KEBIJAKAN NEGARA MAJU

2.1. KEBIJAKAN NEGARA MAJU

Kebijakan yang ditempuh oleh Amerika Serikat merupakan respons atas membaiknya kondisi perekonomian negara

tersebut. Membaiknya kondisi perekonomian tersebut terutama terjadi di pasar tenaga kerja. Perbaikan tersebut diyakini oleh otoritas akan membawa laju inflasi menuju level 2% dalam jangka menengah. Mengantisipasi hal ini, The Fed telah melakukan normalisasi kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) Desember 2015 (Grafik 2.1).

The Fed telah melakukan sejumlah persiapan sebelum melakukan normalisasi kebijakan moneternya. Persiapan tersebut dilakukan dalam tiga kebijakan utama. Pertama,

melakukan roll over atas surat berharga untuk menjaga besaran neraca otoritas meneter sejalan dengan kebijakan moneter yang akomodatif (Grafik 2.2). Kedua, menyiapkan instrumen pengelolaan likuiditas agar dapat mengarahkan melakukan roll over atas surat berharga untuk menjaga besaran neraca otoritas meneter sejalan dengan kebijakan moneter yang akomodatif (Grafik 2.2). Kedua, menyiapkan instrumen pengelolaan likuiditas agar dapat mengarahkan

Grafik 2.2. Total Aset The Fed, ECB dan BoJ

Grafik 2.2. Total Aset The Fed, ECB, dan BOJ

sektor keuangan dan jalur kredit. Dalam program ini

ECB melakukan pembelian aset sebesar 60 miliar euro

Indeks, Juni 2007 =100

termasuk surat utang pemerintah di kawasan Euro

( Eurozone). Pembelian aset ini dilakukan sejak Maret 2015

sampai dengan September 2016. Kebijakan QE tersebut

merupakan kelanjutan kebijakan pelonggaran sejak tahun

2008 sampai akhir tahun 2014 yang bersifat lebih pasif. 1

Dari sisi kebijakan moneter konvensional, ECB tetap menahan suku bunga acuannya pada level yang sangat

rendah yakni di level 0,05%. Selain itu, ECB juga melakukan

2007 II III IV 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

pemotongan suku bunga fasilitas deposit (deposit facility) sebesar 10 bps menjadi -0,3% pada Desember 2015.

Kebijakan negative interest rate ini ditujukan untuk

mendorong pertumbuhan kredit perbankan di kawasan Eropa. Hal ini ditempuh mengingat bahwa pertumbuhan kredit, sebagai sumber pembiayaan utama dari aktivitas

Sumber: Bloomberg, diolah

sasaran suku bunga pasar menuju sasaran yang ditetapkan. ekonomi Eropa, masih cukup rendah. Dalam hal ini, The Fed menggunakan instrumen berupa suku bunga atas banks reserve dan transaksi reverse

Dengan perkembangan inflasi yang masih jauh dibawah repo dalam skala yang besar. Ketiga, melakukan strategi

targetnya, ECB diperkirakan akan melakukan kebijakan komunikasi yang efektif untuk memberikan forward

tambahan. ECB diperkirakan akan meningkatkan intensitas guidance. Forward guidance tersebut berfungsi untuk

penggunaan kebijakan moneter nonkonvesional. Kebijakan memberikan gambaran mengenai arah kebijakan moneter

yang ditempuh antara lain berupa pelaksanaan QE tanpa kepada pelaku pasar. Melalui strategi kebijakan tersebut,

batas waktu (open ended) maupun penambahan jumlah The Fed memberikan indikasi akan mempertahankan

pembelian surat berharga. Di sisi lain, opsi penurunan suku suku bunga rendah hampir sepanjang tahun 2015. Sinyal

bunga lanjutan diperkirakan relatif sulit dilakukan karena kenaikan suku bunga menjadi jelas dalam pernyataan

dikhawatirkan memberikan efek negatif pada perbankan. FOMC bulan pada Oktober dan baru dilakukan pada akhir tahun 2015.

