada PNS mulai tahun 2008; serta (6) kenaikan pensiun pokok dan pemberian pensiun bulan ke-13. Selain itu, peningkatan alokasi belanja pegawai juga berkaitan dengan pemberian remunerasi dalam rangka reformasi birokrasi yang dimulai sejak tahun 2008 dan terus diperluas pelaksanaannya. Reformasi birokrasi yang pada tahun 2008 baru mencakup 3 (tiga) K/L, pada tahun 2013 mencakup sekitar 64 (enam puluh empat) K/L yang melaksanakannya.
2. Belanja Barang Pengeluaran untuk menampung pembelian barang dan jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan serta pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat dan belanja perjalanan. Belanja ini terdiri dari belanja barang dan jasa, belanja pemeliharaan dan belanja perjalanan dinas. Data pada Nota Keuangan APBN 2014 disebutkan bahwa secara umum, alokasi anggaran belanja barang tersebut, terutama diarahkan untuk mendukung pemerintah dalam menjalankan tugas dan fungsinya untuk melayani kepentingan masyarakat luas, yaitu: (1) menjaga kelancaran penyelenggaraan operasional pemerintahan dalam
rangka peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat; (2) meningkatkan efisiensi dan efektivitas belanja barang K/L melalui pengendalian belanja barang operasional, dan melakukan efisiensi belanja perjalanan dinas serta kegiatan seminar dan konsinyering sesuai kebutuhan dan tugas fungsi masing-masing K/L; dan
(3) menjaga terpeliharanya nilai dan kualitas aset negara melalui dukungan alokasi dana yang memadai untuk pemeliharaan; serta (4) meningkatkan capacity building SDM dalam rangka mendukung pelaksanaan program pembangunan nasional.
3. Belanja Modal Pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah. Aset Tetap tersebut dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari-hari suatu satuan kerja bukan untuk dijual. Belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap/inventaris yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk di dalamnya adalah
pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas aset.
4. Pembayaran Bunga Utang Pengeluaran pemerintah untuk pembayaran bunga (interest) yang dilakukan atas kewajiban penggunaan pokok utang (principal outstanding) baik utang dalam maupun luar negeri yang dihitung berdasarkan posisi pinjaman jangka pendek atau jangka panjang. Jenis belanja ini khusus digunakan dalam kegiatan dari Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan.
5. Subsidi Pengeluaran atau alokasi anggaran yang diberikan pemerintah kepada perusahaan negara, lembaga pemerintah atau pihak ketiga lainnya yang memproduksi, menjual, mengekspor atau mengimpor barang dan jasa untuk memenuhi hajat hidup orang banyak agar harga jualnya dapat dijangkau masyarkat. Belanja ini antara lain digunakan untuk penyaluran subsidi kepada masyarakat melalui BUMN/BUMD dan perusahaan swasta. Jenis
belanja ini khusus digunakan dalam kegiatan dari Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan. Belanja subsidi dialokasikan dalam rangka meringankan beban masyarakat untuk memperoleh kebutuhan dasarnya, dan sekaligus untuk menjaga agar produsen mampu menghasilkan produk, khususnya yang merupakan kebutuhan dasar masyarakat, dengan harga yang terjangkau. Pemberian subsidi juga ditujukan untuk menjaga stabilitas harga barang dan jasa di dalam negeri, memberikan perlindungan pada masyarakat berpendapatan rendah, meningkatkan produksi pertanian, serta memberikan insentif bagi dunia usaha dan masyarakat. Dengan subsidi tersebut diharapkan bahan kebutuhan pokok masyarakat tersedia dalam jumlah yang mencukupi, dengan harga yang stabil, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Berdasarkan data pada Nota Keuangan APBN 2014 tercatat bahwa subsidi merupakan alokasi anggaran yang disalurkan melalui perusahaan/lembaga yang memproduksi, menjual barang dan jasa, yang memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa, sehingga harga jualnya dapat dijangkau masyarakat. Belanja subsidi terdiri dari subsidi energi (subsidi BBM, BBN, LPG tabung 3 kg, dan LGV serta subsidi listrik) dan subsidi nonenergi (subsidi pangan, subsidi pupuk, subsidi benih, subsidi PSO, subsidi bunga kredit program, dan subsidi pajak/DTP).
6. Hibah Pengeluaran pemerintah berupa transfer dalam bentuk uang, barang atau jasa, bersifat tidak wajib yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya
dan tidak mengikat serta tidak terus menerus kepada pemerintahan negara lain, pemerintah daerah, masyarakat dan organisasi kemayarakatan serta organisasi internasional. Hibah-hibah tersebut akan digunakan untuk membiayai program-program yang dilaksanakan oleh K/L seperti pendidikan, infrastruktur, kesehatan, pemberdayaan kaum wanita, konservasi lingkungan hidup dan keaneka ragaman hayati, serta penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, sesuai dengan perjanjian hibah yang dilakukan antara negara/lembaga donor dengan K/L penerima hibah. Belanja hibah merupakan belanja Pemerintah Pusat dalam bentuk uang, barang, atau jasa dan tidak mengikat serta tidak terus menerus kepada pemerintahan negara lain, pemerintah daerah, masyarakat dan organisasi kemayarakatan serta organisasi internasional. Hibah-hibah tersebut akan digunakan untuk membiayai program-program yang dilaksanakan oleh K/L seperti pendidikan, infrastruktur, kesehatan, pemberdayaan kaum wanita, konservasi lingkungan hidup dan keaneka ragaman hayati, serta penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, sesuai dengan perjanjian hibah yang dilakukan antara negara/lembaga donor dengan K/L penerima hibah. Belanja hibah merupakan belanja Pemerintah Pusat dalam bentuk uang, barang, atau jasa
7. Bantuan Sosial Transfer uang atau barang yang diberikan kepada masyarakat guna melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial. Bantuan sosial dapat langsung diberikan kepada anggota masyarakat dan/atau lembaga kemasyarakatan termasuk didalamnya bantuan untuk lembaga non pemerintah bidang pendidikan dan keagamaan. Pengeluaran ini dalam bentuk uang/ barang atau jasa kepada masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, bersifat tidak terus menerus dan selektif.
