Penolakan Hakim Dalam Permohonan Itsbat Nikah (Studi Analisis Penetapan Nomor 094/Pdt.P/2013/PA.JS)

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S .Sy)

Oleh :

PUTRI RAHMAWATI NIM : 1111044100018

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ( A H W A L S Y A K H S I Y Y A H ) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 1437 H/2015 M


(2)

(3)

(4)

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana stara 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 08 Oktober 2015


(5)

DALAM PERMOHONAN ITSBAT NIKAH ( Studi Analisis Penetapan Nomor 094/Ptp.P/2013/PA.JS). Program Studi Hukum Keluarga, Konsentrasi Peradilan Agama, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015, x + 60 halaman + 16 Lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan hakim dalam memutuskan perkara permohonan itsbat nikah. Karena masih sangat minim pengetahuan masyarakat akan dampak dari tidak dicatatkan pernikahanya di KUA (Kantor Urusan Agama).

Metode penelitian yang di gunakan adalah penelitian pustaka berupa studi dokumentasi terhadap putusan nomor 094/Pdt.p/2013/Pa.JS dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data diperoleh dari dokumen dan wawancara, kemudian diolah dan dianalisis menggunakan analisis isi (konten analisis).

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa persaksian di persidangan menjadi hal penting dalam membuktikan dalil permohonan para pemohon agar terkabulkannya itsbat nikah di Pengadilan Agama. guna untuk mendapatkan akta nikah yang di buat oleh Pegawai Pencatat Nikah di KUA (kantor Urusan Agama).

Dampak dari penolakan hakim ini terhadap perkara itsbat nikah akan menimbulkan mudharat kepada para pihak yang mengajukan itsbat nikah. Diantaranya: 1. Terhadap suami istri, mereka tidak mempunyai salinan buku akta nikah sebagai akta otentik dari perkawinan, dan 2. Anak yang dihasilkan dari perkawinan itu tidak dapat dilindungi hukum apabila terjadi perpisahan antara kedua orang tua.

Kata Kunci : Penolakan Hakim, Itsbat Nikah

Pembimbing : Dra. Maskufa, M.A


(6)

vi

KATA PENGANTAR

Al-hamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadiran Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan inayah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Selanjutnya shalawat dan salam senantiasa kami persembahkan kepada baginda Nabi Muhammad Saw, yang telah membimbing umatnya ke jalan yang benar sekaligus menyempurnakan akhlak manusia melalui petunjuk illahi.

Dalam penyusunan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis temukan, namun syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan inayah-Nya, kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga pada akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Phd., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. H. Abdul Halim, M. Ag., dan Bapak Arip Purkon, MA., selaku

Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ahwal al-Syakhshiyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dra. Hj. Maskufa, M.A, dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis.

4. Dr. KH. A. Juani Syukri, Lc.,MA, dosen pembimbing akademik yang senantiasa memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis.


(7)

vii

6. Segenap bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Prodi Al-Ahwal Al-Syakhsiyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan.

7. Seluruh staf Pengadilan Agama Jakarta Selatan, khususnya Bapak Drs. Sunardi M, S.H., M.H.I.

8. Ibu Hakim Dra. Hj. Lelita Dewi, SH, M.Hum yang telah meluangkan waktunya untuk penulis.

9. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.

10. Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ayahanda H. Sobur dan Ibunda Hj. Fatmawati yang selalu memberikan dorokan, bimbingan, kasih sayang, dan

do’a tanpa kenal lelah dan bosan. Semoga Allah senantiasa melimpahkan

rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka.

11. Doa dan harapan penulis panjatkan kepada kakanda Aan Supratman, S.Pdi, dan adinda Ahmad Fiqih Qurtubi yang senantiasa memberikan semangat dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.

12. Keluarga Besar Bapak H. Abdul Khoir dan Keluarga Besar Bapak H. laman yang selalu memberikan dorongan semangat yang tak terhingga, dari materi maupun doa.


(8)

viii

13. Chaerul Rizka Aulia, terima kasih atas support dan doanya.

14. Terima kasih untuk para sahabat Nabila Al- halabi, Ayu Cyntia Dewi, Nurseha Satyarini, Aisyaturridho, Farda Chalida, Atas support dan doanya.

15. Seluruh keluarga Besar Alumni Pondok Pesantren Attqwa Pusat Putri dan Putra yang selalu memberikan support dan motivasi yang penulis tidak sebutkan namanya satu persatu.

16. Terima kasih untuk teman-teman KKN Berlian tahun 2014 atas support dan doanya.

17. Teman-teman Keluarga Besar Peradilan Agama angkatan 2011 kelas A dan B yang menjadi teman seperjuangan tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda. Sungguh, hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka dengan kebaikan yang berlipat ganda.

Penulis berharap skripsi ini dpaat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.

Ciputat, 08 Oktober 2015


(9)

ix

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakangMasalah ... 1

B. PembatasandanPerumusanMasalah ... 4

C. TujuandanManfaatPenelitian ... 5

D. KajianTerdahulu ... 6

E. kerangkaTeoritik ... 7

F. MetodePenelitian... 10

G. SistematikaPenulisan ... 13

BAB II KAJIAN TEORI ITSBAT NIKAH A. PengertianNikahdanItsbatnikah... 14

B. DasarHukumItsbatNikah... 17

C. AkibatHukumItsbatNikah ... 18

D. HubunganItsbatNikahdenganPencatatanPerkawinan ... 21

BAB III DESKRIPSI PENETAPAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN A. PeristiwaHukum ... 33

B. Pertimbangan Hakim ... 35


(10)

x

BAB IV ANALISIS PENETAPAN HAKIM TENTANG TIDAK DIKABULKANNYA ITSBAT NIKAH

A. Pandangan Hakim TentangPenolakanItsbatNikah ... 43

B. AnalisisPenulis... 46

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 54

B. Saran-saran... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 57


(11)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan momentum yang sangat penting bagi perjalanan hidup manusia. Perkawinan secara otomatis akan mengubah status laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Setelah perkawinaan kedua belah pihak akan menerima beban dan tanggung jawab masing-masing. 1 Tanggung jawab dan beban itu bukanlah sesuatu yang mudah dilaksanakan, sehingga mereka harus sanggup memikul dan melaksanakannya. Perkawinan merupakan pintu awal antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk melangsungkan kehidupan bermasyarakat, karena pada hakikatnya seorang manusia hidupnya saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lainnya.

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada pasal 1 ayat (1) menyebutkan dalam perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai pasangan suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, pengertian perkawinan dalam ajaran agama Islam mempunyai nilai ibadah, sebagaimana ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau “mitsâqan ghalîdzan untuk mentaati perintah Allah dan

1

Amir Nurrudin dan Azhar Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (studi kriis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih,UU. No. 1 Tahun 1974 ampai KHI) (Jakarta : 2004), h. 39.


(12)

2

melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yangsakinah, mawaddah, warohmah.

Perkawinan menurut UU No. 1 tahun 1974 Pasal 2 ayat (1)

disebutkan, “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Jadi perkawinan yang sah

menurut hukum perkawinan nasional adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama Islam, Kristen/Katholik, Hindu/Budha. Kata “hukum masing-masing agamanya”

berarti hukum dari salah satu agamanya itu masing-masing bukan berarti

“hukum agamanya masing-masing” yaitu hukum agamanya yang dianut oleh kedua mempelai atau keluarganya.2

Untuk mencapai perkawinan yang mempunyai kekuatan hukum maka perkawinan harus dicatat, karena pencatatatan perkawinan memberikan kepastian hukum dalam suatu ikatan lahir batin. Undang-undang tentang Perkawinan pasal 2 ayat (2) sudah mengatur jelas untuk warga Negara Indonesia akan pentingnya pencatatan perkawinan. Pasal tersebut berbunyi

“tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku”.

Bagi pasangan suami istri karena satu dua hal yang menyebabkan akta nikahnya tidak ada seperti hilang, kebakaran atau di ambil orang, maka ada satu institusi yang dalam KHI pasal 7 ayat 3 disebutkan dengan itsbat nikah. Itsbat nikah atau penetapan nikah ini membuka kesempatan kepada mereka

2

Hilman Hadikusuma,Hukum Perkawinan Indonesia menurut perundangan Hukum Adat Hukum Agama(Bandung: Mandar Maju, 2003), h. 26.


(13)

untuk mengajukan permohonan itsbat kepada Pengadilan Agama. Inilah manfaat yang bersifat represif dari pencatatan nikah. Hal ini dimaksudkan untuk membantu masyarakat agar di dalam melangsungkan perkawinan tidak hanya mementingkan aspek-aspek hukum fikih saja, akan tetapi aspek-aspek keperdataan juga perlu diperhatikan secara seimbang. Jadi sekali lagi pencatatan perkawinan merupakan usaha pemerintah untuk mengayomi masyarakat demi terwujudnya ketertiban dan keadilan. 3

Pernikahan seperti ini seringkali menimbulkan mudarat terhadap istri dan/anak yang dilahirkan terkait dengan hak-hak mereka seperti nafkah, hak waris dan lain sebagainya. Di dalam ketentuan umum pernikahan dibawah tangan itu hukumnya adalah sah karena telah terpenuhi syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapatmudaratnya.4

Kebanyakan dari para pelaku pernikahan di bawah tangan hanya memikirkan yang terpenting pernikahan mereka sah di mata agama, sedangkan pernikahan seperti itu tidak bisa di lindungi oleh hukum. Mereka baru menyadari akan pentingnya pencatatan pernikahan ketika terjadi problematika hukum misalnya, ketika ingin mengurus pensiun untuk tunjangan anak, dan ketika terjadi perceraian, hak-hak istri tidak dapat di selamatkan oleh hukum. Agar pernikahan mereka dapat di lindungi oleh hukum maka pernikahan dibawah tangan harus dicatatkan dan dapat mengajukan itsbat nikah kepengadilan agama.

