PELAKSANAAN ITSBAT NIKAH TERHADAP ORANG

PELAKSANAAN ITSBAT NIKAH TERHADAP
ORANG YANG SUDAH MENINGGAL DUNIA
DI PENGADILAN AGAMA WATES TAHUN 2011
Syafii Ma arif
Juru Sita Pengganti Pengadilan Agama Wates
Istifianah
Dosen Fakultas Agama Islam UCY
Abstract
This study is limited in the case of confirmation of marriage marriages
taking place before the enactment of Law no. 1 of 1974. Case Number :
0089/Pdt.P/2011/PA.Wt. is unique because the applicant does not have
the required clear evidence in the trial. He did not know clearly and exactly
when their parents get married (only estimated to be about 1936 years
old), the applicant also did not know who the guardian illegitimate as well
as what and how much dowry. Petitioner also know the two witnesses in
the marriage of his parents , but two witnesses had died. Uniqueness that
underlie why this study should be followed up. This study prioritized the
identification of the legal basis used in deciding cases judges itsbat
wedlock. Research conducted is included descriptive qualitative research
as its main ingredients are decisions of courts and judges relating to the
legalization of marriage occurs in the Religious yan Wates . Source of data

collected by documentation, observation and in-depth interviews with
actors (judges) associated with the case. The data is then analyzed by
juridical benchmarks studied with statutory regulations in force. In this
context governing the examination of case confirmation of marriage, in the
form of laws, regulations and the Compilation of Islamic Law (KHI).
Consideration of the judge in making a decision on this case marriage isbat
determined also in the presence of witnesses pernikahaan. But when all
the witnesses who watched the wedding live is not there (all deceased)
then the judge can ask for information about the husband and wife or close
relatives who have died are about whether or not the couple never married.
With the information provided by the community then the judge can use it
as a reference in order to make decisions . This is where the confirmation
of the importance of marriage as a solution in case of negligence in the
fulfillment of the three elements surrounding the marriage of positive law.
Kata kunci : Itsbat nikah, pelaksanaan, orang yang sudah meninggal
dunia, Pengadilan Agama
A.Pendahuluan
Di dalam KHI Pasal 7 ayat (2) di sebutkan bahwa isbat nikah dapat
diajukan dengan syarat: a). Adanya perceraian dalam rangka penyelesaian
perceraian; b) Hilangnya akta Nikah; c) Adanya keraguan tentang sah

tidaknya salah satu syarat perkawinan; d) Adanya perkawinan yang terjadi
sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974; e) Perkawinan yang dilakukan

Sya fii M a ’a rif da n I st ifia na h

oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU
No. 1 Tahun 1974 .1
Penelitian ini dibatasi pada perkara isbat nikah perkawinan yang
terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974. Perkara Nomor :
0089/Pdt.P/2011/PA.Wt. memiliki keunikan karena pemohon2 tidak
memiliki bukti secara jelas yang dipersyaratkan dalam persidangan. Ia
tidak mengetahui secara jelas dan pasti kapan orang tuanya menikah
(hanya diperkirakan sekitar tahun 1936), pemohon juga tidak tahu siapa
wali nikahnya serta apa dan berapa besar maharnya. Pemohon juga
mengetahui kedua saksi dalam pernikahan orang tuanya tersebut, namun
kedua saksi itu telah meninggal dunia. Permohonan istbat nikah
tersebut diterima oleh Pengadilan Agama Wates, dan setelah menjalani
beberapa tahapan persidangan, akhirnya majlis hakim mengesahkan
perkawinan tersebut dan memerintahkan kepada Pemohon untuk
mencatatkan pengesahan perkawinan tersebut ke Kantor Urusan Agama