Tabel 9 Bantuan Sosial Tahun 2008-2013
8. Belanja Lain-lain Pengeluaran/belanja pemerintah pusat yang sifat pengeluarannya tidak dapat diklasifikasikan ke dalam pos-pos pengeluaran di atas. Pengeluaran ini bersifat tidak biasa dan tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam, bencana sosial dan pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah.
Berdasarkan data pada Nota Keuangan APBN 2014 disebutkan bahwa peningkatan Belanja Lain-lain disebabkan kebijakan Pemerintah yang bersifat sementara (ad-hoc) dan mendesak untuk dipenuhi, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), kebutuhan dana untuk persiapan penyelenggaraan Pemilu tahun 2009, serta berbagai program lainnya, seperti program pengadaan sarana dan prasarana konversi minyak tanah ke LPG. Sementara itu, realisasi anggaran untuk program-program prioritas Pemerintah pada tahun 2009 menjadi faktor utama dalam penyerapan belanja lain-lain. Kegiatan prioritas Pemerintah itu mencakup pendanaan untuk Pemilu, pendanaan untuk sarana dan prasarana konversi energi, BLT, serta penuntasan kesinambungan rehabilitasi dan rekonstruksi di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatra Utara pasca berakhirnya mandat Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) NAD Nias. Sementara itu, realisasi anggaran belanja lain-lain dalam tahun 2010 antara lain realisasi belanja karena selisih kurs serta realisasi anggaran untuk satuan kerja yang belum memiliki Bagian Anggaran (BA) sendiri dan konversi minyak tanah ke LPG. Selanjutnya, untuk tahun 2011, realisasi anggaran belanja lain-lain sebagian besar merupakan realisasi anggaran belanja operasional untuk satuan kerja yang belum memiliki kode BA sendiri, cadangan beras Pemerintah (CBP) dan cadangan benih nasional (CBN), serta pengeluaran untuk keperluan mendesak. Pada tahun 2012, realisasi anggaran untuk CBP dan CBN, cadangan stabilisasi harga pangan, risiko kenaikan harga tanah (land capping), jasa perbendaharaan, serta pengeluaran untuk keperluan mendesak menjadi penyumbang terbesar realisasi belanja lain-lain. Realisasi pada tahun 2012 ini relatif rendah, karena realokasi cadangan listrik ke subsidi listrik, realokasi ke K/L sebagai upaya meningkatkan akuntabilitas, dan tidak dilaksanakannya beberapa kegiatan yang merupakan bagian kompensasi kenaikan harga kenaikan harga BBM bersubsidi. Sementara itu, pada tahun 2013 realisasi belanja lain-lain diperkirakan berasal dari CBP, dana awal untuk kegiatan operasional OJK tahun 2013, cadangan stabilisasi Berdasarkan data pada Nota Keuangan APBN 2014 disebutkan bahwa peningkatan Belanja Lain-lain disebabkan kebijakan Pemerintah yang bersifat sementara (ad-hoc) dan mendesak untuk dipenuhi, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), kebutuhan dana untuk persiapan penyelenggaraan Pemilu tahun 2009, serta berbagai program lainnya, seperti program pengadaan sarana dan prasarana konversi minyak tanah ke LPG. Sementara itu, realisasi anggaran untuk program-program prioritas Pemerintah pada tahun 2009 menjadi faktor utama dalam penyerapan belanja lain-lain. Kegiatan prioritas Pemerintah itu mencakup pendanaan untuk Pemilu, pendanaan untuk sarana dan prasarana konversi energi, BLT, serta penuntasan kesinambungan rehabilitasi dan rekonstruksi di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatra Utara pasca berakhirnya mandat Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) NAD Nias. Sementara itu, realisasi anggaran belanja lain-lain dalam tahun 2010 antara lain realisasi belanja karena selisih kurs serta realisasi anggaran untuk satuan kerja yang belum memiliki Bagian Anggaran (BA) sendiri dan konversi minyak tanah ke LPG. Selanjutnya, untuk tahun 2011, realisasi anggaran belanja lain-lain sebagian besar merupakan realisasi anggaran belanja operasional untuk satuan kerja yang belum memiliki kode BA sendiri, cadangan beras Pemerintah (CBP) dan cadangan benih nasional (CBN), serta pengeluaran untuk keperluan mendesak. Pada tahun 2012, realisasi anggaran untuk CBP dan CBN, cadangan stabilisasi harga pangan, risiko kenaikan harga tanah (land capping), jasa perbendaharaan, serta pengeluaran untuk keperluan mendesak menjadi penyumbang terbesar realisasi belanja lain-lain. Realisasi pada tahun 2012 ini relatif rendah, karena realokasi cadangan listrik ke subsidi listrik, realokasi ke K/L sebagai upaya meningkatkan akuntabilitas, dan tidak dilaksanakannya beberapa kegiatan yang merupakan bagian kompensasi kenaikan harga kenaikan harga BBM bersubsidi. Sementara itu, pada tahun 2013 realisasi belanja lain-lain diperkirakan berasal dari CBP, dana awal untuk kegiatan operasional OJK tahun 2013, cadangan stabilisasi
D. Belanja Daerah (Transfer Ke Daerah)
1. Dana Perimbangan Pengeluaran/alokasi anggaran untuk pemerintah daerah berupa dana bagi hasil, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus yang ditujukan untuk keperluan pemerintah daerah. (1) Dana Bagi Hasil (DBH)
merupakan bagian daerah yang bersumber dari penerimaan yang dihasilkan oleh daerah, baik penerimaan perpajakan ataupun penerimaan sumber daya alam. Dalam pelaksanaannya, penyaluran dana bagi hasil didasarkan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan dan ditujukan untuk mengoreksi ketimpangan vertikal. Dana Bagi Hasil berasal dari penerimaan PPh Pasal 21, PPh Pasal 25 dan 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, dan penerimaan yang berasal dari sumber daya alam. (Sebelum ada UU Nomor 28 Tahun 2009, PPB dan BPHTB menjadi bagian Dana Bagi Hasil).
