ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP SENGKETA PENGGELEMBUNGAN DAFTAR PEMILIH TETAP PADA PEMILIHAN PRESIDEN TAHUN 2009

(1)

commit to user

ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP SENGKETA PENGGELEMBUNGAN DAFTAR PEMILIH TETAP PADA PEMILIHAN PRESIDEN TAHUN 2009 (Studi Kasus Terhadap Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009)

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Disusun Oleh:

BASKORO ADI PRABOWO E 0005009

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA


(2)

commit to user

ii

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih Dan Penyayang


(3)

(4)

(5)

commit to user

v MOTTO

Orang yang paling sukses adalah orang yang paling sering gagal, dan ia mau terus berusaha hingga ia dapatkan kesuksesan yang sesungguhnya, , ,

Hal yang paling harus kita takuti di dunia ini adalah ketakutan itu sendiri, , , Apabila kita mencoba mungkin kita akan gagal, namun apabila kita tidak mencoba maka kita

pasti gagal. . .

Tidak ada orang sukses yang tidak pernah gagal. . .

Hal yang besar selalu diawali dari hal yang kecil, dan dilakukan mulai sekarang. . .


(6)

commit to user

vi

PERSEMBAHAN

Didalam ketidaksempurnaan, kupersembahkan skripsiku ini: v Untuk Tuhan-ku “ALLAH SWT”, v Untuk Rasul-ku “Muhammad SAW”, v Untuk mereka yang selalu mendidikku, membimbingku, menuntunku dan mendoakanku yang tak bisa kubalas jasanya, “Ibu dan Bapak” yang tercinta, kakak-kakak terbaikku Indra Kusumawardhani, Early Kusumaningtyas, Agung Nugroho Oktavianto, v Untuk Dwi Wulan Maimunah yang selalu setia dalam suka dan duka serta selalu setia menanti skripsi ini tercipta v Untuk Keluarga besar penulis yang telah menjadi motivator dan inspirasi bagi penulis

untuk selalu optimis,, v Untuk teman-teman FH UNS Angkatan 2005.


(7)

commit to user

vii ABSTRAK

Baskoro Adi Prabowo, E0005009, 2010. “ANALISIS PUTUSAN HAKIM

MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP SENGKETA

PENGGELEMBUNGAN DAFTAR PEMILIH TETAP PADA PEMILIHAN PRESIDEN TAHUN 2009 (Studi Kasus Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009)”. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Penulisan Hukum ini mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai Bagaimana Analisis Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi Terhadap Sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap Pada Pemilihan Presiden Tahun 2009 (Studi Kasus Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009).

Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen dengan teknik analisis isi (content analysis).

Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa pada dasarnya, Sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (DPT) bukan merupakan sengketa Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) karena sengketa Penggelembungan DPT tersebut lebih cenderung terhadap pelanggaran administrasi karena pelanggaran tersebut dilakukan akibat warga negara yang belum memenuhi syarat-syarat untuk menjadi pemilih tetapi sudah diberikan hak pilih dan merupakan bagian dari proses persiapan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden . Hal tersebut sesuai dengan yang dijelaskan dalam pasal 248 UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu.

Dasar Hukum yang digunakan dalam Penggelembungan DPT yaitu Pasal 29 sampai dengan Pasal 32 UU No. 42 Tahun 2008, Pasal 258 UU No. 10 Tahun 2008. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa penggelembungan DPT pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagai berikut: Masalah Kualitatif yang terdiri dari Bantuan pihak asing dalam Pemilu, Pengurangan Tempat Pemungutan Suara (TPS), Pemutakhiran DPT dan pelanggaran-pelanggaran lainnya, masalah Kuantitatif yang terkait dengan penggelembungan suara dan pengurangan suara.

Kata Kunci: Sengketa Penggelembungan DPT, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden


(8)

commit to user ABSTRACT

Baskoro Adi Prabowo, E0005009, 2010. "ANALYSIS OF THE

CONSTITUTIONAL COURT OF JUSTICE DECISION ON THE DISPUTE distension LIST OF VOTERS REMAIN ON PRESIDENTIAL ELECTION OF 2009 (A Case Study of the Constitutional Court Decision Against Number 108-109/PHPU.B-VII/2009). Faculty of Law, Sebelas Maret University.

Legal writing this review and answer the problem of how the Constitutional Court Decision Analysis Dispute Against distension Voters List On Presidential Election of 2009 (Case Study Towards the Constitutional Court Decision No. 108-109/PHPU.B-VII/2009).

This research study is a descriptive normative law. Type of data used are secondary data covering primary legal materials, secondary legal materials and legal materials tertiary. Data collection techniques used is the study of documents with the technique of content analysis.

Based on this study showed that basically, Dispute inflate the Voters List is not a Dispute Election Results because the dispute is more likely to inflate the DPT against administrative violations because the offense was committed due to citizens who do not meet the requirements for become voters but has been granted the right to vote and are part of the preparation process of Presidential and Vice-President. This is in accordance with those described in article 248 of Law No. 10 of 2008 About Elections.

Legal Basis used in mark-DPT namely Article 29 through Article 32 of Law No. 42 of 2008, Article 258 of Law No. 10 of 2008. Basic Considerations Justice of the Constitutional Court in deciding disputes on Election DPT inflate the President and Vice President as follows: Qualitative Problems of foreign aid in the election, polling Reduction (TPS), DPT Updates and other violations, Quantitative problems associated with inflation of sound and sound reduction.


(9)

commit to user

viii

KATA PENGANTAR

Bismilahirrahmaanirrahiim

Syukur Alhamdulillah atas kehadirat Allah AWT karena hanya dengan berkah, rahmat, karunia, dan ridho-Nya, sehingga akhirnya Penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum dengan judul “ANALISIS PUTUSAN HAKIM

MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP SENGKETA

PENGGELEMBUNGAN DAFTAR PEMILIH TETAP PADA PEMILIHAN PRESIDEN TAHUN 2009 (Studi Kasus Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009)” dengan baik dan lancar.

Penulisan hukum ini diajukan untuk melengkapi tugas-tugas serta memenuhi salah satu persyaratan guna memperoleh gelar sarjana di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Selain itu penulisan hukum ini diharapkan dapat menambah wawasan, pengetahuan, dan informasi bagi penulisan maupun pembaca.

Dalam penyusunan penulisan hukum ini, penulis tidak dapat menyelesaikannya tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Moh. Jamin, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas HukumUniversitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin untuk penulisan hukum ini;

2. Ibu Rofikah, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Akademik (PA) yang telah memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini; 3. Ibu Aminah, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara Fakultas

Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta sekaligus selaku pembimbing utama skripsi penulis yang telah berjasa memberikan arahan, bantuan, meluangkan waktu tanpa mengenal lelah dan dengan penuh kesabaran yang tiada batas demi keberhasilan penyusunan skripsi ini yang tidak akan terlupakan oleh penulis;


(10)

commit to user

ix

4. Ibu Sunny Ummul Firdaus, S.H., M.Hum. selaku co. pembimbing skripsi penulis yang dengan penuh kesabaran memberikan arahan, bantuan, semangat, senyuman dan telah meluangkan banyak waktu untuk mendengarkan keluh kesah penulis dalam penyusunan skripsi ini, dan beliau merupakan inspirator penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik yang jasanya tidak akan pernah penulis lupakan;

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya kepada penulis sehingga pengetahuan tersebut dapat dijadikan bekal dalam penulisan hukum ini dan semoga dapat penulis amalkan dalam kehidupan masa depan penulis;

6. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang selama ini telah banyak sekali membantu Penulis dalam hal akademis dan hal-hal lain yang berkenaan dengan perkuliahan;

7. Ibunda dan Ayahanda tercinta, Ibunda yang selama ini telah mengorbankan jiwa dan raganya dan senantiasa mencurahkan seluruh kasih sayangnya, Ayahanda yang senantiasa memberikan dukungan dan doa bagi penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan hukum ini;

8. Kakak-Kakakku, Mbak Iin, Mbak Lily dan Mas Nunuk, terima kasih atas nasehat dan dukungan kalian selama ini,

9. Dwi Wulan Maimunah, orang yang selalu ada di hati penulis yang telah memberikan doa dan banyak inspirasi dan selalu setia menanti penulisan hukum ini.

10. Bapak dan Ibu Orang tua Wulan, Mbak Anti dan Nana yang selalu memberi dukungan dan motivasi serta doa, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini dengan lancer,

11. Seluruh teman-teman Angkatan 2005: FM, Komeng, Trek, Galih, Endrika, Bajay, Rusdi, Dony dsb yang tidak dapat disebutkan satu persatu;

12. Seluruh teman-teman diecaster; Om Poing, Om Her, Mas Adi dan semua diecaster di seluruh Indonesia yang telah memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini;


(11)

commit to user

x

13. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun penulisan hukum ini baik secara langsung maupun tidak langsung.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini bukan karya yang sempurna, untuk itu kritik dan saran dari pembaca budiman sangat penulis perlukan. Akhirnya, semoga skripsi ini mampu memberikan manfaat bagi kita semua.