kecamatan Pengasih Kabupaten Kulon Progo. Keunikan itu melatari
mengapa penelitian ini perlu ditindaklanjuti. Penelitian ini
mengutamakan identifikasi dasar hukum yang dipakai hakim dalam
memutuskan perkara itsbat nikah tersebut.
B. Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah termasuk penelitian deskriptif
kualitatif karena bahan-bahan utamanya adalah putusan peradilan dan
hakim yang berkaitan dengan pengesahan nikah yan terjadi di Pengadilan
Agama Wates. Sumber data diambil dengan cara dokumentasi, observasi
dan wawancara mendalam dengan pelaku (hakim) yang berkaitan dengan
perkara. Data kemudian dianalisis secara yuridis yaitu yang dikaji dengan
tolok ukur tata aturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam konteks
ini yang mengatur pemeriksaan terhadap perkara Itsbat nikah, yakni
berupa undang-undang, peraturan-peraturan maupun Kompilasi Hukum
Islam.
Penulisan diawali dengan gambaran tentang perkara isbat nikah
yang dilanjutkan dengan prosedur sidang itsbat nikah di Pengadilan
Agama Wates yang terjadi pada tahun 2011. Uraian selanjutnya adalah
analisis pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara terutama delam
mengatasi persoalan pembuktian pernikahan. Deskripsi peneltian ditutup

dengan kesimpulan dan ketrbatasn penelitian.
C. Itsbat Nikah
1. Pengertian Itsbat Nikah
Isbat nikah berasal dari dua kata, yaitu isbat dan nikah. Isbat dan
nikah berasal dari bahasa arab. Dari segi bahasa, isbat berasal dari kata
36

J urna l U lumuddin Volume 3 , N om or 2 , J uni 2 0 1 3

Pe la k sa na a n I tsba t N ik a h T e rha da p Ora ng Y a ng Suda h M e ningga l Dunia

sabata (fi il madi yang berarti menetapkan), yusbitu (fi il mudari yang
berarti sedang menetapkan, mengekalkan dan mengukuhkan). lalu
Isbaata bentuk (isim atau masdar yang berarti penetapan, pengekalan dan
pengukuhan). 3
Menurut Mukti Arto, itsbat nikah adalah penetapan sah secara
hukum melalui putusan pengadilan agama terhadap pernikahan yang
semula hanya sah menurut hukum materiil, tidak mempunyai surat nikah
atau diragukan keabsahannya karena sesuatu hal atau karena masuk Islam
agar mempunyai Akta Nikah sehingga memperoleh kekuatan dan

kepastian hukum.4 Sebenarnya itsbat nikah hanyalah merupakan suatu
proses atau prosedur pengganti buku nikah
2. Dasar Hukum Itsbat Nikah
Isbat nikah memang tidak diatur secara rinci dalam amandemen
UU NO. 1 Tahun 1974, akan tetapi adanya ketentuan Pasal 64 yang
menyatakan bahwa untuk perkawinan dan segala sesuatu yang terjadi
sebelum undang-undang ini berlaku dijalankan menurut peraturan lama
adalah sah. Ketentuan ini secara implisit menyiratkan keberadaan itsbat
nikah, jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang
No. 1 tahun 1974 tentang pencatatan perkawinan sebagai langkah untuk
memperoleh akta nikah.
Dengan adanya UU No. 7 Tahun 1989, maka semakin menguatkan
eksistensi UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam Pasal 49 ayat
(2) UU No. 7 Tahun 1989 dinyatakan bahwa: Bidang-bidang perkawinan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a ialah hal-hal yang
diatur di dalamnya atau berdasarkan undang-undang mengenai
perkawinan yang berlaku .
Sebenarnya keberadaan itsbat nikah ini menurut UU No. 1 Tahun
1974 dan UU No. 3 Tahun 2006 adalah terbatas yaitu dalam hal
perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974,

sedangkan itsbat nikah yang disebabkan oleh alasan-alasan lain atas
pernikahan yang terjadi setalah tahun 1974 tidak dapat diajukan itsbat
nikahnya.
Itsbat nikah juga dalam Kompilasi Hukum Islam, hal ini tampak
dalam Pasal 7 ayat (2) bahwa: Dalam hal perkawinan tidak dapat
dibktikan dengan Akta Nikah dapat dijadikan isbat nikah yang dapat
diajukan ke Pengadilan Agama . Dalam Pasal 7 ayat (3) di tentukan bahwa
isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama sebagai berikut:
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.
b. Hilangnya akta nikah.
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satunya salah satu
syarat perkawinan.