Sementara itu, respons kebijakan di Jepang juga ditempuh untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengatasi

Kenaikan Fed Fund Rate (FFR) ke level 0.25% sampai ancaman deflasi. Bauran kebijakan di Jepang bertumpu dengan 0.5% pada FOMC bulan Desember 2015 tidak

pada kombinasi antara kebijakan moneter dan kebijakan dipandang sebagai langkah pengetatan moneter. The

fiskal. Di sisi kebijakan moneter, BoJ tetap menerapkan Fed menyatakan bahwa stance kebijakan bank sentral

kebijakan moneter yang akomodatif. Selama tahun 2015, tetap akomodatif. Kenaikan suku bunga dilakukan dalam

BoJ menahan suku bunga acuannya tetap pada level yang kerangka normalisasi kebijakan moneter untuk tetap

sangat rendah, yakni 0,1%. Selain itu, BoJ juga melanjutkan menjaga stabilitas harga. The Fed meyakini bahwa

program QE dengan melakukan pembelian aset sebesar 80 perbaikan pada pasar tenaga kerja akan menyebabkan

triliun yen per tahun. Di sisi kebijakan fiskal, Pemerintah laju inflasi mengarah ke level 2% dalam jangka menengah.

Jepang mengalokasikan tambahan stimulus fiskal sebesar Terkait arah kebijakan suku bunga kedepan, The Fed

3,5 triliun yen dan memberikan insentif penurunan mengisyaratkan bahwa laju kenaikan suku bunga akan

pajak bagi perusahaan yang menaikkan gaji karyawan terjadi secara gradual. Strategi tersebut ditempuh

pada Februari 2015. Pada April 2015, otoritas fiskal juga untuk menjaga momentum perbaikan ekonomi dan

menunda rencana penerapan kenaikan pajak penjualan mengantisipasi risiko dari melambatnya ekonomi global.

tahap II dari 8% menjadi 10% pada Oktober 2015 menjadi Oktober 2017.

Di kawasan Eropa, kebijakan ditempuh untuk merespons ancaman deflasi dan lambannya pertumbuhan ekonomi Eropa. Oleh karena itu, ECB pada Januari 2015 memutuskan untuk melakukan kebijakan QE yang lebih agresif melalui Expanded Asset Purchase Programme

1 LTRO ( Long-Term Refinancing Operation), CBPP (Covered Bond

(AEPP). Kebijakan ini bertujuan untuk mendukung

Purchase Programme), dan ABSPP (Asset-Backed Securities Purchase Programme).

LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2015 Bab 2

Namun demikian, bauran kebijakan moneter dan fiskal Salah satu permasalahan struktural utama yang dihadapi Jepang yang ditempuh belum berdampak signifikan

oleh Jepang, dan negara maju lainnya, adalah penuaan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi.

populasi ( ageing population). Dengan struktur penduduk Pertumbuhan ekonomi Jepang masih tetap rendah.

yang semakin menua, tingkat saving akan cenderung Peningkatan konsumsi tidak terjadi secara signifikan

tinggi sehingga konsumsi masyarakat sulit ditingkatkan. sebagaimana yang ditargetkan. Hal ini antara lain

Tingginya dependency ratio juga berdampak pada disebabkan oleh terhambatnya pemberian insentif pajak,

menurunnya tingkat produktivitas akibat semakin besarnya yang ditujukan untuk meningkatkan gaji karyawan, karena

jumlah penduduk yang tidak bekerja. Selain itu komposisi rigiditas UU Tenaga Kerja. Sementara itu, penundaan

penduduk yang semakin menua juga menimbulkan kenaikan pajak penjualan juga tidak dapat mengangkat

hambatan fiskal (fiscal drag) yakni menurunkan tingkat konsumsi. Penerapan kebijakan fiskal tersebut

pendapatan dari pajak dan semakin meningkatkan justru memicu lembaga pemeringkat Fitch dan Moody’s

pengeluaran untuk biaya kesehatan dan pensiun. Median untuk menurunkan credit rating Jepang sebesar 1 notch

usia penduduk Jepang pada tahun 2014 tercatat 46 tahun menjadi A. Lembaga pemeringkat tersebut menilai bahwa

dengan tingkat harapan hidup (life expectancy) mencapai kebijakan fiskal yang ditempuh Pemerintah Jepang justru

84 tahun, tertinggi di dunia. Berdasarkan komposisinya, akan menyebabkan peningkatan risiko dari sisi fiskal.

