PENGARUH FORMULASI JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus Oestreatus) DAN TAPIOKA TERHADAP SIFAT FISIK, ORGANOLEPTIK DAN KIMIA KERUPUK

(1)

ABSTRACT

THE INFLUENCE OF WHITE OYSTER MUSHROOM (Pleurotus Oestreatus) FORMULATION AND TAPIOCA TO PHYSICAL, ORGANOLEPTIC, AND CHEMICAL CHARACTERISTICS OF

CRACKER

By

NOPENA FITRA

Cracker is a kind of snack made from material containing high content of starch, undergoing volume expansion, and forming a product with hollows at frying. White oyster (Pleurotus oestreatus) mushroom is a mushroom to consume from a kind of wood mushroom, and it has high nutrition content. The white oyster mushroom processing to be cracker product is one of product diversification efforts from mushroom. In making the cracker, it needs process of starch gelatin addition from tapioca before steaming cooking. The objective of this reserach is to find out the right formulation for mushroom and tapioca to produce cracker with best organoleptic, physical, and chemical characteristics.

This reseach used completely randomized group design with three repetitions. Treatments in this research were formulations between white oyster mushroom and tapioca in 7 levels; they were N1 (0% : 100%), N2 (10% : 90%), N3 (20% : 80%), N4 (30% : 70%), N5 (40% : 60%), N6 (50% : 50%), and N7 (60% : 40%). Homogeneity was tested using Bartlett test, and data addivity was tested using Tuckey test. Data were analyzed using analysis of variance to obtain error prediction, and significance test to find out the influences of treatments. If there were any significant influences, data were further analyzed using honestly significant difference in 5% and 1% levels.

The results showed that formulation N2 (10% white oyster mushroom and 90% tapioca) was the best formulation with expansion volume of 452,287%, crunchy texture, not typical whyte oyster mushroom taste, 7,20% (%db) water content, 1,03% (%db) ash content, 0,46% (%db) fat content, 1,66% (%db) protein content, 0,236% (%db) rough fibre content, and 89,409% (%db) carbohydrat content. However, the protein content did not meet the qualification of cracker standard quality (SNI 01-2713-1999).


(2)

ABSTRAK

PENGARUH FORMULASI JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus Oestreatus) DAN TAPIOKA TERHADAP SIFAT FISIK, ORGANOLEPTIK DAN

KIMIA KERUPUK

Oleh NOPENA FITRA

Kerupuk adalah makanan ringan yang terbuat dari bahan mengandung pati cukup tinggi, mengalami pengembangan volume dan membentuk produk berongga pada saat penggorengan. Jamur tiram (Pleurotus oestreatus) merupakan jamur konsumsi dari jenis jamur kayu yang memiliki nilai gizi tinggi. Pengolahan jamur tiram menjadi produk kerupuk merupakan salah satu upaya diversifikasi produk olahan jamur. Di dalam pembuatan kerupuk akan terjadi proses gelatinisasi pati dari tapioka yang ditambahkan pada saat pengukusan. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan formulasi jamur tiram dan tapioka yang tepat sehingga menghasilkan kerupuk dengan sifat organoleptik, sifat fisik dan kimia kerupuk terbaik.

Penelitian ini menggunakan Rancangan Kelompok Acak Lengkap (RKAL) dengan 3 ulangan. Perlakuan pada penelitian ini adalah formulasi jamur tiram dan tapioka sebanyak 7 taraf, yaitu N1 (0% : 100%); N2 (10% : 90%); N3 (20% : 80%); N4 (30% : 70%); N5 (40% : 60%); N6 (50% : 50%) dan N7 (60% : 40%). Kesamaan ragam diuji dengan uji Bartlett dan kemenambahan data diuji dengan uji Tuckey. Data dianalisis dengan sidik ragam untuk mendapatkan penduga ragam galat dan uji signifikansi untuk mengetahui pengaruh perlakuan. Apabila terdapat pengaruh yang nyata, data dianalisis lebih lanjut menggunakan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5% dan 1%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa formulasi N2 (10% jamur tiram dan 90% tapioka) merupakan formulasi kerupuk jamur tiram terbaik dengan volume pengembangan 452,287%, tekstur agak renyah, rasa tidak khas jamur tiram, warna putih kekuningan, aroma tidak khas jamur tiram, kadar air 7,20% (%bk), kadar abu 1,03% (%bk), kadar lemak 0,46% (%bk), kadar protein 1,66% (%bk), kadar serat kasar 0,236% (%bk) dan kadar karbohidrat 89,409% (%bk). Namun kadar protein yang dihasilkan tidak memenuhi standar mutu kerupuk (SNI 01–2713– 1999).


(3)

DAN KIMIA KERUPUK

Oleh

NOPENA FITRA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada

Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2012


(4)

PENGARUH FORMULASI JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus Oestreatus) DAN TAPIOKA TERHADAP SIFAT FISIK, ORGANOLEPTIK

DAN KIMIA KERUPUK

(Skripsi)

Oleh

NOPENA FITRA

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2012


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Diagram alir pembuatan kerupuk jamur tiram ... 25

2. Jamur tiram sebagai bahan baku utama pembuatan kerupuk... 82

3. Tapioka dan bumbu-bumbu sebagai bahan baku tambahan pembuatan kerupuk... ... ... ... 82

4. Jamur tiram dicuci dan ditiriskan... 82

5. Penghalusan jamur tiram dengan menggunakan blender... 82

6. Pencampuran bahan baku dan proses pengadonan... ... 83

7. Pembentukan adonan bulat memanjang dengan menggunakan plastik PP... ... 83

8. Pemanasan adonan setelah dibentuk selama 45 menit dengan suhu 80oC (suhu dijaga stabil)... 83

9. Hasil adonan setelah pemanasan ... ... 83

10.Pengirisan adonan dengan menggunakan slicer... 84

11.Hasil irisan adonan dikeringkan dengan menggunakan oven ... 84

12.Kerupuk mentah digoreng dengan metode deep frying... ... 84

13.Hasil kerupuk jamur tiram setelah penggorengan... ... 84

14.Kerupuk jamur tiram sebelum proses penggorengan... .. 85

15.Kerupuk jamur tiram setelah proses penggorengan... ... 85

16.Pengujian volume pengembangan dengan menggunakan Digital caliper terhadap kerupuk jamur tiram goreng... .. 85

17.Pengujian kadar air pada kerupuk jamur tiram mentah... ... 85

18.Pengujian kadar abu pada kerupuk jamur tiram mentah... 86

19.Pengujian kadar lemak pada kerupuk jamur tiram mentah... ... 86

20.Pengujian kadar protein pada kerupuk jamur tiram mentah... .. 86


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1995. Budidaya Jamur Kayu. Hasil Penelitian Kerjasama ROC-ATM dan Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur dan Yogyakarta. 10 hlm.

Anonim (a). 2011. Jamur Tiram. http://id. wikipedia. org /wiki/ Jamur_tiram. Diakses tanggal 21 Februari 2011. 8 hlm.

Anonim (b). 2011. Jamur Tiram. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura Departemen Pertanian. Jakarta. http://Hortikultura.go.id. Diakses tanggal 21 Februari 2011. 85 hlm.

AOAC. 1995. Official Methods of the Association of Official Analytical Chemists. North Ninetenth Street Suite 210. Virginia. Pp 1497.

Astawan, M. dan Christina. 1998. Kajian mutu kerupuk kemplang dari ikan gabus dan ikan tenggiri. Ilmu dan Teknologi Pangan 3(2) : 11–20. BPS. 2008. Volume Ekspor dan Impor Jamur Segar dan olahan (2000-2006). Badan Pusat Statistik. Jakarta.

Cahyana, dkk. 1999. Jamur Tiram, Pembibitan, Pembudidayaan, Analisis Usaha. Penebar Swadaya. Jakarta.

Darmadi. 2005. Pengaruh Rasio Onggok Fermentasi dengan Tapioka dan Bahan Pengembang terhadap Sifat Fisiko Kimia dan Organoleptik Kerupuk. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung. Hlm 1–39.

Dewi, B.S. 2004. Pengaruh Formulasi Tepung Kedelai (Glycine (L.) Merril), Tapioka, dan Tepung Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott) terhadap Sifat Organoleptik, Sifat Fisik dan Kimia Kerupuk. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung. Hlm 1–25.

Djumali, Z., I. Nasution Sailah dan M.S. Ma´arif. 1982. Teknologi Kerupuk Buku Pegangan Petugas Lapang Penyebarluasan Teknologi Sistem Padat Karya. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 53 hlm.

Elyawati. 1997. Teknologi Pengolahan Kerupuk di P. K. Sumber Jaya. Laporan Praktek Lapang. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. 123 hlm.


(7)

Fumiko, O. dan K. Yasuko. 2000. A study of kerupuk in Indonesia. Kagoshima Prefectural Jr. College. Natural Science 47: 17 (Abstrak).