3

Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum Nasional(Jakarta : PT. Wahana Semesta Intermedia, 2012), Cet. Ke-2, h. 13.

4Ma’ruf Amin,

Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta : Balai Pustaka, 2008), cet. Ke-2, h. 49.


(14)

4

Dengan demikian adanya mudarat dari pernikahan di bawah tangan, termasuk diantaranya tentang penolakan permohonan itsbat nikah yang diajukan di Pengadilan Agama. Maka berdasarkan kenyataan itulah, mendorong penulis untuk membashas dan mencari kejelasan mengenali

“PENOLAKAN HAKIM DALAM PERMOHONAN ITSBAT NIKAH (Studi Analisis Penetapan Nomor 094/ Pdt.P/ 2013/ PA JS)”.

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis sangat perlu untuk membatasi penelitian ini, agar permasalahan dalam penelitian ini tidak meluas serta menjaga kemungkinan penyimpangan dalam penelitian ini, maka penelitian ini akan dibatasi pada penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang itsbat nikah yang tidak di kabulkan oleh hakim.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan diatas maka masalahnya dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana konsep Itsbat Nikah dalam hukum perkawinan Islam ? 2. Bagaimana pandangan atau pertimbangan hakim dalam menolak

Itsbat Nikah pada penetapan Nomor 094/Pdt.P/2013/PA. JS di Pengadilan agama Jakarta Selatan?

3. Bagaimana dampak penolakan itsbat nikah dalam penetapan Nomor 094/Pdt.P/2013/PA. JS terhadap status perkawinan pemohon ?


(15)

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui konsep itsbat nikah dalam hukum perkawinan Islam.

2. Untuk mengetahui pandangan atau pertimbangan hakim dalam penolakan itsbat nikah pada penetapan Nomor 094/Pdt.P/2013/PA.JS di pengadilan agama Jakarta Selatan.

3. Untuk mengetahui dampak dari penolakan itsbat nikah dalam penetapan Nomor 094/Pdt.P/2013/PA.JS terhadap status perkawinan pemohon.

2. Manfaat Penelitian

1. Dalam bidang akademik memperkaya wawasan khususnya bagi penulis serta pengembangan ilmu dibidang syariah khususnya dalam hukum perkawinan di Indonesia.

2. Untuk memberikan masukan tambahan bagi mahasiswa atau kaum akademisi yang akan bergerak sebagai praktisi hukum kelak.

3. Untuk memberi wawasan dan pemahaman terhadap masyarakat luas mengenai perkawinan yang tidak dicatatakan oleh PPN (Pegawai Pencatat Nikah) dan kaitannya dengan konsep itsbat nikah.

4. Untuk memberi masukan tambahan terhadap calon pengantin bahwa pencatatan perkawinan itu sangat penting sebagai bukti otentik.


(16)

6

D. Kajian Terdahulu

Banyak karya ilmiah yang mengulas tentang Hukum Keluarga dalam khazanah hukum Islam di Indonesia. Begitu pula secara khusus karya ilmiah yang membahas itsbat nikah dapat dikatakan sudah mulai beredar dan muncul. Karya ilmiah terdahulu tersebut adalah:

1. Judul skripsi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Itsbat Nikah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Oleh: saiful Hadi (Nim: 204044102982) Peradilan Agama, Syariah dan Hukum, Tahun 2010. Pada skripsi ini membahas tentang faktor apa saja yang mempengaruhi adanya itsbat nikah, dan bagaimana para hakim mengabulkan permohonan itsbat nikah, sedangkan penulis membahas itsbat nikah yang tidak diterima oleh hakim (Studi Analisis Penetapan Nomor 094/Pdt.P/2013/PA.JS).

2. Judul skripsi Itsbat Nikah Dalam Perkawinan (Analisis Yuridis Penetapan Nomor 083/Pdt.P/PA.JS). Oleh: Indro Wibowo (Nim: 207044100425) Peradilan Agama, Syariah dan Hukum, Tahun 2011. Pada skripsi ini membahas tentang kebijakan hakim memberikan penetapan itsbat nikah dan alasan yang menyebabkan itsbat nikah yang dilakukan oleh M. Nasir bin Mamin dan Dahliana binti Matsanih mengajukan itsbat nikah, dan pertimbangan hakim, sedangkan penulis membahas itsbat nikah yang tidak diterima oleh hakim (Studi Analisis Penetapan Nomor 094/Pdt.P/2013/PA.JS).

3. Judul skripsi Legalitas Hukum Pernikahan Sirri dengan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Oleh: Ayuha (Nim: 106044101391, Peradilan Agama, Syariah dan Hukum, Tahun 2011. Skripsi ini membahas bagaimana pernikahan sirri dapat dilegalkan melalui itsbat


(17)

nikah, sedangkan penulis membahas itsbat nikah yang tidak diterima oleh hakim (Studi Analisis Penetapan Nomor 094/Pdt.P/2013/PA.JS).

E. Kerangka Teoritik

Perkawinan dalam Islam sangatlah dianjurkan, karena perkawinan mempunyai nilai-nilai keagamaan, sebagai wujud ibadah kepada Allah SWT dan Sunnah Nabi. Di samping mempunyai nilai-nilai kemanusiaan untuk memenuhi naluri hidup sebagai manusia guna melestarikan keturunan hidup menumbuhkan rasa kasih sayang dalam hidup bermasyarakat.5

Pencatatan perkawinan sama halnya dengan pencatatan suatu peristiwa hukum dalam kehidupan misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam daftar pencatatan yang disediakan khusus untuk itu. Hal tersebut perlu untuk kepastian hukum, maka perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan itu yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 berlaku dan dijalankan menurut peraturan perundangan yang lama adalah sah.6 Tujuan dicatatkannya perkawinan diantaranya adalah agar perkawinan tersebut memiliki kekuatan hukum. Serta bisa menjadi alat bukti jika dikemudian hari ada pihak-pihak yang menggugatnya, seperti telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 5.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 bukanlah undang-undang pertama yang mengatur tentang pencatatan perkawinan bagi muslim

5

Ahmad Azhar Basyir,Hukum Perkawinan Islam(Yogyakarta: UII Press, 2000), h. 13.

6

Moh Idris Ramulyo,Hukum Perkawinan Islam: Analisis UU No. 1 Tahun 1974 (Jakarta: Bumi Aksara 1999), h. 243.


(18)

8

Indonesia. Sebelumnya sudah ada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946, yang mengatur tentang pencatatan nikah, Nikah, Talak dan Rujuk. Semula Undang-undang ini hanya berlaku untuk daerah Jawa dan Madura, tetapi dengan lahirnya Undang-undang Nomor 32 tahun 1954, yang disahkan tanggal 26 Oktober 1954, Undang-undang Nomor 32 Tahun 1946, diberlakukan untuk seluruh daerah luar Jawa dan Madura. Dengan ungkapan lain, dengan lahirnya undang Nomor 32 Tahun 1954 berarti Undang-undang Nomor 32 Tahun 1946 berlaku diseluruh Indonesia. Bahkan sebelumnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 sudah ada peraturan yang mengatur hal yang sama.7

Pasal 5 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam di Indonesia juga menegaskan : agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat. Selanjutnya dikatakan, untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5 : setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (Pasal 6 ayat 1 ). Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 6 ayat 2)8

7

Khoiruddun Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim (Yogyakarta : Academia + Tazzafa, 2009), h. 333.

8

A. Zuhdi Mudlor,Memahami Hukum Perkawinan Nikah, Talak, Cerai, dan Rujuk Menurut Hukum Islam, Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Undang-undang No. 7 Tahun 1979 (UU Peradilan Agama) dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 23.


(19)

Dengan adanya pencatatan perkawinan maka eksistensi perkawinan secara yuridis formil diakui. Dengan demikian maka suatu perkawinan dianggap sah apabila telah memenuhi dua syarat yaitu :

1. Telah memenuhi ketentuan hukum materil yaitu telah dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukun yang ada dalam hukum perkawinan Islam. 2. Telah memenuhi ketentuan hukum formil yaitu telah dicatatkan pada

pegawai pencatat nikah yang berwenang.9

Pencatatan perkawian merupakan produk baru dari diundangkannya undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Karena ketentuan tersebut tidak ada dalam hukum Islam (fiqih), akan tetapi telah menjadi ketetapan pemerintah sebagai sistem hukum di Indonesia yang wajib untuk dipatuhi karena hal itu mendatangkan keharmonisan, kedamaian dan ketentraman dalam keluarga dan untuk kemaslahatan bagi warga Negara Indonesia.

Pertimbangan kemaslahatan untuk pasangan suami istri tersebut dan terlebih jika dalam pernikahan tersebut telah memiliki anak. Maka anak tersebut tidak akan diakui oleh Negara. Karena itulah itsbat nikah sangat diperlukan agar pasangan suami istri tersebut bisa diakui pernikahannya oleh Negara dan bisa dibuktikan dengan adanya akta nikah yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama.

9

Mukti Arto,Masalah Pencatatan Perkawinan dan Syah nya Perkawinan (misbar Hukum No. 26 Tahun VII, 1996), h. 48.


(20)

10

F. Metode Penelitian

Kegiatan ilmiah agar lebih terarah dan rasional diperlukan metode yang sesuai dengan obyek penelitian. Metode ini berfungsi sebagai panduan serta cara mengerjakan sesuatu dalam upaya untuk mengarahkan sebuah penelitian supaya mendapatkan hasil yang maksimal. Pada penelitian ini, penyusun menggunakan metode-metode sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian dan pendekatan

Metode penelitian yang di gunakan adalah penelitian pustaka berupa studi dokumentasi terhadap putusan nomor 094/Pdt.p/2013/Pa.JS dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data diperoleh dari dokumentasi dan wawancara, kemudian diolah dan dianalisis menggunakan analisis isi (konten analisis).

Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penelitian skripsi ini adalah :

Pendekatan kualitatif, kualitatif yaitu menguraikan data melalui katagorisasi, perbandingan serta pencarian sebab-akibat (asimetris) dengan menggunakan teknis analisis induktif (usaha penemuan jawaban dengan menganalisa berbagai data untuk diambil sebuah kesimpulan).10

Pendekatan normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.11

10

Burhan Bungil,Metode Penelitian Hukum(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), cet. Ke-3, h. 172-173.

11

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji.Peneliatian Hukum Normatif(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), cet. 8, h. 13.


(21)

2. Sumber data

Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan dua jenis sumber data yaitu :

a) Data primer

Data primer terdiri dari Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 094/Pdt.p/2013/PA.JS. Dan Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

b) Data sekunder

Data sekunder diantaranya adalah bahan kepustakaan berupa kitab-kitab, buku-buku, dan literature-literatur yang ada kaitanya dengan permasalahan yang berkaitan tentang perkawinan dan itsbat nikah.

3. Pengumpulan Data

Untuk mendukung terlaksananya penelitian ini penyusun mendapatkan data dan informasi yang dibutuhkan berkenaan dengan penolakan itsbat nikah, dengan menggunakan beberapa cara, diantaranya sebagai berikut :

a. Wawancara

Wawancara (interview) ialah sebuah dialog yang dilakukan pewancara dan terwawancara untuk memperoleh informasi yang detail.12 Pewancara disebut intervieuwer, sedangkan orang yang

12

Arikunto Suharsini.Prosedur Penelitian Suatu Praktek(Jakarta: Rineka Cipta, 1998), h. 145.


(22)

12

diwawancara disebut interviewee.13 Wawancara dilakukan penulis kepada Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan penetapan Nomor perkara 094/Pdt.p/2013/PA.JS.

b. Dokumentasi

Penyusun juga memerlukan bukti tertulis atau dokumentasi. Dokumentasi yaitu pengumpulan data dengan melihat dokumen-dokumen, seperti arsip yang ada di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. 4. Teknik Analisis Data

Teknik Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Content Analysis yaitu melakukan analisis isi dokumen secara terperinci dengan mengambil inti dari dokumen yang menjadi sumber data baik dari buku-buku atau dokumen yang berisi tentang hukum positif atau hukum Islam yang sesuai dengan kajian skripsi ini.14

5. Teknik Penulisan Skripsi

Penulisan yang digunakan adalah deskriptif analisis yaitu dengan cara penulisan yang menggambarkan permasalahan yang didasari pada data-data yang ada, lalu dianalisis lebih lanjut untuk kemudian diambil kesimpulan. Dan dalam penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012

13

Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar.Metodelogi Penelitian Sosial (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1996), Cet. Pertama, h. 57-58.

14

Sojono Soekanto,Pengantar penelitian hukum(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persa, 2004), cet. Ke-8, h. 22.


(23)

G. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh hasil penelitian yang sistematis dan baik, maka pembahasan dalam penelitian dibagi menjadi lima bab, yaitu :

BAB I Membahas tentang pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian terdahulu, kerangka teoritik, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

BAB II Kajian teori itsbat nikah Terdiri dari pengertian nikah dan itsbat nikah, dasar hukum itsbat nikah, akibat hukum itsbat nikah, dan hubungan itsbat nikah dengan pencatatan perkawinan.

BAB III Mengenai deskripsi penetapan perkara Nomor 094/Pdt.P/PA. Jakarta Selatan yaitu peristiwa hukum, pertimbangan hakim, penetapan hakim.

BAB IV Mengenai analisis penetapan hakim tentang tidak dikabulkannya itsbat nikah yaitu pandangan hakim tentang penolakan itsbat nikah, pandangan hukum Islam tentang penolakan itsbat nikah dan analisis penulis.

BAB V Yaitu bab penutup yang berisi kesimpulan hasil penelitian dan saran-saran sebagai tindak lanjut dan peneltian.

Di akhir skripsi ini juga dicantumkan daftar pustaka sebagai rujukan dalam penyusunan skripsi dan lampiran-lampian guna menguji validitas data.


(24)

14 BAB II

KAJIAN TEORI ITSBAT NIKAH

A. Pengertian Nikah dan Itsbat Nikah

Arti nikah menurut bahasa Arab ialah Berhimpun atauwatha’ (Ǘ Ɠ ǚ ǃ ).1

Nikah menurut istilah bahasa artinya mengumpulkan. Menurut syara’ artinya

akad yang telah terkenal dan memenuhi rukun-rukun serta syarat (yang telah tertentu) untuk berkumpul.2

Kompilasi Hukum Islam (KHI) BAB II Pasal (2) merumuskan bahwa

“perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsâqan ghalîdzan untuk mentaati perintah Allah dan

melakukannya merupakan ibadah”. Perkawinan merupakan perbuatan ibadah dalam kategori ibadah umum, dengan demikian dalam melaksanakan perkawinan harus diketahui dan dilaksanakan aturan-aturan perkawinan dalam hukum Islam.3

Peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dalam kaitan ini Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam yang merumuskan demikian: Perkawinan ialah ikatan lahir batin

1

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam(Jakarta : Bulan Bintang, 2005), cet. 2, h. 73.

2

Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmad, Fikih Islam Lengkap (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2004), cet. 3, h. 224.

3

Abd Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Islam( Jakarta : kencana, 2010), cet. Pertama, h. 275.


(25)

antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha Esa.4

Pernikahan pada dasarnya itu merupakan suatu perjanjian perikatan antara seorang pria dan seorang wanita. Walaupun nikah ini merupakan salah satu bentuk perjanjian perikatan, namun perjanjian ini berbeda dengan perjanjian-perjanjian perdata yang lainnya. Perjanjian perkawinan adalah merupakan perjanjian suci membentuk keluarga yang bahagia dan kekal untuk selama-lamanya.5

Perkawinan pada umumnya harus dicatatkan pada pejabat yang berwewenang. Apabila perkawinan belum dicatatkan maka pasangan suami istri bisa mengajukan permohonan itsbat nikah kepada Pengadilan Agama sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Itsbat Nikah terdiri dari dua kata yaitu “itsbat” dan “nikah”. Kedua

istilah tersebut berasal dari kamus besar bahasa Indonesia. Itsbat berarti penyungguhan, penetapan, penentuan.6Sedangkan nikah adalah ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama : hidup sebagai suami istri.7

4

Muhammad Amin Suma,Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005), Ed. Revisi 2, h. 46.

5

Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam Perspektif Fikih Dan Hukum Positif(Yogyakarta : 2011), Cet. Pertama, h. 174.

6

Departemen pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), ed. ke-4, h. 549.

7

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, h. 962.


(26)

16

Itsbat Nikah merupakan gabungan dari kalimat yakni itsbat dan nikah. Gabungan kata masdar terambil dari asal kata ﺎ ﺗ ﺎ ﺒ ﺛ ا – – ﺖ ﺒ ﺛ ا yang mempunyai makna penetapan atau pembuktian.8 Itsbat nikah adalah upaya penetapan pernikahan yang tidak tercatat atau tidak dilakukan di depan pegawai pencatat nikah di Kantor Urusan Agama (KUA). Berdasarkan undang-undang, itsbat nikah merupakan kewenangan Pengadilan Agama. ketentuan ini jelas dituangkan pada Kompilasi Hukum Islam (KHI).9

Pelaksanaan itsbat nikah di Pengadilan Agama karena pertimbangan maslahah bagi umat Islam. Itsbat Nikah sangat bermanfaat bagi umat Islam untuk mengurus dan mendapatkan hak-haknya yang berupa surat-surat atau dokumen pribadi yang dibutuhkan dari instansi yang berwenang serta memberikan jaminan perlindungan kepastian hukum terhadap masing-masing pasangan suami istri.10

Itsbat nikah merupakan cara yang dapat ditempuh oleh pasangan suami istri yang telah menikah secara sah menurut hukum agama untuk mendapatkan pengakuan dari Negara atas pernikahan yang telah

8

A.W. Munawwir dan Muhammad Fairuz, kamus Al Munawwir Indonesia Arab terlengkap, h. 343.

9

Alimin, Euis Nurlaelawati, Potret Administrasi Keperdataan Islam Di Indonesia (Ciputat : Tangerang Selatan, 2013), h. 86-87.

10Asasriwarni, “kepastian hukum Itsbat Nikah terhadap status perkawinan, anak dan

harta perkawinan. Artikel diakses pada 15 April 2015 dari http://www.nu.or.id/a,public-

m,dinamic-s,detail-ids,4-id,38146-lang,id-c,kolom-t,Kepastian+Hukum++Itsbat+Nikah++Terhadap+Status+Perkawinan++Anak+dan+Harta+Pe rkawinan


(27)

dilangsungkan oleh keduanya beserta anak-anak yang lahir selama pernikahan, sehingga pernikahannya tersebut berkekuatan hukum.11

Bila pernikahannya secara hukum agama adalah sah, tentunya anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut adalah anak-anak-anak-anak yang sah juga.

B. Dasar Hukum Itsbat Nikah

Dasar hukum dari Itsbat Nikah adalah BAB XIII Pasal 64 Ketentuan Peralihan untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah.12

Undang-undang nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama hanya menggariskan bahwa peradilan, dalam hal ini peradilan agama bagi yang beragama Islam berwenang melakukan itsbat/pengesahan nikah. Keduanya belum mengatur siapa yang berhak mengajukan itsbat nikah dan bagaimana prosedurnya. Aturan yang detail kita jumpai dalam aturan pelaksanaanya, yaitu pada Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam (KHI).13

Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan dan menetapkan sebagai berikut :

11

Liza Elfitri, Dasar Hukum Pengajuan Itsbat Nikah Bagi Pasangan Kawin Siri, dikutip dari www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50a1e91040231/dasar-hukum-pengajuan-itsbat-nikah-bagi-pasangan-kawin-siri, diakses 1 agustustus 2015.