persentase jumlah penduduk usia muda (0-14), usia kerja (15-64), dan usia lanjut (>65) masing-masing tercatat

Terbatasnya dampak penerapan bauran kebijakan moneter sebesar 13%, 61%, dan 26%. Dengan struktur tersebut dan fiskal diperkirakan akan mendorong kebijakan stimulus

dependency ratio di Jepang mencapai 63% atau lebih tinggi tambahan. Penambahan kuantitas QE diperkirakan akan

dari rata-rata dunia maupun dibandingkan dengan negara ditempuh oleh otoritas moneter. Penerapan kebijakan

maju lainnya (Grafik 2.3).

suku bunga negatif juga merupakan opsi kebijakan yang mungkin ditempuh oleh BoJ. Di sisi fiskal, tidak terdapat

Kondisi demografi Jepang tersebut merupakan faktor banyak pilihan selain melanjutkan kebijakan sebelumnya.

utama yang menghambat pencapaian program reformasi Terbatasnya opsi kebijakan fiskal disebabkan oleh

Jepang dalam upaya meningkatkan konsumsi masyarakat. terbatasnya ruang fiskal yang dimiliki pemerintah.

Pemerintah Jepang sejak tahun 1985 telah melakukan

Grafik 2.3. Grafik 6.5. Pertumbuhan Penjualan Riil Dependency Ratio Negara Maju

0 20 40 60 80 100 Rasio Ketergantungan (per 100)

Rasio Ketergantungan (per 100)

Rasio Ketergantungan (per 100)

0 20 40 60 80 100 Rasio Ketergantungan (per 100)

Rasio Ketergantungan (per 100)

Rasio Ketergantungan (per 100)

0 20 40 60 80 100 Rasio Ketergantungan (per 100)

Rasio Ketergantungan (per 100)

Rasio Ketergantungan (per 100)

Sumber: BBC Capital, UN World Population Projection

24 Bab 2

LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2015 LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2015

Grafik 6.5. Pertumbuhan Penjualan Riil Grafik 2.4. Fiscal Space Negara-Negara Maju

dengan menghimbau penduduk yang mendekati usia dan telah pensiun untuk tetap bekerja dan menaikkan batas

usia pensiun dari 55 tahun menjadi 60 tahun. Namun

demikian, dengan tingkat kesuburan (fertility rate) yang 167,9

termasuk terendah di dunia (hanya 1,4 anak per penduduk 158,1

perempuan) dan pelayanan kesehatan yang baik, ke depan 151,1

struktur demografi di Jepang diperkirakan akan semakin 145,3

Solusi kebijakan untuk mengatasi masalah 124,3

Belgia

struktural yang bersumber dari kondisi demografis tidak 115,2

dapat diselesaikan dengan mudah dan dalam waktu yang

Portugal

singkat. Pengalaman sejumlah negara maju yang mencoba Italia 0

Jepang

memacu tingkat fertilitas untuk memperbaiki struktur 0

Yunani

Ciprus

demografi sulit untuk diterapkan. Hal ini terjadi mengingat 300

perbedaan gaya hidup dan preferensi individu di masing- Significant Risk (41-69)

Grave Risk (0-40)

masing negara. Di sisi lain, penerapan solusi jangka pendek Safe (>124)

Caution Risk (70-124)

Sumber: Moody’s Analytics, 2015

dengan mendatangkan imigran juga sulit dilaksanakan karena hambatan politis dan potensi gejolak sosial.

Disamping kebijakan moneter yang akomodatif, negara- Negara-negara maju khususnya di kawasan Eropa dan

negara EM juga menerapkan kebijakan reformasi Jepang juga memiliki hambatan struktural lainnya

struktural. Kebijakan tersebut antara lain berupa reformasi

pasar keuangan, peningkatan kapasitas ekonomi, disebabkan oleh tingkat utang publik yang telah tinggi.

berupa terbatasnya ruang fiskal (fiscal space). 3 Kondisi ini

dan pembangunan infrastruktur. Kebijakan lain yang Studi yang dilakukan oleh Moody’s menunjukkan bahwa

ditempuh berupa deregulasi ketentuan untuk mendorong Amerika Serikat dan sebagian kecil negara di Eropa

investasi dan kemudahan kegiatan usaha. Selain itu, masih memiliki ruang fiskal. Namun di sisi lain, sebagian

kebijakan struktural juga dilakukan untuk mengurangi besar negara di Eropa seperti Portugal, Irlandia, Spanyol,

ketergantungan terhadap sektor eksternal dan mendorong Perancis, dan Belgia memiliki keterbatasan ruang fiskal.

peningkatan konsumsi domestik.

