2.2. Obat Anti Nyeri
2.2.1 Definisi Obat dan Obat Anti Nyeri Obat didefinisikan sebagai senyawa yang digunakan untuk mencegah,
mengobati, mendiagnosis penyakit atau gangguan, atau menimbulkan suatu kondisi tertentu, misalnya membuat seseorang infertil, atau melumpuhkan otot rangka selama
pembedahan Gunawan et al., 2008. Menurut kamus perubatan Oxford edisi 2007, obat anti nyeri bermaksud suatu
obat yang meredakan rasa nyeri. Obat anti nyeri ringan aspirin dan parasetamol digunakan untuk meredakan nyeri kepala, nyeri gigi dan nyeri reumatik ringan
manakala obat anti nyeri yang lebih poten narkotika atau opioid seperti morfin dan petidin hanya digunakan untuk meredakan nyeri berat memandangkan ia bisa
menimbulkan gejala dependensi dan toleransi. Sesetengah analgesik termasuk aspirin, indometasin dan fenilbutazon bisa juga meredakan demam dan inflamasi serta
digunakan dalam kondisi rematik. 2.2.2 Jenis- Jenis Obat Anti Nyeri
Berdasarkan sifat farmakologisnya, obat anti nyeri analgesika dibagi kepada dua kelompok yaitu analgesika perifer dan analgesika narkotika. Analgesika
perifer non-narkotika terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral manakala analgesika narkotika digunakan untuk meredakan rasa nyeri
hebat misalnya pada pesakit kanker Suleman, 2006. Obat-obat anti nyeri perifer terdiri dari analgesik antipiretik, analgesik anti-
inflamasi, dan obat gout. Untuk memudahkan penggunaannya di klinik sebagai analgesik maupun anti-inflamasi, obat-obat ini dapat dibagikan kepada tiga kelompok
yaitu : a. Obat yang berefek analgesik dan anti-inflamasi lemah, contohnya parasetamol.
b. Obat- obat yang berefek analgesik dan anti-inflamasi ringan sampai sedang, contohnya derivat asam propionat yaitu ibuprofen.
Universitas Sumatera Utara
c. Obat yang berefek analgesik dan anti-inflamasi kuat, yaitu derivat asam salisilat aspirin, derivat pirazolon fenilbutazon, dipiron, derivat asam asetat diklofenak,
dan derivat oksikan piroksikam. Hampir semua obat-obat ini bekerja di perifer dengan menghambat biosintesis
prostaglandin Suleman, 2006. Obat-obat nalgesika narkotika pula disebut juga sebagai opioida mirip opiat.
Obat ini merupakan zat yang bekerja terhadap reseptor opioid khas di sistem saraf pusat, sehingga persepsi nyeri dan respons emosional terhadap nyeri berubah atau
dikurangi. Analgesika narkotika ini dapat bertindak pada empat macam reseptor dalam tubuh untuk menimbulkan efeknya yaitu reseptor mu, kappa, delta dan sigma
Suleman, 2006. 2.2.3 Mekanisme Kerja Obat
1. Obat Anti Inflamasi Nonsteroid OAINS Hampir semua obat AINS mempunyai tiga jenis efek yang penting yaitu :
a. Efek anti-inflamatori : memodifikasi reaksi inflamasi b. Efek analgesik : meredakan suatu rasa nyeri
c. Efek antipiretik : menurunkan suhu badan yang meningkat Secara umumnya, semua efek-efek ini berhubungan dengan tindakan awal
obat-obat tersebut yaitu penghambatan arakidonat siklooksigenase sekaligus menghambat sintesa prostaglandin dan tromboksan Rang et al., 2003.
Terdapat dua tipe enzim siklooksigenase yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 merupakan enzim konstitutif yang dihasilkan oleh kebanyakan jaringan termasuklah
platlet darah Rang et al., 2003. Enzim ini memainkan peranan penting dalam menjaga homeostasis jaringan tubuh khususnya ginjal, saluran cerna dan trombosit.