Surakarta, 25 Oktober 2010

Baskoro Adi Prabowo E0005009


(12)

commit to user

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Metode Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoritis ... 18

1. Tinjauan mengenai Negara Hukum ... 18

2. Tinjauan mengenai Demokrasi ... 23

3. Tinjauan mengenai Konstitusi ... 30

4. Tinjauan mengenai Mahkamah Konstitusi ... 40

5. Tinjauan mengenai Hukum Acara Mahkamah Konstitusi 47 B. Kerangka Pemikiran ... 61


(13)

commit to user

xii

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Faktor-faktor yang Menjadi Dasar Hukum dan Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Memutus

Sengketa Penggelembungan DPT ... 63

1. Faktor-faktor yang menjadi Dasar Hukum Hakim Mahkamah Konstitusi ... 63

2. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi ... 65

3. Dasar Hukum Pengaturan DPT berdasarkan Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2008 ... 74

B. Analisis Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi terhadap Perkara Sengketa Penggelembungan DPT (Putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU)) ... 76

1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi ... 76

2. Kedudukan Hukum ... 77

3. Pokok Perkara Permohonan ... 79

4. Amar Putusan... 80

BAB IV PENUTUP 1. Kesimpulan ... 87

2. Saran ... 87


(14)

commit to user

xiii

DAFTAR GAMBAR


(15)

commit to user BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Jenuhnya masyarakat terhadap status quo yang telah berjalan beberapa dekadelah yang mendasari amukan gelombang massa pada tahun 1997 yang menuntut Orde Baru segera turun dan diganti dengan semangat pembaharuan yaitu reformasi. Berbagai keputusan politik dan produk hukum yang lahir pada era reformasi merupakan bentuk tuangan suara rakyat yang menuntut adanya perubahan yang nyata setelah sistem demokrasi bangsa Indonesia selama 32 tahun hanya terjadi pada tingkat elit sedangkan sebagian besar masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam praktek demokrasi semu tersebut. Oleh karena itu, perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 juga merupakan daftar teratas tuntutan yang menjadi latar belakang runtuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998. Persoalannya bukan lagi siapa yang menjadi tokoh penguasa pada masa tersebut yang menyebabkan otoriter, namun juga sistem hukum dan ketatanegaraannya. Kelemahan dan ketidaksempurnaan sebagai hasil karya manusia adalah suatu hal yang pasti (Moris, dalam Jimly Asshiddiqie, www.mahkamahkonstitusi.go.id).

Ketidaksempurnaan tersebut terlihat jelas bahwa tidak adanya mekanisme check and balances sehingga kekuasaan eksekutif begitu kuat tanpa ada yang membatasi kewenangannya. Pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 merupakan pasal yang multitafsir oleh karena itu dapat dijadikan landasan hukum saat terjadi sebuah penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah penguasa. Terlebih MPR sebagai badan tertinggi negara pada masa tersebut hanya berfungsi sebagai “boneka kekuasaan” dari eksekutif sehingga praktek demokrasi hanya menjadi retorika saja. Sehingga, kesepakatan pemerintahan Habibie dengan menggelar pelaksanaaan pemilu pertama pasca Orde Baru pada tahun 1999 merupakan


(16)

commit to user

langkah awal tegaknya demokrasi Indonesia. Bahwa pemilu tersebut jauh lebih demokratis daripada pemilu-pemilu sebelumnya.

Sistem pemerintahan otoriter yang bergerak ke arah sistem pemerintahan yang lebih demokratis jika diibaratkan seperti halnya arah dari gerakan pendulum. Pilihan kebijakan yang diambil tergantung kepada situasi dan kondisi politik pada zamannya masing-masing. Model pengaturan yang demikian memungkinkan untuk terjadi karena hukum adalah sebuah produk politik (Moh. Mahfud M.D., 1998: 7).

Terkait dengan proses demokrasi di Indonesia, atas dasar semangat reformasi perubahan pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dilakukan, yaitu perubahan dari “Kedaulatan ditangan rakyat

dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”, menjadi “Kedaulatan di tangan rakyat

dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Ini berarti bahwa

kedaulatan rakyat yang dianut adalah kedaulatan berdasar undang-undang dasar yang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar oleh lembaga-lembaga negara yang diatur dan ditentukan kekuasaan dan wewenangnya dalam Undang-Undang Dasar.

Konsep pemikiran tersebut kembali diperjelas dengan sikap yang nyata

oleh pemerintah, ketika menawarkan terobosan politik (political

breakthrough) ketika bersama-sama dengan DPR merombak secara total

mekanisme sistem sistem Pemilihan Presiden (Pilpres) dari Pilpres yang ditetapkan oleh MPR menjadi Pilpres secara langsung. Landasan dasar hukum adanya pilpres secara langsung ini termuat pada Pasal 6A ayat (4) amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang menegaskan bahwa Berdasarkan Pasal 6A Ayat (1) menyatakan bahwa

Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung


(17)

commit to user

Mekanisme Pilpres secara langsung ini mengisyaratkan bahwa proses demokrasi dan arah kebijakan dari pemerintah tidak lagi ditentukan oleh segelintir kaum elit saja. Terlibatnya suara rakyat yang merupakan pendelegasian dari arus demokrasi yang menggumpal yang tak dapat dibendung oleh siapa pun. Jika dibendung dan tidak diagregasi dengan baik, maka demokrasi akan membuat jalannya sendiri, sebab suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei). Adagium ini tak dapat diartikan, suara rakyat (vox populi) itu identik dengan suara Tuhan, melainkan vox populi yang bersumber dari sanubari rakyat itu akan selalu dimenangkan oleh Tuhan.

(Mahfud MD, dalam http://www.mohmahfudmd.com/ index.php?

page=web.Opini Lengkap&id =15)

Perubahan paradigma dalam amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 apabila dikaitkan dengan pendapat dari K.C. Wheare merupakan sebuah keputusan yang tepat, dalam bukunya, Modern Constitutions, menegaskan bahwa konstitusi adalah resultante atau produk kesepakatan politik yang dibuat sesuai dengan kebutuhan dan situasi tertentu. Ini berarti, isi konstitusi harus selalu sesuai dengan situasi dan kebutuhan masyarakat, karena itu dapat diubah melalui resultante baru jika situasi dan kebutuhan masyarakat yang dilayaninya berubah. (K.C Wheare, dalam

Mahfud M.D) http://www.mohmahfudmd.com/ index.php?page=web.

OpiniLengkap&id=15.

Terlebih ketika terdapat sengketa pemilu telah diatur secara rigid kewenangan yang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 tentang mekanisme penyelesaian sengketa dan badan negara yang independen dalam memutus sengketa pemilu tersebut. Kewenangan tersebut berada pada tangan Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of

the constitution). Inilah salah satu ciri dari sistem penyelenggaraan kekuasaan

negara yang berdasarkan konstitusi. Setiap tindakan lembaga-lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara harus dilandasi dan berdasarkan


(18)

commit to user

konstitusi. Tindakan yang bertentangan dengan konstitusi dapat diuji dan diluruskan oleh Mahkamah Konstitusi melalui proses peradilan yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi diberikan wewenang oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Final dalam artian bahwa tidak dapat diupayakan terjadinya upaya hukum lagi setelah putusan ditetapkan.

Terkait dengan Pilpres pada 8 Juli 2009 yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang terdapat drama-drama politik ketika rakyat dilibatkan dalam pesta demokrasi dan telah menggunakan hak pilih masing-masing untuk mendukung salah satu dari ketiga kandidat Capres dan Cawapres yang disahkan oleh KPU. Ketiga pasangan Capres dan Cawapres yang bersaing memperebutkan kursi nomor satu di negeri ini adalah Megawati Soekarnoputri-Prabowo, Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, dan Yusuf Kalla-Wiranto. Berdasarkan hasil rekapitulasi yang diumumkan Mahkamah Konstitusi KPU pada Sabtu, 25 Juli 2009 pasangan nomor urut dua, Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono menempati urutan teratas dan berpeluang menjadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode 2009-2014.

Pesta demokrasi yang hampir selesai kembali menuai konflik, banyak pengangkatan isu-isu miring mengenai kinerja KPU dalam hal masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) oleh partai-partai politik setelah pengumuman pasangan pemenang Pilpres. Banyak yang meragukan akuntabilitas dari daftar pemilih yang dimiliki oleh KPU, apakah benar sudah semua rakyat yang telah mempunyai hak untuk memilih telah terdaftar. Hal ini dikarenakan banyak terdapat temuan-temuan di lapangan bahwa terdapat warga yang seharusnya tidak mempunyai hak memilih masuk di DPT sedangkan warga yang seharusnya memilih malah tidak terdaftar. Polemik inilah yang menjadi topik hangat yang menjadi headline news di beberapa media beberapa bulan terakhir.


