Pertanggungjawaban Pidana Kesalahan Sistem Aturan Umum Pemidanaan Dalam Konsep 2008

perundang-undangan telah merupakan tin-dak pidana tersendiri Pasal 17 ayat 3. Pengulangan recidive juga diatur secara umum dalam Buku I sebagai alasan pemberatan pidana yang umum. Jadi berbeda dengan KUHP saat ini, yang mengaturnya sebagai alasan pemberatan pidana yang khusus untuk delik-delik tertentu diatur dalam Buku II dan III. Dikatakan ada “pengulangan” menurut Konsep Psl. 24, apabila orang melakukan pengulangan tindak pidana dalam waktu 5 lima tahun sejak : 165 a. menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan; b. pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau c. kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan belum kedaluwarsa. Pemberatan pidananya diatur dalam Pasal 135, yaitu maksimumnya diperberat sepertiga. Namun ketentuan Pasal 135 ini tidak berlaku untuk anak Pasal 113 Konsep. 166

2.2. Pertanggungjawaban Pidana Kesalahan

Dalam Bab PJP Kesalahan, Konsep menegaskan secara eksplisit dalam Pasal 37 1 “asas tiada pidana tanpa kesalahan” “Geen straf zonder schuld”; “Keine Strafe ohne 165 ibid 166 ibid, hlm. 13. Schuld”; “No punishment without Guilt”; asas “Mens rea” atau “asas Culpabilitas” yang di dalam KUHP tidak ada. Asas culpabilitas ini merupakan salah satu asas fundamental, yang oleh karenanya perlu ditegaskan secara eksplisit di dalam Konsep sebagai pasangan dari asas legalitas. Penegasan yang demikian merupakan perwujudan pula dari ide keseimbangan monodualistik. Konsep tidak memandang kedua asassyarat itu sebagai syarat yang kaku dan bersifat absolut. Oleh karena itu, Konsep juga memberi kemungkinan dalam hal-hal tertentu untuk menerapkan asas “strict liability”, asas “vicarious liability”, dan asas “pemberian maafpengampunan oleh hakim” “rechterlijk pardon” atau “judicial pardon”. Patut dicatat, bahwa ketentuan mengenai “rechterlijk pardon” tidak ditempatkan dalam Bab PJP, tetapi di dalam Bab Pemidanaan. Di dalam asas “judicial pardon” terkandung idepokok pemikiran : 167 1. menghindari kekakuanabsolutisme pemidanaan; 2. menyediakan “klepkatup pengaman” “veiligheidsklep”; 3. bentuk koreksi judisial terhadap asas legalitas “judicial corrective to the legality principle”; 4. pengimplementasianpengintegrasian nilai atau paradigma “hikmah kebijaksanaan” dalam Pancasila; 167 ibid, hlm. 12. 5. pengimplementasianpengintegrasian “tujuan pemidanaan” ke dalam syarat pemidanaan karena dalam memberikan permaafan pengampunan, hakim harus mempertimbangkan tujuan pemidanaan; jadi syarat atau justifikasi pemidanaan tidak hanya dida-sarkan pada adanya “tindak pidana” asas legalitas dan “kesalahan” asas culpabilitas, tetapi juga pada “tujuan pemidanaan”. Di samping itu, di dalam Bab PJP ini Konsep juga mengatur tentang masalah “Kekurangmampuan Bertanggung Jawab” “verminderde toerekeningsvatbaarheid”; Diminished Mental Capacity; Diminished Responsibility, masalah “pertanggungjawaban terhadap akibat yang tidak ditujutidak dikehendakitidak disengaja” Erfolgshaftung, dan masalah “kesesatan” ErrorDwalingMistake, yang semuanya itu juga tidak diatur di dalam KUHP saat ini. Karena masalah PJP berhubungan juga dengan masalah “subjek tindak pidana”, maka di dalam Bab PJP ini ada pula ketentuan tentang subjek berupa “korporasi”, yang selama ini juga belum diatur dalam KUHP WvS. 168 Sementara itu menurut Muladi, dalam hukum pidana nasional berbagai negara, berbagai konferensi internasional pertanggungjawaban 168 ibid, hlm. 15. Pertanggungjawaban korporasi yang tidak dikenal dalam KUHP disebabkan adanya perkembangan dalam ilmu hukum pidana. Konsep dahulu berasumsi bahwa hanya manusia alamiah naturlijkpersoon yang mungkin dapat dikenai pemidanaan. Namun dalam perkembangannya, badan hukum rechtpersoon pun dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Istilah “korporasi” dipilih karena korporasi memiliki makna yang lebih luas daripada badan hukum rechtpersoon. Korporasi meliputi juga perkumpulan yang belum berbadan hukum. korporasi corporate criminal responsibility baik secara teoritik maupun praktek sudah dapat diadopsi dengan baik dengan berbagai variasinya. Sebagai contoh adalah “Coucil of Europe Criminal Law Convention on Coruption” 1999 dan “EU Convention on Cyber Crimes” 2001 yang banyak dijadikan acuan, hal tersebut dirumuskan sebagai berikut : 169 “Legal persons can be held liable for the criminal offence – committed for their benefit by any natural persons, acting either individually or as part of an organ of the legal persons, who has a leading positions within the legal persons, based on : • a power of representation of the legal person; or • an authority to take decisions on behalf of the legal persons; or • an authority to exercise control within the legal person as well as for the involvement of such a natural persons as accesory or instigator in the abvove-mentioned offences” 2.3. Pidana dan Pemidanaan 2.3.1. Tujuan, Pedoman dan Syarat Pemidanaan