Di mukosa lambung, aktivasi COX-1 menghasilkan prostasiklin yang bersifat sitoprotektif. COX-2 pula diinduksi dalam sel-sel inflamatori sebaik sahaja diaktivasi.
Dalam hal ini, stimulus inflamatoar seperti sitokin inflamatori primer yaitu interleukin-1 IL-1 dan tumour necrosis factor-
α TNF- α, endotoksin dan faktor
Universitas Sumatera Utara
pertumbuhan growth factors yang dilepaskan menjadi sangat penting dalam aktivasi enzim tersebut.Ternyata sekarang COX-2 juga mempunyai fungsi fisiologis yaitu di
ginjal, jaringan vaskular dan pada proses pembaikan jaringan. Tromboksan A
2,
yang disentesis trombosit oleh COX-1, menyebabkan agregasi trombosit, vasokonstriksi
dan proliferasi otot polos. Sebaliknya prostasiklin yang disintesis oleh COX-2 di endotel makrovaskular melawan efek tersebut dan menyebabkan penghambatan
agregasi trombosit, vasodilatasi dan efek anti-proliferatif Gunawan et al., 2008.
a. Efek Antipiretik Suhu tubuh yang normal diregulasi oleh pusat suhu di hipotalamus dengan
cara mengatur keseimbangan antara penggunaan dan penghasilan panas. Demam berlaku apabila terdapat suatu gangguan pada termostat hipotalamus ini yang
kemudiannya dapat menyebabkan suhu set-point tubuh meningkat. Di sinilah peran OAINS dalam mengembalikan suhu tubuh seperti semula. Selepas set-point kembali
normal, bermulalah mekanisme regulasi seperti dilatasi pembuluh darah superfisial, berkeringat dan lain-lain beroperasi untuk menurunkan suhu tubuh.
Walaubagaimanapun, suhu tubuh yang normal tidak akan terpengaruh oleh OAINS Rang et al., 2003.
OAINS dikenali juga sebagai antipiretik karena kebolehannya dalam menginhibisi produksi prostaglandin di hipotalamus. Sewaktu terjadi reaksi inflamasi,
endotoksin dari bakteri akan menyebabkan perlepasan pirogen interleukin-1 IL-1 dari makrofag yang seterusnya akan menstimulasi penghasilan prostaglandin tipe-E
PGEs di hipotalamus di mana hal ini akan menyebabkan peningkatan set-point suhu tubuh. Pada waktu ini, COX-2 mungkin memainkan peranan penting karena ia
diinduksi oleh IL-1 dalam pembuluh darah di hipotalamus. Enzim COX-3 juga mungkin memainkan peranan penting dalam mekanisme demam. Namun, terdapat
bukti yang mengatakan bahawa prostaglandin bukan satu-satunya mediator demam, maka oleh itu OAINS mungkin mempunyai efek antipiretik tambahan dalam
mekanisme yang masih lagi belum diketahui Rang et al., 2003.
Universitas Sumatera Utara
b. Efek Analgesik OAINS terutamanya sangat efektif dalam meredakan rasa nyeri yang
berhubungan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan karena ia menurunkan produksi prostaglandin yang mensensitisasikan nosiseptor kepada mediator-mediator
inflamasi seperti bradikinin. Oleh itu, zat-zat ini efektif dalam menanggulangi artritis, bursitis, nyeri pada otot dan vaskuler, nyeri gigi, dismenorea, nyeri semasa
postpartum dan nyeri akibat metastase kanker tulang semua kondisi yang berhubungan dengan peningkatan sintesis prostaglandin. Jika dikombinasikan
dengan opioid, gabungan tersebut bisa meredakan nyeri paska operasi. Kebolehan obat ini dalam meredakan nyeri kepala mungkin berkait rapat dengan menurunkan
efek vasodilatasi oleh prostaglandin pada pembuluh darah di serebri. Terdapat juga bukti yang mengatakan bahawa ia mempunyai efek sentral yang bertindak
terutamanya pada medulla spinalis Rang et al., 2003. c. Efek Anti-inflamatori
Terdapat berbagai mediator kimiawi yang menyebabkan reaksi inflamasi dan alergi. Setiap respon seperti vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskuler,
akumulasi sel dan lain-lain bisa ditimbulkan oleh berbagai mekanisme yang berlainan. Lebih-lebih lagi, mediator- mediator yang berlainan diperlukan untuk
berlakunya setiap reaksi inflamasi dan alergi yang berbeda dan sesetengah mediator juga mempunyai interaksi yang kompleks dengan zat-zat lain misalnya nitrik oksida
NO dalam jumlah yang sedikit akan menstimulasi aktivitas siklooksigenase, tetapi dalam jumlah yang banyak akan menghambatnya Rang et al., 2003.