Hayyuningsih, D.R.W. 2009. Perbedaan Kandungan Protein, Zat Besi dan Daya Terima pada Pembuatan Bakso dengan Perbandingan Jamur Tiram (Pleurotus, sp) dan Daging Sapi yang Berbeda. (Skripsi). Universitas Muhamadiyah Surakarta. Hlm 1–4.

Indraria, P. 2002. Pengaruh Varietas Labu (Cucurbita Moschata, ex poir) dan Perbandingan Labu dengan Tapioka terhadap Derajat Pengembangan dan Organoleptik Kerupuk Labu. ( Skripsi ). Universitas Lampung. Bandar Lampung. Hlm 1–23.

Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Universitas Indonesia. Jakarta. Hlm 138–151.

Kusnandar, F. 2010. Kimia Pangan Komponen Makro. PT Dian Rakyat. Jakarta. Hlm 79–142.

Martawijaya, E.I. dan M.Y. Nurjayadi. 2010. Bisnis Jamur Tiram di Rumah Sendiri. IPB Press. Bogor. 79 hlm.

Muchtadi, T.R., P. Hariadi dan A.B. Aliya. 1988. Teknologi Pemasakan Ekstruksi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hlm 1–25.

Muryati. 1996. Pengaruh perbandingan bahan terhadap daya kembang Kerupuk jamur. Bull. Lit. Bang Industri (20) : 16–19.

Nurbahri, W. 2010. Analisis Serat Kasar. Jakarta. Diakses tanggal 9 Mei 2012. http://wimvynurbahri.blogspot.com/2010/09/analisis-serat-kasar.html. Rahardjo, A.P. dan Haryadi. 1997. Beberapa karakteristik kerupuk ikan yang

dibuat dengan rasio ikan nila atau tapioka dan lama perebusan adonan. Agritech. 17 (2) : 23–26.

Ridwan, R. 2007. Pengaruh substitusi tepung sagu dan tepung tapioka dan penambahan ikan tenggiri (scomberomorus commersoni) terhadap kualitas kerupuk getas. Buletin BIPD. Balai Riset dan Standarisasi Industri Padang. 15 (2) : 14–28.

Ridwan, I. N., B. Rinaldi, I. Suharto dan A. Rasma. 1994. Pengaruh suplementasi tepung kedelai dan natrium tripolifosfat terhadap sifat fisiko-kimia kerupuk pangsit berprotein. Dinamika Penelitian. BIPA, 5 (9) : 46–54.

Rosida. 2008. Evaluasi nilai gizi pati resisten pada produk kerupuk dari empat jenis pati. Jurnal Teknol dan Industri Pangan 20 (1) : 3–5.


(8)

Saivani, E. 2000. Pengaruh Formulasi Onggok dengan Tapioka dan Bahan Pengembang terhadap Derajat Pengembangan dan Sifat Organoleptik Kerupuk. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Siaw, C.H, A.Z. Idrus dan S.Y. Yu. 1985. Intermediate technology for fish cracker (kerupuk) production. Food Technology (20) : 17–21.

SNI. 1999. Kerupuk Ikan. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.

SNI. 1994. Tepung Tapioka. Departemen Perindustrian Republik Indonesia. Jakarta.

Standar Industri Indonesia . 1980. Kerupuk ikan. Departemen Perindustrian Republik Indonesia. Jakarta.

Suhardi, Suhardjo, Yuniarti, F. Kasijadi, W. Istuti, A. Budijono, Jumadi dan Bonimin. 2006. Pengkajian Inovasi Teknologi Pengolahan. http//www.jatim. litbang.deptan.go.id. Diakses tanggal 21 Februari 2011. 33 hlm.

Sumarmi. 2006. Botani dan tinjauan gizi jamur tiram putih. Jurnal Inovasi Pertanian 4(2): 124-130. http://Botani dan Tinjauan Gizi Jamur Tiram Putih. Diakses tanggal 21 Februari 2011. 34 hlm.

Suriawiria(a), H.U. 2000. Sukses Beragrobisnis Jamur Kayu: Shitake, Kuping, Tiram. Penebar Swadaya. Jakarta. 100 hlm.

Suriawiria(b), H.U. 2002. Budidaya Jamur Tiram. Kanisius. Yogyakarta. 54 hlm. Syamsir, E. 2009. Ilmu Pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan.

Bogor.

Syarief, R. dan H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Arcan. Jakarta. Tabita, D. 1992. Pengaruh Berbagai Taraf Formulasi Tapioka dan Tepung Biji

Durian Terhadap Sifat Kerupuk Durian (Durio Zibethinus). (Skripsi). Lampung. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 85 hlm.

Tofan. 2008. Sifat Fisik Organoleptik Kerupuk yang Diberi Penambahan Tepung Daging Sapi Selama Penyimpanan. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor. 89 hlm.

Wijandi, S., B. Djatmiko, Y. Haryadi, D. Muchtadi, Setijahartini, H. Syarif dan Kusupiyanti. 1975. Pengolahan Kerupuk di Sidoharjo. Kerjasama Aneka Industri dan Kerajinan dengan Departemen Teknologi Hasil Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 143 hlm.


(9)

Winarno, F.G (a). 1997. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 407 hlm.

Winarno, F.G (b). 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 253 hlm.

Wirakartakusumah, M.A., D. Hermanianto, dan N. Andarwulan. 1989. Prinsip Teknik Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hlm 1–19.

Wiriano, H. 1984. Mekanisme Teknologi Pembuatan Kerupuk. Balai Pengembangan Makanan dan Phytokimia. Badan Penelitian dan Pengembangan Industri. Departemen Perindustrian. Jakarta. 56 hlm. Zulviani, R. 2000. Pengaruh Berbagai Tingkat Suhu Penggorengan Terhadap

Pola Pengembangan Kerupuk Sagu Goreng. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor.


(10)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang dan Masalah

Jamur tiram (Pleurotus oestreatus) merupakan jamur konsumsi dari jenis jamur kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis makanan seperti crispy, nugget, burger, keripik, kerupuk, permen jelly, hingga puding jamur. Martawijaya dan Nurjayadi (2010) menyatakan bahwa jamur tiram memiliki kandungan nutrisi yang lebih lengkap dan lebih kaya dibandingkan komoditas sayuran yang lain. Jamur tiram memiliki kandungan protein dan karbohidrat lebih tinggi dibandingkan dengan daging sapi. Kadar lemaknya pun jauh lebih rendah daripada daging sapi, sehingga jamur tiram dapat dimanfaatkan sebagai sumber gizi yang cukup potensial dan baik bagi orang-orang yang melakukan diet.

Setiap tahunnya kebutuhan jamur tiram di berbagai kota terus bertambah. Kebutuhan jamur tiram dikota-kota besar diatas 3000kg/hari, kebutuhan tersebut baru dalam pasokan jamur tiram segar. Berdasarkan sumber BPS (2008), volume permintaan akan jamur olahan sangat tinggi dibandingkan jamur segar, dari tahun 2000-2006 volume permintaan jamur segar meningkat dari 492.489 kg menjadi 1.284.784 kg, sedangkan volume permintaan jamur olahan dari 980.294 kg meningkat menjadi 1.630.710 kg. Data ini menunjukkan bahwa jamur tiram bukan hanya dikonsumsi dalam keadaan segar saja, namun jamur tiram dalam


(11)

bentuk produk olahan siap saji. Produk-produk tersebut selain meningkatkan nilai tambah, dapat memperluas jaringan pemasaran terhadap konsumen yang lebih luas.

Jamur tiram memiliki beberapa jenis warna, tetapi yang paling disukai konsumen adalah jamur tiram putih. Jamur ini memiliki aroma yang khas karena mengandung muskorin, dan penting bagi kesehatan karena mampu menyediakan kebutuhan gizi manusia tanpa harus menaikkan tekanan darahnya (Anonim, 1995). Selain itu jamur tiram juga mempunyai khasiat untuk kesehatan, yaitu mencegah timbulnya penyakit darah tinggi, jantung dan diabetes (Suriawiria (a), 2000).

Jamur tiram termasuk bahan pangan yang mudah rusak, seperti jenis sayuran lainnya. Beberapa hari setelah panen, mutu jamur tiram turun dengan cepat sampai tidak layak dimakan. Perubahan mutu yang terjadi antara lain layu, warna menjadi kecoklatan, lunak dan cita rasanya berubah. Usaha pengawetan jamur pangan komersial belum banyak dilakukan di Indonesia. Di pasar swalayan, jamur biasanya disimpan pada suhu dingin yaitu 4–8oC. Pada suhu tersebut, jamur hanya dapat bertahan (masih layak dimakan) selama 3–5 hari, meskipun telah dibungkus dengan plastik polietilen (Koesnandar, 2005 dalam Hayyuningsih, 2009).

Pengolahan bahan pangan merupakan salah satu fungsi untuk memperbaiki mutu bahan pangan, memberikan kemudahan dalam penanganan, efisiensi biaya produksi, memperbaiki cita rasa dan aroma, menganekaragamkan produk dan dapat mempertahankan nilai guna jamur tiram yang memiliki sifat mudah rusak


(12)

(perishable). Pengolahan jamur tiram menjadi produk kerupuk merupakan salah satu upaya diversifikasi produk olahan jamur.