(19)

commit to user

Adanya dugaan terjadinya praktik penggelembungan DPT yang diangkat beberapa perwakilan politik memperkeruh dan mempersempit ruang demokrasi rakyat. Jika pengangkatan dugaan pengglembungan DPT tersebut terbukti secara meyakinkan di pembuktian Mahkamah Konstitusi selaku badan yang berwenang memutus sengketa pemilu. Maka ada kekhawatiran di berbagai kalangan bahwa akan terjadi Pilpres ulang sebagaimana yang diputus di Pilkada Jatim. Kekhawatiran ini bukanlah tanpa dasar selain menghabiskan dana rakyat yang tidak sedikit untuk melakukan Pilpres ulang. Pertanyaan yang membayangi kemudian adalah kredibilitas dari KPU dan pemerintah patut dipertanyakan. Menurut Yudi, selaku saksi ahli atas permintaan Tim JK-Wiranto itu mengatakan “permasalahan Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Indonesia hanya satu-satunya di Indonesia.

Salah satu pelanggaran yang paling berat, kata Yudi, adalah persoalan DPT. Carut marut DPT yang selama ini menyertai pemilu menyebabkan cacat besar dalam pemilu. Sebab basis demokrasi adalah diakuinya hak konstitusional setiap warga negara. Persoalan DPT telah membuat sekian banyak warga negara kehilangan hak pilihnya. "DPT yang baik adalah basis pemilu yang baik. Itulah yang jadi basis legalitas. Tanpa legalitas, pemilu cacat," kata Yudi. (http://genenetto.blogspot.com/2009/08/saksi-ahli-kasus-dpt-tak-ada.html).

Pengajuan sengketa Pilpres atas nama rakyat ataukah pengajuan segelintir kalangan yang mengatasnamakan rakyatlah yang menjadi tanda tanya di benak masyarakat. Dan bagaimanakah kebijakan Mahkamah Konstitusi dalam proses pengambilan putusan dalam menyikapi sengketa pemilu inilah yang menjadi daya tarik penulis untuk mengangkat masalah ini

dengan judul : ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH

KONSTITUSI TERHADAP SENGKETA PENGGELEMBUNGAN DAFTAR PEMILIH TETAP PADA PEMILIHAN PRESIDEN TAHUN 2009 (Studi Kasus Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009).


(20)

commit to user B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah adalah langkah untuk mengidentifikasi persoalan yang diteliti secara jelas, biasanya berisi pertanyaan-pertanyaan kritis, sistematis dan representatife untuk mencari jawaban dari persoalan yang ingin dipecahkan. Arti penting perumusan masalah adalah sebagai pedoman bagi tujuan dan manfaat penelitian dalam rangka mencapai kualitas penelitian yang optimal.

Berdasarkan hal tersebut, maka rumusan permasalahan yang akan diteliti adalah meliputi:

a. Faktor-faktor apa saja yang menjadi dasar hukum dan dasar pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap;

b. Analisis putusan hakim Mahkamah Konstitusi terhadap perkara sengketa penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (Putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU)).

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dinyatakan sebelumnya maka untuk mengarahkan suatu penelitian maka diperlukan adanya tujuan dari suatu penelitian. Tujuan penelitian dikemukakan secara deklaratif, dan merupakan pernyataan-pernyataan yang hendak dicapai dalam penelitian tersebut (Soerjono Soekanto, 2006:118).

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah antara lain sebagai berikut: 1. Tujuan obyektif:

a. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi dasar hukum dan dasar pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap.


(21)

commit to user

b. Untuk menganalisis putusan hakim Mahkamah Konstitusi terhadap perkara sengketa penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (Putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU))

2. Tujuan subyektif:

a. Untuk menambah dan memperluas wawasan, pengetahuan, dan

pemahaman Penulis khususnya di bidang Hukum Tata Negara;

b. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna mencapai gelar sarjana dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

D. Manfaat Penelitian

Suatu penelitian yang berhasil adalah penelitian yang dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Adapun manfaat yang diharapkan sehubungan dengan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan

pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan hukum tata negara pada khususnya;

b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi di bidang karya ilmiah serta bahan masukan bagi penelitian sejenis di masa yang akan datang.

2. Manfaat Praktis

a. Dapat memperoleh data guna dianalisa agar dapat menjawab rumusan

masalah yang Penulis kemukakan;

b. Dapat memberikan wawasan dan pengetahuan bagi masyarkat luas mengenai Analisis Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi terhadap Sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap Pada Pemilihan Presiden Tahun 2009 (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009);


(22)

commit to user

c. Untuk meningkatkan penalaran dan membentuk pola pikir dinamis serta mengaplikasikan ilmu yang diperoleh Penulis selama studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

E. Metode Penelitian

Penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum dan masyarakat, dengan jalan menganalisanya. Yang diadakan pemeriksaan secara mendalam terhadap fakta hukum tersebut permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.

Agar suatu penelitian ilmiah dapat berjalan dengan baik maka perlu menggunakan suatu metode penelitian yang baik dan tepat. Metodologi merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada di dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan (Soerjono Soekanto, 1986 : 7).

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya dalam masalah yang diteliti.

Menurut Peter Mahmud Marzuki, langkah-langkah dalam melakukan penelitian hukum adalah sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan.


(23)

commit to user

Sebagai langkah pertama dalam penelitian hukum untuk keperluan praktis adalah mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan. Sering kali kasus yang dikemukakan oleh klien bercampur antara fakta dan pendapat serta keinginan klien. Dalam hal ini ahli hukum harus dapat membedakan mana fakta dan mana pendapat klien. Lebih jauh ahli hukum harus dapat membedakan mana yang fakta hukum dan yang bukan fakta hukum. Dengan membedakan fakta dan fakta non-hukum peneliti akan dapat menetapkan isu non-hukum yang hendak dipecahkan.

2) Penelitian untuk keperluan akademis.

Untuk mengidentifikasi fakta hukum, mengeliminir hal-hal yang tidak relevan dan menetapkan isu hukum bagi keperluan akademis, langkah pertama adalah peneliti harus dapat memisahkan dirinya dari kepentingan-kepentingan yang terlibat di dalam kegiatan penelitian itu. Ia harus menjadi dirinya sendiri yang mempunyai sikap disinterestedness terhadap isu atau masalah hukum yang hendak dipecahkan. Selanjutnya peneliti harus mampu mengeliminir faktor-faktor yang tidak relevan dengan isu tersebut.

Penelitian yang dilakukan peneliti disini adalah penelitian untuk keperluan akademis. Dalam penelitian ini diambil dua isu yang menjadi permasalahan yang perlu dijawab atau dipecahkan yaitu; (1) Faktor-faktor apa saja yang menjadi dasar hukum dan dasar pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap? (2) Analisis putusan hakim Mahkamah Konstitusi terhadap perkara sengketa penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU)). Kedua isu hukum itulah yang akan dipecahkan dalam penelitian ini untuk keperluan akademis.


(24)

commit to user

b. Pengumpulan bahan-bahan hukum.

Setelah isu hukum ditetapkan, peneliti melakukan penelusuran untuk mencari bahan-bahan hukum yang relevan terhadap isu yang dihadapi. Karena dalam hal ini, salah satu pendekatan yang digunakan peneliti adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), maka sesuai dengan isu yang diangkat, penulis harus mengumpulkan bahan-bahan yang diantaranya yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 baik sebelum maupun sesudah perubahan serta bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan isu hukum yang diangkat tersebut.

c. Melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan.

Dalam rangka menjawab isu hukum yang diangkat, peneliti harus menelaah isu hukum itu dengan merujuk kepada ketentuan-ketentuan hukum yang relevan dengan isu tersebut. Selain menelaah isu tersebut berdasarkan ketentuan-ketentuan yang relevan, isu itu juga ditelaah dari berbagai bahan-bahan hukum yang relevan dengan isu itu, yang telah berhasil dikumpulkan oleh peneliti. Dari telaah yang dilakukan oleh peneliti berdasarkan bahan-bahan hukum maupun bahan non-hukum itu, peneliti berusaha untuk menjawab isu yang diangkatnya. Kemudian dari telaah-telaah itu diambil sebuah kesimpulan sebagai jawaban atas isu hukum yang diangkat tersebut.

d. Menarik kesimpulan yang menjawab isu hukum.

Penelitian hukum itu bukan untuk menguji hipotesis, maka konsekuensinya kesimpulan yang ditarik dari penelitian hukum bukan

menghasilkan diterima atau ditolaknya hipotesis. Dengan

menggunakan bahan-bahan hukum dan bilamana perlu juga non-hukum sebagai penunjang, peneliti akan dapat menarik kesimpulan yang menjawab isu yang diajukan.


(25)

commit to user

e. Memberikan Preskripsi.

Memberikan preskripsi mengenai apa yang seharusnya

merupakan hal yang esensial dari penelitian hukum. Baik untuk keperluan praktek maupun untuk penulisan akademis, preskripsi yang diberikan menentukan nilai penelitian tersebut, maka langkah terakhir dari suatu penelitian yaitu memberikan preskripsi berupa rekomendasi yang didasarkan pada kesimpulan yang telah diambil. Berpegang pada karekteristik Ilmu Hukum sebagai ilmu terapan, preskripsi yang diberikan di dalam kegiatan penelitian hukum harus dapat atau setidaknya mungkin untuk diterapkan.