12

R. Subekti dan Tjitrosudibio,Kitab Undang-undang Hukum Perdata,h. 557.

13

A. Zahri,Problematik Hukum Sekitar Itsbat Nikah, artikel diakses pada 28 April 2015 dari http://badilag.net/artikel/publikasi/artikel/problematik-hukum-sekitar-isbat-nikah


(28)

18

1. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yag dibuat oleh pegawai pencatat Nikah.

2. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

3. Itsbat Nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :

a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian b. Hilangnya Akta Nikah

c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan

d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974, dan

e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak memiiki halangan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974. 4. Yang berhak mengajukan permohonan Itsbat Nikah ialah pihak suami

istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.

C. Akibat Hukum Itsbat Nikah

Setelah dikabulkannya itsbat nikah sebagai kepastian hukum, maka melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, yang masing-masing suami istri mendapatkan salinannya, apabila menjadi perselisihan atau percekcokan diantara mereka, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lainnya dapat melakukan upaya hukum guna


(29)

mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing. Karena dengan akta tersebut, baik suami mapun istri memiliki bukti otentik atas perubahan hukum yang telah mereka lakukan.14

Pencatatan pernikahan merupakan aspek yang fundamental bagi warga Negara Indonesia. Melalui pencatatan itu seseorang akan memperoleh status hukum pasti. Pencatatan perkawinan karenanya sangat penting bagi perempuan karena dapat memberikan kepastian hukum baik bagi dirinya maupun anak yang dilahirkannya. Dengan menggunakan analisis jender, seorang hakim dapat melihat apa akibatnya bagi seorang perempuan jika tak memiliki surat nikah. Antara lain secara sosial perempuan tersebut rentan terhadap tindakan diskriminasi. Demikian pula dengan anaknya. Lebih dari itu, posisi mereka sebagai istri pun rentan terhadap kekerasan. Tanpa surat nikah, seorang perempuan akan sangat tergantung pada suaminya. Dan ketergantungan serupa itu sangat tidak sehat, karena bila terjadi tindakan kekerasan oleh suaminya sangat sulit bagi perempuan untuk keluar dari ikatan perkawinan.15

Akibat hukum yang timbul dari perkawinan di bawah tangan dan tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah antara lain : Pertama, meskipun perkawinan tersebut dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata Negara perkawinan tersebut dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil. Kedua, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Anak-anak yang

14

Yayan Sopyan, Islam-Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum Nasiona(Jakarta : PT. Wahana Semesta Intermedia, 2012), Cet. Pertama, h. 131-132.

15

Arskal Salim, Euis Nurlaelawati, dkkdemi keadilan dan kesetaraan dokumentasi program sentivitas jender hakim agama di Indonesia. (t.t : 2009), Cet. Pertama, h. 58.


(30)

20

dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu (pasal 42 dan 43 Undang-undang Perkawinan). Sedangkan hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada (perkembangan terkini setelah terbitnya keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tanggal 27 Februari 2012, anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. (pasal 43 ayat (1) UUP baru hasil revisi Mahkamah Konstitusi). Ketiga, baik anak maupun ibunya tidak berhak atas nafkah dan warisan. Akibatnya, baik istri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya. Harta yang didapat dalam perkawinan di bawah tangan hanya dimiliki oleh masing-masing yang menghasilkannya, karena tidak adanya harta bersama.16

Perkawinan yang tidak mempunyai akta nikah, terlepas dari apa penyebabnya, harus ada jalan keluarnya yang terbaik antara lain melalui itsbat nikah, Namun jika itsbat nikah tidak diterima sangat banyak umat Islam yang kehilangan hak-hak keperdataannya seperti untuk mendapat tunjangan gaji bagi istri dan anaknya, atau suami dan anaknya dalam hal salah satunya

16Endang Ali Ma’sum,

Kepastian Hukum Itsbat Nikah Terhadap Status Perkawinan Status Anak dan Status Harta Perkawinan, artikel diakses pada 6 Agustus 2015 dari

www.litbangdiklatkumdil.net/component/jdownload/12-2012/107-kepastian-hukum-itsbat-nikah-terhadap-status-perkawinan-status-anak-dan-status-harta-perkawinan.


(31)

pegawai negeri atau anggota TNI/ Polri dan BUMN, tidak bisa mengambil tabungan atas nama istri atau suami yang meninggal lebih dahulu.

D. Hubungan Itsbat Nikah Dengan Pencatatan Perkawinan

Pencatatan perkawinan adalah suatu pencatatan yang dilakukan oleh pejabat Negara terhadap perkawinan. Dalam hal ini pegawai Pencatat Nikah yang melakukan pencatatan, ketika akan melangsungkan suatu akad perkawinan antara calon suami dan calon istri.17

Pencatatan merupakan hukum keluarga baru yang berlaku di Negara-negara muslim. Semua mewajibkan pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara masing-masing. Pencatatan ini, kendatipun bukan merupakan rukun nikah, tetapi dianggap sangat penting untuk pembuktian pernikahan yang sah yang dilakukan oleh seseorang. Selain dari perkawinan itu sendiri harus dicatat, surat-surat (keterangan, formulir yang telah diisi dan ditandatangani para pihak) harus disimpan, didokumentasikan untuk kepentingan pembuktian kalau timbul keraguan atau masalah kemudian hari.18

Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat, baik perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat yang tidak berdasarkan hukum Islam maupun perkawianan yang dilaksanakan oleh masyarakat yang tidak berdasarkan hukum Islam.

17

Siti Musdah Mulia, Membangun Keluarga Humanis Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang Kontroversial itu( Jakarta : Graha Cipta, 2005), Cet. Pertama, h. 38.

18

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Peradilan Agama (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1997), Cet. Pertama, h. 98.


(32)

22

Pencatatan perkawinan merupakan upaya untuk menjaga kesucian mitsâqan gholîdzanaspek hukum yang timbul dari ikatan perkawinan.19

Pentingnya pencatatan nikah ini dikemukakan oleh Fatwa mantan Syekh Azhar (Guru Besar) Dr. Jaad al- Haq ‘Ali Jaad al-Haq tentang al-zawajal-‘urfy adalah sebuah pernikahan yang tidak tercatat sebagaimana mestinya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Syekh Jaad al-had mengklasifikasikan ketentuan yang mengatur pernikahan kepada dua

katagori, yaitu peraturan syara’ dan peraturan yang bersifatal-tawtsiqiy.20

a. Peraturan syara’ yaitu peraturan yang menentukan sah atau tidak sahnya sebuah pernikahan. Peraturan ini adalah peraturan yang ditetapkan oleh

syari’at Islam seperti yang telah dirumuskan oleh para fukaha dari

berbagai mazhab yang pada intinya adalah kemestian adanya ijab dan Kabul dari masing-masing dua orang yang berakad (wali dan calon suami) yang diucapkan pada majelis yang sama, dengan menggunakan lafal yang menunjukan telah terjadinya ijab dan kabul yang diucapkan oleh masing-masing dari dua orang yang mempunyai kecakapan untuk

melakukan akad menurut hukum syara’ serta dihadiri oleh dua orang

saksi yang telah baligh berakal lagi beragama Islam. Dua orang saksi itu disyaratkan mendengarkan sendiri secara langsung lafal ijab dan Kabul tersebut. Dan mengerti tentang isi ijab dan kabul itu serta syarat-syarat yang lainnya seperti yang telah dibentangkan dalam kajian fiqih.21

19

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), Cet, Pertama, h. 26.

20

Alimudin, “Kepastian Hukum Itsbat Nikah dan fenomena social”. artikel diakses

pada tanggal 26 april 2015 dari http://www.badilag.net/artikel/publikasi/artikel/kepastian-hukum-itsbat-nikah-dan-fenomena-sosial

21

Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontenporer (Jakarta : Kencana, 2014), cet. Ke-2, h. 33.


(33)

b. Peraturan yang bersifat tawtsiqiy adalah peraturan tambahan dengan tujuan agar pernikahan dikalangan umat Islam tidak liar, tetapi tercatat pada buku register Akta Nikah yang dibuat oleh pihak yang berwenang untuk itu yang diatur dalam peraturan perundangan administrasi Negara. Kegunaanya agar sebuah lembaga perkawinan yang merupakan tempat yang sangat penting dan strategis dalam masyarakat Islam dapat dilindungi dari adanya upaya-upaya negatif dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.22

Namun demikian menurut fatwa Jad al-Haq Ali Jaad al-Haq, tanpa memenuhi peraturan perundang-undangan itu, secara syar’î nikahnya sudah dianggap sah, apabila telah melengkapi segala syarat dan rukun seperti diatur

dalam Syari’at Islam.

Fatwa Syekh Al-Azhar tersebut, tidak bermaksud agar seseorang boleh dengan seenaknya saja melanggar undang-undang di suatu Negara, sebab dalam fatwa itu beliau tetap mengingatkan pentingnya pencatatan nikah, beliau mengingatkan agar pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Beliau juga menegaskan bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur pernikahan adalah hal yang mestinya dilaksanakan setiap muslim yang mengadakan perkawinan, sebagai antisipasi bilamana diperlukan berurusan dengan lembaga peradilan. Misalnya jika dikemudian hari salah satu dari suami istri mengingkari perkawinan atau pengingkaran itu muncul ketika akan membagi harta warisan di antara ahli waris.

Menurut Wahbah Al-Zulaily dalam karyanya Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, dengan tegas membagi syarat nikah kepada syarat syar’î dan

22


(34)

24

syarat tautsiqiy. Syarat syar’î adalah suatu syarat tentang keabsahan suatu peristiwa hukum tergantung kepadanya, yang dalam hal ini adalah rukun-rukun pernikahan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.