Kerupuk oleh sebagian masyarakat Indonesia dikenal sebagai makanan ringan dan praktis tidak memerlukan metode penyimpanan khusus dalam hal distribusi. Menurut Siaw dkk, (1984), kerupuk adalah makanan kecil yang mengalami pengembangan volume, membentuk produk berongga dan memiliki densitas yang rendah pada saat penggorengan.

Tapioka merupakan jenis tepung yang banyak digunakan sebagai bahan baku kerupuk. Penggunakan tapioka sebagai bahan baku kerupuk berperan dalam pembentukan tekstur dan pembentukan adonan. Tapioka memiliki daya ikat yang tinggi dan membentuk struktur yang kuat dibandingkan tepung jagung, kentang, dan gandum atau terigu (Widowati, 1987 dan Haryadi, 1999 dalam Darmadi, 2005).

Tapioka mengandung pati yang hampir seluruhnya bersifat lunak dan membentuk pasta, sehingga cocok digunakan dalam pembuatan berbagai macam produk olahan pangan. Gel yang lunak akan memudahkan penyerapan air sehingga proses gelatinisasi akan berjalan dengan sempurna. Tapioka tersusun dari amilosa dan amilopektin. Apabila kandungan amilopektin tinggi, maka tapioka akan bersifat lengket dan kenyal sebab amilopektin dalam tapioka mempunyai sifat yang dapat memperkuat permukaan produk dan berpengaruh terhadap tekstur produk yang dihasilkan. Tapioka terdiri atas granula pati yang berwarna putih, tidak berbau dan tidak berasa. Semakin putih granula pati, tapioka akan nampak semakin mengkilat dan terasa licin (Winarno, 2004).


(13)

Umumnya tapioka digunakan sebagai bahan baku kerupuk karena memiliki kandungan amilopektin yang lebih tinggi sebesar 83% dibanding amilosa sebesar 17%. Rasio pengembangan kerupuk dipengaruhi oleh kandungan amilopektin. Semakin tinggi kandungan amilopektin, rasio pengembangan kerupuk makin besar karena amilopektin memiliki daya pengembangan yang lebih tinggi dibandingkan amilosa. Variasi rasa kerupuk dilakukan dengan membuat kerupuk berdasarkan jenis kerupuk yaitu kerupuk kasar dan kerupuk halus. Kerupuk kasar dibuat dari bahan baku pati yang ditambahkan bumbu, sedangkan kerupuk halus ditambah lagi dengan bahan berprotein seperti ikan, udang, susu, telor, jamur dan lain-lain sebagai bahan tambahan (Wijandi dkk., 1975).

Kerupuk tapioka mempunyai kandungan protein yang rendah karena bahan baku yang digunakan (tapioka) memiliki kandungan protein yang rendah, sedangkan kerupuk udang, kerupuk ikan, kerupuk susu dan kerupuk kedelai adalah kerupuk yang memiliki kandungan protein tinggi. Jamur tiram dapat dimanfaatkan untuk membuat kerupuk yang memiliki kandungan protein dan karbohidrat yang tinggi dengan aroma dan rasa yang khas. Tingginya kandungan protein pada jamur tiram sebesar 27% dan karbohidrat sebesar 58%, serta tersedianya bahan baku jamur tiram memungkinkan pemanfaatan jamur tiram untuk dibuat kerupuk sehingga dapat meningkatkan nilai guna jamur tiram.

Selama ini, belum diketahui formulasi jamur tiram dan tapioka yang tepat dalam pembuatan kerupuk jamur tiram. Menurut Martawijaya dan Nurjayadi (2010) kerupuk jamur tiram dengan formulasi 50% jamur tiram : 50% tapioka menghasilkan rasa kerupuk jamur tiram yag disukai, namun belum ada informasi


(14)

sifat fisik dan kimia kerupuk dari formulasi tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan formulasi yang tepat antara jamur tiram dan tapioka sehingga kerupuk jamur tiram yang dihasilkan memenuhi standar mutu kerupuk (SNI 01-2713-1999).

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formulasi jamur tiram dan tapioka yang tepat sehingga menghasilkan kerupuk dengan sifat fisik, organoleptik dan kimia terbaik.

1.2. Kerangka Pemikiran

Kerupuk merupakan makanan kudapan yang bersifat kering, ringan dan porous yang sangat populer, mudah cara pembuatannya, beragam warna dan rasa, serta disukai oleh segala lapisan usia dan suku bangsa di Indonesia. Kerupuk adalah makanan kecil yang mengalami pengembangan volume, membentuk produk berongga dan memiliki densitas yang rendah saat penggorengan (Siaw dkk, 1985). Pada umumnya, produk sejenis kerupuk banyak mengandung karbohidrat karena bahan baku yang digunakan mengandung karbohidrat tinggi terutama kandungan pati. Mutu kerupuk ditentukan berdasarkan parameter yang dihasilkan meliputi volume pengembangan, uji inderawi dan analisis kimianya.

Jamur tiram merupakan bahan pangan yang memiliki kandungan protein cukup tinggi. Menurut Cahyana dkk (1999) kandungan protein jamur tiram rata-rata 3,5-4% dari berat basah, dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan asparagus dan kubis. Menurut Suriawiria(b) (2002), komposisi kimia jamur tiram terdiri dari kadar


(15)

protein (27 %), karbohidrat (58 %), lemak (1,6 %), abu (9,3%), tiamin (4,8 mg), riboflavin (4,7 mg), niasin (108,7 mg), kalsium (33 mg) dan serat (11,5%) dari berat kering.

Penambahan jamur tiram dalam jumlah yang tinggi dapat mengakibatkan timbulnya warna coklat pada yang dihasilkan dan menghambat proses gelatinisasi. Menurut Schwimmer (1981) dalam Dewi (2004), warna coklat tersebut merupakan hasil reaksi pencoklatan non enzimatis. Reaksi pencoklatan non enzimatis umumnya menghasilkan warna kuning, coklat kemerahan sampai coklat gelap pada produk. Warna-warna ini umumnya tidak diinginkan karena mengurangi daya tarik konsumen Selain itu, reaksi pencoklatan ini akan mempengaruhi sifat organoleptik kerupuk jamur tiram yang dihasilkan.

Tapioka mengandung komponen pati sebesar 86,4%. Pati tapioka mengandung 17% amilosa dan 83% amilopektin (Glickman, 1969 dalam Indraria, 2004). Rasio antara amilosa dan amilopektin yang menyusun molekul pati akan mempengaruhi pola gelatinisasi, dan kadar amilopektin akan memberikan sifat mudah membentuk gel. Pati tapioka memiliki suhu gelatinisasi yaitu 58,5-70 oC.

Pati dengan kandungan amilopektin tinggi (80%) akan menghasilkan gel yang tidak kaku. Gel yang lunak akan memudahkan penyerapan air sehingga pada pemasakan, proses gelatinisasi akan berjalan sempurna. Gelatinisasi adalah peristiwa pembengkakan granula pati dalam air pada suhu 55oC sampai dengan 65oC sehingga pati tidak dapat kembali pada kondisi semula (Winarno, 2004).


(16)

Di dalam pembuatan kerupuk akan terjadi proses gelatinisasi pati dari tapioka yang ditambahkan pada saat pengukusan. Proses gelatinisasi diduga berhubungan erat dengan pembentukan tekstur, karena setelah terjadi gelatinisasi akan terbentuk gel. Peranan amilopektin pada proses gelatinisasi berkaitan dengan kerenyahan kerupuk yang dihasilkan. Faktor yang mempengaruhi gelatinisasi adalah amilopektin dari tapioka, kadar protein dan kadar serat dari jamur tiram. Semakin tinggi amilopektin yang diberikan akan menghasilkan gel yang tidak kaku, dan semakin tinggi kadar protein dan serat yang digunakan, dapat menurunkan derajat pengembangan kerupuk.

Formulasi tapioka dan jamur tiram yang digunakan pada pembuatan kerupuk akan berpengaruh terhadap sifat fisik, organoleptik dan kimia kerupuk. Penambahan bahan selain pati yang suka mengikat air dapat menyulitkan proses pemasakan pati (Chinachoti dkk., 1990 dalam Rahardjo dan Haryadi, 1997). Menurut Rahardjo dan Haryadi (1997), semakin tinggi kandungan protein pada adonan kerupuk menyebabkan denaturasi protein pada saat pemasakan adonan sehingga mengakibatkan penurunan mengikat air. Air yang dilepas digunakan untuk gelatinisasi pati. Semakin banyak penambahan bahan yang mengandung protein, semakin cepat proses pemasakan pati. Pemasakan adonan pati mempengaruhi pengembangan dan kerenyahan kerupuk. Semakin banyak penambahan bahan bukan pati, semakin kecil pengembangan kerupuk pada saat penggorengan. Pengembangan kerupuk akan menentukan kerenyahannya.