J urna l U lumuddin Volume 3 , N om or 2 , J uni 2 0 1 3

37

Sya fii M a ’a rif da n I st ifia na h

d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang

No. 1 Tahun 1974
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Thaun 1974;
Dengan melihat uraian Pasal 7 KHI ayat (2) dan (3), berarti bahwa
Kopilasi Hukum Islam telah memberikan penguatan terhadap UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama. Namun menurut penyusun lebih sepakat
bahwa produk KHI yang mengatur tentang hal-hal yang dapat diajukan
itsbat nikahnya diterima dan dapat dijadikan pertimbangan para penegak
hukum untuk memutuskan perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama.
Karena sesungguhnya tidak dapat dipungkiri bahwa KHI di satu sisi
sangat membantu hakim Pengadilan Agama dalam menjalankan tugasnya
sebagai praktisi hukum. Sebab, beberapa masalah hukum yang erat
kaitannya dengan tugas sehari-hari yang tidak begitu terang penjelasanya
baik dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 maupun dalam UU No. 7
Tahun 1989, secara terperinci termuat dalam KHI.
3. Itsbat Nikah Di Pengadilan Agama Wates
Apabila suatu urusan di dalamnya terdapat suatu kemaslahatan
bagi pemohon (masyarakat umum), maka penguasa dalam hal ini Majelis
Hakim berkewajiban untuk mewujudkan kemaslahatn (kebaikan)

tersebut. Hal ini senada dengan qaidah fiqhiyah yang berbunyi:

.‫ﺗ ﺼ ﺮ ف ا ﻵ ﻣ ﺎ م ﻋ ﻠ ﻰ اﻟﺮﻋﯿﺔ ﻣ ﻨ ﻮ ط ﺑ ﺎ ﻟ ﻤ ﺼ ﻠ ﺤ ﺔ‬

Penetapan perkara itsbat nikah di Pengadilan Agama Wates
dilatar belakangi oleh berbagai macam alasan yang diajukan oleh masingmasing pemohon, baik secara contentius maupun secara voluntair. Itsbat
nikah yang diajukan secara contensius yakni itsbat nikah yang diajukan
oleh salah satu pihak (suami atau istri), ataupun itsbat nikah yang
diajukan oleh anak keturunannya atau ahli warisnya, yang menurut
pandangan hakim dimungkinkan akan timbul persengketaan dari pihak
lain. Adapun itsbat nikah secara voluntair adalah itsbat nikah yang
diajukan oleh sepasang suami istri yang telah menikah di masa lalu,
namun tidak memiliki buku nikah ataupun duplikat akta nikah, atau juga
pernikahannya tidak tercatat di KUA dikarenakan pernikahan tersebut
sudah sangat lama sekali (telah lampau), sebelum adanya UU No.1 tahun
1974.
Sedangkan alasan diajukannya itsbat nikah di Pengadilan Agama
Wates antara lain :
- Mengurus Pensiun
- Mengurus Pengangkatan anak

- Mengurus Waris
- Mengurus Paspor Haji ..dll.
38

J urna l U lumuddin Volume 3 , N om or 2 , J uni 2 0 1 3

Pe la k sa na a n I tsba t N ik a h T e rha da p Ora ng Y a ng Suda h M e ningga l Dunia

D. Penetapan Pengadilan Agama Wates dalam perkara Itsbat
Nikah
Dalam menangani suatu perkara permohonan isbat nikah, majlis
hakim di Pengadilan Agama Wates tetap berpegang pada sumber hukum
formil, baik itu Undang-undang, peraturan pemerintah maupun instruksi
presiden. Juga menggunakan hukum materiil yang bersumber dari dalildalil syar i maupun kitab-kitab fiqh dan qaidah ushuliyyah.
Apabila suatu urusan di dalamnya terdapat suatu kemaslahatan
bagi pemohon (masyarakat umum), maka penguasa dalam hal ini Majelis
Hakim berkewajiban untuk mewujudkan kemaslahatn (kebaikan)
tersebut. Hal ini senada dengan qaidah fiqhiyah yang berbunyi: 5