Sedangkan syarat tawtsiqiymerupakan suatu syarat yang dirumuskan untuk dijadikan sebagai bukti kebenaran terjadinya suatu tindakan sebagai upaya antisipasi adanya ketidak jelasan dikemudian hari. Syarat tawtsiqiy

tidak berhubungan dengan syarat sahnya suatu perbuatan, tetapi sebagai bukti adanya perbuatan itu. Misalnya hadirnya dua orang saksi dalam setiap bentuk transaksi adalah merupakan syarat tawtsiqiy, kecuali kehadirannya dua orang saksi itu dalam perikatan pernikahan adalah merupakan syarat syar’î, karena merupakan unsur pembentuk prosesi pernikahan itu dan yang menentukan pula sah atau tidak sahnya suatu peristiwa pernikahan, disamping sebagai syarattawtsiqiy.23

Pengaturan tentang pencatatan perkawinan didasarkan atas asas kemaslahatan melalui metode al-maslahah al-mursalah Pengaturan pencatat perkawinan dinilai bisa mendatangkan maslahat, khususnya bagi perempuan dan anak-anak. Jika suatu saat mereka menghadapi kenyataan ditelantarkan oleh suami atau ayahnya, jika tidak ada salinan akta nikah, istri dan anak-anaknya tersebut tidak dapat mengajukan tuntutan haknya kepada suaminya atau ayahnya karena tidak memiliki sarana untuk mengajukan ke Pengadilan. Lain halnya apabila ada salinan akta nikah, upaya hukum dapat segera

23Alimudin, “Kepastian Hukum Itsbat Nikah dan fenomena social”. artikel diakses

pada tanggal 26 april 2015 dari http://www.badilag.net/artikel/publikasi/artikel/kepastian-hukum-itsbat-nikah-dan-fenomena-sosial


(35)

dilakukan manakala hak-haknya ditelantarkan. Maka sangat jelas nilai maslahat dari pencatatan perkawinan tersebut.24

Pencatatan nikah asalnya hanya sebuah kebutuhan administrasi Negara saja. Namun, fungsi dari pencatatan nikah itu sangat penting khususnya bagi perempuan.25

Kompilasi Hukum Islam, masalah pencatatan perkawinan ini diatur dalam pasal 5, yakni :

1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.

2. Pecatatan perkawinan pada ayat (1), dilakukan oleh pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 22 Tahun 194 jo. Undang-undang No. 32 Tahun 1954.

Adapun selanjutnya dalam pasal 6 dijelaskan yang berbunyi sebagai berikut :26

1. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsukan dihadapan dan di bawah pengawasan pegawai pencatat nikah. 2. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah

tidak mempunyai kekuatan hukum.

24

Asni,Pembaruan Hukum Islam Di Indonesia Telaah Epistemologis Kedudukan Perempuan Dalam Hukum Keluarga (kementrian Agama Republik Indonesia Direktorat Jendral Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, 2012), Cet. Pertama, h. 211.

25

Sri Mulyani,Relasi Suami Istri Dalam Islam(Jakarta : Pusat Studi Wanita, 2004), h. 9.

26

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan,Hukum Perdata Islam di Indonesia

“Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No. 1 tahun 1974 sampai KHI”


(36)

26

Pencatatan perkawinan yang disyaratkan oleh Pasal 5 KHI adalah sejalan dengan yang diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974

yakni : “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku.”27

Pencatatan perkawinan dan membuktikannya dengan akta nikah sangat jelas mendatangkan masalah bagi tegaknya rumah tangga dan hal ini sejalan dengan prinsip/kaidah hukum Islam menolak kemudaratanlah didahulukan daripada memperoleh kemaslahatan. Adapaun dampak perkawinan yang tidak dicatat itu antara lain suami istri tersebut tidak mempunyai akta nikah sebagai bukti mereka telah menikah secara sah menurut agama dan Negara.28

Secara administratif, perkawinan dikatakan sah jika dilakukan dengan mengikuti prosedur yang sesuai dengan Undang-undang. Sebagaimana terdapat dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1974 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam BAB II Pencatatan Perkawinan, pasal 2 dikatakan:29

1. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama islam dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk.

27

R Subekti dan R Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pasal 2 ayat (2), h. 538.

28

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Jakarta : Kencana, 2006), cet. Pertama, h. 51.

29

Beni Ahmad Saebani dan Syamsul Falah, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Bandung : Pustaka Setia, 2011), Cet. Pertama, h. 107.


(37)

2. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaanya itu selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.

3. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tatacara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagi peraturan yang berlaku, tatacara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan pasal 9 peraturan pemerintah ini. Dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1974 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Presiden Republik Indonesia berbunyi :

1. Setiap orang yang akan melangsukan perkawinan memberitahukan kehendak itu kepada pegawai pencatat ditempat perkawinan akan dilangsungkan.

2. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilansungkan.

3. Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh camat atas nama bupati kepala daerah.

Pencatatan perkawinan ini walaupun di dalam Undang-undang Perkawinan (UUP) hanya diatur oleh satu ayat, namun sebenarnya dalam masalah pencatatan ini sangat dominan. Ini akan tampak dengan jelas menyangkut tata cara perkawinan itu sendiri yang kesemuanya berhubungan dengan pencatatan. Tidaklah berlebihan jika ada sementara pakar hukum


(38)

28

yang menempatkannya sebagai syarat administratif yang juga menentukan sah tidaknya suatu perkawinan.30

Tata cara pemberitahuan rencana perkawinan dapat dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya (Pasal 4). Hal-hal yang diberitahu kepada petugas meliputi: nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai, dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suaminya terdahulu (Pasal 5). Dengan pemberitahuan ini, untuk menghindari kemungkian terjadinya penyimpangan atau pemalsuan identitas, atau mengantisipasi kalau diantara calon mempelai terdapat halangan perkawinan.31

Pasal 6 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1974 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Menjelaskan:32

1. Pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang.

2. Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1), pegawai pencatat meneliti pula :

30

Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI( Jakarta : Kencana, 2004), Cet. Ke-3, h. 123.

31

Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2013), Cet. Pertama, h. 95.

32

Muhammad Amin Suma,Himpunan Undang-undang Perdata Islam & Peraturan pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 2008) ed. Revisi-2, PP No 9 tahun 1974, h. 548.


(39)

a. Kutipan akta kelahiran atau surat lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat surat kenal lahir, dapat dipergunakan keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh kepala desa atau yang singkat dengan itu :

b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai :

c. Izin tertulis/izin pengadilan sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat(2), (3), (4) dan (5) undang-undang apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun : d. Izin pengadilan sebagai dimaksud pasal 4 Undang-undang : dalam hal

calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai isteri : e. Dispenasi pengadilan/pejabat sebagai dimaksud pasal 7 ayat (2)

Undang-undang ;

f. Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih ;

g. Izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Mentri HANKAM PANGAB apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota angkatan bersenjata ;

h. Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh pegawai pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak


(40)

30

dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.

Adapun manfaat represif akta nikah adalah sebagai berikut. Bagi suami istri yang karena sesuatu hal perkawinannya tidak dibuktikan dengan akta nikah, Kompilasi Hukum Islam memberi solusi kepada mereka untuk mengajukan permohonan Itsbat (penetapan) nikah kepada Pengadilan Agama. hal ini dimaksudkan untuk membantu masyarakat, agar di dalamnya melangsungkan perkawinan tidak hanya mementingkan aspek-aspek hukum fikih saja, tetapi aspek-aspek keperdataanya juga diperhatikan secara seimbang. Jadi, pencatatan adalah merupakan bentuk usaha pemerintah untuk mengayomi warga masyarakat demi terwujudnya ketertiban dan keadilan. 33

Apabila diperhatikan ayat Mudayanah (QS Al- Baqarah (2) :282) mengisyaratkan bahwa adanya bukti otentik sangat diperlukan untuk menjaga kepastian hukum. Bahkan redaksinya dengan tegas menggambarkan bahwa pencatatan didahulukan daripada kesaksian, yang dalam perkawinan menjadi salah satu rukun.34Ayat tersebut adalah:









33

Ahmad Rofiq,Hukum Perdata Islam Di Indonesia(edisi baru), h. 99.

34


(41)

Artinya : “hai orang-orang yang beriman, apabila kamu

bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.

Pada ayat di atas, pencatatan kontrak utang piutang saja sudah disyariatkan. Dengan demikian, di sini sangat tepat digunakan qiyas aulawi.

Bahwasanya jika ditinjau dari berbagai segi, perkawinan yang oleh Al-Qur’an

disebut sebagai perjanjian suci (mitsâqan gholîdzan) jauh lebih penting untuk diutamakan pencatatannya.35

Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan. Akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat.36

Pengamatan ayat diatas nampaklah adanya kemaslahatan yang dicapai, dimana kemaslahatan tersebut merupakan buah pemikiran yang sudah selayaknya diterapkan demi kepentingan umat. Begitu pentingnya menjaga kemaslahatan perkawinan, karena perkawinan bertujuan membentuk keluarga

sakinah, mawadah wa rahma.37

Pencatatan perkawinan bertujuan agar adanya kepastian hukum, ketertiban hukum atas perkawinan itu sendiri. Namun demi kemaslahatan dan

35

Ahmad Rofik,Pembaruan Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta : Gama Media, 2001), h. 110-111.

36

Asasriwarni, “kepastian hukum Itsbat Nikah terhadap status perkawinan, anak dan

harta perkawinan. Artikel diakses pada 15 April 2015 dari http://www.nu.or.id/a,public-

m,dinamic-s,detail-ids,4-id,38146-lang,id-c,kolom-t,Kepastian+Hukum++Itsbat+Nikah++Terhadap+Status+Perkawinan++Anak+dan+Harta+Pe rkawinan.

37

Ahmad Mukri Aji, Urgensi Maslahat Mursalah Dalam Dialektika Pemikiran Hukum Islam (Bogor : Pustaka Pena Ilahi, 2011), Cet. Pertama, h. 192.


(42)

32

menghindari masalah yang kemungkinan akan datang di kemudian hari, orang yang sudah terlanjur melakukan pernikahan namun pernikahannya tidak dicatatkan di kantor urusan agama (KUA) dapat mengajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama.