Sementara itu, Jepang, Italia, Yunani, dan Siprus memiliki ruang fiskal yang sangat terbatas sehingga penambahan

Tiongkok merupakan negara EM yang sangat produktif utang publik sangat berisiko terhadap stabilitas

dalam meluncurkan berbagai kebijakan dengan makroekonomi (Grafik 2.4).

spektrum yang luas. Kebijakan yang dilakukan meliputi bauran kebijakan moneter dan makroprudensial serta

kebijakan struktural di bidang keuangan, fiskal, industri,

2.2. KEBIJAKAN NEGARA

perdagangan, serta kependudukan. Di sisi jangka waktu,

EMERGING MARKETS

Pada tahun 2015, kebijakan moneter di negara EM

Grafik 6.5. Pertumbuhan Penjualan Riil Grafik 2.5. Suku Bunga Kebijakan EM

secara umum bersifat akomodatif sebagai respons atas pelemahan perekonomian domestik. Namun demikian,

tidak seluruh negara EM melakukan kebijakan moneter Persen yang akomodatif. Beberapa negara EM di kawasan Amerika 16

Latin seperti Brazil, Meksiko, dan Chili justru menerapkan 14 kebijakan moneter yang lebih ketat. Kebijakan ini dilakukan 12 dalam rangka mengelola tekanan inflasi akibat depresiasi 10 nilai tukar (Grafik 2.5). 8

2 Data kependudukan Jepang berdasarkan data WorldBank, 2015. I II III IV

3 IMF mendefinisikan fiscal space sebagai ruang dalam anggaran

belanja dan pendapatan pemerintah yang masih dapat dimanfaatkan Brazil

India

Malaysia

tanpa melampaui batasan jumlah utang yang ditetapkan dan atau Chili dapat membahayakan stabilitas makroekonomi negara tersebut. Sumber: Bloomberg

LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2015 Bab 2 LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2015 Bab 2

per kapita 2 kali lipat sebelum tahun 2020, Pemerintah maupun panjang. Akan tetapi, beragamnya target yang

Tiongkok melakukan kebijakan reformasi struktural. hendak dicapai secara bersamaan pada praktiknya juga

Kebijakan ini bertujuan untuk mendorong peningkatan menimbulkan kompleksitas permasalahan implementasi.

konsumsi domestik, stabilisasi investasi dan ekspor. Untuk itu, Tiongkok mencanangkan sejumlah strategi

Melambatnya ekonomi Tiongkok mendorong otoritas jangka panjang seperti “Made in China 2025” dan “One Tiongkok melakukan kebijakan pelonggaran baik melalui

Belt One Road”. “Made in China 2025” merupakan kebijakan moneter maupun makroprudensial. Selama tahun

program peningkatan kualitas ( upgrading) produk 2015, People Bank of China (PBoC) melakukan pemotongan

industri manufaktur. Sementara itu, “One Belt One Road” tingkat suku bunga sebanyak 5 kali, dengan total sebesar

merupakan inisiatif untuk mendorong investasi di luar sebanyak 125 bps hingga mencapai level 4,35%. Selain

negeri dan perluasan pasar ekspor. Kebijakan struktural lain itu, PBoC juga mengeluarkan kebijakan makroprudensial

yang memiliki dimensi jangka panjang adalah menghapus berupa penurunan GWM, baik yang bersifat targeted

1-child policy, yang telah diterapkan sejak tahun 1978, dan maupun menyeluruh, dan pelonggaran Loan to Value (LTV).

menggantinya dengan 2-child policy pada Oktober 2015. PBoC juga melakukan injeksi likuiditas pada beberapa

Kebijakan ini dilakukan untuk mengantisipasi potensi ageing bank tertentu untuk meningkatkan penyaluran kredit.