(2) Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan dana yang disediakan oleh Pusat untuk dialokasikan kepada Daerah dengan tujuan untuk mengatasi ketimpangan horizontal antar daerah, dan dialokasikan dalam bentuk block grant. Berdasarkan UU No
33 Tahun 2004 jumlah DAU sebanyak-banyaknya disediakan 26% dari penerimaan dalam negeri bersih setelah dikurangi dengan dana bagi hasil dan dana alokasi khusus. Penggunaan DAU sepenuhnya diserahkan kepada Daerah dengan memperhatikan priorutas dan kebutuhan masing- masing daerah.
(3) Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan dana yang disediakan oleh Pusat untuk dialokasikan kepada Daerah yang penggunaan telah ditentukan. Kriteria kebutuhan khusus tersebut meliputi:
kebutuhan yang tidak dapat dierhitungkan dengan menggunakan rumus DAU,
kebutuhan yang merupakan prioritas nasional, dan kebutuhan untuk membiayai kegiatan reboisasi dan penghijauan
daerah penghasil.
2. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian
Pengeluaran/alokasi anggaran untuk pemerintah daerah berupa dana otonomi khusus dan dana penyesuaian yang ditujukan untuk keperluan pemerintah daerah. Dana Otonomi Khusus diberikan kepada daerah Nangroe Aceh Darussalam dan Papua (Papua dan Papua Barat). Penggunaan dana ini diutamakan untuk pembiayan pendidikan dan kesehatan. Dana Penyesuaian ditujukan untuk mendukung program/kebijakan tertentu pemerintah yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, kegiatannya sudah menjadi urusan daerah. Misalnya: Tunjangan Profesi guru PNSD, Tambahan Penghasilan Guru PNSD, Bantuan Operasional Sekolah, Dana Insentif Daerah (DID), Dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi
3. Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta
Dana Keistimewaan DIY diperuntukkan bagi dan dikelola oleh Pemerintah Daerah DIY yang pengalokasian dan penyalurannya melalui mekanisme Transfer ke Daerah. Dana Keistimewaan DIY merupakan dana yang disediakan dan dialokasikan oleh Pemerintah dalam rangka penyelenggaraan urusan keistimewaan DIY sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Kewenangan keistimewaan adalah kewenangan tambahan tertentu yang dimiliki DIY selain kewenangan sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah. Kewenangan Keistimewaan DIY dituangkan dalam Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) dan dilaksanakan berdasarkan asas pengakuan atas hak asal-usul, kerakyatan, demokrasi, kebhinnekatunggalikaan, efektivitas Dana Keistimewaan DIY diperuntukkan bagi dan dikelola oleh Pemerintah Daerah DIY yang pengalokasian dan penyalurannya melalui mekanisme Transfer ke Daerah. Dana Keistimewaan DIY merupakan dana yang disediakan dan dialokasikan oleh Pemerintah dalam rangka penyelenggaraan urusan keistimewaan DIY sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Kewenangan keistimewaan adalah kewenangan tambahan tertentu yang dimiliki DIY selain kewenangan sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah. Kewenangan Keistimewaan DIY dituangkan dalam Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) dan dilaksanakan berdasarkan asas pengakuan atas hak asal-usul, kerakyatan, demokrasi, kebhinnekatunggalikaan, efektivitas
dan Wakil Gubernur; (2) Kelembagaan Pemerintah Daerah D.I. Yogyakarta; (3) Kebudayaan; (4) Pertanahan; dan (5) Tata ruang.
E. Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya. Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN. Pembiayaan terdiri dari :
1. Penerimaan Pembiayaan Penerimaan pembiayaan antara lain dapat berasal dari pinjaman dan hasil divestasi. Pembiayaan Dalam Negeri adalah semua penerimaan pembiayaan yang berasal dari perbankan dan nonperbankan dalam negeri, yang terdiri atas penerimaan cicilan pengembalian penerusan pinjaman, saldo anggaran lebih, hasil pengelolaan aset, penerbitan surat berharga negara neto, pinjaman dalam negeri, dikurangi dengan pengeluaran pembiayaan, yang meliputi alokasi untuk Pusat Investasi Pemerintah, penyertaan modal negara, dana bergulir, dana pengembangan pendidikan nasional, dan kewajiban yang timbul akibat penjaminan Pemerintah.
2. Pengeluaran Pembiayaan Pengeluaran pembiayaan antara lain digunakan untuk pembayaran kembali
pokok pinjaman, pemberian pinjaman kepada entitas lain dan penyertaan modal oleh Pemerintah.
Pembiayaan Anggaran terdiri dari pembiayaan non utang dan perbankan dalam negeri:
1. Pembiayaan Non Utang
a. Perbankan Dalam Negeri Pembiayaan perbankan dalam negeri antara lain terdiri atas :
penerimaan cicilan pengembalian penerusan pinjaman, SAL, rekening pembangunan hutan, dan rekening pemerintah lainnya.
b. Non Perbankan Dalam Negeri Pembiayaan nonperbankan dalam negeri terdiri atas: penerimaan dari hasil privatisasi dan hasil pengelolaan aset, sedangkan pengeluarannya terdiri atas dana investasi pemerintah, dana pengembangan pendidikan nasional, kewajiban penjaminan, dan pinjaman kepada PT PLN.