(17)

1.3. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1) Formulasi jamur tiram dan tapioka berpengaruh terhadap sifat fisik, organoleptik dan kimia kerupuk jamur tiram.

2) Terdapat formulasi jamur tiram dan tapioka yang tepat sehingga menghasilkan kerupuk jamur tiram dengan sifat fisik, organoleptik dan kimia yang terbaik.


(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Jamur Tiram

Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) adalah jamur pangan dari kelompok Basidiomycota dan termasuk kelas Homobasidiomycetes dengan ciri-ciri umum tubuh buah berwarna putih hingga krem dan tudungnya berbentuk setengah lingkaran mirip cangkang tiram dengan bagian tengah agak cekung. Jamur tiram masih satu kerabat dengan Pleurotus eryngii dan sering dikenal dengan sebutan King Oyster Mushroom.

Tubuh buah jamur tiram memiliki tangkai yang tumbuh menyamping (bahasa Latin: pleurotus) dan bentuknya seperti tiram (ostreatus) sehingga jamur tiram mempunyai nama binomial Pleurotus ostreatus. Bagian tudung dari jamur tersebut berubah warna dari hitam, abu-abu, coklat, hingga putih, dengan permukaan yang hampir licin, diameter 5-20 cm yang bertepi tudung mulus sedikit berlekuk. Selain itu, jamur tiram juga memiliki spora berbentuk batang berukuran 8-11×3-4μm serta miselia berwarna putih yang bisa tumbuh dengan cepat (Anonim (a), 2011).


(19)

Menurut (Anonim (a), 2011), sistematika tanaman jamur tiram diklasifikasikan sebagai berikut:

Divisi : Thalaphyta Subdivisi : Fungi

Filum : Basidiomycota Kelas : Homobasidiomycetes Ordo : Agaricales

Famili : Tricholomataceae Genus : Pleurotus

Spesies : Pleurotus ostreatus

Berdasarkan penelitian Sumarmi (2006), jamur tiram mengandung protein, air, kalori, karbohidrat, dan sisanya berupa serat, zat besi, kalsium, vitamin B1, vitamin B2 dan vitamin C. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan bahan makanan bernutrisi dengan kandungan protein tinggi, kaya vitamin dan mineral, rendah karbohidrat, lemak dan kalori.

Dilihat dari kandungan gizi yang terdapat dalam jamur tiram maka bahan ini termasuk aman untuk dikonsumsi. Adanya serat yaitu lignoselulosa baik untuk pencernaan. Hasil penelitian USDA (United States Drugs and Administration) menunjukkan bahwa pemberian jamur tiram pada tikus selama 3 minggu akan menurunkan kadar kolesterol serum hingga 40 % dibandingkan tikus tanpa pemberian pakan yang mengandung jamur tiram. Saat ini sedang diteliti potensi jamur tiram sebagai bahan makanan yang dapat mencegah timbulnya tumor di Jepang (Sumarmi, 2006). Komposisi dan kandungan nutrisi jamur tiram per 100 g dapat dilihat pada Tabel 1.


(20)

Tabel 1. Komposisi dan kandungan nutrisi jamur tiram per 100 g (%bk)

Zat Gizi Jumlah

Kalori (kal) 265

Protein (%) 27

Karbohidrat (%) 58

Lemak (%) 1,6

Serat (%) 11,5

Abu (%) 9,3

Tiamin (mg) 4,8

Riboflavin (mg) 4,7

Niasin (mg) 108,7

Kalsium (mg) 33

Kalium (mg) 3,793

Fosfor (mg) 134,8

Natrium (mg) 83,7

Zat besi (mg) 15,2

Sumber: Suriawiria(b), 2002

Menurut Suriawiria (2000), jamur merupakan sumber mineral yang baik. Kandungan mineral utama yang tertinggi adalah kalium (K), kemudian fosfor (P), natrium (Na), kalsium (Ca) dan magnesium (Mg). Namun, jamur juga merupakan sumber mineral minor yang baik karena mengandung seng, besi, mangan, molibdenum, kadmium, dan tembaga. Konsentrasi K, P, Na, Ca dan Mg mencapai 56-70% dari total abu, dengan kandungan kalium sangat tinggi mencapai 45%. Menurut Chang dan Miles (2004) dalam Martawijaya dan Nurjayadi (2010), kandungan logam berat itu masih jauh di bawah batas yang ditetapkan dalam undang-undang Fruit Product Order and Prevention of Food Adulteration Act tahun 1954. Oleh karena itu jamur tiram sebagai sayuran aman dikonsumsi setiap hari, sebagai sumber asam-asam amino yang diperlukan tubuh, sumber vitamin B1, B2 dan provitamin D2, dan sumber mineral terutama kalium dan fosfor. Jamur tiram juga mengandung sembilan asam amino esensial yang tidak bisa disintesis dalam tubuh yaitu lisin, metionin, triptofan, threonin, valin,


(21)

leusin, isoleusin, histidin dan fenilalanin. Kandungan asam amino esensial per 100 g protein dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan asam amino esensial jamur tiram putih (per 100 g protein)

Asam Amino Jamur Tiram Putih Telur Ayam

Leusin 7,5 8,8

Isoleusin 5,2 6,6

Valin 6,9 7,3

Triptofan 1,1 1,6

Lisin 9,9 6,4

Treonin 6,1 5,1

Fenilalanin 3,5 5,8

Metionin 3 3,1

Histidin 2,8 2,4

Total 46 47,1

Sumber: Chang dan Miles (2004) dalam Martawijaya dan Nurjayadi (2010)

2.2. Tapioka

Tapioka merupakan hasil ekstraksi pati ubi kayu (Manihot utilisima) yang telah mengalami proses pencucian dan dilanjutkan dengan pengeringan dan penggilingan. Tapioka digunakan sebagai bahan pembuatan kerupuk karena harga yang relatif murah (Suhardi dkk, 2006). Mutu tapioka yang beredar di pasaran bervariasi tergantung kelasnya. Departemen Perindustrian Republik Indonesia mengeluarkan standar mutu tapioka dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) yang tersaji pada Tabel 3, sedangkan komposisi kimianya disajikan pada Tabel 4.


(22)

Tabel 3. Standar Nasional Indonesia tapioka 01–3451–1994

No Jenis Uji Satuan Persyaratan

Mutu I Mutu II Mutu III 1 Kadar Air (b/b) % Maks. 17 Maks. 17 Maks. 17 2 Kadar Abu (b/b) % Maks. 0,6 Maks. 0,6 Maks. 0,6 3 Serat dan Kotoran % Maks. 0,6 Maks. 0,6 Maks. 0,6 4 Derajat Putih

(BaSO4 = 100) - Min. 94,5 Min. 92,0 Min. 92,0 5 Kekentalan oEngler 3–4 2,5–3 < 2,5 6 Derajat Asam - < 4mL 1 N

NaOH/10 g

< 4mL 1 N NaOH/10g

< 4mL 1 N NaOH/10g 7 Kadar HCN (b/b) % Negatif Negatif Negatif Sumber: Departemen Perindustrian Indonesia (1994)

Tapioka sering dimanfaatkan sebagai bahan pengental, penstabil, pembentuk tekstur, pengikat lemak dan air dan sebagai pembentuk emulsi. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan alfa glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas, fraksi yang larut disebut amilosa dan fraksi yang tidak larut disebut amilopektin. Penambahan tapioka pada industri pangan berfungsi untuk memperbaiki tekstur. Tapioka memiliki bentuk granula yang unik, hal ini merupakan sifat khas yang membedakan tapioka dengan yang lain (Winarno, 1997).

Tabel 4. Komposisi kimia tapioka

Komposisi Nilai (%)

Air 11,4

Protein 0,76

Lemak 0,19

Abu Serat 0,06 0,03 Karbohidrat Pati Amilosa Total Gula HCN 87,52 85,19 22,51 1,43 0,40 Sumber : Wirakartakusumah dkk (1989)


(23)

Tapioka berwarna jernih apabila membentuk pasta, mempertinggi mutu penampilan dari produk akhir dan memiliki suhu gelatinisasi yang rendah. Tapioka terdiri dari fraksi amilosa dan amilopektin masing-masing sebesar 17 % dan 83 %. Suhu gelatinisasi adalah suhu awal mulai terjadinya pembengkakan granula (swelling) yang ditandai dengan naiknya viskositas. Waktu gelatinisasi adalah waktu mulai terjadinya gelatinisasi sampai gelatinisasi maksimal yang

menunjukkan kemudahan “tanak”. Suhu gelatinisasi tapioka adalah 52–65oC lebih rendah dibandingkan dengan pati lain seperti kentang 58–65oC dan jagung 62–78oC. Kekentalan relatif tapioka adalah tinggi dengan kecenderungan untuk membentuk gel sedang (Francis, 2000 dalam Indraria, 2002).