Langkah-langkah tersebut dapat diterapkan, baik terhadap penelitian untuk keperluan praktis maupun untuk kajian akademis. Itulah ringkasan mengenai langkah-langkah yang perlu dilakukan di dalam penelitian hukum yang dijelaskan oleh Peter Mahmud Marzuki di dalam bukunya yang berjudul “Penelitian Hukum” (Peter Mahmud Marzuki, 2008 : 171-209).

2. Sifat Penelitian

Dalam penelitian hukum ini, Penulis menggunakan penelitian hukum yang bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia atau gejala, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksud dari penelitian deskriptif adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu dan memperkuat teori-teori lama di dalam kerangka menyusun teori-teori baru (Soerjono Soekanto:2006:10).

3. Pendekatan Penelitian

Nilai ilmiah suatu pembahasan dan pemecahan masalah terhadap legal

issue yang diteliti sangat tergantung kepada cara pendekatan (approach)


(26)

commit to user

tidak akurat dan kebenarannya pun dapat digugurkan (Johnny Ibrahim, 2007 : 299).

Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan

(statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis

(historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach)

dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud

Marzuki, 2005: 93). Sedangkan menurut Johny Ibrahim dari kelima pendekatan tersebut ditambah dengan pendekatan analitis (analytical

approach) dan pendekatan filsafat (philosophical approach) berikut

(Johnny Ibrahim, 2007: 246). Dari beberapa pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan dengan penelitian hukum ini adalah pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan analitis (analytical

approach). Pendekatan undang-undang dilakukan dengan mendekati

masalah yang diteliti dengan menggunakan sifat hukum yang normatif, karena dalam penelitian ini hukum dikonsepkan sebagai norma-norma tertulis yang dibuat oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Oleh karena itu, pengkajian yang dilakukan hanyalah terbatas pada peraturan perundang-undangan (tertulis) yang terkait dengan masalah yang diteliti. Selanjutnya penelitian ini akan diuraikan secara deskriptif dengan menelaah, menjelaskan, memaparkan, menggambarkan, serta menganalisis permasalahan atau isu hukum yang diangkat, seperti apa yang telah dikemukakan dalam perumusan masalah.

4. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka berupa keterangan-keterangan yang secara tidak langsung diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, peraturan perundangan lainnya yang terkait, yurisprudensi, arsip-arsip yang berhubungan dengan masalah


(27)

commit to user

yang diteliti seperti putusan dan tulisan-tulisan ilmiah, sumber-sumber tertulis lainnya serta makalah-makalah yang berkaitan dengan penelitian ini.

5. Sumber Data

Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (normatif), sehingga bahan dari penelitian ini adalah data-data hukum sekunder. Data-data hukum sekunder oleh Soerjono Soekanto dikelompokkan menjadi (Soerjono Soekanto dalam Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990: 14-15).

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.

Antara lain sebagai berikut:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 hasil amandemen;

2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah

Konstitusi;

3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum

Presiden dan Wakil Presiden.

4) Putusan Mahkamah Konstitusi No. 108-109/PHPU.B-VII/2009

tentang Penggelembungan DPT Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

5) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 29 Tahun 2009 tentang

Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara di Tempat Pemungutan Suara.

6) Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 2007 Tentang

Penyelenggaraan Pemilihan Umum.

7) Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Menurut Peter Mahmud Marzuki, bahan penelitian hukum sekunder adalah bahan-bahan berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen


(28)

commit to user

resmi, meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 141). Bahan penelitian hukum sekunder yang digunakan penulis adalah penjelasan dari tiap-tiap peraturan perundang-undangan sebagaimana telah disebutkan di atas sebagai bahan hukum sekunder yang menjadi pertimbangan penting bagi penulis, dikarenakan penjelasan dari tiap-tiap peraturan perundang-undangan menggambarkan maksud dan tujuan pembentukan peraturan perundang-undangan oleh subyek-subyek pembentuknya, buku-buku yang terkait dengan materi/bahasan, hasil-hasil penelitian, artikel majalah dan koran, pendapat pakar hukum maupun makalah-makalah yang berhubungan dengan topik penulisan ini;

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberikan

petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

6. Teknik Pengumpulan Data

Suatu penelitian pasti membutuhkan data yang lengkap dalam hal ini dimaksudkan agar data yang terkumpul benar-benar memiliki nilai validitas yang cukup tinggi. Di dalam penelitian lazimnya dikenal tiga jenis pengumpulan data yaitu studi kepustakaan atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi dan wawancara.

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian hukum ini adalah studi kepustakaan yaitu berupa pengumpulan data sekunder. Dalam penelitian hukum ini, penulis mengumpulkan data sekunder yang memiliki hubungan dengan masalah yang diteliti dan digolongkan sesuai dengan katalogisasi. Selanjutnya data yang diperoleh kemudian dipelajari, diklarifikasikan serta dianalisis lebih lanjut sesuai dengan tujuan dan permasalahan penelitian.


(29)

commit to user

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian hukum ini adalah studi kepustakaan yaitu berupa pengumpulan data sekunder. Dalam penelitian hukum ini, penulis mengumpulkan data sekunder yang memiliki hubungan dengan masalah yang diteliti dan digolongkan sesuai dengan katalogisasi. Selanjutnya data yang diperoleh kemudian dipelajari, diklarifikasikan serta dianalisis lebih lanjut sesuai dengan tujuan dan permasalahan penelitian.

7. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dengan logika deduktif. Menurut Johny Ibrahim yang mengutip pendapatnya Bernard Arief Shiharta, logika deduktif merupakan suatu teknik untuk menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual (Johny Ibrahim, 2007: 249). Sedangkan Prof. Peter Mahmud Marzuki yang mengutip pendapatnya Philiphus M. Hadjon menjelaskan metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles, penggunaan metode deduksi berpangkal dari pegajuan premis major (pernyataan bersifat umum). Kemudian diajukan premis minor (bersifat khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan atau

conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2007: 47). Jadi yang dimaksud

dengan pengolahan bahan hukum dengan cara deduktif adalah menjelaskan sesuatu dari hal-hal yang sifatnya umum, selanjutnya menarik kesimpulan dari hal itu yang sifatnya lebih khusus.

F. Sistematika Penulisan

Dalam bagian ini, Penulis mensistematiskan bagian-bagian yang akan dibahas menjadi beberapa bab yang diusahakan dapat berkaitan dan lebih tersistematis, terarah dan mudah dimengerti, sehingga saling mendukung dan menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh.


(30)

commit to user

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini mencakup latar belakang permasalahan yang akan ditulis, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penelitian.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini akan mencakup kajian pustaka berkaitan dengan judul dan masalah yang diteliti yang memberikan landasan teori serta diuraikan mengenai kerangka pemikiran yaitu berupa Tinjauan Pertama mengenai Negara Hukum yang meliputi : Pendapat para ahli tentang Negara Hukum dan Prinsip-prinsip Negara Hukum. Tinjauan Kedua mengenai Demokrasi yang meliputi Pengertian dan hakikat demokrasi; asas-asas demokrasi; faktor-faktor penegak demokrasi; model-model demokrasi. Tinjauan Ketiga mengenai Konstitusi meliputi : sejarah konstitusi; pengertian konstitusi; tujuan, fungsi dan ruang lingkup konstitusi; klasifikasi konstitusi; nilai-nilai konstitusi; serta prinsip-prinsip umum perubahan konstitusi. Tinjauan Keempat mengenai Mahkamah Konstitusi yang meliputi : Latar belakang pembentukan Mahkamah Konstitusi RI; Tugas dan

wewenang Mahkamah Konstitusi. Tinjauan Kelima mengenai

Hukum Acara Mahkamah Konstitusi yang meliputi : Pengertian Hukum Acara Mahkamah Konstitusi; sumber hukum acara Mahkamah Konstitusi; asas-asas hukum Mahkamah Konstitusi; permohonan dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi; alat bukti dan sistem pembuktian; serta putusan Mahkamah Konstitusi.

BAB III : PEMBAHASAN

Bab ini mencakup hasil penjelasan dari penelitian yang membahas tentang 2 hal yaitu:


(31)

commit to user

1. Faktor-faktor yang menjadi dasar hukum dan dasar

pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap serta,

2. Analisis hakim Mahkamah Konstitusi terhadap perkara

sengketa penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (Putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU)).

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab akhir ini mencakup tentang uraian kesimpulan dari hasil pembahasan serta memuat saran-saran mengenai permasalahan yang ada.


(32)

commit to user BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teoritis

1. Tinjauan Mengenai Negara Hukum

Negara Hukum merupakan terjemahan dari rechtstaat (ahli-ahli hukum Eropa Kontinental) atau rule of law (ahli-ahli hukum Anglosaxon). Ide Negara hukum, selain terkait dengan konsep rechtsstaat dan the rule of law, juga berkaitan dengan konsep nomocracy sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaita erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi.