OAINS menurunkan hampir semua komponen respon inflamasi dan reaksi imun di mana COX-2 memainkan peranannya seperti :
1. Vasodilatasi 2. Edema oleh mekanisme tidak langsung: vasodilatasi membantu tindakan mediator
inflamasi seperti histamin yang meningkatkan permeabilitas venul postkapiler 3. Nyeri
Universitas Sumatera Utara
Penghambat siklooksigenase tidak mempunyai efek terhadap proses perembesan enzim lisosom, produksi oksigen radikal yang toksik yang
menyebabkan kerusakan jaringan pada kondisi inflamasi kronis seperti arteritis reumatoid, vaskulitis dan nefritis Rang et al., 2003.
Kesimpulannya, golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG
2
terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase dengan kekuatan dan selektivitas yang berbeda
Gunawan et al., 2008. 2.2.4 Efek Samping Obat
Selain menimbulkan efek terapi yang sama, OAINS juga memiliki efek samping serupa, karena didasari oleh hambatan pada sistem biosintesis prostaglandin.
Secara umum, golongan obat ini berpotensi menyebabkan efek samping pada berbagai sistem organ yaitu saluran cerna, ginjal, hati dan kulit. Efek samping
terutama meningkat pada pasien usia lanjut karena paling sering membutuhkan OAINS dan umumnya membutuhkan banyak obat-obatan karena menderita berbagai
penyakit. Hal ini juga bisa berlaku jika obat golongan ini digunakan pada jangka masa panjang Gunawan et al., 2008.
1. Gangguan pada saluran cerna Gangguan pada gastrointestinal merupakan efek samping yang paling sering
terjadi dari pemakaian obat ini yang disebabkan oleh hambatan dari enzim COX-1. Enzim COX-1 penting untuk sintesa prostaglandin yang normalnya menghambat
sekresi asam dan sebagai pelindung mukosa lambung. Gejala-gejala gastrointestinal yang sering berlaku adalah dispepsia, diare tetapi kadang-kadang bisa konstipasi,
mual dan muntah dan pada sesetengah kasus bisa terjadi perdarahan lambung dan tukak peptik. Terdapat kajian yang mengatakan bahawa penggunaan agen COX-2
selektif bisa mengurangkan kerusakan mukosa lambung tetapi berpotensi menimbulkan perubahan terhadap sistem kardiovaskuler pada sesetengah pasien
Boers, 2001; Fitzgerald dan Partonto, 2001.
Universitas Sumatera Utara
2. Efek samping pada ginjal Dosis terapeutik bagi OAINS pada individu yang sehat bisa menyebabkan
sedikit gangguan pada faal ginjal, tetapi pada pasien yang tidak sehat bisa menyebabkan insufisiensi ginjal akut masih reversibel untuk menghentikan kerja
obat. Hal ini berlaku karena obat ini menghambat biosintesa dari prostanoid PGE
2
dan prostaglandin I
2
PGI
2,
prostasiklin yang terlibat dalam pengaturan keseimbangan hemodinamik ginjal terutama sekali pada penyakit ginjal yang
berhubungan dengan PGE
2
. Penggunaan berlebihan OAINS secara habitual bertahun-tahun dihubungkan dengan terjadinya nefropati analgesik Rang et al.,
2003. 3. Efek samping pada kulit reaksi inflamasi pada kulit
Reaksi pada kulit merupakan gejala kedua paling sering terjadi dari penggunaan obat ini, terutama asam mefenamik frekuensi: 10-15 dan sulindac
frekuensi:5-10. Jenis-jenis reaksi pada kulit yang bisa dilihat adalah seperti ras ringan, urtikaria dan reaksi fotosensitifitas, hingga kejadian yang lebih fatal jarang
Rang et al., 2003. 4. Efek samping lain
Efek-efek samping yang jarang berlaku termasuk gangguan pada sum-sum tulang dan penyakit hati lebih cenderung terkena pada pasien yang mengalami
gangguan hati. Kelebihan dosis parasetamol bisa menyebabkan gagal hati dan penggunaan aspirin pada pasien asma yang sensitif terhadap OAINS bisa
menyebabkan asma lebih sering terjadi Rang et al., 2003.