Tabel 10 Perkembangan Pembiayaan Nonutang
(1) Privatisasi
Privatisasi dilakukan dengan tujuan antara lain: peningkatan kinerja dan nilai tambah perusahaan; perbaikan struktur keuangan dan manajemen; penciptaan struktur industri yang sehat dan kompetitif;
pemberdayaan BUMN yang mampu bersaing dan
berorientasi global; penyebaran kepemilikan oleh publik; serta pengembangan pasar modal domestik.
(2) Hasil Pengelolaan Aset (HPA) HPA aset yang dikelola Pemerintah yang dapat digunakan untuk pembiayaan anggaran adalah aset yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan, dan aset yang diserahkelolakan kepada PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero) (PT PPA). Kebijakan pengelolaan terhadap aset yang dikuasai oleh Pemerintah pada dasarnya ditempuh melalui mekanisme penjualan di muka umum atau lelang terhadap aset yang telah diverifikasi dan memiliki status free and clear, serta selanjutnya dilakukan penilaian dalam rangka menentukan nilai limit sebagai nilai dasar penjualan sesuai ketentuan pengelolaan aset yang berlaku
Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Dasar hukum pengelolaan aset yang timbul dari pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) diatur dalam beberapa ketentuan, antara lain Keputusan Menteri Keuangan Nomor 213/KMK.01/2008 jo. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 280/KMK.06/2009 sebagai Standard Operating Procedures pengelolaan aset eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Peraturan Menteri Keuangan nomor 93/PMK.06/2009 tentang Pengelolaan Aset Eks Kelolaan PT Perusahaan Pengelola Aset oleh Menteri Keuangan
dan
Peraturan
Menteri Menteri
(3) Dana Investasi Pemerintah Dana Investasi Pemerintah terdiri atas (1) Pusat Investasi Pemerintah; (2) PMN; dan (3) dana bergulir. Dana investasi Pemerintah merupakan pengeluaran pembiayaan yang tidak dilakukan secara reguler, namun merupakan kebijakan Pemerintah yang bersifat ad-hoc dalam periode tertentu, seperti dukungan Pemerintah terhadap pembangunan infrastruktur, pendirian sebuah BUMN untuk menjalankan kebijakan Pemerintah, dan dukungan terhadap pemberdayaan KUMKM.
(4) Dana Pengembalian Pendidikan Nasional (DPPN) Pada tahap awal, DPPN dikelola oleh Pusat Investasi Pemerintah, dan pada akhir tahun 2011 pengelolaannya dialihkan pada satker BLU Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Pada awal tahun 2013, LPDP mulai membuka pendaftaran program beasiswa bagi pemuda-pemudi yang memiliki prestasi akademis di jenjang pendidikan sebelumnya, serta memiliki jiwa kepemimpinan dan berkomitmen untuk berkontribusi bagi Indonesia.
(5) Kewajiban Pinjaman untuk PT PLN, PDAM, dan Proyek Infrastruktur melalui Kerja Sama Pemerintah dan Swasta
Dalam rangka mendukung percepatan pembangunan proyek infrastruktur, Pemerintah telah memberikan jaminan kepada kreditur perbankan/badan usaha yang turut berperan serta dalam pembangunan proyek:
Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan Batubara (Proyek 10.000 MW Tahap I); Percepatan Pembangunan Sarana Penyediaan Air Minum;
Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan Energi Terbarukan, Batubara, dan Gas (Proyek 10.000 MW Tahap II);
Proyek Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha yang dilakukan melalui Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur.
(6) Pinjaman Kepada PT PLN Pinjaman kepada PT PLN tersebut dilakukan oleh PIP berdasarkan Perpres Nomor 9 Tahun 2011 Tentang Penugasan Kepada Pusat Investasi Pemerintah untuk Memberikan Pinjaman dengan Persyaratan Lunak kepada PT PLN (Persero).
2. Pembiyaan Utang
Instrumen pembiayaan utang terdiri atas SBN, pinjaman luar negeri, dan pinjaman dalam negeri.
Tabel 11 Pembiayaan Utang
a. Surat Berharga Negara (SBN) Pemilihan jenis instrumen SBN yang akan diterbitkan mengacu pada strategi pengelolaan utang yang ditempuh Pemerintah, baik strategi tahunan maupun strategi jangka menengah. Secara umum, berdasarkan strategi pengelolaan a. Surat Berharga Negara (SBN) Pemilihan jenis instrumen SBN yang akan diterbitkan mengacu pada strategi pengelolaan utang yang ditempuh Pemerintah, baik strategi tahunan maupun strategi jangka menengah. Secara umum, berdasarkan strategi pengelolaan
tukar; (2) mengembangkan pasar keuangan domestik; dan (3) memberikan benchmark bagi penerbitan obligasi swasta di dalam negeri. Dalam pelaksanaannya, penerbitan SBN di dalam negeri harus dilakukan secara cermat dan hati-hati dengan memperhitungkan kapasitas daya serap pasar keuangan domestik. Hal ini diperlukan guna menghindari crowding out effect di pasar keuangan domestik apabila sektor swasta hendak mencari pembiayaan yang berasal dari pasar modal. Dengan berbagai pertimbangan tersebut, target pembiayaan utang melalui penerbitan SBN diharapkan dapat dipenuhi dengan biaya dan risiko yang terukur serta efisien. Target penerbitan SBN (bruto) dipenuhi melalui dua instrumen, yaitu Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Instrumen SUN yang diterbitkan terdiri atas Obligasi Negara (ON) dengan: (1) tingkat suku bunga tetap, yaitu seri fixed rate (FR) dan Obligasi Negara
Ritel (ORI); (2) tingkat suku bunga mengambang, yaitu seri variable rate (VR); (3) tanpa bunga, yaitu Surat Perbendaharaan Negara (SPN) dan Zero
Coupon Bond (ZC); serta (4) ON valas. Sementara itu, instrumen SBSN yang diterbitkan terdiri atas Ijarah Fixed Rate (IFR), Sukuk Ritel (SUKRI), Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI), Surat Perbendaharaan Negara Syariah (SPNS), Project Based Sukuk (PBS), dan sukuk valas.