2.3. Kerupuk

Kerupuk merupakan salah satu produk pangan yang berasal dari Indonesia, terbuat dari tapioka, dicampur dengan bahan-bahan tambahan dan dilakukan penggorengan dengan menggunakan minyak. Kadar air kerupuk berkisar antara 10,3% sampai 11,3% (Fumiko dan Yasuko, 2000). Pati berperan dalam proses gelatinisasi dan berpengaruh terhadap volume pengembangan. Semakin besar volume pengembangan, mutu kerupuk semakin baik (Wiriano, 1984).

Penambahan ikan, tepung udang dan sumber protein lainnya pada adonan kerupuk diharapkan akan meningkatkan kandungan protein kerupuk yang dihasilkan. Pembuatan adonan merupakan tahap yang penting dalam pembuatan kerupuk mentah. Adonan dibuat dengan mencampurkan bahan utama dan bahan-bahan tambahan-bahan yang diaduk hingga diperoleh adonan yang liat dan homogen.


(24)

Kerupuk memiliki tekstur berongga dan renyah, hal ini merupakan salah satu mutu dari kerupuk. Sifat renyah pada produk kerupuk berpengaruh terhadap kualitasnya (Wirakartakusumah dkk., 1989). Standar mutu kerupuk dapat dilihat pada Tabel 5.

Bahan pembuatan kerupuk dibagi menjadi dua bagian yaitu bahan baku dan bahan tambahan. Bahan baku adalah bahan yang digunakan dalam jumlah besar dan fungsinya tidak dapat digantikan oleh bahan lain. Bahan tambahan adalah bahan yang diperlukan untuk melengkapi bahan baku dalam proses pembuatan kerupuk. Bahan tambahan kerupuk adalah garam, bumbu, bahan pengembang dan air. Bumbu yang digunakan dalam pembuatan kerupuk berfungsi untuk memperbaiki dan menambah cita rasa kerupuk (Djumali dkk.,1982 dalam Tofan, 2008).

Tabel 5. Standar mutu kerupuk (SNI 01–2713–1999 )

No Uraian Persyaratan

1 Rasa dan aroma Khas kerupuk

2 Serangga dalam bentuk stadia serta benda asing Tidak nyata

3 Kapang Tidak nyata

4 Air (%) Maksimal 11

5 Abu, tanpa garam (%) Maksimal 1

6 7 Protein (%) Lemak Minimal 6 Maksimal 0,5

8 Serat kasar (%) Maksimal 1

9 Bahan tambahan makanan Tidak nyata atau

sesuai dengan peraturan yang berlaku

10 Logam berbahaya (Pb, Cu, Hg) dan As Tidak nyata atau sesuai dengan peraturan yang berlaku


(25)

2.4. Gelatinisasi

Gelatinisasi adalah proses pembengkakan granula pati sehingga garanula pati tersebut tidak dapat kembali ke bentuk semula (Wiriano, 1984). Proses gelatinisasi terjadi karena adanya penambahan air dan pemberian panas. Apabila pati dipanaskan dengan air, struktur kristal rusak dan rantai polisakarida akan mengambil posisi acak. Hal inilah yang akan menyebabkan mengembang dan memadat (gelatinisasi). Cabang-cabang dalam struktur amilopektinlah yang terutama dapat menyebabkannya dapat membentuk gel yang cukup stabil. Proses pemasakan pati disamping menyebabkan gelatinisasi juga akan melunakkan dan memecah sel, sehingga memudahkan pencernaan. Dalam proses pencernaan semua bentuk pati dihidrolisa menjadi glukosa (Winarno, 2004).

Pada proses gelatinisasi terjadi kerusakan ikatan hidrogen yang berfungsi untuk mempertahankan integritas granula pati. Granula pati tidak larut dalam air dingin tetapi mengembang pada air hangat. Naiknya suhu pemanasan akan meningkatkan volume pembengkakan granula pati sehingga pada suhu tertentu terjadi perubahan struktur granula pati dan tidak dapat kembali ke bentuknya semula. Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi.

Menurut Muchtadi dkk., (1988), gelatinisasi pati terjadi dalam empat tahap. Pada tahap pertama, granula pati belum berinteraksi dengan apapun. Pada saat mulai berinteraksi dengan molekul air disertai dengan peningkatan suhu suspensi, terjadilah pemutusan sebagian besar ikatan intermolekul pada kristal amilosa. Akibatnya granula pati mengembang. Pada tahapan berikutnya molekul-molekul amilosa mulai berdifusi ke luar granula sebagai akibat meningkatnya aplikasi


(26)

panas dan air yang berlebihan yang menyebabkan granula mengembang lebih lanjut. Proses gelatinisasi terus berlanjut sampai seluruh molekul amilosa berdifusi keluar hingga tinggal molekul amilopektin yang berada dalam granula. Keadaan ini tidak berlangsung lama karena dinding granula akan segera pecah, sehingga tersusun oleh molekul-molekul amilosa dan amilopektin.

2.5. Pengolahan Kerupuk

Pengolahan bahan pangan merupakan salah satu fungsi untuk memperbaiki mutu bahan pangan, baik dari nilai gizi maupun daya cerna, memberikan kemudahan dalam penanganan, efisiensi biaya produksi, memperbaiki cita rasa dan aroma, menganekaragamkan produk dan memperpanjang masa simpan. Tahap pengolahan kerupuk dapat dijelaskan sebagai berikut:

2.5.1. Pembuatan Adonan

Tahap pembuatan adonan merupakan tahap awal yang sangat penting. Faktor yang perlu diperhatikan dalam pembuatan adonan adalah kehomogenan adonan. Pengadonan berpengaruh terhadap daya kembang kerupuk, yaitu berhubungan dengan udara dan gas (Lavlinesia, 1995 dalam Tofan, 2008). Muryati (1996), membuat adonan kerupuk jamur dengan mencampur jamur dan tapioka sesuai perbandingan tertentu. Kemudian setiap 1 kg campuran tersebut ditambah 30 g bawang putih dan 50 g garam. Campuran ini kemudian diaduk sampai homogen dan ditambahkan larutan aci 1% sebanyak 20 ml, selanjutnya diaduk sampai menghasilkan masa yang homogen. Sedangkan Martawijaya dan Nurjayadi (2010) membuat adonan kerupuk jamur tiram dengan cara mencampurkan tapioka


(27)

dengan air sedikit demi sedikit, kemudian mencampurkan jamur tiram yang sudah dihaluskan, telur bebek, gula dan garam lalu diuleni sampai adonan kalis.

2.5.2. Pencetakan Adonan

Pencetakan adonan kerupuk dimaksudkan untuk memperoleh bentuk dan ukuran yang seragam. Keseragaman ukuran penting untuk memperoleh penampakan dan penetrasi panas yang merata sehingga memudahkan proses penggorengan dan menghasilkan kerupuk goreng dengan warna yang seragam (Muchtadi dkk., 1979 dalam Darmadi, 2005). Pembuatan adonan dapat dilakukan dengan cara membentuk adonan seperti lontong atau dodol, lempengan atau melingkar.

Muryati (1996) melakukan pencetakan adonan kerupuk jamur yang sudah homogen dengan cara digulung menjadi bentuk gelondongan berdiameter ± 3 cm. Martawijaya dan Nurjayadi (2010), mencetak adonan dengan memasukkan ke dalam selongsong plastik atau daun dengan diameter ± 5 cm dan kemudian diikat dengan tali atau benang.

2.5.3. Pengukusan

Proses pengukusan dilakukan setelah adonan mentah dicetak. Pengukusan ini bertujuan untuk menggelatinisasikan adonan sehingga dapat membentuk tekstur yang kompak. Pengukusan yang terlalu lama dapat menyebabkan air yang terperangkap oleh gel pati terlalu banyak, sehingga proses pengeringan dan penggorengan menjadi tidak sempurna. Adonan yang setengah matang menyebabkan pati tidak tergelatinisasi dengan sempurna dan akan menghambat pengembangan kerupuk (Elyawati, 1997). Menurut Djumali dkk., (1982), adonan


(28)

yang telah masak ditandai dengan seluruh bagian berwarna bening serta teksturnya kenyal. Lama pengukusan tergantung dari bentuk adonan yang dicetak. Elyawati (1997) menjelaskan pengukusan adonan yang baik dalam bentuk silinder dengan ukuran diameter ±5 cm adalah ± 25 menit dengan suhu 100-110oC. Sedangkan Martawijaya dan Nurjayadi (2010) menyatakan bahwa pengukusan adonan kerupuk jamur dilakukan hingga adonan matang.

2.5.4. Pendinginan dan Pengirisan

Pendinginan adonan dilakukan setelah proses pengukusan. Pendinginan adonan akan menghasilkan tekstur kerupuk yang padat, sehingga pengirisan mudah dilakukan. Pendinginan adonan dilakukan selama dua malam. Proses pendinginan dapat dipercepat dengan menggunakan bantuan referigerator (Wiriano, 1984). Pengirisan adonan dapat dilakukan dengan bantuan pisau atau alat pemotong khusus (slicer) dengan ketebalan 2-3 mm. Pengirisan adonan dengan ketebalan tersebut dapat memudahkan proses pengeringan. Proses pengirisan menggunakan slicer kerupuk dapat menghasilkan produk dengan ketebalan irisan yang sama sehingga efisiensi proses pengeringan yang seragam dapat tercapai. Hal ini berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas mutu kerupuk setelah penggorengan (Wiriano, 1984).