Menurut Komisi Internasional Ahli Hukum, Konferensi di Bangkok tahun 1965 (The International Commission of Jurists), pemerintah yang demokratis di bawah rule of law harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Adanya perlindungan konstitusional;

b. Adanya pemilihan umum yang bebas;

c. Adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;

d. Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat;

e. Adanya kebebasan untuk berserikat /berorganisasidan beroposisi f. Adanya pendidikan kewarganegaraan (civic education).

Profesor Utrecht membedakan antara Negara Hukum formil dan Negara Hukum materiil. Negara Hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit yaitu dalam arti perundang-undangan tertulis, sedangkan negara hukum materiil yang lebih mutakhir, mencakup pula pengertian keadilan didalamnya. Pembedaan ini, menurut Jimly Asshiddiqie, memang dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam konsepsi negara hukum itu, keadilan tidak serta-merta akan terwujud


(33)

commit to user

secara substantif, terutama karena pengertian orang mengenai hukum itu sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum formil dan dapat pula dipengaruhi oleh aliran pikiran hukum utama.

Jika hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti perundang-undangan semata, niscaya pengertian negara hukum yang dikembangkan bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu menjamin keadilan substantif. Karena itu, disamping istilah the rule of law oleh Friedman juga dikembangkan istilah rule of just law untuk memastikan bahwa dalam pengertian tentang the rule of law tercakup pengertian keadilan yang lebih essensial daripada sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit. Kalaupun istilah yang digunakan tetap the rule of law, pengertian yang bersifat luas itulah yang diharapkan dicakup dalam istilah the rule of law yang digunakan untuk menyebut konsepsi tentang Negara Hukum di zaman sekarang (Majalah Konstitusi.2009. Edisi 26:16).

Dari uraian-uraian diatas, dapat dirumuskan kembali adanya dua belas pokok prinsip Negara Hukum (Rechtstaat) yang merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern

sehingga dapat disebut Negara Hukum yaitu (Jimly

Asshiddiqie.2005:151):

a. Supremasi Hukum (Supremacy of Law)

Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum

(supremacy of law), pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang

sesungguhnya bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi. Dalam republik yang menganut sistem presidensiil yang bersifat murni, konstitusi itulah yang sebenarnya


(34)

commit to user

lebih tepat untuk disebut sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.

b. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law)

Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan, segala sikap diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat yang jauh lebih maju. c. Asas Legalitas (Due Process of Law)

Dalam setiap negara hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (Due Process of Law) yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis.

d. Pembatasan Kekuasaan

Adanya pembatasan kekuasaan negara dan organ-organ negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang.

Karena itu, kekuasaan harus selalu dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat

checks and balances dalam kedudukan yang sederajat dan saling

mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan ke dalam


(35)

commit to user

beberapa organ yang tersusun secara vertikal. Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.

e. Organ-organ Eksekutif Independen

Dalam rangka membatasi kekuasaan itu, di zaman sekarang berkembang pula adanya pengaturan kelembagaan pemerintahan yang bersifat independent, seperti bank sentral, organisasi tentara, organisasi kepolisian dan kejaksaan. Lembaga, badan atau organisasi-organisasi ini sebelumnya dianggap sepenuhnya berada dalam kekuasaan eksekutif, tetapi sekarang berkembang menjadi independen sehingga tidak lagi sepenuhnya merupakan hak mutlak seorang kepala eksekutif untuk menentukan pengangkatan atau pemberhentian pimpinannya. f. Peradilan yang bebas dan tidak memihak

Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiap negara hukum. Dalam menjalankan tugas yudisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang. Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislatif ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa.

g. Peradilan Tata Usaha Negara

Peradilan tata usaha negara juga menyangkut prinsip peradilan bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai pilar utama Negara Hukum. Dalam setiap negara hukum, harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi negara. Pengadilan Tata Usaha Negara ini penting karena yang menjamin agar warga negara tidak dizalimi oleh


(36)

commit to user

keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara sebagai pihak yang berkuasa.

h. Peradilan Tata Negara (Constitusional Court)

Dalam negara hukum modern diharapkan adanya jaminan tegaknya keadilan tiap-tiap warga negara dengan mengadopsikan gagasan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya. Pentingnya Mahkamah Konstitusi adalah upaya memperkuat sistem

check and balances antara cabang-cabang kekuasaan yang sengaja

dipisah-pisahkan untuk menjamin demokrasi.

i. Perlindungan Hak Asasi Manusia

Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut

dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan

penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu negara hukum yang demokratis.

j. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtstaat)

Dalam prinsip demokrasi yang menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.

k. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtstaat).


(37)

commit to user

Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi maupun yang diwujudkan melalui gagasan negara hukum yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional yang dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

l. Transparansi dan Kontrol Sosial.

Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh peran serta masyarakat secara langsung dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran. Adanya partispasi langsung ini penting karena sistem perwakilan rakyat melalui parlemen tidak pernah dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat.

2. Tinjauan mengenai Demokrasi

a. Pengertian dan Hakikat Demokrasi

Pengertian tentang demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa (etimologis) dan istilah (terminologis). Secara etimologis, "demokrasi" berasal dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu

demos yang berarti rakyat, dan cratos atau cratein yang berarti

pemerintahan, sehingga dapat disimpulkan sebagai pemerintahan rakyat. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara


(38)

commit to user

tersebut. Demokrasi bila ditinjau dari terminologis (Azyumardi Azra, 2000 : 110), sebagaimana dikemukakan beberapa para ahli, misalnya: 1) Joseph A. Schmeter, bahwa demokrasi adalah suatu perencanaan

institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.

2) Sidney Hook, bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.

3) Phillipe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl yang menyatakan bahwa demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para wakil mereka yang telah terpilih.

4) Henry B. Mayo, bahwa demokrasi merupakan suatu sistem politik

yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.

5) Affan Gaffar, bahwa demokrasi terbagi dalam dua bentuk yaitu pemaknaan secara normatif, ialah demokrasi yang secara ideal hendak dilakukan oleh suatu negara, dan pemaknaan secara empirik, yaitu demokrasi dalam perwujudannya pada dunia politik praktis.

Berdasarkan berbagai pendapat di atas, maka dapat ditarik suatu pengertian dasar bahwa demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan dimana kekuasaan berada di tangan rakyat, yang mengandung tiga unsur, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pemerintahan dari rakyat mengandung pengertian bahwa pemerintah yang berdaulat adalah pemerintah yang mendapat pengakuan dan didukung oleh rakyat. Legitimasi suatu pemerintahan sangat penting karena dengan legitimasi tersebut, pemerintahan yang berdaulat dapat menjalankan pemerintahannya serta program-program sebagai wujud dari amanat dari rakyat yang diberikan kepadanya.


(39)

commit to user

Pemerintahan oleh rakyat berarti bahwa pemerintah yang mendapat legitimasi amanat dari rakyat sudah seharusnya untuk tunduk pada pengawasan rakyat (social control). Dengan adanya

control tersebut, maka dapat sebagai tindakan preventif mengantisipasi

ambisi keotoriteran para pejabat pemerintah.

Pemerintahan untuk rakyat mengandung arti bahwa kekuasaan yang diberikan dari dan oleh rakyat kepada pemerintah harus dijalankan untuk kepentingan rakyat. Oleh karena itu, perlu adanya kepekaan pemerintah terhadap kebutuhan rakyat dan terhadap aspirasi rakyat yang perlu diakomodir yang kemudian di follow-up melalui pengeluaran kebijakan maupun melalui pelaksanaan program kerja pemerintah.

Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Independensi dan kesejajaran dari ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and

balances.

Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung hanyalah sedikit dari sekian banyak makna kedaulatan rakyat. Peranannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilu sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir (paradigma) lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu


(40)

commit to user

tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara.

b. Asas-asas Demokrasi

Dalam menentukan berlakunya suatu sistem demokrasi di suatu negara ialah ada tidaknya asas-asas demokrasi dalam sistem pemerintahan suatu negara. Adapun asas-asas demokrasi yaitu (http://pendkewarganegaraansmpnasima.blogspot.com/2009/01/blogsp ot.html diakses tgl kamis 4 februari 2010 jam 15.15):

1) Adanya pengakuan hak – hak asasi manusia sebagai penghargaan terhadap martabat manusia

Negara berperan aktif dalam memberikan perlindungan dan menjamin hak asasi manusia dengan diatur dalam peraturan perundanga-undangan yang mempunyai payung hukum yang jelas terhadap hak asasi manusia. Seperti di Indonesia, sudah ada pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

2) Adanya partisipasi dan dukungan rakyat kepada pemerintah

Rakyat ikut serta menentukan kebijakan pemerintah yang bersifat asasi dan menguasai hajat hidup orang banyak sehingga pemerintah tidak dapat semena-mena dalam menentukan kebijakan, perlu adanya kontrol dari rakyat. Di sisi lain, pemerintah membutuhkan dukungan langsung dari rakyat dalam hal pemilihan wakil rakyat maupun pemilihan presiden.