Universitas Sumatera Utara
2.2.5 Obat-obat Anti Nyeri yang Dijual Bebas Untuk memudahkan penilaian tentang status obat-obatan yang dijual bebas,
Food and Drug Administration FDA telah menetapkan beberapa kriteria yaitu : a. Obat-obatan tersebut harus mempunyai resiko efek samping yang rendah pada
dosis terapeutik dan kurang berpotensi untuk disalahgunakan. b. Obat-obat ini hendaklah digunakan pada kondisi yang umum, benigna dan bisa
didiagnosa sendiri bagi pengguna biasa. c. Produk tersebut haruslah dilabel dengan menggunakan bahasa yang mudah
dimengerti oleh pengguna biasa agar pengguna tahu tentang indikasi, kontraindikasi dan arahan penggunaan obat tersebut.
Menurut American Pharmacists Association, terdapat tiga jenis analgetika yang bisa didapatkan tanpa resep dokter yaitu salisilat termasuk aspirin dan natrium
salisilat yang lebih jarang digunakan, derivat asam propionat ibuprofen, naproksen, ketoprofen, dan aminofenol asetaminofen. Salisilat dan derivat asam propionik
dikenali juga sebagai obat anti inflamatori non-steroidal. Menurut Rang dkk, obat parasetamol asetaminofen juga merupakan obat anti inflamatori non-steroidal
karena mempunyai efek antiinflamasi yang lemah. Oleh itu, haruslah diketahui tentang beberapa hal untuk menentukan obat
analgetika mana yang sesuai dengan gejala yang dirasakan. Hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain adalah :
a. Tipe rasa nyeri misalnya, asetaminofen tidak mempunyai efek anti-inflamasi, jadi tidak bisa digunakan dalam kasus inflamasi
b. Kontraindikasi contohnya, aspirin tidak bisa diberikan kepada anak-anak di bawah usia 18 tahun karena beresiko untuk berlaku Sindroma Reye
c. Profil efek samping setiap obat
Universitas Sumatera Utara
Aspek-aspek farmakologis obat-obat yang dijual bebas adalah seperti berikut : 1. Salisilat
Obat ini mempunyai efek analgesika antipiretik dan anti-inflamasi kuat. Potensi efeknya menjadi standar perbandingan bagi obat analgesik lainnya. Efek
analgesiknya lebih kecil dari kodein. Pada dosis tinggi 5-8 grhari obat ini bersifat urikosurik. Obat ini mempengaruhi fungsi trombosit, memperpanjang waktu
perdarahan dan menyebabkan hipoprotrombinemia. Absorbsinya baik melalui saluran cerna, sebagian kecil di lambung dan terbesar di usus halus. Biotransformasi salisilat
terjadi di banyak jaringan terutama di mikrosoma dan mitokondria hati. Zat ini diekskresi dalam bentuk metabolitnya terutama melalui ginjal, sebagian kecil melalui
keringat dan empedu Suleman, 2006. Selain mempunyai efek analgesik dan antipiretik, obat contohnya aspirin ini juga mempunyai efek antiplatlet dengan
menghambat siklooksigenase platlet secara irreversibel. Kesannya, ia dapat menurunkan insidens kejadian TIA Transient Ischaemic Attack, angina yang tidak
stabil, trombosis arteri koroner dengan infark miokard dan trombosis selepas coronary artery bypass grafting Katzung, 2007.