(43)

33

JAKARTA SELATAN

A. Peristiwa Hukum

1. Bahwa pemohon I dengan pemohon II telah menikah pada hari Senin, tanggal 7 Juli 1986 yang dilaksanakan di Bintaro, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, di hadapan petugas pencatat Nikah (PPN) dengan wali hakim dan disaksikan oleh dua orang saksi yang bernama P. Buang Hartanto dan Haji Muadi serta mahar berupa seperangkat alat sholat dan cincin kawin.

2. Bahwa sebelum menikah Pemohon I dan Pemohon II berstatus adalah perjaka dan perawan.

3. Bahwa setelah menikah Pemohon I dan Pemohon II membina rumah tangga di Jl. Melati no. 5 Rt. 007 Rw 003 Kelurahan Bintaro Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan sampai sekarang dan telah dikaruniai 4 (empat) orang anak yang masing-masing bernama :

1) Jefta Rangga Prasetya umur 25 tahun. 2) Anggi Chandra Priandini umur 24 tahun. 3) Abigail Ivana Kalinda umur 11 tahun. 4) Daniel Nathan Axel umur 9 tahun.


(44)

34

4. Bahwa perkawinan pemohon I dan Pemohon II telah dilaksanakan sesuai dengan syariat islam1.

5. Bahwa semenjak pemohon I dengan Pemohon II menikah belum pernah bercerai dan tidak pernah mendapat gugatan dari pihak manapun masyarakat tentang keabsahan pernikahan tersebut.

6. Bahwa pemohon I dengan Pemohon II belum pernah mendapatkan bukti pernikahan buku kutipan akta nikah karena tidak ada diberikan oleh PPN kepada pemohon I dan Pemohon II, walaupun pemohon I dan Pemohon II telah menelusuri ke KUA Kecamatan Pesanggrahan, ternyata pernikahan pemohon tidak didaftarkan.

7. Bahwa pada saat ini pemohon I dan pemohon II sangat membutuhkan penetapan pengesahan nikah (Itsbat Nikah) sebagai bukti nikah pemohon I dengan Pemohon II dan juga untuk keperluan mengurus tunjangan anak dan keluarga dalam pemenuhan persyaratan pensiun.

8. Bahwa untuk menguatkan permohonannya para Pemohon telah mengajukan bukti-bukti berupa surat yang diberi tanda P.1 sampai P.7 sebagai berikut :

1. Fotokopi KTP Pemohon I dan Pemohon II (P.1) ;

2. Fotokopi Kartu Keluarga yang dikeluarkan oleh kelurahan Bintaro Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan Nomor 3174101601094428 (P.2) ;

1

Lihat Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 094/Pdt.P/2013/PA. JS, h. 69-70.


(45)

3. Fotokopi kutipan akta kelahiran No 02026/1999 dari Kepala Kantor Catatan Sipil Kota madya Dati II Bekasi atas nama Jefta Rangga Prasetya (P.3)

4. Fotokopi kutipan akta kelahiran No 02027/1999 dari Kepala Kantor Catatan Sipil Kota Madya Dati II Bekasi atas nama Anggi Chandra Priandini (bukti P.4);

5. Fotokopi Kutipan akta kelahiran No 474.1/6192-DKCS/2002 Dari Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tangerang atas nama Abigail Ivana Kalinda (bukti P.5) ;

6. Fotokopi Kutipan akta kelahiran No 6863/U/JS/2004 dari Kepala Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Madya Jakarta Selatan atas nama Daniel Nathan Axel (bukti P.6) ;

7. Fotokopi surat keterangan dari Kepala Kementrian Agama KUA Kec. Pesanggrahan Jakarta Selatan (bukti P.7). Foto kopi tersebut telah dicocokan dan ternyata sesuai dengan aslinya dan telah bermaterai cukup.2

B. Pertimbangan Hakim

Tentang hukumnya : bahwa pemohon I dan pemohon II mengajukan permohonan Itsbat Nikah/pengesahan nikah dengan alasan-alasan sebagaimana tersebut pada permohonannya ;

2

Lihat Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 094/Pdt.P/2013/PA. JS, h. 70-72.


(46)

36

Adapun bahwa untuk meneguhkan dalil-dalil permohonannya pemohon I dan pemohon II telah mengajukan bukti surat P.1 dan P.7 maupun saksi-saksi, bukti mana dinilai sebagaimana pertimbangan berikut ini ;

Bahwa berdasarkan bukti P.1 dan P.2 terbukti bahwa Pemohon I dan Pemohon II adalah pihak yang berkepentingan dalam perkara ini, juga patut dinyatakan terbukti bahwa Pemohon I dengan Pemohon II secara administrasi kependudukan telah tinggal bersama sebagai keluarga dimana Pemohon I berstatus sebagai Kepala Keluarga dan Pemohon II sebagai isteri;

Bahwa berdasarkan bukti-bukti P.3s.d Bukti P.6 maka harus dinyatakan terbukti bahwa Pemohon I dengan Pemohon II telah dikaruniai 4 orang anak;

Bahwa berdasarkan bukti P.7 maka harus dinyatakan terbukti bahwa perkawinan Pemohon I dengan Pemohon II tidak tercatat di KUA Kec. Pesanggrahan Jakarta Selatan;

Bahwa disamping itu alasan-alasan pemohon I dan Pemohon II telah dikuatkan dengan 2 (dua) orang saksi yang telah memberi keterangan dibawah sumpah, ternyata keterangannya satu dengan lainnya saling bersesuaian dimana kedua saksi menerangkan tidak mengetahui secara jelas tentang proses pernikahan, saksi 1 (P. Buang Hartanto bin Sadar) kehadirannya hanya menyaksikan karena saat itu sibuk dengan pekerjaannya memasak juga saksi 2 (Edi Djohan bin Rustam) mengetahui Pemohon I dan Pemohon II sebagai suami istri saja dan lagi pula saksi mengenal para Pemohon tahun 1991 setelah terjadinya pernikahan;


(47)

Bahwa dari keterangan saksi-saksi tersebut telah ditemukan fakta yang pada pokoknya adalah sebagai berikut :

1. Bahwa Pemohon I dengan Pemohon II telah menikah sebagai suami istri 2. Bahwa kedua saksi tidak tahu siapa yang menjadi wali nikah, berapa

maharnya dan saksi nikah serta apakah pernikahan tersebut dilaksanakan sesuai dengan syarat dan rukun nikah sebagaimana diatur dalam syariat Islam3;

Bahwa Pernikahan hanya sah menurut hukum apabila dilangsugkan dengan memenuhi syarat dan rukun nikah sebagaimana diatur dalam pasal 14 Kompilasi Hukum Islam ; untuk melaksanakan perkawinan harus ada :4

1. Calon suami, 2. Calon istri, 3. Wali nikah;

4. Dua orang saksi dan 5. Ijab dan kabul.

Bahwa kedua orang saksi yang diajukan para Pemohon keterangan yang diberikan tidak memiliki sumber pengetahuan yang jelas sehingga keterangan saksi tidak sah sebagai alat bukti karena tidak memenuhi syarat materil sebagaimana ketentuan pasal 171 ayat (1) HIR, Pasal 1907 ayat (1)

3

Lihat Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 094/Pdt.P/2013/PA. JS, h.73-74.

4

Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: CV Akademika Pressindo,2010), cet. Ke-4, h. 116.


(48)

38

KUHPerdata. Oleh karena nya keterangan saksi tidak dapat mendukung bukti lainnya untuk mendukung kebenaran dalil permohonan pemohon ;

Saksi ialah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut. Bukti saksi diatur dalam Pasal 168-172 HIR.5

Keterangan-keterangan yang dikemukakan seseorang sebagai saksi (merupakan kesaksian) itu harus benar-benar keterangan tentang hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang dilihat dan atau dialami sendiri dan harus pula beralasan. Apabila seseorang saksi mengemukakan keterangan tentang pendapat atau perkiraan, apalagi dengan tidak beralasan dan kesimpulannya sendiri adalah tidak dibolehkan. Demikian dapat disimpulkan dari keterangan pasal 171 HIR (1) pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi;6

A. Pasal 171 ayat (1) HIR, yang berbunyi : dalam tiap-tiap penyaksian harus disebut segala sebab pengetahuan saksi.

B. Pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata, berbunyi: Tiap kesaksian harus disertai keterangan tentang bagaimana saksi mengetahui kesaksiannya itu.

Akan tetapi, meskipun rumusannya agak berbeda, namun maksudnya adalah sama, yaitu :

5

Kamarusdiana,Hukum Acara Peradilan Agama,Fakultas Syariah dan Hukum Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013, h. 179.

6

Teguh Samudera, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata (Bandung : PT. Alumni, 2004), Cet. ke-2, h. 59.


(49)

a. Keterangan yang diberikan saksi harus memiliki landasan pengetahuan,

b. Landasan pengetahuan merupakan sebab atau alasan pengetahuan yang diterangkannya,

c. Keteranganya yang tidak memiliki sebab alasan yang jelas, tidak memenuhi syarat materil sebagai alat bukti saksi.7

Setiap kesaksian harus juga berisi segala sebab pengetahuan. Pendapat-pendapat atau persangkaan yang disusun dengan kata akal bukan kesaksian.8 Tidaklah cukup kalau saksi hanya menerangkan bahwa ia mengetahui peristiwanya. Ia harus menerangkan bagaimana ia sampai dapat mengetahuinya.9

Adapun yang dapat diterangkan oleh saksi hanyalah apa yang ia lihat, dengar atau rasakan sendiri, lagi pula tiap-tiap kesaksian harus disertai alasan-alasan apa sebabnya, dan bagaimana sampai ia mengetahui hal-hal yang diterangkan olehnya. Perasaan atau sangka yang istimewa, yang terjadi karena akal, tidak dipandang sebagai penyaksian (pasal 171 ayat 2 H.I.R.).10

Bahwa sesuai ketentuan Pasal 163 HIR maka majelis berpendapat Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat membuktikan dalil permohonannya

7

Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), Cet. Pertama, h. 651.

8

Aris Bintania,Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh Al-Qadha (Jakarta : Rajawali Pers, 2012), ed 1, Cet. Pertama, h.60.