.‫ﺗ ﺼ ﺮ ف ا ﻵ ﻣ ﺎ م ﻋ ﻠ ﻰ اﻟﺮﻋﯿﺔ ﻣ ﻨ ﻮ ط ﺑ ﺎ ﻟ ﻤ ﺼ ﻠ ﺤ ﺔ‬


Penetapan perkara itsbat nikah di Pengadilan Agama Wates,
dilatar belakangi oleh berbagai macam alasan yang diajukan oleh masingmasing pemohon, baik secara contentius maupun secara voluntair. Itsbat
nikah yang diajukan secara contensius yakni itsbat nikah yang diajukan
oleh salah satu pihak (suami atau istri), ataupun itsbat nikah yang
diajukan oleh anak keturunannya atau ahli warisnya, yang menurut
pandangan hakim dimungkinkan akan timbul persengketaan dari pihak
lain. Adapun itsbat nikah secara voluntair adalah itsbat nikah yang
diajukan oleh sepasang suami istri yang telah menikah di masa lalu,
namun tidak memiliki buku nikah ataupun duplikat akta nikah, atau juga
pernikahannya tidak tercatat di KUA dikarenakan pernikahan tersebut
sudah sangat lama sekali (telah lampau), sebelum adanya UU No.1 tahun
1974. Alasan diajukannya itsbat nikah di Pengadilan Agama Wates pun
beragam. Beberapa alasan yang muncul di Pengadilan Agama Wates.
antara lain : pengurusan pensiun, pengangkatan anak, pewarisan,
persyaratan paspor haji atau alasan lain yang bisa diterima.6
E. PERTIMBANGAN HAKIM
Pemohon juga menyebutkan bahwasannya Pemohon
tidak
mengetahui secara jelas dan pasti kapan orang tuanya menikah (hanya

diperkirakan sekitar tahun 1936). Pemohon juga tidak tahu siapa wali
nikahnya serta apa dan berapa besar maharnya. Tetapi Pemohon
mengetahui kedua saksi dalam pernikahan orang tuanya tersebut, yakni
Pawiro Wiyono dan Kasan Atmo, namun kedua saksi itu telah meninggal
dunia.
Permohonan istbat nikah tersebut diterima oleh Pengadilan
Agama Wates, dan setelah menjalani beberapa tahapan persidangan,
akhirnya majlis hakim mengesahkan perkawinan antara orang tua
pemohon dan memerintahkan kepada Pemohon untuk mencatatkan

J urna l U lumuddin Volume 3 , N om or 2 , J uni 2 0 1 3

39

Sya fii M a ’a rif da n I st ifia na h

pengesahan perkawinan tersebut ke Kantor Urusan Agama kecamatan
Pengasih Kabupaten Kulon Progo.
Di dalam dunia pengadilan, sebenarnya hanya ada satu hal pokok
yang dicari para justiabalance (pencari keadilan) yaitu Putusan Hakim,
adapun produk hakim dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada
2 yaitu berupa putusan dan berupa penetapan. 7 Untuk mendapatkan
putusan atau penetapan dari hakim Pengadilan Agama diperlukan
beberapa prosedur dan tentunya harus melalui berbagai macam proses hal
ini dikarenakan dalam penyelesaian perkara seorang hakim harus
mengkaji terlebih dahulu berbagai macam bahan-bahan atau referensireferensi terutama yang terkait dengan perkara yang sedang dihadapi.8
Seorang hakim tentunya dalam mengambil sebuah keputusan
memiliki dasar hukum yang akan digunnakan, begitu juga dengan perkara
itsbat nikah bagi orang yang meninggal dunia. Ketika penyusun bertanya
kepada salah seorang hakim Pengadilan Agama Wates Drs. Barwanto, SH.,
apa dasar hukum yang dipakai hakim dalam memutuskan perkara isbat
nikah?
Beliau menjelaskan, Tidak ada dasar hukum khusus yang
digunakan dalam proses itsbat nikah pada orang yang meninggal,
prosesnya sama saja seperti pada perkara-perkara yang lain, seperti itsbat
nikah pada dua orang yang masih hidup, perceraian, perubahan identitas
dan lain-lainnya, mungkin bedanya hanya pada persyaratan isi berkas,
kalau metodenya sama saja.
Dalam menentukan penetapan hukum hakim biasanya merujuk
pada sumber hukum formil yang berupa Undang-Undang dan sumber
hukum materil berupa dalil-dalil syar i, maka itu tiap-tiap putusan
ataupun penetapan harus terdapat dalil syar inya Pernyataan yang sama
dikemukakan oleh Drs. Akhbarudin,MSI., beliau mengatakan bahwa:
Dasar hukum yang digunakan dalam masalah itsbat nikah baik
pada orang yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal
dunia itu sama saja, tidak ada metode khusus yang harus
dilakukan.
Dari hasil wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa dasar
hukum yang digunakan oleh hakim dalam menangani perkara itsbat nikah
pada orang yang telah meninggal dunia tidak ada pengkhususan, dasar
hukum yang dipakai dalam menangani perkara-perkara itsbat nikah
adalah pasal-pasal yang terkait dengan is|bat nikah, baik yang termuat di
dalam UU No.1 Th.1974, UU No.7 Th.1989, KHI serta kitab-kitab Fiqh.
Dari wawancara di atas juga dipaparkan bahwa untuk
melaksanakan tugas pokok Peradilan Agama yaitu menerima, memeriksa,
mengadili dan menyelesaikan setiap perkara serta menegakkan hukum
dan keadilan, maka Peradilan Agama membutuhkan sumber hukum yang
dijadikan pedoman (patokan) dalam memutuskan perkara yang diajukan
40