(41)

commit to user c. Faktor-faktor Penegak Demokrasi

Mengingat sangat pentingnya demokrasi, maka perlu adanya faktor-faktor untuk menegakan demokrasi itu sendiri (Azyumardi Azra, 2000 : 117 – 121). Ada empat faktor utama yaitu :

1) Negara hukum (rechtstaat dan rule of law)

Konsep rechtsstaat adalah adanya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan pada lembaga negara, pemerintahan berdasarkan peraturan, serta adanya peradilan administrasi. Konsep dari rule of

law yaitu adanya supremasi aturan-aturan hukum, adanya

kedudukan yang sama di muka hukum (equality before the law), serta adanya jaminan perlindungan HAM.

Berdasarkan dua pandangan di atas, maka dapat ditarik suatu konsep pokok dari negara hukum adalah adanya jaminan perlindungan terhadap HAM, adanya supremasi hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan, adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan negara, dan adanya lembaga peradilan yang bebas dan mandiri.

2) Masyarakat madani

Masyarakat madani dicirikan dengan masyarakat yang terbuka, yang bebas dari pengaruh kekuasaan dan tekanan negara, masyarakat yang kritis dan berpartisipasi aktif, serta masyarakat yang egaliter. Masyarakat yang seperti ini merupakan elemen yang sangat signifikan dalam membangun demokrasi. Demokrasi yang terbentuk kemudian dapat dianggap sebagai hasil dinamika masyarakat yang menghendaki adanya partisipasi. Selain itu, demokrasi merupakan pandangan mengenai masyarakat dalam kaitan dengan pengungkapan kehendak, adanya perbedaan pandangan, adanya keragaman dan konsensus.


(42)

commit to user 3) Infrastruktur

Infrastruktur politik yang dimaksud terdiri dari partai politik (parpol), kelompok gerakan, serta kelompok kepentingan atau kelompok penekan.

Partai politik merupakan suatu wadah struktur kelembagaan politik yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai, dan cita-cita yang sama yaitu memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dalam mewujudkan kebijakan-kebijakannya. Kelompok gerakan lebih dikenal dengan organisasi masyarakat, yang merupakan sekelompok orang yang berhimpun dalam satu wadah organisasi yang berorientasi pada pemberdayaan

warganya. Kelompok kepentingan atau penekan adalah

sekumpulan orang dalam suatu wadah organisasi yang didasarkan pada kriteria profesionalitas dan keilmuan tertentu.

Dikaitkan dengan demokrasi, menurut Miriam Budiardjo, parpol memiliki empat fungsi yaitu sebagai sarana komunikasi politik, sebagai sarana sosialisasi politik, sebagai recruitment kader dan anggota politik, serta sebagai sarana pengatur konflik. Keempat fungsi tersebut merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai demokrasi, yaitu adanya partisipasi serta kontrol rakyat melaui parpol. Sedangkan kelompok gerakan dan kelompok

kepentingan merupakan perwujudan adanya kebebasan

berorganisasi, kebebasan menyampaikan pendapat, dan melakukan oposisi terhadap negara dan pemerintah.

4) Pers yang bebas dan bertanggung jawab

Pers yang dapat menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang obyektif melakukan kontrol sosial yang konstruktif menyalurkan aspirasi rakyat dan meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat. Dalam hal ini perlu dikembangkan interaksi


(43)

commit to user

positif antara pers, pemerintah, dan masyarakat (Sukarno, 1986 : 30).

d. Model-model demokrasi (Azyumardi Azra, 2000 : 134).

1) Demokrasi liberal, yaitu pemerintahan yang dibatasi undang-undang dan pemilihan umum bebas yang diselenggarakan dalam waktu yang tetap secara berkala.

2) Demokrasi terpimpin, yaitu dimana para pemimpin percaya bahwa

segala tindakan mereka dipercaya rakyat tetapi menolak pemilihan umum yang bersaing sebagai “kendaraan” untuk menduduki kekuasaaan.

3) Demokrasi Pancasila, adalah dimana kedaulatan rakyat sebagai inti dari demokrasi. Karenanya rakyat mempunyai hak yang sama untuk menentukan dirinya sendiri. Begitu pula partisipasi politik yang sama semua rakyat. Untuk itu, Pemerintah patut memberikan perlindungan dan jaminan bagi warga negara dalam menjalankan hak politik.

4) Demokrasi sosial, adalah demokrasi yang menaruh kepedulian pada keadilan sosial dan egaliterianisme bagi persyaratan untuk memperoleh kepercayaan publik.

5) Demokrasi partisipasi, yang merupakan hubungan timbal balik antara penguasa dengan yang dikuasai.

6) Demokrasi consociational, yang menekankan proteksi khusus bagi kelompok-kelompok budaya yang menekankan kerja sama yang erat di antara elit yang mewakili bagian budaya masyarakat utama.

7) Demokrasi langsung, yang mana lembaga legislatif hanya

berfungsi sebagai lembaga pengawas jalannya pemerintahan, sedangkan pemilihan pejabat eksekutif dan legislatif melalui pemilihan umum (pemilu) oleh rakyat secara langsung.

8) Demokrasi tidak langsung, yang mana lembaga parlemen (sebagai wakil rakyat) dituntut kepekaan terhadap berbagai hal yang


(44)

commit to user

berkaian dengan kehidupan masyarakat dalam hubungannya dengan pemerintah dan negara. Hal ini berarti rakyat tidak secara langsung berhadapan dengan pemerintah.

3. Tinjauan Mengenai Konstitusi a. Sejarah Konstitusi

1) Terminologi klasik ( Constitutio dan Politeia )

Dari sejarah klasik terdapat 2 perkataan yang berkaitan erat dengan pengertian kita sekarang tentang konstitusi , yaitu dalam perkataan Yunani kuno Politeia dan perkataan bahasa latin

Constitutio yang juga berkaitan dengan kata jus. Dalam kedua

perkataan politeia dan costitutio itulah awal mula gagasan konstitusionalisme diekspresikan oleh umat manusia beserta hubungan di antara kedua istilah tersebut dalam sejarah.

Jika kedua istilah tersebut dibandingkan, maka dapat dikatakan bahwa yang paling tua usianya adalah Politeia yang berasal dari kebudayaan Yunani.

Namun, dalam bahasa Yunani kuno tidak dikenal adanya istilah yang mencerminkan kata jus ataupun constituio seperti dalam tradisi romawi yang datang kemudian. Dalam keseluruhan sistem berfikir para filosof Yunani kuno, perkataan constitution seperti yang kita maksudkan sekarang, tidak dikenal.

2) Warisan Yunani kuno (Aristoteles)

Menurut Aristoteles, klasifikasi konstitusi tergantung pada :

a) The ends pursued by states, and

b) The kind of authority exercised by their government

Tujuan tertinggi dari Negara adalah a good life, dan hal ini merupakan kepentingan bersama seluruh warga masyarakat. Oleh karena itu, Aristoteles membedakan antara right Constitution dan


(45)

commit to user

wrong constution dengan ukuran kepentingan bersama. Jika

konstitusi diarahkan untuk tujuan mewujudkan kepentingan bersama, maka konstitusi itu disebut konstitusi yang benar, tetapi jika sebaliknya konstitusi itu adalah kostitusi yang salah (Jimly Asshiddiqie.2010:6).

3) Warisan Romawi Kuno

Salah satu sumbangan penting filsof romawi, terutama setelah Cicero mengembangkan karyanya adalah pemikiran tentang hukum yang berbeda sama sekali dari tradisi yang sudah dikembangkan sebelumnya oleh para filosof kuno sebelumnya.

Pada masa ini adalah awal mula dipakainya istilah lex yang kemudian menjadi kata kunci untuk memahami konsepsi politik dan hukun di zaman Romawi kuno. Penggunaan perkataan lex tampaknya dianggap lebih luas cakupan maknanya.

Konstitusi mulai dipahami sebagai sasuatu yang berada di luar dan bahkan diatas negara. Tidak seperti masa sebelumnya, konstitusi mulai dipahami sebagai lex yang menentukan bagaimana bangunan kenegaraan harus dikembangkan sesuai prinsip the

higher law. Prinsip hierarki hukum juga makin dipahami secara

tegas kegunaannya dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan. 4) Warisan Islam (Konstitusionalisme dan Piagam Madinah)

Piagam tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang dapat dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam arti modern dalam Piagam Madinah. Piagam ini dibuat atas persetujuan bersama antara Nabi Muhammad SAW dengan wakil-wakil penduduk kota Madinah tidak lama setelah beliau hijrah dari Mekkah ke Madinah.


(46)

commit to user

Dapat dikatakan bahwa lahirnya Piagam Madinah pada abad ke 7 M itu merupakan inovasi yang paling penting selama abad-abad pertengahan yang memulai suatu tradisi baru adanya perjanjian bersama di antara kelompok-kelompok masyarakat untuk bernegara dengan naskah perjanjian yang dituangkan dalam bentuk yang tertulis.

5) Terminologi konstitusi modern

Konstitusi bukanlah undang-undang biasa. Ia tidak ditetapkan oleh lembaga legislatif yang biasa, tetapi oleh badan yang lebih khusus dan lebih tinggi kedudukannya. Jika norma hukum yang terkandung di dalamnya bertentangan dengan norma hukum yang terdapat dalam undang-undang, maka ketentuan undang dasar itulah yang berlaku, sedangkan undang-undang harus memberikan jalan untuk itu.