2.5.5. Pengeringan

Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan sebagian besar air melalui penggunaan energi panas sehingga terjadi penurunan tingkat kadar air


(29)

(Wirakartakusumah dkk., 1989). Pengurangan kadar air menyebabkan kandungan senyawa-senyawa bahan pangan seperti protein, karbohidrat, lemak dan mineral lebih tinggi, akan tetapi vitamin-vitamin dan zat warna pada umumnya menjadi rusak atau berkurang. Pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan alat pengering (artificial dryer) atau dengan penjemuran (sun drying) yaitu pengeringan dengan menggunakan sinar matahari (Winarno, 2004).

Menurut Muryati (1996); Martawijaya dan Nurjayadi (2010), proses pengeringan kerupuk dilakukan dalam oven bersuhu 60oC selama 12 jam, sampai kadar air ± 12%. Kadar air kerupuk mentah akan mempengaruhi mutu dan volume pengembangan kerupuk saat dilakukan proses penggorengan.

2.5.6. Penggorengan

Menggoreng adalah suatu metode penyiapan produk pangan secara cepat untuk menghasilkan flavor yang spesifik dengan menggunakan minyak. Metode penggorengan deep frying baik untuk produk seperti kerupuk karena memerlukan minyak yang banyak. Metode deep frying menggunakan minyak berlebih dengan suhu 160-180oC untuk membantu proses pengembangan kerupuk yang merata pada seluruh permukaan bahan yang digoreng (Winarno, 2004).

Bahan pangan yang digoreng mempunyai permukaan luar berwarna coklat keemasan. Warna yang muncul disebabkan reaksi pencoklatan (Maillard). Reaksi Maillard terjadi antara protein, asam amino, dan amin dengan gula, aldehida dan keton, yang merupakan penyebab terjadinya pencoklatan selama pemanasan atau penyimpanan dalam waktu yang lama pada bahan pangan berprotein. Mekanisme


(30)

reaksi pencoklatan ini diawali dengan adanya reaksi antara gugus karbonil dari gula pereduksi dengan gugus amino bebas dari protein atau asam amino dengan adanya pemanasan akan menghasilkan pigrnen-pigmen melanoidin yang berwarna coklat (Ketaren, 1986).


(31)

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Teknologi Pangan Politeknik Negeri Lampung pada bulan September sampai dengan Nopember 2011.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tapioka merk Tani dan jamur tiram (Pleurotus Oestreatus) yang diperoleh dari salah satu petani jamur tiram di Langkapura Bandar Lampung. Bahan tambahan yang digunakan adalah telur bebek, air, gula pasir, garam, minyak goreng, tali/benang dan plastik polipropilen (PP), sedangkan bahan kimia yang digunakan untuk analisis antara lain aquadest, larutan H2SO4 pekat, H2SO4 1,25%, NaOH 1,25%, HCl 0,02 N,

NaOH 50%, H2BO2, Na2S2O3, K2SO4, HgO dan alkohol.

Alat untuk pembuatan kerupuk yaitu baskom, timbangan, panci pengukus, blender, freezer, plastik, talenan, pisau, slicer, pengaduk, loyang dan alat penggorengan, sedangkan peralatan untuk analisis yaitu mikrometer sekrup, gelas ukur, erlenmeyer, pipet, kertas saring, cawan porselin, oven, desikator, labu Kjeldahl, alat ekstraksi Soxhlet, tanur listrik, buret dan tabung reaksi.


(32)

3.3. Metode Penelitian

Perlakuan disusun secara tunggal dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan 3 ulangan. Perlakuan pada penelitian ini adalah formulasi jamur tiram dan tapioka sebanyak 7 taraf, yaitu N1 (0% : 100%); N2 (10% : 90%); N3 (20% : 80%); N4 (30% : 70%); N5 (40% : 60%); N6 (50% : 50%) dan N7 (60% : 40%). Formulasi kerupuk jamur tiram disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Formulasi kerupuk jamur tiram

Perlakuan Jamur Tiram(%) Tapioka (%)

N1 0 100

N2 10 90

N3 20 80

N4 30 70

N5 40 60

N6 50 50

N7 60 40

Kesamaan ragam diuji dengan uji Bartlett dan kemenambahan data diuji dengan uji Tuckey. Data dianalisis dengan sidik ragam untuk mendapatkan penduga ragam galat dan uji signifikansi untuk mengetahui pengaruh perlakuan. Apabila terdapat pengaruh yang nyata, data dianalisis lebih lanjut menggunakan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5% dan 1%.

3.4. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian diawali dengan pembuatan bubur jamur tiram. Jamur tiram dicuci dan ditiriskan, lalu dihaluskan dengan menggunakan blender selama 5 menit sehingga diperoleh bubur jamur tiram. Setelah diperoleh bubur jamur tiram, dilakukan pembuatan kerupuk jamur tiram dengan tahapan sebagai berikut:


(33)

Pada setiap satuan percobaan dibuat perbandingan bahan baku dengan total berat 500 g. Sebagai contoh untuk formulasi N3 (20% jamur tiram : 80% tapioka), sebanyak 100 g bubur jamur tiram dicampur dengan 400 g tapioka, diaduk sampai rata lalu ditambahkan bumbu yang dihaluskan terdiri dari garam dapur 10 g, gula pasir 10 g, bawang putih 10 g, telur bebek 80 g, dan penambahan air panas ± 100ml.

Setelah itu adonan dicampur sampai kalis, selanjutnya adonan dibentuk gulungan/dodolan yang dikemas dalam plastik PP dengan diameter 3 cm dan panjang 15 cm, diikat dengan tali/benang dan dipanaskan pada suhu 80oC selama 45 menit. Selama pemanasan, suhu dijaga stabil selama 45 menit menggunakan termometer dengan mengatur besar kecil api. Adonan dalam bentuk gulungan/dodolan yang telah dipanaskan selanjutnya didinginkan dan disimpan pada suhu 4–8oC selama 12 jam, dengan tujuan agar dodolan mengeras dan kaku sehingga memudahkan dalam pengirisan.

Adonan yang telah disimpan dalam refrigerator dipotong tipis-tipis dengan ketebalan ± 2–3 mm menggunakan slicer, selanjutnya dilakukan pengeringan menggunakan oven pada suhu ± 60oC selama 10 jam, sampai kadar air kerupuk mentah ± 11%. Setelah diperoleh kerupuk kering dengan kadar air 11%, dilakukan pengamatan terhadap kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar serat kasar dan kadar karbohidrat. Pengamatan uji organoleptik terhadap tekstur, rasa, warna dan aroma serta volume pengembangan dilakukan setelah kerupuk hasil formulasi 7 taraf tersebut digoreng secara deep frying pada suhu 160-180oC


(34)

selama 10 detik. Bagan alir proses pembuatan kerupuk jamur tiram disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram alir pembuatan kerupuk jamur tiram

Sumber: Martawijaya dan Nurjayadi (2010) yang dimodifikasi Pengamatan:

Volume pengembangan dan Uji organoleptik (tekstur, rasa, warna dan aroma)

Pengamatan:

Kadar air, Kadar abu, Kadar lemak, Kadar protein, Kadar serat kasar dan Kadar karbohidrat Pembentukan adonan bulat memanjang

(Ø ± 3 cm, p ± 15 cm) dan dikemas dalam plastik PP

Bumbu halus (Garam 2%, gula pasir 2%, bawang

putih 2%, telur bebek 16%) dan air

panas 100 ml Penghalusan

(Blender 5 menit)

Pengadonan

Pemanasan adonan (T 80oC, 45 menit), suhu dijaga stabil selama 45 menit

Pengirisan ± 2-3 mm, dengan alat slicer Jamur Tiram

Jamur Tiram (0%, 10%, 20%, 30%,

40%, 50% dan 60%)

Pencampuran

Pendinginan

Pengeringan oven (T 60oC, 10 jam sampai KA ± 11%)

Penggorengan deep frying (T 160-180oC, 10 detik) Kerupuk Jamur Tiram Mentah

Kerupuk Jamur Tiram Goreng Penyimpanan (T 4-8ºC, 12 jam)

Tapioka (100%, 90%, 80%, 70%,

60%, 50% dan 40%) Pencucian dan


(35)

3.5. Pengamatan

Pengamatan terhadap kerupuk jamur tiram matang meliputi volume pengembangan dan uji organoleptik (tekstur, rasa, warna dan aroma) sedangkan uji kimia (kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar serat kasar dan kadar karbohidrat) dilakukan terhadap kerupuk jamur tiram mentah.