J urna l U lumuddin Volume 3 , N om or 2 , J uni 2 0 1 3

Pe la k sa na a n I tsba t N ik a h T e rha da p Ora ng Y a ng Suda h M e ningga l Dunia

kepadanya, baik itu berupa sumber hukum materiil maupun sumber
hukum formil, sehingga dalam memutuskan atau menyelesaikan suatu
perkara tersebut mempunyai kekuatan hukum yang kuat baik secara
hukum positif dan syari at Islam.
Di pengadilan, termasuk juga Pengadilan Agama (PA), secara garis
besar terdapat dua klasifikasi sumber hukum yang digunakan sebagai
rujukan oleh hakim dalam menyelesaikan suatu perkara yaitu sumber
hukum materil dan sumber hukum formil (hukum acara).9 Hukum materil
Peradilan Agama adalah hukum Islam yang kemudian sering didefinisikan
sebagai fiqh yang pastinya sangat rentan dengan perbedaan pendapat.
Hukum materil Peradilan Agama pada masa lalu bukanlah hukum tertulis
(hukum positif) melainkan masih tersebar dalam berbagai kitab fiqh karya
ulama, karena tiap ulama fuqoha penyusun kitab-kitab fiqh tersebut
berlatar belakang sosiokultural yang berbeda sehingga sering
menimbulkan perbedaan ketentuan hukum tentang masalah yang sama,
guna mengeliminasi perbedaan tersebut dan menjamin kepastian hukum
maka hokum materil tersebut dijadikan hukum positif yang tertulis dalam
peraturan perundang-undangan.
Adapun hukum materiil yang digunakan di dalam Peradilan Agama
adalah :
1. UU No. 1 Tahun 1974; tentang Peradilan Agama
2. PP No. 9 Tahun 1975; tentang Pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974
3. PP No. 28 Tahun 1977; tentang Perwakafan
4. Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)
5. Undang-undang no. 3 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman /
Mahkamah Agung
6. Undang-undang no. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama;
7. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, Tentang Perubahan kedua atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Sedangkan sumber hukum formil yang berlaku di Peradilan
Agama adalah sama dengan yang berlaku pada lingkungan peradilan
umum, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam UU No. 7
Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. 10
Adapun sumber hukum acara yang berlaku di lingkungan
Peradilan Umum diberlakukan pula untuk lingkungan peradilan Agama,
hukum formil yang dipakai adalah :
1. Bugerlijke Wetbook voon Indonesie (B.W);
2. Hindische Inlandsh Reglement (H.I.R);
3. Rechtsreglement voor de Buitengewesten (R.Bg);
4. Wetboek van Koophandel (WvK);
5. Peraturan Perundang-undangan;

