Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ”,
selanjutnya pada Pasal 2 ayat 1 dikatakan, “perkawinan adalah sah jika
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya ,” dan pada
Pasal 2 ayat 2 dikatakan bahwa “perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. ”
11
Al-Quran dan Hadits tidak mengatur secara rinci mengenai pencatatan perkawinan, namun dirasakan masyarakat akan pentingnya hal itu, sehingga diatur
melalui perundang-udangan.
12
Sebagai hasil ciptaan-Nya, hukum Islam itu senantiasa sesuai untuk segala waktu dan tempat. Ia akan selalu tetap memenuhi
rasa keadilan, bahkan sesuai dengan perasaan dan kesadaran hukum bagi umat Islam. Oleh kareena itu pembinaan hukum Islam di Indonesia perlu mengacu dan
disesuaikan dengan hukum Islam demi untuk memenuhi rasa kesadaran hukum bagi pendudukya yang mayoritas beragama Islam.
Berdasarkan ketentuan di atas dapat dikatakan bahwa pencatatan perkawinan bukanlah merupakan syarat untuk sahnya perkawinan, karena
perkawinan sudah dianggap sah apabila sudah dilakukan menurut agama dan kepercayaan itu. Mengenai sahnya suatu perkawinan lebih dipertegas dalam Pasal
4 Kompilasi Hukum Islam y ang mengatakan bahwa “perkawinan adalah sah
11
Undang-Undang no. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
12
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarrta: Sinar Grafika, 2007, h.26.
apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
”
13
Pencatatan perkawinan sebagaimana diuraikan di atas, bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur
melalui perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan.
14
Selanjutnya menurut Pasal 7 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam dikatakan “perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh
Pegawai Pencatat Nikah. ”
Dasar hukum bahwa pencatatan surat menjadi salah satu alat bukti yang menunjukkan keabsahan dalam pernikahan hal ini sebagaimana dalam Al-Quran
surat Al-Baqarah ayat 282.
ﷲ
13
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Idonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 2010, h.114.
14
Abdul Ghani Abdullah, Himpunan Perundang-Undangan Dan Peraturan Peradilan Agama, Jakarta: Gunung Jati, 2002, h. 107.
ﷲ
ﷲ
ﷲ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan apa yang akan ditulis itu, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya,
dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah keadaannya atau Dia
sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki
di antaramu. jika tak ada dua orang lelaki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan memberi keterangan apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang
itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat
kepada tidak menimbulkan keraguanmu. Tulislah muamalahmu itu, kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka
tidak ada dosa bagi kamu, jika kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit
menyulitkan. jika kamu lakukan yang demikian, Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah
mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
”
15
Tidak terikat dari hukum sunnah maupun wajib, yang jelas tujuan pokok penulisan itu adalah semata-mata untuk memelihara dan menjamin harta dan
untuk menghindari timbulnya hal-hal yang tidak diharapkan selain daripada itu,juga jangan sampai terjadi kekhilafan dan pengingkaran dari salah satu pihak.
15
Departemen Agama RI, Op.Cit., h.48
Oleh karena itu, manakala suatu surat telah dibuat, maka surat tersebut harus dijadikan sebagai bukti tentang telah terjadinya suatu perbuatan hukum , sebab
jika tidak demikian, perintah dan anjuran untuk membuat surat itu kurang ada kegunannya, bahkan boleh dikatakan tidak mempunyai manfaat dan arti sama
sekali.
16
Adanya peraturan yang mengharuskan agar suatu perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku kegunaannya adalah agar
sebuah lembaga perkawinan mempunyai tempat yang sangat penting dan strategis dalam masyarakat Islam, bisa dilindungi dari upaya-upaya negatif dari pihak yang
tidak bertanggung jawab. Misalnya, sebagai antisipasi dari pengingkaran akad nikah oleh seorang suami dikemudian hari, yang meskipun pada dasarnya dapat
dilindungi dengan adanya para saksi tetapi tentu akan lebih terlindungi dengan adanya pencatatan resmi di lembaga yang berwenang untuk itu. Namun apabila
suatu kehidupan suami istri berlangsung tanpa akta nikah karena adanya suatu sebab, Kompilasi Hukum Islam membuka kesempatan kepada mereka untuk
mengajukan permohonan itsbat nikah penetapan nikah kepada Pengadilan Agama sehingga akan mempunyai kekuatan hukum dalam perkawinannya.
17
Itsbat Nikah merupakan penetapan dari pernikahan yang dilakukan oleh sepasang suami isteri, yang telah menikah sesuai dengan hukum Islam dengan
16
Ali Yafie dkk, Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, Jakarta: Intermasa, 1993, h.102.
17
Satria Efendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2004, h.34.
memenuhi rukun dan syarat pernikahan, sehingga secara hukum positif pernikahan itu telah sah.
Permohonan itsbat nikah dapat dilakukan oleh kedua suami istri atau salah satu dari suami istri, anak, wali nikah dan pihak lain yang berkepentingan dengan
perkawinan tersebut kepada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah dalam wilayah hukum permohonan bertempat tinggal, dan permohonan itsbat nikah
harus dilengkapi dengan alasan-alasan dan kepentingan yang jelas dan konkrit.
Proses pemeriksaan permohonan itsbat nikah yang diajukan bersifat voluntair, produknya berupa penetapan. Akan tetapi apabila suami atau istri yang
telah ditinggal mati oleh suami atau istrinya, dapat mengajukan permohonan itsbat nikah secara contensious dengan mendudukkan ahli waris lainnya sebagai pihak
termohon.
18
Berdasarkan uraian di atas dan melihat beberapa kasus yang terjadi di masyarakat yang dikarenakan kurangnya kesadaran hukum dikalangan masyarakat
tersebut, penulis tertarik untuk membahas perubahan status perkara tentang istbat nikah dimana istbat nikah yang diajukan salah satu pihak suami atau istri bersifat
voluntair sedangkan apabila salah satu pihak telah meninggal dunia baik suami ataupun istri maka bersifat contensious dalam skripsi yang berjudul PROSES
ITSBAT NIKAH TERHADAP PERKARA CONTENSIOUS DALAM
18
Mahakamah Agung RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, Jakarta: MARI, 2010.
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Analisis Putusan Pengadilan Agama Tanjung Karang Nomor: 0234Pdt.G2015PA.Tnk