9

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia ( Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 2006), Cet. Pertama, h. 169.

10

NY.Retnowulan Sutantio, dan Iskandar Oeripkartawinta, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek(Bandung : Mandar Maju), h. 70.


(50)

40

karena patut ditolak; ketentuan ini didasarkan kepada Pasal 163 HIR, Pasal 263 R.Bg, dan pasal 1685 KUH Perdata yang dapat disimpulkan bahwa siapa yang mendalilkan atau mengemukakan suatu peristiwa atau kejadian, atau juga hak, maka kepadanya dibebankan kewajiban untuk membuktikannya. Asas ini merupakan asas umum dalam hal pembuktian, karena logis dulu dibebankan beban pembuktian dan juga karena penggugat lebih tahu dan lebih berkepentingan mengenai apa yang disengketakan.11

Bahwa berdasarkan pasal 89 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 yang dirubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 3 tahun 2006 yang dirubah lagi (perubahan kedua) dengan Undang-undang Nomor 50 tahun 2009, penggugat dibebani untuk membayar biaya yang timbul akibat perkara ini.

C. Penetapan Hakim

1. Pengertian penetapan

Penetapan disebut al-isbat (Arab) atau beschiking (Belanda), yaitu produk Pengadilan Agama dalam arti bukan peradilan yang sesungguhnya, yang diistilahkan jurisdiction voluntaria. Dikatakan bukan peradilan yang sesungguhnya karena di sana hanya ada pemohon, yang memohon untuk ditetapkan tentang sesuatu, sedangkan ia tidak perkara dengan lawan. Karena penetapan itu muncul sebagai produk Pengadilan atas permohonan pemohon yang tidak berlawan maka diktum penetapan tidak akan pernah berbunyi

11

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama(Jakarta : Kencana, 2005), Cet. 5, h. 234.


(51)

menghukum melainkan hanya bersifat menyatakan (declaratoire) atau menciptakan (constitutoire).12

Menurut Gemala Dewi seperti yang di kutib oleh bukunya Erfaniah Zuhriah, ia mengataan bahwa penetapan ialah pernyatan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh Hakim dalam sidang terbuka bentuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan/voluntair.13

2. Bentuk dan Isi Penetapan

Bentuk dan isi penetapan hampir sama dengan putusan, yang membedakannya adalah sebagai berikut :

a. Hanya mengandung satu pihak yang berperkara.

b. Tidak ada kata “berlawan dengan” seperti pada putusan.

c. Tidak ada kata “tentang duduk perkara” seperti pada putusan, melainkan

langsung diuraikan apa permohonan pemohon.

d. Amarnya hanya berbentukdeclaratoir atau konstitutif. e. Menggunakan kata “menetapkan”.

f. Biaya perkara selalu dibebanan kepada pemohon. g. Tidak adareconventivedan intervensi.

h. Tidak mempunyai kekuatan pembuktian dan kekuatan eksekusi.

12

Roihan A. Rasyid,Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003), Cet. 10, h. 203.

13

Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Di Indonesia Dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut(t.t., : UIN-Malang Press, 2008), h. 278.


(52)

42

3. Kekuatan Hukum Penetapan

Putusan volunter hanya mempunyai kekuatan hukum sepihak, pihak lain tidak dapat dipaksakan untuk mengikuti kebenaran hal-hal yang dideklarasikan dalam putusan volunter, karena itu pula maka putusan volunter tidak mempunyai kekuatan hukum sebagai pembuktian.14

Sesuai dengan Pasal 5 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam memutuskan perkara yang terpenting adalah kesimpulan hukum atas fakta yang terungkap di persidangan untuk itu hakim harus menggali nilai-nilai, mengikuti, dan memahami nilai-nilai (kepastian hukum) dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Hakim menetapkan perkara Nomor 094/Pdt.P/2013/PA.JS : a. Menolak permohonan Pemohon I dan Pemohon II;

b. Membebankan Pemohon I dan Pemohon II untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp. 316.00,- (tiga ratus enam belas ribu rupiah);

Demikianlah ditetapkan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada hari Senin tanggal 24 Juli 2013 M, bertepatan dengan tanggal 15 Syakban 1434 H.

14

Mardani,Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), cet. Pertama, h. 123.


(53)

43

DIKABULKANNYA ITSBAT NIKAH

A. Pandangan Hakim Tentang Penolakan Itsbat Nikah

Pandangan hakim dalam itsbat nikah secara normatif yang dapat di itsbat nikahkan di pengadilan itu, adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian, hilangnya akta nikah, adanya keraguan tetang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan, adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Pada zaman sekarang banyak yang melakukan dispensasi nikah dan minta untuk di itsbatkan pernikahannya, agar dapat di kabulkan harus sesuai dengan rukun dan syarat perkawinan. Dengan demikian itsbat nikah itu macam-macam ada yang di kabulkan, ditolak, dan ada pula yang di sarankan untuk dicabut perkaranya. Solusinya yang di tolak itu nikah baru dan nanti bagaimana status terhadap anaknya itu diajukan saja asal-usul anak. Dari masyarakat kurang mengetahui dari pentingnya akan akta nikah. Padahal dari akta nikah fungsinya banyak sekali untuk pembuatan akta kelahiran anak, sebagai identitas kita jika ingin berpergian.

Kalau syarat dan rukun nikah tidak terpenuhi maka itsbat nikah di tolak sesuai dengan Undang-undang No 1 Tahun 1974, jika tidak terpenuhi bagaimana ingin di itsbatkan nikahnya. Atau yang melanggar Undang-undang


(54)

44

No 1 Tahun 1974 ya di tolaklah itsbat nikahnya. Demikian sebaliknya jika rukun dan syaratnya terpenuhi sesuai dengan undang-undang No 1 Tahun 1974 maka bisa diterima.1

Dalam perkara Nomor 094/Pdt.P/2013/PA.JS alasan Hakim dari di tolaknya itsbat nikah itu saksi yang dihadirkan oleh pemohon tidak mengetahui siapa yang menjadi wali nikah pada saat pernikahan berlangsung, berapa maharnya juga tidak mengetahui, kemudian pada saat nikah tidak di laksanakan rukun dan syarat sesuai dengan hukum Islam. Jadi, saksi yang menjadi alat bukti dalam kasus itsbat nikah ini tidak mengetahui akan adanya saksi, mas kawin, ijab Kabul, dalam perkawinan, hakim mengetahui semua keterangan untuk menguatkan dalil permohonan dari saksi. Jadi, saksi yang di hadirkan di persidangan tidak tau, Hakim memerintahkan kepada para pemohon agar menghadirkan saksi lain di persidangan, tidak bisa (tidak ada lagi saksi lain) maka di tolaklah itsbat nikah para pemohon I dan pemohon II.

Adapun menurut Hakim kriteria dari sumber pengetahuan saksi yang jelas itu, terdapat persyaratan menurut hukum acara perdata. Saksi itu melihat, mendengar, mengalami sendiri. Jadi kalo cuma mendengar kata orang saja itu tidak bisa. Melihat, kejadian/peristiwa itu kapan. Atau mendengar langsung. Mengalami ikut serta pada saat proses akad nikah sehingga mengetahui secara pasti.

1

Wawancara pribadi dengan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan bernama DRS. Sunardi M., S.H., M.H.I pada tanggal 18 Mei 2015.


(55)

Pada Nomor Perkara 094/Pdt.P/2013/PA.JS ini, saksi tidak memenuhi syarat materil sebagaimana ketentuan pasal 171 ayat (1) HIR, pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata.

Pasal 171 ayat (1) HIR : Dalam tiap-tiap penyaksian harus disebut segala sebab pengetahuan saksi.

Pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata : Tiap kesaksian harus disertai keterangan tentang bagaimana saksi mengetahui kesaksiannya itu.

Dalam perkara 094/Pdt.P/2013/PA.JS para pemohon mendalilkan bahwa dia sudah melaksanakan ijab qabul dengan wali hakim, dua orang saksi bernama P. Buang Hartanto dan Haji Muadi. Dalil permohonan harus dikuatkan dengan alat bukti, alat bukti yang memungkinkan menurut Hakim yaitu saksi yang melihat langsung proses pernikahan, kalau pemohon tidak bisa menyaksikan saksi yang melihat dan mendengar langsung, bagaimana majelis Hakim ingin mengabulkan dalil permohonan itsbat nikah para pemohon sudah pastilah di tolak. karna saksi tidak meyakinkan majelis Hakim karena itulah perkaranya di tolak.2

Kemudian menurut hakim bagi masyarakat yang itsbat nikahnya ditolak oleh hakim, maka sisi mudarat dan manfaat itu harus dinilai dari tujuan di syariatkannya agama Islam, hukum itu tegak agar sesuai dengan ajaran agama Islam. Pernikahan adalah sesuatu yang sakral karna nilai sakral itulah maka syahnya suatu pernikahan harus terpenuhi syarat dan rukunnya.

2

Wawancara pribadi dengan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan bernama DRS. Sunardi M., S.H., M.H.I pada tanggal 18 Mei 2015.


(56)

46

Kasus tersebut yang diketahui adalah para pemohon tidak melaksanakan pernikahan sesuai dengan hukum Islam.3

B. Analisis Penulis

Setelah membaca duduk perkara permohonan itsbat nikah nomor perkara 094/Pdt.P/2013/PA.JS tersebut diatas dan mempelajari berkas perkaranya, serta mencermati argumentasi-argumentasi yang diajukan oleh para pemohon I dan pemohon II. Dan pertimbangan Hakim dalam menetapkan perkara tersebut di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Bahwasanya memang benar dalam pasal 14 Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang pernikahan hanya sah menurut hukum apabila dilangsungkan dengan memenuhi syarat dan rukun nikah. Yang berbunyi: 1. Calon suami 2. Calon isteri 3. Wali Nikah 4. Dua orang saksi dan 5. Ijab dan Kabul.

