perundang-undangan telah merupakan tin-dak pidana tersendiri Pasal 17 ayat 3.
Pengulangan recidive juga diatur secara umum dalam Buku I sebagai alasan pemberatan pidana yang umum. Jadi
berbeda dengan KUHP saat ini, yang mengaturnya sebagai alasan pemberatan pidana yang khusus untuk delik-delik
tertentu diatur dalam Buku II dan III. Dikatakan ada “pengulangan” menurut Konsep Psl. 24, apabila orang
melakukan pengulangan tindak pidana dalam waktu 5 lima tahun sejak :
165
a. menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang
dijatuhkan; b.
pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau c.
kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan belum kedaluwarsa.
Pemberatan pidananya diatur dalam Pasal 135, yaitu maksimumnya diperberat sepertiga. Namun ketentuan Pasal
135 ini tidak berlaku untuk anak Pasal 113 Konsep.
166
2.2. Pertanggungjawaban Pidana Kesalahan
Dalam Bab PJP Kesalahan, Konsep menegaskan secara eksplisit dalam Pasal 37 1 “asas tiada pidana tanpa
kesalahan” “Geen straf zonder schuld”; “Keine Strafe ohne
165
ibid
166
ibid, hlm. 13.
Schuld”; “No punishment without Guilt”; asas “Mens rea” atau
“asas Culpabilitas” yang di dalam KUHP tidak ada. Asas
culpabilitas ini merupakan salah satu asas fundamental, yang oleh karenanya perlu ditegaskan secara eksplisit di dalam
Konsep sebagai pasangan dari asas legalitas. Penegasan yang demikian merupakan perwujudan pula dari ide keseimbangan
monodualistik. Konsep tidak memandang kedua asassyarat itu sebagai
syarat yang kaku dan bersifat absolut. Oleh karena itu, Konsep juga memberi kemungkinan dalam hal-hal tertentu untuk
menerapkan asas “strict liability”, asas “vicarious liability”, dan asas “pemberian maafpengampunan oleh hakim” “rechterlijk
pardon” atau “judicial pardon”. Patut dicatat, bahwa ketentuan mengenai “rechterlijk
pardon” tidak ditempatkan dalam Bab PJP, tetapi di dalam Bab Pemidanaan. Di dalam asas “judicial pardon” terkandung
idepokok pemikiran :
167
1. menghindari kekakuanabsolutisme
pemidanaan; 2.
menyediakan “klepkatup pengaman” “veiligheidsklep”;
3. bentuk koreksi judisial terhadap asas legalitas
“judicial corrective to the legality principle”; 4.
pengimplementasianpengintegrasian nilai atau paradigma “hikmah kebijaksanaan” dalam
Pancasila;
167
ibid, hlm. 12.
5. pengimplementasianpengintegrasian “tujuan
pemidanaan” ke dalam syarat pemidanaan karena dalam memberikan permaafan
pengampunan, hakim harus mempertimbangkan tujuan pemidanaan; jadi
syarat atau justifikasi pemidanaan tidak hanya dida-sarkan pada adanya “tindak pidana” asas
legalitas dan “kesalahan” asas culpabilitas, tetapi juga pada “tujuan pemidanaan”.
Di samping itu, di dalam Bab PJP ini Konsep juga mengatur tentang masalah “Kekurangmampuan Bertanggung
Jawab” “verminderde toerekeningsvatbaarheid”; Diminished Mental Capacity; Diminished Responsibility, masalah
“pertanggungjawaban terhadap akibat yang tidak ditujutidak dikehendakitidak disengaja” Erfolgshaftung, dan masalah
“kesesatan” ErrorDwalingMistake, yang semuanya itu juga tidak diatur di dalam KUHP saat ini.
Karena masalah PJP berhubungan juga dengan masalah “subjek tindak pidana”, maka di dalam Bab PJP ini ada pula
ketentuan tentang subjek berupa “korporasi”, yang selama ini juga belum diatur dalam KUHP WvS.
168
Sementara itu
menurut Muladi, dalam hukum pidana nasional berbagai
negara, berbagai konferensi internasional pertanggungjawaban
168
ibid, hlm. 15. Pertanggungjawaban korporasi yang tidak dikenal dalam KUHP disebabkan adanya perkembangan dalam ilmu hukum pidana.
Konsep dahulu berasumsi bahwa hanya manusia alamiah naturlijkpersoon yang mungkin dapat dikenai pemidanaan. Namun dalam perkembangannya,
badan hukum rechtpersoon pun dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Istilah “korporasi” dipilih karena korporasi memiliki makna yang
lebih luas daripada badan hukum rechtpersoon. Korporasi meliputi juga perkumpulan yang belum berbadan hukum.
korporasi corporate criminal responsibility baik secara teoritik maupun praktek sudah dapat diadopsi dengan baik dengan
berbagai variasinya. Sebagai contoh adalah “Coucil of Europe Criminal Law Convention on Coruption” 1999 dan “EU
Convention on Cyber Crimes” 2001 yang banyak dijadikan acuan, hal tersebut dirumuskan sebagai berikut :
169
“Legal persons can be held liable for the criminal offence – committed for their benefit by any natural persons, acting
either individually or as part of an organ of the legal persons, who has a leading positions within the legal
persons, based on :
• a power of representation of the legal person; or • an authority to take decisions on behalf of the legal
persons; or • an authority to exercise control within the legal
person as well as for the involvement of such a natural persons as accesory or instigator in the
abvove-mentioned offences”
2.3. Pidana dan Pemidanaan 2.3.1. Tujuan, Pedoman dan Syarat Pemidanaan