3.5.1. Volume Pengembangan

Pengukuran volume pengembangan kerupuk dilakukan menurut metode Zulviani (2000), dengan cara mengukur volume kerupuk jamur tiram mentah dan volume kerupuk jamur tiram goreng. Pengukuran volume kerupuk dilakukan dengan mengukur keliling lingkaran yang biasanya mempunyai bentuk yang tidak rata. Pengukuran tersebut dibantu dengan menggunakan benang. Keliling kerupuk diasumsikan seperti keliling lingkaran. Digital caliper digunakan untuk mengukur ketebalan kerupuk. Hasil kali luas dengan tebal kerupuk adalah nilai volume kerupuk tersebut.

Volume Pengembangan (%) = B – A x 100% A

Keterangan: A = Volume kerupuk sebelum digoreng (mm3) B = Volume kerupuk setelah digoreng (mm3)

3.5.2. Uji Organoleptik

Pemilihan formulasi kerupuk jamur tiram matang terbaik dengan uji organoleptik dilakukan dalam bentuk pengujian skoring, yaitu menilai intensitas sifat sensori yang dinyatakan dalam bentuk nilai numerik bilangan asli. Tiap skor


(36)

melambangkan tingkat intensitas sifat sensori. Selang skor dibatasi oleh skor awal dan skor akhir. Biasanya digunakan angka antara 0-10, tetapi dapat pula 0-5, 0-100 atau + dan – menurut keperluan. Uji skoring dilakukan dengan menggunakan panelis semi terlatih sebanyak 20 orang meliputi tekstur, rasa, warna dan aroma (Soekarto, 1985). Sampel yang diuji merupakan kerupuk jamur tiram goreng yang disajikan secara acak kepada panelis dalam wadah-wadah yang telah diberi kode dan diberi penawar berupa air tawar. Panelis diminta mengungkapkan tanggapan terhadap kerupuk jamur tiram goreng pada tujuh taraf formulasi penambahan jamur tiram dan tapioka secara tertulis pada blanko atau formulir yang disediakan. Blanko tersebut berisi nama, tanggal, petunjuk, skor penilaian, dan kode sampel. Kriteria penilaian uji organoleptik pada produk kerupuk jamur tiram goreng disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Quisioner uji organoleptik

Nama:…………. Tanggal:…………. Produk: Kerupuk Jamur Tiram Petunjuk: Di hadapan saudara disajikan 7 sampel kerupuk jamur tiram. Saudara diminta untuk memberikan tanggapan terhadap tekstur, rasa, warna dan aroma kerupuk dengan menuliskan skor di bawah kode sampel sesuai kriteria yang ada di bawah ini.

Pengamatan Skor Kode Sampel

031 188 304 201 126 405 705 Tekstur Sangat keras Keras Agak keras Renyah Sangat renyah 1 2 3 4 5 Rasa

Sangat tidak khas jamur Tidak khas jamur Agak khas jamur Khas jamur Sangat khas jamur

1 2 3 4 5


(37)

Warna Coklat tua Coklat Putih kecoklatan Putih kekuningan Putih 1 2 3 4 5 Aroma

Sangat tidak khas jamur Tidak khas jamur Agak khas jamur Khas jamur Sangat khas jamur

1 2 3 4 5

3.5.3. Pengujian Kimia

Pengujian kimia terhadap kerupuk jamur tiram mentah meliputi kadar air, kadar abu, kadar potein dan kadar karbohidrat.

3.5.3.1. Kadar Air

Kadar air dilakukan dengan metode oven (AOAC, 1995). Cawan porselen di keringkan dalam oven selama 30 menit, lalu didinginkan di dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 5 g sampel ditimbang lalu dimasukan kedalam cawan porselen dan dikeringkan di dalam oven pada suhu 105-110o C selama 3 jam setelah didinginkan dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang. Setelah diperoleh hasil penimbangan pertama, lalu cawan yang berisi samperl tersebut dikeringkan kembali selama 30 menit setelah itu didinginkan dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang. Bila penimbangan kedua mencapai pengurangan bobot tidak lebih dari 0,001 g dari penimbangan pertama maka dianggap konstan. Akan tetapi bila tidak maka dilakukan penimbangan kembali sampai diperoleh pengurangan bobot dua penimbangan berturut-turut. Kemudian cawan dan sampel kering ditimbang.


(38)

Kadar air dapat dihitung dengan rumus:

Kadar air (%) = Berat awal sampel (g) – Berat akhir sampel (g) x 100% Berat awal sampel (g)

3.5.3.2. Kadar Abu

Cawan porselin yang bersih terbebas dari kotoran dipanaskan dalam oven selama 1 jam pd suhu 105oC lalu dinginkan dalam desikator selama 15 menit kemudian timbang (A). Sebanyak ± 2 g sampel, dimasukan kedalam cawan kemudian timbang (B). Lakukan pengarangan dengan cara membakar diatas kompor hingga tidak berasap (bisa ditambah alkohol 95%). Kemudian lakukan pengabuan didalam tanur dengan suhu 600oC selama 3 jam. Keluarkan cawan dengan hati-hati dan dinginkan dalam desikator dan kemudian lakukan penimbangan (C) (AOAC, 1995).

Kadar abu dapat dihitung dengan rumus: Kadar Abu (%) = C – A x 100%

B – A Keterangan : A : Cawan kosong

B : Cawan dan sampel basah C : Cawan dan abu

3.5.3.3. Kadar Lemak

Kadar lemak dilakukan dengan metode soxhlet (AOAC, 1995). Labu lemak dikeringkan dengan oven. Sampel ditimbang sebanyak 5 g dibungkus dengan


(39)

kertas saring dan ditutup kapas bebas lemak. Kertas saring berisi sampel tersebut diletakkan dalam alat ekstraksi soxhlet yang dirangkai dengan kondensor. Pelarut heksana dimasukkan ke dalam labu lemak lalu direfluks selama minimal 5 jam. Sisa pelarut dalam labu lemak dihilangkan dengan dipanaskan dalam oven, lalu ditimbang. Kadar lemak dapat dihitung dengan rumus:

Kadar lemak (%) = berat lemak x 100 % berat sampel

3.5.3.4. Kadar Protein

Penentuan kadar protein dilakukan dengan cara makro Kjeldahl (AOAC, 1995). Sebanyak 1 g sampel dimasukkan ke dalam labu Kjedahl, kemudian ditambahkan 5 g katalis selenium dan 25 ml H2SO4 pekat. Destruksi selama 1 jam hingga

diperoleh larutan berwarna hijau jernih. Larutan didinginkan dan ditambah dengan 250 ml air suling, kemudian sebanyak 50 ml larutan tersebut dimasukkan dalam tabung destilasi. Destilat ditampung dengan erlenmeyer 250 ml yang berisi 15 ml H2SO4 0,25 N dan dua tetes indikator merah dan biru. Selanjutnya, pada

alat destilasi ditambahkan 30 ml larutan NaOH 30 %. Proses destilasi dilakukan sampai 2/3 cairan tersuling. Destilat dititrasi menggunakan larutan NaOH 0,1 N sampai warna berubah dari hijau menjadi biru. Prosedur ini dilakukan juga untuk larutan blanko. Kadar protein dapat dihitung dengan rumus :

% N = (ml NaOH blanko – ml NaOH contoh) x N NaOH x14,008 x 100% g contoh X 10

% Protein = % N X Faktor Konversi Ket: faktor konversi = 6,25


(40)

3.5.3.5. Kadar Serat Kasar

Sampel sebanyak 1 gram dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 300 ml kemudian ditambah dengan H2SO4 0,3 N di bawah pendingin balik kemudian dididihkan

selama 30 menit dengan kadang-kadang digoyang-goyangkan. Suspensi disaring dengan kertas saring, dan residu yang didapat dicuci dengan air mendidih hingga tidak bersifat asam lagi (diuji dengan kertas lakmus). Residu dipindahkan ke dalam erlenmeyer, sedangkan yang tertinggal di kertas saring dicuci kembali dengan 200 ml NaOH mendidih sampai semua residu masuk kedalam erlenmeyer. Sampel dididihkan kembali selama 30 menit dan disaring sambil dicuci dengan larutan K2SO4 10 %. Residu dicuci dengan 15 ml alkohol 95%, kemudian kertas

saring dikeringkan pada 110oC sampai berat konstan lalu ditimbang (AOAC, 1995).

(berat kertas saring + residu) - berat kertas saring kosong

Serat kasar (%) = x 00% Berat sampel

3.5.3.6. Kadar Karbohidrat

Penentuan kadar karbohidrat dengan cara perhitungan kasar disebut juga Carbohydrate by difference yaitu penentuan karbohidrat dengan menggunakan perhitungan dan bukan analisis (AOAC, 1995).


(41)

Judul Skripsi : Pengaruh Formulasi Jamur Tiram Putih (Pleurotus Oestreatus) dan Tapioka Terhadap Sifat Fisik, Organoleptik dan Kimia Kerupuk

Nama Mahasiswa : Nopena Fitra Nomor Pokok Mahasiswa : 0714051077

Jurusan : Teknologi Hasil Pertanian

Fakultas : Pertanian

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing,

Dr. Ir. Sussi Astuti, M.Si. Dr. Ir. Suharyono A.S., M.S. NIP 19670824 199303 2 002 NIP 19590530 198603 1 004

2. Ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Dr. Eng. Ir. H. Udin Hasanudin, M.T. NIP 19640106 198803 1 002


(42)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Dr. Ir. Sussi Astuti, M.Si. ...