population yang diperkirakan mengancam Tiongkok mulai Otoritas juga menerapkan kebijakan makroprudensial

pertengahan abad ke 21. Selain itu, kebijakan tersebut juga untuk memitigasi risiko dari kegiatan shadow banking.

bertujuan menjaga agar dependency ratio Tiongkok sejalan Kebijakan ini mengatur konversi utang lembaga pembiayaan

dengan tujuan rebalancing perekonomian. pemerintah daerah ( local government financing vehicles) kepada bank menjadi surat utang pemerintah daerah

Upaya Pemerintah Tiongkok untuk mencapai seluruh (municipal bond) . Municipal bond tersebut dapat digunakan

tujuan kebijakan secara simultan menimbulkan komplikasi sebagai kolateral dalam kegiatan operasi moneter.

permasalahan. Kebijakan rebalancing perekonomian domestik di tengah melambatnya ekonomi global

Di pasar keuangan, Tiongkok mengubah kebijakan nilai menurunkan pertumbuhan ekonomi dibawah perkiraan. tukar dan meliberalisasi pasar keuangannya. Perubahan

Hal tersebut kemudian memicu terjadinya proses kebijakan nilai tukar dilakukan dengan memperlebar band

deleveraging yang cepat sehingga menimbulkan gejolak pergerakan nilai tukar harian dari 1% menjadi 2% pada

di pasar keuangan, khususnya di pasar saham. Gejolak di bulan Maret 2015. Otoritas juga berusaha mengubah rezim

pasar keuangan menyebabkan terjadinya capital outflows, nilai tukar dari fixed exchange rate menjadi lebih fleksibel

pelemahan nilai tukar, dan penurunan cadangan devisa

yang tajam. Di samping itu, inklusi RMB dalam SDR IMF, liberalisasi pasar keuangan di pasar keuangan dilakukan

dan market driven sejak Agustus 2015. 4 Sementara itu,

yang menuntut komitmen Tiongkok melakukan liberalisasi dengan membuka akses yang lebih luas pada investor asing

pasar keuangannya, justru membebani upaya stabilisasi di pasar onshore di Tiongkok. Internasionalisasi mata uang

pasar keuangan.

juga dilakukan dengan mengembangkan transaksi renmimbi (RMB) secara offshore di pusat-pusat pasar keuangan

Gejolak di pasar keuangan menimbulkan potensi yang dunia, seperti Singapura dan London, selain di Hong Kong.

mengancam pencapaian tujuan jangka panjang Tiongkok. Liberalisasi di pasar keuangan dan internasionalisasi

Pemerintah Tiongkok merespons gejolak di pasar keuangan tersebut juga merupakan bagian dari komitmen Tiongkok

dengan menempuh kebijakan stabilisasi yang lebih ketat. terkait inklusi RMB dalam keranjang (basket) Special

Otoritas memperkuat kontrol atas penetapan currency Drawing Rights (SDR) yang disetujui IMF pada November

fixing dan melakukan intervensi secara konsisten, baik di 2015. 5 Selain memiliki tujuan ekonomi, inklusi RMB dalam

pasar valas onshore dan offshore. Pada September 2015, SDR juga merupakan langkah stategis untuk menguatkan

otoritas mengenakan tambahan giro wajib minimum peran Tiongkok dalam percaturan geopolitik.

(GWM) tanpa remunerasi sebesar 20% dari outstanding transaksi forward . Selain itu, Otoritas pada Desember 2015 mempublikasikan Trade Weighted Index (TWI) RMB untuk memberikan guidance agar pasar tidak hanya tertuju pada

pergerakan nilai tukar terhadap dolar AS.

Fixing mengacu atas nilai tukar terhadap dolar AS hari sebelumnya, kondisi demand dan supply valuta asing dan pergerakan pasar dari

mata uang lain.