b. Pinjaman Luar Negeri Realisasi penarikan pinjaman program secara umum mencapai target yang direncanakan dalam APBN. Keberhasilan pencapaian target tersebut didorong oleh pemenuhan policy matrix secara tepat waktu. Policy matrix merupakan kegiatan atau program prioritas Pemerintah yang wajib dilaksanakan pada tahun berjalan.
c. Pinjaman Dalam Negeri Sesuai ketentuan dalam PP Nomor 54 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengadaan dan Penerusan Pinjaman Dalam Negeri oleh Pemerinta. Penggunaan Pinjaman Dalam Negeri diutamakan untuk pengadaan barangbarang yang diproduksi di dalam negeri, meningkatkan produktivitas industri strategis di dalam negeri, dan mendorong percepatan pembangunan infrastruktur di dalam negeri . Penggunaan pinjaman dalam negeri sebagai salah satu instrumen pembiayaan APBN dimulai sejak tahun 2010. Sejauh ini pinjaman dalam negeri digunakan untuk mendukung pemenuhan pembiayaan alutsista TNI dan almatsus Polri.
RANGKUMAN
1) Belanja dibagi menurut fungsi, organisasi dan jenis/ekonomi. Adapun menurut jenis dibagi menjadi Belanja Pegawai, Belanja Barang, Belanja Modal, Subsidi,
Hbah, Bantuan Sosial, dan Belanja Lain-lain.
2) Belanja Pemerintah Pusat ke Daerah atau Transfer ke Daerah terdiri dari Dana Perimbangan, Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian, serta Dana
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dana Perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus.
3) Pembiayaan Anggaran terdiri dari Penerimaan Pembiayaan dan Pengeluaran Pembiyaan. Penerimaan Anggaran terdiri dari Pembayaraan non utang dan
utang. Pembayaran non utang melalui perbankan Dalam Negeri dan non perbankan. Sedangkan pembayaran utang terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN), Pinjaman Luar Negeri, dan Pinjaman Dalam Negeri.
LATIHAN
1) Jelaskan klasifikasi belanja menurut jenis/ekonomi.
2) Hal baru apa berlaku sejak APBN 2014 terkait dengan Transfer ke Daerah, jelaskan.
3) Mengapa dilakukan pembiayaan anggaran? Jelaskan.
BAB VII HUBUNGAN KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH
Tujuan Instruksional Khusus : Setelah mempelajari bagian ini, mahasiswa diharapkan memiliki wawasan hubungan keuangan pusat dan daerah. Bentuk hubunga tersebuut diwujudkan tidak hanya melalui
transfer ke Daerah, melainkan juga pajak dan retribusi daerah maupun kebijakan- kebijakan terkait dengan pajak rokok dan hibah ke daerah.
APBD mempunyai peranan yang sangat penting bagi pembangunan daerah, karena APBD merupakan implementasi dari kebijakan fiskal dan sekaligus operasionalisasi pelaksanaan program-program pemerintah daerah. Dari sisi kebijakan fiskal, APBD berperan sebagai salah satu instrumen untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Dari sisi operasionalisasi pelaksanaan program-program pemerintah, alokasi belanja APBD dapat diarahkan untuk penyediaan sarana dan prasarana pelayanan publik, penyediaan barang dan jasa, dan penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat.
Mengingat pentingnya peranan APBD tersebut, maka potensi yang menjadi sumber-sumber pendapatan daerah harus dapat dikelola secara optimal oleh daerah, sedangkan bidang/fungsi yang menjadi prioritas pendanaan dari belanja daerah harus didasarkan pada kebutuhan riil yang menjadi kewenangan Pemda. Salah satu sumber pendapatan daerah adalah pajak daerah dan retribusi daerah. Pendapatan jenis pajak tersebut sangat dipengaruhi oleh tingkat perkembangan ekonomi daerah. Fenomena empiris menunjukkan bahwa makin berkembang perekonomian daerah, maka makin besar potensi pajak yang dapat digali dari masyarakat. Dengan demikian, untuk mengukur tingkat efisiensi penerimaan pajak terhadap potensi pajak yang ada dapat digunakan rasio total penerimaan pajak terhadap PDRB (tax ratio) dan rasio total penerimaan pajak terhadap jumlah penduduk (tax per capita).
Selain diberikan kewenangan untuk mengelola sumber-sumber pendapatan Pemerintah Daerah, juga diberikan kewenangan untuk menggunakan sumber- Selain diberikan kewenangan untuk mengelola sumber-sumber pendapatan Pemerintah Daerah, juga diberikan kewenangan untuk menggunakan sumber-
A. Transfer Keuangan Pusat ke Daerah
Suparmoko (2012) mencatat terdapat dua sistem, yaitu sentralisasi dan desentralisasi. Sentralisasi diterapkan era sebelum UU No 32 Tahun 2004. Artinya,
sebelumnya Pemerintah Pusat mengalokasikan dana ke daerah didasarkan pada UU
5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Pembagian keuangan antara pusat dan daerah didasarkan pada kategori yaitu:
1) pendapatan yang ditunjuk atau diserahkan,
2) subsidi,
3) pembiayaan sektoralm dan
4) pinjaman. Kita tidak akan bahas sistem sentralisasi. Sistem yang berlaku saat ini adalah sistem desentralisasi. Sistem desentralisasi dikenal melalui bentuk dana perimbangan dari pusat ke daerah. Lebih lanjut disebutkan bahwa anggaran transfer ke daerah merupakan salah satu instrumen kebijakan desentralisasi fiskal guna mendanai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Implementasi kebijakan anggaran Transfer ke Daerah selain memperhatikan kebutuhan pendanaan urusan pemerintahan di daerah, juga mempertimbangkan kemampuan keuangan negara dan tujuan yang hendak dicapai dalam setiap tahun anggaran.