J urna l U lumuddin Volume 3 , N om or 2 , J uni 2 0 1 3

41

Sya fii M a ’a rif da n I st ifia na h

6. Yurisprudensi;
7. Surat Edaran Mahkamah Agung RI;
8. Ilmu Pengetahuan
Dalam memutus atau menetapkan suatu perkara, sesuai hasil
wawancara dengan hakim di Pengadilan Agama Wates, bahwa dalam
setiap mengeluarkan produk hukum baik berupa penetapan ataupun
putusan hakim harus mencantumkan dalil syar i yang berkaitan dengan
permasalahan yang sedang ditangani, hal ini sesuai dengan bunyi kaedah
fiqih yang berbunyi :
11
‫ا ﻟ ﻤ ﺜ ﺒ ﺖ ا ﻟ ﺤ ﻜ ﻢ ﯾﺤﺘﺎج ا ﻟ ﻰ ا ﻗ ﺎ ﻣ ﺔ اﻟﺪﻟﯿﻞ ﻋﻠﯿﮫ‬
Oleh karena itu di dalam tiap-tiap putusan ataupun penetapan
yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama harus mencantum dalil-dalil
syar i yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang ditangani.
Walaupun hakim melakukan ijtihad sendiri dalam mengambil sebuah
keputusan atas suatu perkara tentunya hakim tersebut akan merujuk pada
hukum materiil yang menyangkut pada masalah tersebut. Prinsip itu tetpa
berlaku meski rujukan itu dilakukan secara tidak langsung.
Hakim dalam memutus suatu perkara, perlu juga didukung oleh
adanya saksi-saksi maupun bukti-bukti. penyusun Kemudian menanyakan
perihal saksi yang diajukan oleh pemohon itsbat nikah : Bukankah saksi
pernikahan yang sebenarnya telah meninggal dunia, sedangkan yang hadir
di persidangan bukan saksi pernikahan yang sebenarnya, tapi kenapa
bapak berani mengambil keterangan dari saksi tersebut?
Bapak Drs. Barwanto menjelaskan : Itulah yang dinamakan saksi
istifadah. Saksi yang tidak melihat langsung terjadinya perkawinan
namun hanya mendengar dari cerita-cerita orang dan masyarakat
setempat (testonium de auditum) Drs. Akhbarudin, MSI., juga
menambahkan: Di buku Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di
Indonesia, susunan H.M. Djamil Latief, SH., halaman 149 disebutkan
bahwa didalam kitab i anantut-thaalibiin juz IV halaman 300 menyatakan
bahwa saksi istifadhah dalam perkawinan itu dibolehkan. Maka atas dasar
itulah kami berani memutus perkara isbat nikah meskipun saksi dalam
perkawinan sebenarnya telah meninggal dunia.
F. Penutup
Seseorang boleh mengajukan perkara permohonan isbat nikah
pada orang yang sudah meninggal dunia ke Pengadilan Agama Wates,
dengan syarat si pemohon dapat memenuhi syarat-syarat yang ditentukan
oleh Pengadilan Agama tersebut. Dasar hukum yang digunakan oleh
hakim dalam memutuskan perkara isbat nikah pada orang yang sudah
meninggal dunia tidak berbeda dengan perkara-perkara yang lain.
Keputusan yang di ambil harus memiliki pertimbangan yang matang baik
42

J urna l U lumuddin Volume 3 , N om or 2 , J uni 2 0 1 3

Pe la k sa na a n I tsba t N ik a h T e rha da p Ora ng Y a ng Suda h M e ningga l Dunia