Kebijakan stabilisasi juga dilakukan untuk menahan

5 RMB mulai efektif menjadi mata uang dalam basket SDR IMF pada 1

pelemahan di pasar saham. Mulai bulan Juli 2015, otoritas

Oktober 2016.

menerapkan larangan penjualan oleh shareholder yang

26 Bab 2

LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2015

LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2015 27 Bab 2

Grafik 6.5. Pertumbuhan Penjualan Riil

I II III IV 2013

I II III IV 2015

I II III IV

Sumber: Bloomberg, diolah

kepemilikannya diatas 5% selama 6 bulan sejak pembelian. Otoritas juga mendorong BUMN dan perusahan publik untuk melakukan pembelian saham dan melarang kegiatan short selling di pasar saham. Selain itu, otoritas juga memperbolehkan penggunaan saham sebagai kolateral pinjaman dari bank.

India merupakan salah contoh negara yang menerapkan respons bauran kebijakan yang konsisten dan terfokus. Dalam beberapa waktu terakhir, India telah secara

konsisten menerapkan kebijakan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan mendorong pertumbuhan. Dalam konteks ini, otoritas moneter menerapkan bauran

kebijakan moneter dan makroprudensial yang longgar tanpa menimbulkan tekanan inflasi yang signifikan. Di sisi Pemerintah, kebijakan difokuskan pada upaya peningkatan

kapasitas perekonomian melalui pembangunan infrastruktur dan perbaikan iklim usaha. Selain itu, Pemerintah juga secara bertahap menghapus kebijakan subsidi bahan bakar untuk membuka fiscal space yang lebih luas.

Reserve Bank of India (RBI) menempuh kebijakan moneter yang longgar. Otoritas moneter menurunkan suku bunga acuan sebanyak 4 kali selama tahun 2015, dengan total sebesar 125 bps menjadi 6,75%. Berkurangnya tekanan inflasi, sejalan dengan turunnya harga komoditas global, telah membuka ruang bagi RBI untuk menurunkan suku bunga secara cukup agresif. Sementara itu, untuk mendorong pembiayaan sektor sektor prioritas di daerah, RBI menerapkan kebijakan makroprudensial yang akomodatif untuk mendorong pertumbuhan kredit. Dalam hal ini, otoritas menaikkan batas minimum penyaluran kredit oleh rural regional banks ke sektor-sektor prioritas (pertanian, usaha mikro kecil dan menengah, pendidikan, infrastruktur, dan energi terbarukan) dari 60% menjadi 75% pada Desember 2015.

Pemerintah India melakukan deregulasi di bidang investasi dan mempercepat pembangunan infrastruktur. Kebijakan tersebut antara lain berupa pengapusan larangan bagi FDI dalam proyek konstruksi infrastruktur. Batas kepemilikan investor asing atas perusahaan asuransi dan industri pertahanan dinaikkan hingga mencapai 50%, sementara pada usaha pertambangan batubara dinaikkan hingga mencapai 100%. Pemerintah India juga menginisiasi reformasi UU Agraria guna mempermudah akuisisi lahan untuk pembangunan proyek industri dan infrastruktur. Selain itu, Pemerintah India juga membuka layanan satu atap dalam perijinan, dengan target pengurusan maksimum

10 hari. Selanjutnya, Pemerintah juga menghapus penetapan harga minimum produk pertanian guna

mendorong investasi di sektor pertanian dan perkebunan.

Untuk menyediakan ruang fiskal yang lebih luas, Pemerintah India melakukan reformasi perpajakan dan subsidi. Pemerintah telah memulai revisi atas UU Pajak dalam rangka merampingkan struktur pajak pusat dan daerah untuk meningkatkan kepatuhan pajak. Kemudahan dalam perpajakan juga diberikan dengan mengurangi pengenaan pajak berganda. Di samping itu, Pemerintah juga menginisiasi pengurangan subsidi harga minyak tanah serta melanjutkan penurunan subsidi bahan bakar jenis solar.

Bauran kebijakan yang konsiten dan terfokus mampu mendorong perkembangan ekonomi di India selama tahun

2015. Ekonomi tumbuh cepat dengan laju inflasi yang tetap terjaga. Hal ini tidak terlepas dari konsistensi Pemerintah dan berbagai otoritas di India dalam menempuh reformasi struktural. Kondisi tersebut mendorong peningkatan tingkat keyakinan usaha di India (Grafik 2.6). Perbaikan sentimen yang terjadi turut menopang perekonomian India sehingga tetap resilien di tengah meningkatnya tekanan dari sektor eksternal.