Para pemohon mengajukan itsbat nikah karena memang mereka ingin pernikahanya di catatkan di depan Pegawai Pencatat Nikah di Kantor Urusan Agama (KUA). Pemohon I bernama Wardana bin Warsa Karsidi, umur 53 tahun, Agama Islam, pendidikan SLTA, Perkerjaan Purnawirawan TNI AD, tempat Tinggal jalan melati No.5 RT. 007 RW. 03 Kelurahan Bintaro Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan. Dan pemohon II bernama Retno Widyastuti binti Bambang Wiradi, umur 46 tahun, Agama Islam, Pendidikan SLTA, Pekerjaan Purnawirawan TNI AD, Tempat tinggi jalan Melati No.5

3

Wawancara pribadi dengan hakim Pengadilan Agama Semarang lewat telepon bernama Dra. Hj. Lelita Dewi, SH, M. Hum pada tanggal 20 Agustus 2015.


(57)

RT.007 RW.03 Kelurahan Bintaro Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan. Mereka telah dikaruniai 4 (empat) orang anak yang masing-masing bernama : 1) Jefta Rangga Prasetya

2) Anggi Chandra Priandini 3) Abigail Ivana Kalinda 4) Daniel Nathan Axel

Bahwa pemohon I dan pemohon II mengajukan itsbat nikah sebagai bukti pernikahan mereka dan untuk mengurus tunjangan anak dan keluarga dalam pemenuhan persyaratan pensiun.

Adapun yang menjadi titik tolak yang menyebabkan tidak diterimanya itsbat nikah para pemohon menurut majelis Hakim yakni karena persaksian di persidangan dianggap tidak memenuhi syarat materil dalam hukum perdata.

Majelis hakim menetapkan itsbat nikah tidak dapat diterima dengan alasan saksi di persidangan yang menjadi alat bukti tidak memenuhi syarat materil sebagaimana ketentuan pasal 171 ayat (1) HIR, pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi diketahui sebab-sebab ia mengetahui peristiwanya, dan tiap kesaksian harus disertai keterangan tentang bagaimana saksi mengetahui kesaksiannya itu. Oleh karenanya menurut Hakim keterangan tidak dapat mendukung bukti lainnya untuk mendukung kebenaran dalil permohonan para pemohon.


(58)

48

Membuktikan sesuatu dengan alat bukti yang sah, dan tidak boleh dengan setiap alat. Menurut pasal 164 HIR dan Pasal 1866 B.W. ada lima macam alat bukti berupa:4

1. Bukti dengan tulisan/surat; 2. Bukti dengan saksi;

3. Bukti persangkaan; 4. Bukti Pengakuan; 5. Bukti sumpah;

Bahwa alat bukti surat memiliki kedudukan yang paling tinggi di bandingkan dengan alat bukti saksi dalam hal pembuktian di persidangan. Bukti dengan surat dianggap paling utama dalam perkara perdata, karena peranan surat atau tulisan amat penting, surat-surat sengaja dibuat dengan maksud untuk membuktikan peristiwa apabila dikemudian hari terjadi.5

Hakimpun seharusnya lebih analisis dan cermat dalam mempertimbangkan dalil-dalil untuk memutuskan suatu perkara, dalam perkara ini hakim bisa melihat dan mengutamakan alat bukti surat terlebih dahulu dari pada alat bukti saksi. Dan setelah mengkaji putusan tersebut penulis melihat alat bukti surat yang diajukan di persidangan yang diberi tanda P.1 sampai P.7 sebagai berikut :

1. Fotokopi KTP Pemohon I dan Pemohon II (P.1) ;

4

Bambang Sugeng dan Sujayadi, Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi Perkara Perdata( Jakarta : Kencana, 2011), Cet. Pertama, h. 65.

5

Gatot Supramono, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama (Bandung : Penerbit alumni, 1993), Ed. Pertama, cet. Pertama, h. 22.


(59)

2. Fotokopi Kartu Keluarga yang dikeluarkan oleh kelurahan Bintaro Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan Nomor 3174101601094428 (P.2) ;

3. Fotokopi kutipan akta kelahiran No 02026/1999 dari Kepala Kantor Catatan Sipil Kota madya Dati II Bekasi atas nama Jefta Rangga Prasetya (P.3)

4. Fotokopi kutipan akta kelahiran No 02027/1999 dari Kepala Kantor Catatan Sipil Kota Madya Dati II Bekasi atas nama Anggi Chandra Priandini (bukti P.4);

5. Fotokopi Kutipan akta kelahiran No 474.1/6192-DKCS/2002 Dari Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tangerang atas nama Abigail Ivana Kalinda (bukti P.5) ;

6. Fotokopi Kutipan akta kelahiran No 6863/U/JS/2004 dari Kepala Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Madya Jakarta Selatan atas nama Daniel Nathan Axel (bukti P.6) ;

7. Fotokopi surat keterangan dari Kepala Kementrian Agama KUA Kec. Pesanggrahan Jakarta Selatan (bukti P.7)

Fotokopi tersebut telah dicocokan dan ternyata sesuai dengan aslinya dan telah bermaterai cukup.

Dalam kutipan surat Nomor 7 sudah jelas terdapat fotokopi surat keterangan Kepala Kementrian Agama KUA, kec. Pesanggrahan Jakarta Selatan. Yang menyatakan bahwa sudah terbukti bahwa pemohon I dan pemohon II sudah menikah.


(60)

50

Majelis hakim seharusnya tidak hanya melihat saksi di persidangan sebagai acuan titik tolak penolakan itsbat nikah, tetapi lihat juga alat bukti surat lainnya sebagai alat bukti utama dalam persidangan.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 7 menyatakan dan menetapkan sebagai berikut:

1. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.

2. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

3. Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :

a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian b) Hilangnya akta nikah

c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan

d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang No. 1 Tahun 1974, dan

e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki halangan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974.

4. Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah pihak suami istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.


(61)

Majelis Hakim bisa melihat KHI pasal 7 yang mana itsbat nikah dapat diterima dengan ketentuan-ketentuan berikut. Pada KHI Pasal 7 ayat (3) huruf c, yang berbunyi: Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan. Dengan mencermati putusan Nomor 094/Pdt.p/2013/PA.JS para pemohon mendalilkan bahwa P. Buang Hartanto sebagai saksi di pernikahan mereka, dan juga menjadi saksi di persidangan. P. Buang Hartanto mendalilkan bahwa kehadirannya hanya sekedar menyaksikan karna ada kegiatan memasak pada saat itu. Jadi menurut penulis didalam ini adanya keraguan tentang sah atau tidaknya suatu syarat perkawinan. Sehingga seharusnya permohonan itsbat nikah bisa dikabulkan.

Demikian juga pada KHI Pasal 7 ayat (3) huruf e, perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki halangan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974, pada perkawinan pemohon I dan pemohon II tidak adanya larangan kawin seperti keturunan nasab, sehingga seharusnya menurut penulis bisa diterima itsbat nikah dengan melihat KHI Pasal 7 ayat (3) huruf e.

Menurut penulis rukun dan syarat perkawinan para pemohon sudah terpenuhi sesuai dengan KHI Pasal 14. Serta dikuatkan dengan bukti surat yang dikeluarkan Kepala Kementrian Agama KUA, kec. Pesanggrahan Jakarta Selatan. Yang menyatakan bahwa sudah terbukti bahwa pemohon I dan pemohon II sudah menikah. Pernikahan di laksanakan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN), dengan wali hakim, dua orang saksi bernama P. buang Hartanto dan Haji Muadi. Dengan ini maka sudah sesuai rukun dan


(62)

52

syarat dalam perkawinan. Hanya saja para pemohon salah mengambil saksi dalam persidangan untuk membuktikan dalil permohonannya.

Pernikahan di bawah tangan tidak dikabulkan itsbat nikah di Pengadilan Agama akan menimbulkan dampak negatif. jika pernikahan di catatkan maka akan mempunyai kekuatan hukum tetap di kemudian hari. Para pasangan suami istri mempunyai bukti otentik untuk dalam melakukan proses administrasi dalam hal apapun.

Ketika dalam permohonan itsbat nikah terdapat penolakan dan penerimaan, maka dilihat dari segi mudaratnya, sesuai dengan qawaid fiqhiyah 6 ( diambil mudharat yang lebih ringan di antara dua mudarat) antara dua mudarat menolak dan mengabulkan permohonan itsbat nikah menurut penulis lebih banyakmudarat ketika itsbat nikah ditolak karna pasangan suami isteri tidak mepunyai kepastian hukum tetap di masyarakat, dan tidak dapat dilindungi oleh hukum khususnya pada perempuan dan anak. Dikuatirkan juga dia akan melakukan perzinahan dan akan melakukan perbuatan diluar hukum Islam, sedangkan mudarat ketika diterima itsbat nikah itu tidak adamudaratmelainkan terdapat maslahat yg di ambil untuk pasangan suami isteri karena memiliki salinan akta nikah. Kenapa penulis membolehkan (menerima) karena melihat dari kaidah

fiqhiyah د (menolak kerusakan lebih diutamakan

daripada menarik kemaslahatan). Melihat kemaslahatanya lebih baik mengambil kemudharatan, lebih menghindari kemudharatan daripada

6

Nashir farid Muhammad washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam,Qawaid Fiqhiyyah(Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 20.


(63)

mengambil kemaslahatan, menolak adalah perbuatan yang baik tapi kita harus menghindari kerusakan ketika ditolak itu, karena akan ada kerusakan-kerusakan ketika ditolak, maka lebih baik menurut penulis itsbat nikah itu diterima dengan alasan untuk kemaslahatan masyarakat.

Demi kemaslahatan masyarakat, guna mempunyai kepastian hukum para pasangan suami-isteri terutama bagi masa depan keempat anak-anak para pihak untuk mengurus tunjangan pensiun dan masa depan anak. Dan untuk masalah asal usul anak, bisa mengajukan permohonan penetapan asal usul anak ke Pengadilan Agama. penetapan atau putusan Pengadilan Agama menjadi dasar bagi kantor Catatan Sipil.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)