Oleh karena itu, dikembangkannya pengertian constituent

power berkaitan dengan pengertian hierarki hukum (hierarchy of

law). Konstitusi merupakan hukum yang paling tinggi serta paling fundamental sifatnya karena konstitusi merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan perundang-undangan lainnya.

b. Pengertian Konstitusi

Menurut istilah, konstitusi adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur

secara mengikat cara-cara bagaimana suatu pemerintahan

diselenggarakan dalam suatu masyarakat.

Pengertian konstitusi menurut Carl Schmitt, membagi konstitusi dalam empat pengertian sebagai berikut (Dasril Radjab, 2006:48-51):


(47)

commit to user

1) Konstitusi dalam arti absolut yang diperinci menjadi empat bagian yaitu:

a) Konstitusi dianggap sebagai satuan organisasi yang nyata, mencakup semua bangunan hukum dari semua organisasi yang ada dalam negara.

b) Konstitusi sebagai bentuk negara. Yang dimaksud dengan bentuk negara adalah negara dalam arti keseluruhannya. Bentuk negara itu bisa demokrasi atau monarki. Demokrasi baik langsung maupun memerintah dirinya sendiri sehingga antara yang memerintah dan yang diperintah identik dengan rakyat.

c) Konstitusi sebagai faktor integrasi. Faktor ini bisa abstrak dan fungsional. Abstrak misalnya hubungan antara bangsa dan negara dengan lagu kebangsaannya. Dikatakan fungsional karena tugas konstitusi mempersatukan bangsa melalui pemilu, pembentukan kabinet, referendum dan sebagainya.

d) Konstitusi sebagai suatu sistem tertutup dari norma-norma hukum yang tertinggi di dalam negara, jadi konstitusi itu merupakan norma dasar sebagai sumber bagi norma-norma lain yang berlaku di dalam negara.

2) Konstitusi dalam arti relative

Konstitusi dalam arti relatif dimaksudkan sebagai konstitusi yang dihubungkan dengan kepentingan suatu golongan tertentu di dalam masyarakat. Golongan utama adalah golongan borjuis liberal yang menghendaki adanya jaminan dari penguasa agar hak-haknya tidak dilanggar.

3) Konstitusi dalam arti positif

Carl Schmitt menjelaskan pengertian konstitusi dalam arti positif dihubungkan dengan ajaran dezisionisme, yaitu ajaran


(48)

commit to user

tentang keputusan. Menurutnya, konstitusi dalam arti positif itu mengandung pengertian sebagai keputusan politik yang tertinggi. 4) Konstitusi dalam arti ideal

Disebut konstitusi ideal karena konstitusi itu idaman dari kaum borjuis sebagai jaminan bagi rakyat agar hak-hak asasinya dilindungi.

Menurut F. Lasele konstitusi dibagi menjadi 2 pengertian, yakni (Dahlan Thaib; Jasim Hamidi; Ni’matul Huda, 2001:10):

1) Sosiologis dan politis.

Secara sosiologis dan politis, konstitusi adalah sintesa faktor- faktor kekuatan yang nyata dalam masyarakat. Jadi konstitusi menggambarkan hubungan antara kekuasaan-kekuasaan yang terdapat dengan nyata dalam suatu negara.

2) Yuridis.

Secara yuridis konstitusi adalah suatu naskah yang memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan

c. Tujuan, Fungsi dan Ruang Lingkup Konstitusi

1) Tujuan Konstitusi (Taufiqurrohman Syahuri,2004:28-29)

Secara garis besar, tujuan konstitusi adalah membatasi tindakan sewenang-wenang pemerintah, menjamin hak-hak rakyat yang diperintah dan menetapkan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat. Sedangkan fungsi konstitusi adalah sebagai dokumen nasional dan alat untuk membentuk sistem politik dan sistem hukum negara.

2) Fungsi Konstitusi

Menurut Jimly Asshidiqie dalam buku hukum konstitusi, konstitusi memiliki fungsi-fungsi yang diperinci sebagai berikut: a) Fungsi penentu dan pembatas kekuasaan organ negara.


(49)

commit to user

b) Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara. c) Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara

dengan warga negara.

d) Fungsi pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan negara ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara.

e) Fungsi penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber

kekuasaan yang asli kepada organ negara.

f) Fungsi simbolik sebagai pemersatu, sebagai rujukan identitas dan keagungan kebangsaan serta sebagai center of ceremony. g) Fungsi sebagai sarana pengendalian masyarakat, baik dalam

arti sempit hanya di bidang politik, maupun dalam arti yang luas mencakup bidang sosial dan ekonomi.

h) Fungsi sebagai sarana perekayasa dan pembaruan masyarakat. 3) Ruang Lingkup Konstitusi

Menurut A. A. H. Struycken ruang lingkup konstitusi meliputi: a) Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau

b) Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa c) Pandangan tokoh bangsa yang hendak diwajibkan, baik waktu

sekarang maupun untuk masa yang akan datang.

d) Suatu keinginan dengan perkembangan kehidupan

ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin. d. Klasifikasi Konstitusi

K. C. Weare mengklasifikasikan konstitusi menjadi 5, yaitu: 1) Konstitusi tertulis dan tidak tertulis

Konstitusi tertulis adalah konstitusi dalam bentuk dokumen yang memiliki “kesakralan khusus” dalam proses perumusannya.

Konstitusi tidak tertulis adalah konstitusi yang lebih berkembang atas dasar adat-istiadat dari pada hukum tertulis dan tidak dituangkan dalam suatu dokumen.


(50)

commit to user

Konstitusi fleksibel adalah Konstitusi yang dapat diubah atau diamandemen tanpa adanya prosedur khusus. Dalam konstitusi fleksibel mempunyai ciri pokok yaitu:

a) Elastis, dapat dengan mudah menyesuaikan dirinya.

b) Diumumkan dan diubah dengan cara yang sama seperti

undang-undang.

Konstitusi kaku adalah konstitusi yang mempersyaratkan prosedur khusus untuk perubahan atau amandemennya. Dalam konstitusi rigid mempunyai ciri pokok yaitu

a) Mempunyai kedudukan dan derajat yang lebih tinggi daripada peraturan perundang-undangan yang lain.

b) Hanya dapat diubah dengan cara yang khusus atau istimewa. 3) Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi tidak derajat tinggi

Konstitusi derajat tinggi ialah konstitusi yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam negara.

Konstitusi tidak derajat tinggi ialah konstitusi yang tidak mempunyai kedudukan serta derajat seperti konstitusi derajat tinggi.

4) Konstitusi serikat dan konstitusi kesatuan

Bentuk ini berkaitan dengan bentuk negara, jika negara itu serikat maka akan didapatkan sistem pembagian kekuasaan antara pemerintah negara serikat dengan pemerintah negara bagian. 5) Konstitusi sistem pemerintahan presidensial dan konstitusi sistem

pemerintahan parlementer

Ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial :

a) Presiden dipilih langsung oleh rakyat atau dewan pemilih b) Presiden bukan pemegang kekuasaan legislatif


(51)

commit to user

c) Presiden tidak dapat membubarkan pemegang kekuasaan

legislatif dan tidak dapat memerintahkan diadakan pemilihan. d) Disamping sebagai kepala negara, Presiden juga sebagai

kepala pemerintahan.

Ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer:

a) Kabinet yang dipilih Perdana Menteri dibentuk atau

berdasarkan ketentuan yang menguasai parlemen

b) Para anggota kabinet sebagian atau seluruhnya adalah anggota parlemen

c) Kepala negara dengan saran Perdana Menteri dapat

membubarkan parlemen dan memerintahkan diadakannya pemilu.

d) Perdana Menteri bertanggung jawab kepada parlemen.

e. Nilai-nilai konstitusi

Dalam praktek ketatanegaraan sering terjadi suatu konstitusi yang tertulis (Undang-Undang Dasar) tidak berlaku secara sempurna karena salah satu atau beberapa pasalnya tidak berlaku secara efektif. Ketidakefektifan ini dipengaruhi olehtidak mempunyai konstitusi menyesuaikan dengan perkembangan praktek ketatanegaraan, selain itu juga dipengaruhi oleh pihak pemerintah yang melaksanakan undang-undang dasar itu.

Sehubungan dengan hal tersebut Karl Lowenstein membuat tiga jenis penilaian sebagai berikut (Dasril Radjab, 2006:55-57):

1) Nilai Normatif

Apabila suatu konstitusi telah resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi mereka konstitusi bukan saja berlaku di dalam arti hukum, tetapi juga merupakan suatu kenyataan dalam arti sepenuhnya dan efektif. Dengan begitu, konstitusi dapat dilaksanakan secara mutlak dan konsekuen.


(52)

commit to user 2) Nilai Nominal

Konstitusi menurut hukum memang berlaku tetapi kenyataannya tidak sempurna. Ketidaksempurnaan berlakunya konstitusi tertulis sering kali berbeda dengan yang dipraktekkan sebab sebagaimana telah diketahui konstitusi dapat berubah baik karena perubahan formil seperti yang tercantum dalam konstitusi itu maupun karena konvensi ketatanegaraan.

