Kesalahan Notaris Bank Dalam Membuat Grosse Akta

yang pada pokoknya menolak kasasi PT Bank Kesawan dan menyatakan menurut hukum grosse akta adalah tidak sah dan memerintahkan Wakil Juru Sita PN Medan untuk mencabut, mengangkat kembali sita eksekusi atas tanah pelawan. Alasan MA adalah proses peralihan hak yang dijadikan anggunan antara Pelawan dan nasabah debitur cacat hukum.

e. Kesalahan Notaris Bank Dalam Membuat Grosse Akta

Kekeliruan bank tidak terlepas dari kesalahan notaris yang diper caya oleh bank untuk membuat dokumen-dokumen tersebut. Kesalahan ini disebabkan perbedaan penafsiran mengenai grosse akta. Dalam Pasal 224 HIR hanya dikenal dua bentuk grosse akta yaitu grosse akta pengakuan utang dan grosse akta hipotik yang masing-masing berdiri sendiri dan mempunyai spesifikasi yang berbeda. MA hanya membolehkan kalangan perbankan memilih salah satu dari grosse akta tersebut. Apabila nasabah debitur telah diikat dengan grosse akta pengakuan utang maka nasabah debitur tidak boleh diikat lagi dengan bentuk perjanjian hipotik. Disamping kesalahan mencampuradukkan dua bentuk grosse akta menjadi satu, kalangan perbankan dan notaris sering juga melakukan kesalahan dalam pembuatan akta pengakuan utang. Akta pengakuan utang yang dibuat oleh perbankan dan notaris kadang-kadang bukan berisi pernyataan sepihak dari nasabah debitur, tetapi merupakan perikatan antara bank dan nasabah debitur yang masing-masing mengikatkan diri dalam akta pengakuan utang. Dalam perkara PT Waringin Metal Printing Santosa melawan Nichimen Co. Ltd. Takegawa Co, MA menolak permohonan eksekusi grosse akta pengakuan utang dengan pertimbangan isi akta pengakuan utang tersebut disertai dengan perjanjian pinjam uang sejamlah 1.952.614,47. Pada hakekatnya surat pengakuan utang hanya dapat memuat suatu pengakuan utang dengan kewajiban untuk membayar utang tersebut, yang mempunyai akibat bagi pihak yang berutang tidak lagi mempunyai hak untuk membela diri. Dalam perkara PT Bank Pasifik Cabang Medan, MA dalam putusan No. 2414 K.Pdt1987 tanggal 12 Februari 1990 berpendapat bahwa grosse akta berisikan pengakuan utang dengan pemberian jamian, dimana diperjanjikan pula mengenai barang-barang yang akan dijaminkan dan syarat-syarat mengenai jaminan tersebut. Dengan demikian grosse akta semacam itu bukanlah merupakan grosse akta yang dapat dieksekusi sesuai Pasal 224 HIR. Dalam perkara antara Bank of America Jakarta mewalan Trisnawati Sudarto, MA mengabulkan bantahan Trisnawati dengan pertimbangan antara lain Akta Pernyataan yang dibuat tanggal 15 Januari 1984 hanyalah merupakan akta di bawah tangan yang tidak berkepala “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karena itu eksekusi yang diajukan oleh BOA adalah tidak ada dasar hukummya, bahwa Akta Notaris No. 147 yang berisi loan agreement dan Akta Noratis No. 148 yang berisi acknowledgement of indebtedness and security agreement adalah bukan grosse akta. Dalam pembuatan akta pengakuan utang sering juga ditemui jumlah utang nasabah debitur belum dapat dipastikan jumlahnya. MA berpendapat akta pengakuan utang seperti ini tidak dapat dieksekusi. Nasabah debitur yang tidak bersedia menandatangani Surat Pernyataan Bersama juga dapat ditafsirkan bahwa secara hukum belum terdapat jumlah utang yang pasti. Satu hal yang merupakan kesalahan adalah adanya anggapan bahwa grosse akta perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sama dengan grosse akta pengakuan utang. Dengan bekal pemahaman ini. Kalangan notaris dan perbankan menganggap dengan dicantumkannya kata- kata “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” pada grosse akta perjanjian kredit, maka grosse akta tersebut telah mempunyai kekuatan eksekutorial. MA tidak mengakui grosse akta perjanjian kreidt sebagai grosse akta pengakuan utang. Hal ini dapat dilihat dalam Keputusan MA No. 1520.KPdt.1984 yang melibatkan PT Pan Indonesian Bank melawan PT Ripe Indonesia. Mahkamah Agung dalam perkara No.1851 KPdt1996 tanggal 23 Pebruari 1998 menyatakan bahwa BPD Sumatera Utara telah lalai menerapkan prinsip kehati-hatian yang mengharuskan manajemen meneliti status tanah agunan. Pihak Penggugat adalah usteri tergugat yang tidak turut menandatangani akta pengikatan agunan tersebut. Pembebanan tanah harta bersama tersebut harus dinyatakan tidak berkekuatan hukum dengan dasar pertimbangan adil dan patut. Dalam perkara ini Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara mengajukan permohonan eksekusi karena telah adanya penjaminan utang yang dibuat dalam grosse akta. Pengajuan eksekusi ini ternyata menimbulkan akibat hukum lain, dalam hal ini Penggugat merasa dirugikan dengan permohonan eksekusi tersebut. Penggugat merasa dirugikan karena objek yang dimohonkan eksekusi adalah harta bersama. Harta bersama dapat dikategorikan sebagai hak milik bersama. Dikatakan hak milik bersama karena terdapat beberapa orang pemilik atas suatu benda yang sama. Selain KUHPerdata, UU Perkawinan mengenal adanya harta milik bersama yang disebut sebagai harta bersama. Hak milik bersama ada dua macam yaitu hak milik bersama yang bebas dan hak milik yang terkait. Hak milik bersama yang bebas terjadi karena diperjanjikan antara beberapa pemilik bersama atas suatu benda. Hak milik bersama yang terkait terjadi karena ketentuan undang-undang dan sebagai akibat hubungan hukum yang sudah ada lebih dahulu. Misalnya pemilik bersama harta perkawinan akibat adanya perkawinan, pemilik bersama atas harta peninggalan akibat adanya pewarisan. Tiap pemilik harta bersama tidak dimungkinkan bebrbuat apa saja tanpa izin dari pemilik bersama lainnya.

B. Hasil Pembahasan