Sejalan dengan arah tujuan kebijakan alokasi Transfer ke Daerah untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan kesinambungan fiskal nasional, selama kurun waktu 2008-2013, alokasi dana transfer ke daerah terus mengalami peningkatan. Dana Transfer ke Daerah terdiri atas (berdasarkan Nota Keuangan
APBN 2014) yaitu Dana Perimbangan yang berupa yakni DBH, DAU, dan DAK, serta (2) Dana Otonomi khusus dan Penyesuaian.
DAU dialokasikan untuk meminimumkan ketimpangan fiskal antardaerah dalam mendanai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. DAU dialokasikan untuk provinsi dan kabupaten/kota dalam APBN, yakni sekurang- kurangnya 26 persen dari Pendapatan Dalam Negeri (PDN) neto. Proporsi DAU untuk provinsi dan kabupaten/kota dihitung berdasarkan perbandingan antara bobot urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota. Sesuai UU Nomor 33 Tahun 2004, proporsi DAU untuk provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan dengan imbangan 10 persen untuk provinsi dan 90 persen untuk kabupaten/kota.
Sedangkan DAK dialokasikan untuk membantu daerah dalam mendanai program/ kegiatan yang menjadi kewenangan daerah dan menjadi prioritas nasional. Tujuannya agar daerah dapat menyediakan infrastruktur sarana dan prasarana pelayanan publik secara memadai dalam rangka mendorong pencapaian Standar Pelayanan Minimum masing-masing bidang. Alokasi DAK ke daerah penerima dilakukan berdasarkan tiga kriteria, yakni:
1) Kriteria Umum yang dirumuskan berdasarkan kemampuan keuangan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD setelah dikurangi belanja Pegawai Negeri Sipil Daerah;
2) Kriteria Khusus yang dirumuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah; dan
3) Kriteria Teknis yang disusun berdasarkan indikator-indikator kegiatan khusus yang akan didanai dari DAK, yang dirumuskan melalui indeks teknis oleh menteri teknis terkait.
Kriteria-kriteria tersebut tidak membatasi adanya cakupan bidang yang akan didanai dari DAK, sehingga dalam perkembangannya bidang-bidang yang didanai DAK cenderung bertambah/berubah dari tahun ke tahun, yakni dari 11 bidang dalam tahun 2008 menjadi 19 bidang dalam tahun 2013.
Selain ketiga jenis dana tersebut, dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Aceh, Papua, dan Papua Barat, dalam APBN juga Selain ketiga jenis dana tersebut, dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Aceh, Papua, dan Papua Barat, dalam APBN juga
20 tahun sejak 2008, dan alokasinya dibedakan menjadi dua, yakni:
a. untuk tahun pertama sampai dengan tahun ke lima belas, besarnya setara dengan 2 persen pagu DAU Nasional, dan
b. untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh, besarnya setara dengan 1 persen pagu DAU Nasional.
Disamping itu, juga diberikan tambahan porsi DBH SDA Migas dalam rangka Otsus yang besarnya sama dengan untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, yakni masing-masing sebesar 55 persen dan 40 persen dari PNBP SDA Minyak Bumi dan Gas Bumi yang berasal dari wilayah provinsi yang bersangkutan. Sementara itu, cakupan Dana Penyesuaian telah mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Dalam tahun 2013, Dana Penyesuaian terdiri dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Tunjangan Profesi Guru PNSD, Dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD, Dana Insentif Daerah (DID), dan Dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi (P2D2). Dengan adanya Dana Penyesuaian dalam APBN maka cakupan dana yang dialokasikan kepada daerah makin bertambah banyak, sehingga melampaui ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Guna menghadapi dinamika tersebut maka perlu dilakukan revisi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, antara lain dengan menambahkan ketentuan yang terkait dengan reformulasi cakupan Dana Perimbangan, penyempurnaan DBH berdasarkan prinsip by origin, dan penguatan peran gubernur dalam pembagian DBH kepada kabupaten/kota di wilayahnya.
Tabel 12 Perkembangan Transfer Daerah
B. Pelaksanaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Pemberian kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk memungut pajak (taxing power) merupakan instrumen penting dalam pelaksanaan desentralisasi. Kewenangan pemungutan pajak tersebut terakhir diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU Nomor 28 Tahun 2009). Dalam undang-undang tersebut, diatur 16 (enam belas) jenis pajak daerah dan 32 (tiga puluh dua) retribusi daerah dan Pemerintah dapat menambah jenis retribusi daerah selain yang ditetapkan dalam undang-undang dimaksud. Daerah yang memungut di luar ketentuan perundang-undangan akan dikenakan sanksi. Pengawasan terhadap pelaksanaan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
Salah satu wujud nyata komitmen Pemerintah untuk memperkuat taxing power adalah dengan mengalihkan BPHTB dan PBB P2 menjadi pajak daerah. Pengalihan BPHTP telah dilaksanakan sejak tahun 2011 dan pengalihan PBB-P2 sepenuhnya dilaksanakan pada tahun 2014. Pengalihan PBB didesain tidak dilakukan serentak pada seluruh Pemerintah Daerah. Hal ini dilakukan supaya proses pengalihan tersebut benar-benar dipersiapkan oleh Pemerintah Daerah, baik dari sisi peraturan pelaksanaan yang menjadi payung hukum, perangkat lunak dan keras, dan sumber Salah satu wujud nyata komitmen Pemerintah untuk memperkuat taxing power adalah dengan mengalihkan BPHTB dan PBB P2 menjadi pajak daerah. Pengalihan BPHTP telah dilaksanakan sejak tahun 2011 dan pengalihan PBB-P2 sepenuhnya dilaksanakan pada tahun 2014. Pengalihan PBB didesain tidak dilakukan serentak pada seluruh Pemerintah Daerah. Hal ini dilakukan supaya proses pengalihan tersebut benar-benar dipersiapkan oleh Pemerintah Daerah, baik dari sisi peraturan pelaksanaan yang menjadi payung hukum, perangkat lunak dan keras, dan sumber
58 Tahun 2010 tentang Tahapan Persiapan Pengalihan PBB P2 sebagai Pajak Daerah. Dalam Peraturan Bersama Menteri tersebut diatur tugas dan tanggung jawab, baik dari Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri maupun Pemerintah Daerah.
Dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 dan Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 213/PMK.07/2010 dan Nomor 58 Tahun 2010 memberikan peluang bagi daerah untuk dapat melaksanakan pemungutan PBB P2 sebelum tahun 2014. Apabila Pemerintah Daerah telah siap melaksanakan pemungutan sebelum tahun 2014, Pemerintah Daerah harus memberitahukan kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri dalam jangka waktu paling lambat tanggal 30 Juni sebelum tahun pengalihan dan dilampiri dengan Perda tentang PBB P2.
C. Kebijakan Pajak Rokok
Selain mengalihkan BPHTB dan PBB P2 menjadi pajak daerah, dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 juga diatur kebijakan penambahan jenis pajak daerah baru yaitu Pajak Rokok. Secara efektif, pemungutan Pajak Rokok mulai dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2014. Mengingat tax base Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok, maka pelaksanaan pemungutan Pajak Rokok dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai bukan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana pajak daerah lainnya. Hasil penerimaan Pajak Rokok yang dipungut tersebut selanjutnya disetorkan ke Rekening Kas Umum Provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk. Untuk bisa mendapatkan pajak rokok, pemerintah provinsi, harus menyusun dan menetapkan peraturan daerah mengenai pajak rokok.
Penerimaan Pajak Rokok, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota, dialokasikan paling sedikit 50 persen yang dipergunakan untuk:
a. Mendanai pelayanan kesehatan masyarakat.
Pelayanan kesehatan masyarakat, antara lain: pembangunan/pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan, penyediaan sarana umum yang memadai bagi perokok (smoking area), kegiatan memasyarakatkan tentang bahaya merokok, dan iklan layanan masyarakat mengenai bahaya merokok.
b. Penegakkan hukum oleh aparat yang berwenang. Penegakan hukum sesuai dengan kewenangan Pemerintah Daerah yang dapat dikerjasamakan dengan pihak/instansi lain, antara lain: pemberantasan peredaran rokok ilegal dan penegakan aturan mengenai larangan merokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam UU Nomor 28 Tahun 2009, juga diatur bahwa hasil penerimaan Pajak Rokok diserahkan kepada kabupaten/kota sebesar 70 persen. Bagian kabupaten/kota tersebut ditetapkan dan dialokasikan provinsi dengan memperhatikan aspek pemerataan dan/atau potensi antarkabupaten/kota. Ketentuan lebih lanjut mengenai bagi hasil penerimaan Pajak Rokok ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi.
D. Kebijakan Pinjaman Daerah, Hibah ke Daerah, dan Investasi Daerah Kebijakan Pinjaman Daerah
Secara nasional, sebagian besar daerah masih menghadapi kondisi ketergantungan sumber keuangan terhadap dana perimbangan, karena sumber PAD masih terbatas. Sebagian besar pendapatan daerah tersebut digunakan untuk mendanai belanja pegawai serta belanja barang dan jasa. Kondisi seperti ini menyebabkan terbatasnya sumber pendanaan untuk pembangunan infrastruktur daerah. Pemerintah terus mendorong daerah untuk memanfaatkan alternatif sumber pembiayaan lain yang dapat digunakan untuk mendanai pembangunan infrastruktur di daerah.
Salah satu alternatif sumber pembiayaan tersebut adalah melalui pinjaman daerah. Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman daerah yang bersumber dari Pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, dan masyarakat melalui penerbitan Obligasi Daerah. Pemerintah akan memfasilitasi dan mendampingi daerah-daerah yang memiliki kapasitas fiskal dan kinerja pengelolaan keuangan yang baik untuk menerbitkan obligasi daerah.
Kegiatan fasilitasi dan pendampingan ini terutama ditujukan untuk peningkatan kapasitas sumber daya manusia di daerah sebagai salah faktor kunci keberhasilan penerbitan obligasi daerah. Dari segi regulasi telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.07/2012 tentang Tata Cara Penerbitan dan Pertanggungjawaban Obligasi Daerah.
Untuk menjamin kepentingan Pemerintah Daerah selaku obligor, maupun masyarakat selaku investor, penerbitan obligasi daerah harus mengacu pada beberapa persyaratan antara lain: (1) Mendapatkan persetujuan DPRD dan ditetapkan dengan Perda tentang Obligasi
Daerah, guna menjamin adanya komitmen Pemerintah Daerah dan DPRD dalam memenuhi kewajiban pembayaran obligasi;
(2) Membentuk dana cadangan bagi pelunasan obligasi daerah untuk mengurangi resiko terjadinya gagal bayar (default); dan (3) Mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atau Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD).