berdasarkan Undang-undang maupun kemaslahatan bagi pihak yang
mengajukan perkara, juga berdampak positif bagi masyarakat sekitarnya.
Pertimbangan hakim dalam perkara ini merujuk pada Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 Pasal 2, Kompilasi Huklum Islam Pasal 7, Kitab-Kitab
Fiqh serta qaidah usuliyah. Dari sinilah arti pentingnya isbat nikah
sebagai sebuah solusi apabila terjadi kelalaian dalam pemenuhan ketiga
unsur dalam hukum positif seputar perkawinan tersebut. Hakim
Pengadilan Agama Wates tersebut, pertimbangan majelis hakim dalam
perkara itsbat nikah di Pengadilan Agama Wates sudah sangat berhati-hati
dan berpegang pada hukum formil dan hukum materiil. Pertimbangan itu
ternyata juga masih meberikan peluang ijtihad hakim dalam memutus
suatu perkara itsbat nikah yang terjadi pada masa lampau.
Pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan pada perkara
isbat nikah ini ditentukan pula dengan adanya saksi pernikahaan. Namun
bila semua saksi yang menyaksikan pernikahan secara langsung sudah
tidak ada (sudah meninggal dunia semua) maka hakim bisa meminta
keterangan masyarakat sekitar atau keluarga dekat suami istri yang sudah
meninggal tersebut mengenai benar tidaknya suami istri tersebut pernah
melangsungkan pernikahan. Dengan informasi yang telah diberikan oleh
masyarakat tersebut maka hakim dapat memakainya sebagai salah satu
acuan guna mengambil keputusan. Dengan demikian pertimbangan
kemaslahatan dan jangan sampai berlarut-larut tanpa kepastian hukum.
Karena tidak adanya akta nikah itulah isbat nikah sangat diperlukan. Hal
ini sesuai dengan qaidah fiqhiyah yang berbunyi:
12
.‫ا ﻟ ﻀ ﺮ ﯾﺰال‬
Ada beberapa Syarat maslahah agar dapat dipakai sebaga hujjah
dalam Isbat Nikah sebagai berikut:
1. Kemaslahatan yang hakiki, dan bukan kemaslahatan yang bersifat
dugaan semata.
2. Kemaslahatan tersebut adalah kemaslahatan umum, dan bukan
kemaslahatan pribadi atau golongan.
3. Pembentukan hukum dengan mengambil kemaslahatan ini tidak
berlawanan dengan nash dan ijma .
Catatan Akhir

1 Instruksi Presiden RI INPRES No.1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam, Pasal 7 ayat (3)
2 Nama pemohon sengaja tidak disebut hingga pembahasan selanjutnya
3
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Unit
Pengadaan Buku Ilmiah Keagamaan “al-Munawwir”, 1984), h. 156-157.
4
Mukti Arto, “Ketentuan dan Kdudukan Hukun Is|bat Nika>
h di Pengadilan Agama”,
Masalah disampaikan pada orientasi Pegawai Pencatat Nikah, diselenggarakan oleh Kantor
Wilayah Departemen Agama Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta di PA Yogyakarta,
(Yogyakarta: 31 Januari 2002), h. 2.

J urna l U lumuddin Volume 3 , N om or 2 , J uni 2 0 1 3

43

Sya fii M a ’a rif da n I st ifia na h

60.

5

Asjmuni A. Rahman, Qa idah-Qa idah Fikih, (Jakarta, Bulan bintang, 1976), h.

wawancara dengan Drs. Barwanto, SH. Hakim ketua Majlis C.2 PA Wates
dan Drs. Eddy Purwanto, Panitera Muda Hukum PA Wates). 29 Agustus 2012.
7 menjawab : M. Yahya Harahap,
Kedudukan Kewenangan Dan Acara
Peradilan Agama , (Jakarta : SinarGrafika, Cet. 4, 2007), hal.30.
8 Wawancara dengan Hakim, Drs. Barwanto, SH.
9 Basiq Djalil, Peradian Agama di Indonesia , (Jakarta : Kencana, 2006), 147)
10 Ibid, Basiq Djalil, Peradian Agama di Indonesia , (Jakarta : Kencana, 2006),
11 I aanattuthalibin, Juz IV., h. 300.
12 Asjmuni A. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh, (Jakaarta: Bulan Bintang 1976), h.
85.
6

DAFTAR PUSTAKA
Abidin. Slamet Aminuddin, Fikih Munakahat. Jakarta: Pustaka Setia,
1990.

al

As ari, Al-Hafiz ibnu Hajar. Bulug al-Maram Jam un Adillatul
Ahkam. Arab Saudi: Maktabah Dar al-Ahya al-Kutub alArabiyah,1982

Anshori, A. Ghofur dan Zulkarnain Harahap. Hukum Islam Dinamika dan
Perkembangannya di Indonesia, Yogyakarta: Kreasi Total Media,
2001
Arifin. Bustanul, Perkembangan Hukum Islam di Indonesia dan sejarah
Hambatan dan Pengadaanya, Cet-1. Jakarta: Gema Insani Press,
1996

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek.
Cet. XII. Jakarta: Rineka Cipta, 2002

Asnawi, Mohammad. Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan
Yogyakarta: Darussalam, 2004.