Sekretaris : Dr. Ir. Suharyono A.S., M.S. ...

Penguji

Bukan Pembimbing : Ir. Sri Setyani, M.S. ...

2. Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. H. Wan Abbas Zakaria, M.S. NIP 19610826 198702 1 001


(43)

Kupersembahkan Karya Kecilku Ini untuk

Ayah dan Mamaku Tercinta


(44)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di desa Kebagusan Kabupaten Pesawaran pada tanggal 03 Nopember 1988. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara buah hati dari pasangan Bapak Son Alpian dan Ibu Hansiswati. Pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 1 Wiyono Gedong Tataan diselesaikan pada tahun 2000. Pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Gedong Tataan diselesaikan pada tahun 2003, dan pendidikan Sekolah Menengah Atas ditempuh pada SMA Negeri1Gedong Tataan diselesaikan pada tahun 2006.

Tahun 2006, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Teknologi Pangan Politeknik Negeri Lampung dan tahun 2009 alih program S1 ke Universitas Lampung Jurusan Teknolog Hasil Pertanian Fakultas Pertanian. Tahun 2005 penulis melaksanakan Praktik Umum di PT. Indokom Citra Persada Tanjung Bintang dengan judul “Mempelajari Pengawasan Mutu Pengolahan Biji Kopi Ekspor Robusta di PT Indokom Citra Persada (ICP) ”. Selama menjadi mahasiswa penulis pernah aktif di organisasi kemahasiswaan pada UKM Al-BANNA dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Tahun 2010 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata Tematik di Desa Sukapura Kecamatan Seragi Kabupaten Lampung Selatan.


(45)

SANWACANA

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Dengan mengucap Alhamdulillahirabbill’alamin, segala puji dan syukur penulis

panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah meridhoi dan melimpahkan rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Dalam penyelesaian skripsi ini, tentunya penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Dr. Ir. Sussi Astuti, M.Si. selaku pembimbing pertama yang dengan

penuh kesabaran membimbing dan memotivasi penulis selama proses penyelesaian skripsi ini.

2. Bapak Dr. Ir. Hi. Suharyono A.S., M.S. selaku pembimbing kedua yang dengan penuh kesabaran membimbing dan memotivasi penulis selama proses penyelesaian skripsi ini.

3. Ibu Ir. Sri Setyani, M.S. selaku pembahas atas kesediannya menjadi penguji, serta atas nasehat dan saran perbaikan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Dr. Eng. Ir. Udin Hasanudin, M.T. selaku ketua jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung atas bimbingannya selama ini.

5. Segenap Bapak dan Ibu dosen THP FP unila yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama menjadi mahasiswa THP FP unila.


(46)

dan semangatnya yang selalu menghibur disaat–saat penulis merasa jenuh. 7. Teman-teman angkatan 2007, terima kasih untuk seluruh kebersamaan dan

tawa selama beberapa tahun ini. Serta adik-adikku angkatan 2008, 2009 dan 2010.

Semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat dan berguna bagi semua pihak dalam upaya peningkatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Bandar Lampung, Mei 2012


(47)

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:

1) Formulasi jamur tiram dan tapioka berpengaruh sangat nyata terhadap volume pengembangan kerupuk, tekstur, rasa, warna, aroma, kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar serat kasar dan kadar karbohidrat kerupuk jamur tiram.

2) Formulasi N2 (10% jamur tiram dan 90% tapioka) merupakan formulasi kerupuk jamur tiram terbaik dengan volume pengembangan 452,287%, tekstur agak renyah, rasa tidak khas jamur tiram, warna putih kekuningan, aroma tidak khas jamur tiram, kadar air 7,20% (%bk), kadar abu 1,03% (%bk), kadar lemak 0,46% (%bk), kadar protein 1,66% (%bk), kadar serat kasar 0,236% (%bk) dan kadar karbohidrat 89,409% (%bk). Namun kadar protein yang dihasilkan tidak memenuhi standar mutu kerupuk (SNI 01– 2713–1999).

5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan disarankan untuk:

(1) Tidak melakukan proses pengukusan terlalu lama (>1 jam) pada pembuatan kerupuk yang dihasilkan.


(48)

(2) Tidak melakukan proses pengeringan dalam oven terlalu lama (>10 jam) pada pembuatan kerupuk yang dihasilkan.

(3) Sebaiknya dilakukan pembuatan tepung jamur tiram untuk memudahkan perhitungan basis kering pada pembuatan kerupuk jamur tiram.


(1)

Kupersembahkan Karya Kecilku Ini untuk

Ayah dan Mamaku Tercinta


(2)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di desa Kebagusan Kabupaten Pesawaran pada tanggal 03 Nopember 1988. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara buah hati dari pasangan Bapak Son Alpian dan Ibu Hansiswati. Pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 1 Wiyono Gedong Tataan diselesaikan pada tahun 2000. Pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Gedong Tataan diselesaikan pada tahun 2003, dan pendidikan Sekolah Menengah Atas ditempuh pada SMA Negeri1Gedong Tataan diselesaikan pada tahun 2006.

Tahun 2006, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Teknologi Pangan Politeknik Negeri Lampung dan tahun 2009 alih program S1 ke Universitas Lampung Jurusan Teknolog Hasil Pertanian Fakultas Pertanian. Tahun 2005 penulis melaksanakan Praktik Umum di PT. Indokom Citra Persada Tanjung Bintang dengan judul “Mempelajari Pengawasan Mutu Pengolahan Biji Kopi Ekspor Robusta di PT Indokom Citra Persada (ICP) ”. Selama menjadi mahasiswa penulis pernah aktif di organisasi kemahasiswaan pada UKM Al-BANNA dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Tahun 2010 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata Tematik di Desa Sukapura Kecamatan Seragi Kabupaten Lampung Selatan.


(3)

SANWACANA

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Dengan mengucap Alhamdulillahirabbill’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah meridhoi dan melimpahkan rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Dalam penyelesaian skripsi ini, tentunya penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Dr. Ir. Sussi Astuti, M.Si. selaku pembimbing pertama yang dengan penuh kesabaran membimbing dan memotivasi penulis selama proses penyelesaian skripsi ini.

2. Bapak Dr. Ir. Hi. Suharyono A.S., M.S. selaku pembimbing kedua yang dengan penuh kesabaran membimbing dan memotivasi penulis selama proses penyelesaian skripsi ini.

3. Ibu Ir. Sri Setyani, M.S. selaku pembahas atas kesediannya menjadi penguji, serta atas nasehat dan saran perbaikan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Dr. Eng. Ir. Udin Hasanudin, M.T. selaku ketua jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung atas bimbingannya selama ini.

5. Segenap Bapak dan Ibu dosen THP FP unila yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama menjadi mahasiswa THP FP unila.


(4)

6. Ayahanda dan ibunda tercinta terimakasih atas doa dan semangat yang senantiasa diberikan. Kakak-kakakku dan adikku, terimakasih banyak atas doa dan semangatnya yang selalu menghibur disaat–saat penulis merasa jenuh. 7. Teman-teman angkatan 2007, terima kasih untuk seluruh kebersamaan dan

tawa selama beberapa tahun ini. Serta adik-adikku angkatan 2008, 2009 dan 2010.

Semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat dan berguna bagi semua pihak dalam upaya peningkatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Bandar Lampung, Mei 2012


(5)

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:

1) Formulasi jamur tiram dan tapioka berpengaruh sangat nyata terhadap volume pengembangan kerupuk, tekstur, rasa, warna, aroma, kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar serat kasar dan kadar karbohidrat kerupuk jamur tiram.

2) Formulasi N2 (10% jamur tiram dan 90% tapioka) merupakan formulasi kerupuk jamur tiram terbaik dengan volume pengembangan 452,287%, tekstur agak renyah, rasa tidak khas jamur tiram, warna putih kekuningan, aroma tidak khas jamur tiram, kadar air 7,20% (%bk), kadar abu 1,03% (%bk), kadar lemak 0,46% (%bk), kadar protein 1,66% (%bk), kadar serat kasar 0,236% (%bk) dan kadar karbohidrat 89,409% (%bk). Namun kadar protein yang dihasilkan tidak memenuhi standar mutu kerupuk (SNI 01– 2713–1999).

5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan disarankan untuk:

(1) Tidak melakukan proses pengukusan terlalu lama (>1 jam) pada pembuatan kerupuk yang dihasilkan.


(6)

51

(2) Tidak melakukan proses pengeringan dalam oven terlalu lama (>10 jam) pada pembuatan kerupuk yang dihasilkan.

(3) Sebaiknya dilakukan pembuatan tepung jamur tiram untuk memudahkan perhitungan basis kering pada pembuatan kerupuk jamur tiram.