E. Kebijakan Hibah ke Daerah
Sejak efektif dilaksanakan dalam tahun 2009, hibah ke daerah telah menjadi alternatif pendanaan pembangunan infrastruktur bagi pemerintah daerah. Perkembangan kebijakan hibah ke daerah ini sejalan dengan amanat Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, selain berkewajiban mengalokasikan dana perimbangan, Pemerintah dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada Pemerintah Daerah sebagai salah satu sumber pendanaan pembangunan di daerah.
Hibah ke Daerah adalah pemberian dengan pengalihan hak atas sesuatu dari Pemerintah atau pihak lain kepada Pemerintah Daerah atau sebaliknya yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya dan dilakukan melalui perjanjian. Pemberian hibah kepada pemerintah daerah baik yang bersumber dari penerimaan dalam negeri, penerusan pinjaman luar negeri, dan hibah luar negeri dilakukan untuk untuk mendanai penyelenggaraan urusan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah serta diprioritaskan untuk penyelenggaraan pelayanan publik.
Gambar 3 Kerangka Hubungan Fungsi Pelaksanaan Hibah ke Daerah
Penyaluran hibah kepada pemerintah daerah diberikan berdasarkan capaian kinerja (performance-based), yakni dana hibah akan disalurkan kepada pemerintah daerah dengan mempertimbangkan faktor kualitas output yang dihasilkan berdasarkan verifikasi yang dilakukan kementerian teknis terkait. Alokasi hibah ke daerah sampai saat ini masih bersumber dari penerusan pinjaman luar negeri dan hibah luar negeri. Dalam periode 2010-2013, hibah ke daerah digunakan untuk mendanai kegiatan yang bersifat multi-year pada beberapa sektor pelayanan publik yang strategis, yaitu air minum, transportasi, irigasi, pertanian, sanitasi, dan pendidikan dasar.
F. Kebijakan Investasi Daerah
Investasi daerah adalah penempatan sejumlah dana dan/atau barang dalam jangka panjang (12 bulan atau lebih) oleh Pemda untuk memperoleh manfaat ekonomi, manfaat sosial, dan/atau manfaat lainnya (PP Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah) sehingga dapat meningkatkan kemampuan Pemda dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Penempatan dana dan/atau barang tersebut dalam bentuk penyertaan modal Pemda dan pemberian pinjaman daerah pada sisi pengeluaran pembiayaan dalam
APBD (below the line). Penyertaan modal Pemda dimaksud dapat dilaksanakan apabila jumlah yang akan disertakan dalam tahun anggaran yang bersangkutan telah ditetapkan dalam Perda tentang penyertaan modal tersebut. Penyertaan modal dan pemberian pinjaman dapat dilakukan Pemda dengan BUMN, BUMD, dan/atau badan usaha swasta dalam bentuk Kerja sama Pemerintah dan Swasta (KPS) atau non- KPS. Khusus untuk KPS, dananya dapat digunakan untuk pengelolaan aset daerah dan penyediaan infrastruktur di daerah.
RANGKUMAN
1) Hubungan keuangan pusat dan daerah terakhir diatur melalui UU 32 Tahun 2004 mencakup transfer ke Daerah.
2) Selain itu juga diatur pelaksanaan pajak dan retribusi daerah, diatur terakhir
dengan UU 28 Tahun 2009 terkait pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan terkait Pedesaan dan Perkotaan (P2)
3) Kebijakan-kebijakan yang diatur antara lain tentang kebijakan pajak rokok, kebijakan hibah ke daerah, kebijjakan pinjaman daerah, maupun kebijakan
investasi daerah.
LATIHAN
1) Bagaimanakah potensi PBB terkait P2 sejak digulirkan UU 28 Tahun 2009? Jelaskan.
2) Mengapa perlu diatur kebijakan pajak rokok?
3) Apakah Daerah diperbolehkan melakukan pinjaman Daerah? Apabila Ya, apakah
dasar hukum dan kebijakan yang mengatur, jelaskan.
BAB VIII PENGAWASAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN APBN
TujuanInstruksionalKhusus : Setelah mempelajari bagian ini, mahasiswa diharapkan memiliki pengetahuan sistem pengawasan eksternal dan internal pemerintah, sistem pertanggungjawaban dan
pelaporan baik dari sisi prosedur maupun bentuk isi laporan keuangan yang berlaku.
Salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan akuntablitas pengelolaan keuangan negara adalah penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu dan disusun mengikuti standar akuntansi pemerintah yang telah diterima umum. Sesuai dengan UU 17 tahun 2003 ditetapkan bahwa laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN disampaikan berupa laporan keuangan yang setidak-tidaknya terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan yang disusun sesuai dengan standar akuntansi pemerintah. Laporan keuangan pemerintah yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan harus disampaikan kepada DPR selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan.
Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-Undang tentang APBN dari segi manfaat/hasil (outcome). Sedangkan pimpinan organisasi kementerian negara/lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Undang-Undang tentang APBN dari segi barang dan/atau jasa yang disediakan (output). Sebagai konsekuensinya, dalam UU Nomor 17 tahun 2003 diatur sanksi yang berlaku bagi menteri/pimpinan lembaga, serta pimpinan unit Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-Undang tentang APBN dari segi manfaat/hasil (outcome). Sedangkan pimpinan organisasi kementerian negara/lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Undang-Undang tentang APBN dari segi barang dan/atau jasa yang disediakan (output). Sebagai konsekuensinya, dalam UU Nomor 17 tahun 2003 diatur sanksi yang berlaku bagi menteri/pimpinan lembaga, serta pimpinan unit
Selain itu perlu ditegaskan juga prinsip-prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa yang diberi wewenang untuk menerima, menyimpan, dan membayarkan atau menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik negara bertanggung jawab secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya. Kewajban untuk mengganti kerugian keuangan negara oleh para pengelola keuangan negara dimaksud merupakan unsur pengendalian intern yang handal.