Antara efek samping yang bisa berlaku dari penggunaan obat ini adalah salisilisme dan keracunan salisilat Rang et al., 2003. Salisilisme bisa berlaku dengan
konsumsi salisilat secara berulang dan dengan dosis yang tinggi. Gejala-gejalanya merupakan tinnitus, vertigo, pendengaran menurun, dan kadang-kadang mual dan
muntah Rang et al., 2003. Keracunan salisilat pula berlaku jika diambil dalam dosis yang berlebihan. Pengambilannya dalam dosis yang besar menyebabkan perubahan
keseimbangan asam-basa dan elektrolit manakala dalam dosis toksik bisa menyebabkan asidosis respiratori tidak terkompensasi dan asidosis metabolik.
Perdarahan lambung yang berat dapat terjadi pada dosis besar dan pemberian kronik. Salisilat bersifat hepatotoksik, maka tidak dianjurkan untuk diberikan pada pasien
dengan penyakit hati kronik. Zat ini juga dikatakan bisa mengakibatkan Sindrom Reye pada anak jika digunakan untuk infeksi varisela dan virus lainnya Rang et al.,
2003.
Universitas Sumatera Utara
2. Parasetamol asetaminofen Parasetamol merupakan obat analgesik- antipiretik non-narkotik yang paling
sering digunakan. Obat ini mempunyai sifat anti-inflamasi yang lemah dan dilaporkan sebagai penghambat selektif bagi enzim COX-3 yang masih lagi dalam penelitian
Chandrasekaran et al., 2002. Obat ini tidak mengiritasi lambung dan berefek lemah terhadap trombosit serta tidak berpengaruh terhadap waktu perdarahan maupun
sekresi asam urat. Absorbsinya cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dapat dicapai dalam waktu 30 menit dan masa
paruh plasma antara 1-3 jam. Distribusinya ke seluruh tubuh dan terikat dalam plasma setinggi 25. Obat ini dimetabolisme di hepar pada mikrosoma hati. Sebagian besar
80 zat ini dikonyugasi dengan asam glukuronat dan sebagian kecil dengan asam sulfat. Obat ini dapat juga dihidroksilasi, hasil metabolitnya dapat menimbulkan
methemoglobin dan hemolisis eritrosit. Ekskresinya melalui ginjal, sebahagian kecil 3 sebagai parasetamol Suleman, 2006.
Dalam dosis terapeutik, efek samping jarang ditemukan walaupun respon alergi kulit kadang-kadang berlaku. Pengambilan secara regular dalam dosis yang
tinggi secara berlama-lama dapat meningkatkan resiko kejadian kerusakan ginjal. Efek toksisitasnya dapat terjadi nekrosis hepar, nekrosis tubulus renalis, serta koma
hipoglikemi dan hepatoksisitas dapat terjadi pada dosis tunggal 10g Suleman, 2006.
3. Ibuprofen Obat ini mempunyai efek analgesik yang kekuatannya sama dengan aspirin,
dan efek anti-inflamasinya adalah ringan sampai sedang. Zat ini mempunyai efek iritasi gaster yang lebih ringan dari aspirin. Obat ini berpengaruh terhadap trombosit
dan memperpanjang waktu perdarahan Suleman, 2006.
4. Asam Mefenamat Obat ini mempunyai efek analgesik antipiretik yang tidak jauh berbeda
dengan aspirin dan mempunyai efek iritasi gastrointestinal yang lebih berat ,
Universitas Sumatera Utara
mempengaruhi trombosit, dan dapat menyebabkan anemia hemolitik. Asam mefenamat diabsorbsi secara lambat dari saluran pencernaan. Kadar puncak dalam
plasma tercapai dalam 2-4 jam denagn waktu paruh sekitar 2-4 jam. Obat ini dimetabolisme di hepar dan kemudiannya diekskresikan sebagian besar melalui urin
dan sebagian kecil 20 melalui feses Suleman, 2006.
2.3. Pengetahuan Knowledge