Ayyub, Syaikh Hasan. Fikih Keluarga. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001.

Departemen Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahnya, Jakarta: Yogyakarta
penyelenggara peterjemah Al-Qur an. 1983.

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam,Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia, Jakarta: Depag RI., 2001
Djalil, Basiq. Peradian Agama di Indonesia. Jakarta : Kencana, 2006

Hanan, Damsyi Permasalahan Isbad Nikah (Kajian Pasal 2 Undangundang No. 1 Tahun 1974 dan pasal 7 KHI) , Mimbar Hukum, No. 3
Tahun VIII Maret-April, 1997

Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan
Agama, Cet. 4. Jakarta : Sinar Grafika, 2007

Hasan, M. Ali. Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, Cet; Ke
II. Jakarta: Sirajan, 2006
Hassan, A. Tarjamah Bulughul Maram. Bandung : CV.Diponegoro, 1992

Inpres No. 1 Tahun 1991, tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), 1991
44

J urna l U lumuddin Volume 3 , N om or 2 , J uni 2 0 1 3

Pe la k sa na a n I tsba t N ik a h T e rha da p Ora ng Y a ng Suda h M e ningga l Dunia

Kansil, CST. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka 1989.
Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Peradilan Agama Buku II edisi Revisi 2010

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta:
Liberty, 1991

Muchtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta:
Bulan Bintang, 2004.
Mukti Arto. Ketentuan dan Kedudukan Hukun Isbat Nikah di
Pengadilan Agama , Makalah disampaikan pada orientasi
Pegawai Pencatat Nikah, diselenggarakan oleh Kantor Wilayah
Departemen Agama Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta di PA
Yogyakarta, Yogyakarta: 31 Januari 2002.

Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia.
Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku Ilmiah Keagamaan alMunawwir , 1984

Nasution, B. Johan Hukum Perdata Islam, Bandung: CV. Mandar Maju,
1997.

Nasution, Khoirudin. Status Wanita di Asia Tenggara: Studi atas
Perundang-undangan Pernikahan Muslim Kontemporer di
Indonesia dan Malaisiya. Jakarta: INIS, 2004.
Nuruddin, Amir dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam Di
Indonesia, Cet. III. Jakarta : Kencana, 2006.

Rahman, Asjmuni A. Qa idah-Qa idah Fikih,
1976.

Jakarta: Bulan Bintang,

Ramulyo, Idris. Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari UU No. 1
Tahun 1974 dan KHI, Cet, Ke-7, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.

Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarata: Raja Grafindo
Persada, 2003

Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : KMA/ 080/ VIII/
2006,: Pedoman Pelaksanaan Tugas di Pengadilan Agama, 2006

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, Kajian Fikih Nikah
Lengkap. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan

Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman
Undang-Undang No.50 Tahun 2009, tentang Perubahan kedua atas UU
No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Undang-Undang No.7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama.
Wawancara dengan :

J urna l U lumuddin Volume 3 , N om or 2 , J uni 2 0 1 3

45

Sya fii M a ’a rif da n I st ifia na h

Ahmad Jawahir, SHI., Petugas Meja 1 pada PA-Wates

Drs. Akhbarudin, MSI., Hakim Pengadilan Agama Wates

Drs. Barwanto, SH.,MH., Hakim Pengadilan Agama Wates
Drs. Edy Purwanto, Panitera Muda Hukum PA-Wates

Salim Al-Ghozali, S.Kom, Kaur Kepegawaian PA-Wates
Satiyah, SH., Wakil Sekretaris PA-Wates

46

J urna l U lumuddin Volume 3 , N om or 2 , J uni 2 0 1 3