3) Nilai Semantik

Konstitusi secara hukum berlaku, tetapi dalam kenyataannya hanya sekedar untuk membentuk dari tempat yang ada dan untuk melaksanakan kekuasaan politik. Jadi konstitusi hanya sekadar istilah saja, sedangkan pelaksanaannya sering dikaitkan dengan kepentingan penguasa. Contoh: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada waktu orde Lama.

f. Prinsip-prinsip Umum Perubahan Konstitusi

1) Sistem Amandemen (Taufiqurrohman Syahuri,2004:43-46)

Pengertian perubahan konstitusi dapat juga mencakup dua pengertian, yaitu:

a) Amandemen Konstitusi (Constitutional Amandment) b) Pembaruan Konstitusi (Constitutional Reform)

Namun demikian, secara khusus, apabila dilihat dari segi sistem atau bentuk perubahan konstitusi secara teori, istilah amandemen konstitusi memiliki makna tersendiri untuk membedakan dengan sistem perubahan konstitusi lain. Secara umum, sistem yang dianut oleh negara-negara dalam mengubah konstitusinya dapat digolongkan ke dalam dua sistem perubahan.

Pertama, apabila suatu konstitusi diubah maka yang akan berlaku adalah konstitusi yang baru secara keseluruhan, sehingga tidak ada


(1)

commit to user

terjadinya hasil penghitungan suara yang kemudian dipersengketakan itu harus pula dinilai untuk menegakkan keadilan”

Dengan demikian meskipun pertimbangan hukum di atas merupakan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada), maka di samping Pemilukada sama-sama rezim Pemilu dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah harus konsisten terhadap pertimbangan hukum tersebut dalam memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Hal tersebut guna merujuk pada asas kepastian hukum. Disamping itu, Mahkamah juga harus memberikan rasa keadilan bagi para calon pasangan sehingga tidak ada pihak yang dirugikan setelah adanya putusan tersebut. Dengan begitu, Mahkamah juga melindungi hak konstitusional para pasangan calon dengan kata lain sesuai dengan asas perlindungan Hak Asasi Manusia.

Apabila melihat Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009 maka segala aspek yang harus diterapkan dalam sebuah Hukum Acara Mahkamah Konstitusi telah dilaksanakan dengan baik.

Misalnya, Pemohon telah mempunyai kedudukan hukum (legal standing), dan

hakim Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan dengan berpedoman pada Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.

Menurut penulis bahwa KPU yang dalam hal ini sebagai termohon telah melaksanakan tugas dan wewenangnya. KPU juga telah menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan prosedur yang telah diamanatkan Undang-Undang sehingga dalil gugatan pemohon memang sepantasnya untuk ditolak secara keseluruhan (Amar Putusan Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009) karena gugatan pemohon tidak disertai dengan alat bukti dan saksi-saksi yang kuat.

Selain itu, alasan Mahkamah Konstitusi menolak gugatan pemohon karena pemohon tidak mengajukan permohonan mengenai penetapan hasil


(2)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

84

suara tetapi pemohon mendalilkan tentang pelanggaran-pelanggaran pidana dan administrasi yang seharusnya bukan menjadi kewenangan dari mahkamah konstitusi.

Di sisi lain, dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 termohon telah malaksanakan prosedur yang berlaku yang termasuk dalam asas Pemilu sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu yaitu:

a. Asas Kepastian Hukum

Keberatannya terlebih dahulu menjelaskan mengenai kronologis peristiwa hukum terjadinya perselisihan dan/atau sengketa hasil penghitungan suara dan ilustrasi mengenai indikasi terjadinya kesalahan dan/atau kecurangan hasil penghitungan suara pada tahapan, sejak dari tahapan pendataan daftar pemilih, pemungutan suara dan penghitungan suara di setiap tingkatan penghitungan suara yang dipenuhi hal-hal yang kontroversial, tidak netral dan bertentangan dengan prinsip due process of law dan merupakan pengingkaran terhadap fair proceeding yang jelas melawan hukum.

b. Asas Keterbukaan

Termohon telah memberikan data yang konkrit dalam pencetakan DPT sehingga pemilih maupun calon presiden dan wakil presiden dapat mengetahui langsung pemutakhiran DPT.

c. Asas Profesionalitas

Termohon telah bertindak secara profesional karena bekerja secara independen tanpa ada pihak lain yang mempengaruhinya. Apabila dalam

pelaksanaan teknis masih terjadi penggelembungan suara dan

kekurangsesuaian dalam pemutakhiran DPT bukan sepenuhnya kesalahan dari KPU.


(3)

commit to user

Penggelembungan Suara

Di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

108-109/PHPU.B-VII/2009 telah disebutkan bahwa termohon tidak melakukan

penggelembungan suara terhadap calon nomor urut 2 yaitu Susilo Bambang Yudhoyono-Budiono sebesar 25.303.054 sehingga dari suara fiktif tersebut dinilai merugikan pasangan calon lain.

Menurut penulis, sesuai data yang tersirat dalam Putusan maka apabila ada penggelembungan suara (terdapat selisih dalam penghitungan suara) dalam Pilpres seharusnya saksi tidak akan menandatangani berita acara penghitungan suara dan pemungutan suara (Pasal 47 ayat (3) Peraturan KPU Nomor 29 Tahun 2009 Tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan Suara dan Penghitungan Suara di Tempat Pemungutan Suara dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009).

Dalam hal ini, penulis juga ingin menjelaskan kenapa sengketa DPT pemilu Presiden dan Wakil Presiden dimasukkan dalam ruang lingkup PHPU? Padahal, secara garis ruang lingkup PHPU sendiri haruslah berkaitan dengan hasil penghitungan suara. Hal tersebut dikarenakan sengketa DPT berpengaruh pada hasil pemungutan suara di tingkat TPS. Sebagai gambarannya, apabila seorang pemilih tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam TPS maka calon presiden akan kehilangan satu suara. Tetapi hal itu tidak serta merta dijadikan alasan yang kuat karena masih banyak data pendukung (contoh: terdapat suara fiktif seperti yang dijelaskan dalam gugatan pemohon, banyaknya daftar pemilih ganda dan bukti-bukti lain yang dapat mempengaruhi hasil penghitungan suara masing-masing calon).

Untuk itu, penulis mencoba memberikan strategi untuk mengetahui ada

atau tidaknya penggelembungan suara dalam Pemilu Presiden

(www.kompasiana.com diakses tanggal 9 Oktober 2010 jam 17.10):


(4)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

86

b. Setiap tim pemenang pasangan capres & cawapres memiliki bukti Rekapitulasi Suara setiap TPS serta Daftar Hadir yang sudah ditandantangani oleh para saksi dari tim pemenang pasangan capres & cawapres lainnya.

c. Usaha untuk mencocokkan rekapitulasi perhitungan suara setiap TPS versi breakdown dengan versi bukti otentik yang dimiliki.


(5)

commit to user

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis paparkan pada bab sebelumnya yang mengacu pada rumusan masalah, maka penulis menyimpulkan sebagai berikut:

1. Pada dasarnya, Sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (DPT) bukan merupakan sengketa Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) karena sengketa Penggelembungan DPT tersebut lebih cenderung terhadap pelanggaran administrasi karena pelanggaran tersebut dilakukan akibat warga negara yang belum memenuhi syarat-syarat untuk menjadi pemilih tetapi sudah diberikan hak pilih dan merupakan bagian dari proses persiapan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden . Hal tersebut sesuai dengan yang dijelaskan dalam pasal 248 UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu. 2. Dasar Hukum yang digunakan dalam Penggelembungan DPT yaitu Pasal

29 sampai dengan Pasal 32 UU No. 42 Tahun 2008, Pasal 258 UU No. 10 Tahun 2008.

Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa penggelembungan DPT pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagai berikut:

1. Masalah Kualitatif yang terdiri dari Bantuan pihak asing dalam Pemilu, Pengurangan Tempat Pemungutan Suara (TPS), Pemutakhiran DPT dan pelanggaran-pelanggaran lainnya.

2. Masalah Kuantitatif yang terkait dengan penggelembungan suara dan pengurangan suara.

B. Saran

1. Seharusnya pemerintah melakukan perbaikan sistem kependudukan

sehingga KPU sebagai pelaksana Pemilu tidak akan kesulitan untuk


(6)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

88

mendapatkan data akurat terkait dengan DPS yang nantinya dijadikan DPT guna menimalisir penggelembungan DPT pada pemilu-pemilu berikutnya. 2. Supaya pemilu-pemilu yang akan datang dapat berjalan lebih baik

diperlukan langkah-langkah yang profesional baik dalam pembentukan Undang-Undang maupun pelaksanaan tugas-tugas KPU. Sejalan dengan itu, pelanggaran pidana Pemilu dan pelanggaran Pemilu lainnya yang belum ditindaklanjuti, meskipun tidak berpengaruh secara signifikan terhadap komposisi perolehan suara, dapat diproses lebih lanjut.